KARAKTERISTIK STRUKTUR RUANG INTERNAL KOTA DELANGGU SEBAGAI KOTA KECIL DI KORIDOR SURAKARTA - YOGYAKARTA
TUGAS AKHIR
Oleh : AHMAD NURCHOLIS L2D 003 325
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2008
i
ABSTRAK
Perkembangan perkotaan di Indonesia cenderung mengarah terbentuknya kawasan perkotaan yang semakin besar dan terintegrasi (mega-urban region), ini terlihat dari semakin luasnya daerah yang menunjukkan ciri perkotaan di kawasan suburban yang telah menyatu dengan kota intinya. Fenomena tersebut tidak hanya terjadi pada kota besar, tetapi juga pada kota-kota kecil yang berada di antara koridor kota besar, salah satunya terjadi pada koridor Surakarta-Yogyakarta. Dimana koridor tersebut memperlihatkan kaburnya batas antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Adanya fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, perubahan aktivitas penduduk serta meningkatnya pergerakan orang dan aliran barang yang terjadi antar pusat aktivitas maupun dengan wilayah lain. Sehingga kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap perkembangan bentuk dan struktur ruang internal kota yang terbentuk, salah satunya di Kota Delanggu. Penelitian tentang karakteristik sruktur ruang internal Kota Delanggu sebagai kota kecil di koridor Surakarta-Yogyakarta dilakukan berdasarkan pendekatan fisik dan non fisik. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik struktur ruang internal kota yang terbentuk. Untuk menjawab pertanyaan mengenai bagaimana karakteristik struktur ruang internal Kota Delanggu yang terbentu, ada beberapa fokus pembahasan seperti karakteristik penggunaan lahan, sistem aktivitas penduduk, serta pergerakan orang dan barang yang kesemuanya merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya struktur ruang internal suatu kota. Penelitian ini dirasa penting untuk dilakukan sebagai dasar pertimbangan dalam pengembangan kota-kota kecil di masa yang akan datang. Khususnya kota-kota kecil yang berada diantara koridor kota besar, dalam hal ini koridor Surakarta-Yogyakarta, baik bagi Pemda Kabupaten Klaten, Pemkot Surakarta maupun Pemprov Yogyakarta. Hal ini karena kebijakan pembangunan perkotaan masih bersifat administratif dan sektoral, sehingga dengan adanya Otonomi Daerah maka kebijakan pembangunan yang bersifat kewilayahan serta terintegrasi dinilai lebih tepat untuk terapkan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif, dengan teknik analisis yang digunakan yaitu analisis kuantitatif deskriptif, kualitatif deskriptif, dan statistik deskriptif dengan menggunakan tabulasi silang. Hasil analisis menunjukkan bahwa karakteristik penggunaan lahan di Kota Delanggu didominasi oleh permukiman sedangkan kawasan komersil berkembang di sepanjang jalan-jalan utama di Kota Delanggu. Hal ini karena adanya tarikan yang kuat antara Kota Solo, Klaten dan Jogjakarta serta Kota Delanggu berfungsi sebagai pusat pelayan terhadap beberapa wilayah sekitar. Penduduk Kota Delanggu sebagian besar bekerja di sektor non-agraris, seperti industri, perdagangan dan jasa, sedangkan penduduk sebagai petani jumlahnya relatif sedikit (15.31%), sehingga kondisi tersebut memperlihatkan Kota Delanggu lebih bersifat perkotaan. Pergerakan penduduk di Kota Delanggu berasal dari pergerakan internal dan eksternal dengan lokasi tujuan kawasan komersil, dengan tujuan untuk bekerja, belajar, belanja dan keperluan lain. Penduduk di Kota Delanggu tidak perlu ke kota-kota besar untuk mengakses barang kebutuhan sehari-hari, hal ini karena hampir semua kebutuhan hidup sudah tersedia di Kota Delanggu. Perkembangan lahan terbangun di Kota Delanggu terjadi ke segala arah secara seimbang karena kondisi topografi yang datar, tetapi pada sisi-sisi jalan-jalan utama Kota Delanggu lebih mengalami percepatan perkembangannya, hal ini terkait adanya fenomena mega-urban region yang terjadi di koridor Surakarta-Yogyakarta maupun dengan wilayah sekitarnya. Berdasarkan fenomena tersebut, perkembangan Kota Delanggu bertipe kompak, sedangkan struktur ruang internal yang terbentuk lebih melihat fungsi dari masing-masing kawasan meskipun kondisinya masih terjadi percampuran fungsi. Sehingga tipe struktur ruang kota yang mendekati adalah tipe sektor, meskipun tidak seideal seperti yang terjadi di nagara maju. Terjadinya perluasan kawasan perkotaan di sepanjang koridor Surakarta-Jogjakarta akan mengancam keberadaan lahan pertanian yang subur kondisi tersebut terjadi karena perkembangan kawasan perkotaan tersebut tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang ada. Selain itu perkembangan lahan terbangun (permukiman dan komersil) akan menimbulkan dampak terhadap arus pergerakan transportasi. Untuk menghindari perkembangan yang tidak terkendali maka diperlukan suatu kerjasama lintas sektoral maupun antara Pemkot Surakarta, Pemda Klaten dan Pemprop Jogjakarta dalam berbagai bidang agar perkembangan koridor perkotaan tersebut lebih terarah, sehingga permasalahan-permasalahan yang timbul dapat diminimalisasi.
Kata kunci: struktur ruang internal, kota kecil, Guna lahan, sistem aktivitas dan pergerakan.
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Penelitian Perkembangan perkotaan di Indonesia cenderung mengarah terbentuknya kawasan
perkotaan yang semakin membesar dan terintegrasi. Kondisi tersebut terlihat dari semakin luasnya daerah yang menunjukkan ciri fisik perkotaan di kawasan suburban yang telah menyatu dengan kota intinya, dimana proses pengkotaan yang terjadi di pinggiran kota besar terjadi lebih cepat dibanding yang terjadi di kota besar itu sendiri. Adanya fenomena tersebut mengakibatkan terjadinya proses transformasi ruang dan sosio-ekonomik wilayah kota-kota menengah maupun kota–kota kecil di sekitarnya sebagai akibat dari proses modernisasi dan industrialisasi kota besar (inti), dimana pada akhirnya mengakibatkan perkembangan kota-kota tersebut terkesan menyatu (Sugiana, 2005: 42). Menyatunya kota-kota tersebut pada akhirnya mengakibatkan terjadinya fenomena wilayah perkotaan yang sangat besar (mega-urban regions), seperti halnya yang terjadi di kota-kota megapolitan seperti Kota Jakarta dengan kota-kota kecil di sekitarnya (Jabodetabek), dimana kota megapolitan tersebut berperan sebagai inti (Firman dan Tjahjati, 2005: 87). Fenomena perkembangan kawasan perkotaan tersebut terlihat jelas pada pola keruangan perkembangan
penduduk
perkotaan,
terutama
di
Jawa
memperlihatkan
kecenderungan
perkembangan koridor perkotaan yang menghubungkan antara kota-kota besar seperti koridor Serang-Jakarta-Kerawang,
koridor
Jakarta-Bandung,
koridor
Cirebon-Semarang,
koridor
Semarang-Yogyakarta, serta koridor Surabaya-Malang, dimana pembentukan koridor-koridor tersebut sering diwarnai oleh semakin kaburnya perbedaan antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan (Firman, 1992:213). Munculnya fenomena tersebut tidak terlepas dari keberadaan jalur transportasi yang menghubungkan antar kota-kota tersebut, sehingga akan terbentuk semacam koridor perkotaan antara kota-kota besar. Di saat perekonomian berkembang dengan pesat dan akan terlihat wilayah perkotaan yang sangat luas (metropolitan) dimana terdapat kantong-kantong pertanian tetapi dengan kegiatan perkotaan (agrourban activities) diantara koridor antar kota (Soegijoko, 1997:107). Pesatnya perkembangan tersebut mengakibatkan perubahan warga perkotaan, jumlah kepadatan penduduk yang meningkat mempengaruhi pola penggunaan lahan suatu kota yang berakibat terjadinya konflik penggunaan lahan, sehingga permukiman penduduk cenderung bergeser keluar yang mengakibatkan munculnya wilayah desa-kota di sekeliling atau di sepanjang koridor kota besar. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di wilayah sekitar atau di antara koridor kota besar yaitu lahan pertanian bersententuhan dengan permukiman, komersil, industri, jasa yang menjadi ciri fisik 1
2 perkotaan. Sehingga dengan adanya perkembangan tersebut juga berpengaruh terhadap karakteristik perilaku penduduknya serta bertambah kuatnya interaksi yang terjadi. Selain itu, terjadinya perkembangan kawasan perkotaan di sekitar kota besar maupun di sepanjang koridor antar kota besar juga ditandai dengan adanya proses restrukturisasi internal pada kota-kota tersebut, baik secara sosial-ekonomi maupun secara fisik. Secara fisik proses restrukturisasi ditandai oleh adanya perubahan guna lahan, baik di kota inti maupun di kawasan pinggiran. Kawasan pusat kota mengalami perubahan penggunaan lahan sangat intensif dari kawasan permukiman menjadi komersil, sedangkan di kawasan pinggiran kota terjadi alih fungsi (konversi) lahan pertanian yang subur menjadi kawasan terbangun yaitu industri dan permukiman. Fenomena terjadinya perluasan wilayah perkotaan yang ditandai dengan semakin kaburnya batas antara daerah perkotaan dengan daerah pedesaan juga terlihat di sepanjang koridor SurakartaYogyakarta. Berdasarkan penelitian (Nugroho, 2002:124), beberapa wilayah kecamatan yang terdapat di koridor Surakarta-Yogyakarta mempunyai tingkat pertumbuhan penduduk dan aksesbilitas yang tinggi, di antaranya Kecamatan Delanggu, Ceper, Prambanan dan Kota Klaten. Hal ini karena keberadaan Kota Solo dan Yogyakarta secara tidak langsung akan mempengaruhi perkembangan wilayah disekitarnya, terutama daerah-daerah yang berada pada jalur regional antara kedua kota tersebut. Selain karena lokasinya yang saling berdekatan juga didukung oleh keberadaan jalur regional yang menghubungkan kedua kota tersebut, Kota Yogyakarta berfungsi sebagai pusat pelayanan Propinsi DIY sedangkan Kota Surakarta sebagai pusat pertumbuhan di Bagian Tenggara Propinsi Jawa Tengah dan pusat perekonomian di wilayah Subosukawonosraten (RTRW Provinsi Jawa Tengah, 2003). Akibatnya di sepanjang koridor tersebut tumbuh dan berkembang kota-kota menengah dan kecil yang berfungsi sebagai pusat pelayanan terhadap daerah sekitarnya, penyuplai tenaga kerja dan bahan baku maupun sebagai daerah pemasaran produk-produk industri perkotaan, sehingga mempengaruhi perkembangan koridor kedua kota besar tersebut. Pesatnya perkembangan daera perkotaan di sepanjang koridor Surakarta-Yogyakarta tidak terlepas dari adanya interaksi yang terjadi antara kedua kota tersebut, hal ini karena interaksi antar kota/ wilayah merupakan faktor ekternal yang berpengaruh serta berperan penting terhadap perkembangan suatu kota. Tingkat pertumbuhan dan perkembangan suatu kota terlihat dari seberapa kuat interaksi antar kota/ wilayah di sekitarnya, seperti pergerakan penduduk berupa perjalanan atau migrasi, aliran investasi baik berupa aliran aset atau SDM, penyebaran inovasi, aliran informasi dan komoditas yang didorong oleh kemajuan dalam bidang teknologi transportasi, informasi dan produksi (Firman, 2000; dalam Soegijoko, 2005: 23). Sehingga kondisi tersebut akan mempengaruhi tingkat perubahan penggunaan lahan di suatu kota, sebagai akibat munculnya berbagai aktivitas sosial ekonomi diatasnya. Selain terjadi perubahan penggunaan lahan juga
3 berpengaruh terhadap aktivitas penduduk yang terdapat di dalam kota tersebut untuk melangsungkan kehidupannya. Dalam studi ini dilakukan pembatasan pembahasan pertumbuhan dan perkembangan kota kecil di koridor Surakarta-Yogyakarta dengan studi kasus Kota Delanggu dalam bentuk karakteristik struktur ruang internal yang terbentuk. Pembahasan karakteristik struktur ruang internal kota lebih difokuskan pada karakteristik penggunaan lahan, sistem aktivitas penduduknya serta interaksi yang terjadi tetapi hanya sebatas pada pergerakan orang dan barang. Kota Delanggu merupakan salah satu kota kecil yang berada di koridor SurakartaYogyakarta. Berdasarkan hirarki perkotaan menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Klaten, Kota Delanggu berfungsi sebagai kota hirarki II. Hal ini karena kota tersebut telah berkembang menjadi pusat pelayanan wilayah Kabupaten Klaten sebelah utara dan timur, serta sekitar kota tersebut telah berkembang aktivitas pertanian yang dipertahankan sampai sekarang. Selain itu, Kota Delanggu juga berfungsi sebagai Sub Wilayah Pembangunan (SWP) II yang meliputi wilayah-wilayah Kecamatan Delanggu, Polanharjo, Juwiring dan Wonosari dengan pusat pengembangannya berada di Kota Delanggu. Sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pertumbuhan, kota Delanggu akan selalu mengimbaskan pertumbuhan dan perkembangan kepada kota-kota yang berperan sebagai pusat-pusat SWP tersebut sebaliknya pertumbuhan kota Delanggu itu sendiri banyak didukung oleh keberadaan kota-kota (desa-desa) yang berada belakangnya terutama oleh adanya kapasitas produk pertanian, perindustrian dan pariwisata. Sebagai pusat pertumbuhan dan pengembangan wilayah Kabupaten Klaten bagian utara dan timur, Kota Delanggu mengalami perkembangan yang relatif cepat bila dibandingkan dengan daerah-daerah di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari semakin berkurangnya lahan pertanian yang berubah menjadi lahan terbangun, baik berfungsi sebagai permukiman maupun komersil yang disebabkan oleh adanya pertambahan jumlah penduduk dengan segala aktivitasnya. Secara umum penggunaan lahan di Kota Delanggu pada tahun 2007 didominasi oleh lahan pertanian dengan persentase sekitar 59,30 %, sedangkan sisanya telah berubah menjadi kawasan terbangun yaitu sebesar 40,70 % dari total luas keseluruhan, dengan rincian luas penggunaan lahan untuk permukiman 29,86 %, perdagangan dan jasa 5,40 %, fasilitas umum 2,47 % serta sisanya berupa penggunaan untuk industri dan campuran. Kondisi tingkat perubahan lahan pertanian menjadi lahan terbangun memiliki karakteristik yang sama dengan kota atau daerah lain yaitu umumnya mengikuti pola jalan. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan di Kota Delanggu dapat dilihat pada Gambar I.1 berikut.