KARAKTER FISIOLOGI Merremia peltata (L.) Merrill ASAL TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN LAMPUNG
YUKE MARDIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Karakter Fisiologi Merremia peltata (L.) Merrill Asal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Yuke Mardiati NIM G353100011
RINGKASAN YUKE MARDIATI. Karakter Fisiologi Merremia peltata (L.) Merrill Asal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Dibimbing oleh TRIADIATI dan SOEKISMAN TJITROSOEDIRDJO. Merremia peltata menginvasi Wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Propinsi Lampung lebih dari 7000 ha. Invasi ini menurunkan dan mengganggu satwa yang dilindungi seperti harimau, gajah, dan badak sumatera. Adanya invasi M. peltata juga mampu mengubah struktur dan komposisi spesies dalam ekosistem alami. Spesies lain menjadi tidak mampu bersaing dengan M. peltata, keanekaragaman hayati di daerah tersebut menurun, dan akhirnya terancam kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai karakter fisiologi M. peltata (L.) Merrill asal TNBBS, Lampung yang menunjang keberhasilannya untuk menginvasi suatu ekosistem. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama (petak utama) adalah naungan paranet terdiri dari 3 taraf yaitu naungan paranet 0 %, 55 %, dan 90 %. Faktor kedua (anak petak) adalah jenis tanaman terdiri dari 3 taraf yaitu Merremia peltata, Mikania micrantha, dan Ipomoea batatas. Percobaan diulang sebanyak tiga kali. Perbanyakan M. peltata berhasil dilakukan dengan biji. Setelah bibit M. peltata memiliki tinggi 29.5 cm kemudian bibit diadaptasikan selama 3 minggu dalam media tanam. Selanjutnya diberi perlakuan naungan paranet. Parameter yang diamati meliputi laju fiksasi karbon atau carbon fixation rate (CFR), laju pertumbuhan relatif atau relative growth rate (RGR), nisbah bobot daun atau leaf weight ratio (LWR), luas daun spesifik atau specific leaf area (SLA), nisbah luas daun atau leaf area ratio (LAR), laju asimilasi bersih atau net assimilation rate (NAR), nitrogen daun (N daun), dan efisiensi penggunaan nitrogen fotosintesis atau Photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE). Pengukuran dan pengambilan data dilakukan pada 0 dan 90 hari setelah perlakuan. Carbon fixation rate (CFR), RGR, LWR, NAR, N daun, dan PNUE M. peltata meningkat seiring dengan menurunnya naungan atau intensitas cahaya tinggi. Relative growth rate M. peltata pada naungan 0 % dan 55 % (intensitas cahaya tinggi dan sedang) terjadi karena ada kontribusi nilai NAR dan LAR yang tinggi. Nilai NAR dan LAR M. peltata berada diantara M. micrantha dan I. batatas. Hasil ini menunjukkan bahwa RGR M. peltata dipengaruhi dan dikontribusi oleh indeks fisiologis dan morfologis yang tinggi. PNUE M. peltata tidak berbeda dengan M. micrantha di naungan 0 % yang menunjukkan bahwa hara dan fotosintat dialokasikan lebih banyak untuk sintesis daun. Kondisi ini memberi peluang M. peltata untuk menjadi invasif. Leaf area ratio yang tinggi pada perlakuan naungan sedang disebabkan karena adanya alokasi hara dan fotosintat ke daun sehingga sintesis daun menjadi tinggi. Relative growth rate (RGR), NAR, dan PNUE M. peltata tertinggi di antara spesies yang diuji pada naungan 90 % (intensitas cahaya rendah). Hasil ini menunjukkan bahwa indeks fisiologis M. peltata yang tinggi, alokasi hara dan fotosintat yang cukup untuk daun, dan sintesis daun-daun yang lebar dan tipis untuk mendapatkan cahaya yang lebih besar, semuanya mempengaruhi RGR. Kata kunci : Merremia peltata, tumbuhan invasif, laju pertumbuhan, PNUE, laju fiksasi karbon
SUMMARY YUKE MARDIATI. Physiological Character of Merremia peltata (L.) Merrill from Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung. Supervised by TRIADIATI and SOEKISMAN TJITROSOEDIRDJO. Merremia peltata invaded the vegetation of Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) in Lampung Province more than 7000 ha. The lower and disturbing invasion of protected animals such as tigers, elephants, and Sumatran rhinos. M. peltata invasion is able to change the structure and composition of species in natural ecosystems. Other species become unable to compete with M. peltata, diversity in the area declined, and finally threatened with extinction. M. peltata is a native plant found in Java, Borneo, Papua New Guinea, the Aru Islands, and Sulawesi. The objective of the research was to asses the physiological characters of M. peltata from BBSNP as an invasive plant species under different shading level. The experimental was designed in split plot design with two factors. The first factor (main plot) was shading (shade net i.e. 0, 55, and 90 %) . The second factor (sub plot) was 3 species of plant (Merremia peltata, Mikania micrantha, and Ipomoea batatas). Each experimental unit was replicated three times. Propagations of M. peltata by seeds has been successfully carried out. Seedling of M. peltata was used in 29.5 cm height, then it was adapted during three weeks in the planting medium. The following variables were recorded: carbon fixation rate (CFR), relative growth rate (RGR), leaf weight ratio (LWR), specific leaf area (SLA), leaf area ratio (LAR), net assimilation rate (NAR), leaf nitrogen, and photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE). Carbon fixation rate (CFR), RGR, LWR, NAR, leaf nitrogen, and PNUE of M. peltata increases with decreasing shade or high light intensity. Relative growth rate of M. peltata in the 0 % and 55 % of shade (high and medium light intensity) because there was the contribution high value of NAR and LAR. NAR and LAR M. peltata is between M. micrantha and I. batatas. These results indicated that RGR M. peltata influenced and contributed by high the physiological and morphological index. PNUE of M. peltata is not different from M. micrantha in 0 % shade, indicating that more resources were allocated to the synthesis of the leaves. This condition provides an opportunity for M. peltata to become invasive. The high LAR on the shading was due to the allocation of biomass to leaves and high leaf synthesis. Relative growth rate (RGR), NAR, and PNUE of M. peltata highest among the species tested, under the 90 % of shade (low light intensity). These results indicated that the physiological index of M. peltata was high, the allocation of sufficient resources for the leaves, and the synthesis broad and thin leaves to get a higger light, all of them affected RGR. Keywords : Merremia peltata, invasive plant, growth rate, PNUE, carbon fixation rate
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KARAKTER FISIOLOGI Merremia peltata (L.) Merrill ASAL TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN LAMPUNG
YUKE MARDIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji di luar komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Sulistijorini, MSi
Judul Tesis Nama Mahasiswa NIM Program Studi
: Karakter Fisiologi Merremia peltata (L.) Merrill Asal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung : Yuke Mardiati : G353100011 : Biologi Tumbuhan Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Dra Triadiati, MSi Ketua
Dr Ir Soekisman Tjitrosoedirdjo, MSc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Miftahudin, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian:
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas kemudahan dan petunjuk-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tesis yang berjudul “Karakter Fisiologi Merremia peltata (L.) Merrill Asal Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Lampung” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Tumbuhan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan penelitian dan penyelesaian tesis ini, diantaranya adalah : 1. Dr.Dra.Triadiati,M.Si. dan Dr.Ir.Soekisman Tjitrosoedirdjo,M.Sc. selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan yang diberikan. 2. Dr.Sri Sudarmiyati Tjitrosoedirdjo yang telah memperkenalkan dan memberi kesempatan pada penulis untuk melaksanakan penelitian dan berbagai pelatihan mengenai Invasive Alien Species (IAS). 3. Ketua Program Studi Biologi Tumbuhan (Dr.Ir.Miftahudin, M.Si), dosen, karyawan, dan pengelola laboratorium atas ilmu, bantuan, dan fasilitas yang diberikan selama penelitian dilakukan sampai penyelesaian tesis ini. 4. Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk memperoleh dana BPPS dalam rangka menyelesaikan studi dan penelitian pada Program Studi Biologi Tumbuhan. 5. Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) yang telah membiayai penelitian ini. 6. Yayasan Toyota & Astra Indonesia atas bantuan dana yang diberikan untuk penyelesaian penelitian. 7. Wildlife Conservation Society (WCS) yang telah memberikan bantuan fasilitas sehingga penelitian ini dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan. 8. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas kemudahan izin belajar dan bantuan dana studi bagi penulis. 9. Suamiku (Rinaldy Abi Falsal) dan anak-anakku (Falah dan Salma), serta seluruh keluarga atas nasehat, doa, semangat, dan tenaga yang telah diberikan. 10. Rekan-rekan Biologi Tumbuhan (BOT) atas kerjasama, keceriaan dan semangatnya. Semoga Allah SWT senantiasa membalas kebaikan semuanya dan berharap semoga karya ilmiah (tesis) ini dapat bermanfaat. Aamin. Bogor, Agustus 2014 Yuke Mardiati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Merremia peltata Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Tumbuhan Invasif Cahaya bagi Tumbuhan Invasif Fotosintesis Carbon Fixation Rate Pertumbuhan Invasif Relative Growth Rate Leaf Weight Ratio Spesific Leaf Area Leaf Area Ratio Net Assimilation Rate Nitrogen Daun dan Efisiensi Penggunaan Nitrogen Fotosintesis Mikania micrantha Ipomoea batatas
3 4 5 6 7 7 7 8 8 8 9 10 10 11 11
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Rancangan Percobaan Perbanyakan Tanaman Perlakuan percobaan Pengukuran Aktivitas Carbon Fixation Rate Analisis Pertumbuhan Tanaman Relative Growth Rate Leaf Weight Rate Spesific Leaf Area Leaf Area Ratio Net Assimilation Rate Nitrogen Daun dan Efisiensi Penggunaan Nitrogen Fotosintesis Analisis Data
12 12 13 13 14 14 15 15 16 16 16 17 17 17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan
18 18 1919
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
2424 2424
DAFTAR PUSTAKA
2525
LAMPIRAN
2928
RIWAYAT HIDUP
3635
1
DAFTAR TABEL 1.
Carbon fixation rate (CFR), Analisis pertumbuhan tanaman, N daun dan PNUE M. peltata, M. micrantha, dan I. batatas pada berbagai perlakuan naungan
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4.
Daun Merremia peltata Biji Merremia peltata Merremia peltata yang tumbuh dari salah satu buku pada batang Model rancangan petak terpisah (split plot design) dua faktor (naungan dan jenis tumbuhan)
19 19
1
1 24 243 3 33 254 4 13 13 28 36
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5.
Analisis tanah dari media tanam awal (tanah dan kompos kotoran sapi) Kondisi dan letak naungan paranet 0 %, 55 %, serta 90 % Analisis sidik ragam (ANOVA) Bobot kering daun dan jumlah umbi pada berbagai perlakuan naungan dan jenis tanaman Persentasi hidup M. peltata yang diperbanyak dengan stek pada berbagai cara dan variasi tanam
24 24 25 30 30 3131 28 32 32 36 33 33 3434 24 24 25 28 36
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Merremia peltata (L.) Merrill (Convolvulaceae) dikenal dengan sebutan mantangan. M. peltata merupakan tumbuhan asli yang terdapat di Pulau Jawa, Kalimantan, Papua Nugini, Kepulauan Aru, dan Sulawesi (Staples 2010). M. peltata menginvasi Wilayah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) di Propinsi Lampung lebih dari 7000 ha. Invasi ini menurunkan dan mengganggu satwa yang dilindungi seperti harimau, gajah, dan badak sumatera. Satwa-satwa tersebut akan bermigrasi ke kawasan lebih Utara (yang merupakan kawasan perkampungan). Jika migrasi ini terjadi, dikhawatirkan akan menyebabkan konflik dan permasalahan dengan masyarakat setempat (Irianto & Tjitrosoedirdjo 2010). Invasi M. peltata juga mampu mengubah struktur dan komposisi spesies dalam ekosistem alami. Spesies tumbuhan lain menjadi tidak mampu bersaing dengan M. peltata, diversitas di daerah tersebut menurun, dan akhirnya terancam kepunahan (Tjitrosoedirdjo 2010). M. peltata adalah spesies tumbuhan invasif di TNBBS yang menurunkan keanekaragaman hayati terutama pada tingkat semai berdasarkan kajian ekologi (Master 2013). Spesies tumbuhan invasif adalah spesies yang memperoleh keuntungan kompetitif, setelah hilangnya kendala alamiah terhadap perbanyakannya, yang memungkinkan spesies itu menyebar cepat untuk mendominasi daerah baru dalam ekosistem dimana spesies itu dominan (Vale’ry et al. 2008). Tumbuhan invasif dapat berupa spesies lokal maupun spesies asing. Spesies asing invasif (invasive alien species) umumnya memiliki karakter tambahan yaitu mampu mengubah habitat (cenderung mengubah struktur, komposisi, dan kualitas habitat tumbuhan asli) dan tidak memiliki musuh alami (Gordon 1998). Kajian morfologi dan fisiologi M. peltata merupakan suatu pendekatan yang efektif untuk mengetahui mekanisme M. peltata dalam menginvasi lahan khususnya di TNBBS. Pemahaman mengenai mekanisme invasif suatu spesies akan memberikan penjelasan mengenai kekuatan invasif dan partisi niche spesies tersebut. Karakter M. peltata khususnya karakter fisiologinya penting dipelajari karena dapat menjelaskan karakter M. peltata di suatu ekosistem. Karakter fisiologi M. peltata dapat diketahui pada penelitian ini dengan cara membandingkannya dengan spesies tumbuhan lain. M. peltata dibandingkan dengan Mikania micrantha karena M. micrantha diketahui termasuk tumbuhan invasif (Deng et al. 2004). M. peltata dibandingkan dengan Ipomoea batatas karena I. batatas termasuk tanaman budidaya (Tjitrosoedirdjo 2010). Tumbuhan menjadi invasif karena didorong oleh adanya kerusakan habitat. Kerusakan yang terjadi di habitat hutan (misalnya penebangan hutan) akan menyebabkan cahaya yang sampai pada tumbuhan bawah semakin tinggi sehingga meningkatkan tumbuhan invasif untuk mendominasi ekosistem (Deng et al. 2004). Dominasi tumbuhan invasif umumnya ditunjukkan dengan pertumbuhan cepat, sebaran luas, dan penggunaan hara dan fotosintat yang efisien (Matzek 2011). Berkaitan dengan kebutuhan cahaya matahari untuk pertumbuhan
2 tumbuhan invasif, maka perlu diteliti pengaruh naungan sebagai salah satu pijakan awal pengendalian M. peltata. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menilai karakter fisiologi M. peltata (L.) Merill asal TNBBS, Lampung yang menunjang keberhasilannya untuk menginvasi suatu ekosistem. Manfaat Penelitian 1.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain : Memberikan informasi mengenai status keinvasifan M. peltata (berdasarkan karakter fisiologi). Apakah keinvasifan M. peltata di TNBBS secara ekologi dan taksonomi ditunjang juga oleh karakter fisiologinya terutama yang berkaitan dengan laju fiksasi karbon, pertumbuhan, kandungan nitrogen daun, dan PNUE. Memberikan informasi bagi pijakan pengelolaan dan penanggulangan tumbuhan invasif (M. peltata ) di masa datang.
Ruang Lingkup Penelitian 1. 2. 3. 4. 5.
Penelitian ini meliputi ruang lingkup sebagai berikut : Tumbuhan yang menjadi fokus kajian adalah M. peltata asal TNBBS. Tumbuhan yang dibandingkan adalah M. peltata dengan M. micrantha dan I. batatas. Perlakuan cahaya yang digunakan berupa naungan paranet 0 %, 55 %, dan 90 %. Karakter fisiologi yang diamati meliputi laju fiksasi karbon, pertumbuhan, kandungan nitrogen daun, dan photosynthetics nitrogen use efficiency. Parameter yang diamati meliputi laju fiksasi karbon atau carbon fixation rate (CFR), laju pertumbuhan relatif atau relative growth rate (RGR), nisbah bobot daun atau leaf weight ratio (LWR), luas daun spesifik atau specific leaf area (SLA), nisbah luas daun atau leaf area ratio (LAR), laju asimilasi bersih atau net assimilation rate (NAR), nitrogen daun (N daun), dan efisiensi penggunaan nitrogen fotosintesis atau Photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE).
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Merremia peltata Merremia peltata (L) Merrill, merupakan anggota suku Convolvulaceae. Merremia dikenal juga dengan sebutan mantangan. M. peltata merupakan tumbuhan dengan batang memanjang, licin, tidak berbulu, setengah berkayu, merambat sampai 20 m, membelit pada pucuknya, dengan perakaran yang mempunyai umbi (Stone 1970). Daun lebar berbentuk jantung sampai bulat (Gambar 1), tekstur daun halus, bunga bertangkai membentuk tipe karangan bunga cyme, mahkota bunga putih atau kuning, berbentuk lonceng besar, anther berjumbai dan berambut (Staples 2010). Mahkota bunga M. peltata ada yang berwarna kuning dan ada yang berwarna putih. Jumlah mahkota ada 5 helai. Kelopak bunga berwarna hijau dan berjumlah 5 helai. Biji M. peltata memiliki ciri berkeping dua, pembungkus biji keras dan berambut (Gambar 2).
Gambar 1 Daun Merremia peltata
Gambar 2 Biji Merremia peltata
M. peltata juga memiliki daun yang berwarna merah marun ketika daun masih muda. Batang dapat termodifikasi menjadi sulur. Sulur terbentuk ketika tumbuhan menyentuh atau merambat batang atau tiang. Batang akan mengeluarkan getah berwarna putih jika dilukai. Batang M. peltata ketika muda tampak berwarna marun lalu hijau lunak, tumbuh menjadi batang berwarna hijau dan lebih keras (padat berisi), lalu terus tumbuh berwarna coklat dan semakin keras berkayu (Gambar 3). M. peltata membentuk akar ketika buku batang menyentuh tanah. Akar tidak akan dijumpai ketika sulur atau batang hanya menyentuh/merambati batang tanaman lain atau tiang-tiang penyangga. Sehingga, akar M. peltata benar-benar berfungsi sebagai organ penyerap air dan hara dari tanah. M. peltata bereproduksi secara generatif dan vegetatif. Reproduksi secara generatif dengan biji. Biji M. peltata banyak ditemukan di daerah tepi sungai dan daerah yang banyak kandungan airnya maka diduga penyebaran biji melalui air. Perbanyakan secara vegetatif terjadi dengan tunas batang. Senesensi terjadi secara bertahap atau disebut senesensi daun berurutan. M. peltata tumbuh lebat pada hutan yang telah ditebang. Tumbuh lebat pada daerah terbuka dengan pH 6.1-7.8 (Irianto & Tjitrosoedirdjo 2010), pada
4 ketinggian 41 mdpl, suhu tanah 25.94ºC, rata-rata pada kanopi terbuka minimal 15% dan maksimum 95.25% (Master 2012). M. peltata juga memiliki kecenderungan tumbuh di tepi-tepi sungai atau di tempat yang banyak kandungan airnya.
Gambar 3. M. peltata yang tumbuh dari salah satu buku pada batang. M. peltata yang digunakan dalam penelitian ini memiliki klasifikasi sebagai berikut : Domain : Eukaryota Kingdom : Plantae Divisi : Tracheophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Convolvulales Family : Convolvulaceae Genus : Merremia Species : Merremia peltata Nama daerah : Mantangan, akar mencret (Staples 2010)
Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan taman nasional yang terletak di Kabupaten Tanggamus, Lampung Barat Provinsi Lampung dan Kabupaten Bengkulu Selatan, Provinsi Bengkulu. Temperatur udara berkisar dari 20ºC – 28ºC. Curah hujan di kawasan ini adalah 1000 – 4000 mm/tahun. Ketinggian tempat antara 0 – 1.964 mdpl. Letak geografis di 4º 31’ – 5º 57’ LS dan 103º 34’ – 104 º43’ BT (Gaveau et al. 2007). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan termasuk ke dalam 6 wilayah taman nasional yang dijadikan prioritas untuk dikaji dan dikelola sehubungan dengan ancaman invasi M. peltata yang semakin meluas penyebarannya (Tjitrosoedirdjo 2010). TNBBS sebagaimana taman nasional yang lainnya memiliki fungsi dan potensi sebagai kawasan konservasi yang menjamin kehidupan dan kelestarian
5 keanekaragaman hayati baik tumbuhan maupun hewan yang hidup disana. Karena itu, segala bentuk yang dapat mengancam kelestarian tersebut harus mendapat prioritas untuk dicegah. Dampak M. peltata di TNBBS menurunkan indeks keanekaragaman tumbuhan (IKT). Rendahnya jumlah semai di hutan terinvasi dikhawatirkan akan berdampak pada regenerasi hutan di masa yang akan datang. Pada akhirnya, cepat atau lambat fungsi TNBBS sebagai taman nasional yang berguna untuk menjaga kelestarian keanekaragaman tumbuhan akan semakin menurun. Invasi M. peltata dihitung dari persen tutupan M. peltata rata-rata 1% untuk hutan primer, 27% untuk hutan sekunder, dan 44% untuk hutan terinvasi. Pada hutan terinvasi beberapa lokasi dapat tertutup M. peltata secara penuh atau mencapai 100% (Master 2013).
Tumbuhan Invasif Invasi merupakan ekspansi geografis dari suatu jenis pada daerah yang sebelumnya tidak ada jenis tersebut. Invasi biologi terjadi ketika suatu spesies memperoleh keuntungan kompetitif, setelah hilangnya kendala alamiah terhadap perbanyakannya, yang kemudian memungkinkan spesies itu menyebar cepat untuk mendominasi daerah baru dalam ekosistem dimana spesies itu menjadi dominan (Vale’ry et al. 2008). Tumbuhan invasif memiliki empat mekanisme dalam mengubah ekosistem (Gordon 1998), yaitu: a. mengubah laju suplai sumberdaya alam. Ketika sumberdaya alam ketersediaannya terbatas (misal unsur hara) ataupun berlebih (misal cahaya), tumbuhan invasif mampu menyesuaikan diri dan membentuk komunitas yang stabil. b. mengubah hubungan antar tropik. Biasanya tumbuhan invasif tidak memiliki musuh alami pada habitat barunya dan akan tumbuh mendominasi vegetasi, lalu mengubah hubungan normal antar komponen ekosistem barunya. c. mengganggu tipe regim. Gangguan tumbuhan invasif terhadap usaha penghutanan kembali hutan yang telah mengalami gangguan (misal ditebang habis). d. mengubah stabilitas ekosistem. Tumbuhan invasif berdampak pada tumbuhan lokal dengan persilangan yang akan menghasilkan tumbuhan yang lebih agresif. Tumbuhan invasif memiliki faktor lain sehingga mudah menginvasi. Faktor itu diantaranya adalah kemampuan spesiesnya dan kemudahan habitat untuk diinvasi. Spesies yang mudah tersebar luas dan dapat hidup di suatu lokasi, maka spesies tersebut memiliki peluang besar untuk disebarluaskan oleh agen polinator. Karakter-karakter fisiologi seperti laju asimilasi maksimum (Amax) dan PNUE merupakan karakter yang dapat digunakan untuk membedakan antara spesies yang invasif atau tidak invasif. Amax dan PNUE yang tinggi berperan pada keberhasilan spesies invasif untuk menginvasi suatu ekosistem (Ubus & Osaceae 2002). Laju asimilasi yang dapat dilakukan tumbuhan secara maksimal atau jenuh akan
6 menentukan potensi atau kapasitas asimilasi. Jika Amax tinggi maka kapasitas asimilasinya juga tinggi. Berkaitan dengan kemudahan habitat untuk diinvasi, adanya kerusakan habitat berperan terhadap perubahan karakteristik habitat, sehingga kondusif bagi penyebaran spesies invasif (Tjitrosoedirjo 2010). Cahaya bagi Tumbuhan Invasif Tumbuhan invasif mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan terang atau terpapar cahaya. Indikator dari kemampuan tersebut dapat dilihat dari respon biologi atau karakter fisiologinya yang antara lain berupa pertumbuhan tinggi, aktivitas fotosintesis yang tinggi, serta efisiensi penggunaan hara (nitrogen) yang tinggi. Sementara itu tingkatan paparan cahaya dapat ditentukan oleh intensitas cahaya, kualitas cahaya, ataupun lamanya penyinaran (Lambers et al. 2008). Cahaya bagi tumbuhan memiliki peran penting terhadap berbagai aktivitas termasuk fotosintesis. Intensitas cahaya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi biomassa tanaman dan pertumbuhan (Feijuan & Cheng 2012). Tingkat cahaya yang berbeda merupakan faktor penting yang akan menentukan karakter morfologis dan fisiologis tumbuhan (Poorter 2010). Cahaya yang dimaksud berupa radiasi matahari atau energi elektromagnetik. Energi radiasi matahari yang diterima oleh permukaan bumi sebesar 45% dapat digunakan untuk fotosintesis dan dikenal sebagai photosynthetically active radiation atau PAR (Forbes & Watson 1994). Energi elektromagnetik matahari mampu ditangkap tumbuhan dengan panjang gelombang 400 nm - 700 nm. Oleh tumbuhan energi elektromagnetik akan diubah menjadi energi kimiawi dalam bentuk ATP dan NADPH (Taiz & Zeiger 2010). Cahaya berperan terhadap pertumbuhan terutama pada proses fotosintesis untuk membentuk karbohidrat (sebagai bahan penyusun struktur tubuh dan sumber energi metabolisme). Selain itu, cahaya memberikan energi bagi pengaktifan enzim-enzim yang terlibat fotosintesis (Portis 2003). Beberapa tumbuhan pada kondisi kuanta radiasi tinggi (naungan rendah) juga mengembangkan strategi untuk bertahan dengan menurunkan SLA dan meningkatkan produksi biomassa untuk mengurangi penyerapan. Jika intensitas cahaya yang diterima rendah, maka jumlah cahaya yang diterima oleh setiap luasan permukaan daun dalam jangka waktu tertentu rendah. Kondisi kekurangan cahaya berakibat terganggunya metabolisme, sehingga menyebabkan menurunnya laju fotosintesis dan sintesis karbohidrat. Pada kondisi kekurangan cahaya (kuanta radiasi rendah atau naungan tinggi atau intensitas cahaya rendah), tanaman berupaya untuk mempertahankan agar fotosintesis tetap berlangsung dengan cara memperluas permukaan daun tetapi pembentukan biomasa daun rendah. Biomassa daun rendah menunjukkan bahwa daun tipis dan sedikit klorofilnya. (Deng et al. 2004).
7 Fotosintesis Fotosintesis merupakan proses pemanfaatan energi matahari untuk mengubah molekul sederhana karbondioksida (CO2) dan air (H2O) menjadi senyawa karbohidrat (gula) dan oksigen (O2). Fotosintesis terdiri dari 2 reaksi besar yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Reaksi terang merupakan reaksi penangkapan cahaya oleh klorofil yang bertujuan untuk menghasilkan senyawa berenergi tinggi dalam bentuk ATP dan NADPH. Reaksi gelap (siklus Calvin) merupakan proses reduksi CO2 menjadi gula yang tidak memerlukan cahaya secara langsung tetapi memerlukan ATP dan NADPH yang diperoleh dari reaksi terang untuk menjalankan siklusnya. Reaksi gelap terdiri dari 3 fase yaitu: fase karboksilasi (pengikatan CO2 atau fiksasi karbon), fase reduksi (penangkapan elektron), dan fase regenerasi (Lambers et al. 2008; Taiz & Zeiger 2010). Sementara itu laju transpor elektron yang terjadi pada proses fotosintesis juga dapat menjadi penentu seberapa tinggi aktivitas fotosintesis itu berlangsung (Nagel & Griffin 2004). Carbon Fixation Rate Carbon fixation rate (CFR) adalah laju pengikatan karbon. Proses ini merupakan tahap pertama dari tiga tahap reaksi gelap fotosintesis. Carbon fixation rate dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah cahaya, suhu, dan kelembaban udara (Larcher 1995). Carbon fixation rate tinggi menunjukkan kemampuan tumbuhan menyediakan karbon untuk menyusun karbohidrat menjadi tinggi juga. Pada penelitian ini, CFR diukur dengan PAR 2000 µmol foton m-2s-1. Awal tumbuhnya tumbuhan invasif karena dipicu oleh kerusakan habitat sehingga menyebabkan cahaya berlimpah. Tumbuhan yang teraklimatisasi paparan cahaya tinggi umumnya memiliki kemampuan untuk CFR yang tinggi pula. Carbon fixation rate tinggi berarti kemampuan tumbuhan untuk menyediakan karbon untuk menyusun karbohidrat tinggi. Akhirnya, pertumbuhan pun tinggi (Lambers et al. 2008). Pertumbuhan Invasif Pertumbuhan spesies invasif, sebagaimana disebut di atas memiliki berbagai karakteristik. Kelompok tumbuhan invasif memiliki ciri-ciri pertumbuhan sebagai berikut : 1. Produksi biji sangat banyak. 2. Produksi biji terus-menerus selama lingkungan memungkinkan. 3. Berkecambah dan tumbuh pada kondisi lingkungan dengan sebaran luas. 4. Reproduksi vegetatif tinggi khususnya pada spesies invasif yang perennial (tumbuhan tahunan), dengan cara fragmentasi atau melalui potongan bagian vegetatif (Zhang et al. 2004). 5. Spesific leaf area (SLA) tinggi (Deng et al. 2004). 6. Relative growth rate (RGR) tinggi (James & Drenovsky 2007) 7. Tidak ada musuh alami (Gordon 1998). 8. Menyebar luas dan cepat (Rejmanek 1996).
8 Relative Growth Rate Relative growth rate (RGR) atau laju pertumbuhan relatif adalah penambahan bobot kering tumbuhan per unit biomassa per unit waktu. Relative growth rate juga adalah suatu parameter kompleks yang ditentukan oleh sejumlah komponen morfologis, fisiologis, dan alokasi biomassa (Bellingham et al. 2004; James & Drenovsky 2007). Komponen morfologis adalah karakter-karakter yang berkaitan dengan pembentukan biomassa (seperti daun, batang, akar) dan struktur luar (seperti daun yang lebar, daun yang sempit). Komponen fisiologis adalah karakter-karakter yang berhubungan dengan proses yang terjadi dalam tubuh organisme tumbuhan (seperti laju fotosintesis, laju asimilasi bersih, respirasi). Alokasi biomassa adalah sesuatu yang berkaitan dengan distribusi hara dan fotosintat, dan penggunaannya (seperti nitrogen daun dan photosynthetics nitrogen use efficiency). RGR dapat digunakan untuk mengukur produktifitas (efisiensi) biomassa awal tumbuhan, yang berfungsi sebagai modal dalam menghasilkan bahan baru tumbuhan (Poorter & Remkes 1990). Relative growth rate pada setiap spesies bervariasi. Variasi RGR ada yang dikontribusi oleh karakter morfologis seperti LAR dan SLA (Poorter & Remkes 1990), karakter fisiologis seperti NAR (Shipley 2006), atau ada yang dipengaruhi kedua-duanya yaitu karakter morfologis dan fisiologis seperti LAR dan NAR (Grotkopp et al. 2002). Keuntungan dari RGR yang tinggi dapat terlihat jelas dari spesies yang pertumbuhannya cepat. Pertumbuhan cepat itu akan menyebabkan spesies menutupi suatu ekosistem dengan cepat dan meluas serta memanfaatkan sumberdaya alam. Komponen yang menentukan relative growth rate (RGR) adalah net assimilation rate (NAR) dan leaf are ratio (LAR) sehingga besaran NAR dan LAR akan menentukan besarnya RGR (Rodosevich et al. 1997; Grotkopp & Rejmanek 2007): RGR = NAR x LAR Leaf Weight Ratio Leaf weight ratio (LWR) adalah bagian dari total bobot tumbuhan yang dialokasikan ke daun. Leaf weight ratio adalah salah satu komponen penting bagi pembentukan karakter morfologi tumbuhan (LAR). Variasi LWR mempengaruhi LAR walaupun variasi SLA berpengaruh lebih besar (James & Drenovsky 2007). Leaf weight ratio penting untuk dihitung karena dapat menjelaskan bagaimana tumbuhan invasif dapat menguasai lahan. Karakter morfologis dapat diperlihatkan dengan pembentukan biomassa daun dari total bobot tumbuhan invasif. Specific Leaf Area Specific leaf area (SLA) adalah rasio luas daun dan bobot daun. Specific leaf area merupakan luas daun per unit bobot daun yang menjadi indikator bagi luas permukaan fotosintesis per unit penyimpanan dalam jaringan daun. Kondisi
9 SLA yang tinggi berhubungan dengan laju pertumbuhan cepat (karena semakin luas daun maka kapasitas untuk melakukan fotosintesis pun semakin besar). Jika laju fotosintesis tinggi maka pembentukan struktur tumbuhan termasuk daun akan tinggi). SLA merupakan parameter yang sering digunakan untuk menjelaskan pertumbuhan dan hubungannya dengan fotosintesis (Deng et al. 2004). Specific leaf area penting diamati karena dapat digunakan untuk menjelaskan karakter morfologis tumbuhan seperti lebar dan sempitnya daun serta tebal dan tipisnya daun. Specific leaf area berkontribusi untuk meningkatkan intersepsi cahaya pada radiasi rendah Pada kondisi itu, SLA yang tinggi mencerminkan adanya luas daun yang besar tetapi biomassa daun yang rendah. Luas daun yang besar dapat dipakai untuk menangkap cahaya yang tinggi. Biomassa daun yang rendah mencerminkan tipisnya daun karena jaringan palisade yang tipis dan rendahnya jumlah klorofil (Lambers et al. 2008). Selain itu, tipisnya daun berarti pula memperpendek jalannya CO2. Karena itu, laju fotosintesis pada daun tipis lebih besar dari daun yang tebal. Luas daun yang besar dan biomassa daun yang banyak menggambarkan tebalnya daun. Daun tebal karena jaringan palisadenya tebal dan jumlah klorofilnya banyak. Pembentukan daun-daun tersebut dapat menjelaskan karakter morfologis tumbuhan (Baruch & Goldstein 1999). Leaf Area Ratio Leaf area ratio (LAR) adalah rasio luas daun dan total bobot tumbuhan. Leaf weight ratio mencerminkan jumlah luas daun tumbuhan yang berkembang per unit massa total tanaman karena itu LAR bergantung pada proporsi relatif biomassa yang dialokasikan ke daun dari massa total tumbuhan (LWR) dan berapa luas daun suatu tumbuhan yang berkembang setiap unit biomassa daun (SLA). Dengan kata lain, LAR diperoleh dari komponen morfologis yaitu, leaf weight ratio (LWR) dan specific leaf area (SLA) sehingga LAR dapat dirumuskan sebagai berikut (Rodosevich et al. 1997) : LAR = LWR x SLA Pertumbuhan tumbuhan invasif yang tinggi dapat terjadi karena memiliki LAR yang lebih tinggi dibandingkan tumbuhan tidak invasif. Leaf area ratio adalah parameter penting yang dapat dipakai untuk menjelaskan karakter morfologi tumbuhan invasif. Karakter morfologi yang dimaksud terutama berkaitan dengan banyaknya alokasi biomassa ke daun dari total massa tumbuhan dan luasnya daun per unit biomassa daun. Banyaknya daun yang terbentuk mempengaruhi tumbuhan invasif untuk tumbuh cepat dan luas (Villar et al. 2005).
10 Net Assimilation Rate Net assimilation rate (NAR) atau laju asimilasi bersih adalah penambahan dalam bobot kering tumbuhan per unit luas daun per unit waktu. Tumbuhan invasif memiliki NAR yang lebih tinggi dibandingkan tumbuhan tidak invasif. Net assimilation rate (NAR) merupakan indeks fisiologis. Variasi pertumbuhan invasif yang tinggi dapat dipengaruhi oleh NAR tinggi. Net assimilation rate dapat dipakai untuk menjelaskan karakter fisiologis karena nilai NAR yang tinggi berarti CO2 (sebagai sumber karbon) yang digunakan untuk fotosintesis lebih besar daripada CO2 yang hilang dari respirasi per unit luas daun (Shipley 2006). . Nitrogen Daun dan Efisiensi Penggunaan Nitrogen Fotosintesis Nitrogen merupakan salah satu unsur penting untuk semua organisme. Keberadaannya dalam struktur komponen asam–asam amino (enzim dan protein), nukleotida, porfirin, alkaloid, dan beberapa lipid. Dalam berbagai ekosistem unsur ini sangat penting karena membatasi pertumbuhan. Nitrogen diabsorpsi sebagai nitrat (NO3+) dan amonium (NH4+), diasimilasikan menjadi asam amino dan selanjutnya dapat membentuk protein. Nitrogen sering kali dalam keadaan tidak mencukupi untuk pertumbuhan maka pada daun yang mendekati luruh, senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan didegradasi menjadi asam amina dan ditranslokasi lagi ke titik tumbuh. Keberadaan unsur nitrogen juga penting terutama berkaitan dengan pembentukan klorofil (Lambers et al. 2008). Mekanisme tumbuhan invasif dalam mengubah ekosistem salah satunya berkaitan dengan kemampuannya menangkap dan memanfaatkan sumberdaya. Ketika sumberdaya ketersediaannya terbatas (misal unsur hara nitrogen), tumbuhan invasif mampu menyesuaikan diri dan membentuk komunitas yang stabil. Tumbuhan yang termasuk ke dalam tumbuhan invasif mampu menggunakan hara dan fotosintat lebih efisien daripada tumbuhan yang tidak invasif (Feng et al. 2007;Matzek 2011). Keberhasilan tumbuhan untuk menginvasi ditentukan juga oleh karakteristik kandungan nitrogen daun dan efisiensi penggunaan nitrogen fotosintesis atau photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE). PNUE merupakan nisbah antara laju fotosintesis bersih dengan kandungan nitrogen daun per unit luas permukaan daun (Larcher 1995). PNUE diukur untuk menjelaskan tentang efisiensi penggunaan nitrogen untuk fotosintesis (Nagel & Griffin 2004). Mekanisme yang dilakukan oleh tumbuhan invasif sehingga berhasil dalam proses invasi antara lain mengalokasikan nitrogen untuk fotosintesis lebih tinggi daripada tumbuhan noninvasif. Alokasi nitrogen untuk fotosintesis tinggi menyebabkan banyak karbon yang tersedia untuk pertumbuhan (Zou et al. 2007; Feng et al. 2009). Sementara itu, tumbuhan non-invasif lebih banyak mengalokasikan nitrogennya untuk keperluan pertahanan dengan membentuk protein dinding sel (Takashima et al. 2004). Parameter N daun dan PNUE penting diamati karena dapat menilai karakter invasif. Kandungan N daun dan PNUE tumbuhan invasif lebih tinggi dari tumbuhan non-invasif. Hal ini dapat terjadi karena tumbuhan invasif lebih
11 banyak mengalokasikan N daun per unit luas daun bagi pembentukan protein. Protein ini yang akan digunakan untuk membentuk biomassa daun yang lebih banyak. Biomassa daun yang terbentuk lebih banyak berarti menyediakan tempat yang banyak pula untuk fotosintesis. Karena alasan inilah maka tumbuhan invasif dapat berhasil tumbuh untuk menguasai suatu ekosistem (Feng et al. 2009). Mikania micrantha Mikania micrantha merupakan tumbuhan merambat yang tumbuh cepat dan menjadi gulma di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik selama 20 abad terakhir. M. micrantha merupakan tanaman herba, perennial, berkembangbiak secara generatif dengan biji dan vegetatif dengan stek. Klasifikasi M. micrantha adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Asterales Family : Asteraceae Genus : Mikania Species : Mikania micrantha Nama daerah : Sembung rambat (Tjitosoedirdjo 2010) M. micrantha juga merupakan spesies tumbuhan invasif (Deng et al. 2004) karena memiliki karakteristik yang berhubungan dengan karakteristik invasifnya, diantaranya adalah: Cepat berkolonisasi di habitat terganggu. Menghambat tanaman/vegetasi alami lain. Memproduksi senyawa inhibitor. Berkembang baik di lingkungan cerah/terbuka. Memiliki nilai SLA, konsentrasi nitrogen, dan PNUE tinggi dibandingkan dengan jenis tidak invasif (M. cordata). M. micrantha memiliki biji sangat kecil sehingga mudah untuk disebarkan melalui perantara angin. Karakter morfologi biji yang demikian sangat menunjang bagi tersebarnya M. micrantha ke tempat yang sangat jauh (Zhang et al. 2004).
Ipomoea batatas Ipomoea batatas atau ubi jalar/ketela rambat/ sweet potato adalah salah satu jenis tanaman budidaya yang banyak diminati dan cukup popular di kalangan masyarakat Indonesia. Salah satu dari banyak kultivar atau varietas ubi jalar yang ada adalah ubi Ase. Ubi Ase yang dipakai pada penelitian ini adalah varietas ubi jalar yang banyak ditemui di perkebunan ubi jalar di Bogor.
12 I. batatas adalah tanaman dengan klasifikasi sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Magnoliophyta Class : Magnoliopsida Ordo : Solanales Family : Convolvulaceae Genus : Ipomoea Species : Ipomoea batatas Nama kultivar : Ubi Ase I. batatas memiliki ciri-ciri antara lain helaian daun lebar, bentuk bulat telur, dengan pangkal yang membentuk jantung, warna daun abaksial pada waktu muda berwarna ungu tipis, dan daun dewasa berwarna hijau. Secara umum kerangka daun tipe cordate, tipe lobus daun sangat tipis, jumlah lobus daun satu. Karangan bunga di ketiak, bentuk payung, daun pelindung rontok. Daun kelopak memanjang, mahkota bentuk lonceng sampai bentuk terompet, ungu muda putih, benangsari terbenam di dalam, tidak sama panjang. Tangkai putik bentuk benang dan kepala putik bentuk bunga rangkap. Bentuk umbi elliptic dan formasi umbi sangat menyebar (very dispersed). I. batatas merupakan tanaman hasil introduksi atau berasal dari luar Indonesia yaitu Benua Amerika. I. batatas merupakan tanaman budidaya tergolong spesies yang bersifat tidak invasif (Tjitrosoedirdjo 2010). Pada penelitian ini menggunakan I. batatas karena I. batatas masih tergolong famili yang sama dengan M. peltata yaitu Famili Convolvulaceae.
3 METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni 2012 sampai Mei 2013 di rumah kaca Southeast Asian Regional Centre for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP), Kebun Percobaan Cikabayan IPB, dan Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor. Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah Merremia peltata (yang berasal dari kawasan TNBBS Desa Pemerihan, Kabupaten Lampung Barat), Mikania micrantha (yang diambil di sekitar Kebun Percobaan Cikabayan, Bogor), dan Ipomoea batatas (ubi Ase dari perkebunan ubi jalar di Bubulak, Bogor). Media tanam yang digunakan adalah tanah dan pupuk kompos kotoran sapi dengan perbandingan 3:2 (b/b). Kandungan hara mineral dari media tanam (awal) dapat dilihat pada Lampiran 1.
13 Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak terpisah (split plot design) dua faktor. Faktor pertama (petak utama) adalah naungan paranet (terdiri dari 3 taraf yaitu naungan paranet 0 %, 55 % , dan 90 %). Faktor kedua (anak petak) adalah jenis tanaman (terdiri dari 3 taraf yaitu M. peltata, M. micrantha, dan I. batatas). Perlakuan diulang sebanyak 3 kali ulangan (Gambar 4). Parameter yang diamati meliputi laju fiksasi karbon atau carbon fixation rate (CFR), laju pertumbuhan relatif atau relative growth rate (RGR), nisbah bobot daun atau leaf weight ratio (LWR), luas daun spesifik atau specific leaf area (SLA), nisbah luas daun atau leaf area ratio (LAR), laju asimilasi bersih atau net assimilation rate (NAR), nitrogen daun (N daun), dan efisiensi penggunaan nitrogen fotosintesis atau photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE).
Perbanyakan Tanaman M. peltata diperbanyak secara generatif dengan menggunakan biji. Biji dipisahkan dari kapsul buah. Kapsul buah dipilih yang berwarna coklat, kering, merekah, dan berkualitas baik (tidak busuk). Biji M. peltata ditumbuhkan dalam media tanah asal TNBBS, yang berupa bedeng dan bentuknya persegi empat. Biji ditanam pada tanah dengan jarak tanam 20 cm, kemudian biji ditutup kembali dengan tanah. Anakan yang telah berumur 2 minggu dipindahkan ke wadah plastik transparan yang berisi tanah Lampung dengan ketinggian media 10 cm. Setelah tinggi anakan atau bibit M. peltata mencapai tinggi batang 29.5 cm, anakan dipindahkan pada media tanam (tanah : kompos kotoran sapi adalah 3:2 b/b) dengan memindahkan seluruh bagian anakan ke dalam polybag hitam. Polibag hitam ini berukuran 25 cm x 25 cm dan tinggi media tanamnya 20 cm. Bibit M. peltata kemudian diadaptasikan di suatu lahan (yang hanya bagian atapnya saja dinaungi paranet 65 %) selama 3 minggu dalam media tanam.
14 M. micrantha diperbanyak dengan stek batang. Stek batang yang digunakan berukuran 15 cm, buku yang sudah berakar, dengan 3 daun. Bibit diadaptasikan di suatu lahan (yang hanya bagian atapnya saja dinaungi paranet 65 %) selama 3 minggu dalam media tanam. I. batatas diperbanyak dengan stek batang. Stek batang I. batatas yang digunakan dengan panjang 30 cm. Bibit ditanam dengan membenamkan 3 - 4 buku dalam media tanam (tanah : kompos kotoran sapi, 3:2 b/b). Bibit I. batatas yang digunakan berumur sama (± 2,5 bulan). Bibit I. batatas diadaptasikan di suatu lahan (yang hanya bagian atapnya saja dinaungi paranet 65 %) selama 3 minggu dalam media tanam. Perlakuan Percobaan Perlakuan naungan paranet yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 yaitu naungan paranet 0 %, 55 %, dan 90 %. Naungan yang dimaksud berupa ruang yang semua sisinya ditutupi paranet hitam. Jenis paranet dipasang sesuai dengan perlakuan. Naungan 0 % berarti tanpa naungan paranet atau terpapar cahaya penuh. Paranet 55 % berarti tutupan paranet sebesar 55 % dan cahaya yang masuk diasumsikan sebesar 45 %. Paranet 90 % berarti tutupan paranet sebesar 90 % dan cahaya yang masuk diasumsikan sebesar 10 %. Ukuran ruang paranet adalah 9 m x 9 m x 2 m. Setiap naungan menggunakan bambu-bambu sebagai tiang penyangganya (Lampiran 2). Jumlah paranet yang berbeda 3, spesies tumbuhan 3, ulangan 3, dan dipanen dua kali, jadi seluruhnya ada 3 x 3 x 3 x 2 = 54 polybag. Setiap naungan paranet dibagi 3 kelompok sebagai ulangan yaitu depan, tengah, dan belakang. Setiap ulangan terdiri dari 3 petak. Petak tersebut untuk menempatkan masing-masing jenis tumbuhan. Jenis tumbuhan pada setiap petak ditempatkan secara acak. Satu individu per petak per jenis tumbuhan diambil pada setiap waktu pengukuran untuk diamati (Gambar 4). Pengukuran Aktivitas Carbon Fixation Rate Aktivitas carbon fixation rate diukur dengan menggunakan portable photosynthesis system (Li-qor 6400 xt). Pengukuran dilakukan pada daun lebar penuh (di posisi daun kelima sampai ketujuh dari ujung batang). Radiasi aktif fotosintesis atau photosynthetic active radiation (PAR) yang digunakan sebesar 2000 µmol foton m-2s-1. Daun penuh diletakkan di chamber, pembacaan CFR dilakukan selama 30 detik lalu diperlukan 30 detik lagi untuk menunggu pembacaannya stabil. Pengukuran CFR dilakukan dari pukul 10.00 – 13.00 WIB. Data hasil pengukuran CFR yang digunakan dalam perhitungan adalah data bulan November 2012 atau pada 90 hari setelah perlakuan.
15 Analisis Pertumbuhan Tanaman Panen pertama dilakukan pada bulan Agustus 2012 (0 hari setelah perlakuan) dan panen kedua pada bulan November 2012 (90 hari setelah perlakuan). Analisis pertumbuhan tanaman dilakukan dengan mempersiapkan tanaman dalam bentuk bahan kering terlebih dahulu. Setiap daun, batang, akar, dan umbi yang dipanen, dikumpulkan, ditempatkan dalam kantong-kantong kertas, kemudian dikeringkan dalam oven selama 48 jam pada suhu 65 ºC. Bobot kering daun dan tanaman, serta luas daun diukur dan ditimbang. Luas daun ditentukan dengan cara gravimetric. Daun segar diletakkan di atas kertas HVS (29.8 cm X 21.2 cm) dengan bobot kertas 70 g. Kertas HVS ditimbang dalam satuan gram. Kemudian daun tersebut digambar dan digunting sesuai ukuran sisi terluar daun. Selanjutnya, replika daun ditimbang dalam satuan gram. Luas daun diperoleh dari perhitungan sebagai berikut :
Relative Growth Rate Relative growth rate (RGR) diperoleh dari penambahan bobot kering tumbuhan per unit biomassa per unit waktu (Hoffmann & Poorter 2002). Relative growth rate diukur pada 0 dan 90 hari setelah perlakuan (HSP). Satuan RGR adalah g g-1hari-1. Relative growth rate dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
16 Leaf Weight Ratio Leaf weight ratio (LWR) diperoleh dari rasio bobot kering daun terhadap bobot kering tumbuhan dalam satuan g g-1 (Rodosevich et al. 1997). Data LWR yang digunakan adalah hasil pengukuran pada 90 HSP. Leaf weight ratio dirumuskan sebagai berikut :
Spesific Leaf Area Spesific leaf area (SLA) diperoleh dari luas daun per bobot kering daun (cm2 g-1). Data SLA yang digunakan adalah hasil pengukuran pada 90 HSP. Spesific leaf area (SLA) dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Rodosevich et al. 1997):
Leaf Area Ratio Leaf area ratio (LAR) diperoleh dari ratio luas daun terhadap bobot kering tumbuhan (cm2 g-1). Data LAR yang digunakan adalah hasil pengukuran pada 90 HSP. Leaf area ratio dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Rodosevich et al. 1997):
Net Assimilation Rate
17 Net assimilation rate Net assimilation rate (NAR) atau laju asimilasi bersih adalah penambahan dalam bobot kering tumbuhan per unit luas daun per unit waktu (g cm-2hari-1). Data NAR yang digunakan adalah hasil pengukuran pada 90 HSP. Net assimilation rate juga dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Poorter & Remkes 1999;Villar et al. 2005):
Nitrogen daun dan Photosynthetics nitrogen use efficiency Kandungan N daun dianalisis dengan menggunakan metode Kjeldahl (Yuan et al. 2007). Nitrogen daun dinyatakan dalam gram nitrogen daun per satuan luas daun (g m-2). Photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE) dihitung sebagai laju fotosintesis per kadar nitrogen daun per unit permukaan daun (Takashima et al. 2004). Data PNUE yang digunakan adalah hasil pengukuran pada 90 HSP. Photosynthetics nitrogen use efficiency dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
Analisis Data Data dianalisis dengan menggunakan analysis of Variance (ANOVA) dan diikuti dengan uji jarak berganda Duncan atau Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) pada taraf uji kepercayaan 95% (Lampiran 3). Data dianalisis dengan menggunakan program SPSS 16.0.
18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Carbon fixation rate (CFR), RGR, LWR, SLA, LAR, NAR, N daun, dan PNUE pada penelitian ini dipengaruhi oleh interaksi antara naungan dengan jenis tumbuhan (P < 0.05) (Lampiran 3). Carbon fixation rate (CFR), RGR, LWR, SLA, LAR, NAR, N daun, dan PNUE M. peltata lebih rendah daripada M. micrantha tetapi lebih tinggi daripada I. batatas di naungan 0 % dan 55 % (Tabel 1). Carbon fixation rate (CFR), RGR, NAR, N daun, dan PNUE M. micrantha tertinggi dibandingkan dengan dua jenis tumbuhan yang lain tetapi LWR, SLA, LAR M. micrantha terendah di naungan 0 % dan 55 %. Carbon fixation rate (CFR), RGR, NAR, N daun, dan PNUE I. batatas terendah dibandingkan dengan dua jenis tumbuhan yang lain tetapi LWR, SLA, dan LAR I. batatas tertinggi di naungan 0 % dan 55 %. Carbon fixation rate (CFR), LWR, SLA, dan N daun M. peltata lebih rendah daripada M. micrantha tetapi lebih tinggi daripada I. batatas di naungan 90 %. Relative growth rate (RGR), NAR, dan PNUE M. peltata tertinggi dibandingkan dengan dua jenis tumbuhan yang lain tetapi LAR M. peltata terendah di naungan 90 %. Carbon fixation rate (CFR) dan N daun M. micrantha tertinggi dibandingkan dengan kedua jenis tumbuhan lain di naungan 90 %. Relative growth rate (RGR), LAR, dan PNUE M. micrantha lebih tinggi daripada M. peltata tetapi lebih rendah daripada I. batatas di naungan 90 %. Net assimilation rate (NAR), LWR, dan SLA M. micrantha terendah dibandingkan dengan kedua jenis tumbuhan lain di naungan 90 %. Carbon fixation rate (CFR), RGR, NAR, N daun, dan PNUE I. batatas terendah dibandingkan dengan dua jenis tumbuhan yang lain di naungan 90 %. Leaf weight ratio (LWR), SLA, dan LAR I. batatas tertinggi dibandingkan dengan dua jenis tumbuhan yang lain di naungan 90 %. Carbon fixation rate (CFR), RGR, LWR, NAR, N daun, dan PNUE M. peltata turun dari naungan 0 % ke 55 %. Penurunan nilai parameter tersebut berturut turut sebesar 23.8 %, 8.3 %, 3.3 %, 35.7 %, 18.5 %, dan 7.1 %. Spesific leaf area (SLA) dan LAR meningkat dari naungan 0 % ke naungan 55 %. Peningkatan nilai SLA dan LAR berturut-turut sebesar 37.5 % dan 33.3 %. Carbon fixation rate (CFR), RGR, LWR, LAR, N daun, dan PNUE M. peltata turun dari naungan 0 % ke 90 %. Penurunan nilai parameter tersebut berturut turut sebesar 43.2 %, 16.7%, 50 %, 36.7 %, 35.0 %, dan 14.3 %. Spesific leaf area (SLA) dan NAR meningkat dari naungan 0 % ke naungan 90 %. Peningkatan nilai SLA dan NAR berturut-turut sebesar 28.9 % dan 28.6 %. Spesific leaf area (SLA) M. peltata di naungan 55 % tidak berbeda nyata dengan SLA di naungan 90 %. Photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE) M. peltata tidak berbeda nyata di semua perlakuan naungan.
19 Carbon fixation rate (CFR) M. peltata tidak berbeda nyata dengan M. micrantha di naungan 90 % (P > 0.05). Photosynthetics nitrogen use efficiency (PNUE) M. peltata tidak berbeda nyata dengan M. micrantha di naungan 0 %. Carbon fixation rate (CFR), RGR, SLA, N daun, dan PNUE I. batatas di naungan 0 % tidak berbeda nyata dengan M. peltata di naungan 55 % (P > 0.05). Carbon fixation rate (CFR), RGR, N daun, PNUE I. batatas di naungan 0 % tidak berbeda nyata dengan M. peltata di naungan 55 %.
Pembahasan Tiga spesies tumbuhan yang diuji menunjukkan "sun plant" dari kelompok tanaman C-3 karena dapat tumbuh dengan baik di bawah sinar matahari penuh (0% naungan), dengan CFR M.peltata, M.micrantha dan I.batatas yang berbeda berturut-turut yaitu 19.0, 25.2, dan 14.7 µmol CO2 m-2s-1 (Tabel 1). Meskipun kandungan nitrogen daun M. micrantha lebih tinggi dibandingkan dengan M. peltata, PNUE keduanya tidak berbeda nyata. Kemampuan M. micrantha untuk mengambil sejumlah besar nitrogen dan disimpan di daun menyebabkan nitrogen tidak tersedia untuk pertanian. Hal ini dapat dikatakan bahwa M. micrantha merupakan gulma yang buruk (Teoh et al. 1985). Perlu diketahui bahwa PNUE M. peltata tidak berbeda dari M. micrantha pada naungan 0 %, tetapi CFR M. micrantha masih lebih tinggi daripada M. peltata. Hal ini mungkin merupakan kontribusi dari batang M. peltata yang membutuhkan laju respirasi yang lebih besar untuk mempertahankan integritas tumbuhan. Nilai PNUE yang tinggi menunjukkan bahwa hanya sejumlah kecil nitrogen yang mempengaruhi proses fotosintesis dan juga membentuk biomassa tumbuhan, terutama daun (McDowell 2002).
20 Indeks fisiologis adalah bagian dari proses metabolisme yang terjadi pada tumbuhan seperti fotosintesis, respirasi, transpor hara. Indeks morfologis adalah bagian dari pembentukan struktur luar tumbuhan seperti banyaknya alokasi biomassa daun, luas daun per unit biomassa daun. Net assimilation rate (NAR) mencerminkan indeks fisiologis, sementara LAR merupakan indeks morfologi yang memberikan kontribusi bagi RGR. NAR M. micrantha = 0.0021 g cm-2hari-1 adalah indeks fisiologis tertinggi di antara spesies tumbuhan yang digunakan dalam kajian ini. NAR berkontribusi terhadap tingginya RGR oleh karenanya, variasi NAR menentukan variasi RGR (Shipley 2006). Dengan kata lain, NAR yang tinggi mengindikasikan kontribusi fisiologi yang tinggi terhadap RGR (Long et al. 2004). Ini berarti bahwa proses fisiologis berkontribusi lebih besar terhadap RGR dibandingkan dengan kontribusi morfologi. Di sisi lain, NAR I. batatas = 0.0008 g cm-2 hari-1 yang terendah di antara tumbuhan yang diuji, sementara LAR 2 I. batatas = 14.7 cm g-1 adalah yang tertinggi di antara spesies tumbuhan yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa karakter morfologi memberikan kontribusi lebih besar untuk laju pertumbuhan relatif I. batatas. Leaf area ratio (LAR) yang tinggi menunjukkan alokasi hara fotosintat untuk sintesis daun juga tinggi. Ketika daun I. batatas yang sangat lebar dan tipis tetapi kontribusi fisiologisnya begitu terbatas, mungkin disebabkan oleh fakta bahwa I. batatas menghasilkan umbi (Lampiran 4), yang sebagian besar fotosintat disimpan di umbi merupakan sink yang kuat yang mempunyai laju respirasi tinggi sehingg dapat mengurangi CFR. Kedua spesies tumbuhan lainnya memiliki karakter yang berbeda, M. micrantha lebih tergantung pada indeks fisiologis, sementara I. batatas lebih pada indeks morfologis. Karakter M. peltata berada di antara keduanya yaitu memiliki indeks fisiologis yang relatif tinggi tetapi memiliki indeks morfologis juga yang tinggi. Nilai LAR pada M. peltata sebesar 9.0 cm2g-1 menunjukkan bahwa indeks morfologis berkontribusi relatif tinggi terhadap laju pertumbuhannya. Bila M. peltata dibandingkan dengan M. micrantha yang keduanya merupakan liana, maka M. micrantha merupakan liana kecil yang memanjat dengan batang ramping. Kemungkinan energi yang dibutuhkan pada respirasi M. micrantha untuk menjaga stabilitas batangnya lebih sedikit daripada batang M. peltata (Zhang et al. 2004). M. micrantha lebih mengandalkan karakter fisiologis dibanding karakter morfologisnya di bawah naungan 0 %, sementara I. batatas bekerja sebaliknya, yang lebih mengandalkan karakter morfologis daripada fisiologisnya. Net assimilation rate (NAR) dan LAR M. peltata berada di antara dua spesies yang diuji. Relative growth rate (RGR) M. peltata didukung oleh karakter fisiologis dan morfologis. Karakter fisiologis dan morfologis sama-sama berkontribusi terhadap tingginya RGR sehingga menunjukkan bahwa spesies ini mampu beradaptasi dengan baik. M. peltata beradaptasi dengan baik karena mengalokasikan lebih banyak hara dan fotosintat untuk sintesis daun. Carbon fixation rate (CFR) pada M. peltata lebih tinggi dari I. batatas. Menarik untuk dicatat bahwa M. peltata dan I. batatas adalah dua spesies dari famili yang sama (Convolvulaceae), dengan hasil PNUE dan RGR yang tidak berbeda nyata, tetapi CFR M. peltata lebih tinggi. I. batatas mengalokasikan hara dan fotosintat yang lebih besar untuk pertumbuhan dan perkembangan daun yang lebih tipis dan luas. Semua tumbuhan yang diuji mengalami stress ringan di bawah naungan 55 %. Stress ringan ini diperlihatkan karena adanya penurunan intensitas cahaya.
21 Tumbuhan tersebut melakukan aklimatisasi pada naungan 55 % dengan mengubah morfologi. Semua spesies tumbuhan memiliki nilai NAR rendah, tetapi nilai-nilai LAR tinggi di bawah naungan 0 %. Tumbuhan mengalokasikan hara dan fotosintat yang lebih banyak untuk sintesis daun agar mendapatkan cahaya sehingga berdampak pada penurunan kontribusi fisiologi. Data ini menunjukkan bahwa untuk menjaga RGR tetap tinggi, tumbuhan harus mengubah karakter morfologinya untuk menangkap energi cahaya yang lebih banyak. Nilai NAR M. micrantha sebesar 0.015 g cm-2 hari-1 (yang tertinggi di antara tiga spesies), sementara LAR nya 8.1 cm2 g-1 (yang terendah di antara ketiga spesies). Meskipun nilai NAR M. micrantha turun tetapi masih lebih tinggi dibandingkan yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa RGR M. micrantha masih disebabkan oleh karakter fisiologis daripada karakter morfologi. Di sisi lain, NAR I. batatas terendah, ini menunjukkan bahwa RGR I. batatas disumbangkan lebih banyak dari karakter morfologi, hal ini dibuktikan dari LWR I. batatas = 0.37 g g-1 dan SLA 2 -1 I. batatas = 52.8 cm g , sehingga menunjukkan alokasi hara hara fotosintat tinggi untuk pembentukan daun tipis dan lebar. I. batatas mempertahankan RGR dengan cukup tinggi pada naungan 55 %. Aklimatisasi ini tidak berbeda dengan naungan 0 % sehingga RGR I. batatas tidak berbeda dari RGR M. peltata . Net assimilation rate (NAR) dan LAR I.batatas pada naungan 55 %, menunjukkan hasil yang mirip dengan kondisi di bawah naungan 0 %. Oleh karenanya karakter morfologi I. batatas lebih mempengaruhi RGR daripada karakter fisiologis. Nitrogen daun I. batatas lebih rendah dari M. peltata di bawah naungan 55 %. Tetapi PNUE dari kedua spesies tidak berbeda nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa I. batatas dan M. peltata memiliki kualitas daun yang sama dalam hal PNUE pada naungan 55 % dan kondisi ini tercermin dari nilai RGR yang sama. Tetapi I. batatas memiliki CFR yang lebih rendah diantara ketiga spesies yang diuji mungkin karena fotosintat yang disimpan dalam umbi lebih besar dari fotosintat yang dihasilkan. Selain itu, kemungkinan respirasi I. batatas juga besar untuk menghasilkan energi agar pertumbuhan tetap berlangsung. Kandungan nitrogen daun M. micrantha menurun pada naungan 55 % dari 0 %. Sebagai akibat pengurangan ketersediaan cahaya ini maka fotosintesis berkurang dan energi untuk menyerap nutrisi dari tanah (termasuk senyawa nitrogen) berkurang juga. Tetapi yang mengejutkan bahwa di bawah ketersediaan cahaya rendah (naungan 55 %), PNUE M. micrantha tinggi di antara spesies yang diuji. CFR yang tinggi ini juga tercermin dalam laju pertumbuhan relatifnya (RGR) yang tertinggi di antara spesies yang diuji di tingkat ini. M. micrantha harus sangat kompetitif dan sangat agresif untuk mendukung perilaku invasif di bawah cahaya matahari penuh ke naungan 55 %. I. batatas diaklimatisasi pada stress ringan dengan mengalokasikan lebih banyak hara hara fotosintat untuk sintesis daun. Leaf weight ratio (LWR) memiliki daun yang lebih tipis dan luas untuk menangkap cahaya yang lebih banyak. Perubahan spesific leaf area dapat menghasilkan perubahan - perubahan pada kemampuan daun untuk menghasilkan fotosintat (tebal tipisnya daun). Nilai SLA pada naungan sedang dan tinggi umumnya diperlihatkan dengan daun yang lebih lebar dan luas tetapi biomassa yang lebih rendah dibandingkan dengan naungan penuh (Durand & Goldstein 2001; Grotkopp & Rejmanek 2007; Salehian & Eshagi 2012). Pada penelitian ini, ada kecenderungan SLA semua jenis tumbuhan seperti demikian.
22 Tiga spesies menunjukkan perubahan metabolismenya di bawah naungan 90 %, karena dipicu oleh aklimatisasi pada pengurangan ketersediaan cahaya ekstrim. NAR M. peltata tertinggi di antara ketiga spesies dengan LAR rendah. Kondisi ini berlawanan dengan kondisi cahaya matahari penuh (naungan 0 %) dan naungan 55 %. RGR M. peltata di naungan 90 % terutama dipengaruhi oleh karakter fisiologisnya, dan hanya sebagian kecil yang berasal dari kontribusi morfologinya. M. peltata di bawah intensitas cahaya rendah (naungan 90 %) memiliki indeks fisiologi tinggi dan alokasi proporsi hara dan fotosintat yang cukup untuk pertumbuhan dan perkembangan daun, serta sintesis daun-daun yang tipis untuk mendapatkan jumlah cahaya yang lebih besar. Kandungan nitrogen daun dan PNUE M. peltata, M. micrantha, dan I. batatas menurun jauh pada intensitas cahaya rendah. Ketika cahaya yang tersedia berkurang maka penggunaan nitrogen daun untuk fotosintesis menjadi rendah (Muller et al. 2011). Menggarisbawahi sifat M. peltata yang beradaptasi baik pada naungan tinggi karena biasanya hidup di bawah kanopi hutan hujan tropis dataran rendah (Irianto & Tjitrosoedirdjo 2010). M. peltata memiliki kemampuan untuk memelihara kualitas daun karena memiliki PNUE yang serupa dengan spesies invasif seperti M. micrantha (Tabel 1). M. peltata menjadi spesies tanaman invasif yang mengancam, di hutan hujan tropis dataran rendah yang terdegradasi. Di sisi lain M. micrantha itu sangat tertekan oleh naungan tinggi ini, dengan RGR setengah dari M. peltata. Pertumbuhan M. micrantha yang tertekan ini sejalan dengan pengamatan di perkebunan karet, di mana pertumbuhan M. micrantha berkurang jauh di bawah kanopi tanaman karet dewasa terutama di bawah klon PR 300 yang dikenal mempunyai kanopi yang rapat (Ahmad 1992). Pada sebagian besar anggota Compositae biasanya memilih untuk tumbuh dalam kondisi terbuka, tidak terkecuali M. micrantha, meskipun dalam percobaan ini mampu tumbuh subur di bawah naungan 55 % (Tjitrosoedirdjo 2005). Laju pertumbuhan relatif I. batatas sangat rendah, hanya sekitar setengah dari RGR M. micrantha. Pada kondisi seperti ini, I. batatas tidak akan menghasilkan umbi (Lampiran 4). Carbon fixation rate, RGR, NAR, dan PNUE M. peltata lebih tinggi daripada I. batatas di naungan 90 %. RGR, NAR, dan PNUE M. peltata lebih tinggi daripada M. micrantha. Naungan 90 % merupakan kondisi dengan intensitas cahaya yang rendah. Cahaya dengan intensitas rendah berarti energi untuk melakukan fotosintesis berkurang. Dalam keadaan kurang energi ternyata M. peltata menunjukkan kemampuannya dengan mempertahankan sejumlah proses fisiologi. Bila CFR tinggi maka laju pengikatan CO2 untuk fotosintesis juga tinggi. RGR merupakan laju pertumbuhan yang tampaknya dipengaruhi oleh laju asimilasi bersih. Dampak dari RGR dan NAR yang tinggi juga diikuti oleh nilai PNUE yang tinggi. M. peltata sangat effisien karena penggunaan nitrogen untuk fotosintesis tinggi. Efisiensi M. peltata ini karena pada kondisi naungan tinggi M. peltata masih dapat memanfaatkan sumberdaya yang sedikit untuk melakukan proses fotosintesis. Parameter CFR, RGR, NAR, dan PNUE merupakan faktor-faktor yang berkaitan dengan proses fisiologi. Faktor fisiologis M. peltata yang masih tinggi dan tidak berbeda nyata dengan M. micrantha pada kondisi cekaman cahaya rendah mengindikasikan bahwa M. peltata termasuk ke dalam jenis tumbuhan yang tahan terhadap cekaman cahaya rendah. Jenis tumbuhan yang tahan terhadap cekaman cahaya rendah atau naungan tinggi mengindikasikan bahwa toleransi lingkungan M. peltata sangat luas. Toleransi
23 lingkungan M. peltata yang luas dapat dilihat di wilayah TNBBS. Tutupan M. peltata di hutan primer TNBBS berkisar dari 1 % - 15 %, di hutan sekunder berkisar dari 27 % - 55 %, dan di hutan terinvasi 44 % - 100 % (Master 2013). Kemampuan tumbuhan untuk dapat hidup pada kisaran luas (dari naungan tinggi, sedang sampai rendah) ini termasuk kelompok invasive alien spesies atau IAS (Nagel & Griffin 2004; Poorter 2010). Relative growth rate (RGR) dan NAR M. peltata lebih tinggi daripada kedua jenis tumbuhan lainnya di naungan 90 %. RGR tinggi karena NAR tinggi. Tinggnya nilai RGR karena adanya kontribusi yang tinggi dari NAR. Sementara itu, PNUE M. peltata tidak berbeda nyata di naungan 0 %, 55 %, dan 90 %. RGR dan NAR M. peltata tinggi di ketiga naungan tetapi PNUE tidak berbeda menunjukkan bahwa M. peltata sangat efisien dalam menggunakan nitrogen untuk keperluan fotosintesis. PNUE M. micrantha dan I. batatas rendah di naungan 90 % diikuti oleh RGR dan NAR yang rendah. Adanya PNUE, RGR, dan NAR yang rendah ini diduga karena alokasi nitrogennya tidak digunakan untuk pertumbuhan tetapi untuk pertahanan. Tiga jenis tumbuhan bertahan dari naungan 90 % karena naungan ini adalah kondisi cahaya rendah. Tumbuhan yang hidup di lingkungan cahaya rendah akan mengalokasikan nitrogennya untuk keperluan pertahanan dengan cara membentuk protein dinding sel (Feng et al. 2009). Photosynthetics nitrogen use efficiency M. micrantha dan I. batatas lebih rendah pada naungan 90 % daripada 0 % dan 55 %. PNUE rendah dipicu oleh cahaya yang rendahkondisi Pada kondisi cahaya yang rendah berarti energi untuk membentuk dan mengaktifkan kerja enzim khususnya enzim fotosintesi menjadi rendah juga. Ketika ketersedian cahaya berkurang maka penggunaan nitrogen daun untuk fotosintesis menjadi rendah (Muller et al. 2011). Nitrogen pada kondisi cahaya rendah tidak dialokasikan untuk fotosintesis tetapi diduga digunakan untuk pembentukan protein dinding sel sebagai pertahanan (Takashima et al. 2004). Penelitian ini semula direncanakan akan menggunakan stek M. peltata. M. peltata telah dicobakan untuk ditanam (di luar habitat aslinya) dengan stek batang, tetapi sangat sulit tumbuh. Berbagai cara telah dicobakan mulai dari berbagai komposisi media tanam, jumlah buku yang ditanam, kondisi stek, jarak waktu dari memotong stek sampai tanam, pembungkus kemasan dalam perjalanan, tanam, kondisi media tanam, kemiringan batang ketika ditanam, cara tanam, ruang, dan pestisida. Semua variasi tanam stek batang M. peltata yang sudah dicobakan di atas semua memberikan hasil yang sama yaitu stek batang coklat lalu menghitam (kasus browning), bercendawan, busuk, dan berakhir dengan kematian. Perbanyakan dengan stek ada yang berhasil tumbuh tetapi dengan persentasi hidup sangat kecil (variasi tanam dibungkus plastik 1.2 %, tanam mendatar 0.7 %, dan ditanam di rumah kaca 0.8 %)(Lampiran 5). Perbanyakan M. peltata dengan biji telah berhasil dilakukan. Biji M. peltata dipisahkan dari capsul buah M. peltata (capsul buah kering kecoklatan, merekah), dipilih biji berkualitas baik (biji tidak busuk), lalu dikeringanginkan. Tahap selanjutnya, biji dibenamkan dalam media tanam. Persentase keberhasilan perbanyakan M. peltata dengan biji jauh lebih baik dengan persentase hidup100 % dibandingkan dengan stek. M. peltata yang berhasil ditanam dengan biji, diduga karena struktur biji yang menunjang. Struktur biji M. peltata yang berbulu dan kuat, sangat sesuai untuk disebar melalui air (Rahmadani 2013). Kemampuan
24 memperbanyak dengan biji menjadi ciri umum tumbuhan invasif. Tumbuhan invasif mudah terdistribusi atau tersebar luas karena ditunjang oleh kemampuan biji yang mudah tersebar, baik dengan perantara angin, air, atau hewan tertentu (Hacker 1990).
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Carbon fixation rate (CFR), RGR, LWR, NAR, N daun, dan PNUE M. peltata meningkat seiring dengan menurunnya naungan atau intensitas cahaya tinggi. Relative growth rate M. peltata pada naungan 0 % dan 55 % (intensitas cahaya tinggi dan sedang) terjadi karena ada kontribusi nilai NAR dan LAR yang tinggi. Nilai NAR dan LAR M. peltata berada diantara M. micrantha dan I. batatas. Hasil ini menunjukkan bahwa RGR M. peltata dipengaruhi dan dikontribusi oleh indeks fisiologis dan morfologis yang tinggi. PNUE M. peltata tidak berbeda dengan M. micrantha di naungan 0 % yang menunjukkan bahwa hara dan fotosintat dialokasikan lebih banyak untuk sintesis daun. Kondisi ini memberi peluang M. peltata untuk menjadi invasif. Leaf area ratio yang tinggi pada perlakuan naungan sedang disebabkan karena adanya alokasi hara dan fotosintat ke daun sehingga sintesis daun menjadi tinggi. Relative growth rate (RGR), NAR, dan PNUE M. peltata tertinggi di antara spesies yang diuji pada naungan 90 % (intensitas cahaya rendah). Hasil ini menunjukkan bahwa indeks fisiologis M. peltata yang tinggi, alokasi hara dan fotosintat yang cukup untuk daun, dan sintesis daun-daun yang lebar dan tipis untuk mendapatkan cahaya yang lebih besar, semuanya mempengaruhi RGR.
Saran Penelitian mengenai karakter fisiologi M. peltata yang akan dikembangkan pada waktu yang akan datang, ada baiknya memperhatikan beberapa hal, diantaranya: M. peltata yang invasif (secara ekologi dan taksonomi) sebaiknya dibandingkan dengan tanaman lain dari genus Merremia yang bersifat non invasif dan natif. Interval PAR yang diukur dengan Li-qor 6400 xt sebaiknya dibuat sempit dan banyak sehingga laju asimilasi maksimum (Amax) dapat ditentukan. Jika nilai Amax dapat ditentukan maka kapasitas atau potensi fotosintesi dari M. peltata dapat diketahui. Potensi fotosintesis diketahui maka kekuatan dan keberhasilan M. peltata untuk menginvasi dapat diketahui.
25
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad FMA. 1992. Comparison of three weeding methods in rubber cultivatior. Planters Bull Rubber Res Institute Malaysia. 212-213:99-101. Baruch Z, Goldstein G. 1999. Leaf construction cost, nutrient concentration, and net CO2 assimilation of native and invasive species in Hawaii. Oecologia 121:183 – 192. Bellingham PJ, Duncan RP, Lee WG, Buxton RP. 2004. Seedling growth rate and survival do not predict invasiveness in naturalize woody plants in New Zealand. Oikos 106:308-316. Deng X, Ye WH, Feng HL, Yang QH, Cao HL. 2004. Gas exchange characteristics of the invasive species Mikania micrantha and its indigenous congener M. cordata (Asteraceae) in South China. Bot Bull Acad Sinica. 45:213-220. Durand LZ, Goldstein G. 2001. Photosynthesis, photoinhibition, and Nitrogen Use Efficiency in Native and Invasive tree ferns in Hawaii. Oecologia 126:345-354. Feijuan W, Cheng Z. 2012. Effects of nitrogen and light intensity on tomato (Lycopersicon esculentum Mill) production under soil water control. Africa J Agric Res. 7:4408-4415. Feng Y, Wang J, Sang W. 2007. Biomass allocation, morphology, and photosynthesis of invasive and noninvasive exotic species grown at four irradiance levels. acta oecologica.31:40-47. Feng YL, Lei YB, Wang RF, Callaway RM, Banuet AV. 2009. Evolutionary tradeoff for nitrogen allocation to photosynthesis versus cell walls in an invasive plant. PNAS. 106:1853-1856. Forbes JC, Watson RD. 1994. Plants in Agriculture. Britain. The University Press Cambridge. Gaveau DLA, Wandono H, Setiabudi F. 2007. Three decades of deforestation in Southwest Sumatera: Have protected areas halted forest loss and logging, and promoted re-growth. Biol conser. 134:495-504. Gordon DR. 1998. Effects of Invasive, Non Indigenous Plant Species On Ecosystem Processes:Lessons From Florida. Ecol Applications. 8: 975-989. Grotkopp E. Rejmanek M. 2007. High seedling relative growth rate: and specific leaf area are traits of invasive species:Phylogenetically independent contrasts of woody angiospermae. Am J Bot.94:526-532. Hacker JB. 1990. Drift seeds and fruit on Raine Island, Northern Greet Barrier Reef. Aust J Biogeo. 17:19-24. Irianto R, Tjitrosoedirdjo S. 2010. Invasi Merremia peltata (L) Merr., Convolvulaceae di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Indonesia. J Gulma dan Tumbuhan Invasif Tropika. 1: 65-70. James JJ, Drenovsky RE. 2007. A basis for relative growth rate differences between native and invasive forb seedlings. Rangeland Ecol Manage.60:395-400. Lambers H, Chapin FS, Pons TL. 2008. Plant Physiological Ecology Second Edition. New York. Springer. hlm 11-402.
26 Larcher W. 1995. Physiological Plant Ecology. Ecophysiology and Stress Physiology of Functional Groups Third Edition. Berlin. Springer. Long SP, Ainsworth EA, Rogers A. 2004. Rising atmospheric carbon dioxide: Plants FACE the future. Annu Rev Plant Biol. 55:591-628. Master J. 2012. Dampak Negatif Invasi Merremia peltata (L.) Merrill terhadap Keanekaragaman Tumbuhan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [Tesis]. Bogor. Pascasarjana IPB. _____, Tjitrosoedirdjo S, Qoyim I. Tjitrosoedirdjo SS. 2013. Ecological impact of Merremia peltata (L.) Merrill invasion plant diversity at Bukit Barisan Selatan National Park. Biotropia 20: 29-37. Matzek V. 2011. Superior performance and nutrient use efficiency of invasive plants over non-invasive congeners in a resource-limited environment (report). Biol Invasion. 13:3005-3014. McDowell SCL. 2002. Photosynthetic characteristics of invasive and noninvasive species of Rubus (Rosaceae). Am J Bot. 89:1431-1438. Muller O, Hirose T, Werger MJA, Hikosaka K. 2011. Optimal use of leaf nitrogen explains seasonal changes in leaf nitrogen content of an understorey evergreen shrub. Ann Bot. 108:529-536. Nagel JM, Griffin KL. 2004. Can gas exchange characteristic help explain the invasive success of Lythrum salicaria. Biol Invasions.6:101-111. Poorter H, Remkes C. 1990. Leaf area ratio and net assimilation rate of 24 wild species differing in relative growth rate. Oecologia 83:553-559. Poorter L. 2010. Growth resposes of 15 rain forest tree species to a light gradient: the relative importance of morphological and physiological traits. Functional Ecol. 13:396-410. Portis A. 2003. Rubisco activase-Rubisco’s catalytic chaperone. Photosynth Res.75:11-27. Rahmadani H. 2013. Merremia Dennstedt ex Endlicher (Convolvulaceae) in Sumatera [Thesis]. Bogor (ID). Bogor Agricultural Univ. Rodosevich S, Holt J, Ghersa C. 1997. Weed ecology, implications for management second edition. New York. J Wiley & Sons. Salehian H, Eshagi O. 2012. Growth analysis some weed species. Int J Agric Crop Sci. 4:730-734. Shipley B. 2006. Net assimilation rate, specific leaf area, and leaf mass ratio: which is most closely correlated with relative growth rate? A meta-analysis. Functional Ecol. 20:565-574. Sopandie D, Chozin MA, Sastrosumarjo S, Juhaeti T, Sahardi. 2003. Toleransi padi gogo terhadap naungan. Hayati 10:71-75. Staples GW. 2010. A Checklist of Merremia (Convolvulaceae) In Australia and The Pasific. Gardens’ Bull Singapore. 6:483-522. Stone BC. 1970. The Flora of Guam. Micronesica 6:1-659. Taiz L, Zeiger E. 2010. Plant Physiology Fourth Edition. Massachusetts. Sinauer Associates, Inc. Takashima T, Hikosaka K, Hirose T. 2004. Photosynthesis or persistence : nitrogen allocation in leaves of evergreen and deciduous Quercus species. Plant, Cell Environ. 27:1047 – 1054.
27 Teoh CH, Chung GF, Liau SS, Ibrahim G, Tan AM, Lee SA, Mohammec M. 1985. Prospects for biological control of Mikania micrantha HBK in Malaysia. Planter 61:515-530. Tjitrosoedirdjo S. 2010. Konsep Gulma dan Tumbuhan Invasif. J Gulma dan Tumbuhan Invasif Tropika. 1:89-100. Tjitrosoedirdjo SS. 2005. Inventory of the invasive alien plant species in Indonesia. Biotropia 25:60-73. Ubus R, Osaceae R. 2002. Characteristic of Invasive and Non Invasive Species. Am J Bot. 89:1431-1438. Vale´ry L, Fritz H, Lefeuvre J-C, Simberloff D. 2008. In search of a real definition of the biological invasion phenomenon itself. Biol Invasions. 10: 1345-1351. Villar R, Maranon T, Quero JL, Pandero P, Arenas F, Lambers H. 2005. Variation and relative growth rate of 20 Aegiolops species (Poacea) in the field : The importance of net assimilation rate of spesific leaf area depends on the time scale. Plant soil 272:11-27. Yuan Z, Liu W, Niu S, Wan S. 2007. Plant Nitrogen Dynamics and Nitrogen Use Strategis Under Altered Nitrogen Seasonality and Competition. Ann Bot 100: 821-830. Zhang LY, Ye WH, Cao HL, Feng HL. 2004. Mikania micrantha. China. Weed Res. 44:42-49. Zou J, Rogers WE, Siemann E. 2007. Differences in morphological and physiological traits between native and invasive populations of Sepium sebiferum. Functional Ecol. 21:721-730.
28
29
LAMPIRAN
30 Lampiran 1 Analisis tanah dari media tanam awal (tanah dan kompos kotoran sapi) Komposisi Tekstur (pipet)
Ekstrak 1:5
Pasir (%)
Nilai 4
Kriteria -
Debu (%)
28
-
Liat (%)
68
-
pH H2O
4.9
masam
4.5
-
pH KCl Bahan organik
HCl 25 %
DHL
dS/m
-
Walkley&Black C (%)
12.53
Kjeldhl N (%)
0.63
Sangat tinggi tinggi
C/N
20
tinggi
P2O5 mg/100 g
101
K2O mg/100 g
69
Sangat tinggi Sangat tinggi -
Olsen P2O5
ppm
-
Bray 1 P2O5
ppm
59.5
Morgan K2O
ppm
657
Sangat tinggi -
Nilai Tukar Kation (NH4 Acetat 1 N, pH 7)
Ca (cmol c/kg)
6.33
sedang
Mg (cmol c/kg)
1.75
sedang
K (cmol c/kg)
1.31
Na (cmol c/kg)
0.18
Sangat tinggi rendah
Jumlah (cmol c/kg)
9.57
-
KTK (cmol c/kg)
18.17
sedang
KB* (%)
Unsur makro & mikro Morgan
53
sedang
Al 3+ (cmol c/kg)
0.04
H+ (cmol c/kg)
0.19
Sangat rendah -
NH4 (ppm)
24.8
NO3 (ppm)
198.7
P (ppm)
2.1
Sangat tinggi Sangat tinggi rendah
K (ppm)
30.4
tinggi
Ca (ppm)
1108.7
Mg (ppm)
178.7
S (ppm)
36.3
Sangat tinggi Sangat tinggi rendah
Fe (ppm)
3.5
rendah
Al (ppm)
-
-
Mn (ppm)
100.3
Cu (ppm)
0.2
Sangat tinggi defisiensi
Zn (ppm)
2.6
cukup
B (ppm)
0.7
-
Keterangan : Contoh tanah dianalisis di Laboratorium Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor tahun 2012
31 Lampiran 2 Kondisi dan letak naungan paranet 0 %, 55 %, dan 90 %
Naungan 0 %
Naungan 55 %
Naungan 90 %
32 Lampiran 3 Analisis sidik ragam (ANOVA) Sumber
Naungan
Variabel tak bebas CFR
303.006
656.021
0.000
2
953.7
332.258
0.000
LWR
0.081
2
0.041
421.264
0.000
SLA
1351.967
2
675.983
192.261
0.000
LAR
85.01
2
42.505
157.518
0.000
130.5
2
652.3
121.924
0.000
14006.368
2
7003.184
150.825
0.000
0.013
2
0.007
144.74
0.000
CFR
408.938
2
204.469
442.684
0.000
RGR
471.9
2
235.9
82.194
0.000
LWR
0.034
2
0.017
175.173
0.000
SLA
3120.034
2
1560.017
443.696
0.000
LAR
434.788
2
217.394
805.632
0.000
NAR
513.4
2
256.7
479.81
0.000
2
12885.74
2
6442.87
138.758
0.000
PNUE
0.006
2
0.003
65.956
0.000
CFR
43.973
4
10.993
23.801
0.000
RGR
454.8
4
113.7
39.613
0.000
LWR
0.021
4
0.005
54.468
0.000
SLA
880.662
4
220.166
62.619
0.000
LAR
27
4
6.75
25.015
0.000
NAR
286.3
4
715.8
133.798
0.000
N (g/m2)
510.6
4
127.65
2.749
0.000
PNUE
0.004
4
0.001
22.565
0.000
CFR
22.221
2
11.11
24.055
0.000
RGR
740.7
2
370.4
0.129
0.880
LWR
0.001
2
0
2.724
0.096
SLA
97.294
2
48.647
13.836
0.000
LAR
1.886
2
0.943
3.494
0.055
NAR
204.1
2
102
1.907
0.181
2
1364.228
2
682.114
14.69
0.065
PNUE
248.8
2
124.4
0.274
0.764
0.462
N (g/m ) CFR
7.39
16
RGR
459.3
16
287
LWR
0.002
16
963.1
SLA
56.255
16
3.516
LAR
4.317
16
0.27
NAR N (g/m2) PNUE Total
Signifikan
2
N (g/m )
Galat
F hitung
0
PNUE
Ulangan
Kuadrat tengah
606.011
NAR
Naungan*Jenis tumbuhan
Derajat bebas
RGR
N (g/m2) Jenis tumbuhan
Jumlah kuadrat
856
16
535
742.921
16
46.433 453.8
0.001
16
CFR
6859.925
27
RGR
0.003
27
LWR
1.923
27
SLA
53363.181
27
LAR
3697.328
27
NAR
422.2
27
2
386331.902
27
PNUE
0.418
27
N (g/m )
33 Lampiran 4 Bobot kering dan jumlah umbi pada berbagai perlakuan naungan dan jenis tanaman Perlakuan naungan Naungan 0 %
Naungan 55%
Naungan 90%
Jenis tanaman
M. peltata M. micrantha I. batatas M. peltata M. micrantha I. batatas M. peltata M. micrantha I. batatas
Bobot kering umbi (g)
Jumlah umbi
0 0 15.2 0 0 2.3 0 0 0
0 0 4 0 0 3 0 0 0
34
Lampiran 5 Persentasi hidup M. peltata yang diperbanyak dengan stek pada berbagai cara dan variasi tanam No
1
2
3
4
5
Cara tanam Komposisi media tanam
Variasi tanam
Tanah, pasir,pupuk kompos kotoran hewan,arang (3:2:2:1) Tanah, pupuk kompos kotoran hewan (3:2) Tanah, pasir, pupuk kompos kotoran hewan (3:2:2) Tanah, arang (3:1) Tanah,pupuk kompos hijau,sekam, arang (3:2:1:1) Tanah Jumlah buku 2 buku pada stek 3 buku 5 buku 6 buku Kondisi stek Semua hijau Setengah berkayu Berkayu Jarak waktu dari Beberapa jam memotok stek 1 hari sampai ditanam 2 hari 3 hari 7 hari 10 hari Pembungkus Kertas koran kering kemasan dalam Kertas koran basah
Jumlah stek yang ditanam 100
Prosentasi hidup minggu ke-1 0%
Prosentasi hidup minggu ke-2 0%
Prosentasi hidup minggu ke-3 0%
Prosentasi hidup minggu ke-4 0%
100
0%
0%
0%
0%
100
0%
0%
0%
0%
100 100
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
100 30 30 30 30 100 100 100 50 50 50 50 50 50 50 50
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0% 0%
perjalanan
6
7
8
Tanam
Kondisi media tanam
Kemiringan stek batang ketika ditanam
9
Cara tanam
10
Ruangan tempat tumbuh
11
pestisida
Batang pisang Polibag berukuran kecil(diameter 5 cm) Dibungkus plastik
50 50
0% 0%
0% 0%
0% 0%
0% 0%
250
3/250 x 100 % = 1.2 % 0% 0%
3/250 x 100 % = 1.2 % 0% 0%
3/250 x 100 % = 1.2 % 0% 0%
Dibiarkan terbuka Di naungan paranet 65 % Diletakkan di bawah pohon Alas tanam tempat tanam ditutupi terpal Dibuat bedeng/gundukan Ditanam di polibag Ditanam di pot plastik Ditanam di gelas plastik bening Tegak Mendatar
100 100
3/250 x 100 % = 1.2 % 0% 0%
50
0%
0%
0%
0%
100
0%
0%
0%
0%
50
0%
0%
0%
0%
50 50 50
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
0% 0% 0%
100 150
Miring 45ᵒ Seperti M. micrantha Seperti I. batatas Rumah kaca
100 100 100 400
Lapangan terbuka Dethene Confidor Furadan Tanpa diberi pestisida
300 300 300 300 300
0% 1/150 x 100 % = 0.7 % 0% 0% 0% 3/400 x 100 % = 0.8 % 0% 0% 0% 0% 0%
0% 1/150 x 100 % = 0.7 % 0% 0% 0% 3/400 x 100 % = 0.8 % 0% 0% 0% 0% 0%
0% 1/150 x 100 % = 0.7 % 0% 0% 0% 3/400 x 100 % = 0.8 % 0% 0% 0% 0% 0%
0% 1/150 x 100 % = 0.7 % 0% 0% 0% 3/400 x 100 % = 0.8 % 0% 0% 0% 0% 0% 35
36 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 17 Januari 1976 sebagai anak sulung empat bersaudara dari ayah T.A. Subrata Wiriamihardja, S.H. dan ibu T. Heryati. Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Bogor pada tahun 1994 dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa S1 Jurusan Biologi IPB melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis menikah pada tahun 2001 dengan Rinaldy, S.Kom. dan telah dikaruniai dua orang anak, putra dan putri yaitu Muhammad Falah Akbar (11 tahun) dan Salma Noer (9 tahun). Penulis menjadi tenaga pengajar honorer di Jurusan Pendikan IPA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2002-2008. Pada tahun 2008-2009 menjadi CPNS di jurusan yang sama. Dan resmi diangkat sebagai PNS (Departemen Agama RI) pada tahun 2009. Penulis diterima sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana melalui jalur BPPS tahun 2010 pada Program Studi Biologi Tumbuhan IPB.