1
EKSISTENSI PENAMBANG BATU KAPUR DI DESA BEDOYO KECAMATAN PONJONG KABUPATEN GUNUNGKIDUL ABSTRAK Oleh: Wusono Catur Nugroho dan Puji Lestari, M. Hum Pegunungan karst adalah pegunungan berupa batuan kapur yang berupa bukit-bukit yang berbentuk bulat. Pegunungan tersebut membentang di seluruh Kabupaten Gunungkidul yang memiliki berbagai fungsi dan manfaat yang didapat dari pegunungan karst tersebut. Sebenarnya fungsi dari gunung karst tersebut adalah untuk daerah resapan air hujan, namun oleh masyarakat Desa Bedoyo pegunungan tersebut ditambang kemudian menjadi sandaran untuk bertahan hidup masyarakat di sana. Sebagian besar masyarakat yang ada di Desa Bedoyo berprofesi menjadi penambang batu kapur karena mereka menganggap profesi tersebut lebih menjanjikan dari pada pekerjaan yang lainnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan tentang Eksistensi Penambang Batu Kapur Di Desa Bedoyo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan sumber data primer terdiri dari: masyarakat sekitar, pemilik tambang, pekerja tambang, tokoh masyarakat, dan pemerintah daerah. Penelitian ini juga menggunakan sumber data sekunder yang diperoleh melalui dokumentasi dan studi kepustakaan dengan bantuan buku yang relevan. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Adapun validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber, sedangkan analisis datanya menggunakan analisis interaktif Miles dan Huberman. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat di Desa Bedoyo berprofesi sebagai penambang batu kapur adalah karena faktor ekonomi. Adanya PP No. 26 tahun 2008 mengenai kawasan lindung memunculkan rencana pemerintah untuk menutup semua kegiatan yang berkaitan dengan tambang batu kapur. Masyarakat yang tidak setuju dengan rencana pemerintah tersebut akhirnya melakukan protes yang kemudian menimbulkan suatu konflik antara pemerintah dengan masyarakat penambang batu kapur. Usaha pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut adalah melakukan pendataan ulang kawasan lindung, memberikan bantuan ternak kepada masyarakat, dan segera menyelesaikan permasalahan dengan masyarakat secara damai.
Kata Kunci : karst, kegiatan tambang batu kapur. A. PENDAHULUAN Dibandingkan dengan kabupaten-kabupaten yang lainnya seperti Sleman, Bantul dan Kulon Progo, Gunungkidul adalah daerah yang kurang subur baik di dalam segi pertanian dan juga maupun dari segala industri yang lainnya. Julukan
2
sebagai daerah yang tandus, kering dan gersang yang selama ini dikenal oleh sebagian masyarakat luas mengenai Kabupaten Gunungkidul ternyata dibalik halhal tersebut juga terdapat bermacam-macam potensi alam yang ada di kabupaten tersebut. masyarakat dapat memanfaatkan dengan baik potensi alam tersebut. Banyak potensi dari pemanfaatan Batu Kapur tersebut yang dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Bedoyo Kecamatan Ponjong. Seiring berjalannya waktu, tambang batu kapur tersebut menjadi banyak dan semakin berkembang, namun dengan semakin banyaknya para
penambang batu kapur yang ada di Desa
Bedoyo, mengakibatkan rusaknya alam dan mulai berkurangnya pegunungan karst yang ada di sekitar Desa Bedoyo akibat dari pemanfaatan masyarakat yang begitu banyak. Berdasarkan
PP Nomor 26 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa
bentang karst pengunungan sewu termasuk kawasan karst Kabupaten Gunungkidul adalah kawasan lindung yang tidak boleh ditambang Adanya acuan peraturan tersebut, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul dengan cepat berencana untuk menutup segala aktivitas yang berkaitan dengan kegiatan penambangan batu kapur. Akibat dari rencana pemerintah tersebut maka akan muncul suatu permasalahan sosial yang baru dikarenakan penutupan tambang batu kapur yang ada di Desa Bedoyo. Ketika aktivitas penambangan batu kapur tersebut dilakukan secara berkelanjutan, maka akan mengakibatkan dampak yang
3
besar seperti: kerusakan alam, lingkungan, dan bahkan dapat menimbulkan bencana alam. B. KAJIAN PUSTAKA 1. Konsep Desa Pada umumnya pengertian Desa dikaitkan dengan perrtanian, yang sebenarnya masih bisa didefinisikan lagi berdasarkan pada jenis dan tingkatannya. Menurut P.N Landis terdapat tiga definisi tentang Desa yaitu pertama Desa itu yang lingkungan peduduknya kurang dari 2500 orang, kedua Desa adalah satu lingkungan yang penduduknya mempunyai hubungan saling akrab serba informal satu sama lain, dan yang ketiga Desa adalah suatu lingkungan yang penduduknya hidup dari pertanian. Desa adalah suatu komunitas kecil yang menetap secara tetap disuatu tempat, masyarakat desa itu sendiri mempunyai karakteristik seperti yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren mereka menggambarkan karakteristik masyarakat Desa sebagai berikut (dikutip oleh Koentjoroningrat, dalam Jefta Libo, 1995: 7) a. Besarnya peranan kelompok Primer b. Faktor geografis menentukan dasar pembentukan kelompok atau sosial c. Hubungan lebih bersifat akrab dan langgeng d. Homogeni e. Keluarga lebih ditekankan fungsinya sebagai unit ekonomi f. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar.
4
Dalam sebuah karakteristik Desa sangat diperlukan adanya pembagian Desa atau biasa disebut dengan tipologi Desa. Tipologi Desa itu sendiri akan mudah diketahui jika dihubungkan dengan kegiatan pokok yang ditekuni oleh masyarakat didalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, adapun pembagiannya sebagai berikut ( Jefta Leibo, 1995: 18) a. Desa Pertanian Dimana pada Desa ini semua kegiatan masayarakatnya terlibat di bidang pertanian. b. Desa Industri Dimana pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari lebih banyak bergantung pada sector industri baik industri kecil maupun industri besar. c. Desa Nelayan atau Desa Pantai Pada jenis Desa ini pusat kegiatan dari seluruh anggota masyarakatnya bersumber pada usaha-usaha dibidang perikanan baik perikanan laut, maupun darat.
2. Pengertian Masyarakat Masyarakat adalah merupakan sekumpulan manusia yang saling berhubungan atau dengan istilah lain yaitu saling berinteraksi sehingga di
5
dalam masyarakat tersebut akan terdapat kesepakatan-kesepakatan yang telah ditentukan untuk dapat dilaksanakan oleh setiap anggota masyarakat tersebut. Kesepakatan-kesepakatan yang sudah ada dalam masyarakat kemudian mendarah daging pada setiap warganya, sehingga mengakibatkan antara masyarakat dalam kelompok tertentu akan berbeda dengan kelompok lain. ( Soerjono Soekanto, 2005 : 197) 3. Karakteristik Kehidupan Masyarakat Desa Secara umum dalam kehidupan masyarakat perdesaan dapat dilihat dari beberapa karakteristik seperti yang yang dikemukakan oleh Roucek dan Warren sebagai berikut ( Jefta Leibo, 1995:7) : a. Mereka memiliki sifat yang homogen dalam hal ( mata pencarian, nilainilai dalam kebudayaan, serta dalam sikap dan tingkah laku). b. Kehidupan di desa lebih menekankan anggota keluarga sebagai unit ekonomi. Artinya semua anggota keluarga turut bersama-sama terlibat dalam kegiatan pertanian atau mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga dan juga sangat ditentukan oleh keluarga primer, yakni dalam hal memecahkan suatu masalah keluarga cukup memainkan peranan dalam pengambilan keputusan final. c. Faktor geografis sangat berpengaruh atas kehidupan yang ada.
6
d. Hubungan sesama anggota masyarakat lebih intim dan awet daripada dikota, serta jumlah anak yang ada dalam keluarga ini lebih besar atau banyak. Menurut Koentjoroningrat, desa sebagai tempat menetap komunitas kecil. Desa tidak semata-mata terkait pada pertanian, tetapi sebagai suatu kumpulan komunitas yang memiliki ikatan warga terhadap wilayah yang dialaminya.( Eko Murdjiyanto, 2008: 46) 4. Arti Lingkungan Hidup Manusia hidup di bumi tidak sendirian, melainkan bersama makhluk lain, yaitu tumbuhan, hewan, dan jasad renik. Makhluk hidup yang lain bukanlah sekedar kawan hidup yang hidup bersama secara netral ataupun pasif terhadap manusia, melainkan hidup manusia itu terkait erat dengan mereka. Tanpa mereka manusia tidak dapat hidup. Kenyataan ini dengan mudah dapat kita lihat dengan mengandaikan di bumi ini tidak ada tumbuhan dan hewan. Manusia bersama tumbuhan, hewan ataupun jasad renik menempati suatu ruang tertentu. Kecuali makhluk hidup, dalam ruangan itu terdapat juga benda tak hidup, seperti misalnya udara yang terdiri atas bermacam gas, air dalam bentuk uap, cairan padat, tanah dan batu. Ruang yang ditempati suatu makhluk hidup bersama dengan benda hidup dan tak hidup didalamnya disebut lingkungan hidup makhluk tersebut. Interaksi antar manusia dengan lingkungan hidupnya tidaklah sesederhana seperti diuraikan dimuka, melainkan kompleks, karena pada umumnya dalam
7
lingkungan hidup ini terdapat banyak unsur. Pengaruh terhadap suatu unsur akan merambat pada unsur lain, sehingga pengaruhnya terhadap manusia sering tidak dapat dengan segera terlihat dan terasakan. Manusia hidup dari unsur-unsur lingkungan hidupnya: udara untuk pernafasannya, air untuk minum, keperluan rumah tangga dan kebutuhan lain, tumbuhan dan hewan untuk makanan, tenaga dan kesenangan, serta lahan untuk tempat tinggal dan produksi pertanian. Oksigen yang kita hirup dari udara dalam pernafasan kita, sebagian besar berasal dari tumbuhan dalam proses fotosintesis dan sebaliknya gas karbondioksida yang kita hasilkan dalam pernafasan digunakan oleh tumbuhan untuk proses fotosintesis. Jelaslah manusia adalah bagian integrasi; lingkungan hidupnya. Ia tidak dipisahkan daripadanya. Manusia tanpa lingkungan hidupnya adalah suatu abstrak belaka. (Otto Soemarwoto, 2004 : 51) 5. Lingkungan Hidup Sebagai Sumber Daya Sumber daya lingkungan milik umum sering dapat digunakan untuk bermacam peruntukan secara simultan, tanpa suatu peruntukan mengurangi manfaat yang dapat diambil dari peruntukan lain sumber daya yang sama itu. Misalnya, air sungai dapat digunakan sekaligus untuk melakukan proses produksi dalam pabrik, mengangkut limbah, pelayaran sungai, produksi ikan da keperluan rumah tangga, jadi peruntukan itu bersifat non-eksklusif. Akan tetapi apabila pemanfaatan untuk suatu peruntukan melampaui batas daya regenerasi atau asimilasi sumberdaya, peruntukan air untuk proses produksi
8
pabrik, produksi ikan dan keperluan rumah tangga. (Otto Soemarwoto, 2004 : 61)
6. Bentuk-bentuk Perubahan Sosial Setiap masyarakat pasti mengalami suatu perubahan baik itu yang berdampak positif maupun yang berdampak negatif, serta perubahan yang berjalan cepat maupun lambat. Perubahan yang terjadi dalam masyarakat bisa mengenai nilai-nilai sosial, norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan dalam masyarakat. Perubahan sosial itu sendiri mempunyai beberapa bentuk antara lain: a) Perubahan Cepat dan Perubahan Lambat Perubahan yang lambat disebut dengan evolusi, perubahan ini memerlukan waktu yang sangat lama. Perubahan ini terjadi karena usaha-usaha masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan keadaankeadaan yang baru. Perubahan cepat atau revolusi, perubahan ini menyangkut sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat dan terjadi dapat direncanakan terlebih dahulu atau tanpa rencana. Ukuran kecepatan perubahan ini bersifat relativ, karena dapat memakan waktu yang lama. b) Perubahan Besar dan Perubahan Kecil Batas-batas perubahan ini sangat relatif, perubahan kecil adalah perubahan yang terjadi pada unsur-unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau berarti bagi masyarakat. Sebaliknya perubahan yang terjadi pada masyarakat agraris menjadi masyarakat
9
industrialisasi misalnya, ini adalah perubahan besar karena berpengaruh pada masyarakat. c) Perubahan yang Dikehendaki dan Tidak Dikehendaki Perubahan yang dikehendaki
merupakan perubahan yang di
perkirakan oleh pihak-pihak hendak mengadakan perubahan dalam masyarakat. Perubahan yang tidak dikehendaki adalah perubahan yang terjadi tanpa kehendak, serta berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakat dan dapat menyebabkan timbulnya akibat-akibat sosial yang tidak diharapkan oleh masyarakat. Istilah perubahan sosial sering disebut juga dengan perubahan sosial kebudayaan, hal ini terjadi karena secara umum manusia sendiri merupakan makhluk sosial yang mempunyai satu kebudayaan dan dalam perubahan sosial yang terjadi secara tidak langsung juga merubah kebudayaan yang dimiliki oleh manusia tersebut, kemudian berkembang luas kedalam masyarakat dan akhirnya masyarakat juga akan mengalami suatu perbahan baik dari segi sosial maupun budaya. Akan tetapi ada beberapa tokoh beranggapan bahwa perubahan sosial dan perubahan budaya itu berbeda. (Soerjono Soekanto, 2005: 268)
C. KAJIAN TEORI
10
1. Dinamika Masyarakat dan Sosiologi Konflik Masyarakat selalu mengalami perubahan sosial baik pada nilai dan sturkturnya baik secara revolusioner maupun evolusioner. Perubahanperubahan tersebut dipengaruhi oleh gerakan-gerakan sosial dari individu dan kelompok sosial yang menjadi bagian dari masyarakat. Gerakan sosial dalam sejarah masyarakat dunia bisa muncul dalam bermacam bentuk kepentingan, seperti mengubah struktur hubungan sosial, mengubah pandangan hidup, dan kepentingan merebutkan peran politik ( kekuasaan). Ilmu sosiologi dilahirkan oleh perubahan-perubahan sosial dan dinamika gerakan sosial, bisa dikatakan, menurut Kornblurn, sosiologi menjadi bagian dari gerakan sosial itu sendiri karena seorang ilmuwan sosial dalam sejarahnya adalah reformer. (Kornblurn, 2003 dalam Novri Susan, 2009 :32) 2. Konflik Kelompok dan Perjuangan Kelas Kelompok sosial dalam struktur sosial mana pun dalam masyarakat dunia memberi kontribusi terhadap berbagai konflik. Hal ini dipengaruhi oleh sifat asal manusia yang sama dengan hewan. Nafsu adalah kekuatan hewani yang mampu mendorong berbagai kelompok sosial menciptakan berbagai gerakan untuk menang (to win) dan menguasai (to rule). Suatu kelompok sosial akan mampu mendominasikan kekuasaan tatkala secara internal kelompok tersebut mampu menjaga solidaritas kelompoknya. Loyalitas para anggota para anggota dalam menjaga persatuan
11
kelompok sosial. Namun begitu solidaritas dalam kelompok mengalami kegoyahan, maka bisa dipastikn suatu kelompok tidak dapat mempertahankan lebih lama dominasi kekuasaannya. Mengenai konflik, dalam pengertian teoritisnya, Marx menyatakan “ … of all instruments of production the greatest force of production is the revolutionary class itself” ( … dari semua instrument-instrumen produksi yang paling besar kekuatan produksi itu adalah kelas revolusioner itu sendiri ) ( dikutip oleh Dahrendorf, 1959: 9 dalam Novri Susan, 2009: 36). Pernyataan Marx melalui artikel
The Classes tersebut memberi penekanan bahwa
perubahan sosial dalam sejarah masyarakat manusia adalah akibat perjuangan revolusioner kelas. Kelas revolusioner yang dimaksud Marx, adalah kelas proletariat. Kelas, menurut Marx, adalah entisistas dari perubahan-perubahan sosial. Kelas dan perjuangan kelas kemudian, dalam konteks masyarakat kapitalis. Bryant Turner merangkum efek dari proses kontradiksi sistem ekonomi kapitalis : (1) polarisasi radikal dari sistem kelas ke dalam dua kelas bermusuhan, yaitu borjuis dan proletar; (2) proses segersi sistem kelas, yaitu kelas pemilik modal (kaum borjuis) yang kikir dan pemiskinan kelas pekerja; dan (3) radikalisasi kelas pekerja yang di transformasikan melalui perjuangan politis (Novri Susan, 2009 :34)
3. Perspektif Berdasarkan Teori Konflik
12
a. Tinjauan singkat tentang teori konflik Tokoh utama teori ini yang hasil pemikirannya secara ekstrim berseberangan dengan teori fungsional struktural
adalah Ralph
Dahrendorf. Beberapa kontras dengan teori kedua tersebut dapat diuraikan dalam beberapa hal ( Ritzer, 1980: 52). 1) Menurut teori fungsional struktural, masyarakat berada dalam kondisi statis atau lebih tepatnya bergerak dalam kondisi keseimbangan: sedang menurut teori konflik justru sebaliknya, masyarakat senantiasa berada dalam porses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus di antara unsur-unsurnya. 2) Dalam teori fungsionalisme struktural setiap elemen atau setiap institusi dianggap memberikan dukungan terhadap stabilitas, sedang teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhadap disintregasi sosial. 3) Teori fungsionalis struktural melihat anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum, sedang teori konflik menilai keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa. Dengan demikian, nilai bukan hasil konsensus melainkan instrumen kelompok super ordinasi untuk memaksakan kepentingannya kepada kelompok sub ordinasi.
13
Distribusi wewenang dan kekuasaan secara tidak merata menjadi faktor yang menentukan konflik sosial secara sistematik. Perbedaan wewenang merupakan suatu tanda adanya berbagai posisi dalam berbagai masyarakat. Kekuasaan dan wewenang menempatkan individu pada posisi atas dan posisi bawah pada setiap struktur. Lebih lanjut dikatakan, bahwa dalam masyarakat selalu terdapat golongan
yang saling bertentangan, yaitu antara penguasa dan yang
dikuasai. Masing-masing golongan dipersatukan oleh ikatan kepentingan nyata yang bertentangan secara substansial. Pertentangan tersebut terjadi dalam situasi di mana golongan yang berkuasa berusaha mempertahankan status quo sedangkan golongan yang dikuasai berusaha untuk mengadakan perubahan-perubahan. Adanya dua tipe kelompok ini sebenarnya juga berkaitan dengan dua sifat kepentingan yang disebut kepentingan laten dan kepentingan manifest (Poloma,1987: 136). Kepentingan laten adalah kepentingan yang sebetulnya melekat pada diri seseorang karena menduduki posisi tertentu, akan tetapi masih belum disadari. Dalam situasi konflik, golongan yang terlibat khususnya golongan yang dikuasai, melakukan tindakan-tindakan untuk mengadakan dalam struktur sosial. Apabila konflik tersebut terjadi secara hebat, maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Demikian pula apabila konflik disertai penggunaan kekerasan, maka perubahan struktural akan semakin cepat.
14
b. Perspektif konflik nilai Perspektif ini berkembang setelah Perang Dunia II, ditengah harapan agar ilmu sosial lebih berperan dan berguna dalam memahami berbagai gejala sosial yang ada terutama dalam pemecahan masalah sosial. Hal ini disebabkan karena menurut perspektif konflik nilai, konsep sickness atau sosial expectation merupakan konsep yang subyektif, sehingga sulit untuk dijadikan referensi dalam memehami masalah sosial. Dalam masyarakat yang berkembang semakin kompleks, dapat saja terjadinya penyimpangan peraturan tersebut karena si pelaku terbiasa hidup dalam kompleks lain yang nilainya berbeda bahkan saling bertentangan. Masalah sosial mungkin tidak terjadi apabila pihak yang kuat bersedia mengorbankan bagi yang lemah (terjadi kompromi). Sebaliknya, masalah sosial akan timbul apabila yang kuat justru menggunakan kekuatannya untuk membela kepentingan. Dalam kenyataannya, situasi konflik tersebut dapat berkembang menjadi tiga kemungkinan yaitu consensus, trading, dan power. Sebagai masalah sosial yang di diagnosis dari adanya konflik nilai yang sering juga berkaitan dengan konflik kepentingan, maka rekomendasi untuk pemecahan masalah menurut perspektif ini juga didasarkan pada pola pikir yang di latar belakangi anggapan adanya suatu kehidupan sosial yang didalamnya terdapat berbagai variasi nilai dan kepentingan. Ada beberapa
15
usaha yang dapat di jalankan untuk melakukan antisipasi terhadap masalah tersebut. Di antaranya adalah : 1) Katup penyelamat (Safety Valve); ialah suatu mekanisme yang dapat dipakai untuk mempertahankan kelompok dari kemungkinan konflik sosial. Katup penyelamat membiarkan luapan permusuhan tersalur tanpa menghancurkan seluruh struktur. Banyak orang melihat cara ini dapat berfungsi sebagai jalan keluar yang meredakan permusuhan. Tanpa sarana tersebut hubungan-hubungan di antara pihak-pihak yang bertentangan akan semakin tajam. 2) Simbiosis mutualistik, dalam arti mengusahakan suasana atau iklim sedemikian rupa, sehingga diantara kelompok-kelompok yang potensial terlibat konflik merasa dapat saling mengambil keuntungan dari kehadiran masing-masing. 3) Nilai koordinatif, dalam pengertian adalah suatu nilai inti yang mampu mengordinasikan setiap nilai yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian nilai-nilai yang ada berkedudukan subordinasi terhadap nilai koordinatif ini. Nilai kooordinatif berfungsi sebagai pranata bersama sehingga dapat menjangkau seluruh kelompok yang ada. 4) Mendorong terbentuknya asosiasi dalam kelompok baru yang tidak bersifat eksklusif tetapi inklusif dengan keanggotaan yang bersifat terbuka dari berbagai kelompok dengan latar belakang sosial yang
16
berbeda. Asosiasi dan kelompok seperti ini di yakini mempunyai potensi yang bersifat cross cutting afiliataion. 5) Transformasi struktural, dalam pengertian di trasnformasikan suatu struktur sosial baru yang di perhitungkan dapat menghilangkan perbedaan posisi yang mengakibatkan konflik nilai dan konflik kepentingan ( Soetomo, 2008: 101).
D. METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif yaitu pengamatan, wawancara, atau penelaah dokumen. Berdasarkan sifat dan spesifikasinya yang diangkat dalam penelitian ini, maka bentuk penelitian yang paling relevan adalah penelitian kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong mendefinisikan bahwa metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Menurut mereka, pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik (utuh) (Lexy J. Moleong.2005: 330). Penelitian ini menggunakan sumber data berupa kata-kata dan tindakan, sumber yertulis, foto atau dokumentasi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan beberapa teknik, Penelitian ini menggunakan sumber data secara tertulis dan lisan, sehingga dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah observasi, wawancara, dokumentasi. Teknik
17
sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan sampel tujuan (purposive sampling). Purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pada acuan dan pertimbangan tertentu. Triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber yaitu dengan cara membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dengan cara : (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3) membandingkan apa yang dikatakan sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang berada, orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. (Lexy J. Moleong, 2005: 330). Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara interaksi sebagaimana yang diajukan oleh Miles dan Huberman (1992: 15) yang terdiri dari empat aspek, yaitu Pengumpulan, Reduksi Data, Penyajian Data, Penarikan Kesimpulan.
E. HASIL PENELITIAN 1. Eksistensi Penambang Batu Kapur Di Desa Bedoyo a. Awal Mula Berdirinya Tambang Batu Kapur
18
Pada awal mulanya masyarakat di Desa Bedoyo sebagian besar bekerja sebagai petani, dimana setiap hari bekerja di ladang menggarap lahan pertanian dan kemudian hasil dari pertanian tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Akan tetapi hasil yang diperoleh dari petanian itu sendiri masih sangat kurang sekali dirasakan oleh masyarakat di desa Bedoyo. Setelah pada tahun 80-an masyarakat yang ada di Desa Bedoyo mulai beralih profesi menjadi penambang batu kapur, dengan adanya kegiatan tambang batu kapur tersebut kemudian sedikit demi sedikit segala permasalahan perekonomian masyarakat yang ada di Desa Bedoyo mulai membaik. Sejak saat itu kemudian mulai banyak bermunculan tambangtambang batu kapur yang didirikan oleh masyarakat baik secara perseorangan maupun secara individu, ada yang menggunakan alat tradisional atau bahkan ada yang menggunakan peralatan berat lainnya seperti traktor dan backhoe. b. Alasan Masyarakat Untuk Tetap Menjadi Penambang Penambangan batu kapur yang ada di Desa Bedoyo sudah berlangsung sekitar kurang lebih 20 tahunan dimana sudah banyak gunung kapur yang ditambang baik yang sudah habis di tambang maupun yang masih tersisa dan juga sudah banyak pabrik-pabrik tambang yang berdiri mulai dari pabrik besar maupun pabrik kecil yang didirikan oleh masyarakat setempat maupun masyarakat yang bukan berasal dari Desa Bedoyo atau boleh dikatakan dari luar daerah.
19
Sebagian masyarakat yang yang ada di desa Bedoyo ada yang tidak setuju dengan kegiatan tambang batu kapur tersebut . umumnya masyarakat yang tidak setuju adalah masyarakat yang tidak menjadi penambang batu kapur yang pada umumnya memiliki perkerjaan diluar penambang seperti pemilik usaha bengkel, ibu rumah tangga, dan juga PNS. Meskipun banyak keluhan dari masyarakat terkait dengan dampak yang ditimbulkan dan juga gangguan yang dialami oleh masyarakat disekitar lokasi tambang dan juga larangan dari pemerintah Kabupaten Gunungkidul terkait dengan penghentian kegiatan tambang tersebut, nyatanya kegiatan penambangan batu kapur tersebut sampai sekerang masih tetap berlangsung atau dengan kata lain masih tetap eksis sampai saat ini. 2. Dampak Penambangan Batu Kapur Di Desa Bedoyo Adanya
penambangan batu kapur yang dilakukan oleh
masyarakat di Desa Bedoyo khususnya juga mengakibatkan perubahan sosial baik itu individu, kelompok maupun masyarakat dalam hal tersebut perubahan sosial itu sendiri memiliki berbagai dampak baik yang secara positif maupun yang negatif. Bagi Berbagai dampak positif dan negatif yang diperoleh masyarakat dari kegiatan pertambangan batu kapur antara lain sebagai berikut : a. Dampak Positif
20
Banyak dampak positif yang diperoleh dari masyarakat setelah mereka bekerja menjadi penambang batu kapur, berikut ini dampak positif dari penambangan batu kapur di masyarakat antara lain : 1) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat Adanya kegiatan pertambangan batu kapur tersebut juga meningkatkan mutu pendidikan masyarakat di Desa Bedoyo pada umumnya, yang tadinya hanya mampu menyekolahkan anak sampai kejenjang pendidikan SD atau SMP saja akan tetapi setelah menjadi penambang batu kapur masyarakat disana mampu menyekolahkan anak ke jenjang lebih tinggi ada yang sampai ke tingkat SMA bahkan ada yang sampai ke perguruan tinggi. 2) Meningkatkan sarana dan prasarana masyarakat Mulai meningkatnya sarana dan prasarana umum yang berguna bagi masyarakat yang sudah mulai membaik. Salah satu bentuk perbaikan dari segi infrastruktur yang ada dimasyarakat dapat dilihat dari mulai baiknya sarana umum seperti jalan yang semula masih rusak dan juga belum diaspal sekarang setelah sebagian besar masyarakatnya menjadi penambang batu kapur jalan-jalan sudah mulai diaspal dan
21
sudah mulai diperbaiki, juga dari segi pendidikan masyarakat yang sebagian besar menjadi penambang batu kapur juga memberikan kotribusi yaitu dengan mendirikan bangunan sekolah taman kanak-kanak. 3) Mengentaskan masyarakat dari pengangguran Adanya
kegiatan penambangan batu kapur yang ada di
Desa Bedoyo itu sendiri berdampak positif yaitu dengan menurunnya angka jumlah pengangguran. Hal tersebut dikarenakan masyarakat baik tua ataupun muda banyak yang menjadi pengusaha tambang kapur, sehingga menyerap tenaga kerja dari masyarakat sekitar. Dampak selain mengurangi angka pengangguran adalah menurunnya angka pencurian dan mabuk-mabukan yang dilakukan oleh warga masyarakat dikarenakan adanya pekerjaan dan juga pendapatan masyarakat yang diperoleh dari kegiatan penambangan batu kapur. b. Dampak Negatif Adanya kegiatan penambangan batu kapur yang dilakukan oleh
masyarakat
di
Desa
Bedoyo
secara
otomatis
juga
memunculkan berbagai dampak negatif, baik yang berupa dampak kesehatan, lingkungan, dan juga dampak terhadap keselamatan masyarakat disekitarnya. berikut damapak negatif yang diterima
22
oleh masyarakat dari kegiatan penambangan batu kapur tersebut diantaranya: 1) Munculnya Gangguan Kesehatan Masyarakat Adanya
kegiatan penambangan batu kapur yang
dilakukan oleh masyarakat tidak dipungkiri lagi menimbulkan munculnya suatu limbah dari hasi penambangan tersebut, limbah tersebut berupa debu yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan dan penggilingan batu kapur oleh masyarakat di Desa Bedoyo. Debu tersebut sangat menggangu sekali bagi masyarakat yang menjadi penambang dan masyarakat yang tidak terlibat dalam kegiatan penambangan. Munculnya debu tersebut juga berakibat kepada
terganggunya penglihatan
masyarakat dari debu tersebut dan juga munculnya penyakit ISPA yang diakibatkan dari debu tersebut. 2) Kerusakan Lingkungan Kegiatan penambangan dan penggilingan batu kapur yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Bedoyo juga berdampak terhadap kerusakan lingkungan yang terjadi yaitu dimungkinkan apabila pegunungan karst habis ditambang oleh masyarakat maka akan menimbulkan banjir. Selain berdampak terhadap
munculnya
ancaman
banjir,
debu
dari
hasil
23
penambangan batu kapur dapat membuat tanah dan tumbuhan menjadi mati atau bahkan tidak dapat hidup dikarenakan tanah yang sudah tertutup debu dari sisa-sisa tambang. 3) Terancamnya Keselamatan Para Pekerja Tambang Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat dapat mengancam keselamatan para penambang karena penambangan yang dilakukan oleh masyarakat tersebut sebenarnya sangat berbahaya, Banyaknya kasus kematian akibat dari penambangan batu yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Bedoyo, namun masyarakat yang sudah bekerja menjadi penambang tersebut merasa bahwa resiko kematian yang akan dihadapi masyarakat sebanding dengan apa yang diperoleh dari kegiatan tambang tersebut. 4). Perubahan Perilaku Sosial Masyarakat Penambang Adanya kegiatan tambang batu kapur yang ada di Desa Bedoyo banyak masyarakat yang sudah
mengenal uang, artinya semua
kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan sosial masyarakat harus diberikan imbalan jasa berupa uang. Acara hajatan dan kegiatan sosial lainnya tesebut akan menghentikan semua kegiatan penambangan batu kapur yang ada di Desa Bedoyo pada beberapa hari dan hal tersebut akan menghentikan pemasukan yang diperoleh dari masyarakat
24
penambang batu kapur. Dengan adanya hal tersebut pada saat ini masyarakat akan meminta upah atau meminta pamrih dari masyarakat yang sedang mengadakan kegiatan hajatan tersebut dalam bentuk uang pengganti waktu mereka selama berhenti produksi batu kapur. 3. Pengaruh Kebijakan Pemerintah Terhadap Eksistensi Penambang Batu Kapur Di Desa Bedoyo Kegiatan penambangan batu kapur yang dilakukan oleh masyarakat Desa Bedoyo sebenarnya mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat khususnya Pemerintah Kabupaten Gunungkidul dengan memberikan apresiasi yang sangat baik. Pemerintah
daerah sebenarnya juga memperoleh
keuntungan dari kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh masyarakat yaitu dengan cara menarik pajak sebagian dari hasil penambangan yang dilakukan oleh masyarakat penambang batu kapur khusunya yang berada
di Desa
Bedoyo sampai kurang lebih pada tahun 2010 sebelum ada surat edaran dari pemerintah pusat, pemerintah masih memungut pajak kepada masyarakat yang menjadi penambang batu kapur. Pembangunan selalu mengkibatkan perubahan sosial. Bahkan pembangunan adalah perubahan sosial itu sendiri. Semenjak adanya peraturan pemerintah no. 26 tahun 2008 tentang tata ruang wilayah dan kawasan lindung Pemerintah berencana menutup semua aktivitas penambangan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Bedoyo baik itu yang menggunakan alat modern dan alat tradisional. Masyarakat menuntut
25
pemerintah agar tidak menghentikan dan menutup tambang batu kapur yang menjadi pekerjaan utama mereka untuk hidup dan juga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat juga sudah berusaha kepada pemerintah agar segera memberikan izin kepada masyarakat yang menjadi penambang batu kapur. Solusi yang dilakukan pemerintah saat ini adalah berupaya secepat mungkin untuk mendata ulang kawasan karst yang ada di seluruh Kabupaten Gunungkidul, hal ini berkaitan dengan wilayah pegunungan karst dunia dimana di Kecamatan Ponjong membentang pegunungan karst dan termasuk yang ada di Desa Bedoyo juga akan didata ulang. Pemerintah ingin menata ulang kawasan pertambangan yang ada di Kabupaten Gunungkidul dan juga melakukan inventarisasi kawasan gunung karst yang ada di seluruh Kabupaten Gunungkidul dan juga mendata kembali wilayah gunung karst mana saja yang menjadi kawasan budidaya dan kawasan mana saja yang menjadi kawasan lindung mengingat bahwa sebelum adanya peraturan pemerintah tersebut masih belum ada kejelasan mengenai tata letak wilayah yang jelas sehingga nantinya ada kejelasan wilayah mana saja yang boleh digunakan sebagi lokasi pertambangan dan wilayah mana yang merupakan kawasan lindung sehingga masyarakat tidak merasa kebingungan dan menjadi resah apabila nantinya peraturan itu diberlakukan oleh pemerintah. F. KESIMPULAN DAN SARAN
26
1. Kesimpulan Kegiatan pertambangan batu yang dilakukan di Desa Bedoyo Kecamatan Ponjong Kabupaten Gunungkidul sudah berlangsung puluhan tahun yakni dimulai pada tahun 80-an. Sebelum menjadi penambang batu kapur masyarakat di sana sebagian besar bekerja menjadi petani, bisa dikatakan masyarakat disana sangat miskin bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja masih kesulitan, karena hasil yang diperoleh dari bertani masih sangat kurang bahkan. Akan tetapi setelah masyarakat di Desa Bedoyo beralih profesi menjadi penambang batu kapur kesejahteraan masyarakat di Desa Bedoyo semakin membaik dan bisa dikatakan sudah sejahtera dari sebelumnya, yang tadinya tidak bisa menyekolahkan anak sampai jenjang lebih tinggi setelah menjadi penambang batu kapur bisa mensekolahkan anak sampai SMA bahkan sampai ke Perguruan tinggi. Dampak yang lain berupa terancamnya keselamatan para pekerja yang menjadi penambang batu kapur tersebut. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan penambang batu kapur tersebut membuat rongga-rongga didalam gunung kapur tersebut hingga berakibat gunung tersebut menjadi runtuh dan dapat menimpa masyarakat yang menambang batu kapur tersebut. Selain itu juga disinyalir di bawah gunung kapur tersebut terdapat aliran sungai bawah tanah yang ditakutkan nantinya apabila gunung
27
tersebut ambles dan jatuh kedalam sungai bawah tanah tersebut akan sangat membahayakan sekali. Pemerintah akan mengupayakan penataan ulang kembali kawasan pegunungakn karst yang ada di seluruh Kabupaten Gunungkidul agar terdata semuanya dan juga pemerintah akan mengupayakan secepat mungkin untuk mendata ulang kawasan karst yang ada di seluruh Kabupaten Gunungkidul, hal ini berkaitan dengan wilayah pegunuggan karst dunia dimana di Kecamatan Ponjong khususnya Desa Bedoyo dan juga mendata ulang kawasan mana saja yang menjadi lokasi pertambangan masyarakat saat ini. 2. Saran Kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Bedoyo memang merupakan salah satu mata pencarian yang pokok dan juga sebagai penghidupan sebagian besar masyarakat disana. Namun dengan dampak yang ditimbulkan dari hasil penambangan tersebut baik dampak positif maupun dampak negatif pemerintah harus mengawasi kegiatan penambangan oleh masyarakat tersebut sehingga berbagai dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan itu sendiri pemerintah mengetahuinya dan juga bisa memberi solusi kepada masyarakat.
28
Pemerintah juga harus segera melakukan pendataan ulang dan menginventarisasi semua pengunungan karst yang masih dalam kawasan lindung, kawasan budidaya dan juga segera mengoptimalisasikan PP no.26 tahun 2008 tersebut agar masyarakat tidak merasa kebingungan dan juga tidak bertanya-tanya terkait dengan kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan masyarakat sehingga menimbulkan konflik. Hal tersebut juga harus diimbangi dengan pemberian ganti rugi yang sepadan dengan apa yang telaj diperoleh oleh masyarakat dari kegiatan pertamban batu kapur. Masyarakat di Desa Bedoyo juga harus menjaga agar lingkungan juga tetap terjaga dengan baik yakni dengan cara setelah penambangan dilakukan dan pegunungan kapur tersebut habis maka masyarakat harus melakukan reklamasi dengan penanaman pohon-pohon sebagai penyangga lingkungan agar tidak rusak tentunya juga harus direalisasikan dengan bijak dan benar agar bukan menjadi suatu wacana dan hanya janji dari masyarakat yang ingin melakukan reklamasi ulang. G. DAFTAR PUSTAKA Edi Suhartono,2005. Analisis Kebijakan Publik, Bandung : CV. Alfabet. Eko Mujrdiyanto, 2008. Sosiologi Perdesaan pengantar Untuk Memahami Masyarakat Desa, Yogyakarta: Wimaya Press UPN veteran, Goerge Ritzer. 2008. Teori Sosiologi. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI PRESS.
29
Moleong Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kulaitatif Edisi Revisi . Bandung: Putra Remaja Persada Karya. Otto Soemarwoto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. Klaten: Intan Sejati. Pitor Sztomka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenanda Satjipto Rahardjo. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa. Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatf. Bandung: Alfabeta. Pitor Sztomka. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenanda Rachmad K. Dwi Susilo, 2009. Sosiologi Lingkungan, Jakarta: Rajawali Pers. Satjipto Rahardjo. 1980. Hukum dan Masyarakat. Bandung : Angkasa. Sardjonoprijo Petrus. 1982. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Rajawali Putra. Soerjono Soekanto. 2005. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Jaya. Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sugiyono. 2010. Memahami Penelitian Kualitatf. Bandung: Alfabeta.
30
Suharsimi Arikunto. 2002. Jakarta: Rineka Cipta.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.