HUMANIORA VOLUME 15
2003 1 Februari Karya Religius No. Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis
Halaman 23 - 38
KARYA RELIGIUS DANARTO: KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINIS S.E. Peni Adji*
Pengantar embaca tulisan Danarto, yang berjudul "Refleksi Perempuan" dalam Republika (1993), menyebabkan penulis berpikir ulang tentang makna karya-karya Danarto yang selama ini hanya dinilai mengungkapkan permasalahan religiusitas. Dalam tulisan itu, terlihat bahwa Danarto memiliki perhatian dan juga keprihatinan yang sangat besar terhadap kaum perempuan. Menurutnya, masalah perempuan itu bervariasi dan dipengaruhi oleh kelas mereka. Perempuan kelas atas lebih mempunyai wewenang untuk menentukan dan mengatur diri sendiri. Sementara, perempuan kelas menengah dan bawah lebih banyak tertekan dalam kehidupan mereka. Perhatian dan keprihatinan Danarto ini merupakan bagian dari pandangan dunianya sebagai pengarang yang tentu saja sangat mewarnai karya-karya yang diciptakannya, juga pada cerpen-cerpennya yang dicipta setelah tahun 1980-an. Karya-karya Danarto mengalami perubahan atau pergeseran. Karya-karya awal penciptaaannya, yaitu dalam cerpen-cerpen yang terkumpul dalam Godlob (1975) dan Adam Ma'rifat (1982), banyak mengungkapkan perenungan religiusitas pantheisme dan mistik, serta menurut Hoerip (Sinar Harapan, 1984), sangat dipengaruhi oleh budaya wayang Jawa. Pada karya-karya yang dicipta kemudian, yaitu yang terkumpul
dalam kumpulan cerpen Berhala (1987) yang berisi cerpen-cerpen ciptaannya pada tahun 1979-1987, sasaran ekspresinya adalah religiusitas yang dipadu dengan berbagai masalah sosial aktual, dengan cara memadu dunia sehari-hari dengan dunia alternatif (Damono, 1988 dan Wasono, 1988). Kecenderungan pergeseran pada kumpulan cerpen Berhala masih tetap terlihat pada kumpulan cerpennya Gergasi yang terbit tahun 1993. Kritik-kritik yang menilai bahwa karya Danarto mengungkapkan perenungan religiusitas yang meliputi pantheisme dan mistik telah dilakukan oleh Teeuw (1989), Tjitrosubono dkk. (1985:8), Sriwidodo (dalam Eneste, 1983:146-161), Pujiharto (1996), dan Zamzanah (1998). Selain itu, karya Danarto oleh Toda (1984: 41-47) dinilai menggunakan bentuk kreativitas baru yang bersifat nonkonvensional. Sementara oleh Prihatmi (1989) karya Danarto dinilai banyak mengungkapkan fantasi. Dari penilaian-penilaian tersebut, terlihat bahwa kritik yang mengungkapkan perempuan dalam karya-karya Danarto belum pernah dilakukan. Padahal, cerpen-cerpen Danarto yang dicipta setelah tahun 1980-an banyak mengungkapkan permasalahan tersebut, khususnya sikap dan posisi perempuan dalam masyarakat (patriarki). Selain itu, penggambaran perempuan tersebut juga mencerminkan adanya sikap implied author1
*
Sarjana Sastra, Magister Humaniora, Staf Pengajar Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
1
Jiwa pengarang masuk dalam karya-karyanya. Kadang-kadang Implied author dapat terlihat melalui komentar eksplisit narator dan melalui penggunaan teknik akuan; serta kadang-kadang disamakan dengan gaya, nada, atau teknik dalam sebuah karya. Namun yang jelas, implied author terlihat dari keseluruhan (struktur) teks karya; yang di dalamnya pengarang tidak pernah netral terhadap suatu nilai, ia mempunyai nilai yang dianut dan menjadi komitnennya (cf. Booth, 1961: 67-77).
Humaniora Volume XV, No. 1/2003
23
S.E. Peni Adji dalam menanggapai masalah patriarkhi dan masalah isu gender.2 Sumber data penelitian ini adalah cerpen-cerpen Danarto yang dicipta setelah tahun 1980-an. Alasannya, kurang lebih pada tahun-tahun tersebut terdapat pergeseran masalah yang diangkat Danarto, yaitu dari yang sekedar perenungan religiusitas "murni", bergeser pada religiusitas yang dipadu dengan berbagai masalah sosial aktual. Dari cerpen-cerpen yang ditulis setelah tahun 1980-an, dipilih cerpen-cerpen yang masalah sosialnya adalah gender (perempuan) dan patriarkhi. Adapun cerpen yang dipilih untuk dijadikan sumber data penelitian sejumlah lima cerpen, yaitu dalam kumpulan cerpen Berhala (1) "!" (Zizit), (2) "Anakmu Bukanlah Anakmu," "Ujar Gibran"; dalam kumpulan Gergasi (3) "Rembulan di Dasar Kolam", (4) "Bulan Melahap Madu", dan (5) "Gandasturi" Landasan Teori Landasan teori yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan adalah kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis ini terdiri dari beberapa perspektif. Yang pertama adalah kritik ideologis (Djajanegara, 2000: 28-29). Kritik ini melibatkan perempuan, khususnya kaum feminis, sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah penggambaran (konstruksi) perempuan serta stereotip perempuan dalam karya sastra.
Pada dasarnya kritik feminis ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, yaitu satu di antara banyak cara yang dapat diterapkan untuk teks yang paling rumit sekalipun. Perspektif yang kedua adalah ginokritik. Kritik ini memusatkan perhatian pada pengarang perempuan, semua aspek yang berkaitan dengan kepengarangan perempuan diteliti. Adapun aspek tersebut meliputi sejarah, tema, ragam, struktur psikodinamika kreativitas, dan telaah penulis perempuan tertentu dengan karyanya secara khusus (Showalter dalam Ruthven, 1985:84). Empat perspektif kritik sastra feminis lain yang dikemukakan oleh Djajanegara (2000: 30-39) adalah feminis-sosialis, feminispsikoanalitik, feminis-lesbian, dan feminisras.3 Secara metodologis, kritik sastra feminis ini dipakai untuk mendekonstruksi teks cerpen Danarto yang selama ini selalu dinilai sekedar mengangkat permasalahan religiusitas "murni". Dalam makalah ini, perspektif yang dipakai adalah kritik ideologis. Berlandaskan kritik ini, akan diungkapkan gambaran sikap dan posisi perempuan dalam masyarakat patriarki yang terdapat pada teks cerpen-cerpen Danarto -- dengan memperhatikan teknik penggunaan sudut pandang, struktur alur, dan tokoh. Dari gambaran sikap dan posisi perempuan tersebut, akan terlihat adanya ideologi yang terdapat dalam teks cerpen Danarto yang berwujud implied author.
2
Isu gender merupakan gagasan yang selalu dilontarkan oleh feminisme baru. Gagasan ini merujuk pada pengertian adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di luar fungsi reproduksinya (cf. Megawangi, 1999:19).
3
Kritik sastra feminis-sosialis meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa kaum perempuan merupakan kelas masyarakat yang tertindas. Kritik sastra feminis-psikoanalitik diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya dengan atau menempatkan dirinya pada tokoh perempuan, sedang tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya. Ragam kritik sastra feminis ini berawal dari penolakan para feminis terhadap teori kompleks kastrasi Freud. Kritik feminis-lesbian hanya meneliti penulis dan tokoh perempuan. Kritik ini masih sangat terbatas kajiannya. Kritik feminis-ras adalah kritik sastra yang mengkaitkan masalah perempuan dengan ras. Kaum feminis-ras di Amerika menganggap dirinya berbeda dengan kaum feminis kulit putih. Mereka tidak saja mengalami diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih dan kulit hitam, tetapi juga diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih baik laki-laki maupun perempuan.
24
Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis Sikap dan Posisi Perempuan dalam Karya Danarto 1.
Zizit (!)
Cerpen "Zizit" (!) diawali dengan konflik: pembangunan pagar rumah yang dimandori sendiri oleh Ayah. Ide pembangunan itu diprotes oleh Zizit (anak perempuan Ayah) dengan dalih bahwa uang untuk pembangunan gapura itu dapat diberikan kepada fakir miskin. Pendapat Zizit ini sangat tidak lazim dalam keluarganya. Kalau misalnya keluarga tersebut akan memberikan uang kepada fakir miskin, hal itu dapat dilakukan tanpa harus menghalangi pembangunan gapura itu. Sebab, bagi keluarga itu pagar melambangkan kekayaan, dan kekayaan melambangkan kekuasaan. Begitu pentingnya kekuasaan itu sehingga Ayah (seorang yang setiap harinya sibuk mengurus pekerjaan di beberapa kantornya) menyempatkan diri untuk memandori sendiri pembagunan itu. Ironisnya, kekuasaan ini justru sangat ditolak oleh Zizit, anak perempuan dalam keluarga itu. Ia berusaha menghilangkan batas-batas kekuasaan itu dengan cara "melayani" pengemis (golongan masyarakat bawah yang tidak mempunyai kekuasaan) yang setiap hari datang ke rumah, justru setelah pagar besi itu selesai dibangun. Ternyata penolakan Zizit terhadap kekayaan yang melambangkan kekuasaan ini, juga terlihat dalam hal-hal yang lain. Misalnya, ia menolak memakai mobil Mercy yang diperuntukkan baginya; ia memilih naik bis kota; ia menolak ikut pesta keluarga di restoran hotel termahal. Selain itu, ia juga menolak filsafat Jawa, sebuah filsafat yang didasarkan pada kebudayaan Jawa -- yang selama ini menempatkan perempuan pada posisi inferior (cf. Sudewa, 1991; Kusujiarti, 1997; dan Abdullah, 1997). Dengan menggunakan sudut pandang akuan, cerpen ini menggunakan narator tokoh anak laki-laki dari keluarga itu. Narator tidak menjadi tokoh utama dalam cerita, melainkan Zizit adik perempuannya. Dalam hal ini narator yang mewakili sosok patriarki menyoroti gugatan Zizit terhadap semua aturan (kekuasaan) yang sudah mapan pada keluarganya. Narator sekaligus memberikan Humaniora Volume XV, No. 1/2003
penilaian dan menunjuknya sikapnya terhadap gugatan itu. Dalam hal ini Zizit mewakili sosok feminis yang menggugat kemapanan dan kekuasaan keluarga. Kekuasaan keluarga itu meliputi tokoh aku dan Ayah, yang dalam hal ini mewakili patriarki. Gugatan Zizit ini memunculkan sikap tidak peduli dan ketus. Hal ini terlihat ketika ia merespon kebijaksanaan keluarga dan ketika bertengkar dengan tokoh aku. Selain itu, apabila tokoh aku marah padanya, ia hanya bersikap diam. Namun, jika tokoh aku marah sudah sampai pada puncaknya, ia akan bersikap seenaknya; dan jika musuhnya lemah (tidak marah) ia akan mengadakan perlawanan menggebu-gebu (Danarto, 1996a:13). Ketika Ayah jatuh sakit, ia merasa bahwa sosok yang ia gugat tidak ada sehingga ia menjadi merasa kesepian dan malas membuat suatu gugatan (Danarto, 1996a:16). Ternyata bagi Zizit, kemapanan dan kekuasaan Ayah (sebagai wakil sosok patriarki) merupakan sumber motivasinya untuk menggugat.Tokoh aku sebagai sosok patriarki sangat menikmati kekayaan dan kekuasaan keluarganya. Dialah yang sebenarnya mempunyai ide untuk mengubah gaya rumah mereka menjadi gaya Spanyol yang terbaik di Jakarta pada saat itu. Dia juga yang mengusulkan agar pagar rumahnya diganti menyesuaikan gaya rumah tersebut. Dia juga yang mengusulkan perayaan selesainya pembangunan pagar itu dengan pesta keluarga di restoran termahal dan terenak di sebuah hotel. Dalam pesta itu, ayah bagaikan raja yang memiliki kebesaran dan kekuasaan. Sementara itu, tokoh aku memuntahkan semua makanan dan minuman yang telah masuk perutnya dari tingkat tertinggi hotel itu. Dia sangat menikmati warna keperakan dan bau tidak enak dari muntahannya. Dari hal ini, tidaklah terlalu jauh untuk diinterpretasi bahwa generasi muda dari patriarki sangat "mabuk" dengan kebesaran dan kekuasaan yang sudah mapan dimilikinya. Perilaku menyimpang karena efek kekuasaan dari tokoh aku itu, juga terlihat ketika ia menentang sikap Zizit untuk memberi uang dan nasi bungkus setiap hari kepada pengemis, seperti dalam kutipan berikut. "Pernah tak setahumu
25
S.E. Peni Adji kusebar sepuluh ribu uang logam dari lima puluh perakan, hanya karena aku kepingin mereka berebut, berantem, cakar-cakaran, terkam-menerkam, cakot-cakotan, tendangtendangan, gigit-gigitan" (Danarto, 1996a:14). Sebagai sosok feminis, Zizit menolak untuk turut dalam pesta itu. Sikapnya ini menjadi bahan tertawaan seluruh keluarga. Selain itu, sikap Zizit untuk menolak kemapanan, menolak filsafat Jawa, serta semangatnya untuk berbeda itu, justru menjadikan dia anak kesayangan Ayah dan Ibu, mengalahkan anak-anak yang lain, bahkan cucu-cucu. Ketika terjadi pertengkaran antara Zizit dan tokoh aku, tokoh aku menyadari bahwa "aku kalah melawan Zizit. Dan akan selalu kalah. Biasanya memang begitu. Sesungguhnya aku mengagumi adikku yang satu ini" (Danarto, 1996a:13). Dari hal ini terlihat adanya sikap ambivalen patriarki terhadap sosok feminis. Di satu sisi, pendukung patriarki sangat menikmati kekuasaan sehingga tidak menginginkan kehilangan posisi itu. Di sisi lain, mereka mengakui "kebenaran" yang diperjuangkan feminis. Sikap ambivalen ini juga terlihat pada Zizit sebagai sosok feminis itu sendiri. Dia menggugat kemapanan dan kekuasaan sistem patriarki dalam keluarganya, termasuk di dalamnya dia menolak sosok ibu yang dianggapnya telah masuk dalam rakitan sistem patriarki itu. Posisi ibu terkesan tinggi, yaitu sebagai "ratu" dalam rumah tangga. Ia mendampingi ayah sebagai kepala keluarga sehingga ia juga mempertahankan nilai-nilai normatif sebagai layaknya ibu rumah tangga yang ideal, yaitu anggun, lembut, cantik, dan pengatur meja makan. Posisi ibu digunakan untuk melegitimasi sistem patriarki, secara khusus sistem dalam institusi keluarga (cf. Sitepu, 1996). Selain itu, sebagai "ratu rumah tangga", ia mengisi waktunya dengan "jam 10 berangkat ke mana saja. Supermarket. Salon. Butik.
5
26
Arisan. Perkumpulan Sosial. Main kartu. Menjemput Adik. Nonton matine" (Danarto, 1996a: 12). Dalam ketidaksadaran Zizit, ia menggugat posisi dan sikap yang dimiliki Ibu, melalui ucapan, "Aku ingin menumbangkan rekor Ibu dalam menikah muda (Ibu menikah umur 20 tahun)". Ucapan Zizit ini sekaligus mencerminkan adanya sikap ambivalen dalam perjuangannya untuk menggugat sistem tatanan patriarki yang sudah mapan, yaitu, bahwa Zizit ingin menikah lebih muda dari umur 20 tahun, suatu sikap perempuan tradisional yang bertentangan dengan gagasan feminis.5 Alur cerita pendek ini, diakhiri dengan sakitnya Ayah karena mendengar kata "kuburan" yang tanpa sengaja diucapkan tokoh aku ketika bertengkar dengan Zizit. Kemudian, ketika sakit jantung Ayah mencapai puncak kritis dan para dokter tidak dapat menolongnya lagi, Ayah justru menyanyikan lagu "Come Back to Sorento". Ditinjau dari nalar logis, alur cerita ini jelas diakhiri dengan kematian Ayah. Namun, narator tampaknya ingin menunjukkan bahwa yang dipentingkan dalam hal ini adalah kematian Ayah secara fisik; serta kematian atribut-atribut keduniawian Ayah beserta kekuasaan patriarkinya. "Come Back to Sorento" mempunyai makna kembali kepada hakikat manusia. Zizit sebagai feminis tidak kalah dan juga tidak menang dalam teks cerita ini. Dia masih terus melanjutkan perjuangannya. "Kulihat matanya memancarkan bukan saja kegigihan dalam pertempuran, yang terusmenerus dengan Ayah, tetapi seperti ia juga melihat adanya musuh dalam selimut, yang justru mungkin paling tangguh: aku" (Danarto, 1996a:17). "Kematian" Ayah ini memang merupakan simbol kekalahan atribut-atribut patriarki. Namun, masih terdapat adanya tokoh aku (anak laki-laki Ayah) yang benarbenar mewarisi perilaku Ayah. Dengan
Fenomena kawin muda terjadi dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional. Dalam hal ini perkawinan dianggap sebagai "keharusan sosial" yang wajib dipenuhi oleh anggota masyarakatnya. Khusus untuk perempuan, istilah wajib mengandung tekanan normatif yang lebih besar untuk segera kawin karena nilai sosial budaya yang hidup dalam masyarakat memandang tugas utama perempuan adalah sebagai istri dan ibu. (Indraswari, 1999: 132, 142) Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis demikian, sistem patriarki tidak pernah kalah, sistem itu diwarisi dan dilanjutkan oleh generasi penerus. Dari uraian tentang sikap dan posisi perempuan pada cerpen "Zizit", terlihat bahwa perempuan golongan tua dari kelas atas, yaitu Ibu, menikmati posisinya sebagai pendukung patriarki, dengan cara mempertahankan nilai-nilai normatif sebagai istri dan ibu dalam lingkup keluarga. Sementara perempuan muda dari kelas atas, yaitu Zizit, memiliki karakter yang kuat untuk menggugat sistem patriarki. Sikap ini bukanlah hal yang normatif dalam masyarakat, melainkan bentuk usaha yang dilakukan perempuan untuk membentuk identitas subjektifnya.6 Oleh karena itu, tokoh Zizit ini mewakili sosok feminis. Gugatan terhadap patriarki ini, didukung oleh sikapnya yang berpihak pada orang-orang kelas bawah. Hal ini merupakan sikap toleransi kepada sesama golongan tertindas: perempuan ditindas patriarki, sementara kelas bawah ditindas oleh kelas atas. Dalam perjuangannya untuk menggugat ini, Zizit juga dihinggapi oleh sikap ambivalen, yaitu terlihat melalui keinginannya untuk mengalahkan rekor Ibu dalam menikah muda; suatu sikap yang bertentangan dengan gagasan feminis. Gugatan Zizit yang mewakili sosok feminis ini, juga ditanggapi ambivalen oleh patriarki. Di satu sisi, sikap Zizit ini menyebabkan ia menjadi anak emas Ayah/Ibu serta dikagumi oleh tokoh aku. Di sisi lain, sikap Zizit ini ditentang secara terangterangan oleh tokoh aku. Tampaknya, ideologi teks yang terdapat dalam cerpen ini adalah bahwa patriarki sebagai suatu sistem tetaplah kokoh dan mapan karena diwarisi terus-menerus oleh generasi selanjutnya. Oleh karena itu, para feminis masih harus terus melanjutkan perjuangannya.
2.
"Anakmu, Bukanlah Anakmu", Ujar Gibran
Konflik awal yang mendasari perkembangan cerita dalam cerpen "'Anakmu, Bukanlah Anakmu', Ujar Gibran" adalah kehamilan Niken, yang terjadi karena Niken belum menikah. Konflik ini semakin berkembang karena Niken sama sekali tidak mempermasalahkan kehamilannya itu. Setiap kali ditanya dengan siapa ia hamil, ia selalu menjawab dengan santai, tidak peduli, dan apa adanya -- bahwa ia hamil dengan sendirinya. Tentu saja sikap Niken ini sangat bertentangan dengan norma masyarakat yang memandang bahwa kehamilan di luar nikah merupakan aib.7 Norma masyarakat yang didominasi oleh patriarki itu juga dianut oleh Ibu, Nenek, dan juga Ayah. Ibu sangat resah memikirkan Niken. Nenek sangat terkejut ketika berkunjung ke rumah kontrakan Niken, yang disebabkan oleh "Bukan karena bertemu bukti bahwa sang Cucu memang menggondol lelaki. Bukan. Juga bukan karena sang Cucu dirundung nestapa berniat membunuh diri. Bukan. Niken sedang mengoperasi seorang pasien" (Danarto, 1996a:68-69). Sikap terkejut Nenek ini dilatarbelakangi oleh norma bahwa hamil tanpa menikah adalah aib sehingga yang dibayangkan Nenek adalah Niken akan mengambil jalan keluar dengan "mencari" laki-laki yang menghamilinya atau justru dirundung kesedihan. Ayah juga sangat bahagia ketika menyaksikan akhirnya Niken menikah dengan Tomo. Selain tidak mempedulikan kehamilannya, Niken juga memiliki sikap yang mandiri. Setelah melakukan upacara tujuh bulan bagi kandungannya, ia mengontrak rumah sendiri (Danarto, 1996a:68). Setelah itu, ia bergabung dengan para pemberontak. Ia memimpin rapat-rapat, sekaligus menyembuhkan pasien pemberontak yang terluka. Ketika
6
Identitas subjektif dipahami sebagai identitas yang melekat pada masing-masing orang. Hal ini didasari oleh pengertian bahwa pada kenyataannya laki-laki dan perempuan tidak selalu tepat memenuhi identitasidentitas yang ditentukan oleh masyarakat sosialnya (Scott, 1996).
7
Seorang perempuan yang hamil di luar nikah dipandang aib oleh masyarakat yang bersifat patriarki ini. Ia akan mendapatkan sangsi sosial yang berat (cf. Indraswari, 1999:157).
Humaniora Volume XV, No. 1/2003
27
S.E. Peni Adji Nenek dan Ayahnya menegur, ia tidak mempedulikannya. Sikap Niken ini merupakan bentuk gugatan terhadap norma-norma yang ada (yang notabene adalah norma patriarki), yang salah satunya adalah norma bahwa hamil sebelum menikah adalah aib. Sementara, laki-laki yang menghamili cenderung terlepas dari aib. Oleh karena itu, dalam hal ini Niken telah menempatkan posisinya sebagai penggugat terhadap tatanan norma yang sudah ada. Sebelum anaknya lahir, tanpa meminta persetujuan dengan orang tuanya, Niken menikah dengan Tomo. Laki-laki yang sama sekali tidak dikenal sebelumnya, dan sama sekali tidak diketahui asal usulnya (Danarto, 1996a:75-76). Laki-laki ini justru dipilih oleh Niken, sebagai pelengkap gugatannya terhadap norma yang ada karena masalah asal-usul dan kenal-dulu merupakan hal yang tidak penting dan tidak perlu bagi Niken. Namun, di sisi lain, sikap Niken untuk menikah ini justru menunjukkan adanya keambivalensian sikapnya. Di satu sisi, ia menggugat hamil tanpa suami. Namun, di sisi lain, ia berusaha mengesahkan posisinya sebagai ibu sekaligus istri agar anak yang dilahirkan bukanlah anak haram. Ibu termasuk tokoh yang ikut ribut ketika mengetahui anaknya hamil. Ia kesal dengan suaminya, Ayah Niken, yang menurutnya agak kurang perhatian terhadap masalah Niken. Ia kesal karena suaminya terpengaruh oleh pendapat Kahlil Gibran bahwa Anakmu bukanlah anakmu. Sikap ibu ini dapat dikategorikan sebagai sikap keibuan yang bertanggung jawab atas nasib anaknya. Posisinya sebagai istri bukanlah istri yang terlalu tradisional, yang hanya menurut pada suami. Dalam hal ini ia dapat usul dan menunjukkan kekesalannya terhadap suami karena adanya perbedaan pandangan.
8
28
Ketika Nenek mengetahui kehamilan Niken, ia sangat marah. Menurutnya, itu adalah aib. Ketika ia mengetahui bahwa di tempat kontrakakannya Niken bergabung dengan para pemberontak, ia menjadi berang. Ia bermaksud mengucilkan Niken. Pada saat Ayah membujuk Nenek dan menyatakan bahwa Niken adalah tanggung jawabnya, dengan tegas Nenek memprotesnya. Sikap Nenek ini menunjukkan posisi superioritasnya dalam keluarga yang di dalamnya terdapat juga para laki-laki (Kakek dan Ayah). Dengan posisinya sebagai Nenek, ia menindas Niken dan menyuruh orang lain mengucilkan Niken. Dalam cerpen ini, Niken diinterpretasikan sebagai sosok feminis yang menggugat norma patriarki yang ada. Sementara, Nenek dapat dikategorikan sebagai perempuan pendukung norma patriarki tersebut. Dalam sikap mendukungnya itu, ia menindas sesama perempuan yang posisinya lebih rendah, yaitu cucunya, melalui posisinya yang tinggi, sebagai nenek. Dengan kata lain, sikap menindasnya Nenek terhadap Niken ini lebih patriarkis dibandingkan lakilaki itu sendiri. Hal ini disebabkan, Nenek merupakan bagian dari sistem patriarki itu sendiri. Sudut pandang yang dominan dipakai dalam cerpen ini adalah akuan. Dengan menggunakan sudut pandang ini, narator dihadapkan pada dua kenyataan yang menurutnya sama-sama benar, tetapi dalam praktiknya saling bertentangan. Kenyataan pertama berkaitan dengan norma sosial bahwa Ayah harus bertanggung jawab atas nasib anaknya. Kenyataan yang kedua berkaitan dengan keyakiannya tentang anak yang didasari oleh syair Kahlil Gibran.8 Sudut pandang akuan dengan narator sebagai Ayah ini, digunakan untuk menyoroti
Sebagian dari syair itu sebagai berikut: Anakmu bukan milikmu Mereka putra-putri Sang Hidup yang rindu pada dirinya sendiri Lewat engkau mereka lahir, namun tidak dari engkau, Mereka ada padamu, tapi bukan bakmu……. Kaulah busur, dan anak-anakmulah anak panah yang meluncur, Sang Pemanah maha tahu sasaran bidikan keabadian…….(Gibran, 1993). (Dalam cerpen Danarto syair tersebut dikutip dengan lengkap).. Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis dan menanggapi tokoh utama Niken yang adalah anak si narator, sekaligus dipakai secara intensif untuk menggambarkan ambivalensi sikap Ayah terhadap permasalahan Niken. Di satu sisi, ia tertuntut untuk bertanggung jawab kepada anaknya -- yang bersikap menggugat dengan hamil tanpa lakilaki ini sehingga ketika akhirnya Niken menikah dengan Tomo, ia sangat berbahagia karena tidak ada gunjingan masyarakat lagi. Di sisi lain, karena sangat terpengaruh oleh pendapat Kahlil Gibran, ia berkeyakinan bahwa "Segala yang kita miliki ini adalah barang titipan, termasuk yang disebut anakanak kita itu. Kita tidak pernah tahu siapa Anak-anak kita, kecuali satu hal saja: perkembangannya yang tak terduga. …. Kalau anak kita berbuat sesuatu yang di luar yang kita harapkan, itu semua bersumber dari yang bukan kita berdua." (Danarto, 1996: 68). Namun, karena terdapat pesatnya ketakterdugaan perkembangan Niken, hati Ayah juga diliputi keragu-raguan akan kemampuan Niken, seperti terlihat dalam kutipan berikut. "…. Tuhan Yang Mahasuci. Apakah yang hamba hadapi ini benar-benar Anak hamba… Dia sedang memimpin rapat yang amat rahasia dengan perut gendut semacam itu. Kenapa teman-temannya begitu mempercayainya … Apakah Anak hamba seorang yang jujur, Tuhan? Apakah dia tahu betul masalah yang dihadapinya?" (Danarto, 1996a: 73-74).
Karena keyakinannya yang dipengaruhi oleh syair Gibran ini -- ketika menanggapi sikap penggugatan Niken -- Ayah justru dapat berintropeksi: sudah layakkah dia sebagai orang tua menjadi "busur yang mantap" bagi anaknya (Danarto, 1996a:72-73). Ketika akhirnya Niken memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang dipilihnya, dan ia sendiri yang membiayai pernikahannya serta menentukan bentuk kesederhanaan pernikahannya, Ayah sangat berbahagia dan yakin bahwa "Sekarang saya tak pernah ragu lagi tentang Niken. Semua kata-katanya diucapkan dengan dasar pengetahuan yang memadai." (Danarto, Humaniora Volume XV, No. 1/2003
1996a: 77). Jadi sebenarnya, meskipun Ayah berkeyakian bahwa "anakmu, bukanlah anakmu", ia tetap lebih senang jika anaknya bersikap sesuai dengan norma yang ada (yang notabene adalah norma patriarki). Alur cerita perjuangan Niken ini diakhiri secara ironis. Penggugatan Niken sebagai sosok feminis mengalami penurunan setelah keputusannya untuk menikah. Bahkan, perjuangannya ini pun luruh ketika akhirnya Niken ditangkap oleh aparat CPM. Tercermin adanya ideologi teks dari cerpen ini, yaitu bahwa feminis (dalam hal ini Niken) akhirnya terkalahkan oleh sistem patriarki global (yang digambarkan melalui sosok aparat CPM). Keironisan perjuangan Niken ini juga didukung oleh teknik penggunaan sudut pandang akuan dengan naratornya tokoh laki-laki -- yang tidak menjadi tokoh utama. Tokoh utamanya adalah Niken yang mengalami kekalahan dalam perjuangannya menggugat patriarki. 3.
Rembulan di Dasar Kolam
Dengan sudut pandang akuan -- yang naratornya bukan tokoh utama, yaitu Bagas, anak laki-laki -- narator dalam cerpen "Rembulan di Dasar Kolam" menyoroti konflik dalam keluarganya dengan pandangan khas laki-laki. Tokoh utamanya adalah perempuan, yaitu Ibu. Teknik penceritaan ini dipakai untuk menunjukkan ironis, karena tokoh utama yang selalu disorot ini selalu mengalami kekalahan dalam kehidupan faktual, yaitu kehidupan berkeluarganya ketika ia berhubungan dengan suaminya. Dengan posisinya sebagai istri, Ibu selalu diam dan mengalah dalam pertengkaran dengan Ayah. Apabila Ayah telah sampai pada puncak kemarahan dan Ibu sampai pada puncak keterdesakan, Ibu membiarkan suasana berubah menjadi senyap. Ibu berbicara dengan batinnya sendiri sampai suasana menjadi seimbang. (Danarto, 1996b:1-2). Dalam cerpen ini Ayah dilukiskan memiliki posisi sebagai suami, dialah yang menghidupi semua anggota keluarga dengan baik. Karena posisinya ini, ia bersikap terhadap Ibu "agak seenaknya". Ia sering
29
S.E. Peni Adji keras, atau membiarkan karakternya yang keras ketika berhadapan dengan Ibu. Bahkan, ia selalu menuduh Ibu mematamatainya (Danarto, 1996b: 5). Hal ini terkadang membuat Bagas tidak rela melihat Ibu bersuamikan Ayah. Ibu dilukiskan sebagai perempuan yang anggun, pendiam, pemalu, memiliki kemampuan mengurus rumah tangga secara sempurna dengan tidak pernah beristirahat. Ibu tidak pernah menanggapi sikap keras Ayah (Danarto, 1996b:3). Meskipun semalam Ayah dan Ibu bertengkar, pagi harinya, ketika semua anggota keluarga bertemu di meja makan, Ibu sama sekali tidak menunjukkan bekas-bekas pertengkaran. Dengan telaten Ibu melayani semua anggota keluarga (Danarto, 1996b: 4). Dalam hal ini Ibu benarbenar memahami posisinya sebagai istri (pendamping suami) dan posisi sebagai ibu rumah tangga. Posisi yang dimiliki Ibu tersebut merupakan posisi yang diberikan oleh patriarki kepadanya. Posisi tersebut melahirkan tuntutan sikap-sikap "ideal" seorang istri yang dibuat oleh patriarki. Ibu juga digambarkan sebagai perempuan yang saleh. Di dalam mobilnya banyak terdapat kaset pengajian Alquran dan buku puisi doa Rabiah dari Basrah (Danarto, 1996b:10-12). Ternyata, syair Rabiah tersebut menjadi dasar keyakinan Ibu yang kemudian ia pakai untuk menghadapi permasalahan kehidupannya. Termasuk di dalamnya, dipakai untuk mengatasi permasalahannya dengan Ayah: Ia tidak pernah membenci Ayah karena yang dipentingkan dalam kehidupannya kini dan kelak adalah mencintai Tuhan. Dengan menggunakan sudut pandang akuan, narator (Bagas) menanggapi konflik orang tuanya dengan khas lelaki, seperti dalam kutipan berikut. "…bagi penting dengan suami
9
30
saya sungguh tidak begitu seorang suami bercintaan wanita lain, sementara itu menuduh istri memata-
matainya. Saya tidak berniat membela Ayah, karena barangkali sesama lelaki. Tidak. Saya hanya melihat permasalahan saja. Pandangan saya tak ada hubungannya dengan prasangka jenis kelamin ataupun latar belakang moral." (Danarto, 1996b:8-9).
Dari kutipan tersebut sekaligus tercermin bahwa dari kaca mata narator, suami berselingkuh adalah hal yang wajar. Jadi, secara seksual, perempuan dipandang lebih rendah, baik itu perempuan sebagai istri maupun perempuan sebagai teman berselingkuh suami. Dalam hal ini, pandangan narator tersebut bukanlah sekedar mewakili seorang laki-laki, tetapi juga mewakili pandangan masyarakat patriarki secara umum.9 Pandangan narator yang menilai rendah perempuan secara seksual tersebut terungkap secara jelas. Di sisi lain, terdapat juga pandangan narator yang menilai rendah perempuan melalui penilaian yang berkesan tinggi, seperti dalam kutipan berikut. "Ibu yang surga saya terletak di kakinya. Seorang yang begitu anggun, begitu rendah hati, lagi pemalu, yang seluruh penampilannya mengisyaratkan sangat terhormat, yang segala-galanya saya tertumpu" (Danarto, 1996b: 6).
Pandangan tentang "surga terletak di kaki ibu", hanyalah sebuah mitos yang dipakai oleh patriarki untuk menekan perempuan agar perempuan selalu bersikap baik, yaitu lembut, rendah hati, penyayang, dan lain-lain. Penilaian narator yang berkesan tinggi dalam memandang perempuan, yang sekaligus dipakai untuk megakhiri alur cerita pendek ini, terlihat dalam kutipan berikut. Ini semua saya rasa berkat kemampuan (Ibu) menguasai suatu ilmu yang sudah ditinggalkan orang.
Kompas (1985b) dikutip pendapat Brouwer tentang perselingkuhan dalam perkawinan. "Konon pada umumnya, penyelewengan dilakukan oleh laki-laki. Dan anehnya hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. That's a men's world. Tetapi kalau yang menyeleweng perempuan… nanti dulu".
Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis Suatu kekuatan anugerah yang tidak dapat diminta maupun ditolak. Saya rasa ilmu itu datang dengan sendirinya ketika seseorang lupa untuk mempedulikannya. Saya tidak percaya Ibu tidak mengetahui percintaan Ayah dengan perempuan lain. Roh Ibu pasti sudah mengendus-endus gerak gerik Ayah. Saya tidak percaya Ibu mau ambil peduli terhadap percintaan macam ini. Di sinilah terasa
betapa kampungan Ayah, tindaktanduknya yang jauh dari sifat kesatria, bertingkah dengan skandal percintaan yang gampang dikuntit, hanya untuk menunjukkan kehebatannya sebagai laki-laki yang ternyata ketahuan kualitas skandal percintaannya itu nilainya di bawah standar. Betapa Ibu telah mengentutin Ayah habis-habisan (Danarto, 1996b:1314).
Kutipan tersebut memperlihatkan sikap narator bahwa perempuan (Ibu/Istri) telah menertawakan laki-laki (Suami) yang sekedar berkutat pada kebutuhan seksual, dan "kegagahan" berselingkuh yang menurut lelaki adalah kebanggaan. Dengan kata lain, perempuan hanya mampu menertawakan laki-laki, ketika ia ditekan patriarki untuk menerima "doktrin" bahwa perselingkuhan suami adalah wajar. Sikap tertawa perempuan ini dilakukan melalui kemampuan supranatural. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa perempuan dari kelas atas mempunyai posisi sebagai ibu dan istri dalam keluarga. Sebagai istri, perempuan bersikap setia, lembut, tidak protes, dan tidak melayani amarah suami. Sebagai ibu, perempuan pandai mengatur meja makan dan melayani anak-anaknya. Posisi perempuan yang diberi oleh patriarki ini semakin dikukuhkan melalui mitos "surga terletak di telapak kaki ibu". Dengan demikian, dalam .bidang keluarga pun posisi perempuan tetaplah inferior. Sementara itu, bidang yang di dalamnya perempuan dapat menjadi superior adalah Humaniora Volume XV, No. 1/2003
dunia supranatural, yang dengan itu ia dapat mengetahi semua gerak-gerik suaminya. Posisi suami dalam keluarga adalah superior karena ia mempunyai kekuasaan dalam bidang ekonomi. Dengan kekuasaan itu, ia menindas istri. Dalam menanggapi permasalahan ini narator (yang laki-laki) bersikap ambivalen. Di satu sisi, ia -- menggunakan tokoh perempuan -- mengejek laki-laki yang sekedar berkutat pada kebutuhan seksual, dan "kegagahan" berselingkuh yang menurut lelaki adalah kebanggaan. Di sisi lain, ia menganggap bahwa perselingkuhan yang dilakukan suami adalah wajar. 4.
Bulan Melahap Madu
Dengan menggunakan sudut pandang akuan, narator -- sebagai Ayah dalam cerpen "Bulan Melahap Madu" -- menyoroti, menanggapi, dan menilai perilaku tokoh utama, Istri dan anak perempuannya, Putri. Ketika mengandung anak pertamanya, Putri, Ibu berniat menggugurkan kandungannya (Danarto, 1996b:99). Sikap Ibu ini sangat bertentangan dengan sikap Niken dalam "'Anakmu bukanlah Anakmu, Ujar Gibran", juga berbeda sikap dengan sahabat-sahabat Istri, yaitu Mbak Elly, Ratni, Eva, dan Cippink yang sangat mengucap syukur apabila perempuan dapat mengandung . Sikap Istri ini ditanggapi Suami, khas lelaki yang menganut norma masyarakat patriarki. Dia berpandangan bahwa mengandung adalah soal biasa bagi perempuan (Danarto, 1996b:100) sehingga dia juga bertanya dalam hatinya "Apakah Istri tidak mempunyai harkat seorang ibu?" (Danarto, 1996b:113). Akhirnya, Suami menempatkan sikapnya dalam kerangka etika agama, yaitu ia merasa berdosa apabila membiarkan Istri menggugurkan kandungannya. Hal yang menarik dari cerpen ini adalah adanya usaha Suami untuk mengatasi perilaku Istri dengan cara berkonsultasi dengan psikolog. Oleh psikolog dijelaskan bahwa perilaku Istri disebabkan karena adanya kecemasan yang diderita Istri. Adapun kecemasan Istri ini bersumber dari perilaku Suami, (Danarto, 1996b:104-105).
31
S.E. Peni Adji Banyak suami (laki-laki) tidak menyadari bahwa karena merekalah para istri (perempuan) menderita kecemasan. Dalam cerpen ini, Suami adalah laki-laki yang istimewa. Ia mempunyai niat untuk mencari penyebab perilaku Istri sehingga akhirnya ia sendiri memperoleh pengetahuan bahwa banyak suami (yang dalam hal ini mewakili patriarki secara global) telah menyebabkan perempuan menderita kecemasan. Tekanan kecemasan yang diderita oleh Istri ini menyebabkan timbulnya perilaku yang menyimpang dari norma masyarakat, yaitu ingin menggugurkan kandungan. Apabila niatnya itu dilarang, ia semakin garang. Dalam pemahaman cerpen ini, tokoh Istri diinterpretasikan mewakili sosok feminis baru, yang salah satu tujuannya adalah memperjuangkan hak perempuan untuk memilih mempunyai anak atau tidak. 10 Adapun munculnya sikap feminisme baru ini disebabkan oleh sistem patriarki yang dianggap selama ini telah menindas dan mengabaikan hak-hak individual perempuan. Dalam cerpen ini, sepertinya narator sebagai laki-laki enggan menghakimi perilaku perempuan yang mewakili sosok feminisme baru. Narator menggunakan tokoh perempuan lain, yaitu anak dari si Ibu itu untuk "menghakimi" nya. Dilukiskan dalam cerpen ini bahwa Istri dan Putri saling bermusuhan. Semua orang tidak dapat meleraikannya. Istri menuduh Putri pembangkang, sementara Putri menuduh Istri sebagai Iblis. (Danarto, 1996b: 111). Istri menggunakan posisinya sebagai ibu (yang lebih tinggi dibandingkan anak dalam keluarga) memaksa Putri untuk tunduk pada aturan-aturan yang dibuatnya. Puncak pemaksaannya ini terlihat pada saat ia memaksa Putri untuk menikah dengan alasan "Perkawinan adalah pintu menuju kebahagiaan bagimu. Satu-satunya jalan" (Danarto, 1996b:109). Putri dipaksa kawin dengan
Ponton. Putri memprotes pemaksaan tersebut: "Ibu tak berhak sedikit pun atas tubuh dan pikiran saya" (Danarto, 1996b:: 110). Namun, Istri terus menjalankan rencananya. Ketika Suami menolak sikap Istri untuk memaksa Putri menikah, ia menjawab "Tetapi aku Ibunya dan aku adalah Istrimu. Suaraku suaramu" (Danarto, 1996b:113). Sikap Istri ini merupakan wujud tuntutan adanya posisi egaliter antara suami-istri, suatu tuntutan yang juga diperjuangkan oleh feminisme baru. Namun, dalam cerpen ini sikap itu cenderung tampak negatif karena sama sekali tidak didasari oleh adanya kompromi antara laki-laki dan perempuan. Lebih jauh, sikap istri ini dilukiskan sebagai berikut. "Dengan sigap, cermat, dan tanpa berdiskusi, Istri menyiapkan semua acara pernikahan Putri. Suami sama sekali tidak dilibatkan, bahkan membatalkan rencana gila itu pun ia tidak mampu. Semua kemungkinan akan adanya pihak yang membatalkan telah diantisipasi oleh istrinya. Dari segi mental, Istri lebih kuat dibandingkan dengan Suami. Ketika perkawinan Putri akan dilaksanakan, pada saat tamu sudah berdatangan, tiba-tiba Putri lenyap. Suami limbung dan harus dibawa ke rumah sakit. Sementara Istri, setelah pingsan, dapat segera bangun, tanpa menderita apa-apa. "Sungguh mengherankan bahwa Istri tidak menderita apa-apa, padahal dia sangat berkepentingan dengan perkawinan itu. Apakah ini menyangkut mental yang kuat atau kesehatan yang bagus, tentu saja Istri yang bisa merasakannya" (Danarto, 1996b: 118).
10 Menurut Tristan dan Pisan ( 1987:33-69) gerakan feminisme baru di Perancis sama dengan di Amerika. Perjuangan gerakan ini antara lain untuk membangkitkan kesadaran perempuan dan memperjuangkan hak perempuan untuk memilih akan mempunyai anak ataukah tidak. Sehingga, masalah aborsi karena alasan tidak ingin mempunyai anak, juga menjadi hak perempuan
32
Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis Cerita ini diselesaikan dengan cara yang agak sulit dinalar, yaitu mematikan Putri secara kamuflase. Diceritakan bahwa Putri meninggal dunia karena terserang penyakit jantung. Ternyata, yang dikubur bukanlah jenazah Putri, melainkan patung Putri hasil pemahat hiperealis. Putri masih hidup, dan dengan santai ia berkata kepada Ayahnya bahwa ia juga sedang memesan dibuatkan patung Istri kepada pematung hiperealis itu. Dengan maksud -- dalam interpretasi pembaca/penulis -- bahwa Istri juga akan mengalami kematian kamuflase seperti halnya Putri sehingga dari akhir alur cerpen ini terlihat adanya ideologi teks, yaitu bahwa implied author tidak menginginkan tokoh Putri kalah atau mati. Yang ia inginkan adalah berakhirnya penindasan perempuan atas perempuan, dan berakhirnya perjuangan feminis baru. Oleh karena itu, dengan menggunakan tokoh Putri, ia juga bermaksud mematikan Istri secara kamuflase. Selain itu, dalam cerpen ini juga terlihat adanya penindasan perempuan atas perempuan dalam bentuk yang berbeda. Penindasan itu terjadi antara ibu rumah tangga terhadap pembantu/babu, (Danarto, 1996b:101). Selain cerpen "Anakmu Bukanlah Anakmu, ujar Gibran", cerpen ini juga menggambarkan adanya ambivalensi sikap perempuan yang terlukis dengan karakter yang kuat. Dalam posisinya sebagai ibu, perempuan menindas anak yang posisinya lebih rendah dalam keluarga. Dalam posisinya sebagai ibu rumah tangga, ia menindas pembantu yang posisinya lebih rendah secara kelas. Selain itu, dalam posisinya sebagai istri, ia menuntut posisi egaliter antara suami dan istri. Namun, dalam pengambilan keputusan penting keluarga, ia sama sekali tidak berkompromi dengan suami. Tampaknya, implied author tidak menyukai perempuan seperti ini. Dengan tanpa "mengotori tangan" narator -- sebagai tokoh laki-laki -- digunakanlah tokoh perempuan untuk melawan perempuan penindas itu. Kemudian, kedua tokoh perempuan itu pun dikalahkan karakter permusuhan dan penindasannya, melalui kematian kamuflase. Humaniora Volume XV, No. 1/2003
5.
Gandasturi
Menggunakan sudut pandang akuan, dengan naratornya laki-laki, cerpen "Gandasturi" banyak menyoroti penderitaan tokoh Ibu ketika masuk dalam bidang publik. Ibu digambarkan mempunyai dua posisi penting. Pertama, posisinya dalam keluarga, yaitu sebagai ibu dan istri. Kedua, posisinya dalam bidang publik, yaitu sebagai perawat di rumah sakit yang telah mengabdi selama lima belas tahun. Sebagai istri, ia berusaha membantu suaminya mencukupi kebutuhan keluarga yang gajinya hanya seratus duapuluh lima ribu rupiah setiap bulannya. Sikap keibuannya terpanggil untuk mencukupi kebutuhan lima orang anaknya dengan berusaha meminta kenaikan upahnya dari upah seratus ribu setiap bulan. Cerpen ini lebih banyak menyoroti kondisi Ibu yang berkaitan dengan posisinya sebagai perawat. Ibu adalah orang yang profesional, jujur, sabar, dan tidak membedabedakan pasien (Danarto, 1996b: 222). Ironisnya, Ibu justru dituduh telah mencuri jatah obat pasien. Dari tiga kapsul sehari yang disajikan kepada pasien untuk pagi, siang, dan sore, di antara sejumlah kapsul dan obat yang lain, Ibu dituduh mengantongi tambahan penghasilan. Padahal, akhirnya diketahui bahwa obat-obat yang dituduhkan telah dicuri Ibu itu, tidak memenuhi standar kesehatan. Karena kasus itu, Ibu diadili di pengadilan. Terdapat aneka sikap orang-orang (pengunjung, saksi, jaksa penuntut, tokoh aku/anak Ibu) dalam menanggapi kasus Ibu, seperti yang terlukis dalam kutipan berikut. Pertanyaan dan jawaban yang kadang menegangkan di pengadilan, tuduhan dan tangkisan yang mengharukan, mewarnai sidang pengadilan Ibu. Kemarahan dan belas kasihan, jalin-menjalin dilontarkan para pengunjung kepada Ibu yang duduk tenang, seperti sesuatu persiapan untuk menerima resiko yang sudah sewajarnya diterima dan dipersiapkan jauh dari yang tentu bisa menimpa siapa pun. Seorang
33
S.E. Peni Adji pengunjung meneriaki Ibu. Jaksa menuntut menudingkan jarinya ke arah Ibu. Air mata saya mengalir menyaksikan Ibu yang tak berdaya, sekalipun punya pembela, sekalipun anak lelakinya hadir di dekatnya. Juga para saksi yang memberatkan Ibu. Mereka dapat bercerita yang mempengaruhi hakim maupun pengunjung tentang cara-cara Ibu melakukan pencurian, yang kedengaran keterlaluan. "Bagaimana kalau pasien mati akibat dikuranginya jatah obat yang seharusnya diminum?" sergah jaksa. … " Ibu mengadukan diri bahwa selama lima belas tahun Ibu mengabdi, gaji hanya seratus ribu rupiah sebulan," kata jaksa sambil menghampiri Ibu. Tapi itu bukan alasan untuk melakukan penyelewengan… Banyak pegawai dengan masa kerja yang lebih lama dengan gaji yang lebih kecil dengan beban keluarga yang lebih besar, tetapi tetap tabah mengabdi," lanjut penuntut (Danarto, 1996b: 223)
Hal yang perlu digarisbawahi dari kutipan itu adalah sikap Ibu dan tokoh aku. Ibu sangat tenang menghadapi persidangannya dengan berbagai sikap pengunjung yang dilemparkan kepadanya serta hasil sidang yang menyebabkan ia ditahan. Seolah-olah, hal itu merupakan kewajaran yang memang akan menimpa siapa pun. Hal itu ditambah dalam pelukisan pada bagian sebelumnya bahwa dalam persidangan, Ibu tidak menjawab pertanyaan hakim, ia hanya diam dan menunduk. Air matanya mengalir deras tanpa isakan (Danarto, 1996b: 222). Selain Ibu, kutipan di atas juga memperlihatkan tokoh aku yang sama selaki tidak berdaya untuk membela ibunya. Setelah Ibu ditahan, Ayah jatuh sakit lalu meninggal dunia. Narator menganggap bahwa kematian Ayah disebabkan oleh sikap pengecut (Danarto, 1996b:225). Untuk
menghidupi adik-adiknya, tokoh aku berjualan kue gandasturi. Ia dibantu adik perempuannya, Sri. Melalui narator digambarkan bagaimana kelebihan Sri "Terus terang, saya tidak memiliki naluri dagang, hingga hasilnya sering acak-acakan. Srilah pemilik warung ini sesungguhnya. Dia bisa mengatur uang dengan baik" (Danarto, 1996b:221). Namun, usahanya untuk menegakkan ekonomi keluarga itu harus dibayar Sri dengan harga mahal, yaitu tidak melanjutkan sekolahnya di jenjang SMP. Nada dari cerpen yang mengangkat permasalahan kelas menengah bawah ini bersifat pesimis. Nada pesimis ditandai dengan empat penggambaran tokoh. Pertama adalah matinya Ibu setelah ia menderita dihukum karena dituduh mencuri obat. Padahal, Ibu merupakan seorang perempuan yang "benar-benar perempuan" dalam kacamata norma masyarakat patriarki. Artinya, ia menjalani peran sebagai istri dan ibu dengan baik. Ketika ia terjun di bidang publik pun -- yang bertujuan membantu suaminya mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga -- ia bekerja dengan profesi yang berkarakteristik feminin, yaitu sebagai perawat.11 Kedua, tokoh aku merasa sama sekali tidak berdaya membela Ibu di pengadilan. Ketiga, tokoh Ayah mati setelah Ibu dipenjara dua minggu. Keempat, Sri tidak melanjutkan sekolahnya di jenjang SMP. Dari analisis cerpen "Gandasturi" tersebut, terlihat bahwa golongan kelas bawah tertindas oleh golongan yang ada di atasnya. Orang-orang golongan kelas bawah bersikap pesimis dan tak berdaya menjalani kehidupan yang kebijaksanaannnya ditentukan dan berpihak pada kelas atas. Penindasan itu, lebih banyak dirasakan oleh perempuan. Ia tidak saja ditindas oleh kelas atas, tetapi juga oleh sistem patriarki. Penindasan ini semakin terasa ketika ia memasuki bidang publik. Bidang yang di dalamnya, perempuan tidak ditindas dan ia mempunyai kekuasaan adalah bidang supranatural.
11 Profesi yang berkarakteristik feminin adalah guru, perawat, bidan, sekretaris, pekerja sosial, ahli perpustakaan, penenun, penyulam, dan lain-lain. Profesi ini menggambarkan kelembutan, kehangatan, ketekunan, dan harmoni (Syahrir, 1984 dan Ryan dalam Djajanegara, 1995: 42).
34
Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis Sikap Implied Author dalam Karya Danarto Dalam bab ini, dipaparkan sikap implied author terhadap permasalahan patriarki dan isu gender. Sikap ini didapatkan dari uraian tentang sikap dan posisi perempuan dalam cerpen-cerpen Danarto yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan uraian tentang sikap dan posisi perempuan dalam cerpen-cerpen Danarto tersebut, dapatlah ditarik kesimpulan tentang sikap implied author terhadap permasalahan patriarki dan isu gender. 1.
Patriarki
Perempuan tidak memiliki kekuasaan dalam kehidupan faktual sehingga melarikan diri dalam kehidupan supranatural. Andaikan mereka memiliki kekuasaan hanyalah dalam bidang keluarga, sebuah aturan kekuasaan yang memang telah dibuat oleh patriarki untuk perempuan. Dalam bidang keluarga pun, perempuan terikat kepada mitos yang kesannya menghormati dan menghargai perempuan, yaitu "ratu rumah tangga" dan "surga terletak di telapak kaki ibu". Mitos itu mengukuhkan dan membentuk norma-norma tentang peran dan sikap yang harus dimiliki dan dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini, perempuan tidak dapat bersikap sesuai dengan aspirasinya, ia bersikap menyesuaikan diri dengan aturan yang dibuat patriarki. Jadi, sebenarnya dalam bidang ini pun perempuan tetaplah inferior, ia terikat dan tunduk pada norma yang dibuat oleh patriarki. Dalam bidang publik, perempuan sama sekali tidak memiliki kekuasaan; mereka cenderung ditindas oleh sistem patriarki. Perempuan tetap dianggap sebagai orang baru yang datang dari wilayah domestik, sehingga perhargaan untuknya adalah rendah, sama seperti tenaga mereka mengurus rumah tangga yang biasanya tidak pernah dihargai/dibayar. Implied author menyadari adanya ketimpangan-ketimpangan sistem patriarki yang tidak adil dalam menempatkan perempuan. Oleh karena itu, ia dapat mengagumi sikap perempuan untuk menggugat sistem Humaniora Volume XV, No. 1/2003
patriarki, dan menjadikan sikap perempuan itu bahan introspeksi pada dirinya, serta berpandangan bahwa perjuangan feminis masih tetap terus dilanjutkan. Selain itu, dengan ironis implied author juga mengkritik kebanggaan-kebanggaan semu yang dipegang oleh laki-laki, misalnya kebanggaan yang sekedar berkutat pada kebutuhan seksual dan "kegagahan" berselingkuh. Meskipun implied author menyadari adanya ketimpangan-ketimpangan patriarki, ia bersikap bahwa patriarki tetaplah kokoh. Posisi laki-laki dalam kehidupan faktual tetaplah tinggi, lebih-lebih dalam bidang publik laki-lakilah yang mengatur segala sesuatunya. Nilai-nilai patriarki ini kokoh karena tidak hanya dipertahankan dan diwarisi oleh lakilaki dari generasi ke generasi berikutnya, tetapi juga dipertahankan oleh perempuan kelas menengah atas yang dalam beberapa hal merasa menikmati posisi yang diciptakan kekuasaan itu. 2.
Isu Gender
Teks-teks cerpen Danarto yang dicipta tahun 1980-an ini terpengaruh dengan isu gender yang memang sedang populer pada tahun-tahun tersebut di Indonesia (Soeyono, 1994, cf. Syahrir, 1984, dan Suryochondro, 1996:307). Dalam beberapa hal, implied author menyetujui adanya isu gender. Ia mengakui adanya ketimpangan nilai dalam sistem masyarakat patriarki yang menyebabkan perempuan selalu dianggap inferior dan ditindas. Ia dapat menyetujui adanya perempuan yang protes terhadap nilai-nilai patriarki itu. Ia menghargai perempuan yang mandiri dan cerdas. Ia menyukai perempuan yang teguh, yang akan diam apabila dicerca oleh lingkungan masyarakat (patriarki) ketika ia berjuang untuk mewujudkan keinginanya. Ia berpandangan bahwa perjuangan feminis -agar mereka tidak lagi inferior -- masih harus diteruskan. Namun di sisi lain, menurutnya perjuangan feminis -- dengan isu gendernya untuk menuntut persamaan antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal -- akan sulit terwujud. Nilai-nilai patriarki tetaplah kokoh, selain karena sudah mapan sekian lama dan
35
S.E. Peni Adji sebagian besar laki-laki tetap mewarisi tatanan masyarakat yang patriarki ini, juga karena adanya ambivalensi yang dimiliki oleh perempuan itu sendiri. Terdapat perempuan yang masuk dalam "rakitan" sistem patriarki serta menikmati posisi yang diberikan kepada mereka (golongan tua dari kelas atas), di sisi lain terdapat juga perempuan sebagai feminis yang protes dan menggugat terhadap sistem itu (golongan muda dari kelas atas). Ironisnya, dalam posisinya sebagai feminis ini, perempuan itu juga dihinggapi sikap ambivalen. Di dalam semangatnya untuk menggugat itu, terdapat juga sikapnya yang bertentangan dengan gagasan feminis itu sendiri. Implied author sangat tidak menyetujui perjuangan feminis yang dilakukan secara radikal, yang menjadikan perempuan memiliki citra jahat. Misalnya tindakan menggugurkan janin dalam kandungan, dengan dalih bahwa hal itu merupakan hak perempuan. Selain itu, sikap perempuan memaksa laki-laki tunduk pada semua kehendaknya dengan tidak berkompromi. Sikap ini, seolah-olah bermaksud mengubah pola hubungan lakilaki perempuan: superior-inferior yang ada selama ini -- menjadi inferior-superior. Dalam hal ini implied author menggunakan tokoh perempuan untuk melawan perempuan yang memiliki citra jahat tersebut. Hal ini sekaligus berfungsi untuk mempertegas adanya ambivalensi yang terdapat dalam diri perempuanperempuan. Dari uraian tersebut, tercermin adanya keambivalensian sikap implied author itu sendiri dalam memandang patriarki dan isu gender. Di satu sisi ia menyadari adanya ketimpangan sistem patriarki dalam menempatkan perempuan sehingga ia juga menyetujui gerakan feminis yang berusaha menggugat ketimpangan patriarki itu. Namun, di sisi lain dia juga tidak begitu menginginkan perubahan pada kemapanan dan kekokohan sistem patriarki itu sendiri.
ideologis, tulisan ini mendekonstruksi karya Danarto yang selama ini cenderung sekedar dinilai mengungkapkan permasalahan religius "murni". Dengan perspektif ini, dihasilkan deskripsi tentang konstruksi sikap dan posisi perempuan dalam cerpen-cerpen Danarto. Sikap-sikap perempuan itu sangatlah ambivalen, dan posisi mereka juga bervariasi. Ambivalensi ini juga tercermin dalam sikap implied author dalam memandang patriarki dan isu gender. Di satu sisi ia menyadari adanya ketimpangan sistem patriarki dalam menempatkan perempuan sehingga ia juga menyetujui gerakan feminis yang berusaha menggugat ketimpangan patriarki itu -- sebatas gerakan itu tidak menyebabkan perempuan memiliki citra negatif: jahat dan membunuh. Namun, di sisi lain dia juga tidak begitu menginginkan perubahan pada kemapanan dan kekokohan sistem patriarki itu sendiri sehingga keberhasilan perjuangan feminis baru dengan isu gendernya itu juga akan sulit terwujud. Dengan adanya kesimpulan tersebut, penelitian menggunakan kritik sastra feminis untuk karya Danarto sangatlah menarik. Hal itu akan memberikan alternatif pemaknaan terhadap karya Danarto yang selama ini cenderung dinilai hanya sekedar mengangkat permasalahan religiusitas. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan. 1997. "Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan. Dalam Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Booth, Wayne C. 1961. The Rhetoric of Fiction. Chicago & London: The University of Chicago Press.
Kesimpulan
Damono, Sapardi Djoko. 1988. "Protes Sosial Danarto?. Dalam Tempo No 7 Th. 18. 16 April 1988.
Dengan menggunakan teori kritik sastra feminis, yang menggunakan perspektif kritik
Danarto. 1982. Adam Ma'rifat. Jakarta: Balai Pustaka.
36
Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis ______. 1989. Godlob. Jakarta: Grafiti Press. ______. 1993. "Refleksi Perempuan". Dalam Republika, 25 Juli 1993. ______. 1996a. Berhala. Jakarta: Pustaka Firdaus. ______. 1996b. Gergasi. Jakarta: Pustaka Firdaus. Djajanegara, Soenarjati. 1995. Citra Wanita dalam Lima Novel Terbaik Sinclair Lewis dan Gerakan Wanita di Amerika. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. ______. 2000. Kritik Sastra Feminis: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia. Gibran, Kahlil. 1993. Sang Nabi (terj. Sri Kusdyantinah. Jakarta: Pustaka Jaya. Hoerip, Satyagraha. 1984. "Cerita-cerita Pendek Danarto: Potret Neo-tradisionalis Jawa Pengarangnya". Dalam Sinar Harapan, 7 April 1984. Indraswari. 1999. "Fenomena Kawin Muda dan Aborsi: Gambaran Kasus". Dalam Menakar Harga Perempuan (ed. Syafiq Hasyim). Bandung: Mizan. Kompas. 1985b. 20 Oktober. "Menyeleweng bukan Jalan Keluar". Kusujiarti, Siti. 1997. "Antara Ideologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa. Dalam Sangkan Paran Gender (ed. Irwan Abdullah). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung: Mizan. Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1989. Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto: Dialog antara Dunia Nyata dan Tidak Nyata. Jakarta: Balai Pustaka. Pujiharto. 1996. "Arus Perkembangan Kesadaran Mistik Tokoh dalam Cerpen Karya Danarto". Skripsi. Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Humaniora Volume XV, No. 1/2003
Ruthven, K.K. 1985. Feminist Literary Studies. New York: Cambridge University Press. Scott, Joan W. 1996. "Gender: A Useful Category of Historical Analysis". Dalam Feminism and History (ed. Joan W. Scott). New York: Oxford University Press. Sitepu, Henny Supolo. 1996. "Ratu Rumah Tangga: Sebutan Kosong". Dalam Perempuan Indonesia Dulu dan Kini (ed. Mayling Oey-Gardiner, dkk.). Jakarta: Gramedia. Soeyono, Nana Nurliana. 1994. "Historiografi Wanita Indonesia: Sebuah Penelusuran Awal". Disajikan dalam Seminar Wanita Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Fakultas Sastra UI. Jakarta, 6-7 Desember 1994. Sriwidodo, Rayani. 1985. "Memahami Cerpen Danarto". Dalam Cerpen Indonesia Mutakhir. (ed. Pamusuk Eneste). Jakarta: Gramedia. Sudewa, A. 1991. Serat Panitisastra. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Suryochondro, Sukanti. 1996. "Perkembangan Gerakan Wanita Indonesia". Dalam Perempuan Indonesia Dulu dan Kini (ed. Mayling Oey-Gardiner, dkk.). Jakarta: Gramedia. Syahrir, Kartini. 1984. "Seminar Wanita: Contoh Nyata Perjuangan Wanita". Dalam Kompas, 18 September 1984. Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya. Tjitrosubono, Siti Sundari, dkk. 1985. Memahami Cerpen-cerpen Danarto. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Toda, Dami, N. 1984. Hamba-hamba Kebudayaan. Jakarta: Sinar Harapan.
37
S.E. Peni Adji Tristan, Anne dan Annie de Pisan. 1987. "Tales from the Woman's Movement". Dalam French Feminist Thought (ed. Toril Moi). New York: Basil Blackwell.
Zamzanah Sayisinah. 1988. "Religiusitas dalam Berhala: Kajian Struktural dan Semiotik". Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.
Wasono, Sunu. 1988. "Humor dalam Kumpulan Cerpen Berhala”. Dalam Pelita, 20 Juli 1988.
38
Humaniora Volume XV, No. 1/2003