Analisis Konvergensi Inflasi Antar Daerah dengan Menggunakan Spatial Econometrics Dwika Darinda dan Ferry Irawan Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstrak Penelitian ini membahas eksistensi konvergensi inflasi antar daerah di Indonesia dan mengidentifikasi peranan efek spasial dalam proses tersebut. Pengujian konvergensi terdiri dari tiga jenis yaitu stokastik, sigma, dan beta. Pengaplikasian teori Phillips Curve pada model konvergensi beta kondisional bertujuan menghindari substantial overestimation. Sementara model Spatial Durbin bertujuan memperhitungkan hubungan spasial yang tidak hanya terdapat pada variabel dependen, tetapi juga terdapat pada variable bebas. Hasil penelitian membuktikan efek spasial berpengaruh terhadap konvergensi antar propinsi di Indonesia. Oleh sebab itu, penulis menyarankan bahwa efek spasial perlu diikutsertakan dalam perumusan kebijakan baik di tingkat daerah maupun pusat. Abstract The focus of this study is the existence of inflation convergence between regions in Indonesia and identify the role of spatial effects in the process. Three types of convergence to be discussed were stochastic, sigma, and beta. Applied Phillips Curve in conditional beta convergence model aims to avoid substantial overestimation. While Spatial Durbin Model aims to estimate the dependencies in the spatial relationships not only occur in the dependent variable, but also on the independent variable. The result shows that the spatial effects have a vital role in determining the rate of convergence between the provinces in Indonesia. Therefore, the study results suggest that spatial effects should be included in policy formulation at both the local and central level. Kata kunci : Konvergensi, Inflasi, Phillips Curve, Ekonometrika Spasial Klasifikasi JEL : E310, E630 1. Pendahuluan Secara umum, inflasi adalah kenaikan tingkat harga rerata atau tingkat dimana uang ditukarkan dengan barang dan jasa. Inflasi berperan positif dalam pasar tenaga kerja, karena dapat mengurangi upah riil tanpa mengurangi upah nominal. Hal ini diperlukan pasar tenaga kerja, dimana upah nominal tidak mungkin menurun sementara supply dan demand untuk bermacam tipe tenaga kerja selalu berubah. Namun disamping manfaatnya, inflasi juga menimbulkan problem sosial yang disebut dengan social cost of inflation.
1
Oleh sebab itu, beberapa negara di dunia menerapkan inflation targeting framework (ITF) untuk mengendalikan tingkat inflasi. Motivasi negara-negara mengaplikasikan ITF tidak selalu sama. Indonesia menerapkan ITF sebagai jangkar nominal (nominal anchor) dalam rangka menjalankan kebijakan moneter, setelah sebelumnya menggunakan kebijakan moneter yang menerapkan uang primer (base money) sebagai sasaran kebijakan moneter. ITF di Indonesia mulai sejak tahun 2005 dengan penetapan sasaran inflasi melalui Keputusan Menteri Keuangan (KMK), Peraturan Menteri Keuangan (PMK), dan Siaran Pers (Bank Indonesia, 2013). Bahkan dalam rangka menunjang kerangka kerja tersebut, Pemerintah Indonesia telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk melakukan pengendalian inflasi hingga ke tingkat daerah melalui wadah Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Agar kerangka kerja tersebut berjalan efektif dan efisien, maka tingkat inflasi harus mengalami penurunan dari periode sebelumnya (disinflasi). Hal ini mengingat negara pengaplikasi ITF adalah negara-negara dengan riwayat inflasi yang tinggi dan tidak stabil. Menurut Harmanta, Bathaluddin, & Waluyo (2011), berdasarkan sacrifice ratio biaya disinflasi menuju target inflasi yang rendah dan stabil di Indonesia (cost of disinflation) sangat dipengaruhi oleh kredibilitas kebijakan moneter. Semakin kredibel kebijakan moneter, maka akan semakin kecil sacrifice ratio. Dengan demikian, setiap upaya penurunan inflasi akan menyebabkan output loss yang tidak terlalu besar. Implikasinya adalah bank sentral menghadapi trade off yang semakin kecil antara stabilisasi inflasi dan stabilisasi output. Oleh sebab itu, konvergensi beta inflasi yang merupakan penurunan tingkat inflasi dari periode sebelumnya diperlukan otoritas moneter dalam rangka pencapaian sasaran yang akan meningkatkan kredibilitas. Disamping efek negatif akibat tingkat yang tinggi dan tidak stabil dalam dimensi waktu, inflasi juga memberikan efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat (welfare losses) melalui penurunan daya saing βdaerah berinflasi tinggiβ dalam suatu negara atau kesatuan moneter (dimensi ruang). Kondisi ini terjadi apabila divergensi harga dipicu distorsi ekonomi dalam pasar faktor produksi yang meningkatkan biaya produksi pada daerah tersebut. Contohnya adalah divergensi perkembangan harga faktor input produksi seperti tenaga kerja, sewa, dan sebagainya akibat inefisiensi struktural dalam pasar faktor produksi yang salah satunya dapat diakibatkan oleh terlalu tingginya mark up karena sentimen positif pasar terhadap inflasi. Sehingga, hal tersebut menyebabkan kurang berminatnya pengembang atau investor untuk berusaha pada daerah yang berinflasi tinggi (Beck, Hubrich, & Marcellino, 2009). Sementara pada beberapa kajian internasional, disebutkan juga bahwa persistensi perbedaan tingkat inflasi (actual and expected) antar daerah akan memicu disparitas tingkat suku bunga riil antar daerah, sehingga pada gilirannya dapat kembali memperbesar divergensi inflasi (Busetti, Forni, Harvey, &
2
Venditti, 2007). Oleh karena itu, konvergensi dalam hal ini semakin mengecilnya disparitas inflasi antar daerah diperlukan untuk menjaga perkembangan daerah sesuai dengan tujuan nasional yaitu pemerataan. Berdasarkan UU Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kebijakan otonomi daerah menurut asas desentralisasi memberikan keleluasaan pada masing-masing Pemerintah daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerahnya. Namun, selain membuka peluang lebih besar pada pemekaran propinsi, desentralisasi juga beresiko memicu divergensi inflasi antar daerah. Divergensi sebagai kontra konvergensi dapat timbul jika tingkat inflasi lebih tinggi dari periode sebelumnya, atau terjadi pembesaran disparitas inflasi antar daerah. Gambar 1.1 menunjukkan bahwa inflasi nasional pada masa sebelum desentralisasi lebih rendah dan stabil (<12%) dari pada masa sesudah desentralisasi (<20%). Sementara pada gambar 1.2 menunjukkan bahwa standar deviasi inflasi 26 kota besar pada masa sebelum desentralisasi lebih kecil dari pada masa setelah desentralisasi. 12 10
%, yoy
Inflasi Pra Desentralisasi
8 6 4 2 Aug-84
20 16
Feb-87
%, yoy
Aug-89
Feb-92
Aug-94
Inflasi Pasca Desentralisasi
12 8 4 Jan-01
Jan-03
Jan-05
Jan-07
Jan-09
Jan-11
Jan-13
Gambar 1.1. Inflasi Pra dan Pasca Desentralisasi Sumber : BPS, telah diolah kembali
Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan divergensi pasca desentralisasi adalah kendala sinkronisasi dan harmonisasi regulasi atau peraturan Daerah dan Pusat. Karena hal tersebut, proyek-proyek Pemerintah yang berpengaruh positif terhadap produksi dan distribusi komoditas tidak berjalan maksimal (Rakyat Merdeka, 2013). Padahal sebagian besar sumber daya alam yang berkontribusi besar pada inflasi nasional terutama melalui kelompok pengeluaran bahan makanan berasal dari daerah. Hal ini tampak pada besarnya bobot inflasi bahan makanan dalam inflasi umum. Berdasarkan Survei Biaya hidup (SBH) tahun 2002 kelompok pengeluaran bahan makanan mempunyai bobot sebesar 24,7% terhadap inflasi, sedangkan menurut SBH tahun 2007 kelompok pengeluaran tersebut berbobot 19,6%.
3
2.4 2 1.6 1.2 0.8 Dec-92
Jun-93
Dec-93
Jun-94
Dec-94
Jun-95
Dec-95
6 5 4 3 2 1 Jan-01
Jan-02
Jan-03
Jan-04
Jan-05
Jan-06
Jan-07
Jan-08
Gambar 1.2. Standar Deviasi Inflasi 26 Kota Besar Pra dan Pasca Desentralisasi Sumber : BPS, telah diolah kembali
Dalam beberapa literatur, konvergensi inflasi kerap dikaitkan dengan inflation targeting (IT). Salah satunya adalah Neumann & von Hagen (2002) yang menyatakan bahwa penerapan (IT) berdampak terkonvergensinya inflasi negara-negara (IT) dari tingkat volatilitas yang relatif tinggi ke tingkat yang sama dengan grup referensi yaitu Jerman dan Switzerland. Namun, hal ini ditentang oleh Ball & Sheridan (2004) yang berpendapat bahwa negara-negara (IT) tersebut mengalami disinflasi besar-besaran (pada tahun 1990-an) karena memiliki tingkat inflasi awal yang relatif lebih tinggi dari negaranegara yang telah terindustrialisasi. Sementara itu, Spiru (2008) menjelaskan bahwa karena perbedaan tingkat harga awal (initial price differences) antar wilayah yang bermata uang sama terlihat lebih jelas (seperti negara-negara EMU), maka konvergensi ke tingkat harga yang sama akan menyebabkan wilayah dengan tingkat harga awal lebih rendah mengalami inflasi yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, tingkat konvergensi harga yang juga disebut sebagai "inflation catching up" dapat menghambat proses konvergensi inflasi karena menghasilkan perbedaan tingkat inflasi antar wilayah. Berbeda dengan Spiru (2008), menurut Vaona (2007) inflasi tidak dikarakteristikkan oleh absolute beta convergence melainkan oleh conditional beta convergence. Karena, dalam pergerakan inflasi tidak hanya terdapat mekanisme "equilibrating" seperti arbitrase, tetapi juga terdapat mekanisme "disequilibrating", seperti perbedaan tingkat suku bunga riil di daerah yang berbeda. Oleh sebab itu, mekanisme disequilibrating dengan pendekatan marginal cost dalam Phillip curve juga harus diperhitungkan dalam estimasi konvergensi. Menurut Dreger, Kholodilin, Lommatzsch, Slacalek, & Wozniak (2008) fenomena ini terkait
4
dengan Balassa-Samuelson effect yang dapat dijelaskan melalui hubungan harga dan produktivitas. Sementara itu, penelitian mengenai konvergensi inflasi di Indonesia salah satunya dilakukan oleh Wimanda (2006) dengan menggunakan ekspektasi (backward looking), nilai tukar, pendapatan asli daerah, belanja rutin, dan dana perimbangan sebagai determinan utama inflasi daerah. Berbeda dengan sebelumnya, Wimanda (2009) menganalisis variabilitas dan konvergensi harga antar daerah diIndonesia dengan menggunakan balanced panel data indeks harga konsumen (IHK) agregat bulanan dan 35 kategori komoditas di 45 kota besar. Sementara itu, Harmanta, Bathaluddin, & Waluyo (2011) lebih menitik beratkan penelitian pada proses disinflasi menuju target inflasi yang rendah dan stabil dengan menggunakan model ARIMBI (Aggregate Rational InflationTargeting Model for Bank Indonesia). Berbeda dengan Wimanda (2009) yang menggunakan Jakarta sebagai benchmark dalam pengukuran jarak, Arimurti & Trisnanto (2011) menggunakan data IHK Jakarta yang berbobot 22,49% dari total IHK nasional dalam penelitiannya sebagai dependent variable. Namun dari penelitian-penelitian yang telah disebutkan, belum ada yang mengikutsertakan efek spasial antar daerah/propinsi dalam perhitungannya. Padahal, secara geografis perhitungan perekonomian suatu daerah tidak hanya tergantung pada faktor produksi (endowment) yang ada pada daerah itu sendiri, karena tidak semua daerah memiliki endowment yang besar (misalnya sentra produksi) dan berada pada lokasi yang strategis (contohnya kawasan berikat). Bagi daerah yang tidak memiliki endowment besar, tentu akan tergantung pada daerah lain dalam proses produksinya (misalnya daerah lintasan distribusi komoditas). Adapun ketergantungan tersebut menurut hukum pertama geografi Tobler (1970),"Everything is related to everything else, but near things are more related than distant things"(p. 236). Penggunaan spatial econometrics bertujuan memberikan informasi yang lebih akurat karena memperhitungkan karakteristik daerah atau tidak spatially blind. Oleh karena itu, melalui penelitian ini penulis berharap dapat menghasilkan salah satu pendekatan yang dapat mendukung proses tersebut, terutama terkait pengendalian harga/inflasi di daerah. Menurut Yu & Lee (2012) yang mengkaji konvergensi pertumbuhan, efek spasial perlu diperhitungkan untuk menghindari bias (spatial bias). Anselin, Bera, Florax, & Yoon (1996) juga menyatakan bahwa, model perkonomian yang tidak memasukkan faktor daerah tetangga kedalam estimasinya akan mengalami misspecification karena setiap daerah diasumsikan berdiri sendiri-sendiri. Tujuan umum dari penelitian ini adalah menguji eksistensi dan menganalisis konvergensi inflasi antar propinsi di Indonesia. (Stochastic, Sigma & Beta Convergence). Sementara tujuan khusus dari penelitian ini antara lain :
5
a. Menguji eksistensi dan mengetahui pengaruh output gap terhadap konvergensi inflasi antar propinsi di Indonesia. (Conditional beta convergence) b. Menguji dan mengetahui pengaruh efek spasial terhadap konvergensi inflasi antar propinsi di Indonesia. (Conditional Beta Convergence) Untuk mencapai tujuan tersebut penulis menggunakan 7 metode, antara lain unit root test, standard deviation, regresi panel data (static dan dynamic), Moran's I test, Lagrange Multiplier test, t-test, dan f-test. Uji eksistensi Stochastic, Sigma & Absolute Beta Convergence antara lain dilakukan dengan unit root test, standard deviation, regresi panel data statis. Uji eksistensi Phillips Curve dan Spasial juga dilakukan dengan regresi panel data statis. Sementara pengaplikasian panel data dinamis yang bertujuan untuk menghasilkan estimasi tidak bias karena endogeneity hanya diaplikasikan pada model spasial terbaik. Moranβs I test digunakan sebagai alat penguji adanya spatial correlation pada residu model, sama halnya dengan LM-test. Pengujian signifikansi variabel terhadap dependent variable menggunakan f-test. Sementara pengujian signifikansi perbedaan koefisien konvergensi antara model menggunakan t-test. Hasil pengujian empiris membuktikan bahwa konvergensi inflasi terjadi pada daerah-daerah di Indonesia. Kondisi ini sesuai dengan beberapa teori antara lain Law of One Price (LOP), Balassa Samuelson Effect, Phillips Curve, dan First Law Of Geography. Hasil ini dapat dikatakan sesuai dengan LOP karena konvergensi inflasi di Indonesia mengindikasikan bahwa pasar Indonesia cenderung terintegrasi yang ditunjukkan oleh kesamaan pola pergerakan harga (price first difference) yaitu inflasi. Dengan menggunakan beberapa asumsi yang berkaitan dengan perbedaan kondisi Indonesia dan Uni Eropa yang merupakan objek studi konvergensi inflasi pada penelitian terdahulu, maka konvergensi inflasi Indonesia juga dapat dikatakan sesuai dengan Balassa Samuelson Effect. Kondisi ini terlihat pada penurunan standar deviasi produktivitas sebagai syarat terjadinya konvergensi harga. Pada kasus Indonesia konvergensi harga tidak menyebabkan divergensi Inflasi, melainkan justru mendukung konvergensi inflasi. Sementara Phillips Curve dibuktikan terwujud di Indonesia melalui parameter output gap yang positif dan signifikan dengan asumsi adanya Cobweb Phenomena (lagged response). The First Law Of Geography terwujud di tingkat antar daerah karena didukung oleh topografi Indonesia. Bukti bahwa hukum tersebut berlaku dapat dilihat pada pengaruh variabel spasial terhadap konvergensi. 2. Tinjauan Referensi Menurut Cecchetti (2002) terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyesuaian tingkat harga relatif tidak lengkap (incomplete relative price-level adjustment), antara lain : 1. Trade barriers seperti tarif dan kuota.
6
2. Nontariff barriers termasuk kerumitan birokrasi untuk menciptakan sistem distribusi asing (foreign distribution system) untuk barang tradable. 3. Kegagalan nilai tukar nominal untuk menyesuaikan dengan shock tingkat harga. 4. Perusahaan menggunakan kekuatan monopoli lokal melalui perbedaan harga untuk mensegmentasi pasar. 5. Kekakuan penyesuaian tingkat harga nominal muncul dari persaingan pasar tidak sempurna (perubahan harga membutuhkan biaya). 6. Biaya transportasi diasosiasikan dengan perpindahan barang dari satu daerah ke daerah lainnya. 7. Kehadiran barang nontradable pada tingkat harga umum dan potensi perbedaan pertumbuhan di tingkat level dan efisiensi faktor yang digunakan dalam produksi mereka. Berkaitan dengan faktor-faktor tersebut, penulis berasumsi bahwa terdapat beberapa kondisi yang mendukung terjadinya Law of One Price (LOP) di pasar Indonesia, antara lain : 1. Kesamaan mata uang antar daerah di Indonesia, yaitu rupiah. 2. Tidak ada batasan perdagangan antar daerah (trade barrier). 3. Mobilitas tenaga kerja antar daerah. 4. Tidak ada tambahan daerah baru dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atau tambahan hanya bersifat administratif (pemekaran). Dengan demikian inflasi antar daerah seharusnya juga tidak jauh berbeda atau konvergen. Namun semenjak desentralisasi terdapat fakta bahwa tingkat inflasi berfluktuasi lebih tinggi dan disparitas inflasi antar kota semakin membesar. Dengan kata lain, desentralisasi berpotensi menciptakan divergensi inflasi yang berefek negatif bagi kredibilitas otoritas moneter dan kesejahteraan sebagai tujuan nasional. Disamping itu, terdapat mekanisme "disequilibrating" dalam Phillip Curve yang juga dapat memicu divergensi inflasi. Mekanisme tersebut merupakan marginal cost yang dapat di-proxy oleh output gap, Real Unit Labour Cost (RULC), dan unemployment (pengangguran). Sementara kondisi pasar Indonesia yang telah disebutkan sebelumnya, menjadi dasar penulis untuk berasumsi bahwa spatial effect berperan signifikan terhadap laju konvergensi. Karena kedua faktor tersebut, penulis berpendapat bahwa output gap dan spatial effect harus diikutsertakan dalam estimasi konvergensi inflasi.Oleh sebab itu, maka penulis berinisiatif menguji eksistensi Phillips curve dan spatial relationship, disamping menguji eksistensi konvergensi antar daerah di Indonesia. Konsep konvergensi tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan ekonomi. Baumol (1986), Barro (1991) dan Barro & Sala-i-Martin (1991, 1992) membagi konvergensi menjadi dua jenis, yaitu : absolut dan kondisional. Konvergensi absolut (mutlak) berarti
7
tidak tergantung pada karakteristik masing-masing objek observasi, karena kondisi perekonomian yang berbeda pada akhirnya akan konvergen di tingkat yang sama (longrun). Sementara konvergensi kondisional (bersyarat) menyatakan bahwa setiap objek observasi akan tumbuh hingga steady state masing-masing, tergantung pada latar belakang, kekhususan daerah, faktor ekonomi, dan sebagainya (Spiru, 2008, p. 17). Konvergensi tersebut kemudian disebut sebagai beta (π½) convergence atau konvergensi beta. Selain beta convergence juga terdapat sigma convergence atau konvergensi sigma atau π-convergence yang merupakan standar deviasi variabel antar observasi (Sala-iMartin, 1996). Meskipun keduanya bertema konvergensi, namun Quah (1993) menunjukkan bahwa beta-convergence tidak selalu berarti pengurangan varians sampel cross-section pendapatan per kapita (sigma-convergence) tapi justru sesuai dengan pertumbuhan varian sampel cross-section (sigma-divergence). Dengan kata lain, beta convergence merupakan syarat perlu, tapi tidak cukup untuk sigma convergence. Meskipun harga dan inflasi (sebagai persentase perubahan dari harga) merupakan dua hal yang berjalan beriringan, tetapi tidak demikian dengan konvergensi harga dan konvergensi inflasi. Dalam beberapa literatur, konvergensi inflasi kerap dikaitkan dengan inflation targeting (IT). Salah satunya adalah Neumann & von Hagen (2002) yang menyatakan bahwa penerapan (IT) berdampak terkonvergensinya inflasi negara-negara (IT) dari tingkat volatilitas yang relatif tinggi ke tingkat yang sama dengan grup referensi yaitu Jerman dan Switzerland. Namun, hal ini ditentang oleh Ball & Sheridan (2004) yang berpendapat bahwa negara-negara (IT) tersebut mengalami disinflasi besar-besaran (pada tahun 1990-an) karena memiliki tingkat inflasi awal yang relatif lebih tinggi dari negaranegara yang telah terindustrialisasi. Sementara itu, Spiru (2008) menjelaskan bahwa karena perbedaan tingkat harga awal (initial price differences) antar wilayah yang bermata uang sama terlihat lebih jelas (seperti negara-negara EMU), maka konvergensi ke tingkat harga yang sama akan menyebabkan wilayah dengan tingkat harga awal lebih rendah mengalami inflasi yang lebih tinggi. Oleh sebab itu, tingkat konvergensi harga yang juga disebut sebagai "inflation catching up" dapat menghambat proses konvergensi inflasi karena menghasilkan perbedaan tingkat inflasi antar wilayah. Kondisi yang disebutkan oleh Spiru (2008) berpeluang besar terjadi jika proses konvergensi harga mulai atau masih berlangsung, misalnya pada saat masuknya negaranegara anggota baru European Monatery Union (EMU). Namun, bagaimana bila proses konvergensi harga hampir atau telah terjadi karena sebuah kesatuan moneter tidak menambah anggota baru? Pada saat tersebut produktivitas cenderung terkonvergensi sehingga mendukung terkonvergensinya harga. Selanjutnya konvergensi harga akan mendukung konvergensi inflasi, karena pergerakan tingkat harga antar daerah yang
8
cenderung bergerak beriringan akan memperkecil standar deviasi inflasi (konvergensi sigma). Disamping itu, produktivitas yang cenderung konvergen karena telah atau hampir sampai tingkat maksimal dibandingkan dengan daerah lainnya akan menyebabkan pergerakan tingkat inflasi daerah secara individual menurun (konvergensi beta). Kondisi inilah yang tercermin dalam penelitian Gluschenko (2010) sebagai short run convergence. Menurut Gluschenko (2010) integrasi sempurna dari pasar barang yang terdispersi secara geografis menyiratkan bahwa tidak ada hambatan (impediments) terhadap pergerakan barang diantara semua segmen spasial, misalnya daerah dalam suatu wilayah negara. Dengan kata lain, pasar yang terintegrasi sempurna beroperasi seperti pasar tunggal meskipun terdispersi secara spasial. Pada pasar tersebut harga sebuah komoditas (tradable) antar daerah seragam atau hukum satu harga berlaku, sementara arbitrase antardaerah mempertahankan hukum tersebut. Dengan demikian, hukum satu harga dapat digunakan sebagai pedoman teoritis untuk menganalisis secara empiris integrasi pasar domestik. 2.1. Hubungan Konvergensi Inflasi dengan Phillip Curve Vaona (2007) dalam penelitiannya yang menggabungkan literatur PPP dengan Phillips curve menyatakan bahwa inflasi tidak dikarakteristikkan oleh absolute beta convergence melainkan oleh conditional beta convergence. Karena berdasarkan literatur dalam dinamika inflasi, tidak hanya terdapat mekanisme "equilibrating" seperti arbitrase, tetapi juga terdapat mekanisme "disequilibrating", seperti perbedaan tingkat suku bunga riil antar daerah. Dengan demikian, terlihat bahwa estimasi persamaan absolute convergence (bukan conditional) dapat menimbulkan hasil estimasi dengan persistensi inflasi yang terlalu tinggi (substantial overestimation). Estimasi model absolute convergence dapat mengarahkan ide bahwa tingkat inflasi secara perlahan-lahan terkonvergensi pada nilai yang sama, sedangkan terdapat fakta bahwa inflasi terkonvergensi pada nilai yang berbeda di tempat yang berbeda (conditional on forcing variable). Kondisi ini tidak hanya bertentangan dengan hipotesis purchasing power parity (PPP), tetapi juga bertentangan dengan pandangan vertikal jangka panjang Phillips curve. Untuk tujuan inilah Phillips curve (New Keynesian dan traditional) menawarkan model conditional beta convergence (Sala-i-Martin, 1996), yaitu sebagai alternatif persamaan π½convergence yang dipinjam dari literatur pertumbuhan teoritis tetapi tidak mempunyai muatan ekonomi ketika diaplikasikan ke inflasi. 2.2. Ekonometrika Spasial Dalam perkembangan ekonometrika spasial, Lesage (2008) memperkenalkan model spasial Durbin (Spatial Durbin Model) yang merupakan variasi dari Spatial autoregressive (SAR) model. Spesifikasi model tersebut memungkinkan karakteristik yang berhubungan
9
dengan waktu (explanatory/independent variable) dari negara/daerah tetangga berpengaruh terhadap negara/daerah utama (subjek penelitian). Hal ini dapat dicapai dengan memasukkan rerata explanatory variable daerah tetangga kedalam perhitungan dengan menggunakan matriks bobot spasial (Spatial Weight Matrix), sehingga mendapatkan formula sebagai berikut: π¦ = πππ¦ + πΌπ + ππ½ + πππ + π
(2.3)
π ~ π(0ππ₯1 , π 2 πΌπ ) π¦ adalah dependent variable, π adalah Independent variable, π adalah spatial weight matrix, π adalah Error term (π~π. π. π.) dan π, π½, π, π adalah parameter. Sementara πΌπ adalah parameter yang berasosiasi untuk mengakomodasi situasi ketika vektor π¦ tidak memiliki nilai rerata sebesar nol. Vektor π (nx1) diasumsikan terdistribusi normal independen (independent, normally distributed) dengan rerata vektor sebesar nol (0ππ₯1 ). 3. Metode Penulis menggunakan data pasca tahun 2000 untuk meneliti konvergensi inflasi dan pengaruh spatial dependence antar propinsi atau daerah di Indonesia. Periode tersebut dipilih karena merupakan periode setelah krisis moneter tahun 1998 dan desentralisasi. Disamping itu, perubahan mendasar dalam kebijakan moneter Republik Indonesia antara lain independensi Bank Indonesia dan penerapan Inflation Targeting Framework (ITF), juga terjadi setelah tahun tersebut. Bank Indonesia menjadi independen terhadap Pemerintah sejak Undang-Undang No. 23/1999 tentang Bank Indonesia dinyatakan berlaku pada tanggal 17 Mei 1999. Undang-undang tersebut memberikan status dan kedudukan kepada Bank Indonesia sebagai suatu lembaga negara yang independen dan bebas dari campur tangan pemerintah ataupun pihak lainnya. Sementara penerapan ITF di Indonesia pertama kali ditetapkan melalui KMK No. 399/KMK.011/2004 untuk sasaran inflasi tahun 2005 sampai dengan 2007. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dengan frekuensi bulanan dan tahunan. Penelitian ini menggunakan data panel dengan 30 propinsi di Indonesia sebagai subjek penelitian, dalam rentang waktu 2000-2012. Meskipun data panel dimaksud berjumlah 30 propinsi, namun pada dasarnya telah mencakup seluruh propinsi Indonesia. Hal ini disebabkan pengagregasian 6 propinsi menjadi 3 propinsi. 6 propinsi tersebut antara lain Riau dan Kepulauan Riau, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat, serta Papua dan Papua Barat. Adapun variabel-variabel yang digunakan antara lain Indeks Harga Konsumen (IHK) per propinsi dan PDRB per propinsi. Data inflasi adalah
year on year (yoy) IHK (periode 1997 s.d. 2013) yang
disesuaikan dengan bobot IHK pada tiga tahun dasar, yaitu SBH 1996, 2002, & 2007 dan terdiri dari dua frekuensi yaitu bulanan dan tahunan. Karena data mentah IHK propinsi
10
tidak tersedia, maka penulis melakukan pengagregasian dari kota-kota survei IHK menjadi 30 propinsi. Hal ini sesuai pernyataan Sasmito Hadi Wibowo selaku Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS mengenai metode/pendekatan yang digunakan untuk mengitung IHK Propinsi (personal conversation, 2 Oktober 2013). Data inflasi berfrekuensi bulanan digunakan untuk analisis univariat (stochastic, sigma, & absolute beta convergence). Data ini mempunyai N = 30 propinsi dan T = 204 bulan (1997 Januari s.d. 2013 Desember) atau 5998 observasi yaitu 6120 dikurangi 122 observasi karena (Pangkal Pinang) ibukota Bangka Belitung dan Gorontalo ibu kota Gorontalo baru dimasukkan perhitungan IHK pada SBH 2002. Sementara data berfrekuensi tahunan digunakan untuk analisis multivariat yang membutuhkan data output gap yang hanya tersedia dalam frekuensi tahunan. Data ini mempunyai N = 30 propinsi dan T = 17 tahun (1997 s.d. 2013) atau hanya 504 observasi (micro panel data) yaitu 510 dikurangi 6 observasi karena alasan sama dengan yang telah disebutkan diatas. Sementara itu, data output gap diperoleh dari pengolahan data Pertumbuhan Domestik Regional Bruto (PDRB) 30 propinsi (periode 2000 s.d. 2012) dengan menggunakan HodrickβPrescott (HP) filter sesuai dengan Backus & Kehoe (1992). Karena Output gap merupakan proxy dari marginal cost dalam phillips curve, maka output gap akan berpengaruh positif terhadap inflasi. Di paper ini penulis menggunakan output gap karena keterbatasan data unemployment dan wage. Pada penelitian ini, perhitungan konvergensi inflasi akan meliputi tiga jenis konvergensi, yaitu stochastic, sigma, & beta convergence (absolute & conditional). Stochastic, sigma dan absolute beta convergence berfungsi sebagai alat untuk mengkonfirmasi keberadaan konvergensi inflasi antar daerah di Indonesia. Sementara conditional beta convergence merupakan alat untuk membandingkan antara model klasik (non-spasial) dan model spasial. Penulis menggunakan conditional beta convergence untuk membandingkan kedua model, karena menurut Vaona (2007) inflasi tidak dikarakteristikkan oleh absolute beta convergence melainkan oleh conditional beta convergence. Karena, dalam pergerakan inflasi tidak hanya terdapat mekanisme "equilibrating" seperti arbitrase, tetapi juga terdapat mekanisme "disequilibrating", seperti perbedaan tingkat suku bunga riil di daerah yang berbeda. Oleh sebab itu, mekanisme disequilibrating dengan pendekatan marginal cost dalam Phillip curve juga harus diperhitungkan dalam estimasi konvergensi. Menurut Dreger, Kholodilin, Lommatzsch, Slacalek, & Wozniak (2008) fenomena ini terkait dengan BalassaSamuelson effect yang dijelaskan melalui hubungan harga dan produktivitas.
11
3.1. Convergence Test 3.1.1. Stochastic Convergence Konvergensi jenis ini hanya dapat terjadi jika shock terhadap perbedaan (diferensial) antara kedua daerah bersifat sementara, dengan kata lain efek tersebut menghilang seiring berjalannya waktu. Oleh sebab itu, pendekatan stokastik terhadap konvergensi ditandai dengan diferensial kedua daerah yang stasioner. Adapun persamaan tes konvergensi stokastik inflasi adalah sebagai berikut: π
π βππ,π‘ = πππ,π‘ + ππ‘ + βπ=1 πππ β ππ,π‘βπ + πππ‘
πΆππΌπ‘ βπΆππΌπ‘β12
dimana ππ,π‘ =(
πΆππΌπ‘β12
(3.1)
) β 100 (dengan π =1,2,β¦,N sebagai daerah/propinsi observasi
dan π‘=1,2,β¦,T merepresentasikan indeks waktu). Sementara β mendenotasikan perubahan satu periode dari variabel dan ππ‘ adalah common time effect. πππ‘ diasumsikan sebagai (kemungkinan berkorelasi secara serial) stasionary idiosyncratic shock. Subindeks π mengindikasikan jumlah lag. Sementara π mendenotasikan lag. Tujuan dimasukkannya lagged differences dalam persamaan adalah mengontrol korelasi serial (serial correlation). Penulis menggunakan cara seperti yang dilakukan Beck & Weber (2005) yaitu menggunakan rerata inflasi propinsi sebagai benchmark. Penggunaan rerata inflasi propinsi sebagai benchmark juga dimaksudkan untuk mengambil alih kendali dari common time effect, ππ‘ , yaitu dengan mengurangkan inflasi dengan cross-sectional means. Hal ini sebagai akibat dimasukkannya common time effect, ππ‘ ke dalam persamaan yang bertujuan untuk mengontrol cross sectional dependence akibat shock kebijakan fiskal. Pengurangan inflasi dengan cross-sectional means dapat diperlihatkan dalam persamaan sebagai berikut : 1
πΜπ,π‘ = ππ,π‘ β π βπ π¦=1 ππ¦,π‘
(3.2)
Sehingga persamaan (3.16) menjadi : π
π βπΜπ,π‘ = ππΜπ,π‘β1 + βπ=1 πππ β πΜπ,π‘βπ + πππ‘
(3.3)
ππ¦,π‘ adalah inflasi seluruh daerah/propinsi observasi j dengan N=30 pada waktu t. Selanjutnya, untuk mengetahui apakah kecenderungan kembali ke rata-rata (mean reverting behavior) inflasi daerah terjadi, maka dilakukan tes menggunakan Levin, Lin, & Chu (2002). Null hypothesis (π»0 : π1 = π2 = β― = ππ = π = 0) sedangkan alternative hypothesis (π»1 : π1 = π2 = β― = ππ = π < 0). Jika dapat menolak Null hypothesis of nonstationarity, berarti tingkat inflasi antar daerah memiliki kecenderungan untuk kembali kenilai rata-rata (mean reverting behavior) dan shock yang menyebabkan deviasi dari equilibrium pada akhirnya akan hilang. Dengan kata lain tingkat inflasi antar daerah stochastic convergence.
12
3.1.2. Sigma Convergence Meskipun hasil dari unit root testing menyatakan bahwa konvergensi terjadi, namun hal ini tidak cukup membuktikan adanya konvergensi. Karena nilai rata-rata kurang dapat menunjukkan dispersi/disparitas. Hal ini dapat dijelaskan dengan perbedaan inflasi antara dua daerah yang berbeda dalam dua periode namun mempunyai nilai rerata yang sama. Beck & Weber (2005) mencontohkannya dengan dua region yang mempunyai tingkat inflasi masing-masing 1% dan 3% pada suatu periode. Kemudian dispersi kedua region tersebut membesar karena adanya perbedaan kebijakan belanja dan shock eksternal, sehingga menyebabkan tingkat inflasi masing-masing negara menjadi 0% dan 4%. Meskipun dispersi tingkat inflasi kedua negara tersebut membesar, namun masih mempunyai rerata yang sama yaitu 2%. Hal ini dapat menciptakan situasi yang sangat problematik. Dimana satu daerah terancam deflasi dan dengan demikian membutuhkan kebijakan ekspansif, sedangkan daerah lainnya membutuhkan kebijakan kontraktif. Oleh karena itu unit root test hanyalah sebagai alat untuk mengkonfirmasi telah terjadinya konvergensi inflasi di Indonesia secara stokastik, namun tidak dari segi penyebarannya. Perhitungan konvergensi sigma menggunakan standar deviasi (π) dari inflasi tahunan (year on year), dengan persamaan sebagai berikut : 1
ππ‘2 = π βπ Μ
π‘) π=1(ππ,π‘ β π
2
(3.4)
dimana ππ‘2 adalah varian pada periode t, N adalah jumlah observasi, ππ,π‘ adalah inflasi daerah i pada waktu t, πΜ
π‘ merupakan rerata inflasi cross section dalam periode t. Sigma convergence mempuyai null hypothesis (π»0 : ππ‘ β€ ππ‘+π ) dan alternative hypothesis (π»1 : ππ‘ > ππ‘+π ). 3.1.3. Absolute Beta Convergence Uji Absolute beta convergence, dilakukan dengan persamaan yang digunakan oleh Beck & Weber (2005), yaitu: βππ,π‘ = Ξ± + πππ,π‘β1 + π’π,π‘
(3.5)
ππ,π‘ = πΌ + (1 β π½)ππ,π‘β1 + π’π.π‘
(3.6)
atau :
dimana βπ½ = π dan 0 < π½ < 1 atau β1 < π < 0 untuk konvergensi absolut. Semakin besar π½, maka semakin cepat konvergensi yang terjadi. Sementara Ξ± adalah konstan. Null hypothesis (π»0 : π β₯ 0), sedangkan alternative hypothesis (π»1 : π < 0). Sesuai dengan pernyataan Sala-i Martin (1996) bahwa, Ξ²-convergence merupakan syarat perlu untuk Οconvergence. Dua hal yang perlu diperhatikan antara lain : Pertama, bahkan ketika persamaan turunan pertama untuk evolusi dari Ο yang stabil (terjadi Ο-convergence) dispersi dapat terjadi dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi ketika dispersi berada di bawah nilai steady state. Kedua, Ξ²-convergence tidak selalu berarti Ο-convergence, karena Ξ²-
13
convergence bukan syarat cukup untuk Ο-convergence. Hal ini terjadi karena adanya βleap-froggingβ, seperti yang biasanya terjadi pada inflasi bahan makanan sebagai akibat volatilitas yang tinggi. Absolute beta convergence diestimasi dengan menggunakan metode OLS. 3.2. Phillips Curve Estimation Sesuai dengan yang telah disebutkan pada bagian pendahuluan dan tinjauan literatur, karena estimasi absolute beta convergence dapat menimbulkan hasil estimasi dengan persistensi inflasi yang terlalu tinggi (substantial overestimation) dan tidak mempunyai muatan ekonomi apabila tidak menggunakan Phillips curve, maka dilakukan estimasi conditional beta convergence sesuai dengan literatur ekonomi yaitu Phillips Curve. Dalam beberapa literatur mengenai Phillips curve terdapat berbagai macam pendekatan, baik untuk indikator siklus yang terdapat pada traditional Phillips curve maupun marginal cost yang terdapat pada NKPC (Roeger & Herz, 2012). Rudd & Whelan (2005) menggunakan labor share income untuk melakukan analisis Phillips curve. Sementara Vaona (2007) menggunakan unemployment untuk mengestimasi traditional Phillips Curve, sedangkan output gap dan real unit labor cost (RULC) untuk mengestimasi New Keynesian Phillips Curve. Sementara itu DanisΜkovaΜ & Fidrmuc (2011) menggunakan output gap dan real unit labor cost (RULC) untuk mengestimasi dinamika inflasi. Dengan asumsi bahwa dalam rentang periode (2000-2012) telah terbukti adanya konvergensi inflasi, maka untuk melakukan estimasi conditional beta convergence yang memerlukan variabel selain inflasi (yaitu output gap) penulis menggunakan data dengan frekuensi tahunan. Selanjutnya karena (3.6) sebagai persamaan beta convergence juga mengestimasi independent variable selain predetermine variable, ππ,π‘β1 , maka persamaan tersebut akan berubah dari absolute menjadi conditional beta convergence. Dengan demikian persamaan tersebut menjadi : ππ,π‘ = πΌ + (1 β π½)ππ,π‘β1 + ππ₯π,π‘ + π’π.π‘
(3.7)
dimana π₯π,π‘ adalah independent variable. Jika π₯π,π‘ adalah output gap atau π₯π,π‘ = πππππ‘ β πππΜ
ππ‘ dan pergerakan inflasi diasumsikan secara penuh dipengaruhi oleh independent variable (intercept=0), maka persamaan menjadi : ππ,π‘ = (1 β π½)ππ,π‘β1 + π(πππππ‘ β πππΜ
ππ‘ ) + π’π.π‘
(3.8)
Persamaan tersebut sama dengan persamaan accelerationist Phillips curve (APC), dimana terdapat asumsi bahwa terjadi trade off antara inflasi dengan output (Romer, 2012). Menurut asumsi model APC, agar inflasi tetap stabil, maka actual output harus sama dengan tingkat natural. Jika actual dan natural output sama (output gap sama dengan nol), maka tingkat inflasi akan sesuai dengan tingkat inflasi pada periode sebelumnya
14
(sustainable). Karena terdapat parameter pada variabel ππ,π‘β1, maka asumsi model menjadi : inflasi periode (t) dipengaruhi oleh inflasi periode sebelumnya (t-1) dan penurunan tingkat inflasi mensyaratkan kondisi dimana actual output berada di bawah tingkat output natural/potensial. Selanjutnya persamaan dimaksud kemudian dapat diubah kembali menjadi : βππ,π‘ = πππ,π‘β1 + π(πππππ‘ β πππΜ
ππ‘ ) + π’π,π‘
(3.9)
Seiring dengan perubahan persamaan tersebut terdapat pula perubahan asumsi, yaitu inflasi pada periode t-1 berpengaruh negatif terhadap perubahan (β) inflasi sedangkan output gap berpengaruh positif terhadap perubahan (β) inflasi. Null hypothesis (H_0 : Ξ»β€0), sedangkan alternative hypothesis (H_1 : Ξ»>0). Estimasi persamaan conditional beta convergence dilakukan dengan menggunakan metode OLS. Setelah estimasi regresi persamaan Phillips curve penulis melakukan uji hipotesis dua rerata (two mean) untuk mengetahui signifikansi perbedaan koefisien konvergensi. Disamping itu, penulis juga melakukan f-test untuk mengetahui signifikansi pengaruh variabel output gap terhadap dependent variable (perubahan inflasi). 3.3. Spatial Effect Estimation Mengingat salah satu tujuan penelitian ini adalah memperhitungkan/mengestimasi hubungan (ketergantungan & spillover effect) antar daerah atau propinsi di Indonesia, maka penulis akan menggunakan variabel spasial yang merupakan perkalian variabelvariabel (dependent & independent) dengan matriks bobot spasial. Oleh sebab itu, sebelum melakukan estimasi spasial penulis terlebih dahulu membentuk matriks bobot spasial (spatial weight matrix) berdasarkan jarak dan daerah tetangga terdekat (k-nearest neighbour). Kemudian, seperti halnya Ramajo, MaΜ rquez, Hewings, & Salinas (2005), penulis akan membagi jarak pada software geografi (OpenGeoDa 1.2.0) yang penulis gunakan menjadi 4 tahap (terdekat hingga terjauh), sedangkan untuk k-nearest neighbour penulis akan menggunakan k=5,10,15, & 20. Adapun alasan penggunaan matriks bobot spasial berdasarkan jarak dan tetangga terdekat pada penelitian ini disebabkan asumsi penulis terhadap kondisi geografi berbentuk kepulauan negara Indonesia yang kurang dapat difasilitasi oleh matriks bobot spasial berdasarkan persentuhan/hubungan (contiguity). Setelah matriks terbentuk, pertama-tama penulis akan melakukan Moran's I test pada residual model conditional beta convergence seperti yang dilakukan oleh MagalhΓ£es, Hewings & Azzoni (2000) dan Ramajo, Marquez, Hewings, & Salinas (2008). Langkah ini bertujuan untuk mendeteksi adanya spatial autocorrelation dalam residu model sebagai indikasi belum dikontrolnya efek spasial (spatial bias). Selanjutnya, dengan terbuktinya spatial bias pada model beta convergence, maka penulis akan mengestimasi
15
model tersebut dengan Spatial Durbin Model. Model tersebut bertujuan untuk menangkap atau mengetahui ketergantungan (dependence)/hubungan spasial (spatial relationship) yang tidak hanya terdapat pada dependent variable, tetapi juga terdapat pada independent variables (Bekti, Rahayu, & Sutikno, 2013). Dengan demikian rumus yang akan digunakan pada analisis spasial ini adalah sebagai berikut : βππ,π‘ = πΌ + πππ,π‘β1 + πΎ(πππππ‘β1 β πππΜ
ππ‘β1 ) + ππβππ,π‘ + ππππ,π‘β1 + πΏπ(πππππ‘β1 β πππΜ
ππ‘β1 ) + ππ,π‘
(3.10)
Keterangan : π
= Spatial Weight
π
= Error term (π ~ π(0ππ₯1 , π 2 πΌπ )
π, π, πΏ
= Parameter spatial variable
Persamaan (3.9) memiliki null hypothesis (π»0 : π = π = πΏ = 0) sedangkan alternative hypothesis (π»1 : π β 0 atau π β 0 atau πΏ β 0). Untuk menjawab Research question ketiga yaitu pengaruh efek spasial terhadap konvergensi inflasi, maka setelah estimasi penulis akan melakukan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Estimasi LM dan Moran' s I test pada residual untuk memastikan spatial bias telah hilang dari spatial durbin model. 2. Estimasi t-test dan f-test masing-masing pada kedua rerata koefisien konvergensi dan residual model dengan metode OLS. T-test bertujuan mengetahui signifikansi perbedaan koefisien konvergensi yang dihasilkan model tanpa dan dengan variabel spasial. Sementara F-test bertujuan mengetahui joint significance variabel-variabel spasial pada model dengan membandingkan restricted dan unrestricted model. 3. Estimasi GMM pada model spasial dengan orthogonal deviation yang bertujuan menghilangkan bias estimasi (downward atau upward). Adapun estimasi konvergensi per periode dan half life (π‘ β ) pada persamaan tanpa dan dengan spatial variable (Spatial Durbin Model) bertujuan mengetahui laju konvergensi per periode dan waktu yang dibutuhkan untuk tercapainya setengah konvergensi (Dreger, Kholodilin, Lommatzsch, Slacalek, & Wozniak, 2008). Perhitungan laju konvergensi dapat dilakukan dengan persamaan : π = β ln(1 β π½) = βln(π + 1)
(3.11)
Sementara half life (π‘ β ) dapat dihitung dengan : π‘ β = βππ 0.5/π
(3.12)
Sehingga baik penulis maupun pembaca dapat membedakan hasil dari perhitungan model yang memberikan treatment berupa spatial variable (tidak spatial bias) dan tanpa spatial variable (asumsi setiap daerah independent).
16
4. Hasil dan Analisis Pada penelitian-penelitian sebelumnya mengenai konvergensi inflasi, opini masyarakat yang dimuat dalam surat kabar, maupun data yang tersedia menyebutkan (baik secara tersurat maupun tersirat) bahwa otonomi daerah merupakan penyebab dari terhambatnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berfluktuasinya inflasi di Indonesia. Inflasi yang tinggi dan tidak stabil baik pada level nasional maupun daerah pasca desentralisasi mengindikasikan kecenderungan divergensi inflasi. Faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan hal dimaksud antara lain kendala sinkronisasi dan harmonisasi regulasi atau peraturan Daerah dan Pusat. Akibatnya, proyek-proyek Pemerintah yang berpengaruh positif terhadap produksi dan distribusi komoditas tidak berjalan maksimal. Hal ini terutama dapat diamati pada hubungan harga bahan makanan sebagai sumber daya yang berasal dari daerah dan tidak dapat mengalami proses penumpukkan (perishable) terhadap inflasi umum. Melihat gambaran mengenai kondisi Indonesia tersebut, terdapat indikasi bahwa Indonesia berpotensi mengalami divergensi inflasi. Namun dengan memperhatikan indikator Balassa Samuelson effect yaitu produktivitas (GDP/worker) yang mengalami penurunan standar deviasi antar propinsi/daerah , maka penulis berasumsi bahwa terdapat kemungkinan bahwa inflasi Indonesia mengalami konvergensi karena adanya konvergensi harga. Asumsi tersebut juga diperkuat oleh kondisi Indonesia yang mendukung terjadinya Law of One Price dan PPP. Menurut pengamatan penulis, salah satu alasan penyebab terjadinya deviasi pada harga beberapa daerah adalah gangguan pada distribusi yang disebabkan faktor-faktor infrastruktur. 20.5 20.0 19.5 19.0
trend line
18.5 18.0 17.5 2002
2004
2006
2008
2010
2012
Gambar 4.1. Standar Deviasi Produktivitas Indonesia Sumber : BPS, telah diolah kembali
Melalui serangkaian proses uji konvergensi terbukti bahwa Indonesia mengalami konvergensi. Konvergensi tersebut antara lain konvergensi stokastik, sigma, dan beta. Konvergensi stokastik menandakan bahwa inflasi di Indonesia mempunyai perilaku (revert to mean) atau kembali ke rata-rata setelah shock. Hal ini ditunjukkan oleh rho secara keseluruhan (pooled) estimasi unit root test Levin, Lin & Chu (2002) yang bernilai negatif (-0.117). Sementara secara individual nilai setiap koefisien rho propinsi yang
17
berbeda-beda mulai dari yang terkecil yaitu -0,270 sampai dengan yang terbesar yaitu 0,037 menunjukkan bahwa kemampuan inflasi tiap propinsi untuk kembali ke tingkat rerata berbeda-beda. Namun hal yang perlu dicermati adalah inflasi seluruh propinsi di Indonesia memiliki kemampuan untuk terkonvergensi stokastik. Hal ini selanjutnya akan bermanfaat pada kestabilan ekonomi baik makro maupun mikro. Konvergensi sigma merupakan kondisi bersatunya inflasi antar propinsi di Indonesia ke dalam besaran yang sama. Konvergensi ini menutup kekurangan pada pengamatan konvergensi stokastik yang luput melihat gap inflasi antara propinsi dan benchmark karena hanya menguji rata-rata. Perilaku ini paling jelas terlihat pada kondisi after shock inflasi, yaitu shock kebijakan pemotongan subsidi BBM (2005 dan 2008). Pada tahun 2005 bulan Oktober dan tahun 2006 bulan Januari merupakan inflasi dengan disparitas inflasi terbesar dengan standar deviasi masing-masing sebesar 4,23 dan 4,25 (lihat gambar 4.2). Hal ini antara lain disebabkan terdapat dua shock yang bersamaan dalam satu tahun sehingga menimbulkan ekspektasi inflasi yang tinggi di masyarakat. Kondisi ini bertolak belakang dengan shock di tahun 2008 yang setelah mengalami kenaikan harga BBM kemudian mengalami penurunan. Shock pada disparitas tahun tersebut lebih pendek dan lebih landai daripada shock pada tahun 2005. Kedua shock ini selain menunjukkan bahwa kenaikan subsidi berefek terhadap disparitas inflasi antar propinsi di Indonesia, hal ini juga menunjukkan bahwa kecepatan rambat efek shock inflasi terhadap tiap propinsi berbeda-beda. Jenis konvergensi ini berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi karena berpeluang pemerataan kesejahteraan masingmasing daerah. 4.5 4.0
3.5
Οt
Οt+T
3.0 2.5 2.0
1.5 1.0 Jan-00
Jan-03
Jan-06
Jan-09
Jan-12
Gambar 4.2. Standar Deviasi/Sigma Convergence Inflasi antar Daerah di Indonesia Sumber : BPS, telah diolah kembali
Konvergensi beta absolut merupakan pelengkap dari kedua tes konvergensi yang telah disebutkan. Berbeda dengan kedua konvergensi yang melihat hubungan konvergensi antar propinsi (konvergensi stokastik melalui selisih inflasi propinsi dengan benchmark, sementara konvergensi sigma melalui standar deviasi inflasi antar propinsi), konvergensi beta absolut mengawasi laju konvergensi umum tiap propinsi sehingga tampak lebih bersifat individual. Dari hasil estimasi absolute beta convergence
dengan data
18
berfrekuensi bulanan menunjukkan bahwa konvergensi beta terjadi pada propinsi di Indonesia, dengan laju konvergensi setiap bulannya sebesar 0,181 dan half life (t*) adalah 45,92 bulan atau 3,83 tahun. Hasil perhitungan tersebut berasal dari koefisien konvergensi yang sebesar -0,1657. Namun, perhitungan ini tidak hanya bertentangan dengan literatur tetapi juga cenderung bias karena hanya mengestimasi inflasi dengan tingkat awalnya saja, sehingga lebih terkesan sebagai ex-post analysis. Oleh karena itu, penulis melakukan estimasi beta convergence dengan menggunakan Phillips Curve. Pada model awal Phillips Curve yaitu persamaan (3.8) tampak bahwa output gap berpengaruh negatif terhadap perubahan inflasi. Tetapi setelah pengujian dengan menggunakan lagged output gap (Clements & Sensier, 2003; Turner, 1995), maka terbukti bahwa output gap tidak secara simultan berpengaruh terhadap inflasi pada tahun yang sama, melainkan baru berpengaruh pada tahun berikutnya. Kondisi ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Roeger & Herz (2012) atau Ariefianto (2012) mengenai lagged response atau fenomena Cobweb (Cobweb phenomena). Perubahan persamaan (3.8) yang semula menggunakan output gap hingga menggunakan lagged output gap sebagai independent variable adalah sebagai berikut : βππ,π‘ = Ξ± + πππ,π‘β1 + π(πππππ‘ β πππΜ
ππ‘ ) + πΎ(πππππ‘β1 β πππΜ
ππ‘β1 ) + π’π,π‘
(4.1)
βππ,π‘ = Ξ± + πππ,π‘β1 + πΎ(πππππ‘β1 β πππΜ
ππ‘β1 ) + π’π,π‘
(4.2)
Hasil estimasi Phillips curve menunjukkan bahwa setiap tingkat output gap berpengaruh positif sebesar 7,67% terhadap perubahan inflasi tahun berikutnya. Sementara setiap peningkatan inflasi tahun sebelumnya berpengaruh negatif sebesar 0,93% terhadap perubahan inflasi tahun berikutnya. Sementara apabila tidak terjadi inflasi dan tingkat output gap adalah nol, maka inflasi tahun berikutnya akan mengalami perubahan inflasi sebesar 7,58%. Dengan demikian, tingkat output gap positif yang menunjukkan kenaikan marginal cost akibat peningkatan permintaan akan berpengaruh pada kenaikan inflasi tahun berikutnya, yaitu melalui mark-up harga komoditas, kenaikan biaya transportasi, dan biaya publik (tarif, perijinan dsb) yang ditetapkan pada periode berikutnya. Sementara tingkat inflasi akan berpengaruh negatif terhadap perubahan inflasi periode berikutnya. Semakin besar tingkat inflasi, maka terdapat kecenderungan inflasi pada tahun berikutnya semakin rendah karena perubahan inflasi semakin kecil atau negatif. Salah satu faktor yang menyebabkan hal ini adalah penyesuaian demand and supply terhadap shock.
19
Tabel 4.1. Ringkasan Hasil Estimasi Persamaan Pembuktian Phillips Curve dengan Data Tahunan Variabel
Persamaan 3.5
3.9
4.1
4.2
effect
Random Period
Random Period
Random Period
Random Period
π
7,647***
7,601***
7,521***
7,577***
(6,670)
(6,036)
(5,249)
(5,843)
-0,934***
-0,930***
-0,935***
-0,939***
(-20,086)
(-19,252)
(-18,095)
(-18,876)
-2,612
-6,063
(-0,648)
(-1,413)
π π πΈ
10,463**
7,667*
(2,496)
(1,964)
Adjusted πΉπ
0,495
0,493
0,487
0,486
Durbin-Watson
2.057
2.053
2.025
2.015
π : Speed of
2,712
2,662
2,738
2,794
3,068
3,125
3,038
2,977
convergence πβ : half life (tahun)
Keterangan : *,**,*** mendenotasikan p-value/signifikasi pada (10%, 5%, 1%), ( ) adalah t-values, semua persamaan menggunakan period random effect sesuai Hausman test.
Berdasarkan hasil f-test yang menolak H0 mengindikasikan bahwa variabel output gap berperan signifikan terhadap dependent variable (perubahan inflasi). Contoh dari pengaruh Phillips curve terhadap perubahan inflasi adalah output gap propinsi Aceh pada tahun 2003 yang mencapai 1,53. Hal ini antara lain disebabkan puncak produksi gas PT Arun yang terjadi pada tahun tersebut, yaitu sebanyak 115 kargo atau setara 6,5 juta ton Liquefied Natural Gas (LNG). Dalam PDRB peningkatan produksi ini tercatat pada subsektor minyak mentah dan gas alam yang mencapai nilai Rp 14,36 trilyun. Besarnya capaian PDRB dibandingkan dengan trennya menyebabkan output gap yang tinggi pada tahun tersebut. Pengaruh dari tingkat output gap tinggi tersebut belum menampakkan pengaruhnya pada inflasi tahun berjalan (2003) yang hanya mencapai 4,29%(yoy), tetapi terlihat efeknya ditahun 2004 yaitu inflasi yang mencapai 7,99%(yoy). Pada model Phillips curve half life (t*) adalah sebesar 2,98 tahun atau lebih cepat dari estimasi absolute beta convergence. Hal ini disebabkan output gap sebagai disequilibrating mechanism telah dikontrol pada model tersebut. Sehingga laju konvergensi inflasi telah bersih dari pengaruh output gap. Dengan melakukan uji hipotesis dua rata-rata pada koefisien konvergensi model absolute beta convergence dan conditional beta convergence (Phillips Curve) penulis mengetahui bahwa perbedaan kedua koefisien tersebut adalah signifikan karena menolak H0. Oleh sebab itu dapat dinyatakan bahwa output gap berpengaruh terhadap konvergensi inflasi. Model spasial inflasi bertujuan untuk menangkap efek spasial daerah tetangga terhadap perubahan inflasi daerah utama. Spatial Durbin Model yang memasukkan spatial variable (dependent dan independent variable dikali dengan bobot spasial) cukup dapat
20
menangkap hampir seluruh efek spasial yang terdapat pada model. Hal ini dibuktikan dengan hasil LM dan Moranβs I test pada model dengan bobot spasial jarak kuartil kedua yang menunjukkan bahwa model telah telah terbebas dari efek spasial. Meskipun model dengan bobot spasial 10 tetangga terdekat masih mengalami spatial bias yang diindikasikan oleh penolakan null hyphotesis baik menurut LM test maupun Moran's I test. Sementara itu, apabila dilakukan perbandingan goodness of fit (Adjusted R2) pada model dengan metode pooled regression, maka dapat dinyatakan bahwa model Spatial Durbin Phillips Curve dapat menjelaskan pergerakan inflasi lebih baik dibandingkan dengan model Phillips Curve (tanpa variabel spasial). Hal ini dapat dilihat pada nilai Adjusted R2 model Phillips Curve dan Spatial Durbin Phillips Curve yang masing-masing sebesar 0,49 dan 0,90. Dari ketiga indikator tersebut penulis dapat menyatakan bahwa model Spatial Durbin Phillips Curve lebih sedikit mengalami bias akibat omitted variable dibandingkan dengan model Phillips Curve. Sementara itu, estimasi model spatial durbin dengan GMM orthogonal deviation bertujuan untuk mengatasi up-ward (down-ward) bias. Dari hasil estimasi dengan ketiga model penulis menemukan bahwa pada metode pooled model cenderung mengalami down-ward bias, sementara pada metode fixed-effect model cenderung mengalami upward bias. Hal tersebut terlihat pada besar (absolut) koefisien variabel pada model-model tersebut. Disamping itu, pengaplikasian GMM juga mendukung estimasi yang wajar terhadap laju konvergensi. Hal ini tampak pada koefisien lag inflasi model fixed effect yang mempunyai nilai lebih besar dari satu. Hasil estimasi model spasial menunjukkan bahwa daerah tetangga cenderung signifikan untuk memberikan efek positif atau spillover effect terhadap dependent variable daerah utama. Dengan demikian pergerakan setiap variable (inflasi dan output gap) pada daerah tetangga berbanding lurus terhadap perubahan inflasi daerah utama. Berdasarkan hasil estimasi GMM pada model spasial dengan bobot jarak : kuartil kedua, setiap peningkatan output gap daerah tetangga berpengaruh sebesar 8,14% terhadap perubahan inflasi daerah utama pada tahun berikutnya. Besar pengaruh tersebut masih lebih kecil dan tidak lebih signifikan dari pengaruh peningkatan output gap daerah observasi utama itu sendiri pada perubahan inflasi tahun berikutnya yang sebesar 8,41%. Sementara itu, perubahan inflasi dan lag inflasi daerah tetangga masing-masing berpengaruh sebesar 1,045% dan 1,002% terhadap perubahan inflasi daerah utama. Hal ini mengindikasikan bahwa pergerakan inflasi daerah tetangga berpengaruh cukup besar terhadap inflasi daerah utama. Sehingga, apabila suatu daerah mengalami inflasi yang tinggi, maka akan berpengaruh terhadap daerah tetangganya sesuai dengan bobot spasial daerah tersebut terhadap daerah tentangganya. Kondisi ini dapat dicontohkan pada saat
21
terjadi bencana alam gempa bumi di Sumatera Barat tanggal 30 September 2009. Pada bulan berikutnya inflasi Sumatera Barat tercatat sebesar 4,37%(yoy), sedangkan inflasi propinsi sekitarnya yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Bengkulu masingmasing mengalami inflasi sebesar 5,12% (yoy), 3,58% (yoy), 2,44% (yoy), 2,99% (yoy), dan 3,47% (yoy). Tingkat inflasi propinsi tetangga yang cenderung tinggi mengikuti kondisi inflasi Sumatera Barat sebagai daerah observasi utama, tidak ditunjukkan oleh inflasi propinsi-propinsi di Jawa pada saat yang sama. Inflasi propinsi-propinsi seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Banten masing-masing adalah sebesar 2,33%(yoy), 1,66%(yoy), 2,89%(yoy), 2,56%(yoy), 2,46%(yoy), dan 2,75%(yoy) dengan rata-rata 2,44. Situasi ini menunjukkan adanya hubungan antar daerah yang diakibatkan faktor geografi atau efek spasial. Perbedaan laju konvergensi dan half life masing-masing model baik tanpa maupun dengan memperhitungkan efek spasial adalah berasal dari perbedaan koefisien konvergensi model yaitu parameter dari lag inflasi. Semakin besar (dalam negatif) koefisien konvergensi maka semakin cepat laju konvergensi, oleh sebab itu semakin cepat konvergensi tercapai. Pada model yang belum mengontrol efek spasial (Phillips curve) nilai koefisien konvergensi tampak lebih besar, karena belum terbebas dari pengaruh spillover effect daerah tetangga. Sementara model yang telah mengontrol efek spasial (Spatial Durbin Phillips Curve) memiliki nilai koefisien konvergensi lebih rendah, karena telah bersih dari spillover effect daerah tetangga. Pada model Spatial Durbin Phillips Curve dengan bobot spasial jarak pada kuartil kedua yang diestimasi sesuai metode GMM orthogonal deviation menunjukkan bahwa laju kecepatan konvergensi adalah sebesar 2,6 kali per periode, sementara half life konvergensi baru dapat tercapai dalam waktu 3,2 tahun. Estimasi f-test yang dapat menolak null hyphotesis pada confidence level 95% atau tingkat signifikansi 5% mengindikasikan bahwa spatial variables berperan signifikan terhadap dependent variable (perubahan inflasi). Sementara itu, estimasi t-test yaitu uji hipotesis dua rata-rata (two mean) yang menunjukkan bahwa null hyphotesis dapat ditolak pada confidence level 95% atau tingkat signifikansi 5% membuktikan bahwa perbedaan antara dua koefisien konvergensi yaitu Phillips curve dan Spatial Durbin Phillips curve adalah signifikan. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa spatial variables berpengaruh terhadap konvergensi inflasi. Karena tanpa memperhitungkan efek spasial (Phillips curve) dan dengan memperhitungkan efek spasial (Spatial Durbin Phillips Curve) dapat menciptakan perbedaan yang signifikan pada hasil estimasi konvergensi model. Dengan mengetahui pengaruh efek spasial terhadap laju konvergensi inflasi, maka penulis berharap pengukuran koefiesien konvergensi dapat lebih akurat. Disamping itu, hal ini
22
juga membuktikan bahwa pengikutsertaan variabel spasial dalam estimasi merupakan sebuah kemajuan dalam permodelan Phillip Curve. Tabel 4.2. Ringkasan Hasil Estimasi Spatial Durbin Model Variabel
Distance weights matrices : Kuartil 2 Pooled
GMM
πΆ π πΈ π π πΉ
Fixed Effect
Binary matrices k - nearest neighbour : k=10 Pooled
GMM
-0,505
-0,398
(-1,47)
(-1,19)
-0,913***
-0,925***
-1,009***
-0,904***
-0,902***
-1,001***
(-18,38)
(-47,83)
(-19,42)
(-18,28)
(-37,50)
(-19,30)
8,517**
8,412***
8,259**
9,344**
8,911***
9,185**
(2,24)
(7,49)
(2,19)
(2,49)
(7,50)
(2,46)
1,023***
1,045***
1,051***
1,016***
1,034***
1,040***
(52,46)
(99,59)
(38,29)
(53,40)
(126,48)
(38,63)
0,938***
1,002***
1,095***
0,930***
0,968***
1,077***
(17,79)
(43,79)
(15,70)
(17,67)
(45,18)
(15,61)
3,592
8,135**
8,686
0,592
6,914**
4,423
(0,29)
(2,42)
(0,69)
(0,05)
(2,03)
(0,36)
0,902
0,902
2,012
1,998
Adjusted πΉπ
0,900
Durbin-Watson
1,995
0,904 2,002
J-statistic
26,728
26,661
J-statistic p-value
0,268
0,271
Instrument rank
28
28
π : Speed of convergence πβ : half life (tahun)
Fixed Effect
2,448
2,596
2,348
2,323
3,398
3,204
3,543
3,581
Keterangan : *,**,*** mendenotasikan p-value/ signifikansi pada (10%, 5%, 1%). Sementara angka dalam ( ) adalah t-values.
Secara empiris pengaruh spasial (spatial effect/spatial dependence) telah terbukti mempengaruhi laju konvergensi inflasi antar propinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukannya keterkaitan dalam bentuk kerjasama antar propinsi untuk mengendalikan inflasi. Oleh sebab itu perlu diciptakannya suasana yang kondusif antar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam rangka mendukung terlaksananya program-program Pemerintah terutama yang berkaitan dengan infrastruktur. Hal ini bertujuan memperlancar distribusi dan mendukung proses produksi agar berjalan lebih optimal. 5. Simpulan Dari hasil uji konvergensi baik unit root test, sigma convergence, maupun beta convergence diketahui bahwa terjadi konvergensi inflasi di Indonesia. Dengan demikian, hasil penelitian ini memberikan hasil yang berbeda dari penelitian Wimanda (2006) yang menyatakan bahwa inflasi di Indonesia cenderung untuk divergen. Salah satu penyebab
23
utama terjadinya perbedaan hasil dari kedua penelitian adalah efek pasca krisis akibat amplitudo krisis yang berbeda antara dua periode penelitian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Silalahi dan Chawwa (2011), bahwa amplitudo krisis tahun 2008/2009 lebih kecil (25,2%) dari pada krisis tahun 1997/1998 (150,4%). Di samping itu, inflation targeting framework yang memberikan kontribusi positif dua arah terhadap konvergensi inflasi di Indonesia, baru mulai dikoordinasikan antara Pemerintah dan Bank Indonesia secara efektif pada tahun 2005 (Bank Indonesia, 2013). Di satu sisi pelaksanakan ITF memberikan kontribusi positif terhadap kebijakan pengendalian inflasi melalui forum yang menghubungkan Bank Sentral dan Pemerintah. Di sisi lain konvergensi inflasi mendukung tercapainya sasaran inflasi yang pada gilirannya dapat meningkatkan kredibilitas Bank Sentral. Peran ITF ditandai dengan pergerakan inflasi yang terus mengalami penurunan dan semakin stabil sejak tahun 2005. Secara keseluruhan, persamaan yang penulis gunakan adalah Phillips Curve dengan tambahan spatial variable sebagai pendekatan efek spasial yang dialami daerah-daerah di Indonesia. Hubungan output gap dan inflasi yang sesuai dengan Phillips Curve memberikan landasan teoritis dan menghindari (substantial overestimation) pada model. Dari hasil estimasi yang penulis lakukan, diketahui bahwa terdapat fenomena Cobweb atau lagged response inflasi terhadap output gap. Hal ini mengonfirmasi bahwa hubungan Philips curve (inflasi dan output gap) di propinsi-propinsi Indonesia adalah positif (lazim), tidak seperti yang dinyatakan oleh Gali Μ & Gertler (1999), Woodford (2001) dan Danis Μkova Μ & Fidrmuc (2011) bahwa hubungan inflasi dan output gap cenderung negatif. Hasil pengujian menunjukkan bahwa output gap berpengaruh terhadap konvergensi inflasi antar propinsi di Indonesia atau sesuai dengan hipotesis awal penelitian. Penambahan spatial variable sesuai dengan Spatial Durbin Model bertujuan menangkap omitted variable untuk menghindari spatial bias. Sementara penggunaan metode GMM bertujuan mengatasi down-ward (up-ward) bias yang dapat terjadi jika menggunakan metode pooled (fixed effect) regression. Dari hasil estimasi model terbaik, yaitu Spatial Durbin Phillips curve dengan bobot spasial jarak pada kuartil 2 dan metode estimasi GMM orthogonal deviation, laju konvergensi adalah sebesar 2,6 kali per periode dan setengah waktu yang diperlukan untuk menghilangkan efek dari sebuah shock (half life) adalah 3,2 tahun. Sementara laju konvergensi model tanpa perhitungan efek spasial yang menafikan spillover dari daerah tetangga adalah sebesar 2,8 kali per periode. Kecepatan laju konvergensi inflasi Indonesia masih tergolong lambat apabila dibandingkan dengan negara-negara Euro yang mempunyai half life (11,2 bulan) (Busetti, Forni,Harvey, & Vendittia, 2007). Sementara itu, berdasarkan hasil t-test uji hipotesis dua rata-rata (two mean) dapat dinyatakan bahwa, sesuai dengan hipotesis penelitian efek
24
spasial terbukti berpengaruh terhadap konvergensi inflasi antar daerah atau propinsi di Indonesia. Melalui serangkaian prosedur pengujian, penulis telah membuktikan bahwa dengan memperhitungkan efek spasial, maka model akan memberikan hasil yang lebih akurat (terhindar dari bias) dalam estimasi pergerakan inflasi. Oleh sebab itu, penulis menyarankan kepada Pemerintah selaku pengambil kebijakan untuk memperhitungkan efek spasial dalam merumuskan berbagai kebijakan. Kebijakan dimaksud tidak hanya terbatas pada inflasi, melainkan seluruh aspek pembangunan seperti pertumbuhan ekonomi, ketenagakerjaan, demografi, dan sebagainya. Dengan demikian, kebijakan yang akan dihasilkan tidak spatially blind (memperhitungkan aspek geografis) atau place-based policy. Hal ini bertujuan untuk lebih mengoptimalkan peran Pemerintah dalam mengarahkan laju perekonomian. Sementara itu, apabila membandingkan laju konvergensi inflasi Indonesia dengan negara lain, dapat dilihat bahwa negara-negara dengan infrastruktur yang baik seperti Euro memiliki laju konvergensi inflasi yang lebih cepat. Oleh sebab itu, terhambatnya proyekproyek Pemerintah yang berpengaruh positif terhadap produksi dan distribusi komoditas (terutama infrastruktur) perlu mendapat perhatian khusus oleh Pemerintah. Sebab divergensi inflasi pada gilirannya dapat menyebabkan welfare losses yang diderita masyarakat. Risiko dari hal ini dapat berupa peningkatan kriminalitas, konflik sosial, militer, hingga pemberontakan. Seperti halnya propinsi Aceh yang sempat mengalami darurat militer pada tahun 2003-2004, padahal saat tersebut juga merupakan puncak dari produksi gas alam PT. Arun. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, tentu dibutuhkan dukungan data daerah-daerah di Indonesia yang lebih luas cakupannya, lebih tinggi frekuensinya dan lebih panjang periodenya. Sebab menurut pengalaman pribadi, penulis menemui kesulitan dalam pencarian variabel yang tepat untuk memprediksi pergerakan inflasi akibat ketersediaan data daerah yang sangat terbatas. Sehingga penulis hanya mampu menggunakan data dengan frekuensi tahunan untuk output gap. Oleh karena itu, penulis menyarankan Pemerintah (BPS) untuk bekerja lebih giat dalam mengumpulkan data dalam rangka menunjang penelitian-penelitian data panel daerah. Sementara itu, pada penelitian selanjutnya, penulis menyarankan untuk menggunakan pengangguran (unemployment) dan real unit labor cost (RULC) sebagai pendekatan marginal cost. Karena menurut penelitian Vaona (2007) pengangguran merupakan pendekatan marginal cost yang lebih baik dibandingkan output gap. Sementara penggunaan RULC dianjurkan karena dapat lebih menangkap real business cycle bila frekuensinya yang lebih tinggi dibandingkan data PDRB.
25
Daftar Pustaka Afzal, M. and Awais, Samia. 2012. Inflation-unemployment trade off: Evidence from Pakistan. Journal of Global Economy, Volume 8, No. 1. http://www.rcssindia.org/main/online/files/journals/1/articles/4/public/4-26-1-PB.pdf Anselin, L. 2010.Thirty years of spatial econometrics. Papers in Regional Science, Volume 89, Number 1, 3-25. http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.14355957.2010.00279.x/abstract;jsessionid=AC56F5CB98AD75C8038C87D3D5413B51.f0 1t02 Anselin, L., Bera, Anil K., Florax, R., and Yoon, Mann J. (1996). Simple diagnostic tests for spatial dependence. Regional Science and Urban Economics 26, 77-104. 1996. Anselin, L., Gallo, Julie L., and Jayet, Hubert. (2008). Spatial Panel Econometrics. The Econometrics of Panel Data, Volume 46, 625-660. 2008. Ariefianto, Moch. Doddy (2012). Ekonometrika : esensi dan aplikasi dengan menggunakan Eviews. Jakarta : Erlangga. Arimurti, T. & Trisnanto, Budi. (2011). Persistensi inflasi di jakarta dan implikasinyaterhadap kebijakan pengendalian inflasi daerah. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 14, Nomor 1, 5-30. Backus, David K.and Kehoe, Patrick J. (1992). International evidence on the historical properties of business cycles. The American Economic Review, Vol. 82, No. 4, 864-888. Balassa, Bela. (1964). The purchasing power parity doctrine: A reappraisal. The Journal of Political Economy, Vol. 72, No. 6, 584-596. Ball, L.and Sheridan, Niam. (2004). Does inflation targeting matter? The InflationTargeting Debate, No. bern04-1, 249-282. Bank Indonesia. Juni 29, 2014. Barro, Robert. (1991). Economic growth in a cross section of countries. The Quarterly Journal of Economics, Vol. 106, No. 2, pp. 407-443. Barro, R. J. and Sala-i-Martin, Xavier. (1990). Economic growth and convergence across the united states. National Bureau Of Economic Research Working Paper, No. 3419. August, 1990. Barro, R. J. and Sala-i-Martin, Xavier. (1991). Convergence across states and regions. Brookings Papers on Economic Activity 1, 107-182. Barro, R. J. and Sala-i-Martin, Xavier. (1992). Convergence. Journal of Political Economy, 100(2) , 223-251.
26
Baumol, W. (1986). Productivity growth, convergence, and welfare : what the long-run data show. American Economic Review, Vol. 76, No. 5, 1072-1085. Beck, Guenter W., Hubrich, K., & Marcellino, Massimiliano. (2009). Regional inflation dynamics within and across euro area countries and a comparison with the United States. Economic Policy, Volume 24, Issue 57, 141β184. Beck, Guenter W. & Weber Axel A. (2005). Price stability, inflation convergence and diversity in EMU: does one size fit all? Center for Financial Studies, Working Paper No. 2005/30. Bekti, R. D., Rahayu, A., & Sutikno. (2013). Maximum likelihood estimation for spatial durbin model. Journal of Mathematics and Statistics, Vol. 9, Issue 3. Bernanke, Ben S. & Mishkin, Frederic S. (1997). The journal of economic perspectives, Vol. 11, No. 2, pp. 97-116 Busetti, F., Forni, L., Harvey, A., & Venditti, Fabrizio. (2007). Inflation convergence and divergence within the european monetary union. International Journal of Central Banking, Volume 3, Issue 2, 95-121. Cecchetti, Stephen G., Mark, Nelson C., & Sonora, Robert J. (2002). Price Index Convergence Among United States Cities. International Economic Review, Vol. 43, No. 4, 1081-1099. Clements, Michael P. & Sensier, Marianne. (2003). Asymmetric output-gap effects in Phillips Curve and mark-up pricing models : Evidence for the US and the UK. Scottish Journal of Political Economy, Vol. 50, No. 4, 359-374. DanisΜkovaΜ , KatariΜna & Fidrmuc, Jarko. (2011). Inflation convergence and the new keynesian phillips curve in the czech republic. AUCO Czech Economic Review, Vol. 5, No. 2, 99β11. Dreger, C., Kholodilin, K., Lommatzsch, K., Slacalek, J., & Wozniak, Przemyslaw. (2008). Price convergence in the enlarged internal market. Eastern European Economics, Volume 46, Number 5, 57-68. September - October, 2008. GeoDa Center, for Geospatial Analysis and Computation. (n.d.). https://geodacenter.asu.edu/node/390#sa. Gluschenko, Konstantin. (2004). The law of one price in the Russian economy. LICOS Discussion Papers, No. 152. 2004. Gluschenko, Konstantin. (2010). The law of one price in the Russian economy. Applied Econometrics, vol. 17, Issue 1, 3-19. Harmanta, Bathaluddin, M. B., & Waluyo, Jati. (2011). Inflation targeting under imperfect credibility based on ARIMBI (Aggregate Rational Inflation-Targeting Model for Bank
27
Indonesia);lessons from indonesian experience. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, Volume 13, Nomor 3, 281-318. Lesage, James P. (2008). An introduction to spatial econometrics. Revue DβE Μconomie Industrielle, Vol. nΒ° 123, Issue 3, 19-44. Trimestre, 2008. MagalhΓ£es, A., Hewings, Geoffrey J.D. & Azzoni, Carlos Roberto. (2000). Spatial dependence and regional convergence in Brazil. Investigaciones Regionales, Year 2005, Issue 6, 5-20. Mankiw, N. Gregory (2009). Macroeconomics (7th ed.). New York : Worth Publishers. Neumann, Manfred J. M., & von Hagen, JuΜ rgen. (2002). Does inflation targeting matter? Federal Reserve Bank of St. Louis Review, 127-148. Quah, Danny. (1993). Galtonβs Fallacy and Tests of the Convergence Hypothesis. Scandinavian Journal of Economics, Volume 95, Issue 4, 427-43. Rakyat Merdeka Online. July 28, 2013. http://ekbis.rmol.co/read/2013/07/28/120038/Proyek-MP3EI-Mangkrak-AkibatTabrakan-Aturan-Daerah-&-PusatRamajo, J., MaΜ rquez, Miguel A., Hewings, Geoffrey J. D., & Salinas, Maria M. (2008). Spatial heterogeneity and interregional spillovers in EU: Some evidence about the effects of cohesion policies on convergence. Volume 52, Issue 3, Pages 551β567. Romer, David. (2012). Advanced macroeconomics (4th ed.). New York : McGraw-Hill Irwin. Rudd, J. & Whelan, Karl. (2005). Does Laborβs Share Drive Inflation? Journal of Money, Credit and Banking, Volume 37, Issue 2, 297-312 Sala-i-Martin, Xavier. (1996). The classical approach to convergence analysis. The Economic Journal, Volume 106, No. 437, pp. 1019-1036. Samuelson, Paul A. (1964). Theoretical notes on trade problems. The Review of Economics and Statistics, Vol. 46, No. 2, 145-154. Singh, B. K., Kanakaraj, A., and Sridevi, T.O. (2010). Revisiting the empirical existence of the Phillips curve for India. Munich Personal RePEc Archive, Paper No. 31793, June 2011. Spiru, Alina M. (2008). Inflation convergence in Central and Eastern European economies. Romanian Economic and Business Review, Vol. 3, No. 4, 14-34. Winter 2008. Tobler, W. R. (1970). A computer movie simulating urban growth in the detroit region. Economic Geography, Vol. 46. Turner, Dave. (1995). Speed limit and asymmetric inflation effects from the output gap in the major seven economies, OECD Economic Studies, 24, 57-88.
28
Vaona, Andrea. (2007). Merging the purchasing power parity and the phillips curve literatures. International Regional Science Review, Vol. 30, No. 2, 152-172. Wibowo, Sasmito H. (2013, October 2) Personal conversation in sosialisasi kegiatan BPS tahun 2013 : IHK dan NTP tahun dasar 2012 at Lumire Hotel. (Recorded Voice Available by request). Wimanda, Rizki E. (2006). Regional Inflation in Indonesia:Characteristic, Convergence, and Determinants.Bank Indonesia Working Paper & Seminar Material, No. WP/13/2006. October, 2006. Wimanda, Rizki E. (2009). Inflation and Monetary Policy Rules:Evidence from Indonesia. Doctoral Thesis Department of Economics Loughborough University. December, 2009. Yu, J. & Lee, Lung-fei. (2012). Convergence: a spatial dynamic panel data approach. Global Journal of Economics, Vol. 1, No. 1. June, 2012.
29