WUJUD-WUJUD TUTURAN PERSUASIF DALAM KAMPANYE PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI PASURUAN TAHUN 2008 DITINJAU DARI PERSPEKTIF TINDAK-TUTUR (Kajian Pragmatik) Oleh: K.Sulam Taufik Dosen STKIP PGRI Sidoarjo Abstrak: Artikel ini merupakan hasil analisis tuturan persuasif yang digunakan dalam kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati Pasuruan pada tahun 2008. Tulisan ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujudwujud tuturan persuasif dalam perspektif tindak tutur. Secara teori, tuturan persuasif dapat didefinisikan sebagai ujaran yang bertujuan untuk memengaruhi dan mengajak lawan tutur agar mengikuti dan menerima keinginan penutur. Oleh karena itu, ujaran tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak tutur direktif. Namun setelah dikaji secara pragmatik, tuturan persuasif yang seharusnya digunakan pada tindak-tutur direktif tersebut, ternyata juga digunakan pada tindak-tutur representatif, komisif, ekspresif dan deklaratif. Kata Kunci: kajian pragmatik, tuturan persuasif, tindak-tutur direktif, representatif, komisif, ekspresif dan deklaratif.
A. Pendahuluan 1. Konsep dan Perkembangan Sejarah Tindak -Tutur Kajian tuturan-persuasif ini tidak dapat dipisahkan dengan keterlibatan teori tindak-tutur yang dikemukakan oleh para pakar pragmatik. Teori tindak-tutur „speech acts‟ pertama kali dikemukakan oleh Austin (1962), seorang filsuf senior berkebangsaan Inggris. Istilah tindak-tutur „speech acts‟ yang dikemukakan ini merupakan hasil pemikiran yang didasarkan pada pandangan Malinowski (1923) yang mengatakan bahwa setiap ujaran adalah tindakan atau „act‟. Oleh sebab itu, menurut pandangan Malinowski bahwa di dalam komunikasi fatis pun, bahasa tidak sekadar untuk mengatakan sesuatu tetapi juga untuk melakukan sesuatu atau tindakan. Selain Austin, linguis yang mengembangkan teori Malinowski ini adalah Jakobson (1960), Searle (1969) dan Kreidler (1998). Bahkan menurut Hymes (1964, 1972, 1974) dalam teorinya yang disebut „Etnography of speaking‟ dijelaskan bahwa pola-pola budaya juga dapat diaplikasikan di dalam pemakaian bahasa, dalam hal ini „tindak tutur‟.
Terkait dengan pemakaian bahasa tersebut, lebih lanjut Hymes (1962) mengemukakan beberapa komponen tindak-tutur atau „speech acts‟ antara lain: waktu dan tempat (time and place), peserta tutur dan latar belakangnya (participants and their backgrounds) yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, kelas/kasta, dan sebagainya. Hal-hal lain yang juga berhubungan dengan komponen tindak-tutur adalah: saluran (channel), kode (code), topik (topic), pesan (message), dan norma-norma budaya interaksi dan harapan (cultural norms of interactions and expectations). Komponenkomponen tindak-tutur tersebut, oleh Hymes ditunjukkan dalam akronim SPEAKING. Akronim tersebut mewakili komponen-komponen tindak-tutur, yakni latar (setting), peserta tutur (participants), tujuan (ends), urutan tindakan (act sequences),nada atau spirit berbicara (keys), jalur (instrumentalities), norma-norma interaksi (norms of interactions) dan bentuk serta ragam bahasa (genres). Menurut Austin dalam bukunya yang berjudul How to Do Things with Words bahwa pada dasarnya ketika seseorang mengatakan ujaran, dia juga melakukan tindakan. Dengan demikian, ketika orang mengatakan „I promise I will come on time‟ (Saya berjanji bahwa saya akan datang tepat waktu), „I apologize for coming late‟ (Saya minta maaf karena datang terlambat), „I name this ship Elizabeth‟ (Saya menamakan kapal ini Elizabeth) maka orang tersebut tidak hanya mengucapkan suatu ujaran, akan tetapi juga melakukan tindakan berjanji, meminta maaf, dan memberi nama. Tuturan seperti ini oleh Austin dikategorikan sebagai tuturan „performative‟ karena kata kerja yang digunakan di dalamnya (promise, apologize, name) adalah kata kerja „performatives‟ (perbuatan). Selain tuturan performatives, ada juga tuturan „constatives‟ yakni tuturan „penyata‟ seperti: „Mau ke mana ?‟, „Ayo, kita pergi‟, „Dia pergi ke Surabaya‟ (Rani, 2004: 158). Tuturan ini tidak menuntut perlakuan tindakan oleh penutur. Jadi, setelah penutur mengucapkan ujaran „constatives‟ tersebut dia tidak memiliki keharusan melakukan tindakan yang terkait dengan apa yang dikatakan. Namun demikian, kedua konsep tersebut sulit dibedakan sehingga akhirnya Austin menyimpulkan bahwa semua ungkapan bahasa baik yang performatives maupun constatives harus dipandang sebagai tindakan (Renkema, 1993: 22). Dengan dasar inilah maka Austin (1976) mengklasifikasi tindak-tutur menjadi tiga jenis tindakan: (a) tindak lokusi „locutionary act‟ yakni tindakan fisik untuk menghasilkan ujaran, (b) tindak ilokusi „illocutionary act‟ yakni
tindakan yang dilakukan berdasarkan maksud tuturan yang diujarkan, artinya bila penutur mengatakan janji (promise), janji itu harus dibuat dan bila mengancam maka ancaman (threat) juga harus dibuatnya, dan (c) tindak perlokusi „perlocutionary act‟ yaitu efek yang dihasilkan melalui tindak lokusi dan ilokusi yang berupa tindakan yang dilakukan oleh lawan tutur seperti melakukan tindakan yang diinginkan penutur melalui perintah. Uraian tersebut menunjukkan bahwa makna sebuah ujaran itu tidak dapat ditentukan dengan hanya melihat ujaran yang diucapkan (tindak lokusi) saja. Maksud yang ingin dicapai oleh penutur dalam suatu tindak-tutur terdapat pada tindak ilokusi yang dibuatnya. Jadi, makna atau fungsi ujaran dalam tindak-tutur, hanya dapat dikaji berdasarkan tindak ilokusi. Dengan memahami tindak ilokusi tersebut lawan-tutur dapat merespon suatu ujaran yang dibuat oleh seorang penutur. Bila sebuah ujaran yang dibuat oleh seorang penutur dapat direspon dengan baik oleh lawan tutur, maka tujuan komunikasi antara penutur dan lawan tutur dapat dikatakan berhasil. Tindak ilokusi tersebut dikatakan berhasil, mana kala ilokusi yang dibuat penutur dapat memenuhi kondisi kelayakan atau „felicity conditions‟. Artinya, dalam membuat janji (promise) seorang penutur harus memenuhi kondisi kelayakan (felicity conditions). Dikatakan oleh Searle (1965, 1969), ada empat macam kondisi kelayakan yang harus terpenuhi agar tindak ilokusi yang dibuat seorang penutur berpengaruh terhadap lawan tutur. Kondisi kelayakan tersebut oleh Renkema (1993: 23) dirinci sebagai berikut. a. Isi proposisi „the propositional content‟ Dalam hal berjanji, apa yang dikatakan penutur harus mengacu pada tindakan yang dilakukan penutur di waktu yang akan datang. Tidak dapat disebut janji jika apa yang dikatakan penutur berupa tindakan yang telah dilakukan atau tindakan di masa lampau. Misalnya seorang jurkam mengatakan “Jika Allah mengijinkan kami memimpin Pasuruan, maka pendidikan mulai SD hingga SMA akan gratis”. Ujaran ini mengandung makna janji karena apa yang dikatakan oleh penutur belum terlaksana dan akan dipenuhi di waktu yang akan datang. Selain itu, isi ujaran tersebut membuat mitra-tutur senang jika penutur benar-benar memenuhi janjinya. Dengan begitu, isi proposi dari ujaran yang bersifat janji tidak boleh menyimpang dari konteks ilokusi yang diinginkan penutur.
b. Kondisi kesiapan „the preparatory codition‟ Sebagaimana dikemukakan didepan, dalam hal berjanji, seorang penutur harus mengutarakan janjinya sesuai yang dijanjikan atau sesuai isi janji bukan di luar yang dijanjikan. Kalau pasangan calon berjanji akan membebaskan biaya pendidikan mulai tingkat SD hingga SMA, maka konsekuensinya mereka harus menepatinya. Dengan demikian tindak ilokusi yang dilakukan penuturnya dapat dikatakan berhasil karena lawan tutur tidak dirugikan. Kondisi kesiapan dalam hal berjanji merupakan tindakan-tindakan yang diyakini penutur bahwa dirinya dapat atau tidak dapat memenuhi janji itu di waktu yang akan datang. Penutur harus berpikir sungguh-sungguh sebelum membuat janji agar janji yang dibuat tidak merugikan lawan tutur dan dirinya. Ketika penutur membuat janji, maka janji itu harus dipegang teguh. Lawan-tutur lebih suka dan merasa senang jika janji itu dapat terpenuhi. Walau demikian, jika janji yang dikatakan diyakini tidak dapat terpenuhi, hendaknya penutur menjelaskan sebab-sebabnya mengapa janji yang telah dibuat tidak dapat dilaksanakan. Dengan kondisi kesiapan ini, penutur akan memosisikan dirinya sebagai orang yang memiliki otoritas dalam hal membuat janji. Lawan-tutur meyakini bahwa penutur akan memenuhi janjinya. c. Kondisi sungguh-sungguh „sincerity condition‟ Yang dimaksud dengan sungguh-sungguh dalam membuat janji adalah penutur harus jujur terhadap apa yang dijanjikan. Ujaran yang dibuat dalam tindak ilokusi harus dikatakan secara tulus sesuai maksud yang diinginkannya. Penutur harus yakin bahwa janji yang dibuat benar-benar janji yang mengacu pada kepentingan dirinya sehingga penutur merasa rugi jika tidak memenuhinya. Bila kondisi ini terpenuhi maka kegiatan komunikasi dapat dikatakan berhasil. Kondisi sungguh-sungguh ini terkait erat dengan kondisi-kondisi yang dikemukakan sebelumnya. Kondisi ini merupakan kesungguhan dan ketulusan penutur dalam memenuhi janjinya. Misalnya, janji yang berisi „pembebasan biaya pendidikan dan pengobatan‟ oleh pasangan calon tertentu adalah janji yang harus dibuat dengan kesungguhan dan ketulusan hati. Dalam hal ini, penutur tidak boleh main-main dengan janji yang diucapkan. Oleh karena itu, janji yang diucapkan harus ada dalam batas
kewajaran. Penutur tidak boleh membuat janji yang tidak mungkin akan dijangkau oleh kemampuan dirinya. d. Kondisi esensial „essential condition‟ Yang dimaksud dengan kondisi esensial adalah seorang penutur sendiri yang bertanggung jawab terhadap janji yang dibuatnya bukan mitra tuturnya. Dalam hal ini janji yang dibuat tidak boleh dilanggar. Pelanggaran janji akan merugikan penutur sendiri. Jadi penutur memunyai kewajiban untuk melaksanakan janjinya. Kondisi essensial ini merupakan kondisi yang mengharuskan penuturnya tidak mengingkari janjinya dengan alasan apapun. Jadi janji itu harus dipenuhi dalam keadaan apapun. Misalnya, pasangan calon tertentu berjanji akan menurunkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) jika terpilih sebagai presiden. Janji ini tidak boleh dikhianati, karena jika dikhianati akan berdampak negatif pada diri penutur. Pasangan tersebut tidak akan dipercaya lagi oleh rakyat yang memilihnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa setiap ujaran yang dibuat oleh penutur kepada lawan-tutur dapat dikategorikan sebagai tindak-tutur. Tindak-tutur yang dibuat berdasarkan kondisi kelayakan yang telah disebutkan di atas, dapat menghasilkan hubungan sosial yang harmonis. Dengan demikian, kegiatan komunikasi antara penutur dan lawan-tutur dapat berjalan dengan lancar. Sesuai dengan judul tulisan ini, penulis beranggapan bahwa tindak-tutur dalam kegiatan kampanye mengandung ilokusi-ilokusi persuasif. Apapun yang dikatakan penutur dalam konteks kegiatan kampanye memiliki tujuan untuk memengaruhi dan mengajak lawan-tutur (pengunjung kampanye) untuk memilih pasangan calon tertentu. Maka dari itu, untuk mengetahui makna tindak-tutur yang diujarkan oleh penuturnya penulis menggunakan pendekatan pragmatik agar makna suatu ujaran dapat dikaji secara utuh dan terpadu sehingga ilokusi-ilokusi ujaran yang dibuat penutur dapat dipahami menurut fungsinya. Deskripsi tentang konsep, pengertian dan sejarah perkembangan teori tindak-tutur yang dikemukakan di atas, dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengkaji makna ujaran yang digunakan dalam kegiatan kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati. Oleh karena itu, dalam tulisan ini peneliti menggunakan teori tindak-tutur dan teori persuasif
secara terpadu agar bentuk-bentuk tindak tutur dan fungsinya dapat diidentifikasi dengan mudah.
2. Definisi Tuturan Persuasif dalam Tindak -Tutur Tuturan persuasif‟ merupakan bentuk tindak-tutur yang terbentuk berdasarkan prinsip-prinsip tindak-tutur direktif. Seperti halnya tindak-tutur direktif, tuturan persuasif ini juga memiliki fungsi untuk memerintah, menyuruh, atau meminta kepada lawan-tutur untuk melakukan tindakan. Tindak-tutur semacam ini memunyai nilai-nilai persuasif, karena konteks tuturannya didasarkan pada maksud dan keinginan penuturnya yang bertujuan untuk memengaruhi lawan-tutur. Tindak-tutur tersebut disampaikan kepada audiens atau massa yang akan memilih pasangan calon bupati dan wakil bupati. Secara teknis, dapat dikatakan bahwa tuturan yang digunakan dalam kegiatan kampanye dapat dikategorikan sebagai tuturan persuasif. Oleh sebab itu, kajiannya harus didasarkan pada teori tindak tutur-direktif yang bersifat persuasif. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa tuturan persuasif dalam kegiatan kampanye memegang peranan penting dalam rangka meraih simpati calon pemilih dalam pemilu atau pilkada. Oleh sebab itu bukanlah hal yang aneh jika masa kampanye tiba para pasangan calon berusaha mencari dukungan massa pemilih dengan cara-cara persuasif. Sebagaimana yang dikemukakan Muhtadi (2008: 92) bahwa kampanye politik sering dilakukan dalam bentuk retorika, dengan membuat kemasan isu menjadi menu yang paling menarik perhatian publik. Maka tidak jarang para Jurkam yang terbentuk dalam para Juru Kampanye atau orator dalam kegiatan kampanye berusaha merebut simpati massa dengan cara yang menarik dan menyenangkan. Mereka harus melakukan tindakan-tindakan yang bersifat persuasif dengan menggunakan bermacam-macam strategi. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kampanye politik merupakan kegiatan promosi untuk mengenalkan kandidat pemimpin kepada khalayak. Menurut Poerwadarminta (1984) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kampanye diartikan sebagai gerakan atau tindakan serentak untuk melawan atau mengadakan aksi; atau kegiatan yang dilakukan oleh organisasi politik atau calon yang bersaing untuk memerebutkan kedudukan di parlemen dan sebagainya untuk mendapatkan dukungan massa pemilih dalam suatu pemilihan suara. Oleh sebab itu,
tindak-tutur yang paling banyak digunakan adalah tindak-tutur yang mengandung makna direktif. Penulis sengaja menggunakan istilah tuturan persuasif dalam tulisan ini, karena pada prinsipnya semua tuturan persuasif berfungsi untuk mengajak atau memengaruhi orang lain agar melakukan suatu tindakan yang diinginkan penuturnya. Hal ini dikemukakan oleh Simons (1976: 19) sebagai berikut. “Persuasion is manipulative act, but it also leaves receivers with the perception of choice. It involves attempted influence such as a politician attempts to attract votes, a legislator seeks a bill, a student seeks permission to take a make-up exam. In some contexts it may be appropriate to refer to “persuasion” as an effect already produced by messages, whether intended or not”. (Persuasi merupakan tindakan yang bersifat manipulatif, akan tetapi tindakan tersebut memberikan persepsi pilihan kepada penerimanya. Tindakan tersebut berusaha memengaruhi orang lain seperti seorang politikus berusaha menarik suara pemilih, anggota dewan meminta tanda bukti pembayaran, dan mahasiswa minta ijin ujian perbaikan. Dalam konteks-konteks tertentu, persuasi mungkin tepat digunakan sebagai efek yang telah hasilkan oleh pesan-pesan baik yang disengaja atau tidak). Bertolak dari pemahaman konsep di atas dapat dikatakan bahwa tuturan persuasif dapat digunakan dalam kegiatan kampanye politik. Jadi, di dalam kegiatan kampanye, tindakan yang bersifat persuasif sangat diperlukan. Tindakan yang bersifat persuasif tersebut, diharapkan mampu menghipnotis khalayak (calon pemilih). Dengan demikian kampanye merupakan ajang persuasif yang bertujuan untuk memeroleh kemenangan dalam Pemilu. Selain itu, kampanye juga sangat berguna untuk memeroleh jabatan atau kedudukan yang diperebutkan melalui pemungutan suara. Kampanye politik yang dilakukan oleh masing-masing pasangan calon dalam pemilihan Bupati dan wakil Bupati juga memiliki tujuan-tujuan seperti yang disebutkan di atas. Maka dari itu setiap pasangan calon saling berebut simpati dengan bermacammacam cara dan strategi. Pada umumnya cara-cara yang digunakan dalam kampanye politik adalah cara-cara persuasif. Hal ini dimaksudkan agar lawan tutur atau massa calon pemilih bersedia memberikan dukungan atau menerima ajakan penutur. Tentu saja, agar kampanye yang dilakukan membuahkan hasil sesuai yang diharapkan, kampanye yang perlu dilakukan masing-masing pasangan calon adalah kampanye cerdas, yakni kampanye yang dapat menarik simpati massa atau calon pemilih. Alasannya, keberhasilan memromosikan seorang pemimpin tidak berbeda caranya
dengan memromosikan sebuah produk (Muhtadi, 2008). Maka dari itu, jika teknik dan cara kampanye tersebut dilaksanakan dengan baik, ia akan tepat sasaran, yaitu meraih simpati para pemilih. Jadi, sukses dan tidaknya seseorang meraih kekuasaan, kampanye cerdas merupakan sebuah keniscayaan. Dengan gagasan ini maka bahasa atau tuturan persuasif dalam tindak-tutur yang digunakan dalam kampanye politik sangat diperlukan. Terkait
dengan
tuturan
persuasif
dalam
tindak-tutur
Cialdini
(1984)
mengemukakan bahwa ada enam prinsip kekuatan yang dapat digunakan oleh para penakluk professional untuk memengaruhi seseorang agar mau membeli, memberikan sumbangan, konsesi, suara, dukungan dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kunci untuk mendapatkan kata “ya” secara otomatis dari orang lain dapat digunakan prinsip-prinsip yang dimaksud antara lain: konsistensi, hubungan timbal balik, otoritas, pembuktian sosial, rasa suka dan kelangkaan. a) Konsistensi artinya apa yang dikatakan kepada lawan-tutur tidak bertentangan dengan barang atau seseorang yang kita promosikan. Misalnya, seorang penutur mengatakan ”Jika pasangan kami dipercaya memimpin Pasuruan, biaya pendidikan dari SD hingga SMA akan kami gratiskan”. Ujaran tersebut mengandung janji yang harus dilaksanakan, jika penuturnya konsisten terhadap apa yang dikatakan. Tetapi jika janji yang dibuat tidak dipenuhi, prinsip konsistensi yang digunakan akan menjadi lemah, sehingga dapat mengurangi kredibilitas penuturnya. Sikap konsisten ini sangat penting karena sikap tersebut mengandung nilai-nilai yang sangat berharga dalam kultur suatu masyarakat. Konsistensi merupakan kunci utama dalam meraih kesuksesan karena dapat dijadikan motif yang sangat kuat dalam mencapai suatu tujuan. Menurut Cialdini (1984), kekuatan dari sikap konsisten sangat dominan dalam rangka mengarahkan perilaku manusia. Konsep ini sesuai dengan maksim kualitas dalam prinsip kerja sama (cooperative principles) yang digagas Grice (1975) b) Hubungan timbal-balik adalah tindakan saling melakukan di antara dua orang untuk membangun keakraban satu sama lain. Jika jalinan keakraban terbangun dengan sendirinya teori resiprokal (timbal-balik) akan terjadi. Bila seseorang pernah berjasa terhadap orang lain maka orang yang menerima jasa akan sulit menolak apa yang dibutuhkan pemberi jasa tersebut. Hal tersebut dikarenakan sistem balas budi yang mengikuti aturan resiprokal merupakan suatu yang unik dalam budaya manusia (Budi
Santoso, 2005: 20). Hubungan timbal-balik dalam kehidupan berpolitik nampaknya sulit dihindari. Misalnya, ketika pasangan calon tertentu mendatangi kelompok pemilih dengan memberikan sumbangan dana untuk pembangunan tempat ibadah, otomatis pasangan tersebut akan mendapatkan dukungan lebih besar dari kelompok tersebut. Dalam kunjungan tersebut, salah seorang pasangan calon mengatakan tuturan persuasif: ”Alhamdulillah,
pada acara silaturrahmi ini kami akan
menyerahkan bantuan berupa uang tunai sebesar sepuluh juta rupiah kepada ketua ta‟mir masjid di desa ini. Mudah-mudahan uang tersebut dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan pembangunan masjid ini. Selain itu, kedatangan kami di masjid ini adalah perlu mohon do‟a restu kepada para jamaah, insyaAllah kami akan mencalonkan sebagai bupati Pasuruan
untuk periode 2008-2013”.
Apa yang
dilakukan penutur kepada para jamaah di masjid tersebut merupakan prinsip timbalbalik, karena penutur mengharapkan imbalan dari lawan-tutur setelah berbuat sesuatu. Tindakan seperti ini sejalan dengan maksim kedermawanan (generosity maxim) dalam prinsip kesantunan Leech (1983). c) Otoritas merupakan prinsip yang dapat digunakan untuk memengaruhi orang lain melakukan tindakan dengan cara menggunakan kekuasaan menyuruh, meminta dan memerintah. Bentuk-bentuk otoritas yang diterapkan dalam prinsip ini adalah simbolsimbol yang menggambarkan keotoritasan, bukan kekuasan mutlak seseorang untuk membuat perintah. Misalnya, merekayasa karakter seseorang yang menggambarkan figur seorang pemimpin yang dikagumi dan disegani banyak orang. Melalui prinsip ini seseorang bisa tampil di depan publik dengan figur yang meyakinkan dan menarik. Prinsip otoritas ini dapat juga ditunjukkan melalui cara berpakaian dan gaya bicara seorang penutur yang menggambarkan dirinya sebagai orang yang memiliki kelebihan dalam bidang-bidang yang menjadi programnya. Misalnya dalam ujaran ”Kami akan menegakkan hukum se adil-adilnya jika Allah mentakdirkan kami menjadi bupati Pasuruan”. Agar ujaran tersebut mampu memengaruhi lawan tuturnya,
seorang
penutur
harus
mampu
meyakinkan
lawan-tutur
dengan
menunjukkan sikap atau perilaku seolah-olah dirinya adalah seorang bupati yang diyakini memiliki kompetensi yang lebih tinggi. Di sini peran konteks tuturan sangat menentukan apakah tuturan tersebut dapat atau tidak dapat meyakinkan lawan-tutur.
Maka dari itu, agar pesan yang disampaikan diterima dan diikuti oleh lawan tutur, penutur harus mampu memoles dirinya layaknya seperti orang-orang yang popularitasnya tinggi. Tindakan seperti ini sejalan dengan maksim kearifan (tact maxim) dalam prinsip kesantunan Leech, karena nilai-nilai keotoritasan dapat ditunjukkan dalam sikap bijak seorang penutur. d) Pembuktian sosial merupakan prinsip persuasif yang dilakukan dengan merekayasa sesuatu sehingga sesuatu yang tidak menarik bisa menjadi menarik dan diminati banyak orang. Misalnya merekayasa peristiwa kampanye yang sepi pengunjung dengan cara memberi hiburan yang menarik atau merekayasa gambar masing-masing pasangan calon dengan menyertakan foto atau gambar para kiai atau tokoh kharismatik yang mendukungnya. Cara ini akan menimbulkan kesan bahwa produk yang ditawarkan atau pasangan calon yang dikampanyekan banyak peminatnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pengunjung yang hadir di dalam kegiatan kampanye atau banyaknya tokoh-tokoh terkenal yang ikut mendukung pasangan calon tertentu. Cara-cara ini dapat mengecoh pengunjung atau pelanggan untuk membeli sebuah produk dan/atau mendukung pasangan calon yang dikampanyekan. Sebagai contoh, peneliti mendapati pasangan calon tertentu merekayasa foto dokumen yang diambil dari salah satu kegiatan kampanye kemudian hasil rekayasanya dimuat di media massa agar pembaca mengetahui bahwa pasangan calon tersebut banyak pendukungnya. Hal serupa juga dapat digunakan pada gambar baliho yang diserati teks-teks ujaran, misalnya: ”Hanya pasangan nomor 1 yang direstui oleh Gus Dur dan kiai-kiai sepuh di Pasuruan”. Teks ujaran tersebut diberi background yang bergambar pasangan calon dan para tokoh yang mendukungnya sehingga baliho itu memberi kesan bahwa pasangan calon tersebut benar-benar didukung oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh, yang tergambar dalam gambar baliho tersebut. Sikap penutur yang demikian ini sejalan dengan maksim pujian yang ditujukan kepada diri atau kelompok penutur yang berisi kebanggaan penutur. e) Rasa suka adalah prinsip persuasif yang dilakukan dengan cara mencari orang dekat atau kolega yang sama-sama menyukai sesuatu yang diminatinya. Cara ini dapat dilakukan dengan membentuk jaringan peminat atau anggota baru secara berantai. Anggota baru tersebut diwajibkan mencari anggota berikutnya sehingga dapat
membentuk satu kesatuan yang utuh untuk menggunakan produk tertentu atau memilih pasangan calon tertentu. Di dalam memromosikan masing-masing pasangan calon bupati dan wakil bupati cara ini dapat dipandang cukup efektif. Misalnya, membentuk ketua kelompok pendukung pasangan calon tertentu, dan disebar melalui jaringan-jaringan yang telah terbentuk dalam organisasi massa atau politik. Tiap-tiap ketua kelompok ditugasi untuk mencari anggota baru sedikitnya 10 (sepuluh) orang yang memiliki kesukaan yang sama, secara suka rela. Selanjutnya, setiap anggota yang terjaring juga diminta mencari anggota baru seperti yang dilakukan anggota sebelumnya, dan begitu juga seterusnya. Tiap-tiap anggota jaringan diminta menyebarluaskan pasangan calon yang menjadi pilihannya, dengan disertai alasanalasan mengapa pasangan calon tersebut harus dipilih. Sikap penutur yang demikian ini sejalan dengan maksim kedermawanan (generosity maxim). f) Kelangkaan adalah prinsip persuasif yang dilakukan dengan cara mengubah atau menciptakan sesuatu menjadi langka dan sangat berharga. Bila pasangan calon mampu mengondisikan sesuatu menjadi langka maka pasangan calon tersebut dapat dipastikan mendapat dukungan yang besar. Misalnya ketidakamanan menjadi aman, penurunan harga BBM, penyediaan lapangan pekerjaan dan lain sebagainya. Dengan prinsip ini, pasangan calon dituntut mampu menciptakan persoalan-persoalan sosial yang langka yang sedang dialami oleh masyarakat luas, kemudian berusaha untuk dapat mengatasinya pada kurun waktu tertentu. Jika pasangan calon mampu melakukan prinsip-prinsip persuasi seperti ini, maka kemungkinan besar dukungan dari masyarakat luas akan mengalir pada dirinya. Hal ini disebabkan karena apa yang dilakukan oleh pasangan calon tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Prinsipprinsip yang dikemukakan tersebut memberikan gambaran bahwa strategi persuasif yang biasa dilakukan dalam menjual sebuah produk dapat digunakan pula untuk memromosikan pasangan calon dalam pilihan kepala daerah. Maka dari itu landasan teori yang relevan dengan kajian ini adalah teori tindak-tutur karena keenam prinsip di atas merupakan bentuk tindakan yang dihasilkan dari sebuah tuturan yang diwujudkan dalam tuturan persuasif. Sikap penutur yang demikian ini dalam kajian pragmatik sejalan dengan maksim simpati (sympathy maxim).
3. Teori Pragmatik Teori pragmatik dalam tulisan ini dapat digunakan untuk mengkaji makna tindaktutur berdasarkan konteks tuturan. Teori ini dapat membantu penulis mengurai berbagai macam makna tindak-tutur yang digunakan dalam kampanye. Pernyataan ini didasarkan pada pandangan Leech (1983: 2) bahwa pragmatik dalam arti luas, dapat digunakan untuk mengkaji bahasa, dari segi bentuk (form), makna (meaning) dan konteks (context). Menurut teori ini, makna suatu ujaran atau tindak-tutur, tidak dapat ditentukan hanya dengan melihat bentuk tindak-tuturnya, tetapi juga harus melihat konteks yang membungkusnya. Sejalan dengan pandangan tersebut, Mey (1985) mengemukakan: “Pragmatics is the study of language in human context of use”. (Pragmatik adalah kajian bahasa dengan menggunakan konteks manusia). Lebih lanjut, Mey (1998) mengatakan: “A pragmatic perspective on language cannot do without language as being spoken by its users, that is by live speaker”. (Perspektif pragmatik pada bahasa tidak dapat berjalan tanpa digunakannya bahasa oleh penuturnya, yaitu penutur pada saat berbicara). Artinya, kajian pragmatik hanya dapat dipraktikkan ketika ada percakapan terjadi antara penutur dan mitra tutur. Dengan demikian, pragmatik lebih menekankan penggunaan konteks, dalam kajian bahasa lisan atau teks-teks bahasa lisan yang tertulis. Makna tindak-tutur dalam pidato kampanye dan teks-teks ujaran yang digunakan dalam media kampanye, akan sulit dipahami jika kajian pragmatik tidak digunakan. Teks iklan politik misalnya, walaupun secara konteks iklan-iklan itu memiliki maksud yang sama yakni ajakan untuk mencoblos nomor urut partai dan sosialisasi logo partai (Budi Setiyono, 2008: 38) namun makna teks ujarannya sulit dipahami jika konteks tuturannya tidak diketahui secara jelas. Konteks tuturan dalam kajian pragmatik dapat memberi makna suatu ujaran yang bervariasi, tergantung konteksnya. Bentuk dan susunan katakata yang digunakan dalam ujaran, tidak dapat digunakan sebagai penentu makna. Misalnya, teks ujaran yang pernah digunakan oleh pasangan capres dan cawapres berbunyi “BERSAMA KITA BISA” tidak berarti apa-apa, jika pembaca tidak mengenal konteksnya. Dengan demikian, maka teori pragmatik dalam kajian makna tindak tutur tidak dapat diabaikan. Berikut pandangan para linguis tentang pragmatik sebagai dasar untuk mengkaji makna.
Definisi pragmatik menurut Gazdar, (1979:2); Levinson (1983: 27) adalah: “Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presupposition, speech acts, and aspects of discourse structure”. (Pragmatik adalah kajian mengenai deiksis (setidak-tidaknya bagian dari deiksis), implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur wacana). Pendapat tersebut, sejalan dengan pandangan Cruse (2000: 313) yang menyatakan bahwa kajian pragmatik meliputi referensi dan deiksis, implikatur percakapan dan tindak-tutur. Senada dengan pandangan-pandangan yang dikemukakan di atas, Kreidler (1998: 18) mengemukakan:“Pragmatics is another branch of linguistics that is concerned with meaning. Pragmatics and semantics can be viewed as different parts, or different aspects of the same general study. Both are concerned with people‟s ability to use language meaningfully”. (Pragmatik merupakan cabang dari linguistik yang berhubungan dengan makna. Pragmatik dan semantik dapat dipandang sebagai bagian atau aspek yang berbeda dalam kajian yang sama secara umum. Keduanya terkait dengan kemampuan seseorang menggunakan bahasa yang bermakna). Kutipan di atas memberikan pengertian bahwa pragmatik adalah cabang dari linguistik yang mengkaji makna bahasa. Namun dalam mengkaji sebuah makna, pragmatik dan semantik dibedakan menurut aspek-aspek yang dikaji. Pragmatik mengkaji makna menurut konteks pemakai bahasa (penutur) seperti konteks budaya, status sosial dan latar belakang pengetahuan, sedangkan semantik mengkaji makna berdasarkan konteks kalimat atau struktur kalimat seperti deiktis, kohesi, koherensi dan lain sebagainya. Dengan merujuk pada pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa semantik mengkaji makna secara diadik, sedangkan , pragmatik mengkaji makna secara triadik. Atas dasar pengertian ini, Leech (1983) membedakan antara makna yang dikaji dalam semantik dan makna yang dikaji dalam pragmatik sebagai berikut. a. What does X mean?
(Apa artinya X?)
b. What did you mean by X? (Apa maksudmu dengan X?) Berdasarkan contoh tersebut, kemudian Leech menjelaskan bahwa makna suatu bahasa tidak dapat dilihat dari sudut pandang pragmatik atau semantik saja, tetapi juga harus memadukan kedua-duanya. Pandangan ini menunjukkan bahwa pragmatik dan semantik harus digunakan secara bersama-sama dalam mengkaji makna. Dengan begitu,
di dalam mengkaji makna ujaran selain dilihat bentuk dan strukturnya, yang paling penting adalah: teks, konteks, dan implikatur-implikatur yang timbul di dalam kegiatan percakapan. Dengan mengintegrasikan sudut pandang pragmatik dan semantik, kebenaran makna suatu ujaran atau kalimat dapat dipertanggungjawabkan. Penjelasan tentang teks, konteks, implikatur dan praanggapan dalam kajian pragmatik dikemukakan pada paparan berikut ini.
B. Pembahasan Menurut Searle (1969, 1975a) tindak-tutur dapat diklasifikasi menjadi lima macam, yakni: assertives/representatives, commissives, expressives, declarative dan. Directives. Di dalam tulisan ini, penulis akan mendeskripsikan keterlibatan tuturan persuaif yang digunakan oleh para Jurkam pemilihan bupati dan wakil bupati di Pasuruan Jawa timur pada tahun 2008. Tuturan tersebut dikaji berdasarkan prinsip-prinsip pragmatik dan tindak-tutur yang dikemukakan di atas.
1.. Tuturan-Persuasif dalam Tindak-Tutur assertives Tindak-tutur „assertive‟ atau representatives (Searle, 1975a) ialah tindak-tutur yang mengikat penuturnya terhadap kebenaran proposi yang dikatakan. Tindak-tutur ini biasanya ditandai dengan penggunaan kata-kata seperti “menyatakan” (state), “menyarankan”
(suggest),
“membual”
(boast),
“mengeluh”
(complain),
“mengklaim/mengecam” (claim), “melaporkan” (report), dan “mengingatkan” (warn) Salah satu contoh tindak-tutur jenis ini adalah sebagai berikut. (1)
Pemberitahuan Tim Sukses DaDi H. Sutrisno, Tim Sukses DaDi : “Para undangan yang kami hormati, khususnya masyarakat desa Gerbo: Pada hari ini, tanggal 10 Mei 2008, adalah kampanye akbar Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna, yang akan memimpin Pasuruan 2008-2013 ”. (korpus data no. 1) Menurut konteks tuturan, penutur adalah orang yang ditunjuk sebagai ketua Tim
sukses pasangan calon nomor 2 (DaDi). Sebagai ketua Tim, ia mememunyai tugas dan kewajiban yang harus dilaksanakan demi kemenangan pasangan calon yang menugasi. Oleh sebab itu, ia harus bertanggung jawab terhadap tugas yang diembannya. Salah satu
tugas pokok ketua Tim adalah mengajak dan memengaruhi calon pemilih agar bersedia memilih calon pasangan yang dikampanyekan. Tuturan ini disampaikan di hadapan pengunjung kampanye putaran pertama di Lapangan Desa Gerbo, Kecamatan Gerbo Kabupaten Pasuruan. Dengan demikian, sebagian besar pengunjung adalah pendukung pasangan calon nomor 2 (DaDi). Dilihat dari isi tuturan, dapat diketahui bahwa penutur bermaksud memberitahu atau mengenalkan calon bupati dan calon wakil bupati dari pasangan calon nomor 2 (dua). Dalam tuturan tersebut, penutur menyebut nama Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna sebagai pasangan yang akan memmimpin Pasuruan. Penyebutan nama pasangan calon dalam situasi tersebut menunjukkan bahwa penutur menghendaki lawan tutur (pengunjung kampanye) memfokuskan pilihannya ke pasangan nomor 2(dua). Penyebutan nama tersebut, oleh penutur ditambah dengan ungkapan „yang akan memimpin Pasuruan‟. Ungkapan ini seolah-olah ada kepastian bahwa calon bupati dan calon wakil bupati yang akan memimpin Pasuruan adalah Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna. Dari ungkapan tersebut dapat diketahui bahwa penutur mengungkapkan tuturan “Pada hari ini, tanggal 10 Mei 2008, adalah kampanye akbar Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna, yang akan memimpin Pasuruan 2008-2013” adalah dilatarbelakangi paradigma yang menganggap bahwa pasangan calon tersebut adalah yang terbaik di antara 3 (tiga) pasangan calon yang ada. Di dalam tuturan tersebut penutur juga diketahui menggunakan istilah kampanye akbar Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna. Istilah ini menunjukkan bahwa apa yang diungkapkan, tentu terkait dengan perasaan bangga yang ada pada diri penutur. Begitu bangganya dengan pasangan calon yang didukungnya, penutur harus mengatakan bahwa kampanye yang digelar adalah kampanye akbar. Dengan menyebut istilah „kampanye akbar‟, kebanggaan yang ada pada diri penutur akan memuaskan dirinya. Dengan begitu, kampanye yang diselenggarakan oleh pasangan calon lain tidak sebesar dan semeriah pasangan calon nomor 2 (dua). Bertolak dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa konteks tuturan yang diungkapkan penutur pada tuturan (1) adalah terkait dengan situasi kampanye. Menurut pengamatan penulis, situasi kampanye pada saat itu terkesan kurang meriah karena pengunjung yang hadir tidak begitu banyak. Maka dari itu penutur berupaya memberi
semangat kepada para pengunjung yang hadir dengan ungkapan-ungkapan seperti pada data tuturan di atas, agar mereka tidak berkecil hati meskipun kampanye tersebut sepi pengunjung. Namun, beberapa menit kemudian, rombongan konvoi sepeda motor datang sehingga situasinya berubah menjadi lebih ramai dan menambah semangat para pengunjung yang hadir. Nilai persuasif data tuturan (1) dapat diketahui dari ungkapan sapaan yang berbunyi: “Para undangan yang kami hormati, khususnya masyarakat desa Gerbo”. Ungkapan tersebut merupakan bentuk sapaan yang bernilai persuasif. Dikatakan demikian, karena ungkapan itu mengandung nilai „etika‟ yang dapat membuat pengunjung tertarik terhadap calon pasangan yang dikampanyekan penutur. Dengan ungkapan tersebut, pengunjung merasa dihormati dan dipuji atau diorangkan. Menurut kajian pragmatik, ungkapan tersebut dapat digolongkan sebagai ungkapan yang tidak mengancam muka lawan tutur. Tuturan yang tidak mengancam muka lawan tutur dapat dikategorikan sebagai tuturan yang santun. Dengan kata lain, tuturan tersebut tidak mengandung maxim-maxim yang bertentangan dengan maksim simpati (sympathy maxim) Di samping ungkapan penghormatan dan pujian, nilai persuasif tuturan dapat dilihat pada tuturan berikutnya, yakni “Pada hari ini, tanggal 10 Mei 2008, adalah kampanye akbar Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna, yang akan memimpin Pasuruan 2008-2013”. Berdasarkan tuturan yang demikian ini, dapat diketahui bahwa penutur sengaja membuat tuturan semacam itu supaya ucapan yang di sampaikan mengandung magnit atau daya tarik yang dapat memengaruhi pikiran dan memantapkan hati para pengunjung kampanye. Oleh sebab itu, penutur berusaha memasukkan kata-kata yang dapat menggugah hati para pengunjung kampanye. Fakta ini dapat dilihat dari ucapan penutur yang menyatakan bahwa kampanye yang digelar adalah kampanye akbar. Kemudian, ia menyebut bahwa kampanye akbar itu adalah kampanyenya pasangan calon nomor 2 atau pasangan calon DaDi, Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna. Dengan mengatakan ungkapan yang berbunyi „kampanye akbar‟ akan timbul kesan bahwa pasangan calon yang dikampanyekan dibanjiri banyak pendukung karena memiliki pendukung yang
sangat banyak. Tuturan dengan modus seperti ini diperkirakan mampu mendorong para pengunjung kampanye agar tetap setia mendukung pasangan calon nomor dua. Selanjutnya, setelah menyebut nama-nama pasangan calon, penutur mempertegas ucapannya dengan mengatakan kata-kata “yang akan memimpin Pasuruan 2008-2013”. Penyebutan nama-nama calon dan penegasan yang disampaikan penutur kepada para pengunjung kampanye sebagaimana diuraikan di atas berpotensi untuk meningkatkan daya persuasif pada tuturan tersebut. Pasalnya, ungkapan-ungkapan yang dikatakan tersebut sedikit banyak akan memengaruhi pikiran para pengunjung kampanye. Sebagaimana dikemukakan di depan bahwa sebuah ujaran atau tuturan dapat dikategorikan sebagai tindak-tutur representatif “representative” mana kala tuturan tersebut memiliki ciri-ciri yang bersifat menginformasikan (lihat poin „a‟). Dengan demikian, tuturan persuasif yang terdapat pada data (1) layak dikatakan sebagai tuturan persuasif yang menggunakan aspek tindak-tutur „representative‟. Pasalnya, tuturan tersebut
mengandung pernyataan „memberitahu‟. Ilokusi tuturan yang mengandung
makna memberi tahu sebagaimana pada data (1) tersebut diwujudkan pada ungkapan yang berbunyi: “Pada hari ini, tanggal 10 Mei 2008, adalah kampanye akbar Pak Dade Angga dan Pak Eddy Paripurna”. Dengan membaca tuturan tersebut, pembaca akan memeroleh informasi dari penutur bahwa pada hari dan tanggal tersebut adalah pelaksanaan kampanye untuk pasangan calon nomor 2 (dua). Pembaca yang semula tidak tahu akan menjadi tahu. Secara pragmatik, tuturan tersebut bertujuan untuk memotivasi pengunjung agar mereka bersemangat mendukung pasangan calon yang dikampanyekan. Bertolak dari kriteria tindak-tutur „representative‟ yang diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa pemberitahuan yang disampaikan lewat tuturan (1) tersebut, adalah pemberitahuan yang mengandung wacana persuasif. Dengan menggunakan kriteria yang telah ditentukan di depan, dapat dikatakan bahwa tuturan persuasif yang digunakan dalam kegiatan kampanye politik dapat diwujudkan dalam bentuk tindak-tutur „representative‟. Temuan ini menunjukkan bahwa tindak-tutur representatif dapat digunakan untuk mengajak dan memengaruhi lawan-tutur dengan cara membujuk dan merayu (persuading).
2. Tuturan Persuasif dalam Tindak -Tutur Komisif. Tuturan persuasif dalam tindak-tutur komisif (commisive) adalah tuturan yang diungkapkan dengan menggunakan kata-kata yang mengandung ungkapan „janji‟, „kaul‟ (nadzar), „tawaran‟, „perbuatan‟, „kontrak‟, „ancaman‟ dan „sumpah‟. Definisi tersebut mengacu pada teori tindak-tutur yang digagas oleh Searle (1969, 1975) yang mengemukakan bahwa tindak-tutur komisif (commisive) dapat ditandai dengan salah satu dari ungkapan tersebut. Dalam teori kampanye disebutkan bahwa semua tuturan yang diungkapkan penutur dalam kegiatan kampanye, pada intinya adalah mengajak atau memengaruhi para pengunjung Muhtadi (2008: 92). Dalam hal ini, pengunjung diajak atau dipengaruhi agar bersedia mendukung pasangan calon yang dipropagandakan. Maka dari itu, ungkapan „janji‟, „kaul‟ (nadzar), „tawaran‟, „perbuatan‟, „kontrak‟, „ancaman‟ dan „sumpah‟ dalam tindak tutur komisif (commisive) yang dibuat oleh penutur atau jurkam dalam kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati dapat dikatakan sebagai tuturan yang bersifat persuasif. Data tuturan (2) dan (3) berikut, merupakan contohcontoh dari tuturan persuasif dalam tindak-tutur komisif (commisive) yang mengandung janji. (2)
Menyelesaikan Kantor MWC NU Dade Angga: “Nanti kalau Pak Dade jadi bupati akan kita selesaikan kantor MWC itu. Allahu Akbar 3x”. (korpus data no. 120)
(3)
Berobat Gratis Dade Angga: “Apabila Bapak dan Pak Eddy jadi Bupati, berobat di puskesmas gratis”. (korpus data no. 121) Konteks tuturan pada data tuturan (2) dan (3) merupakan tuturan yang berisi
ungkapan „janji‟ dari pasangan calon nomor 2 (dua) atau DaDi. Penutur adalah calon bupati yang sebelumnya menjabat bupati Pasuruan 1998-2003. Calon bupati ini adalah satu-satunya penutur yang selalu menggunakan kata sapaan „bapak‟ untuk dirinya sendiri, ketika menyampaikan pidato kampanye. Jadi, kata sapaan „bapak‟ tersebut digunakan sebagai pengganti dari kata ganti orang pertama (saya/kami). Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa penutur menginginkan lawan-tutur (pengunjung kampanye) tetap menganggap dirinya sebagai orang yang harus dituakan. Tindakan penutur yang
demikian ini menunjukkan bahwa penutur berusaha menjaga jarak sosial antara dirinya dan para pengunjung. Di dalam masyarakat Jawa, sikap menjaga jarak tersebut merupakan tindakan yang sering dilakukan oleh orang-orang yang memunyai kedudukan atau orang-orang yang status sosialnya lebih tinggi. Jika hal ini terjadi, maka orang tersebut akan disegani dan dihormati oleh orang lain. Dengan berbuat demikian, maka fatwa atau nasehat seorang penutur akan diikuti dan dipatuhi oleh lawan tuturnya, karena fatwa atau nasehat yang disampaikan tersebut dianggap sangat berharga bagi diri lawan tutur. Di dalam tuturan tersebut, penutur membuat janji, jika dirinya terpilih sebagai bupati, pembangunan kantor MWC NU akan diselesaikan dan berobat di Puskesmas akan digratiskan. Tuturan yang diujarkan ini menunjukkan bahwa penutur telah mengetahui jika warga NU di Pasuruan sangat membutuhkan seorang bupati yang loyal terhadap keberadaan Ormas (organisasi masyarakat) tersebut. Di samping itu, penutur juga mengetahui bahwa sebagian besar warga Pasuruan yang hadir dalam kagiatan kampanye tersebut adalah warga yang kurang mampu ekonominya. Maka, penutur berjanji akan membebaskan biaya berobat di Puskesmas. Seandainya penutur tidak mengetahui kondisi masyarakat Pasuruan sebagaimana yang diungkapkan di atas, maka ke dua tuturan yang dikemukakan pada data (2) dan (3) dapat dipastikan tidak akan terungkap dalam pidatonya. Nilai persuasif tuturan di atas, terdapat pada ungkapan penutur yang berisi janji akan menyelesaikan pembangunan kantor MWC NU yang belum terselesaikan dan membebaskan biaya berobat di Puskesmas. Dengan mengungkapkan janji tersebut, diharapkan pikiran dan perilaku pengunjung terpengaruh dan mereka bersedia mematuhi ajakan penutur. Menurut hemat peneliti, janji yang dibuat oleh penutur adalah tindakan yang menguntungkan lawan-tutur. Janji tersebut, dapat memberikan daya tarik tertentu bagi lawan-tutur atau pengunjung kampanye. Pengunjung yang merasa dirinya sebagai warga NU, akan menyambut gembira atas kesediaan penutur yang akan menyelesaikan bangunan kantor MWC NU yang pada saat itu belum terselesaikan. Jika janji tersebut direalisasikan, maka penutur yang juga calon bupati tersebut akan memberikan jasa yang sangat besar bagi warga NU dan masyarakat umum. Macetnya bangunan tersebut karena dana yang diperlukan sangat
besar, sementara masyarakat yang berpartisipasi terhadap keberadaan gedung tersebut sangat rendah. Hal ini diketahui dari pernyataan seorang Jurkam dari pasangan calon nomor 3 (tiga) yang mengatakan bahwa dana pembangunan kantor MWC NU tersebut sebagian besar merupakan bantuan dari dana APBD yang sengaja dialokasikan untuk kepentingan tersebut. Jurkam tersebut mengatakan sebagai berikut. Akhmad Zubaidi, Cawabup Pasangan nomor 3: “APBD juga akan kami alokasikan ke pondok pesantren, balai pengobatan, perpustakaan dan lain-lain. Ini adalah salah satu bentuk perhatian kami terhadap warga NU. Program pondok pesantren tidak lain adalah demi untuk kepentingan masyarakat dan santri”. Berdasarkan data
tersebut, dapat
dikatakan bahwa
untuk melanjutkan
pembangunan gedung yang dimaksud pada data tuturan (2), masyarakat Pasuruan yang mayoritas warga NU membutuhkan seorang bupati yang bisa menjembatani kepentingankepentingan mereka. Maka bukanlah hal yang mengherankan ketika kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati dilaksanakan, proyek-proyek yang menjadi milik warga NU menjadi rebutan setiap pasangan calon. Hal serupa juga diungkapkan pasangan calon nomor 3 (tiga) sebagai berikut. Dade Angga, Cabup Pasangan nomor 2 : “Jika kepemimpinan Kabupaten Pasuruan 2008-2013 dipercayakan masyarakat pada saya dan Pak Eddy, Pembangunan PCNU Kabupaten Pasuruan dan Bangil akan jadi prioritas utama”. Insya Allah dengan kebersamaan, kantor yang jadi angan-angan setiap warga NU akan kita wujudkan jadi kenyataan”. Bertolak dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa tindaktutur komisif (commissive) yang berisi ungkapan yang menyatakan „janji‟ sebagaimana data tuturan di atas dapat digunakan untuk memengaruhi lawan tutur dalam kegiatan kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati. Dengan demikian, nilai persuasif tuturan pada data (2) dan (3) dapat ditunjukkan pada janji yang dibuat penutur, yakni penyelesaian gedung MWC NU dan pengobatan gratis di setiap Puskesmas. Dua hal yang dijanjikan penutur tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya warga NU dan umumnya masyarakat yang tingkat ekonominya lemah. Janji tersebut diperkirakan dapat mendorong dan menggugah hati para pengunjung kampanye sehingga mereka dengan bangga dan senang hati akan memilih pasangan calon tersebut.
Karakteristik tuturan persuasif dalam tindak-tutur Commissive dapat diketahui dengan melihat tindak ilokusi yang berisi ungkapan-ungkapan yang menyatakan janji dari seorang penutur atau pembicara. Di samping janji, tindak-tutur commissive juga merupakan ujaran yang dibuat dengan maksud untuk memberi tahu kepada lawan-tutur bahwa tindakan atau perbuatan yang dilakukan penutur masih belum terjadi atau akan terjadi di waktu mendatang. Tindakan tersebut baru terlaksana atau terpenuhi jika syaratsyarat yang ditentukan telah terpenuhi. Misalnya, seorang penutur berjanji akan membebaskan biaya pendidikan dan biaya berobat di Puskesmas jika pasangan calon yang dikampanyekan terpilih sebagai bupati dan wakil bupati. Dalam hal ini, apa yang dikatakan penutur masih sebatas perkataan yang belum terbukti. Oleh sebab itu, ujaran tersebut dapat dikategorikan sebagai ungkapan janji. Janji yang dibuat oleh seorang penutur harus dipenuhi. Penutur yang tidak dapat memenuhi janji yang dibuatnya akan merugikan dirinya sendiri. Resikonya, penutur akan dikatakan sebagai orang yang tidak jujur dalam berbicara. Jika hal ini terjadi, maka kepercayaan masyarakat terhadap dirinya akan berkurang. Akibatnya, masyarakat menjadi acuh-tak acuh terhadap apa yang dikatakan atau janji yang dibuat berikutnya. Akan tetapi, jika penutur bersungguh-sungguh dalam berjanji, kejadian seperti ini tidak mungkin terjadi. Terkait dengan hal-hal yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa janji yang dibuat oleh seorang penutur dapat dipilah menjadi dua kategori, yakni janji yang dapat dipercaya dan janji yang tidak dapat dipercaya. Janji yang dapat dipercaya adalah janji yang dibuat seorang penutur dalam batas kewajaran, dan tidak terlalu muluk-muluk, sedangkan janji yang tidak dapat dipercaya adalah janji yang tidak masuk akal atau tidak rasional. Maka dari itu, penutur harus membuat janji dengan hati yang tulus agar lawan tutur dapat menerimanya. Mengacu pada data tuturan (2) dan (3), ungkapan janji yang diungkapkan oleh penutur adalah ungkapan janji yang dibuat dengan tujuan agar lawan tutur memiliki daya tarik yang tinggi terhadap pasangan calon nomor dua atau DaDi. Oleh karena itu, penutur dalam janjinya membujuk pengunjung dengan cara memberi iming-iming berupa penyelesaian pembangunan kantor MWC NU dan penggratisan biaya berobat.
Diperkirakan janji yang dibuat penutur tersebut akan mampu menghipnotis pengunjung, yang sebagian besar adalah warga NU. Untuk mengidentifikasi bahwa tuturan yang dibuat oleh penutur adalah tindak tutur commisive, salah satu indikatornya adalah (a) ujarannya menggunakan bentuk kalimat majemuk atau klausa yang berisi syarat-syarat tertentu, seperti JIKA+ KLAUSA+SUBJEK+PREDIKAT atau SUBJEK+PREDIKAT+JIKA+KLAUSA (b) mengacu pada kejadian yang akan datang, dan (c) berisi janji. Menurut data yang dihimpun penulis, ungkapan yang berisi janji sebagaimana data tuturan di atas digunakan oleh semua pasangan calon dalam kegiatan kampanye. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa tindak-tutur commissive tersebut dapat memberikan pengaruh yang besar terhadap calon pemilih.
3. Tuturan Persuasif dalam Tindak-Tutur Ekspresif. Tuturan persuasif dalam tindak tutur ekspresif (expressive) merupakan ungkapan emosional seorang penutur. Ungkapan ini digunakan untuk mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan perasaan batin yang dirasakan oleh penuturnya. Ungkapan tersebut diharapkan dapat memengaruhi lawan tutur agar mengikuti ide penutur. Dalam kegiatan kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati di kabupaten Pasuruan, ungkapan yang berupa tindak tutur expressive ini sering muncul dalam pidato-pidato kampanye yang disampaikan oleh para Jurkam. Wujud tuturan persuasif dalam tindak-tutur expressive tersebut antara lain adalah ungkapan tentang pujian, rasa terima kasih, ucapan selamat, rasa syukur, permohonan maaf, kekecewaan, keprihatinan, dan kekaguman. Contohcontoh tuturan persuasif dalam tindak-tutur ekspresif (expressive) disajikan pada data berikut ini. (4)
Memberi Pujian Ustadz Syueb, Tim Sukses DaDi: “Di sini ini, tempatnya langganan banjir, Pak Dade telah memiliki cara bagaimana masyarakat di Kalianyar, Kalirejo dan Tambakan tidak lagi kebanjiran. Itu karena beliau tahu apa yang dibutuhkan masyarakat”. Kita patut bersyukur, punya calon bupati seperti Pak Dade Angga.(korpus data no. 188)
(5)
Son Taqdir, Jurkam Pasangan nomor 3: “Pak Muzammil adalah pelaku sejarah … berani mengatakan kebenaran. Saudaraku sekalian, tak kenal maka tak sayang … jika Anda akan memilih, mencoblos tanggal 18 Mei pasangan JADI, maka Anda harus mengenal dulu siapa beliau. Untuk itu (sambil meneriakan takbir..Allahu Akbar) mari kita mengenal Calon Wakil Bupati kita yang terhormat Mas Bedi (Zubaidi). Inilah calon wakil bupati kita. Mas Bedi. Orangnya ganteng, berkumis tebal, sabar dan sayang rakyat Pasuruan, wong pasuruan asli”. (korpus data no. 204) Konteks tuturan (4) didasarkan pada penutur, yang merupakan tokoh masyarakat
setempat. Dia adalah Ustadz Syueb, Tim Sukses DaDi (pasangan calon nomor 2). Tuturan tersebut disampaika pada acara kampanye pasangan calon nomor 2 (dua) di Lapangan Kancil Mas, Kalianyar, Bangil. Di lokasi tersebut, sebagaian besar masyarakatnya adalah pemilik dan pengelola tambak. Oleh karena itu, kondisi ekonomi masyarakatnya sebagian besar tergolong mapan. Walau demikian, daerah tersebut dapat dikatakan sebagai daerah rawan banjir ketika musim hujan tiba. Akibatnya, lokasi yang terkenal dengan sebutan “daerah penghasil bandeng” ini menjadi kurang nyaman di waktu musim hujan. Kondisi yang demikian ini, dimanfaatkan oleh penutur untuk kepentingan politiknya, agar masyarakat di daerah itu memilih seorang pemimpin yang sanggup mengatasi persoalan banjir yang sering melanda kawasan ini. Penutur berupaya memengaruhi pengunjung dengan cara memuji calon yang dikampanyekan. Berdasarkan tuturan yang diujarkan, dapat diketahui bahwa penutur sudah mengetahui jika desa Kalianyar dan Kalirejo yang menjadi tempat kampanye tersebut, selalu menjadi sasaran banjir pada waktu musim hujan. Terkait dengan hal tersebut, penutur mengatakan: “Di sini ini, tempatnya langganan banjir”. Penutur mengatakan demikian, karena penutur sudah memahami kondisi daerah itu. Penutur dapat mengetahui persoalan tersebut, karena penutur adalah warga asli Bangil. Permasalahan yang dikatakan penutur, sejatinya merupakan fenomina umum yang sudah sering terjadi di kawasan tersebut. Bila musim hujan tiba, rumah-rumah warga yang terletak di kawasan Kalianyar dan sekitarnya, sudah terbiasa digenangi air yang meluap dari aliran sungai yang melintas di kawasan itu. Mengetahui situasi seperti ini, penutur mengatakan kepada pengunjung kampanye bahwa kawasan tersebut sering diterjang banjir. Maka dari itu,
masyarakat Kalianyar dan sekitarnya membutuhkan seorang pemimpin yang sanggup mengatasi banjir yang sering terjadi di wilayah itu. Menurut penutur, pemimpin (bupati) yang dapat mengatasi persoalan tersebut adalah Pak Dade Angga. Ia adalah sosok pemimpin yang sudah berpengalaman sehingga kemampuan memimpinnya tidak diragukan lagi. Oleh sebab itu, jika masyarakat Kalianyar, Kalirejo dan Tambakan ingin bebas dari banjir, hendaknya memilih pemimpin (bupati) yang benar-benar mengetahui kebutuhan rakyatnya. Atas dasar itulah maka penutur mengimbau kepada pengunjung kampanye, agar memilih pasangan calon nomor 2 (dua), yakni DaDi. Imbauan tersebut terungkap pada ujaran: “Pak Dade telah memiliki cara bagaimana masyarakat di Kalianyar, Kalirejo dan Tambakan tidak lagi kebanjiran”. Secara implisit, ujaran ini dapat diartikan bahwa penutur mengajak pengunjung kampanye untuk memilih Dade Angga. Selanjutnya, data tuturan (5) diujarkan oleh Son Taqdir, Jurkam Pasangan nomor 3 (tiga). Ujaran tersebut juga terjadi di tempat yang sama dengan tuturan (4), yakni di Lapangan Kancil Mas Bangil, tetapi pada tanggal dan waktu yang berbeda. Tuturan tersebut juga mengandung pujian yang ditujukan kepada pasangan calon nomor 3 (tiga) yakni Muzammil Syafi‟i dan Akhmad Zubaidi. Pujian tersebut, diungkapkan oleh Jurkam pasangan calon nomor 3 (tiga), yakni JaDi. Penutur adalah Ketua DPC Partai Amanat Nasional (PAN), yang juga partai pengusung pasangan calon nomor 3, Muzammil Syafi‟i-Akhmad Zubaidi. Selain berkecimpung di Partai Politik, penutur juga dikenal sebagai ketua dari salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Pasuruan. Dengan status dan jabatan yang dia miliki tersebut, penutur dikenal sebagai Jurkam yang sangat vokal dan kritis. Sebagai contoh, jika penutur dikenal sebagai Jurkam yang vokal, dapat diketahui dari gaya dan cara yang digunakan ketika berpidato. Misalnya, ketika mengungkapkan ujaran yang berbunyi: “Pak Muzammil adalah pelaku sejarah … berani mengatakan kebenaran”. Ujaran tersebut disampaikan dengan nada suara yang tinggi dan berapi-api. Dengan menggunakan cara yang demikian ini, apa yang dikatakan penutur diharapkan dapat meyakinkan pengunjung kampanye bahwa pasangan calon yang paling baik adalah Pak Muzammil Syafi‟i-Akhmad Zubaidi, yakni pasangan calon nomor 3 (tiga). Menurut penutur, Muzammil Syafi‟i (cabup nomor 3) adalah pelaku sejarah dalam memajukan
pembangunan di kabupaten Pasuruan. Berkat perjuangannya yang gigih, sewaktu menjabat wakil bupati periode 2003-2008, kemajuan Pemkab. Pasuruan di bidang pendidikan dapat dirasakan oleh masyarakat. Dalam bidang pendidikan ini, beliau berhasil memasukkan mata pelajaran Baca Tulis Qur‟an (BTQ) sebagai mata pelajaran Muatan Lokal (MULOK) dalam kurikulum pendidikan mulai SD sampai dengan SMA. Dengan dimasukkan mata pelajaran Baca Tulis Qur‟an (BTQ) tersebut, diharapkan semua lulusan SD, SMP, SMA dan yang sederajat memiliki kemampuan membaca Alqur‟an dengan baik. Jika program ini berhasil, maka sebutan Pasuruan sebagai kota santri yang sudah diperdakan (ditetapkan dalam peraturan daerah) akan dapat diwujudkan. Berkat keberhasilan beliau di bidang pendidikan tersebut, penutur memberikan pujian terhadap calon bupati nomor 3 jika dirinya sebagai pelaku sejarah. Selain itu, Muzammil Syafi‟i yang menjadi pasangan calon tersebut juga dinilai berani mengatakan kebenaran selama menjabat sebagai wakil bupati. Nilai persuasif sebuah tuturan dalam rangka memberikan daya tarik kepada lawan tutur memiliki peran yang sangat penting. Data tuturan (4) dan (5) merupakan tuturan persuasif yang berbentuk tindak-tutur ekspresif (expressive). Dikatakan demikian, karena tindak-tutur tersebut mengandung ungkapan pujian dari seorang penutur yang ditujukan kepada calon bupati nomor 2 dan 3, yakni Dade Angga, Muzammil Syafi‟i dan calon wakil bupati nomor 3 Akhmad Zubaidi (Mas Bedi). Bentuk ungkapan pujian yang diungkapkan penutur pada data tuturan di atas ialah (a) Pak Dade telah memiliki cara bagaimana masyarakat di Kalianyar, Kalirejo dan Tambakan tidak lagi kebanjiran. Itu karena beliau tahu apa yang dibutuhkan masyarakat, (b) Pak Muzammil adalah pelaku sejarah … berani mengatakan kebenaran, dan (c) Inilah calon wakil bupati kita. Mas Bedi. Orangnya ganteng, berkumis tebal, sabar dan sayang rakyat Pasuruan, wong pasuruan asli. Tuturan a) berisi pujian yang menyatakan bahwa Pak Dade Angga (cabup nomor 2) adalah calon bupati yang memiliki cara untuk mengatasi banjir yang sering terjadi di tiga desa, yaitu Kalianyar, Kalirejo dan Tambakan. Ujaran semacam ini dikategorikan sebagai bentuk pujian, sebab ujaran tersebut mengungkapkan kelebihan orang yang dipuji, yakni Dade Angga. Dalam ujaran tersebut penutur menunjukkan kelebihan Dade Angga kepada pengunjung kampanye. Dengan mengatakan “Pak Dade telah memiliki
cara bagaimana masyarakat di Kalianyar, Kalirejo dan Tambakan tidak lagi kebanjiran. Itu karena beliau tahu apa yang dibutuhkan masyarakat”, berarti penutur menunjukkan kelebihan calon bupati nomor 2, yakni Dade Angga. Kelebihan yang dimiliki calon bupati tersebut, bisa jadi tidak dimiliki oleh pasangan calon lain. Dengan begitu, dapat dikatakan bahwa calon bupati nomor dua tersebut adalah lebih kompetens dari pada calon bupati yang lain, dalam hal mengatasi banjir di kawasan tersebut. Pada tuturan b) penutur memuji calon bupati nomor 3, dengan ujaran “Pak Muzammil adalah pelaku sejarah berani mengatakan kebenaran”. Menurut penutur, calon bupati nomor tiga ini adalah satu-satunya calon yang banyak mengetahui segala peristiwa yang pernah terjadi di Pemkab Pasuruan. Oleh sebab itu calon bupati tersebut, dijuluki sebagai pelaku sejarah. Kelebihan dan kekurangan para pejabat (bupati) yang menjabat pada periode sebelumnya sudah diketahui oleh penutur. Penutur megatakan demikian, karena dia sudah mengenal karakter calon bupati nomor tiga tersebut sewaktu menjabat sebagai ketua DPRD dan Wakil bupati Pasuruan periode sebelumnya. Dengan dasar ini, maka penutur menganggap bahwa calon bupati yang dipuji tersebut memiliki kemampuan lebih baik dari pada yang lain, baik kemampuan akademis maupun nonakademis. Terkait dengan kemampuan non-akademis tersebut, penutur memberi daya persuasif terhadap para pengunjung kampanye dengan cara menunjukkan kejujuran calon yang dipuji. Dalam hal ini, penutur mengatakan bahwa Muzammil Syafi‟i berani mengatakan kebenaran. Perkataan ini dapat diartikan bahwa calon bupati yang dimaksud adalah sosok pemimpin yang jujur karena yang bersangkutan berani mengatakan kebenaran. Keberanian seorang pemimpin dalam mengatakan kebenaran merupakan harapan yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakat. Secara pragmatik ujaran tersebut dapat diartikan bahwa Muzammil Syafi‟i adalah calon bupati yang bersih karena dia tidak pernah terlibat kasus-kasus yang terkait dengan pelanggaran hukum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perkataan ini memiliki daya tarik bagi pengunjung kampanye karena sebagian besar pengunjung pasti menginginkan seorang pemimpin yang memiliki karakter seperti di atas. Selanjutnya, penutur memuji calon wakil bupati nomor 3 “Akhmad Zubaidi” dari segi fisik dan penampilannya dengan mengatakan “Inilah calon wakil bupati kita, Mas
Bedi. orangnya ganteng, berkumis tebal, sabar dan sayang rakyat Pasuruan, wong pasuruan asli”. Di dalam ujaran tersebut, penutur berusaha menarik simpati pengunjung kampanye dengan cara menunjukkan karakter calon wakil bupati tersebut dengan sebutan penyabar dan penyayang, selain kegantengannya. Ketampanan wajah bagi seorang calon pemimpin memang bukan merupakan prasarat dan prioritas utama agar dapat dipilih oleh sebagian besar calon pemilih. Namun demikian, jika ada calon pemimpin yang berwajah ganteng, tampan dan tidak cacat secara fisik, kemungkinan besar akan mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi dari calon pemilih. Menurut hemat peneliti, dalam pemungutan suara masyarakat awam masih memiliki kecenderungan memilih gambar pasangan calon yang tampan atau cantik, jika pemilih dalam keadaan bingung dan tidak kenal dengan pasangan calon yang akan dipilih. Ketampanan dan kecantikan calon pemimpin ini akan membuat calon pemilih bertambah yakin dan mantap, jika diketahui bahwa calon tersebut berakhlak mulya seperti sabar, penyayang, tidak sombong (rendah hati), cerdas, dapat dipercaya. dan mau menyampaikan kebenaran. Calon pemimpin yang demikian ini dapat dipastikan akan disukai sebagian besar masyarakat, lebih-lebih calon wakil bupati tersebut warga asli Pasuruan. Dengan demikian nilai persuasif tuturan (5) tersebut dapat dikatakan terletak pada ungkapan penutur yang berbunyi “Mas Bedi, orangnya ganteng, berkumis tebal, sabar dan sayang rakyat Tuturan persuasif yang mengungkapkan tentang pujian, rasa terima kasih, ucapan selamat, rasa syukur, permohonan maaf, kekecewaan, keprihatinan, dan kekaguman dapat digolongkan ke dalam tindak-tutur ekspresif. Indikator tuturan ini dapat dilihat dari fungsi tuturan yang berisi ungkapan perasaan emosional penuturnya yang menggambarkan perasaan senang, sedih, kecewa dan sebagainya. Tuturan ini dapat dikatakan mampu memberi daya tarik pengunjung kampanye jika tuturan tersebut secara psikologis dapat memberikan rasa senang kepada pengunjung kampanye. Pujian terhadap kemampuan pasangan calon akan menambah kemantapan pemilih terhadap pasangan calon. Ketiga tuturan persuasif pada data tuturan (4) dan (5) di atas, semuanya berisi pujian terhadap kelebihan/keunggulan pasangan calon. Hal ini tidak berbeda jauh dengan jual-beli barang. Penjual barang selalu mengatakan bahwa barang yang dijual memiliki kualitas yang baik. Maka dari itu, pasangan calon harus dipuji sangat baik, bijak, pintar
dan sebagainya agar banyak peminatnya. Bentuk ungkapan yang berisi pujian terhadap pasangan calon dapat meningkatkan daya tarik tersendiri bagi calon pemilih.
4. Tuturan Persuasif dalam Tindak-Tutur Deklarasi. Tindak-tutur jenis ini merupakan suatu pernyataan yang dapat mengubah kondisi/ kenyataan yang berbeda dengan keadaan sebelumnya. Apa yang dikatakan penutur dapat menghasilkan hal baru atau sesuatu yang tidak sama dengan kenyataan ketika sebelum penutur mengucapkan tindak-tutur deklaratif. Dengan demikian, pelaksanaan ilokusi ini akan mengakibatkan adanya kesesuaian isi proposisi dengan realitas, seperti “mengundurkan diri” (resign), “membabtis” (christen), “memecat” (dismiss), “memberi nama”
(name),
“menjatuhkan
hukuman”
(sentence),
“mengucilkan/membuang”
(excommunicate), “menceraikan” (divorce), “membuka” (open) misalnya dalam acara pameran, “mengabdi” (consecrate), “mengangkat” (promote) misalnya mengangkat pegawai, dan sebagainya. Contoh-contoh tindak tutur ini adalah sebagai berikut: (6)
(7)
Muzammil Cabup Pasangan nomor 3 : “Seratus lima puluh ribu kupon jalan sehat beredar habis, ini menunjukkan bahwa masyarakat Pasuruan benarbenar mencintai pasangan JaDi”. Dade Angga, Cabup Pasangan nomor 2: “Saya dan Pak Eddy siap menyelenggarakan pemerintahan yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Ini semata-mata demi rakyat Pasuruan”. Konteks tuturan di atas berawal dari kepentingan politik masing-masing penutur.
Tuturan tersebut diungkapkan oleh dua pasangan calon yang berbeda, yakni Dade Angga pasangan calon nomor 2 dan Muzammil Syafi‟i pasangan calon nomor 3. Kedua tuturan tersebut dikategorikan sebagai tindak-tutur deklarasi (declaration) karena isinya mengandung pernyataan-pernyataan yang dapat memunculkan situasi baru. Artinya, dengan mendengarkan pernyataan-pernyataan tersebut lawan-tutur akan mendapatkan kesan yang baru, yakni: (a) pasangan calon nomor 3 memunyai pendukung yang sangat banyak dan (b) pasangan calon nomor 2 siap memberantas KKN. Munculnya pernyataan tersebut karena penutur memiliki praanggapan bahwa pasangan calon nomor tiga dirumorkan tidak memiliki pendukung sebanyak yang dikatakan sedangkan pasangan calon nomor dua memiliki praanggapan bahwa pemkab. Pasuruan dinilai tidak mampu
memberantas praktik KKN yang telah membudaya di lingkungan pemkab. Pasuruan. Maka dari itu pasangan tersebut menyatakan siap menyelenggarakan pemerintahan yang bebas dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Nilai persuasif tuturan tersebut tampak pada pernyataan-pernyataan yang dapat memberi daya tarik pengunjung, yakni banyaknya pendukung pada pasangan calon dan ketekadan pasangan calon tidak akan melakukan tindakan yang berbauh KKN. Kedua tuturan tersebut disebut sebagai tuturan persuasif karena keduanya memiliki daya tarik yang dapat memotivasi pengunjung kampanye untuk memilih pasangan calon tertentu. Daya tarik tersebut berupa kelebihan dan keunggulan setiap pasangan calon yang dapat meyakinkan keinginan lawan-tutur. Dengan menonjolkan kelebihan dan keunggulan pasangan calon, dapat dikatakan tuturan yang dituturkan penutur mengandung nilai-nilai persuasif. Dalam hal ini, penutur berusaha memengaruhi pengunjung kampanye dengan menunjukkan keunggulan yang dimiliki masing-masing pasangan calon. Adapun indikator tuturan persuasif dalam tindak-tutur deklaratif tersebut dapat dilihat dari modus tuturannya yang berbentuk pernyataan deklaratif. Keunggulankeunggulan yang ditonjolkan oleh penutur disampaikan dengan cara mendeklarasikan gagasannya. Pasangan calon nomor tiga mendeklarasikan bahwa seratus lima puluh ribu kupon peserta jalan sehat yang disebar habis tanpa sisa. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pasangan calon tersebut didukung dan dicintai oleh massa sejumlah kupon yang disebar. Kemudian, pasangan calon nomor dua mendeklarasikan bahwa dirinya siap menyelenggarakan pemerintahan yang bebas dari KKN. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa pemkab. Pasuruan belum mampu menyelenggarakan pemerintahan yang bebas KKN. Tuturan seperti ini dapat dikategorikan sebagai tindak-tutur deklarasi. Penanda tuturan tersebut dapat diidentifikasi dari ungkapan-ungkapan yang berbunyi “seratus lima puluh ribu kupon jalan sehat beredar habis”. Ungkapan ini jika diungkapkan dengan menggunakan „verba performatif‟ akan berbunyi: Dengan ini saya menyatakan bahwa seratus lima puluh ribu kupon jalan sehat beredar habis. Begitu juga ungkapan yang berbunyi “Saya dan Pak Eddy siap menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dari KKN”. Jika dilengkapi dengan verba performatif, pernyataan tersebut akan berbunyi: Dengan ini kami menyatakan bahwa kami siap menyelenggarakan pemerintahan yang bebas dari KKN.
5. Tuturan Persuasif dalam Tindak -Tutur Direktif Tuturan persuasif yang dikategorikan ke dalam tindak-tutur direktif adalah tuturan yang mengandung ilokusi-ilokusi perintah, suruhan atau permintaan. Tuturan tersebut ditandai dengan verba-verba yang menunjukkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh lawan-tutur seperti „cobloslah‟, „pilihlah‟, atau „dukunglah‟. Berikut ini adalah contoh-contoh data tuturan persuasif yang menggunakan tindak-tutur direktif. (8)
(9)
Baliho Pasangan JaDi: “JA-DI Calon Bupati dan Wakil Bupati Pasuruan 20082013.Tanggal 18 Mei 2008-Dhelok Gambare, Coblosen sing klambine putih. (Lihat gambarnya, coblos yang berbaju putih) Dade Angga, Cabup Pasangan nomor 2: “Silakan Bapak Ibu mengawasi kami. Bapak bersama Pak Eddy sudah sepakat untuk tidak melakukan hal-hal yang bisa mengarah pada tindakan korupsi”. Konteks tuturan (8) dilatarbelakangi oleh kesepakatan (agreement) pasangan
calon yang berisi kesepakatan mengenakan seragam baju koko (takwo) warna putih. Menurut pasangan calon tersebut baju koko warna putih melambangkan „kesucian‟ hati dan jiwa pasangan calon. Artinya, pasangan calon tersebut selama menjabat jabatan di pemkab. Pasuruan belum pernah melakukan tindak pidana korupsi atau perilaku negatif yang lain. Baju koko warna putih tersebut dipakai sejak awal pencalonannya hingga pelaksanaan pemungutan suara agar masyarakat memahami karakter pasangan calon tersebut. Kemudian, tuturan (9) dilatarbelakangi oleh adanya praanggapan yang menilai pemkab. Pasuruan tidak mampu memberantas perilaku korupsi di pemerintahannya. Para koruptor terkesan dibiarkan sehingga pasangan calon tersebut mengangkat tema „anti korupsi‟ dalam rangka menarik simpati massa. Maka slogan yang digunakan pasangan calon nomor dua ini adalah „bersih dan sejahtera‟. Kata „bersih‟ melambangkan pemerintahan yang bebas dari KKN, dan „sejahtera‟ melambangkan terwujudnya pemerintahan yang masyarakatnya bebas dari kemiskinan. Nilai persuasif tuturan di atas terletak pada penonjolan perilaku jujur pada masing-masing pasangan calon. Berdasarkan konteks tuturan di atas, maka tuturan (8) dapat dikatakan mengandung nilai persuasif yang terdapat pada penonjolan karakter pasangan calon yang bersih jiwanya, jujur dan tidak pernah melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum. Kebersihan jiwa merupakan daya tarik yang dapat
meyakinkan keinginan lawan-tutur terhadap pasangan calon tersebut. Dengan begitu, pasangan calon tersebut berupaya menarik simpati pengunjung atau calon pemilih dengan iming-iming kebersihan jiwa dan kejujuran. Sebagaimana pasangan calon lainnya, pasangan calon nomor tiga ini juga memiliki praanggapan bahwa pemkab. Pasuruan dinilai kurang bersih dalam menyelenggarakan pemerintahannya. Kemudian, nilai persuasif tuturan (9) juga tampak pada penonjolan karakter pasangan calon yang anti korupsi. Tindak anti korupsi ini terlihat dari ungkapan mereka yang berisi kesepakatan pasangan calon yang siap tidak melakukan tindak korupsi mana kala dirinya dipercaya memimpin Pasuruan. Pernyataan ini dapat memberi daya tarik calon pemilih dan meyakinkan keunggulan pasangan calon. Dengan demikian calon pemilih akan menetapkan pilihannya pada pasangan calon tersebut. Indikator tuturan persuasif dalam tindak-tutur direktif tersebut tampak pada modus tuturan yang berupa ujaran perintah (imperative). Pada tuturan (8) modus imperatif tersebut ditunjukkan oleh ungkapan “Dhelok gambare, coblosen sing klambine putih” (Lihat gambarnya, coblos yang berbaju putih). Ungkapan tersebut berisi verba imperatif yang berfungsi untuk membuat perintah. Begitu juga tuturan (9) yang menunjukkan permintaan penutur kepada pengunjung kampanye agar bersedia mengawasi dirinya jika nanti terpilih sebagai bupati dan wakil bupati Pasuruan. Modus imperatif pada tuturan tersebut dapat diidentifikasi berdasarkan penggunaan kata „silakan‟ di depan subyek atau pokok kalimatnya.
C. Kesimpulan Berdasarkan
kajian
pragmatik
terhadap
tuturan
persuasif
yang
telah
dideskripsikan dapat ditarik simpulan sebagai berikut. 1. Bedasarkan definisi „persuasi‟ yang dikemukakan Simon (1976) bahwa persuasi merupakan penyampaian pesan (message) yang dapat memberikan efek terhadap yang menerima pesan baik disengaja atau tidak (“persuasion” as an effect already produced by messages, whether intended or not). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tindak memersuasi adalah memengaruhi (to influence), mencari (to seek), menarik (to attract) dengan persepsi pilihan (with the perception of choice) yang
dilakukan oleh penerima pesan. Dalam hal ini penerima pesan boleh menerima atau menolak. 2. Dengan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa pesan-pesan yang disampaikan penuturnya dapat dikatakan berisi tindak ilokusi yang dapat menghasilkan tindak perlokusi yang dilakukan oleh lawan-tutur. Oleh sebab itu, tuturan persuasif yang dibuat oleh seorang penutur (persuader) dapat dikategorikan ke dalam tindak-tutur direktif yang berisi tindak memerintah, meminta, menyuruh, mengajak dan memengaruhi. Dengan dasar ini maka tuturan persuasif dalam kegiatan kampanye yang dimaksud dapat ditandai dengan verba performatif sebagaimana tindak-tutur direktif (directive). 3. Setelah dikaji dengan menggunakan prinsip-prinsip pragmatik, hasil penelitian menunjukkan bahwa tuturan persuasif yang digunakan oleh para Jurkam dalam kegiatan kampanye pemilihan bupati dan wakil bupati di kabupaten Pasuruan Jawa timur bertolak belakang dengan dengan konsep tindak-tutur direktif karena pada kenyataannya tuturan persuasif yang digunakan di dalam kegiatan kampanye juga menempati tindak-tutur yang ada di luar tindak-tutur direktif seperti asertif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. 4. Berdasarkan
kenyataan
tersebut,
dapat
dikatakan
bahwa
temuan
tersebut
mengimplikasikan adanya kecenderungan yang kuat bahwa para Jurkam dalam kegiatan kampanye politik lebih suka menggunakan tindak-tutur taklangsung (indirect-speech). Menurut teori Searle (1979) tindak-tutur tersebut berfungsi untuk menjaga kesantunan bahasa. 5. Ketaklangsungan tindak-tutur dalam tuturan persuasif tersebut mengindikasikan bahwa bahasa yang digunakan oleh para Jurkam banyak dipengaruhi oleh perilaku sosial dan kepentingan politik para penutur/para Jurkam pasangan calon. Perilaku sosial dipengaruhi oleh pola hidup masyarakat yang relegius, dan secara politik, para Jurkam memiliki semangat yang tinggi untuk memenangkan pasangan calon sehingga mereka harus menggunakan bahasa yang dapat menarik simpati massa walau terkadang kurang santun.
Referensi Austin, J.L.(1962) 1965, 1976. How To Do Things with Words. London : Oxford University Press Cialdini, Robert B. 1984. The Psychology Influence of Persuasion “Psikologi Persuasif” Merekayasa Kepatuhan. (Edisi terjemahan oleh Tri Wibowo Budi Santoso, 2005). Jakarta: Prenada Media. Cruse, D.Alan. 2000. Meaning in Languages “An Introduction Semantics and pragmatics” New York: Oxford University press. Gazdar, Gerald. 1979. Pragmatics. New York: Academic Press. Grice, H.Paul.1967. (1975). Logic and Conversation. Dalam Peter Cole dan Jerry Morgans (eds), Syntax and Semantics, vol.3: Speech Acts. New York: Academic Press. Hymes, Dell. (1962), 1972. The Ethnography of Speaking. Dalam J. Fishman (Ed.) 1968. Readings in the Sociology of Language. The Hague: Mouton. Jakobson, Roman. (1960) 1964. Concluding Statement: Linguistics and Poetics dalam T.Sebeok (ed.) Style in Language. Cambridge: MIT Press halaman 350. Kreidler, W.Charles. 1998. Introducing English Semantics. London: Routledge. Leech, Geoffrey. 1983. Principles of Pragmatics. New York: Longman Group Limited. ____________ , 1974. Semantics. Great Britain: Hazell Watson & Viney Ltd. Levinson, Steven. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Malinowski, Bronislaw. 1923. The Problem of Meaning in Primitive Languages dalam Ogden, C.K. dan I.A. Richards (ed), The Meaning of Meaning. London: K.Paul, Trend dan Trubner. Mey, Jacob L. 1998. Pragmatics: An Introduction, second edition. Oxford: Blackwell Muhtadi, Asep Saeful, 2008. Kampanye Politik. Bandung: Humaniora. Rani, Abdul dkk., 2004. Analisis Wacana. “Sebuah Kajian Bahasa Dalam Pemakaian”. Malang: Bayu Media Publishing. Renkema, Jan. 1993. Discourse Studies. An Introductory Textbook. Amsterdam: John Benjamins B.V.
Searle, John R. 1975a. A Taxonomy of Illocutionary Acts. Dalam Gunderson K (ed). Language, Mind and Knowledge. Minneapolis.MN: University of Minnesota Press. Searle, John R. 1979. Expression and Meaning: Studies in the Theory of Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
Setiyono, Budi dan RTS Masli. 2008. Iklan dan Politik. Yogyakarta: Adgoal Comp. Simons, Herbert W. 1976. Persuasion: Understanding, Practice, and Analysis. New York: Newbery Award Records,Inc.