MAKNA PERPUSTAKAAN SEKOLAH (STUDI FENOMENOLOGI TENTANG MAKNA PERPUSTAKAAN SEKOLAH OLEH KEPALA SMA NEGERI DI KABUPATEN JEMBER) *oleh : Finish Rimbi Kawindra NIM : 070916035
ABSTRAK Perpustakaan sekolah merupakan salah satu sarana pendidikan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan informasi siswa selain informasi yang berasal dari pengajarnya. Jurnal ini berangkat dari permasalahan bahwa perpustakaan sekolah di daerah khususnya di Kabupaten Jember masih banyak kekurangan dari segi sarana, koleksi, pengadaan hingga pengelolaannya. Hal tersebut secara langsung merupakan tanggung jawab pemimpin dari masing – masing SMA Negeri tersebut. Sehingga dapat diketahui bahwa kebijakan yang maksimal diawali dari pemahaman yang baik dari kepala sekolah tersebut. Kerangka pemikiran berpedoman pada teori konstuksi sosial Peter L. Berger dan T. Luckman dimana dalam mengkonsepsi sebuah makna selalu berpijak pada kenyataan obyektif, kenyataan simbolik dan kenyataan subyektif. Kenyataan obyektif ini akan mempengaruhi kembali kenyataan subyektif melalui proses internalisasi yang tidak terlepas dari proses sosialisasi yang berpengaruh terhadap proses eksternalisasi pada nantinya. Sehingga dapat melahirkan pemahaman terkait apa yang telah dan akan dilakukan kepala sekolah dalam kenyataan simbolik pada perpustakaan. Sehingga ditemukan informan dengan 2 tipologi yakni Professionally staff member dan Deserter Kata Kunci : Kepala Sekolah, Makna, perpustakaan sekolah, fenomenologi, konstruksi sosial.
LATAR BELAKANG MASALAH Perpustakaan sekolah saat ini telah menjadi bagian penting untuk menunjang pendidikan serta tambahan informasi bagi siswa. Pamor perpustakaan sekolah lambat laun semakin meningkat seiring perkembangan zaman dan kemajuan pendidikan di Indonesia. Hal ini disebabkan semakin mengertinya masyarakat khususnya mereka yang berada pada jalur akademisi mengenai misi perpustakaan yaitu perpustakaan sekolah menyediakan informasi dan ide yang merupakan fondasi agar berfungsi secara baik di dalam masyarakat masa kini yang berbasis informasi dan pengetahuan. Untuk dapat memenuhi pengetahuan siswa di sekolah, perpustakaan harus dapat melengkapi diri dari berbagai aspek yakni dari segi pendanaan atau anggaran, lokasi dan ruang, perabot dan peralatan, koleksi, tenaga pustakawan dan promosi. Namun, keadaan yang dimiliki oleh masing – masing perpustakaan di tiap sekolah berbeda – beda. Perpustakaan yang berada pada sekolah di daerah satu dengan lainnya memiliki perbedaan yang berarti. Seperti di Kabupaten Sidoarjo, dua sekolah sama – sama negeri dan hampir rata dalam kualitas memiliki perpustakaan yang berbeda jauh. Perpustakaan yang dimiliki SMA Negeri 3 Sidoarjo sudah pernah mendapat juara 1
perpustakaan di kabupaten Sidoarjo. Pustakawan pun juga berasal dari lulusan D3 Teknisi perpustakaan Universitas Airlangga sangat membantu dalam proses pengembangan perpustakaan tersebut hingga menjadi bagus seperti saat ini. Sedangkan di SMA Negeri 2 Sidoarjo,perpustakaan yang dimiliki belum memadai, terutama dari segi sarana dan koleksi. Petugas perpustakaan yang notabene seorang yang memiliki latar belakang pendidikan perpustakaan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sementara perpustakaan dengan biaya pribadi untuk menjaga kualitas dan kuatitas perpustakaan sekolah tersebut. Berbeda lagi dengan perpustakaan yang dimiliki oleh Sekolah di kabupaten Jember. Pada kenyataannya, kondisi di semua SMA yang berstatus Negeri baik SSN maupun Potensial, belum memiliki perpustakaan yang memadai. Tidak hanya itu pula, pengelolaan dan kebijakan yang masih minim berpengaruh terhadap perpustakaan sekolah itu sendiri. Permasalahan yang timbul pada perpustakaan SMA Negeri di Kabupaten Jember ini meliputi beberapa hal yakni, penyediaan dana untuk perpustakaan sekolah belum mencapai 5% dari anggaran belanja operasional sekolah atau belanja barang di luar belanja pegawai dan belanja modal untuk pengembangan perpustakaan. Selain itu pula pengadaan dana perpustakaan masih jauh dibandingkan dana untuk renovasi sarana sekolah antara lain ruang laboratorium, ruang guru, dan kamar mandi. Selain dana yang diharapkan dari sekolah itu sendiri, dana lain yang disuarakan ada yakni Dana alokasi khusus dari pemerintah. Namun, hal ini tidak terealisasi dengan baik karena sebagian besar sekolah tidak mendapatkan DAK untuk perpustakaan tersebut. Lokasi juga mempengaruhi eksistensi perpustakaan itu sendiri. Lokasi perpustakaan yang terlihat masih pada umumnya tidak strategis sesuai peraturan yang ditetapkan. Sedangkan untuk ruangan perpustakaan sendiri, mayoritas ruangan seukuran ruang kelas masih digunakan untuk bagunan perpustakaan. Sarana perpustakaan merupakan hal pendukung utama untuk kegiatan di dalamnya. Perpustakaan sekolah yang baik menyediakan sekurang – kurangnya rak buku, lemari katalog, meja dan kursi baca, meja dan kursi kerja, meja sirkulasi, komputer dan papan pengumuman. Untuk sekolah di daerah khususnya, mayoritas perpustakaan itu hanya berisikan koleksi, rak buku, meja dan kursi baca, meja dan kursi kerja terkecuali pada sekolah yang telah memiliki akreditasi tinggi dan menjadi sekolah unggulan. Perpustakaan memiliki produk utama yakni koleksi. Perpustakaan sekolah juga harus menyediakan berbagai jenis koleksi antara lain buku bacaan non fiksi (pembelajaran), fiksi (cerita), terbitan berkala (majalan, surat kabar), buku pelajaran pelengkap (buku ketrampilan), referensi (kamus, peta, ensiklopedia)dan elektronik (CD pembelajaran).Koleksi yang dimiliki perpustakaan SMA di Jember ini belum variatif. Sehingga siswa pun jarang untuk tertarik mengunjungi perpustakaan dengan tujuan membaca dan meminjam koleksi yang ada. Hal utama yang menjadi permasalahan di perpustakaan SMA Negeri di kabupaten Jember adalah tidak adanya seorang profesi pustakawan. Berdasarkan observasi, penulis tidak menemukan satu pun petugas dengan profesi pustakawan yang bekerja namun seorang guru dan lulusan administrasi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Dengan permasalahan yang serupa terdapat penelitian terdahulu yang serupa yakni penelitian yang dilakukan oleh Sri Meladia tahun 2010 menjelaskan bahwa kepala sekolah dan komite sekolah kurang memperhatikan perpustakaan selain Guru dan siswa sendiri. Berdasarkan penelitiannya, kepala sekolah lebih berfokus pada urusan pemagaran, akademik dan hal – hal mengenai pembelajaran. Bahkan responden ada yang mengarahkan siswa dan guru untuk mengakses informasi melalui internet bukan perpustakaan. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ilmiyah Amali (2011) yang berjudul “Persepsi Kepala SMA RSBI di Gresik terhadap Implementasi Undang – Undang RI Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan Pada SMA RSBI di Gresik”. Penelitian ini memaparkan bahwa persepsi 2
kepala SMA RSBI di Gresik hampir sama, yakni membawa dampak positif dalam memotivasi pembenahan perpustakaan di lembaga – lembaga, serta akan membuat masing – masing sekolah berpacu diri melengkapi koleksi dan pelayanan perpustakaan. Meskipun sebagian besar dari kepala sekolah tersebut baru mengetahui tentang adanya UU Perpustakaan dari peneliti terdahulu. Sehingga , kendala yang muncul dalam rangka mengimplementasikan UU Perpustakaan beragam pula, antara lain : belum ada tenaga ahli; rendahnya minat baca siswa; kekhawatiran tentang penggunaan TIK yang akan menggeser perpustakaan. Dengan melihat penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Ilmiyah Amali (2011), peneliti memiliki rasa ingin tahu bagaimana seorang kepala sekolah memaknai perpustakaan sekolah secara mendalam. Didukung dengan observasi yang dilakukan oleh penulis pada perpustakaan SMA negeri di Kabupaten Jember, maka penulis akan menggali pemahaman setiap kepala sekolah mengenai pemaknaan perpustakaan di sekolah masing – masing. Dengan begitu dapat diketahui pula kebijakan – kebijakan apa yang akan dilakukan untuk pengembangan dan pembangunan sarana sekolah. Dalam hal ini adalah perpustakaan sekolah. Oleh karena itu, rumusan masalah yang akan dituntaskan pada penelitian ini adalah (1) Bagaimana setiap kepala sekolah memberikan pemahaman dengan memaknai perpustakaan yang berada di masing – masing SMA Negeri di Kabupaten Jember ditinjau dari segi Subjective reality, objective reality dan symbolic reality? Serta (2) Apakah kebijakan yang telah dilakukan oleh masing – masing kepala sekolah berdasarkan pada pemahaman serta pemaknaan pribadi pada tiap perpustakaan sekolah? Sedangkan tujuan dari penelitian ini antara lain Mengetahui pemahaman dan pemaknaan seorang kepala sekolah terhadap perpustakaan berdasarkan Subjective reality, objective reality dan symbolic reality ; serta Mengetahui apa saja kebijakan – kebijakan yang telah diterapkan oleh kepala sekolah pada perpustakaan.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menggunakan fenomenologi. Penelitian ini bertujuan untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian. Misalnya, perilaku, persepsi, pemaknaan, motivasi, tindakan dan lain sebagainya. Selain itu juga, penelitian kualitatif juga memiliki dua tujuan utama yaitu menggambarkan dan mengungkapkan (to describe and explore) serta menggambarkan dan menjelaskan (to describe and explain).1 Disini peneliti menggunakan cara tujuan yang kedua yaitu akan menggambarkan pemaknaan partisipan (informan) mengenai objek yang dijadikan titik fokus permasalahan. Pendekatan fenomenologi memfokuskan pada pengalaman subjektif, yaitu pandangan pribadi seseorang individu terhadap suatu peristiwa – fenomenologi individu tanpa adanya beban prakonsepsi atau ide teoritis. Pendekatan fenomenologi lebih menitik beratkan kehidupan dalam diri dan pengalaman individu daripada mengembangkan teori atau memperkirakan perilaku. Pendekatan fenomenologi ini dikembangkan oleh Edmund Husserl (1859-1938) merupakan metode untuk menjelaskan fenomena dalam kemurniannya. Selanjutnya menurut Husserl walaupun berfokus pada pengalaman subjektif, fenomenologi tidak berhenti hanya pada deskripsi perasaan – perasaan inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak 1M. Djunaidi Ghony & Fauzan Almanshur (Hal.29)
3
untuk sampai makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning), yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat ataupun perasaan – perasaan spesifik, ketika orang mengalami dunianya secara personal. Dalam fenomenologi, konsep makna (meaning) adalah konsep yang sangat penting. Menurut Husserl meskipun setiap orang dalam keadaan dan situasi yang sama , namun makna yang didapatkan oleh setiap individu akan berbeda satu dengan lainnya. Makna juga membedakan pengalaman satu dengan lainnya.
TINJAUAN PUSTAKA Pada penelitian ini, penulis menggunakan teori yang dapat menganalisis dari fenomenologi makna perpustakaan sekolah oleh kepala sekolah. Salah satu teori yang digunakan peneliti sebagai alat analisis adalah teori dari Peter L. Berger yakni teori konstruksi sosial. Teori konstruksi sosial (social construction) Berger dan Luckmann memberikan pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial, dan kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. 2 Sehingga dalam hal ini, realitas dan pengetahuan merupakan dua hal yang menjadi dasar gagasan oleh Berger dan Luckmann. Dalam konsep konstruksi sosial yang dikemukakan oleh Peter L. Berger, terdapat 3 (tiga) hal untuk dapat memberikan sebuah pemaknaan pada objek yakni Realitas kehidupan sehari – hari, interaksi sosial dan bahasa / pengetahuan. Dalam kehidupan sehari – hari setiap individu mampu melakukan aktivitas atau tindakan teratur yang berhubungan dengan objek. Tidak hanya itu, dalam melakukan tindakan tersebut terdapat adanya interaksi sosial. Interaksi sosial ini bagaimana individu mampu untuk berinteraksi dengan sesama individu lainnya yang menghasilkan adanya pertukaran informasi subyektif. Tindakan ini memerlukan bahasa dan pengetahuan sebagai media penyampaian dan eprtukaran realitas subyektif antar individu. Proses konstruksinya, jika dilihat dari perspektif teori berger dan Luckmann berlangsung melalui interaksi sosial yang dialektis dari tiga bentuk realitas yakni, subjective reality; symbolic reality; dan objective reality. Kemudian konstruksi sosial juga mencoba menghubungkan antara subjective dan objective melalui dialektika yakni eksternalisasi yang merupakan proses penyesuaian diri terhadap dunia sosio-kultural, objektivasi yang merupakan interaksi sosial dalam dunia institusionalisasi, dan internalisasi yang merupakan proses individu mengidentifikasi diri di tengah – tengah lembaga – lembaga sosial dimana individu tersebut menjadi anggotanya.3 Sehingga proses ini akan terjadi terus – menerus dan saling berpengaruh satu dengan lainnya antara yang subyektif dan obyektif dalam menciptakan kenyataan sosial. Subjective Reality merupakan konstruksi definisi realitas yang dimiliki individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Proses internalisasi menunjuk pada aktivitas manusia yang menyerap kembali realitas obyek, suatu proses transformasi struktur yang obyektif kedalam kesadaran subyektif. Setiap individu memiliki pemikiran yang berbeda – beda dalam mengidentifikasi suatu objek. Internalisasi ini hanya dibatasi pada proses pengidentifikasian melalui pemahaman. Objective Reality merupakan rutinitas tindakan dan tingkah laku yang telah mapan terpola, yang kesemuanya dihayati oleh individu 2Jurnal Masyarakat kebudayaan dan Politik “Memahami Teori Konstruksi Sosial” karya: I.B. Putera Manuaba.
3Ibid, hal 206.
4
secara umum sebagai fakta. Proses tindakan ini merupakan sebuah aktivitas yang muncul bervariasi sebagai suatu respon yang diberikan kepada kenyataan obyektif dunia sosialkultural dimana individu berada. Eksternalisasi ini selalu melibatkan tindakan yang penuh makna, bukan suatu yang tanpa arti. Sehingga ketika seseorang tersebut mampu mengeksternalisasi, maka akan terus menerus berpengaruh pada eksternalisasi antivitas – aktivitas berikutnya pada objek tersebut yakni perpustakaan sekolah. Sedangkan Symbolic Reality merupakan isyarat – isyarat yang sedikit banyaknya tahan lama dari proses – proses subjectif para produsennya. Sehingga memungkinkan objektivasi itu dapat dipakai sapai melampaui situasi tatap muka dimana mereka dapat dipahami secara langsung.4 Ditambahkan pula objektivasi merupakan sistem tanda (sign) yang diciptakan dapat dibedakan dari objektivasi – objektivasi lainnya, dan bertujuan eksplisit untuk digunakan sebagai isyarat atau indeks bagi makna – makna subjektif.5 Selain berdasarkan ketiga realitas yang diungkapkan oleh Berger tersebut, dalam memberikan pemaknaan pada suatu objek, sosialisasi juga merupakan faktor pendukung seorang individu dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai objek yang akan dimaknai. Sosialisasi itu sendiri dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yakni sosialisasi primer dan sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer terjadi pada anak – anak dalam lingkup pra sekolah dan masa sekolah. Sedangkan sosialisasi sekunder merupakan sosialisasi yang terjadi pada usia dewasa. Diperdalam lagi yakni usia dimana individu telah mampu memasuki dunia publik dan dapat saling mentransformasikan kenyataan subyektif satu dengan lingkungannya. Berikut yang juga berhubungan dengan proses pemaknaa yakni adanya suatu identitas dari individu tersebut. Identitas dibentuk melalui proses – proses sosial. Proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mempertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Identitas juga merupakan sebuah fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Begitu pula dengan kepala sekolah yang masing – masing memiliki identitas yang telah terbentuk dari tahapan sosialisasi baik primer maupun sekunder. Masing – masing informan ini dapat memaknai kenyataan obyek yakni perpustakaan sekolah berdasarkan dari identitas mereka yang pastinya akan berbeda satu sama lain. Sehingga itu mengapa identitas informan dapat melahirkan keterkaitan terhadap penentuan identitas makna suatu perpustakaan sekolah itu sendiri. Identitas dalam hal ini yakni profesi yang dimiliki oleh informan pada penelitian ini. Profesi yang dimaksudkan yakni kepala sekolah. Menurut peraturan Kementrian Pendidikan Nasional RI Nomor 71 Tahun 2009, kepala sekolah diartikan sebagai kepala atau pemimpin organ pengelola pendidikan untuk menjalankan fungsi pengelolaan pendidikan. Setiap kepala sekolah hendaknya memiliki beberapa kompetensi yang digunakan untuk landasan mengembangkan dan memajukan sekolah masing – masing. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah pada umumnya adalah Kompetensi kepribadian, Kompetensi Manajerial, Kompetensi Kewirausahaan, Kompetensi Supervisi dan Kompetensi Sosial. Berdasarkan kualifikasi yang telah diatur pada ketentuan sebagai kepala sekolah tersebut, penulis memilih 15 kepala sekolah sebagai informan penelitian. Informan yang dipilih secara keseluruhan berdasarkan jumlah SMA Negeri di Kabupaten Jember itu sendiri. 4Ibid., hlm 49.
5Ibid., hlm 50.
5
DATA DAN HASIL Menurut Husserl (1859-1938) fenomenologi walaupun berfokus pada pengalaman subjektif, namun tidak berhenti pada deskripsi perasaan inderawi semata. Makna konseptual bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat ataupun perasaan – perasaan spesifik ketika seseorang mengalami dunianya secara personal. Sehingga dapat terbentuk sebuah makna terhadap objek sasaran. Kepala sekolah menurut Permen No. 13 Tahun 2007 memiliki kewajiban memimpin sekolah / madrasah dalam rangka pendayagunaan sumber daya sekolah dalam mengelola sarana prasarana secara optimal. Dalam penelitian ini, proses pemaknaan terhadap objek sasaran dikhususkan pada perpustakaan sekolah. Kepala sekolah selayaknya menggunakan akal dan pikiran serta pengetahuan yang dimiliki untuk menelaah perpustakaan dari segi objektif hingga subjektif. Dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis, menemukan bahwa setiap kepala sekolah yang bertindak sebagai informan masing – masing memiliki pemikiran yang berbeda satu dan lainnya. Hal ini terlihat dari cara informan menjawab serta merespon berbagai pertanyaan yang diajukan oleh penulis. Dari berbagai macam argumen yang didapatkan, maka penulis akan menelaah secara dari tiap pertanyaan untuk mendapatkan setiap kesimpulannya. Dalam hal ini penulis akan menarik pemahaman umum berdasarkan pemahaman pribadi dari masing – masing informan yang secara keseluruhan mencapai 15 informan. Proses pemberian makna informan pada perpustakaan sekolah diawali dari tinjauan subjective reality yang dimana informan harus dituntut untuk dapat memahami keberadaan perpustakaan dan hal pendukungnya. Pada awalnya seorang kepala sekolah harus dapat memahami pengertian atau definisi dari perpustakaan sekolah itu sendiri. Definisi perpustakaan perlu diketahui dan dipahami oleh informan karena merupakan pemahaman dasar untuk dapat mengetahui dan merinci secara mendalam lagi tentang perpustakaan secara luas. Dari penelitian ini, penulis menemukan persamaan jawaban yang diajukan oleh informan. Persamaan pemahaman tersebut dapat dipadu padankan bahwa perpustakaan sekolah menurut informan secara umum adalah sebuah tempat untuk menyimpan buku yang di dalamnya terdapat sejumlah ilmu pengetahuan serta sarana – sarana penunjang yang fungsinya untuk membantu siswa menemukan informasi. Pemahaman ini ternyata sejalan dengan apa yang dipaparkan sulistyo-basuki dimana perpustakaan sekolah merupakan tempat untuk menyimpan, mengoleksi dan memelihara bahan bacaan. Perpustakaan merupakan tempat untuk menyimpan bahan baca serta koleksi yang diperuntukkan untuk siswa di sekolah itu sendiri. Tidak hanya memelihara saja, perpustakaan juga sekaligus menjaga dan merawat koleksi tersebut agar dapat memiliki penampilan yang menarik dan dapat menarik antusias user untuk mencari tambahan informasi di sini. Secara umum informan dapat menjelaskan definisi perpustakaan sekolah berdasarkan pengalaman mereka yang beragam. Sumber inspirasi mereka dalam mengungkapkan pendapat antara lain dari proses membaca literatur (buku, majalah, Koran), pemahaman diri sendiri dan proses transformasi informasi. Namun, mayoritas informan mendapatkannya dari membaca literatur. Hal ini dilakukan karena pada umumnya informan ini sedikit belum memahami pentingnya dan peran perpustakaan bagi sekolah. Sehingga dengan membaca, mereka dapat mulai memahami dasar perpustakaan yang nantinya akan diterapkan untuk menunjang kualitas pendidikan siswa di sekolah. Namun beberapa informan juga tidak hanya membaca untuk mendapatkan pemahaman mereka terhadap perpustakaan, namun tak sedikit juga yang melakukan transformasi informasi. Kegiatan tersebut merupakan proses mentrasformasikan kenyataan subyektif dari
6
informan satu dan lainnya atau dengan lingkungannya. Sehingga disini proses sosialisasi itu sangatlah penting karena keberadaan kita sebagai manusia ditengah – tengah masyarakat yang mendorong untuk melakukan kegiatan tersebut. Menurut data yang didapatkan penulis, informan seringkali melakukan sharing antara satu dan lainnya yang bertujuan untuk menambah referensi untuk saling membangun perpustakaan sekolah makin baik lagi. Untuk memperoleh pemahaman dalam suatu hal dapat terjadi apabila terjadi interaksi yang teratur antara individu dengan objek. Oleh karena itu kepala sekolah sebagai informan juga dapat memperoleh informasi secara langsung dan tidak langsung tentang perpustakaan karena frekuensi yang sering dengan perpustakaan di sekolah tersebut. Informasi bisa di dapatkan kepala sekolah dengan melakukan interaksi langsung dan dengan mendeskripsikan secara fisik. Selain itu pula informan juga dapat melakukan interaksi sosial. Yakni dimana informasi atau pengetahuan mengenai perpustakaan di dapatkan dari antar sesama individu. Informan tidak boleh menutup mata dan telinga akan informasi sekitar yang terkait dengan perkembangan pendidikan salah satunya perpustakaan sekolah. Hal yang dilakukan informan antara lain dengan melakukan tukar pendapat dengan sesama kepala sekolah lainnya. Tindakan ini dilakukan agar sama – sama saling melengkapi satu dengan lainnya antar sekolah dari segi kebutuhan perpustakaan dan hal – hal pengembangan perpustakaan. Interaksi sosial ini tidak terlepas dari faktor sosialisasi. Dengan sosialisasi juga informan mendapatkan banyak pemahaman dan tambahan informasi untuk membangun perpustakaan sekolah lebih baik lagi. Sosialisasi terbagi menjadi 2 jenis yakni sosialisasi primer dan sosisalisasi sekunder. Pada dasarnya proses sosialisasi ini melibatkan orang – orang yang memiliki peran untuk membantu menyosialisasikan terhadap informan yakni disebut agen sosialisasi. Sosialisasi primer terjadi saat informan belum menginjak lingkungan sekunder, yakni saat informan masih pada pada lingkungan sekolah dan keluarga. Pemahaman sejak dini merupakan bekal utama seseorang untuk dapat memahami sesuatu yang mendasar. Pada pemahaman ini adalah membaca karena informan dalam penelitian ini pada umumnya belum mengenal istilah perpustakaan pada masa dahulu. Sehingga pemahaman yang dimiliki oleh informan adalah tentang membaca dan menulis serta mengumpulkan koleksi bahan baca. Sosialisasi yang pada umumnya terjadi pada informan adalah sosialisasi sekunder yang dimana proses interaksi terjadi saat menginjak usia dewasa. Sosialisasi yang terjadi antara informan satu dengan yang lain atau pun antara informan dengan agen sosialisasi yang terkait dan memiliki pengetahuan lebih tentang perpustakaan. Agen sosialisasi yang terkait di lingkungan kerja dari informan itu sendiri meliputi guru, siswa, pustakawan bahkan sesame informan. Dengan bersosialisasi ini, informan mampu menangkap transformasi kenyataan subjektif dari individu lainnya. Sehingga lambat laun informan dapat memiliki perbendaharaan makna mengenai perpustakaan sekolah. Tak kalah penting lagi adalah sumber informasi lain yang berperan dalam pembentukan makna informan terhadap perpustakaan. Seperti yang dikatakan Berger bahwa bahasa pengetahuan merupakan salah satu hal terpenting dalam membentuk suatu makna objek. Sehingga pada penelitian ini ditemukan bahwa informan memilih menggunakan media cetak dan media lisan saat ingin mengetahui lebih banyak informasi tentang perpustakaan sekolah. Media cetak yang digunakan yakni yang memiliki muatan ilmu pendidikan dan informasi seperti surat kabar dan tabloid. Melalui media cetak tersebut, informan sebagian besar mengaku bahwa lebih mendapatkan informasi terkini tentang gambaran keadaan dunia pendidikan saat ini. Sehingga dapat memetakan apa saja yang dibutuhkan untuk menambah kualitas dan kuantitas pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.
7
Salah satu yang mereka contohkan adalah dengan melalui media perpustakaan sekolah yang menjadi jembatan informasi bagi siswa. Tidak hanya itu, pemahaman informan juga harus meningkat mengenai pentingnya perpustakaan itu sendiri bagi proses belajar mengajar dan siklus kegiatan siswa di lingkungan sekolah. Seorang kepala sekolah harus mengetahui apakah dampak yang ditimbulkan saat perpustakaan itu dibangun dan dikembangkan. Sehingga nantinya pembangunan perpustakaan itu memiliki daya guna dan manfaat bagi pemakainya. Pada penelitian ini didapatkan bahwa bagi seorang informan, perpustakaan sekolah penting bagi penunjang kegiatan belajar mengajar antara lain memberikan referensi / bahan ajar untuk siswa. Ditambahkan lagi bahwa dengan adanya perpustakaan, siswa dapat mencari sendiri literatur penunjang dan tambahan pelajaran yang menurut mereka sukar sehingga perlu bahan ajar pendamping. Ada pula informan yang menggunakan perpustakaan sebagai sarana koordinasi / rapat baik dengan siswa, guru maupun tamu. Hal ini dilakukan karena ingin mendapatkan nuansa baru dan berbeda saat kegiatan koordinasi itu berlangsung. Sehingga kenyamanan salah satu hal utama yang diharapkan saat melakukan rapat / koordinasi bukan di ruangan / aula melainkan di perpustakaan. Fenomena yang seringkali terjadi dan menjadi pertanyaan bagi setiap orang pada perpustakaan sekolah yakni seberapa penting dibandingkan dengan fasilitas pendidikan lain seperti laboatorium IPA, komputer, bahasa inggris, ruang seni, serta ruangan lainnya. Berdasarkan pengamatan penulis, hal ini menimbulkan tindakan pro dan kontra dari masing – masing informan. Dari permasalahan ini, yang terlihat masing – masing informan memiliki argument yang berbeda untuk menyikapi dan bertindak bijaksana. Pentingnya suatu fasilitas dilihat dari kebutuhan dan fungsi untuk siswa dan sekolah. Perpustakaan sekolah sebagian besar mengalami kalah pamor dengan fasilitas – fasilitas pendidikan lainnya. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak semua informan memiliki sikap bijaksana dalam menentukan kebijakan untuk tiap fasilitas. Dari paparan informan terkesan masih menempatkan perpustakaan di bawah fasilitas lainnya. Meskipun ada informan yang mengganggap sama semua fasilitas sehingga tidak ada yang terkesan dianak tirikan. Seperti yang dipaparkan Informan US, jika perpustakaan sekolah tidak lebih penting jika dibandingkan dengan Laboratorium IPA, komputer dan bahasa karena frekuensi kunjungan siswa lebih condong kesana daripada ke perpustakaan. Untuk informan PJ mengatakan akan melihat porsi kebutuhan dari masing – masing fasilitas. Sehingga jika memang kebutuhan perpustakaan lebih besar, maka informan PJ akan mendahulukannya. Sebaliknya, jika kebutuhan fasilitas lain lebih utama, maka informan PJ juga akan mengutamakannya. Hal ini berbanding jauh dengan ungkapan Informan US yang dimana dirinya tidak menggunakan pertimbangan apapun dalam menentukan pentingnya sebuah fasilitas. Meninjau kembali pernyataan PJ mengenai porsi kebutuhan perpustakaan, hal yang sering dilakukan adalah dengan melihat laporan bulanan dari petugas perpustakaan tersebut. sehingga dengan melihat scara adil perpustakaan tidak terkesan menjadi prioritas terakhir dalam penentuan kebutuhan dan kebijakan dibanding dengan fasilitas pendidikan lainnya. Selain itu pula proses sosialisasi sekunder yang pengaruhi oleh agen sosialisasi terjadi pada informan yakni proses pertukaran informasi mengenai sejarah berdirinya perpustakaan sekolah tersebut. Hal ini dikarenakan masa jabatan informan sebagai kepala sekolah berbeda – beda. Pendirian perpustakaan sekolah secara keseluruhan bukan pada masa jabatan informan di sekolah tersebut. Dari pemaparan pada bab sebelumnya bahwa peneliti menyoroti beberapa hal yang unik terkait dengan pemahaman kepala sekolah terhadap pembangunan perpustakaan ini. Informan HAR merupakan yang tidak memiliki persiapan
8
apapun untuk membangun sebuah perpustakaan. Hal ini terlihat dengan asal muasal perpustakaan sekolah itu dari anjuran dan perintah melalui surat edaran dari Pemerintah Kabupaten Jember. Sehingga terlihat tidak ada persiapan yang lebih untuk perpustakaan itu sendiri. Berbanding terbalik dengan yang diungkapkan oleh informan ALI, dirinya berdalih bahwa perpustakaan di sekolahnya tersebut memang telah ada jauh sebelum dirinya menjabat sebagai kepala sekolah. namun, dahulu masih berupa ruangan yang mendisplay bahan bacaan seperti “toko buku” sehingga siswa yang diwakilkan oleh pengurus OSIS lambat laun mengembangkan menjadi sebuah perpustakaan sampai saat ini. Dari pemaparan dua informan tersebut dapat diketahui bahwa pembangunan perpustakaan belum sepenuhnya merupakan kesadaran setiap sekolah untuk menyediakan tambahan informasi bagi siswanya (secara internal). Dalam konteks ini informan melakukan tindakan dan tingkah laku yang terpola terhadap objek yakni perpustakaan sekolah. Menurut Berger, Proses tindakan ini merupakan sebuah aktivitas yang muncul bervariasi sebagai suatu respon yang diberikan kepada kenyataan obyektif dunia sosial-kultural dimana individu berada. Eksternalisasi ini selalu melibatkan tindakan yang penuh makna, bukan suatu yang tanpa arti. Sehingga ketika seseorang tersebut mampu mengeksternalisasi, maka akan terus menerus berpengaruh pada eksternalisasi antivitas – aktivitas berikutnya pada objek tersebut yakni perpustakaan sekolah. Tindakan nyata yang dilaksanakan oleh informan yakni mengunujungi perpustakaan sekolah. hal ini perlu digali karena dapat dilihat sejauh mana sikap peduli dari informan terhadap perpustakaan sekolah. dari hasil penyajian data didapatkan bahwa tidak semua informan memiliki frekuensi kunjungan yang sering ke perpustakaan sekolah. Kunjungan informan ke perpustakaan merupakan salah satu bentuk kepedulian fisik dan nyata pada perpustakaan sekolah. Informan Bam dan Abd merupakan contoh yang memiliki frekuensi sering berkunjung ke perpustakaan. hal yang dilakukan dalam berkunjung ke perpustakaan adalah membaca rekreatif dan edukatif. Sehingga informan tersebut dapat mengetahui benar apa yang terjadi di perpustakaan sekolah setiap harinya. Lain halnya dengan informan Pj dan Sar yang mengaku bahwa jarang bahkan tidak pernah berkunjung ke perpustakaan meskipun hanya untuk membaca Koran saja. Sehingga tidak ada hubungan atau interaksi baik antara perpustakaan dan kepala sekolah. Proses sosialisasi juga ikut berpengaruh dalam hal proses objective reality ini. Proses interaksi sosial antara informan dengan agen sosialisasi merupakan proses penting untuk dapat mengetahui lebih dalam mengenai apa yang dibutuhkan dan ditambahkan pada perpustakaan sekolah. Agen sosialisasi penunjang antara lain siswa, guru dan petugas perpustakaan. koordinasi ini dilakukan untuk mengetahui secara langsung dari masing – masing agen sosialisasi tersebut terkait halnya perpustakaan sekolah. Itupun tidak dilakukan oleh setiap informan. Informan yang biasa melakukan koordinasi langsung tanpa melalui diskusi formal yakni Hus dan Rov. Sedangkan informan yang memilih untuk mendapatkan informasi melalui media diskusi formal daripada melakukan koordinasi santai yakni Abd dan Fan. Informan – informan tersebut merupakan contoh beberapa diantara informan lainnya dalam hal melakukan proses koordinasi. Sehingga dapat dilihat jika koordinasi yang dilakukan oleh informan maksimal, maka informan tersebut akan lebih memahami dan mengetahui kebutuhan yang sebenarnya dibutuhkan oleh masing – masing agen yang juga sebagai pengguna aktif perpustakaan. Pembekalan pada masing – masing individu terkait dengan kemampuan mereka untuk dapat memahami dan bertindak lanjut terhadap perpustakaan juga dipengaruhi oleh bagaimana kebiasaan saat sebelum menjadi kepala sekolah (atau masih pada masa sekolah). Teori yang terkait dalam kebiasaan atau habit informan pada masa lalu diungkapkan oleh 9
Pierre Bourdieu yakni dimana menggunakan pendekatan strukturalisme genetik yakni analisis struktur – struktur objektif yang tidak dapat dipisahkan dari analisis asal usul struktur mental dalam individu – individu yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur sosial dan analisis asal – usul struktur sosial itu sendiri. Sehingga yang utama pada konsep ini yakni habitus dan arena. Bourdieu memaksudkan untuk menjembatani kedua hal tersebut agar mampu untuk mempengaruhi masa kini dari apa yang dilakukan pada masa lalu. Pada penelitian ini, kebiasaan (habit) informan pada kegiatan yang ada kaitannya dengan dunia perpustakaan juga terjadi pada saat masa lampau ketika mereka masih berada pada bangku sekolah. hal ini berpengaruh sebab apabila informan memiliki kebiasaan untuk membaca dan mungkin untuk mengoleksi bahan bacaan lainnya, mempengaruhi tindakan bagi perpustakaan yang saat ini mereka pimpin di SMA masing – masing. Untuk mendukung konsep dari Bourdieu ini, terdapat tujuh elemen penting dalam pembentukan sebuah habitus yang diungkapkan oleh Kleden, 2005. Pertama yakni habitus yang merupakan produk sejarah. Kebiasaan ini merupakan hal yang diciptakan sepanjang kehidupannya. Kedua, habitus merupakan struktur yang dibentuk dan membentuk. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh dunia sosial. Sehingga tindakan yang dilakukan oleh informan pada masa lampau juga berdasarkan dimana dan siapa yang ada disekitar mereka. Ketiga , struktur yang menstrukturkan. Hal ini dimaksudkan bahwa jika individu tersebut memiliki kebiasaan yang sudah lama dijalani maka secara langsung dia akan melakukan hal yang sama meskipun di keadaan atau tempat yang berbeda. Keempat, sekalipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu, dia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain karena bersifat transposable.Kelima, habitus bersifat pra-sadar. Keenam, habitus bersifat teratur dan terpola, namun bukan merupakan kegiatan yang tunduk pada peraturan – peraturan yang ada.Elemen terakhir pada pembentukan Habitus yakni habitus dapat terarah kepada tujuan dan hasil tindakan tertentu. Namun tanpa ada maksud secara sadar untuk mencapai hasil – hasil tersebut dan juga tanpa penguasaan kepandaian untuk mencapainya. Dari pemaparan sebelumnya, timbul tipikasi dari masing – masing informan yang membedakan berdasarkan bagaimana respon, pandangan dan kepedulian terhadap perpustakaa sekolah. tipikasi ini bertujuan untuk dapat memetakan informan berdasarkan persamaan pandangan dan tindakan yang didasarkan pada tujuan penelitian tentang Makna perpustakaan Sekolah. oleh karena itu, peneliti dapat membuat 2 tipikasi yakni Professi Staff Member dan Deserter. Kedua tipikasi ini terbentuk dengan melihat aspek – aspek dari dasar teori konstruksi sosial Peter L. Berger yang dilakukan oleh kepala sekolah sebagai informan pada perpustakaan sekolah. Informan dengan tipe “Professionally Staff Member” menurut Blasius Sudarsono (Pemerhati kepustakwanan Indonesia) merupakan individu yang bertanggungjawab atas perencanaan dan pengelolaan perpustakaan sekolah. Sehingga dapat bekerjasama dengan semua anggota komunitas sekolah dan juga menjalin kerja sama yang baik dengan pihak perpustakaan umum setempat. Hal ini juga didukung dengan bagaimana hubungan tindakan yang dilakukan informan dengan perpustakaan sekolah. Indikator yang dimiliki oleh informan tipe “Professionally Staff Member” ini yakni memiliki ketertarikan pribadi kepada perpustakaan sebelum dan sesudah dia menjabat sebagai kepala sekolah. Dengan ketertarikan itu dapat menggambarkan bagaimana informan memandang sebuah perustakaan sekolah yang merupakan tempat berkumpulnya informasi bagi warga sekolah. Berkaitan pula dengan habitus dan struktural yang dibangun informan pada saat lampau. Sehingga hal ini menyebabkan kebiasaan membaca seumur hidup dimana saja dengan frekeuensi kunjungan
10
kepala sekolah yang sering ke perpustakaan diluar kepentingan tugasnya sebagai kepala sekolah. Disamping itu pula tipe informan kedua yakni “Deserter”. Tipe ini merupakan tipe kepemimpinan yang diungkapkan oleh W.J. Reddin dalam artikelnya yang berjudul “What Kind of Manager”. Tipe kepemimpinan Deserter ini merupakan individu yang memberikan perhatian yang rendah pada tugas dan hubungan kerja. Sehingga pemimpin yang memiliki tipe ini hanya mau memberikan dukungan dan memberkan dukungan dan memberikan struktur yang jelas serta tanggungjawab, hanya pada waktu yang dibutuhkan. Pada tipe Informan Professionally Staff Member pada subjective reality didapatkan temuan sebagai berikut : Dalam memberikan penjelasan mengenai definisi perpustakaan sekolah, informan tipe ini mampu memberikan penjelasan yang lebih mendalam dan terperinci; Dalam memberikan kebijakan pada setiap sarana pendidikan di lingkungan sekolah, tidak serta merta menganaktirikan perpustakaan. Hal yang dilakukan informan tipe ini adalah dengan melihat secara data dan nyata keadaan hingga kebutuhan perpustakaan. Sehingga perpustakaan sekolah tidak lagi dibeda – bedakan porsinya dengan fasilitas lain seperti laboratorium.; Pada pemahaman dan pandangan informan terhadap pembangunan serta pengembangan perpustakaan sekolah, informan pada tipe ini mampu mendukung dan meneruskan yang lebih baik dari kebutuhan dari perpustakaan sekolah itu sendiri. Sehingga dari awal perpustakaan berdiri (belum tentu pada masa jabatannya) hingga saat ini informan tersebut masih dapat memperhatikan dengan baik perpustakaan sekolah.; Informan mampu mendeskripsikan apa saja yang merupakan kebutuhan fisik yang ada di dalam perpustakaan sekolah itu sendiri secara lancar dan lengkap. Hal ini membuktikan informan memahami sekali dan memiliki kepedulian terhadap perpustakaan sekolah beserta isi / perlengkapannya.; Untuk sebagian informan ini, mampu untuk memenuhi setiap bulan khususnya dana untuk perpustakaan yang berasal dari dana internal sekolah itu sendiri. Pada Objective Reality informan Professionally Staff Member terdapat temuan penelitian sebagai berikut: Kunjungan kepala sekolah (informan) ke perpustakaan antara 1-3 kali dalam seminggu. Tak jarang pula informan menyempatkan untuk setiap hari mengunjungi perpustakaan jika tidak ada kesibukan yang mendesak dan penting.; Informan melakukan kegiatan membaca koleksi menurut daya tarik masing – masing. baik membaca yang bersifat rekreatif maupun yang informative. Tak segan pula jika ada koleksi yang menarik, informan akan meminjamnya.; Informan sering menggunakan perpustakaan untuk media diskusi, membaca, hingga bersantai. Bahkan informan beranggapan perpustakaan dapat menjadi tempat untuk melepaskan jenuh ditengah pekerjaannya.; dan Untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dan diperbaruhi dari perpustakaan, informan melakukan koordinasi aktif dan langsung dengan siswa, guru dan petugas perpustakaan. Sisi lainnya, Deserter terhadap perpustakaan pada subjective reality didapatkan temuan sebagai berikut: Dalam memberikan penjelasan kepada peneliti, informan hanya memberikan pemarapan yang normatif. sehingga terkesan bahwa perpustakaan sekolah hanya merupakan tempat untuk menyimpan bahan bacaan (buku) saja.; Informan dalam tipe ini masih berpandangan bahwa perpustakaan masih belum dapat disandingkan dengan fasilitas siswa lainnya. Hal ini beralasan karena siswa lebih benyak menggunakan laboratorium untuk kegiatan belajar mengajar daripada perpustakaan sekolah.; Dalam proses pembangunan perpustakaan, informan pada tipe ini masih belum sepenuhnya mendukung. Seperti pembangunan yang berada pada masa jabatannya, informan belum memiliki rasa kesadaran sendiri untuk mau mendirikan peprustakaan sekolah. sedangkan untuk pembanguunan yang bukan pada masa jabatannya, untuk pemenuhan dan pengadaan barang (perlengkapan)
11
perpustakaan masih belum maksimal. ; Informan belum dapat menyebutkan atau memaparkan apa yang dimiliki dan terdapat pada perpustakaan sekolahnya sendiri. Namun, mereka mampu menyebutkan secara umum perlengkapan yang ada seperti meja, rak buku, kursi, seperangkat komputer dan buku. ; Informan belum dapat memberikan dana untuk pengembangan perpustakaan sekolah secara maksimal baik dari 10% dana Sekolah dan bantuan DAK untuk perpustakaan dari pemerintah. Pada Objective reality informan Deserter memiliki temuan yakni, Informan dalam tipe ini memilih untuk jarang mengunjungi perpustakaan atas dasar keinginan diri sendiri. Namun kunjungan perpustakaan dilakukan bila ada pengamatan atau tinjauan rutin (sebagai kewajiban seorang kepala sekolah).; Informan pada tipe ini cenderung tidak suka membaca atau mengakses koleksi perpustakaan sekolah. hal yang menjadi alasan yakni tidak ada koleksi yang cocok dengan usia informan tersebut.; Koordinasi dengan agen sosialisasi terjadi hanya pada pertemuan formal, yakni seperti rapat bulanan. Sehingga informan hanya mengetahui progress dan kebutuhan perpustakaan sekolah dari laporan bulanan saja. Sedangkan pada Symbolic Reality informan dengan kedua tipe tersebut mampu mendeskripsikan keadaan daripada perpustakaan sekolah. Adapun keterangan yang diberikan oleh informan adalah Tenaga kerja perpustakaan merupakan hal utama yang semua informan sampaikan. Hal ini terkait dengan belum adanya seorang pustakawan yang mengelola perpustakaan sekolah di SMA negeri seluruh Kabupaten Jember; Meskipun sebagian informan yang masuk pada katagori Informan Professionally Staff Member telah mampu untuk setiap bulannya menggelontorkan dana untuk perpustakaan, namun mereka berasumsi bahwa dana yang tersedia masih belum memenuhi karena juga minim bantuan dari pemerintah terhadap perpustakaan sekolah. Sebaliknya untuk tipe Deserter masih belum mampu untuk memberikan dana khusus untuk perpustakaan sekolah.; Koleksi dapat dikatakan sebagai produk utama perpustakaan. Namun ternyata koleksi yang tersedia di perpustakaan sekolah informan masih belum bisa memenuhi seluruh kebutuhan tambahan siswa di bidang akademin maupun rekreatif.; Fasilitas yang terdapat di perpustakaan sekolah penelitian belum semua memenuhi standart. Sehingga informan juga menganggap fasilitas yang ada di perpustakaan sekolah naungannya perlu untuk ditambah guna memperbaiki kinerja petugas perpustakaan dan menambah animo siswa untuk datang ke perpustakaan. Dalam memaknai sebuah perpustakaan sekolah, informan semestinya memiliki pemahaman secara dini dengan memliki sebuah kebiasaan atau hobi yang menunjukkan ketertarikannya terhadap dunia kepustakawanan. Informan sendiri masing – masing memiliki hobi yang dapat menggambarkan bagaimana dirinya dapat ikut serta dalam pengembangan dan pembangunan sebuah perpustakaan sekolah. sebaliknya, informan yang tidak memiliki bekal yang cukup mengenai dunia kepustakawanan memiliki kesulitan untuk dapat mengelola perpustakaan. Seperti konsep Bourdieu yang mengatakan bahwa habitus merupakan produk sejarah dan Kebiasaan ini merupakan hal yang diciptakan sepanjang kehidupannya. Habitus juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal yakni lingkungan dimana dirinya bertempat tinggal. Selanjutnya, tidak hanya pemahaman semata yang dimiliki oleh informan pada peprustakaan sekolah, namun juga harus ada tindakan yang nyata terhadap perpustakaan itu sendiri berdasarkan Objectivikasi menurut Berger. Dalam melakukan tindakan ini, masuk pula elemen – elemen pendukung konsep Bourdieu. Habitus yang telah dilakukan oleh informan seperti membaca dan mengoleksi buku ternyata juga mempengaruhi bagaimana pada masa kini intensitas perhatian fisik informan terhadap perpustakaan tersebut. Informan
12
yang memiliki kebiasaan cinta kepustakawanan pada masa lalu menunjukkan intensitas kunjungan yang tinggi terhadap perpustakaan. Secara keseluruhan konsep Bourdieu ini mendukung dan melengkapi apa yang ada pada teori Berger yakni konstruksi sosial. Dimana saat individu dapat mengkonstruksi sesuatu objek yang dalam hal ini adalah perpustakaan, individu tersebut harus dapat memiliki bekal pemahaman dan tingkah laku secara berkesinambuungan sepanjang hidupnya hingga saat ini menjadi seorang kepala sekolah. Dengan melewati proses tersebut maka informan dapat secara keseluruhan memahami perpustakaan sekolah secara makna dan secara tindakan langsung untuk menunjukkan perhatian masing – masing informan. KESIMPULAN Pada penelitian ini, penulis menggunakan konsep – konsep yang terdapat pada teori Peter L. Berger yakni Konstruksi sosial pada ke lima belas informan yakni Kepala SMA Negeri di Kabupaten Jember guna untuk mengetahui pemaknaan dan penggambaran mereka terhadap perpustakaan sekolah. Sehingga penulis dapat menyimpulkan beberapa poin penting yang terdapat pada penelitian ini, antara lain: ditemukan adanya tipologi yang berfungsi untuk membedakan informan yang memiliki kepedulian tinggi terhadap perpustakaan sehingga mampu memrikan makna yang positif serta sebaliknya. Pembagian dua tipologi tersebut yakni Professionally Staff Member dan deserter. Informan yang termasuk dalam tipe ini ada 8 (delapan) Informan yakni BAM; HAR; UNT; HUS; KAM; MUA; ABD; dan FAN.; Informan Deserter merupakan tipikasi yang muncul berdasarkan aspek kepedulian yang kurang dari informan kepada perpustakaan sekolah. sehingga, tidak adanya tindakan positif yang berulang – ulang dilakukan untuk pengembangan perpustakaan. Selain itu pula informan dalam tipe ini tidak memiliki keinginan sendiri untuk memperkaya dirinya dengan ilmu pengetahuan serta informasi yang berhubungan dengan perpustakaan. Informan yang masuk pada tipe ini 7 (tujuh) informan, yakni ALI; ROV; TUR; SUB; SAR; US dan PJ.; Sedangkan kebijakan yang telah dilakukan informan pada perpustakaan sekolah pada beberapa aspek penunjang sebuah perpustakaan sekolah adalah Sarana yang telah ada di pepustakaan secara keseluruhan di SMA Negeri Kabupaten Jember terdiri atas meja dan kursi baca, rak buku, komputer, rak sepatu, meja sirkulasi, televisi, hingga wifi; Untuk pendanaan yang diperuntukkan bagi perpustakaan, masih belum mencapai 5% dari dana RAPBS. Dana tersebut masih belum terdapat khusus untuk perpustakaan sendiri melainkan masih terbagi dengan fasilitas lain. Sehingga dana untuk perpustakaan masih rendah disbanding fasilitas lainnya; Koleksi yang terdapat pada perpustakaan SMA Negeri Kabupaten Jember ini adalah koleksi yang bersifat rekreatif dan edukatif. Bersifat rekreatif yakni buku fiksi, majalah, tabloid. Sedangkan yang bersifat edukatif yakni buku non-fiksi, buku pelajaran, dan ilmu pengetahuan lainnya; Di seluruh SMA Negeri di kabupaten Jember ini petugas perpustakaan tidak ada yang merupakan seorang pustakawan. Petugas yang ada yakni mereka yang berprofesi sebagai guru pelajaran, TU atau lulusan SMK jurusan administrasi yang dipercaya kepala sekolah untuk mengelola perpustakaan. Pembentukan Habitus pada masing – masing informan mempengaruhi bagaimana tindakan pada masa sekarang saat menjabat sebagai kepala sekolah. Informan yang memiliki kegemaran membaca ternyata lebih baik untuk mempersiapkan perpustakaan sekolah untuk menjadi berkembang disbanding yang memiliki hobi atau kebiasaan lainnya.
13
SARAN Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini oleh penulis yakni Kepala sekolah yang merupakan pemegang kendali dan kebijakan sebuah sekolah hendaknya lebih memperkaya diri dengan pengetahuan dan informasi tentang seluruh fasilitas pendidikan sekolah terutama perpustakaan. Hal ini dilakukan agar kepala sekolah dapat memahami lebih dalam hal – hal tentang perpustakaan sekolah. Selain itu kepala sekolah juga harus dapat berdialog positif dengan warga sekolah untuk mengetahui kebutuhan informasi mereka. Bagi perpustakaan dan pustakawan dengan mengetahui dan menambah informasi tentang perpustakaan, kepala sekolah nantinya akan mampu membawa perpustakaan di sekolah masing – masing tidak hanya untuk gudang buku, melainkan media yang juga dapat membantu mencerdaskan generasi bangsa. Hendaknya lebih dapat menambah informasi terutama di bidang perpustakaan itu sendiri. Sehingga pustakawan atau lulusan S1 Ilmu Informasi dan perpustakaan mampu melihat lebih dalam permasalahan yang melanda perpustakaan sekolah. hal ini terkait dengan jarangnya lulusan perpustakaan yang bekerja di perpustakaan sekolah. Sehingga dengan banyaknya informasi, lulusan perpustakaan / pustakawan mampu mengisi kekosongan tempat pustakawan di setiap perpustakaan sekolah tidak hanya di dalam kota besar saja, melainkan juga di daerah- daerah. Dengan begitu perpustakaan sekolah akan hidup menjadi perpustakaan dengan pengelolaan yang baik dan tidak kalah dengan perpustakaan universitas. Sehingga dengan adanya sinergi antar elemen – elemen pendukung perpustakaan sekolah, diharapkan nantinya dapat meminimalisir segala permasalahan yang terdapat pada bagian internal maupun pada proses pengemabangan perpustakaan itu sendiri.
14
DAFTAR PUSTAKA Sekretariat Negara RI.2007. “Undang-undang republik Indonesia Nomor 43 tahun 2007 Tentang Perpustakaan”.http://pustakainfo.files.wordpress.com/2008/03/uu_43_2007_perpustaka an.pdf. 22 September 2012. Bafadal, Ibrahim, Pengelolaan Perpustakaan Sekolah, Jakarta : Bumi Aksara, 2005. Singarimbun, Masri & Sofian Effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta : LP3ES, 1989. www.kemdiknas.go.id. 23 September 2012. Departemen Pendidikan nasional (2006), Pedoman Perpustakaan Sekolah IFLA/UNESCO (The IFLA/UNESCO School Library Guidelines), Jakarta : Perpustakaan Nasional RI Indonesia, Undang – Undang. (2007). Undang – Undang No. 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan. Badan Standarisasi Nasional (2009), Standar nasional Indonesia / perpustakaan sekolah (SNI 7329:2009), Jakarta. Basuki, Sulistyo, Pengantar Ilmu Perpustakaan, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993. Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Komunikasi (Edisi Revisi), Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2005.
Amali, Ilmiyah, Persepsi Kepala SMA RSBI Terhadap Implementasi Undang – Undang RI Nomer 43 Tahun 2007 di Kabupaten Gresik, Surabaya : Universitas Airlangga, 2011.
Meladia, Sri, Analisis Pendapat Kepala Sekolah dan Komite Sekolah Terhadap Perpustakaan : Studi Kasus di SMKN kabupaten Tangerang, Depok : Universitas Indonesia, 2010.
15
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung : Alfabeta, 2008.
Ghony, Djunaidi & Fauzan Almanshur, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jogjakarta : Ar – Ruzz Media, 2012.
Website : www.google.com www.slideshare.net www. Academia.net pemustaka.com www.pnri.go.id www.yasni.com/blasius+sudarsono/perpustakaan , diakses pada tanggal 9 februari 2014
16