Kartini: Aku Cinta Laut Oleh: Harsutejo
“…kami dengan pelaut selalu merasa segera akrab. Kami memang telah menyerahkan hati kami ke laut. Semua yang berhubungan dengan laut menarik hati kami…. Betapa memuncak gembira hati kami ketika bersampan kayuh di laut. Kami begitu melonjak berkobar mencintai laut… aku senang di atas gelombang… Sejak dulu kami sangat mencintai laut milik Gusti Allah. Seandainya aku anak laki-laki, aku tak akan berpikir dua kali untuk jadi pelaut… Kepada para tamunya ayah berkata: ‘Anak-anak perempuan saya gemar sekali berlayar dan sangat suka naik kapal.’” Itulah selarik penggalan yang ditulis Kartini dalam suratnya kepada Ny. Ovink-Soer November 1899 yang menceritakan pertemuannya dengan dua orang pelaut Belanda yang “terdampar” ke rumahnya di ruang tamu gedung Kabupaten Jepara yang kapal perangnya singgah di pelabuhan Jepara dalam perjalanannya ke Surabaya. “Mendengar kata kapal perang kami melompat seolah disengat kumbang. Dan sebelum adik selesai cerita, kami lari dari kamar menuju ke depan… kami melihat dua pemuda berpakaian putih duduk dengan ayah di ruang tengah”. Kemudian Kartini dipersilahkan ayahnya untuk ikut menemui tamunya. Mereka asyik berbicara, bahkan Kartini sempat bercanda dengan kedua pelaut seolah telah lama kenal, “Aku katakan pada tuan-tuan itu seandainya melewati Japara lagi sebaiknya mereka mematahkan poros baling-baling atau lainnya di muka pantai kami, dengan demikian kapal itu harus merapat ke pelabuhan kami.” Seperti
tercantum
dalam
sejumlah
suratnya
yang
lain,
ia
bersama
saudara-saudaranya diberi kesempatan ayahnya untuk mandi-mandi ke Pantai Bandengan di Jepara, berperahu, bermain air laut dan ombak yang membuatnya gembira ria dan kagum akan kebesaran laut dan kebesaran Illahi. Pantai dengan pasir putih yang bersih dengan pemandangan indah (di masa itu) tempat ia sering bermain bersama keluarga, 1
dinamainya dengan Klein Scheveningen (Scheveningen Scheveningen, pantai tempat berlibur di Den Haag, Belanda.
Mungil)
merujuk
pada
Dalam surat lainnya kepada Stella Zeehandelaar 12 Januari 1900 ia menulis tentang angin badai dan gelombang besar di laut:”Sepanjang hari dan semalam suntuk terdengar laut mengaum dan mengamuk. ‘Klein Scheveningen’ tersayang , di situlah angin ribut paling dahsyat. Jalan ke rumah pemandian sama sekali hanccur oleh gelombang, dan pantai di depannya musnah… Kalau nanti sore tidak hujan aku akan meminta kepada ayah untuk pergi menengok”. Kartini juga mencatat dengan prihatin bahwa banjir, tanah longsor dan angin puting beliung telah merugikan kaum tani dan nelayan serta rakyat kecil lainnya. “Tetapi sayang Pemerintah membebani rakyat dengan pajak-pajak berat”. Ini benar-benar menjadi keprihatinan Kartini. Dalam surat yang sama ia menulis:“Kira-kira seminggu yang lalu kami berada di ‘Klein Scheveningen’. Kami bertiga berdiri di atas batu karang besar di bibir pantai menyaksikan permainan ombak dan gelombang yang dahsyat. Hati kami begitu tertambat pada tamasya yang terhampar mengagumkan itu, sehingga kami sama sekali tak menyadari bahwa gelombang raksasa yang bergulung-gulung itu makin lama kian mendekati batu karang tempat kami berpijak...” Kartini membaca buku-buku sejarah dan sastra, ia juga menyukai geografi beserta peta yang disimaknya dengan saksama. Ia sadar akan kedudukan negerinya, Pulau Jawa dan juga Indonesia sebagai negeri bahari. Memang di masa hidup Kartini belum ada konsep Indonesia, tetapi ia sudah punya pandangan lebih luas daripada sekedar Jawa. Ia mengusulkan kepada pemerintah agar mengalihkan beasiswa yang diterimanya untuk studi ke Belanda kepada seorang Sumatra yang cerdas bernama Salim, kelak kita mengenalnya sebagai Haji Agus Salim. Melampaui Emansipasi Pengetahuan kita pada umumnya tentang tokoh Kartini berasal dari sebuah buku yang terbit pada 1911 di Belanda, Door Duisternis Tot Licht oleh Abendanon yang pernah menjadi Direktur Pengajaran pemerintah jajahan Belanda di Indonesia. Seperti kita ketahui buku tersebut berisi kumpulan surat Kartini kepada sejumlah teman korenspondensinya yang disunting dengan memotong hal-hal yang dianggap tidak relevan dalam hubungannya dengan pencarian dana bagi didirikannya sekolah Kartini dan kegiatan lain di Indonesia yang disebut sebagai seiring dengan cita-cita dan gagasan Kartini. Penyuntingan atau lebih tepat sensor tehadap surat-surat Kartini juga berhubungan dengan kepentingan berlangsungnya penjajahan secara tenteram. Keduanya sesuai 2
dengan politik etis Belanda ketika itu, antara lain memberikan pendidikan terbatas kepada orang Indonesia guna mendukung administrasi pemerintah jajahan Belanda. Dengan demikian pengetahuan kita tentang Kartini sebatas sebagai pendekar emansipasi perempuan, tidak lebih dari itu. Buku tersebut diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang, diterbitkan oleh Balai Pustaka pada 1938. Pada 2008 buku ini telah mengalami cetakan ke-24 yang tersebar luas, hampir-hampir menjadi satu-satunya pustaka tentang Kartini bagi khalayak luas. Padahal buku yang sama ini pula telah terbit edisi barunya yang lebih lengkap di Belanda serbagai cetakan ke-5 pada 1976, diterjemahkan oleh Sulastin Sutrisno dengan judul Surat-Surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, Djambatan 1979. Di samping itu masih ada satu buku yang memuat surat-surat Kartini (beserta sejumlah kerabatnya) secara lengkap tanpa sensor, Kartini, Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya, terjemahan Sulastin Sutrisno, Djambatan 1989. Agaknya dua buku ini kurang tersohor dan kurang luas tersebar dibandingkan buku pertama. Perlu kita ketahui bahwa disamping menulis surat kepada sejumlah teman korespondensinya, Kartini juga menulis artikel di koran Semarang De Locomotief serta majalah perempuan De Hollandsche Lilie tempat salah satu sahabatnya yang dipanggilnya sebagai “Ibu”, Nyonya Ovink-Soer, seorang berkebangsaan Spanyol istri Asisten Residen Jepara, juga menulis. Ia menulis pula di majalah De Echo dengan nama samaran “Tiga Soedara”. Tak aneh jika Kartini disebut juga sebagai wartawati Indonesia pertama. Artikel pertama Kartini tentang gambaran etnografik yang ditulisnya pada 1895 dalam usia 16 tahun, Het huwelijk bij de Kodjas (Upacara perkawinan suku Koja/Arab) diterbitkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) pada 1898. Terbitan lembaga ini beredar di kalangan intelektual, dengan demikian nama Kartini dikenal, demikian halnya lewat tulisannya di koran dan majalah. Karena itu tidak benar jika namanya hanya dikenal setelah Abendanon menyiarkan surat-suratnya pada 1911. Kartini antara lain dalam suratnya kepada Stella 12 Januari 1900 juga bicara tentang banjir, tanah longsor, abrasi pantai, angin ribut yang merugikan kaum tani dan peternak ikan serta rakyat kecil yang lain. Di samping bicara tentang pendidikan perempuan, ia juga bicara tentang kerajinan ukir Jepara serta mengambil langkah untuk meningkatkan pendapatan para pengukir, tentang seni batik, juga seni musik gamelan Jawa dan seni masak. Dalam suratnya kepada teman yang sama 6 November 1899 ia pun menyebut diri sebagai mahir memasak untuk keluarga dan teman-teman dekat yang dikatakannya dapat menjadi profesinya. 3
Catatan Tajam Kartini Terhadap Pejabat dan Politik Belanda Dalam pengantar salah satu surat kepada Nyonya Abendanon yang ditutup dengan penanda Japara, 8-9 Agustus 1901 Kartini antara lain menyebut “buku harian seorang gadis muda yang tua,” yang ia maksudkan ialah dirinya sendiri. Selama ini para peneliti dan pengulas Kartini tidak ada yang menyebutkan tentang kemungkinan ia menulis buku harian sebagai yang tertera dalam salah satu suratnya itu. Kartini memberikan catatan tajam dan terus terang terhadap para pejabat Belanda beserta Nyonya Besar mereka yang pernah ia temui dalam apa yang disebutnya sebagai buku harian bertengara 8 Agustus 1900. “…seorang madam yang congkak, yang melewati kita dengan menghina, seorang wanita yang merendahkan kita dengan hinaan dingin, seolah kita ini termasuk salah seekor binatang yang merugikan, karena dia berkulit putih, seorang Eropa, dan kebetulan seorang Kanjeng Nyonya, sedang kami hanyalah seorang Jawa! Ini kiranya sungguh bukanlah yang pertama kali, kita sudah kerap kali mengalami yang demikian.” Dalam catatan buku harian itu pula dilukiskan percakapan Kartini dengan adik-adiknya, rupanya lebih pada percakapan dalam dirinya sendiri berupa perdebatan antara dua pribadi yang saling berbantah. Dalam kesempatan lain dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar 25 Mei 1899, ia mengecam keras kejahatan politik Belanda yang melegalkan penjualan opium atau candu yang merusak rakyat (di zaman sekarang menjelma menjadi narkoba): “Suatu kejahatan yang lebih jahat lagi dari minuman keras… candu. Aduh! Tak terkatakan kesengsaraan yang ditimbulkan benda laknat itu atas negeriku, bangsaku… kejahatan yang ditimbulkan candu bertambah lama kian besar…Makin banyak orang minum candu… akan makin penuhlah kas Negara. Cukai candu adalah salah satu sumber penghasilan besar bagi Pemerintah Hindia Belanda. Tidak peduli apa yang terjadi dengan rakyat…” Pada suatu hari Kartini dan dua orang adik perempuan beserta ayah mereka diundang menghadiri pertemuan dengan Residen Semarang Sijthoff. Residen menjelaskan akan didirikannya sekolah perempuan pribumi berasrama. Ketika itu Kartini sudah dikenal sebagai putri Bupati Jepara yang memiliki gagasan tentang pendidikan perempuan Jawa. Kartini sama sekali tidak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. “Tentunya kamu tidak berminat untuk menjadi direktris sekolah itu.” Itulah kata-kata Residen kepada Kartini di depan hadirin. Kartini menjadi marah sekali, buat apa ia 4
diundang tanpa dimintai pendapat secuwilpun. Jadi undangan itu hanya sekedar basa-basi tolol, bahwa Kartini tidak akan mampu. “Tidak bergunakah perempuan cakap dalam masyarakat?” Demikianlah cerita dan keluh-kesah itu disampaikannya dalam surat kepada Ny. Ovink-Soer dan Stella Zeehandelaar Agustus 1900. Pada kesempatan lain Kartini menyaksikan adegan pejabat Belanda yang kemaruk yang dengan gagah dan pongahnya berjalan dilindungi payung emas oleh sang bumiputra yang merunduk-runduk takzim, sebagai tercantum dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar 12 Januari 1900. “…seorang asisten-residen pulang dari kantor di bawah naungan payung emas yang dipegang seorang upas yang terkembang di atas kepala yang mulia. Gila benar pemandangan itu! Aduhai dewa, kalau tuan tahu bagaimana orang banyak yang ketika itu menyisih untuk payung cemerlang tersebut, di belakang tuan akan mengumpatlecehkan tuan…” Banyak Surat Kartini Tidak Sampai Pada Kita Ketika
Abendanon
menerbitkan
bukunya
pada
1911
ada
sejumlah
teman
korespondensi Kartini yang tidak kooperatif. Bahkan Stella Zeehandelaar yang dikenal “akrab” karena kedekatan usia dan pandangannya hanya menyerahkan sebagian surat-surat yang diterimanya, demikian halnya dengan sejumlah teman korespondesinya yang lain. Annie Glaser pernah menjadi guru tiga dara Kabupaten Jepara dan mempunyai hubungan akrab dengan mereka. Guru ini kemudian pindah ke Bogor sebelum pulang ke Belanda. Ia menyimpan sejumlah surat Kartini, tetapi sama sekali tak bersedia menyerahkan surat-surat itu untuk dipublikasikan, bahkan ia tak mau memberikan keterangan sedikitpun tentang Kartini, demikian halnya dengan ahli warisnya. Menilik hubungan erat Kartini dengan gurunya ini maka diperkirakan surat-surat yang ditulisnya cukup banyak dan berharga. Seperti kita ketahui surat pertama Kartini yang sampai pada kita ditujukan pada Stella Zeehandelaar 25 Mei 1899. Dalam surat itu Kartini bercerita tentang masa ia dipingit selama empat tahun (1892-1896), ia diperkenankan membaca buku-buku dan juga melakukan korespondensi dengan teman-temannya orang Belanda. Siapa mereka ini dan di mana keberadaan surat-surat yang ditulisnya tidak pernah kita ketahui kecuali dugaan bahwa mungkin sekali mereka itu teman-teman sekolahnya di ELS yang kemudian melanjutkan pelajaran ke Semarang, Surabaya, Jakarta atau dan kemudian ke Belanda. Sosro Kartono, kakak Kartini, melanjutkan studi ke Belanda dan mengembara ke berbagai penjuru Eropa selama 29 tahun sejak 1896. Kartini melakukan surat-menyurat 5
dengan kakaknya yang pandangan hidupnya sangat dekat dengan dirinya, hubungan mereka pun amat erat. Sayang Sosro Kartono yang menyadari akan pentingnya surat-surat Kartini untuk diketahui umum sebagai disebutkan dalam suratnya dari Bandung 19 Juli 1926 kepada Nyonya Abendanon, sampai meningggalnya pada 1952 surat-surat yang diterima sang kakak itu tidak pernah diumumkan. Demikian halnya dengan surat-surat Kartini kepada kedua adiknya: Roekmini dan Kardinah ketika mereka sudah berpisah kota juga tidak pernah kita ketahui dan tidak disebut oleh para peneliti. Surat-surat Kartini yang belum pernah diumumkan yang berada di tangan perorangan, baik di Indonesia maupun di luar negeri, hampir dapat dipastikan telah musnah ditelan zaman. Kita bersyukur masih dapat mewarisi sejumlah mutu manikam sebagai peninggalan intelektual Ibu Kita Kartini, Pendekar Bangsa, Pencinta Laut. --- o0o ---
6