TEMU ILMIAH IPLBI 2014
Karakteristik Masjid Tradisional di Kota Palembang Studi Kasus Masjid-Masjid Tua di Kota Palembang, Sumatera Selatan Rangga Firmansyah S,Sn M,Sc Sejarah dan Teori Arsitektur, Program Studi Desain Interior, Fakultas Industri Kreatif, Telkom University
Abstrak Saat ini perancangan dan pemikiran arsitektur Islami lahir dari sebuah duplikasi dan peniruan terhadap bentuk-bentuk, elemen dan ornamentasi dari bangunan yang dianggap sebagai produk dari masyarakat Muslim. Pendekatan ini seringkali terbatasi dengan penggunaan simbol-simbol atau bentuk fisik yang dianggap merepresentasikan Islam & biasanya berasal dari Timur Tengah. Hal ini bisa terlihat dari perkembangan pembangunan masjid dan rehabilitasi masjid tradisional yang cenderung melupakan aspek lokal serta nilai & prinsip dasar Islam. Masjid tradisional Kota Palembang merupakan salah satu identitas lokal masyarakat Kota Palembang serta sebagai tempat yang dikhususkan dan mempunyai hukum khusus sebagai bangunan ibadah umat Islam (madaniyah khas). Tujuan penelitian ini adalah untuk dapat melihat karakteristik masjid tradisional di Kota Palembang dilihat dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk, serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan karakteristik masjid tradisional di Kota Palembang dilihat dari pengaruh nilai & prinsip dasar Islam serta pengaruh nilai budaya. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kasus (case study), dengan mengambil teori Ching (2000) sebagai grand theory dalam aspek-aspek pembentuk karakteristik arsitektur. Hasil penelitian menunjukkan adanya ciri-ciri khas masjid tradisional di Kota Palembang yang dipengaruhi nilai & prinsip dasar Islam serta nilai budaya berbasis lokal. Hal ini terbentuk dari perpaduan pengaruh Khilafah Turki Utsmani dan Kerajaan Demak yang diadopsi oleh Kesultanan Palembang Darussalam dalam membangun masjid di kota Palembang saat itu. Kata-kunci : karakteristik, madaniyah khas, masjid tradisional, nilai& prinsip dasar islam, budaya lokal, kota Palembang.
1. Pendahuluan Banyak telaah dan penelitian menunjukkan bahwa pembentukan arsitektur masjid lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor globalisasi penyebaran Islam, geografi dan iklim setempat, dan budaya lokal. Hal ini bisa difahami, karena memang faktor-faktor itu tampak lebih langsung dan kasat mata serta bersifat umum berlaku pula bagi pembentukan fungsi-fungsi arsitektur yang lain. Sayangnya saat ini perancangan dan pemikiran arsitektur islami lahir dari sebuah duplikasi dan peniruan terhadap bentuk-bentuk, elemen dan ornamentasi dari bangunan yang dianggap sebagai produk dari masyarakat Muslim. Pendekatan ini seringkali terbatasi dengan penggunaan simbol-simbol atau bentuk fisik
yang dianggap merepresentasikan Islam dan biasanya berasal dari Timur Tengah. Studi tentang sejarah arsitektur terutama Arsitektur Islami memerlukan banyak sekali masukan dan tambahan teori terutama menyangkut metode dan sistem kajiannya, karena wujud Arsitektur Islami merupakan buah dari sebuah spiritual Islam. Hal ini setidaknya dapat memproteksi keberadaan pembangunan dan rehabilitasi masjid tradisional khususnya di Kota Palembang, dan secara umum masjid-masjid di wilayah lainnya yang cenderung melupakan aspek lokal & nilai islam dalam mewujudkan masjid sebagai bangunan ibadah umat Islam (madaniyah khas), Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2014 | A_87
Karakterisitik Masjid Tradisional di Kota Palembang (Studi Kasus Masjid-Masjid Tua di Kota Palembang, Sumatera Selatan
bahkan tidak menutup kemungkinan hilangya wujud masjid-masjid tradisional dan berganti dengan bangunan masjid langgam arsitektural baru. Dalam penelitian ini peneliti mencari karakteristik yang melekat pada masjid-masjid tradisional Kota Palembang dilihat dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi pembentukan karakteristik masjid tradisional Kota Palembang dilihat dari pengaruh nilai & prinsip dasar Islam serta pengaruh nilai budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik masjid tradisional Kota Palembang dilihat dari aspek fungsi, ruang, teknik dan bentuk serta faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan karakteristik masjid tradisional di Kota Palembang dilihat dari pengaruh nilai & prinsip dasar Islam serta pengaruh nilai budaya. 2. Metode Metode Pengumpulan Data Unit amatan merupakan alat untuk menjawab pertanyaan penelitian untuk mencari karakteristik masjid sebagai berikut: 1)Aspek Fungsi, meliputi komponen yang berisi segala kebutuhan manusia khususnya kegiatan yang harus diwadahi. 2)Aspek Ruang, meliputi organisasi ruang, sirkulasi, hubungan antar ruang & orientasi ruang. 3)Aspek Teknik, meliputi konstruksi dan material yang digunakan. 4)Aspek Bentuk, meliputi; proporsi bangunan, dimensi bangunan, dan simbol-simbol yang ditemukan di lapangan. Beberapa syarat/kriteria pemilihan kasus-kasus dalam penelitian ini, antara lain: 1. 2.
3. 4.
Usia masjid termasuk kategori Benda Cagar Budaya (>50 tahun) Bentuk masjid masih mencerminkan bangunan tradisional, meski telah mengalami beberapa kali rehabilitasi/renovasi. Masjid berlokasi di wilayah Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan. Keberadaan masjid masih berhubungan dengan Kesultanan Palembang Darussalam.
3. Metode Analisis Data Analisis karakteristik masjid Adapun analisa karakteristik masjid Tradisional Kota Palembang antara lain; 1) Aspek Fungsi; meliputi temuan aktivitas yang dilakukan di masjid, A_88 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
2) Aspek Ruang, meliputi organisasi ruang, sirkulasi, hubungan antar ruang, dan orientasi ruang, 3) Aspek Teknik; meliputi tek-nik dan material, dan 4) Aspek Bentuk; meliputi dimensi, proporsi dan simbol (detail). (Lihat Tabel 3.1) Analisis pengaruh pengaruh nilai & prinsip dasar Islam serta pengaruh nilai budaya. Analisa dilakukan untuk menjawab pertanyaan ke-2 penelitian terkait faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya karakteristik dilihat dari pengaruh nilai & prinsip dasar Islam serta pengaruh nilai budaya. 4. Analisis dan Interpretasi 4.1 Fungsi Masjid tradisional Kota Palembang memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu fungsi ibadah, Ri‟ayah, dan sebagai tempat peringatan hari-hari besar Islam, sementara fungsi masjid sebagai tempat aktivitas politik & pemerintahan tidak ditemukan pada semua kasus. Fungsi-fungsi tersebut meliputi; 1)Kegiatan Ibadah; shalat, membaca Al-Quran, dzikir, i‟tikaf, pe-ngajian. 2)Kegiatan Ri‟ayah (pengurusan kepen-tingan umum); antara lain sebagai tempat bersedekah, & pelaksanaan shalat jenazah. 3)Peringatan hari besar Islam: pengajian dalam rangka peringatan hari-hari besar Islam 1 Muharram, 12 Rabiul Awal, 27 Rajab, 15 Sya‟ban, 17 Ramadhan (Nuzul al-Quran), 1 Syawwal (idul fitri), 10 Zulhijah (idul adha), & pementasan seni Islami. 4.2 Ruang Organisasi ruang Masjid tradisional Kota Palembang memiliki organisasi ruang meliputi; 1)Ruang Shalat, 2)Mihrab, 3)Menara), 4)Kolam (tempat Wudhu), 5)Mimbar, 6)Shaf shalat putra & putri, 7)Sutrah. Pertama, Ruang Shalat (Ruang Utama) digunakan untuk menampung aktivitas jamaah masjid, baik ibadah wajib, sunnah dan yang boleh dilakukan (mubah) di dalam masjid. Kedua, Mihrab (ruang untuk imam) yang berfungsi untuk tempat imam seperti istirahat, persiapan shalat, menyimpan peralatan shalat, serta sebagai penghubung ke ruang shalat (ruang utama). Ketiga, Menara (minaret) yang berfungsi sebagai tempat muadzin mengumandangkan adzan. Keempat Kolam (tempat wudhu) digunakan
Rangga Firmansyah
sebagai tempat mengambil wudhu. Kelima, Mimbar sebagai tempat Imam/ Kiyai/Ulama dalam menyampaikan ceramah/ pengajian/khutbah. Keenam, Shaf putra & putri, sebagai tempat shalat jamaah putra dan putri yang dibatasi dengan hijab (kain penutup) dan shaf shalat putri yang berada di bagian belakang shaf putra sisi utara. Ketujuh, Sutrah yang digunakan sebagai pembatas area shalat untuk imam yang berada di samping kiri mihrab. Sirkulasi ruang Ditemukan 2 (dua) tipe sirkulasi pada “Ruang Mihrab” masjid tradisonal Kota Palembang. Sirkulasi Tipe I, akses masuk pada ruang Mihrab dari sisi Utara dan Tipe II akses masuk pada ruang Mihrab dari sisi Selatan.
Gambar 1. Sirkulasi Ruang Mihrab pada Masjid Tradisional Kota Palembang Sumber: Analisis 2012
Sirkulasi pada ruang mihrab difungsikan sebagai akses keluar & masuk untuk ulama/kiyai/imam menuju ruang utama/shalat. Sementara perbedaan arah akses sirkulasi pada ruang „mihrab‟ dipengaruhi tempat dimana ulama/ kiyai/imam bermukim serta dari mana arah kedatangan ulama/kiyai/imam menuju masjid. S Ditemukan dua tipe sirkulasi pada ruang utama/ shalat. Yang membedakan diantar kedua tipe I dan II adalah ditemukannya akses sirkulasi dari arah barat pada ruang utama/shalat. Bentuk sirkulasi tipe II ini ditemukan pada kasus masjid yang lokasi bangunannya menghadap ke tepian sungai bersamaan dengan arah kiblat.
Gambar 2. Akses melalui sisi Barat pada ruang utama/shalat Sumber: Observasi, 2012
Sirkulasi pada ruang shalat dari arah barat, dipengaruhi arah kedatangan jamaah dari sebelah barat, dan dengan banyaknya akses dari dan menuju ruang shalat mempermudah jamaah dalam jumlah yang banyak untuk masuk dari arah yang berbeda munuju ke dalam ruang shalat. Hubungan antar ruang Masjid tradisional Kota Palembang memiliki dua tipe hubungan antar ruang antara „mihrab‟ dengan ruang shalat/utama. Hal ini terjadi karena sebagian besar ulama/kiai/imam yang mendirikan masjid memilih untuk tinggal & bermukim di masjid. Ulama/kiyai/imam yang menempati/bermukim di masjid menggunakan ruang mihrab sebagai area privasinya.
Gambar 3. Hubungan Antar ruang pada Masjid Tradisional Kota Palembang. Sumber: Analisis 2012
Hijab antara shaf putra & shaf putri Masjid tradisional Kota Palembang memiliki hijab sebagai pemisah antara shaf putra dan shaf putri, dengan posisi shaf putri berada di belakang shaf putra sebelah utara. Hijab berupa kain berwarna hijau setinggi +2m yang diikatkan pada tiang sako. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | A_89
Karakterisitik Masjid Tradisional di Kota Palembang (Studi Kasus Masjid-Masjid Tua di Kota Palembang, Sumatera Selatan
bersama tiang-tiang Sako Penunjang dihubungkan balok Alang Panjang (atap paling bawah), kemudian disambung Dudur bersama Tiang Sako Utama yang dihubungkan balok alang pendek sebagai konstruksi atap tingkat II.
Gambar 4. Hijab antara Shaf Putra dan Putri pada Masjid Tradisional Kota Palembang. Sumber: Analisis 2012
Orientasi terhadap Arah Kiblat Orientasi ruang mengarah ke Kiblat, begitu pula dengan lokasi bangunan yang dominan mendekati tepian sungai dengan jarak bangunan dengan tepian sungai berkisar antara 13-50 meter. Selain itu, orientasi bangunan utama pada semua kasus juga mengarah ke arah Kiblat. Lokasi masjid yang berdekatan dengan tepian sungai karena pada saat itu jalur perdagangan dan jalur transportasi masyarakat kota Palembang adalah melalui jalur sungai. Hal ini untuk memudahkan bagi para pedagang dan tamu-tamu dari luar kota yang ingin sholat saat memasuki kota Palembang.
Gambar 6. Konstruksi Atap pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Observasi, 2012)
Jenis plafond exposed yang memperlihatkan kerangka kasau yang diprofil, dengan posisi ka-sau tidur. Sebagai penutupnya digunakan susu-nan papan untuk gulmat dari arah depan dan belakang.
Gambar 5. Orientasi Bangunan terhadap Kiblat pada Masjid Tradisional Kota Palembang. (Sumber: Analisis 2012)
4.3 Teknik (Konstruksi & Material) Konstruksi Bagian Kepala Masjid tradisional Kota Palembang memiliki atap yang bertingkat 3 (tiga) dengan kemiringan atap puncak +60°, atap tengah +30°, dan atap bawah +30°. Konstruksi atap terdiri dari beberapa elemen, yaitu: Ring Balok (balok dinding), yaitu balok diatas dinding sebagai pendukung balok-balok gording. Penguat struktur atap tidak menggunakan kudakuda sebagai, tetapi menggunakan Ring Balok A_88 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 A_90
Gambar 7. Konstruksi „Kajang Angkap‟ (Plafon Datar) & „Gulmat‟ (Plafon Miring) pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Observasi, 2012)
Gulmat diperkuat oleh alang pendek & alang panjang, yang menarik adalah alang panjang mampu menumpu alang pendek. Sementara plafon datar yang ditumpu alang pendek ditutup dengan susunan papan dari kiri ke kanan , jenis
Rangga Firmansyah
plafond datar ini “kajang angkap”.
dikenal
dengan
sebutan
Konstruksi Bagian Badan & Kaki Bangunan. Dinding dengan teknik bata susun tanpa beton dengan lapis plester semen (campuran batu kapur & putih telur), untuk tiang sako utama dan tiang sako penunjang ditopang „umpak‟ dan sistem sambungan kayu menggunakan lubang, purus, takikan, serta pasak.
Gambar 8. Konstruksi Tiang Sako pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Observasi, 2012)
Gambar 9. Konstruksi Bagian Kaki pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Observasi, 2012)
Material Penggunaan material pada masjid tradisional Kota Palembang, ditemukan bahwa semua kasus masjid tradisional Kota Palembang menggunakan material lokal seperti kayu, logam, dinding bata-plester, dan genteng bata. Sebagian besar material kayu yang digunakan adalah kayu unglen yang berasal dari Kalimantan, tiang sako utama dan sako penunjang, plafond
(kajang angkap & gulmat) serta konstrusksi atap yang menggunakan bahan kayu, didatangkan dari Kalimantan. Hal ini selain kayu unglen yang berasal dari Kalimantan terkenal akan kualitasnya, juga dipengaruhi adanya hubungan dagang yang lama terjalin di masa Kesultanan Palembang Darussalam dengan kesultanan di wilayah Kalimantan. 4.4 Aspek Bentuk Dimensi Masjid tradisional Kota Palembang dapat menampung jamaah shalat sejumlah +400 orang dengan dimensi bangunan kurang lebih 20m x 20m, hal ini dipengaruhi oleh masjid yang pertama kali dibangun yakni Masjid Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai acuan untuk pembangunan masjid selanjutnya.
Gambar 10. Dimensi Bangunan & Jumlah Shaf pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Pengembangan Analisis, 2012)
Gambar 11. Ketinggian Bangunan & Menara pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Pengembangan Analisis, 2012).
Ketinggian bangunan sekitar +12m dan ketinggian menara sekitar +13m . Hal ini dimaksudkan agar bangunan masjid nampak dari kejauhan, sementara keberadaan menara masjid menjadi simbol agar mudah untuk dikenali dan muadzin dapat mengumandangkan adzan dari tempat yang tinggi sehingga bisa terdengar dari kejauhan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | A_89 A_91
Karakterisitik Masjid Tradisional di Kota Palembang (Studi Kasus Masjid-Masjid Tua di Kota Palembang, Sumatera Selatan
Bukaan cahaya alami Tipe bukaan jendela dengan kombinasi persegi dan setengah lingkaran, serta dilengkapi jeruji/ teralis kayu. Hal ini menunjukkan adanya kebebasan dalam pengolahan bentuk bukaan cahaya alami dengan menyesuaikan penguasaan teknologi masyarakat pada saat itu.
antara Kesultanan Palembang Darussalam dengan simbol Khilafah Utsmani/Turki Utsmani. Tandok Kambeng
Gambar 12. Bukaan Jendela pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Pengembangan Analisis, 2012)
Simbol Masjid tradisional Kota Palembang memiliki simbol meliputi 1) Mustaka, 2) Tandok Kambeeng, 3) Bedug, 4) Mahkota mimbar, 5) Bendera mimbar, 6) Tanda penanggalan bangunan, 7) Tanggo Rajo. Mustaka
Gambar 13. Simbol-simbol Mustaka pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Pengembangan Analisis, 2012)
Mustaka; adalah mahkota yang berada bagian paling atas atap, biasanya menggunakan bahan logam tembaga atau kuningan dan dilengkapi hiasan kelopak bunga. Dari hasil analisis ditemukan 8 (delapan) jenis/varian simbol-simbol pada mustaka bangunan. Penggunaan simbol tersbut menunjukkan adanya hubungan
A_88 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 A_92
Gambar 14. Hasil Temuan Simbol “Tandok Kambeeng” pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Pengembangan Analisis, 2012)
Simbol „tandok kambeng‟ yang terletak pada sisi pertemuan atap. Ukuran "tandok kambeng‟ pada bagian tumpang paling bawah lebih besar dan akan mengecil sampai ke bagian atap paling atas/"pucuk‟. keberadaan “tandok kambeeng” menunjukkan strata pemilik dan strata fungsi bangunan tersebut, dan simbol “tandok kambeeng” ini merupakan bentuk dari simbol lokal. Selain diterapkan pada atap bangunan utama, “tandok kambeeng” juga ditemukan pada atap/bubungan "tanggo rajo". Bendera Mimbar Bendera mimbar bertuliskan "lafadz syahadat‟, menggunakan bahan kain warna hijau dan tulisan menggunakan cat emas yang diikatkan pada tongkat kayu. Simbol-simbol ataupun lambang-lambang yang diterapkan pada ukiran maupun kaligrafi pada masjid merupakan bentuk seni Islami, hanya saja sangat sulit untuk mengaitkan hubungan simbol-simbol tersebut dengan simbol-simbol yang digunakan oleh Kesultanan Palembang Darussalam, karena peninggalan kesulatanan berupa Kraton beserta benteng dan pemukimannya telah dibakar habis oleh Belanda.
Rangga Firmansyah
Kesimpulan
Gambar 15. Hasil Temuan Bendera Mimbar Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Pengembangan Analisis, 2012)
Tanggo Rajo Jembatan „tanggo rajo‟ memiliki bentuk yang berbeda dengan jembatan yang digunakan oleh masyarakat umum, „tanggo rajo‟ ini dinaungi „bubungan‟/atap berbentuk limas.„Tanggo rajo‟ sebagai penghubung bangunan utama menuju tepian sungai.
Gambar 16. Hasil Temuan „Tanggo Rajo‟ pada Masjid Tradisional Kota Palembang (Sumber: Analisis, 2012)
Keberadaan „tanggo rajo‟ ini menunjukkan adanya hubungan antara bangunan masjid dengan sultan dan ulama yang membangunnya. Perbedaan jembatan yang biasa digunakan oleh masyarakat daerah tepian sungai di Kota Palembang tidak memiliki bubungan/atap, sementara „tanggo rajo” memiliki bubungan/ atap berbentuk limas dan terdapat „tandok kambeeng‟ di setiap sisi pertemuan atapnya.
Kesimpulan dari penelitian ini merupakan sintesa hasil dari proses analisis dan pembahasan yang ditemukan pada masjid tradisional Kota Palembang. Karakteristik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah karakteristik yang berarti “ciriciri khas” yang tidak terdapat pada bangunan lainnya. Berdasar hasil pembahasan, maka diperoleh beberapa kesimpulan tentang karakteristik masjid tradisional Kota Palembang, yaitu: 1. Masjid tradisional Kota Palembang memiliki karakteristik bentuk „Mustaka‟ masjid. Bentuk „Mustaka‟ masjid tersebut berupa kombinasi bentuk mahkota, sulur, kelopak bunga serta bulan sabit dan bintang. Simbol „Mustaka‟ masjid ini merupakanwujud simbol lokal & islami, dimana kombinasi bentuk mahkota, sulur, kelopak bunga merupakan perlambang kesultanan Palembang Darussalam, sementara kombinasi bentuk bulan sabit dan bintang merupakan pengaruh kekuasaan Khilafah Turki Utsmani. 2. Pada Masjid tradisioal kota Palembang terjadi hirarki pada ruang „Mihrab‟, dimana pada ruang „Mihrab‟ terdapat akses luar bangunan tanpa melewati ruang utama, ruang „Mihrab‟ berfungsi untuk tempat imam seperti istirahat, persiapan shalat, menyimpan peralatan shalat, serta sebagai ruang penghubung ke ruang Shalat (ruang utama). Hal ini terjadi karena masyarakat Kota Palembang menempatkan terhadap imam/ulama/kiyai sebagai panutan serta dihormati, dan hal ini diwujudkan dengan memberikan desain khusus pada „mihrab‟ berupa akses keluar masuk & privasi bagi imam berupa hubungan tidak langsung antara ruang utama dengan „mihrab‟ pembatas pintu. 3. Masjid tradisional Kota Palembang memiliki karakteristik bentuk hiasan „tandok kambeeng‟ memenuhi sisi pertemuan atap pucuk, tengah dan atap bawah masjid, serta atap (bubungan) „tanggo rajo‟ . Hal ini sebagai wujud strata pemilik dan strata fungsi bangunan tersebut sebagai tempat ibadah yang khusus & dihormati. Ini diperkuat dengan hiasan „Tandok kambeeng‟ yang ada pada rumah limas jumlahnya bervariasi antara 3 (tiga) buah sampai 5 (lima buah), berbeda dengan yang diterapkan pada atap masjid Tradisional Kota Palembang yang memeProsiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | A_89 A_93
Karakterisitik Masjid Tradisional di Kota Palembang (Studi Kasus Masjid-Masjid Tua di Kota Palembang, Sumatera Selatan
4.
nuhi semua sisi pertemuan atap pucuk, tengah dan atap bawah masjid. Pada Masjid tradisioal kota Palembang terdapat „tanggo rajo‟ yang berfungsi sebagai jembatan penghubung menuju masjid dari tepian sungai sekaligus dermaga (tempat menambatkan perahu). „Tanggo rajo‟ memiliki bentuk yang berbeda dengan jembatan yang digunakan oleh masyarakat umum yakni dinaungi „bubungan‟/atap berbentuk limas dihiasi „tandok kambeng„.
Daftar Pustaka Ahmad al-Qashsas, 2009. Nasyu al-Hadharah alIslamiyah, Khilafah Publication, Peradaban Islam vs Peradaban Asing, Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, An-Nabhani, Taqiyuddin. 2007, “Peraturan Hidup Dalam Islam”; Penerjemah, HTI-Press. Jakarta. Ari Siswanto, Dkk. 1997. “Rumah Limas Palembang”, Mengungkap Aspek Konstruksi, Bahan Bangunan, Detail dan Filosofi dengan Pendekatan Arsitektur, Lembaga penelitian Universitas Sriwijaya, Palembang. Aryandini Novita, 2008, “Pola Permukiman Masa PraKesultanan Palembang Darussalam”, Badan Arkeolog Kota Palembang. Ching. Francis DK. 2000. Arsitektur: Bentuk Ruang & Susunannya, New York; Van Nostrand Reinhold. Djohan Hanafiah, 2005. “Menelusuri Jejak KeratonKeraton” Sejarah Sosial Politik dan Budaya Kesultanan Palembang Darussalam. Francis D.K. Ching, “Architecture, Form, Space, & Order”. John Wiley & Sons, Inc. 2007, Hoboken, New Jersey. H. Rusdhy Cosim, “Sejarah Kerajaan Palembang & Perkembangan Hukum Islam”, Makalah Seminar Masuk & Berkembangnya Islam di Sumatera Selatan, 4-8 Rabiul Awwal 1405 H (27-29 November 1984), Majelis Ulama Daerah TK.I Sumatera Selatan. Hodkinson, Phil & Heather Hodkinson. 2001. “The Strengths & Limitations of Case Study Research”, http://education.exeter.ac.uk/tlc/docs/publications /LE_PH_PUB_05.12.01.rtf
Kiagus Firmansyah, 2003. “Pemaknaan Rumah Limas Palembang”, Tesis Pascasarjana UGM, Yogyakarta. Muhammad Muhsin Rodhi,2012, Tsaqafah & Metode
Hizbut Tahrir dalam mendirikan negara Khilafah
(Hizb at-tahrir, Tsaqofatuhu wa Manhajuhu Daulah al-Khilafah al-Islamiyah), Al Azhar Fresh Zone Publishing, Bogor. Nangkula Utaberta, 2008. Arsitektur Islam, Pemikiran Diskusi & Pencarian Bentuk, Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
A_88 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 A_94
Philip K. Hitti, 2010. History of Arab; From the Earliest Time to the Present, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. Taqiyuddin an-Nabhani, 2007. “an-Nizhâm al-Ijtimâ„î (Sistem Pergaulan Dalam Islam)”, Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta.