Kajian tentang Indikator Kerja yang Layak di Indonesia
Diah Widarti
Organisasi Perburuhan Internasional Desember 2007
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Copyright © Organisasi Perburuhan Internasional 2008 Cetakan Pertama, 2005 (versi Inggris) Publikasi-publikasi International Labour Office memperoleh hak cipta yang dilindungi oleh Protokol 2 Konvensi Hak Cipta Universal. Meskipun demikian, bagian-bagian singkat dari publikasi-publikasi tersebut dapat diproduksi ulang tanpa izin, selama terdapat keterangan mengenai sumbernya. Permohonan mengenai hak reproduksi atau penerjemahan dapat diajukan ke ILO Publications (Rights and Permissions), International Labour Office, CH 1211 Geneva 22, Switzerland. International Labour Office menyambut baik permohonanpermohonan seperti itu.
Organisasi Perburuhan Internasional “Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia” Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional, 2008 ISBN
978-92-2-818306-1 (print) 978-92-2-821148-1 (web pdf)
Juga tersedia dalam bahasa Inggris: “Review on labour market information/decent work indocators in Indonesia” (ISBN No. 978-92-2-118306-8). Jakarta, 2008
Penggambaran-penggambaran yang terdapat dalam publikasi-publikasi ILO, yang sesuai dengan praktikpraktik Persatuan Bangsa-Bangsa, dan presentasi materi yang berada didalamnya tidak mewakili pengekspresian opini apapun dari sisi International Labour Office mengenai status hukum negara apa pun, wilayah atau teritori atau otoritasnya, atau mengenai delimitasi batas-batas negara tersebut. Tanggung jawab atas opini-opini yang diekspresikan dalam artikel, studi dan kontribusi lain yang ditandatangani merupakan tanggung jawab pengarang seorang, dan publikasi tidak mengandung suatu dukungan dari International Labour Office atas opini-opini yang terdapat didalamnya. Referensi nama perusahaan dan produk-produk komersil dan proses-proses tidak merupakan dukungan dari International Labour Office, dan kegagalan untuk menyebutkan suatu perusahaan, produk komersil atau proses tertentu bukan merupakan tanda ketidaksetujuan. Publikasi ILO dapat diperoleh melalui penjual buku besar atau kantor ILO lokal di berbagai negara, atau langsung dari ILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland. Katalog atau daftar publikasi baru akan dikirimkan secara cuma-cuma dari alamat diatas.
Dicetak di Jakarta
Penyunting: Gita F. Lingga
2
Kata Pengantar
Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk Indonesia sangat terfokus pada upaya penyediaan lapangan kerja, pengentasan kemiskinan, dan peningkatan mata pencaharian penduduk. Hal ini merupakan hak dasar yang tercermin dalam Undang-Undang Dasar 1945, seperti tertuang di dalam pasal 27, yakni ”setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak.” Sebagai bagian dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium, mandat global dari Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization) adalah mempromosikan Pekerjaan yang Layak. Hal ini sejalan dengan strategi pembangunan menengah, mempromosikan Pekerjaan yang Layak bagi ILO berarti ”mempromosikan kesempatan yang sama bagi seluruh perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pekerjaan yang layak dalam kondisi yang bebas, sejajar, aman dan bermartabat.” Di Indonesia, ILO mendukung para konstituennya (Pemerintah melalui Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Serikat Pekerja dan Organisasi Pengusaha) untuk mempromosikan Pekerjaan yang Layak, yang terbangun dalam empat pilar: Prinsip-prinsip dan Hak-hak Mendasar di Tempat Kerja, Ketenagakerjaan, Perlindungan Sosial dan Dialog Sosial. Bagaimana pengukuran kemajuan dari Agenda Pekerjaan yang Layak dapat dilakukan? Yang lebih penting lagi, indikator-indikator seperti apa yang tersedia dalam konteks Indonesia dan mewakili keempat pilar pekerjaan yang layak? Siapa yang bertanggung jawab untuk memelihara informasi pasar kerja dan pangkalan data pekerjaan yang layak? Mekanisme seperti apa yang saat ini tersedia untuk melakukan pembaharuan data? Masalah-masalah inilah yang akan digali dalam publikasi ini. Publikasi ini dipersiapkan sebagai upaya untuk menentukan Indikator-indikator Pekerjaan yang Layak untuk Indonesia. Publikasi ini disusun oleh Diah Widarti dan meliputi isu-isu yang disebutkan di atas dalam upaya mengukur, memelihara, mengoordinasikan dan menggunakan indikatorindikator pekerjaan yang layak sebagai dasar bagi pengembangan kebijakan. Saya percaya, publikasi ini memberikan sumbangan yang berarti dalam mengukur kemajuan Pekerjaan yang Layak bagi perempuan dan laki-laki di Indonesia. Jakarta, Desember 2007
Alan Boulton Direktur Kantor ILO Jakarta
3
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
4
Daftar Isi Pengantar
3
Daftar Isi
5
Daftar Kata
6
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
PENGANTAR PENGANT AR
9
1.1. Latar belakang
9
1.2. Konsep dan indikator
9
1.3. Tujuan
13
1.4. Metodologi
14
1.5. Susunan laporan
14
PENGUMPULAN DAN PENYEBARAN DA TA DI INDONESIA DAT
15
2.1. Peratuan
15
2.2. Lembaga yang bertanggung jawab
17
2.3. Sumber dan sistem pengumpulan data
19
2.4. Karakteristik data
31
2.5. Distribusi
33
AS DAN KETERSEDIAAN DA TA INDIKA TOR KERJA Y ANG LA YAK: KUALIT KUALITAS DAT INDIKATOR YANG LAY
35
3.1. Konsistensi dan perbandingan
35
3.2. Kelebihan dan kekurangan
36
3.3. Indikator kerja yang layak: kesenjangan data
37
3.4. Dampak otonomi daerah pada pengumpulan data
47
MEKANISME KOORDINASI INFORMASI INDIKA TOR KERJA LA YAK Y ANG INDIKATOR LAY YANG SUDAH ADA
51
4.1. Mekanisme koordinasi LMI/DWI yang sudah ada di Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
51
4.2. Hubungan
53
4.3. Tantangan
56
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
59
5.1. Kesimpulan
59
5.2. Rekomendasi
59
REFERENSI
61
5
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Daftar Akronim
BALITFO
Board of Research, Development and Information (Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi)
BAPPEDA
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BPS
Badan Pusat Statistik
DIRJEN
Direktorat Jenderal
DKD
Dewan Ketenagakerjaan Daerah
DKN
Dewan Ketenagakerjaan Nasional
DPBH
Direktori Perusahaan Berbadan Hukum
DPD
Dewan Pengupahan Daerah
DPN
Dewan Pengupahan Nasional
GDP
Gross Domestic Product (Pendapatan Bruto Nasional)
HPH
Hak Penguasaan Hutan
ILO
International Labour Organization (Organisasi Perburuhan Internasional)
IPK
Izin Pengumpulan Kayu
ISCO
International Standard Classification of Occupation
Jamsostek
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Kabupaten
Distrik
Kecamatan
Sub-distrik
KILM
Key Indicators of Labour Market (Indikator Kunci Pasar Kerja)
LFP
Labour Force Participation (Partisipasi Tenaga Kerja)
LMI
Labour Market Information (Informasi Pasar Kerja)
Depnakertrans
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
PEP
Program, Evaluation and Reporting (Program, Evaluasi dan Pelaporan)
PMT
Pemukiman Masyarakat Tertinggal
PODES
Survei Potensi Desa
PTKD
Perencanaan Tenaga Kerja Daerah
PTKN
Perencanaan Tenaga kerja Nasional
6
PUSDATIN NAKER
Pusat Data dan Informasi Tenaga Kerja
SAKERDA
Survei Tenaga Kerja Daerah
SAKERNAS
Survei Angkatan Kerja Nasional
SH
Survei Hotel
SIBS
Survei Industri Besar-Sedang
SKKR
Survei Industri Kecil dan Kerajinan Rumah tangga
SPSI
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia
STKU
Survei Triwulanan Kegiatan Usaha
SUB
Survei Upah Buruh
SUPAS
Survei Penduduk Antar Sensus
SUSENAS
Survei Sosial Ekonomi Nasional
SUSI
Survei Usaha Kecil dan Rumah Tangga Terintegras
PBB
Persatuan Bangsa-Bangsa
UNDP
United Nations Development Programme (Program Pembangunan PBB)
7
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
8
BAB
1
Pengantar
1.1. Latar belakang Pekerjaan yang layak merupakan konsep luas dengan beragam aspek. Beberapa dari aspek tersebut dapat lebih mudah diukur dibanding dengan aspek lainnya, karena adanya ketersediaan statistik. Kerja yang layak merupakan dimensi dasar dari kualitas kehidupan. Tak bisa diingkari kerja merupakan bagian besar kehidupan dalam artian jumlah waktu, integrasi sosial, dan kepercayaan individual. Kerja produktif adalah sumber utama pendapatan bagi sebagian besar orang dan merupakan dorongan untuk pembangunan yang berkesinambungan. Oleh karena itu, promosi pekerjaan yang layak untuk semua menjadi tujuan utama Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), yang mendeskripsikan kerja yang layak sebagai “kesempatan bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan produktif secara bebas, setara, aman, dan bermartabat”.1 Meskipun aspek khusus dari kerja yang layak beragam antara satu negara dengan negara yang lain, atau antara satu orang dengan orang yang lain, konsep dan elemen dasar dari kerja layak bersifat universal. Kerja yang layak dipercaya berkontribusi penting atas pembangunan yang berkesinambungan, selain merupakan elemen penting sebagai pengakuan hak.
1.2. Konsep dan definisi kerja yang layak2 Konsep “kerja yang layak” diluncurkan pertama kali pada 1999 dalam Laporan Direktorat Jenderal pada pertemuan Konferensi Perburuhan Internasional Sesi ke-87. Idenya adalah mengemukakan beragam dimensi luas yang berkaitan dengan ketenagakerjaan yang kemudian dirangkum dalam kalimat yang dapat dimengerti oleh semua orang. Pekerjaan yang layak dirinci ke dalam komponen ketenagakerjaan, jaminan sosial, hak pekerja dan dialog sosial. Kerja yang layak diaplikasikan bukan hanya kepada para pekerja di dalam sektor ekonomi formal, tetapi juga para pekerja tanpa peraturan upah, wirausaha, serta pekerja rumah (lihat Ghai, 2003).
1
Lihat Anker, R. 2001. “ILO Multi-country database.” ILO, Jenewa.
2
Bagian ini didasarkan pada artikel Indikator Kerja yang Layak oleh Ghai, D. 2003.
9
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Kesempatan kerja Kesempatan kerja dalam hal ini meliputi dimensi kualitatif dan kuantitatif. Yang terpenting dari pekerjaan yang layak adalah pekerja harus mendapatkan keuntungan dari “remunerasi” pekerjaan, sebagai salah satu elemen dari “kualitas” kerja. Hal ini mengacu kepada kesempatan yang cukup atas remunerasi (baik dalam bentuk tunai atau lainnya), dan meliputi keselamatan kerja, serta tempat kerja yang sehat. Elemen-elemen yang tercakup adalah kondisi kerja yang juga meliputi kerja di malam hari, jam kerja, libur di akhir minggu, dan santunan saat berhenti kerja.
Jaminan sosial Jaminan sosial dan pendapatan merupakan komponen penting yang berkaitan dengan tingkat dan kapasitas pembangunan masyarakat. Jaminan sosial mencakup kebutuhan mendesak seseorang dan untuk memberikan perlindungan atas kejadian yang tidak terduga, di mana jaminan tersebut merupakan aspek penting dari kerja yang layak. Ada dua jenis indikator yang pada umumnya digunakan untuk menilai kecukupan jaminan sosial, antara lain: (1) pengeluaran publik untuk jaminan sosial sebagai proporsi PDB, dan (2) cakupan pekerja di dalam skema jaminan sosial. Indikator pertama menilai sumber daya publik yang dialokasikan untuk kepentingan sosial tanpa memikirkan efektivitas di mana sumber daya akan digunakan, atau masuk ke dalam skema privat untuk perlindungan sosial. Meskipun demikian, indikator ini memberikan gambaran akan cakupan jaminan sosial. Pengukuran jaminan sosial juga menyediakan informasi mengenai proporsi dari kategori perlindungan pekerja yang relevan terhadap keadaan darurat yang berbeda-beda. Sebagian besar negara industri dan transisi menyediakan perlindungan untuk risiko-risiko yang dihadapi oleh mayoritas pekerja. Namun di sebagian besar negara berkembang, cakupan hanya terbatas kepada pekerja di sektor ekonomi formal (kecuali untuk layanan kesehatan).
Hak dasar di tempat kerja Komponen dari hak dasar pekerja meliputi kebebasan berserikat, non-diskriminasi di tempat kerja, dan tidak adanya pekerja paksa dan pekerja anak. Hak pekerja menjadi perhatian utama ILO sejak adanya pekerja paksa, pekerja anak di setiap kondisi buruk, diskriminasi di tempat kerja, dan kebebasan berserikat. Selain mengembangkan dan mengadopsi serangkaian standar internasional yang mendefinisikan hak-hak berikut pelanggarannya, ILO pun mengelaborasi kondisi dan panduan untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak tersebut.
Pekerja paksa Pekerja paksa di zaman modern dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk termasuk situasi sejenis perbudakan, buruh yang terikat, dan buruh yang ditahan. Hal ini juga dapat tejadi dalam bentuk kerja wajib untuk pendidikan, masyarakat dan proyek pemerintah. Konvensi pertama ILO mengenai Buruh Paksa No. 29 diadopsi pada 1930. Dan Konvensi Penghapusan Kerja Paksa 1957 (No. 105), melarang segala bentuk kerja paksa untuk tujuan tertentu, termasuk kekerasan
10
politik, perkembangan ekonomi dalam bentuk diskriminasi ras, sosial, atau agama. Konvensi No. 29 dan No. 105 diterapkan kepada seluruh pekerja di semua kategori.
Pekerja anak Meskipun ILO sangat memperhatikan isu pekerja anak sejak lama, baru kali ini saja isu ini menarik perhatian besar pemerintah, lembaga internasional, organisasi masyarakat sipil, dan media massa. Konvensi Pekerja Anak yang pertama adalah Konvensi (No.5). Sedangkan Konvensi Usia Minimum (Industri) diadopsi pada 1919, yakni saat organisasi ini pertama kali didirikan. Konvensi ini mendefinisikan usia minimum kerja, yaitu 14 tahun, dan melarang penggunaan anak sebagai buruh di perusahaan industri. Konvensi Usia Minimum No.138 yang diadopsi pada 1973 menghubungkan usia minimum untuk masuk ke dalam angkatan kerja dengan usia minimum berhenti sekolah. Pada 1999 negara anggota mengadopsi Konvensi No.182 mengenai Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang melarang dan menghapus pekerja anak untuk perbudakan, prostitusi, pornografi, penjualan obat-obat terlarang, pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Pekerja anak tersebar di negara-negara berkembang. Estimasinya mencapai 206 juta pada 2000 (ILO, 2002). Partisipasi angkatan kerja anak dapat digunakan untuk mengukur jumlah pekerja anak. Tingkat anak yang tidak terdaftar sekolah juga telah disarankan sebagai alat ukur pendukung terhadap partisipasi angkatan kerja anak (Mehran, 2000; Kucera, 2001). Keberadaan pekerja anak tergantung pada pendapatan per kapita.
Diskriminasi di tempat kerja Diskriminasi di tempat kerja berhubungan dengan perlakuan dan kesempatan yang tidak sama bagi individu atas hak mereka sebagai anggota kelompok sosial. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 mengenai Diskriminasi (Pekerjaan) mengidentifikasi tindak diskriminasi dengan adanya perlakuan pembedaan, pemilihan yang didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, aspirasi politik, negara asal, yang dapat berdampak pada ketidaksetaraan kesempatan atau perlakuan di dalam pekerjaan (Pasal 1 (a)). Kendati diskriminasi paling sering mengacu pada jender, namun kadang juga menyasar pada basis lain. Untuk mengukur diskriminasi jender, seseorang dapat menggunakan empat indikator, antara lain: (a) tingkat partisipasi angkatan kerja atau rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia kerja perempuan, (b) tingkat pengangguran, (c) perbedaan pendapatan dan tunjangan lainnya, serta (d) distribusi pekerjaan terampil. Indikator ini akan menunjukkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan seperti ini dapat terjadi dengan alasan apa pun, termasuk diskriminasi, kurangnya latar belakang pendidikan, rendahnya keterampilan dan produktivitas (lihat Anker, 1998). Oleh karena itu, kesenjangan perlu dianggap sebagai indikator tidak langsung dari diskriminasi di tempat kerja. Rasio kesempatan kerja terhadap penduduk usia kerja menunjukkan kesenjangan di dalam kesempatan kerja. Kesempatan bagi laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih baik pada umumnya lebih besar daripada perempuan. Tingkat pengangguran laki-laki dan perempuan merupakan indikator lain dari kesenjangan jender di dalam kesempatan kerja.
11
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Kebebasan berserikat ILO telah memperhatikan hak pekerja dan pemberi kerja agar membentuk organisasi independen untuk membela hak masing-masing, untuk mengorganisasikan kegiatan bersama dan untuk berpartisipasi di dalam negosiasi dan diskusi yang memengaruhi kepentingan mereka (ILO, 2000a; ILO, 2000b). Kebebasan berorganisasi sebagai hak dasar diambil dari dokumen kunci PBB seperti Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sejumlah indikator dapat dianjurkan untuk menilai kebebasan berorganisasi. Salah satunya adalah jumlah atau proporsi pekerja yang berpartisipasi di dalam organisasi yang berkaitan dengan pekerjaan. Di dalam negara industri, indikator yang paling sering digunakan mengacu kepada proporsi angkatan kerja atau pekerja berupah yang menjadi anggota serikat pekerja— disebut “tingkat kepadatan berserikat”. Umumnya, semakin padat serikat tersebut, semakin kuat pembelaan kepentingan pekerja dalam bernegosiasi dengan pemberi kerja dan pemerintah, serta partisipasi pekerja dalam memengaruhi pekerjaannya juga semakin besar. Meskipun demikian, menurut Jose (2002), kepadatan serikat bukan merupakan cerminan langsung dari kebebasan berserikat. Efektivitas serikat pekerja bergantung pada tradisi, sistem politik, struktur serta hubungan industri. Seperti diungkapkan Ghai (2003), negara yang menikmati tingkat kebebasan berorganisasi yang setara menunjukkan perbedaan besar di dalam kepadatan serikat. Relevansi kepadatan ini menjadi indikator kebebasan berorganisasi semakin terbatas di negara berkembang, karena sedikitnya angkatan kerja yang berada di dalam ekonomi sektor formal. Hal ini terjadi karena mayoritas pekerja di dalam negara berkembang merupakan pekerja di bidang pertanian, wirausaha dan pekerja di dalam ekonomi sektor informal—seperti pekerja keluarga tidak dibayar dengan pekerjaan berkualitas rendah, kurang aman, dan memiliki pengaruh yang lebih lemah dibanding dengan segmen pekerja lainnya. Oleh karena itu, mereka memiliki kebutuhan yang lebih besar atas organisasi untuk dapat mewakili, menjalankan negosiasi serta mempromosikan kegiatan bersama.
Dialog sosial Komponen dialog sosial mencerminkan kondisi di mana para pekerja dapat menerapkan haknya untuk mengajukan pendapat, membela kepentingannya dan terlibat di dalam diskusi untuk menegosiasikan sejumlah hal terkait pekerjaan dengan pemberi kerja dan pemangku kebijakan.3 Dialog sosial yang paling dekat adalah di tempat kerja. Dialog ini dapat terjadi di antara para pekerja dan asosiasi perwakilan dengan perwakilan kelompok pemberi kerja.
Perundingan kolektif Dialog sosial mempromosikan kesetaraan, efisiensi, dan penyesuaian, sehingga dapat mendorong kemajuan ekonomi yang berkesinambungan. Dialog ini dapat dilakukan pada salah satu dari tiga tingkat: antara pemberi kerja dengan pekerja terkait kondisi dan peraturan kerja; antara manajemen dan pekerja mengenai fungsi perusahaan; dan antara mitra sosial dengan wewenang publik mengenai kebijakan sosial dan ekonomi. Jelas bahwa kebebasan berorganisasi berkaitan erat dengan dialog sosial (Ghai, 2003). Indikator yang digunakan dalam dialog sosial adalah anggota 3
12
Lihat D. Ghai. 2003. Decent Work: Concept and Indicators. ILO, Jenewa
serikat sebagai proporsi dari semua jumlah pekerja, atau kepadatan serikat di sebuah negara. Di banyak negara, dialog sosial terjadi dalam bentuk perundingan kolektif antara serikat pekerja dengan organisasi pemberi kerja, baik di tingkat perusahaan, industri atau nasional, sesuai dengan sifat perusahaan, baik milik negara atau miliki swasta. Indikator yang dapat digunakan untuk mengukur hak perundingan kolektif adalah persyaratan hukum dan administratif, serta hasil perundingan tersebut. Sehubungan dengan indikator pertama, Konvensi No. 87 dan No. 98 mengelaborasi norma internasional mengenai prinsip dan prosedur perundingan kolektif. Sementara Konvensi Perundingan Kolektif No. 154 Tahun 1981 melengkapi Konvensi 8 sebelumnya. Tingkat ratifikasi Konvensi ILO yang relevan dapat memberikan suatu indikator perundingan kolektif. Indikator yang lebih efektif adalah bila didasarkan pada pemeriksaan hukum nasional dan evaluasi dari beragam kriteria mengenai perundingan kolektif. Laporan ILO dan organisasi lain seperti ICFTU dan lembaga hak asasi manusia, dapat menjadi sumber informasi tambahan. Jenis indikator kedua didasarkan pada efektivitas perundingan kolektif. Pada dasarnya hal ini diukur melalui proporsi pekerja yang tercakup dalam kesepakatan perundingan kolektif.
Demokrasi ekonomi Aspek lain dari dialog sosial meliputi partisipasi pekerja dalam fungsi perusahaan, baik di dalam ekonomi sektor formal maupun informal. Partisipasi pekerja bisa meliputi bidang yang luas, mulai dari perwakilan lembaga pemerintahan dan komite manajemen hingga memainkan peranan aktif di dalam administrasi dan pelatihan program pengembangan sumber daya manusia. Tidak ada bentuk pengukuran sederhana dari demokrasi ekonomi. ILO tidak menyediakan panduan khusus mengenai partisipasi pekerja, meskipun Kerjasama pada Tingkat Rekomendasi No. 94 Tahun 1952 dan Rekomendasi Konsultasi (Tingkat Industri dan Nasional) No. 113 tahun 1960 menggambarkan kerangka kerja untuk tujuan ini. Pendekatan yang paling baik untuk mengembangkan indikator di bidang ini harus melalui pengkajian detail pada bidang hukum, lembaga, prosedur, dan praktik yang berkaitan dengan beragam aspek partisipasi pekerja di berbagai negara. Pendekatan serupa—namun sedikit lebih sulit untuk diterapkan—juga diperlukan untuk menilai partisipasi pekerja di dalam sektor ekonomi negara berkembang. Hal ini akan mengkaji bukan hanya ekonomi sektor formal, tetapi juga pola dan mekanisme partisipasi pada jenis-jenis hubungan lain.
1.3. Tujuan Tujuan jangka panjang Untuk menyediakan informasi dan pengetahuan bagi pembuat kebijakan dan mitra sosialnya sehingga mereka dapat menyusun kebijakan pasar kerja yang efektif.
Tujuan jangka pendek Untuk mengkaji mekanisme informasi pasar kerja di Indonesia sebagai dasar untuk meningkatkan mekanisme koordinasi pengumpulan data untuk pangkalan data Indikator mengenai Pekerjan yang Layak.
13
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
1.4. Metodologi Untuk mencapai tujuan tersebut, metode yang digunakan adalah: Mengkaji dokumen informasi pasar kerja di Indonesia. Mengunjungi lembaga terkait untuk memahami hubungan kerja Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) dengan kantor pusat dan daerah mengenai informasi pasar kerja terutama indikator kerja yang layak. Mewawancarai pihak terkait.
1.5. Susunan laporan Laporan ini terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pengantar. Bab ini menyajikan latar belakang, konsep dan indikator, tujuan, metodologi dan susuna laporan. Bab kedua menyajikan pengumpulan dan penyebaran data di Indonesia termasuk legislasi yang mengatur pengumpulan dan penyebaran data serta lembaga yang bertanggung jawab. Bab tiga membahas indikator pekerjaan yang layak terkait kualitas dan ketersediaan data. Bab empat mengkaji mekanisme informasi pasar kerja yang sudah ada, terutama mengenai indikator kerja yang layak di dalam Depnakertrans. Dan, bab terakhir menggambarkan kesimpulan dan rekomendasi.
14
BAB
2
Pengumpulan dan Distribusi Data di Indonesia Bab ini membahas pengumpulan dan distribusi data di Indonesia terkait ketenagakerjaan dan perburuhan, terutama tentang indikator pekerjaan yang layak. Pembahasan dalam bab ini juga berhubungan dengan aspek legislatif pengumpulan data dan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas aktivitas tersebut. Pada bagian terakhir bab ini akan membahas sumber dan sistem pengumpulan serta distribusi, diikuti dengan bagian-bagian mengenai karakteristik data dan sumber.
2.1. Legislasi Undang-Undang mengenai Statistik di Indonesia Undang-Undang Republik Indonesia No. 16 Tahun 1997 mengenai Statistik menyatakan bahwa segala kegiatan statistik sebaiknya melaksanakan untuk hal-hal berikut: (a) Mendukung pembangunan nasional. (b) Mengembangkan suatu sistem statistik nasional yang efektif, efisien, serta dapat diandalkan. (c) Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai signifikansi dan fungsi statistik. (d) Mendukung perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mengimplementasikan kegiatan statistik pemerintah menunjuk Badan Pusat Statistik (BPS), yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Lembaga yang memiliki perwakilan-perwakilan daerah secara vertikal ini bertanggung jawab untuk pengumpulan data statistik dasar.4 Statistik dasar adalah jenis statistik yang dapat digunakan dalam cakupan yang luas untuk memenuhi berbagai kepentingan pemerintah maupun komunitas, dan memiliki karakteristik lintas sektoral. Statistik dasar berada dalam skala makro dan nasional, dan akan menjadi tanggung jawab dari BPS. Statistik dasar mencakup statistik dalam bidang ekonomi, kesejahteraan sosial dan bidang-bidang lainnya, yang telah maupun akan dikembangkan oleh BPS. Undang-undang tersebut juga menyatakan metode pengumpulan data statistik dapat menggunakan sensus, survei, kumpulan berbagai produk administratif; dan metode-metode lain 4
Statistik, seperti dinyatakan dalam Undang-Undang Indonesia No. 16 Tahun 1997, dibedakan menjadi statistik dasar, statistik sektoral dan data administratif. Statistik dasar dapat diperoleh melalui sensus, survei, kombinasi berbagai produk administrasi, atau metode-metode lain yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Metode-metode ini dapat dilaksanakan secara periodik, secara kontinyu atau pada waktu yang ditentukan oleh Kepala BPS sesuai dengan kebutuhan data, dan dapat dikelola secara sentralistik, desentralisasi, de-konsentrasi (didanai oleh kantor pusat namun diimplementasikan di daerah-daerah), atau kombinasi dari metode-metode tersebut terkait dengan kualitas dari data yang diperoleh.
15
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sensus ini dilaksanakan setiap 10 tahun mencakup sensus penduduk, sensus pertanian, dan sensus ekonomi. Sementara survei dilaksanakan secara periodik atau dapat dilakukan sewaktu-waktu jika terdapat kebutuhan untuk memperoleh data yang terperinci. Kumpulan produk administratif diperoleh dari berbagai dokumen atau data yang haknya dimiliki lembaga pemerintah namun juga tersedia untuk kepentingan masyarakat—kecuali dinyatakan lain dalam aspek hukum yang berlaku. Meskipun demikian, walaupun undang-undang menyatakan bahwa “… setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk mengakses kumpulan dari berbagai produk administratif yang dimiliki oleh lembaga non pemerintah, suatu organisasi, individu atau bagian lain dari komunitas, namun ia harus tetap menghormati hak-hak individu atau lembaga yang dilindungi hukum…..” terkadang informasi tidak dapat dibagikan atau didistribusikan secara bebas sesuai dengan tata cara yang berlaku kepada segala pihak yang membutuhkan. Atau dimungkinkan diperoleh dengan mengajukan permohonan atas akses terhadap informasi tersebut. Berkenaan dengan statistik sektoral, Pasal 12 dari Undang-Undang No. 16 Tahun 1997 menyatakan bahwa suatu lembaga pemerintah akan mengumpulkan statistik sektoral sesuai dengan cakupan tugas dan fungsinya, baik secara mandiri maupun bekerja sama dengan BPS. Saat mengumpulkan statistik sektoral, lembaga pemerintah tersebut mengumpulkan data dengan survei, kumpulan berbagai produk administratif; dan metode-metode lain yang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Statistik sektoral harus dikumpulkan bersama-sama dengan BPS apabila statistik tersebut hanya dapat diperoleh melalui sensus dan hendaknya dikumpulkan dalam skala nasional. Hasil dari aktivitas statistik sektoral apabila dilaksanakan oleh suatu lembaga pemerintah secara independen harus diserahkan kepada BPS.
Prinsip-prinsip dasar Sebagai upaya untuk melaksanakan mandat mengenai statistik resmi, pemerintah Indonesia mengikuti 10 prinsip yang sejalan dengan Prinsip-prinsip Dasar Statistik Resmi dari Komisi Statistik PBB (Fundamental Principles of Official Statistics of the United Nations Statistical Commission),5 yaitu: 1. Relevansi, objektivitas dan akses yang setara Statistik resmi merupakan suatu elemen yang sangat berharga dalam sistem informasi sebuah masyarakat, karena dapat melayani pemerintah, ekonomi dan masyarakat dengan data mengenai situasi ekonomi, demografis, sosial, dan lingkungan hidup. Untuk kepentingan tersebut statistik resmi yang memenuhi kriteria pemanfaatan praktis harus dikumpulkan dan disediakan secara setara oleh lembaga statistik resmi guna menghargai hak warga negara untuk memperoleh informasi publik. 2. Standar dan etika profesional Untuk menjaga kepercayaan terhadap statistik resmi, lembaga-lembaga statistik perlu memutuskan sesuai dengan pertimbangan profesional, termasuk prinsip-prinsip ilmiah dan etika profesional, metode dan prosedur pengumpulan, pengolahan, penyimpanan dan penyajian data statistik. 5
16
Lihat situs Badan Pusat Statistik: www.bps.go.id
3. Akuntabilitas dan transparansi Untuk memfasilitasi interpretasi data yang tepat, lembaga-lembaga statistik harus menyediakan informasi sesuai dengan standar ilmiah mengenai sumber-sumber, metode dan prosedur dari statistik. 4. Pencegahan penyalahgunaan Lembaga-lembaga statistik berhak untuk memberikan komentar mengenai kesalahan interpretasi dan penyalahgunaan statistik. 5. Sumber statistik resmi Data untuk kepentingan statistik dapat diperoleh dari berbagai jenis sumber, baik survei statistik atau data administratif. Lembaga-lembaga statistik dapat memilih sumber dengan mempertimbangkan kualitas, kesesuaian, biaya dan beban kepada responden. 6. Kerahasiaan Data individual yang dikumpulkan oleh lembaga-lembaga statistik untuk kompilasi data statistik, baik saat data tersebut mengacu kepada orang-orang secara alamiah atau secara hukum, harus dijaga dengan baik kerahasiaannya dan digunakan hanya untuk kepentingan statistik saja. 7. Legislatif Undang-undang, peraturan, dan langkah-langkah yang diambil dalam pengoperasian sistem statistik harus dipublikasikan kepada masyarakat. 8. Koordinasi nasional Koordinasi di antara lembaga-lembaga statistik antar negara sangat penting untuk mencapai konsistensi dan efisiensi dalam sistem statistik. 9. Penggunaan standar internasional Penggunaan konsep, klasifikasi, dan metode internasional oleh lembaga-lembaga statistik di tiap negara dapat menunjang terciptanya konsistensi dan efisiensi sistem statistik pada segala level pemerintahan. 10. Kerjasama internasional Kerjasama bilateral dan multilateral dalam aspek statistik memberikan kontribusi terhadap kemajuan sistem statistik resmi di seluruh negara. Namun sangat disayangkan, baik dalam prinsip-prinsip mendasar maupun dalam praktiknya tidak disebutkan mengenai ketepatan ketersediaan publikasi data.
2.2. Lembaga-lembaga yang bertanggung jawab Seperti telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, pekerjaan yang layak ditunjukkan melalui empat komponen, yaitu (1) hak di tempat kerja, (2) kesempatan kerja (3) perlindungan sosial dan (4) dialog sosial.
17
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Berdasarkan komponen dan indikator-indikator yang tercakup dalam setiap komponen, terdapat dua lembaga penting yang menangani masalah pengumpulan dan distribusi infomasi pasar kerja termasuk indikator-indikator pekerjaan yang layak, yaitu BPS dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans). Indikator ketenagakerjaan makro dapat disediakan oleh BPS karena lembaga ini bertugas untuk mengumpulkan dan mendistribusikan masalah angkatan kerja serta masalah yang terkait dengan ketenagakerjaan. Sementara itu, indikator-indikator spesifik seperti dialog sosial dan perlindungan sosial, yang bersifat khusus dapat diperoleh dari data administratif yang dikumpulkan oleh Depnakertrans.
Badan Pusat Statistik6 BPS sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang dibentuk berdasarkan hukum dan peraturan7, adalah suatu lembaga yang bertanggung jawab terhadap pengumpulan dan distribusi data dan bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Fungsi BPS adalah: Menyediakan data kepada pemerintah dan masyarakat. Data tersebut diperoleh dari kegiatan statistik komprehensif, yang terdiri dari informasi periodik mengenai struktur dan pertumbuhan ekonomi, perubahan sosial, dan pembangunan. Statistik-statistik tersebut dapat diperoleh dari penelitian dan survei yang dilakukannya sendiri maupun dari departemen pemerintah lainnya sebagai data sekunder. Membantu divisi statistik departemen-departemen pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya dalam mengembangkan sistem statistik yang dibutuhkan guna merancang program kerja dan skema laporan periodik. Mengembangkan dan mendukung standar-standar yang harus diikutsertakan dalam implementasi teknik dan metode statistik, serta untuk menyediakan jasa yang dibutuhkan dalam bidang pendidikan dan pelatihan statistik. Menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional dan negara-negara lain untuk memberikan manfaat terhadap perkembangan statistik di Indonesia. Dengan fungsi-fungsi tersebut, BPS mengumpulkan berbagai data dan informasi, termasuk tentang ketenagakerjaan.
6
Menurut Undang-Undang No. 7 Tahun 1960 mengenai Statistik, badan ini dinamakan Biro Pusat Statistik, dan kemudian diganti menjadi Badan Pusat Statistik.
7
UU No. 16 Tahun 1997 mengenai Statistik dan legislasi lainnya; Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1999 tentang Kegiatan Statistik; Keputusan Presiden No. 166 Tahun 2000 mengenai Status, Tugas, Fungsi, Wewenang dan Struktur Organisasi dari Institusi Pemerintah non-Departemen; Keputusan Presiden No. 178 Tahun 2000 mengenai Struktur Organisasional dan Tugas dari Institusi Pemerintah non-Departemen; Keputusan Presiden No. 163 Tahun 1998 mengenai Sekolah Tinggi untuk Statistik; UU Eksekutif No. 001 Tahun 2001 mengenai Organisasi dan Tugas BPS; UU Eksekutif No. 101 Tahun 1998 tentang Organisasi dan Tugas dari Sekolah Tinggi untuk Statistik.
18
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) Unit kerja dalam Depnakertrans yang bertanggung jawab untuk pengumpulan dan distribusi data adalah Pusat Data dan Informasi Tenaga Kerja (Pusdatin Naker). Pusat ini berada di bawah yurisdiksi Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi untuk Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Fungsi dari pusat tersebut adalah melaksanakan manajemen, penyajian, distribusi dan layanan data dan informasi tenaga kerja (mencakup data dan informasi mengenai pelatihan, penempatan, pengawasan standar kerja, hubungan industrial, produktivitas pekerja, perencanaan tenaga kerja dan masalah-masalah ketenagakerjaan secara umum). Fungsi lainnya adalah: Memformulasikan program-program manajemen, presentasi, distribusi dan layanan data serta informasi tenaga kerja. Mengumpulkan, membangun bank data, dan mengolah data dan informasi tenaga kerja. Menganalisa, menyajikan, mendistribusikan layanan data dan informasi tenaga kerja. Mengoordinasikan implementasi program dalam manajemen penyajian, distribusi, dan layanan data serta informasi tenaga kerja. Layanan-layanan yang disediakan oleh Pusat Informasi Tenaga Kerja ditujukan untuk: Menyediakan data dan informasi baik secara off-line maupun on-line untuk para pembuat kebijakan, pelaksana teknis, dan masyarakat. Memfasilitasi layanan informasi terhadap pemerintah dan masyarakat serta penggunapengguna lain. Meningkatkan fasilitas terhadap transaksi data dan informasi secara on-line. Mengintegrasikan data dan informasi tenaga kerja. Mengembangkan jaringan manajemen untuk informasi di pusat (internal dan lintas sektor) dan daerah.
2.3. Sumber dan sistem pengumpulan data Data yang berkaitan dengan ketenagakerjaan dan pekerja di Indonesia berasal dari sensus, survei, atau data administratif. Penjelasan terperinci mengenai kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut8
Sensus Sensus merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan menghitung seluruh unit penduduk dalam negara untuk memperoleh karakteristik penduduk dalam satu waktu tertentu. Sensus di Indonesia mencakup sensus penduduk, sensus pertanian dan sensus ekonomi. Data mengenai tenaga kerja tercakup dalam sensus penduduk. Sensus penduduk di Indonesia dilaksanakan setiap 10 tahun sekali untuk mengumpulkan informasi umum mengenai penduduk dengan satu bagian terfokus kepada struktur ketenagakerjaan dan 8
Bagian ini sebagian besar mengambil referensi dari Hananto Sigit, 2000. “Employment data in Indonesia.”
19
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
angkatan kerja. Di antara tahun-tahun sensus terdapat sebuah survei penduduk antar sensus (Supas) yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan akan data yang lebih baru. Sebagai perbandingan dengan data sensus, Supas menggunakan pertanyaan-pertanyaan sama yang terdapat dalam sensus sampel.
Sensus pertanian Sensus pertanian menggunakan baik rumah tangga maupun lembaga sebagai unit penghitungan. Karena aktivitas ekonomi mayoritas penduduk berada di sektor pertanian, sebagian besar data dikumpulkan dari rumah tangga—walaupun beberapa di antaranya dikumpulkan pula dari sejumlah lembaga. Dengan berbagai ragam sub-sektor dan ragam komoditas, pengumpulan data dalam sensus pertanian menjadi sangat kompleks. Secara lebih lanjut, aktivitas pertanian rumah tangga reguler harus dipisahkan dari aktivitas ekonomi di bidang pertanian untuk nafkah dan hanya aktivitas ekonomi di bidang pertanian yang harus dimasukkan dalam sensus tani. Kendati pengumpulan data dari lembaga-lembaga pertanian juga sangat kompleks, namun lebih mudah daripada rumah tangga pertanian, karena definisi lembaga pertanian lebih jelas dan jumlah dari lembaga tersebut juga masih dapat dikelola dengan mudah. Sensus pertanian dilaksanakan pada tahun 1963, 1973, 1983, 1993 dan 2003. Sektor pertanian menyediakan kesempatan kerja terbesar di Indonesia meskipun kesempatan kerja tersebut berada pada standar hidup rendah. Sensus pertanian disusun menjadi beberapa tahap pengumpulan data yang ditujukan untuk menangkap aktivitas dari setiap sub-sektor dan menjangkau area-area yang penting terhadap program pemerintah. Pada dasarnya, sensus ini terdiri dari dua bagian. Pertama, pengumpulan data secara lengkap yang mencakup lembaga pertanian, unit koperasi desa dan “Survei Potensi Desa”. Bagian kedua adalah “sensus sampel” dari rumah tangga pertanian, petani pemilik tanah dan “rumah tangga sub-sektor pertanian”. Data ketenagakerjaan dibedakan berdasarkan jenis kelamin, pendidikan, serta tipe kerja. Apakah bekerja sebagai staf administratif, pekerja lapangan, buruh pabrik, sebagai manajer, asisten, karyawan umum, dan apakah bekerja sebagai pekera tetap atau temporer (pekerja bulanan atau harian). Sebagai bagian dari struktur biaya, upah dan gaji serta komponen pendapatan lainnya dikumpulkan berdasarkan tipe pekerja. Data ketenagakerjaan yang serupa juga dikumpulkan dalam sensus lembaga lainnya yang mencakup (1) pabrik industri, (2) kebudayaan, marga satwa dan wisata alam, (3) kepemilikan Hak Penebangan Hutan (HPH) dan Izin Pengumpulan Kayu (IPK), (4) peternakan besar dan kecil, serta (5) perikanan.
Survei Survei adalah metode pengumpulan data yang dilaksanakan dengan menghitung sejumlah sampel untuk memprediksi karakteristik penduduk. Survei dapat bersifat ad-hoc atau reguler. Survei adhoc umumnya dilaksanakan untuk memperoleh dan memonitor dampak sosial dan ekonomi dari krisis ekonomi sebagai upaya intensif untuk mengurangi dampak-dampak tersebut. Survei reguler dibedakan menjadi tiga kategori yaitu survei data rumah tangga, lembaga dan komunitas—tergantung dari unit penghitungannya.
20
1. Survei rumah tangga Dalam survei rumah tangga responden adalah individu anggota rumah tangga. Tipe survei ini terdapat dalam kegiatan sensus penduduk, survei penduduk antar sensus (Supas), survei angkatan kerja nasional (Sakernas), dan survei sosial ekonomi nasional (Susenas). Data individu yang terperinci yang terkait dengan karakteristik demografis, sosio-ekonomi, ketenagakerjaan serta informasi umum mengenai lembaga maupun tempat kerja tersedia dalam survei rumah tangga. Informasi tentang rumah tangga pekerja juga terdapat dalam survei tersebut. BPS secara teratur melakukan empat tipe survei rumah tangga, yaitu sensus penduduk, Supas, Sakernas, dan Susenas.9 Meskipun survei-survei ini menggunakan konsep dasar dan definisi mengenai ketenagakerjaan yang sama sehingga diperkirakan hasil-hasilnya dapat diperbandingkan, namun pada kenyataannya data ketenagakerjaan dari sumber-sumber ini tidak dapat dibandingkan satu sama lain. Sensus dan Supas dirancang dengan tujuan yang sama, yaitu untuk mengumpulkan data penduduk secara umum dan untuk memperoleh hasil yang dapat dibandingkan satu sama lain. Namun, data ini tidak dapat dibandingkan dengan data dari Sakernas dan Susenas. Data Sakernas dan Susenas tidak dapat dibandingkan karena diambil dari tipe survei yang berbeda. Susenas adalah survei multifungsi dengan informasi yang dikumpulkan dari beragam bidang dan tercakup dalam dua kuesioner. Satu kuesioner sebagai dasar dan kuesioner lain sebagai modul. Metodologi dan implementasi Susenas sangat kompleks karena kualitas data ketenagakerjaan sangat dipengaruhi oleh pengumpulan informasi lain. Di lain pihak, Sakernas adalah survei yang secara spesifik dirancang untuk pengumpulan data ketenagakerjaan. Dengan demikian, survei ini dapat memperoleh data yang paling akurat. Survei ini telah dilaksanakan secara konsisten pada Agustus setiap tahun sejak 1994. Susenas merupakan sumber data yang kaya sebab mengandung informasi yang jauh lebih banyak. Survei ini bahkan lebih kaya apabila dibandingkan dengan survei penduduk antarsensus. Meskipun demikian, survei ini memiliki kelemahan pada tingginya variabilitas dalam informasi yang diperoleh. Kelemahannya yang lain berkaitan dengan data ketenagakerjaan dalam kuesioner dasar yaitu pertanyaan-pertanyaannya sangat terbatas dan ditempatkan setelah pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih dominan. Dengan demikian, meskipun terdapat manfaat yang diperoleh dari jumlah sampel yang besar, namun data ketenagakerjaan Susenas memiliki kelemahan dari tingkat ketidakstabilan data yang lebih tinggi dibandingkan dengan Sakernas. Kelemahan serius dari kedua survei ini adalah tidak dapat digunakan sebagai perbandingan jangka pendek. Mempertahankan konsistensi kuesioner, metodologi dan pekerjaan lapangan tentu akan sangat meningkatkan kepercayaan dalam pelaksanaan analisis serial. 2. Sensus penduduk Sensus penduduk di Indonesia dilaksanakan setiap 10 tahun sekali. Sampai saat ini, lima sensus telah diadakan, yaitu pada tahun 1961, 1971, 1980, 1990 dan 2000. Dari lima sensus tersebut diperoleh informasi umum mengenai penduduk sehingga memungkinkan adanya analisa mengenai struktur penduduk dan karakteristik sosial ekonomi secara umum. Dalam sensus 9
Pada masa lalu, terlepas dari keempat tipe survei ini, terdapat satu survei lain yang bernama “Survei Seratus Desa”.
21
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
penduduk beberapa informasi penting berkaitan dengan “aktivitas ekonomi” penduduk, seperti angkatan kerja dan karakteristik ketenagakerjaan dikumpulkan menggunakan “pendekatan angkatan kerja”. Tujuan utamanya adalah untuk memperoleh data patokan mengenai angkatan kerja dan ketenagakerjaan setiap 10 tahun. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tidak seperinci pertanyaan pada Sakernas dan Susenas, namun seluruh pertanyaan penting mengenai ketenagakerjaan yang dibutuhkan untuk menganalisa struktur ketenagakerjaan dan angkatan kerja terdapat dalam sensus ini. Sebelum tahun 2000, pengumpulan data pada sensus penduduk dilakukan dalam dua bagian. Pertama, bagian “sensus lengkap” yang dilaksanakan untuk memperoleh informasi dasar seperti nama-nama anggota rumah tangga, usia, jenis kelamin dan hubungan keluarga terhadap kepala rumah tangga termasuk juga karakteristik dan fasilitas rumah. Tujuan utama dari sensus ini adalah untuk memperoleh informasi dasar mengenai penduduk pada level administratif terendah (desa), sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pemilihan sampel rumah tangga yang akan diwawancarai dalam “sensus sampel”. Bagian kedua dalam “sensus sampel” ini beberapa pertanyaan mendetail ditanyakan kepada setiap anggota rumah tangga. Kedua bagian dari sensus tersebut mencakup seluruh provinsi. Pelaksanaan “sensus lengkap” dilakukan pada September-Oktober, sementara kegiatan lapangan “sensus sampel” dilaksanakan pada Oktober.10 Pada sensus tahun 2000, kerangka waktu tersebut dipindahkan ke bulan Juli. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemampuan sehingga bisa dibandingkan secara internasional—karena sebagian besar negara menggunakan penduduk tengah tahun dalam sensusnya. Dalam sensus sampel, data angkatan kerja dan ketenagakerjaan dikumpulkan bersamaan dengan sampel yang mencakup 4-5 persen dari rumah tangga. Pada tahun 1990, sampel tersebut mencakup sekitar 200 ribu rumah tangga. Dengan sampel yang sedemikian besar, informasi yang diperoleh dapat memberikan total keterangan sampai ke tingkat kelurahan. Pada kenyataannya, sensus penduduk memang satu-satunya sumber data yang menyediakan informasi ketenagakerjaan untuk tingkat kelurahan. Tabulasi terperinci dan klasifikasi yang lebih mendetail dari data dapat diperoleh pada daerah administratif dengan tingkat yang lebih tinggi (yaitu tingkat provinsi dan nasional). Tabulasi seperti itu mencakup struktur penduduk usia kerja, karakteristik tenaga kerja, pencari kerja, karakteristik dari setiap segmen angkatan kerja, juga karakteristik sosial ekonomi umum dari penduduk. Sensus Penduduk 2000 adalah kasus khusus karena dirancang untuk mengoptimalkan penggunaan dana yang terbatas dari pemerintah sebagai akibat krisis ekonomi. Dana tidak cukup untuk membiayai pengumpulan data dua tahap yang digunakan dalam sensus sebelumnya. Untuk mempertahankan tujuan utama dari sensus, yaitu penyediaan data bagi daerah-daerah yang lebih kecil, suatu sensus lengkap sangat dibutuhkan, apabila tidak maka sensus ini tidak dapat dianggap sebagai sensus. Namun karena dana yang tersedia tidak cukup untuk melakukan suatu “sensus sampel” guna memperoleh informasi terperinci yang layak, suatu jalan tengah kemudian diambil. Caranya, informasi yang terpilih dimasukkan dalam sensus lengkap. Karenanya sebagai tambahan atas pertanyaan-pertanyaan mengenai struktur keluarga, sensus tahun 2000 memasukkan satu atau dua pertanyaan mengenai kesuburan, pendidikan, perpindahan, angkatan kerja dan ketenagakerjaan.
10
22
Tanggal sensus adalah 31 Oktober dari tahun yang bersangkutan.
3. Survei Penduduk Antarsensus (Supas) Supas dilaksanakan secara teratur pada pertengahan waktu di antara dua sensus. Tujuannya adalah untuk menyediakan data penduduk yang dapat dikaitkan dengan data sensus. Sejauh ini survei tersebut telah dilaksanakan pada tahun 1976, 1985, 1995 dan 2005. Dari sana diketahui, penduduk Indonesia berubah dengan sangat cepat sehingga sensus setiap 10 tahun tidak akan dapat menangkap perubahan-perubahan ini dengan tepat. Namun, Indonesia tidak mampu menyelenggarakan sebuah sensus setiap lima tahun, sementara data yang lebih baru dan lebih sering akan dibutuhkan untuk mengikuti perubahan yang cepat pada tingkat kelahiran dan kematian serta tingkat perpindahan penduduk dan karakteristik angkatan kerja. Dari latar belakang ini, Supas pun diselenggarakan. Walaupun terdapat jumlah sampel yang besar dalam Supas, namun jumlah ini masih lebih kecil dibandingkan jumlah rumah tangga yang diwawancarai dalam sebuah “sensus sampel” pada umumnya. Meskipun demikian, Supas tetap menyediakan informasi bagi daerah-daerah lebih kecil yang dapat dibandingkan dengan data yang diproduksi sensus. Oleh sebab itu, data total tren penduduk tersedia setiap lima tahun. Untuk mempertahankan kesamaannya dengan data sensus, kegiatan lapangan Supas umumnya dilakukan pada September-Oktober. Pertanyaan-pertanyaan dalam Supas serupa dengan pertanyaan dalam “sensus sampel”. Data angkatan kerja dan ketenagakerjaan yang diperoleh dalam Supas juga sama dengan data sensus, sehingga dimungkinkan adanya pengukuran struktur dan karakteristik ketenagakerjaan dan angkatan kerja setiap lima tahun. Sebagai tambahan, sampel besar yang tercakup dalam sensus penduduk dan survei penduduk antarsensus memungkinkan adanya penyediaan statistik ketenagakerjaan untuk daerah administratif yang lebih kecil sampai ke tingkat kelurahan atau kecamatan. 4. Survei Angkatan Kerja Nasional (Saker nas) (Sakernas) Sakernas diselenggarakan pertama kali pada 1976 dengan tujuan khusus untuk mengumpulkan data mengenai angkatan kerja dan ketenagakerjaan. Survei ini dirancang untuk memperbaiki kelemahan data ketenagakerjaan yang diperoleh dari sensus penduduk 1971. Sakernas menggunakan suatu pendekatan angkatan kerja yang baku dengan dua periode acuan: “terakhir” dan “biasa”. Karena pendekatan angkatan kerja baru digunakan pertama kali pada tahun itu, sebelum survei itu diimplementasikan, BPS yang bekerja sama dengan Depnakertrans dan ILO, terlebih dulu menyelenggarakan sebuah tes ujicoba yang komprehensif. Survei tersebut kemudian dilaksanakan setahun sekali pada 1977 dan 1978 dan dirancang untuk memperoleh serangkaian data yang akan dikaitkan dengan data sensus penduduk dan Supas. Survei ini sempat dihentikan pelaksanaannya selama beberapa tahun dan dilaksanakan kembali setiap tahun sampai tahun 1985. Pada 1986 survei ini mulai dilaksanakan empat kali setahun agar dapat menggambarkan secara lebih tepat fluktuasi musiman dalam ketenagakerjaan. Dengan pengertian bahwa ekonomi Indonesia sebagian besar berada di sektor pertanian sehingga ketenagakerjaan sangat dipengaruhi oleh musim-musim pertanian, ketenagakerjaan sektoral dan karakteristik lain yang terkait akan menggambarkan titik puncak dan terendah dari musim-musim pertanian. Kegiatan lapangan Sakernas dilaksanakan setiap tahun pada Februari, Mei, Agustus, dan November. Sampel yang digunakan berjumlah sekitar 20.500 rumah tangga setiap triwulan pada 1992. Perkiraan pada setiap kuartal dapat digabungkan untuk menghasilkan informasi rata-rata pada tahun tersebut dengan total sampel sebesar 82 ribu rumah tangga.
23
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Survei yang dilakukan empat kali setahun itu dilaksanakan selama delapan tahun hingga tahun 1993. Namun hasil yang didapat menunjukkan fluktuasi musiman tidak dapat digambarkan dengan jelas melalui data setiap triwulan, di mana hal ini diduga merupakan akibat dari ukuran sampel yang terlalu kecil. Dengan jumlah sekitar 20 ribu rumah tangga, angka yang dapat diperoleh hanyalah angka untuk skala nasional. Dengan adanya perbedaan musim antardaerah, mengambil angka rata-rata pada tingkat nasional akan menghasilkan angka yang hampir sama untuk setiap triwulan. Tanpa disertai peningkatan secara signifikan jumlah sampel yang memungkinkan perhitungan data per daerah, survei per triwulan seperti ini tidak akan dapat bermanfaat dalam menjelaskan pengaruh musiman dalam tingkat nasional. Sehingga diputuskan perhitungan angka rata-rata dari setiap tahun di mana survei triwulanan dilaksanakan tidak memberikan hasil yang berarti. Hal ini membuktikan data yang tersedia tidak mewakili angka tahunan dengan jangka waktu tertentu sebagai titik acuanya, namun lebih kepada ratarata dari empat angka yang didapat dalam survei per triwulan tidak sesuai dengan angkaangka lain. Kelemahan lain versi per triwulan Sakernas adalah keterbatasan jumlah pertanyaan yang terdapat di dalamnya, karena hanya menanyakan soal-soal yang diperkirakan akan dipengaruhi oleh tingkat musim. Hal ini menyebabkan hasil yang diperoleh sulit dibandingkan dengan hasil dari survei lainnya. Dengan berbagai kelemahan ini, survei per triwulan pun akhirnya dihapuskan. Pada 1994, Sakernas dilaksanakan sekali setahun dengan menggunakan kuesioner yang lebih terperinci dan jumlah sampel yang dikurangi menjadi 65 ribu rumah tangga. Karena keterbatasan dana, pada 1998 jumlah sampel tersebut kembali dikurangi menjadi 49.200 rumah tangga. Pada 1999, jumlah sampel Sakernas kembali dikurangi menjadi hanya 20 ribu rumah tangga sehingga diharapkan dapat menghasilkan informasi rinci pada tingkat nasional dan menghasilkan data total hanya untuk tingkat provinsi. Satu set data lengkap mengenai angkatan kerja dan ketenagakerjaan diperoleh melalui Sakernas. Pada 1999 Sakernas dilaksanakan pada Agustus setiap tahunnya dan mulai dilaksanakan secara tahunan. Meskipun demikian, pada tahun yang sama implementasi survei setiap dua kali setahun akan mulai diberlakukan. Angka ketenagakerjaan pada Agustus yang diperoleh dari Sakernas akan dibandingkan dengan angka ketenagakerjaan dari Susenas yang dilaksanakan setiap tahun pada Februari. Dengan cara seperti ini Susenas dapat menggambarkan kondisi ketenagakerjaan pada semester pertama, sementara Sakernas dapat mencerminkan situasi pada semester kedua. Sebelum 1998 penduduk usia kerja selalu didefinisikan sebagai mereka yang berusia 10 tahun ke atas. Sejak 1998 definisi tersebut diubah menjadi 15 tahun ke atas. Penduduk angkatan kerja diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu mereka yang termasuk dalam “angkatan kerja“ dan mereka yang ”tidak termasuk dalam angkatan kerja“. Angkatan kerja mencakup mereka yang bekerja atau sedang mencari kerja (menganggur). Untuk kategori bekerja, karakteristik mendetail pekerjaan tersebut diklasifikasi termasuk jam kerja, cabang aktivitas ekonomi yang ditekuni, jenis pekerjaan, status pekerjaan, pekerjaan tambahan, upah dan gaji, termasuk apakah juga sedang mencari kerja. Untuk kategori ”menganggur“, pertanyaan yang diajukan mencakup metode dan durasi pencarian kerja, apakah sedang mencari pekerjaan paruh waktu atau penuh waktu, apakah sebelumnya telah bekerja dan diberhentikan dari pekerjaan selama krisis atau disebabkan karena apa, dan apakah dalam waktu dekat telah menemukan pekerjaan. Data sosio-demografis yang diperoleh mencakup umur, jenis kelamin, pendidikan dan status pernikahan.
24
6. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Susenas adalah survei rumah tangga yang ditujukan untuk berbagai hal. Susenas pertama dirancang dan diluncurkan pada 1963 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Statistik StRDC (Statistical Research and Development Center/StRDC StRDC).11 Tujuan utama Susenas adalah untuk mengumpulkan data mengenai karakteristik rumah tangga secara demografis dan sosioekonomi. Setelah 1963 survei ini dilaksanakan secara teratur pada 1964/1965, 1967, 1969, dan 1970 dengan jumlah sampel berkisar 16 ribu-24 ribu rumah tangga. Pada seluruh survei ini data angkatan kerja diperoleh bersama dengan data demografis dan sosial ekonomi serta pengeluaran konsumsi. Survei ini sempat dihentikan sementara pada 1971 seiring dengan berakhirnya StRDC dan mulai diberlakukan lagi pada tahun 1976 dengan menggunakan dana dari pemerintah. Pada 1976 Susenas dilaksanakan per triwulan untuk memperoleh data rinci mengenai pengeluaran konsumsi. Untuk menggambarkan dengan tepat fluktuasi dari konsumsi musiman, survei ini diimplementasikan empat kali dalam setiap tahun. Data angkatan kerja dan ketenagakerjaan hanya diambil pada triwulan keempat pada 1976, di mana jumlah sampel diperbesar menjadi 78 ribu rumah tangga (pada setiap kuartal sebelumnya hanya 17 ribu rumah tangga). Survei per triwulan ini diulangi kembali pada 1978 dengan jumlah sampel hanya 6.300 rumah tangga per triwulan. Pada 1978 Susenas mencakup lebih banyak topik, termasuk mengenai angkatan kerja dan data lainnya mengenai demografi, sosial budaya dan kesehatan, serta data mengenai pengeluaran konsumsi dan pendapatan. Pada 1979 dan 1980 survei ini dilaksanakan dua kali setahun dengan jumlah sampel berkisar antara 54 ribu-102 ribu rumah tangga untuk mengakomodir modul yang baru. Modul baru ini mencakup kesuburan, industri kecil/kerajinan rumah tangga, pertanian, dan peternakan. Data angkatan kerja hanya dikumpulkan pada semester kedua pada 1980. Pada 1981 Susenas sekali lagi dilaksanakan dalam bentuk triwulanan menggunakan sampel 15 ribu rumah tangga per triwulan dan tidak menyertakan pertanyaan mengenai angkatan kerja. Angkatan kerja dan ketenagakerjaan tercakup lagi pada 1982 dengan sampel terpisah sebanyak 60 ribu. Sejak saat itu, modul angkatan kerja dikeluarkan dari Susenas dan diintegrasikan sepenuhnya dengan Sakernas. Sebagai akibatnya, Susenas 1998 yang dilaksanakan dua kali setahun dan Susenas yang dilaksanakan sekali setahun pada 1985-1987 dan 1989-1991 tidak mencakup modul angkatan kerja apapun. Bermula pada 1992, Susenas menggunakan dua kuesioner yang dinamakan “dasar baru” dan “modul”. Rancangan Susenas yang baru memungkinkan adanya hubungan antara modulmodul melalui pertanyaan-pertanyaan dasar. Sebagai contoh, melalui kategori angkatan kerja dan pengeluaran, serta karakteristik angkatan kerja dalam modul yang dihubungkan dengan struktur pengeluaran dalam modul. Hal penting di sini adalah dimasukkannya isu-isu dasar terpilih mengenai pengeluaran, penyebab kematian, kesehatan, menyusui anak, imunisasi, pendidikan, jalur komunikasi, tingkat kesuburan, metode keluarga berencana, bahan dan fasilitas perumahan, serta aktivitas ekonomi. Aktivitas ekonomi mencakup pertanyaan-pertanyaan dasar mengenai angkatan kerja dan ketenagakerjaan. Beberapa pertanyaan terbatas memungkinkan
11
Sebuah organisasi PBB yang didirikan untuk membantu perkembangan statistik di BPS.
25
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
terbentuknya sebuah gambaran mengenai struktur angkatan kerja, termasuk mereka yang bekerja dan tengah mencari kerja. Untuk yang mencari kerja, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan adalah jumlah jam kerja yang diberlakukan berdasarkan industri dan berdasarkan status karyawan. Pada 1992 sampel untuk pertanyaan-pertanyaan dasar berjumlah 65.600 rumah tangga, sehingga dimungkinkan untuk membuat perkiraan pada tingkat nasional dan provinsi. Sejak 1993 sampai saat ini, jumlah sampel tersebut diperbesar menjadi 202.000 rumah tangga untuk memungkinkan terjadinya perkiraan pada tingkat kelurahan/kecamatan, sementara besar sampel untuk modul selalu dipertahankan pada angka 65.600 rumah tangga. Karena modul yang digunakan berbeda-beda maka dibutuhkan suatu kerangka untuk menyeleksi sampel demi kepentingan pengumpulan data modul. Hal ini dapat dipenuhi oleh rumah tangga yang diwawancarai dengan menggunakan pertanyaan dasar yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan terpilih dari modul. Dari kerangka ini sebuah sub-sampel rumah tangga dasar diseleksi untuk memenuhi kebutuhan modul yang khusus. Dengan demikian, antara modul dapat saling terhubungkan melalui pertanyaan-peranyaan dasar. Oleh sebab itulah sejak Susenas 1992 hingga 1995 data mengenai ketenagakerjaan yang tersedia sangatlah terbatas. Meskipun terdapat beragam keuntungan yang diperoleh dari sebuah survei yang memiliki banyak tujuan, karena akan diperoleh sekumpulan informasi yang amat kaya, tapi sistemnya menjadi sangat rumit. Modul angkatan kerja dan ketenagakerjaan cenderung kurang akurat apabila dibandingkan dengan survei angkatan kerja yang lebih terspesialisasi. Lebih lanjut, sistem ini tidak memungkinkan untuk merancang kuesioner yang sama seperti kuesionar yang digunakan di Sakernas. Setelah krisis ekonomi 1997, Susenas dirancang ulang untuk menyederhanakan pengoperasiannya. Hanya tiga modul yang termasuk dalam survei ini. Modul pertama, pengeluaran konsumsi dilaksanakan setiap tiga tahun. Modul kedua, informasi umum untuk indikator kesejahteraan dilaksanakan setiap tahun. Modul ketiga yang dilaksanakan setiap tahun mencakup angkatan kerja dan ketenagakerjaan dan dirancang untuk dapat dibandingkan dengan data dari Sakernas. 7. Survei Perusahaan BPS melaksanakan beberapa survei perusahaan yang mengandung data mengenai ketenagakerjaan. Sebagian besar survei-survei ini umumnya mengumpulkan data mengenai biaya produksi, struktur pengeluaran dan pemasukan, pembentukan modal, dan informasi mengenai operasi bisnis. Data ketenagakerjaan umumnya dikumpulkan sebagai bagian dari informasi mengenai struktur biaya. Untuk perusahaan kecil dan rumah tangga ditanyakan mengenai partisipasinya dalam program pengembangan milik pemerintah. Hal ini karena terdapat beragam program pemerintah seperti kredit dan bantuan teknis yang ditujukan untuk perusahaan-perusahaan ini. Survei perusahaan yang saat ini masih dilaksanakan dan memiliki data ketenagakerjaan adalah: 1. Sensus Ekonomi (SE) 2. Direktori Perusahaan Berbadan Hukum (DPBH) 3. Survei Triwulanan Kegiatan Usaha (STKU) 4. Survei Industri Kecil dan Kerajinan Rumah Tangga (SKKR) 5. Survei Usaha Terintegrasi (SUSI)
26
6. Survei Industri Besar-Sedang (SIBS) 7. Survei Hotel (SH) 8. Survei Upah Buruh (SUB) Beberapa data mengenai ketenagakerjaan dapat diperoleh melalui survei-survei tersebut. Dalam kasus sensus ekonomi, tiga sensus ekonomi telah dilakukan pada 1976, 1986 dan yang terbaru pada 1996 bertujuan untuk mengumpulkan data dari seluruh perusahaan ekonomi di luar bidang pertanian. Data perusahaan pertanian diperoleh secara terpisah dari sensus dan survei pertanian. Sensus 1996 yang dilaksanakan dalam beberapa tahap bermula dari tahun 1996 mencoba mengintegrasikan seluruh koleksi data perusahaan di BPS. Satu set informasi terbatas kemudian diperoleh dari seluruh perusahaan, termasuk perusahaan skala besar, menengah, kecil, dan mikro. Seperti layaknya survei perusahaan yang lain, data ketenagakerjaan diperoleh sebagai bagian dari informasi seperti: identifikasi dan lokasi, aktivitas utama, tipe produk, status perusahaan, nilai aset-aset, nilai produksi, total pendapatan, dan jumlah pekerja yang dibedakan antara pekerja permanen dan sementara. Unit perhitungan dalam survei perusahaan adalah sebuah perusahaan yang bermotif bisnis.12 Responden dari survei ini biasanya adalah para pegawai terkait yang akan mengisi kuesioner tersebut. Umumnya hanya akuntansi biaya dan data ekonomi terkait lainnya yang mengacu kepada perusahaan yang akan diperoleh. Walaupun informasi individual mengenai karyawan tidak dapat diperoleh, karakteristik kelompok karyawan dapat diperoleh dalam survei ini. Sebagai contoh, informasi tentang jumlah karyawan yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan (bersifat permanen atau sementara) dapat diperoleh. Data karyawan dapat dikaitkan dengan informasi tentang biaya, modal, dan keluaran perusahaan. Data-data ini pun bisa dibedakan berdasarkan jenis kelamin, status pernikahan, kelompok usia, tingkat pendidikan, dan kelompok jabatan. Data ketenagakerjaan yang terkait dengan biaya-biaya produksi lain dapat digunakan untuk menganalisa struktur biaya sehingga dapat dilihat apakah tenaga kerja perusahaan tersebut digaji dengan layak atau belum. Selain itu, data dari survei-survei ini dapat digunakan untuk menghasilkan data ketenagakerjaan yang lebih detil seperti dalam bentuk sub-sektor dan klasifikasi pekerjaan. Dibantu dengan survei rumah tangga, akan diperoleh cakupan lengkap dari segala sektor namun pemecahan secara sub-sektoral terbatas sampai kepada dua digit menurut tingkat ISIC, sementara pemecahan jenis pekerjaan dari survei rumah tangga dapat dilakukan sampai kepada tiga digit menurut tingkat ISCO.13 Beberapa survei perusahaan penting yang berkaitan dengan ketenagakerjaan akan disajikan pada bagian selanjutnya. 8. Survei Industri Besar -Sedang (SIBS) Besar-Sedang Survei ini dilaksanakan secara teratur setiap tahun. Survei selain mengumpulkan lebih banyak informasi untuk direktori juga mencakup seluruh perusahaan industri besar dan sedang. Informasi terperinci mengenai perusahaan yang tercakup dalam survei ini terdiri dari biaya produksi, hasil dan jasa yang dilakukan, pembangkit listrik, investasi, modal, dan aset. Sebagai 12
Perusahaan didefinisikan sebagai unit ekonomi terkecil yang melakukan kegiatan bisnis dengan membiayai produk barang dan jasa dan menjualnya untuk memperoleh keuntungan atau pendapatan.
13
Meskipun demikian, harus diperhatikan bahwa data klasifikasi jenis pekerjaan dalam dua dan tiga digit tidak terlalu dapat dipercaya dan jarang digunakan. Hal ini dikarenakan baik pewawancara maupun responden tidak dapat menyebutkan dengan tepat tentang detail klasifikasi pekerjaan.
27
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
bagian dari biaya produksi, pengeluaran untuk karyawan diperoleh secara terperinci, dengan membedakan antara pekerjaan produksi dan non-produksi. Komponen pengeluaran mencakup upah/gaji, kontribusi dana pensiun, asuransi dan pengeluaran lainnya. Cakupannya sangat tergantung kepada kelengkapan direktori yang diperbarui secara teratur untuk menambahkan perusahaan-perusahaan baru dan mengeluarkan perusahaan yang telah ditutup.14 Survei ini menghasilkan informasi mengenai sub-sektor yang lebih kecil dari sektor manufaktur, sampai dengan lima digit menurut tingkat ISIC. Tingkat respons yang diperoleh berkisar antara 85-90 persen. Meski survei ini mencakup sejumlah besar perusahaan dan mengharuskan karyawan perusahaan-perusahaan tersebut mengisi berbagai kuesioner, namun publikasi data hasil survei itu sangat tertinggal dan tidak berjalan secepat yang semestinya. 9. Survei Hotel (SH)15 Survei hotel yang menjangkau seluruh provinsi di Indonesia dilakukan setiap bulan. Terdapat dua jenis survei hotel yang dilaksanakan. Yang pertama mencakup pengambilan pasokan barang dan yang kedua berkaitan dengan tingkat pemakaian kamar hotel. Survei pengambilan pasokan barang bertujuan untuk membentuk sebuah direktori hotel yang bisa menjangkau seluruh hotel yang terdaftar dan tidak terdaftar. Survei ini telah dilaksanakan setiap tahun sejak 1978. Survei pengambilan pasokan barang mengumpulkan data tentang jumlah kamar dan tempat tidur, jarak dari bandar udara, terminal bis dan kereta api, dan fasilitas-fasilitas hotel. Selama tiga tahun terakhir, data ketenagakerjaan telah dikelompokkan menjadi sebuah klasifikasi yang lebih terperinci berdasarkan jenis kelamin, kewarganegaraan, tipe dan tingkat pendidikan, serta status (dibayar/tidak dibayar). Survei tingkat pemakaian kamar hotel mulai dilakukan sejak 1980, mencakup seluruh hotel yang terdaftar dan sebuah sampel dari hotel yang tidak terdaftar dengan minimal 10 kamar. Survei ini dilaksanakan setiap bulan untuk memperoleh data mengenai jumlah kamar, tempat tidur, jumlah kamar yang digunakan, tamu dari luar negeri maupun domestik. Survei bermanfaat untuk menghitung tingkat pemakaian kamar, rata-rata waktu inap, jumlah tamu dari luar negeri dan domestik, serta rata-rata jumlah tamu per kamar. Seperti layaknya survei industri besar dan kecil, survei ini secara teratur dilaksanakan untuk mendukung pembaruan direktori perusahaan berbadan hukum. Seluruh hotel, termasuk yang tidak terdaftar (hotel melati), dimasukkan ke dalam direktori karena pengoperasian hotel harus sah secara hukum dan memiliki izin dari dinas pariwisata pemerintah provinsi yang bersangkutan. 10. Survei Upah Buruh 10.Survei Survei upah buruh mulai dilakukan pada 1979 untuk memperoleh informasi rinci mengenai perkembangan dan struktur upah, termasuk distribusi berdasarkan jabatan pekerjaan. Sayangnya, selain jangkauannya dalam sektor ekonomi masih terbatas survei ini pun hanya mencakup pertambangan non-migas, manufaktur, hotel, dan transportasi darat. Survei ini lantas disederhanakan pada 1992 dengan menghapus pertanyaan mengenai upah berdasarkan jabatan pekerjaan dan sub-sektor transportasi darat. Hanya pekerja dengan upah rata-rata dan menengah yang berada di bawah tingkat penyelia yang diambil datanya. Ukuran sampel 14
Sebuah sistem baru yang dapat memperbarui direktori telah digunakan di Jawa pada 1991 dan di luar Jawa pada 1992. Sistem ini memeriksa daftar perusahaan dengan sumber-sumber terbaru dari departemen lain. Perusahaan yang tidak cocok pun akan diperiksa untuk memastikan apakah perusahaan tersebut masih beroperasi atau tidak.
15
Kumpulan data statistik untuk sektor perhotelan didasarkan kepada rekomendasi dari Organisasi Pariwisata Dunia (WTO) yang berpatokan kepada “statistik akomodasi“.
28
juga dikurangi. Survei ini dilakukan secara triwulan untuk memungkinkan adanya pengawasan terhadap perubahan upah. Saat itu tiga provinsi (Bengkulu, Timor-Timur dan Sulawesi Tengah) tidak tercakup dalam survei ini. Kegiatan lapangan dilakukan secara triwulan pada Maret, Juni, September, dan Desember setiap tahun. Hanya 35 perusahaan yang termasuk dalam sampel industri non-migas, sementara terdapat 667 sampel industri manufaktur besar dan 342 industri manufaktur sedang. Perusahaan industri kecil tidak terwakili dalam survei ini. Data upah yang diperoleh adalah pembayaran kepada pekerja produksi yang lebih rendah daripada tingkat penyelia. Upah-upah tersebut kemudian dipecah kembali berdasarkan ukuran perusahaan, jenis kelamin, sub-sektor dan kepemilikan modal: apakah dimiliki oleh modal asing, lokal, atau pemerintah.
Survei data komunitas Survei data komunitas memberikan data mengenai desa yang diperoleh dari karyawan kantor tersebut. Serupa dengan survei perusahaan, data ketenagakerjaan dalam survei data komunitas ini diperoleh secara tidak langsung melalui informan lokal. Informan-informan ini memberikan data satu wilayah administratif kecil tertentu (desa atau kelurahan) sebagai unit perhitungan. Dengan demikian, data mengenai ketenagakerjaan rumah tangga dan perorangan yang terperinci tidak bisa diperoleh. Di samping itu data komunitas terdiri dari informasi yang lebih terpisah-pisah, tidak seperti informasi yang diperoleh dari survei perusahaan. Hanya terdapat sebuah survei yang dilaksanakan secara teratur oleh BPS, yaitu Survei Potensi Desa.
Survei Potensi Desa (Podes) Podes pertama kali diperkenalkan pada 1976. Sejak 1980 survei ini telah dilaksanakan secara teratur sebagai bagian dari usaha pengumpulan data yang lebih besar, seperti sensus dan Supas— biasanya dilakukan satu tahun sebelum kegiatan survei yang besar itu dilaksanakan. Podes dinilai lebih efisien secara finansial apabila pelaksanaannya digabungkan dengan pengumpulan data nasional yang lebih besar, karena selama pemetaan atau pendaftaran seluruh desa harus diperiksa. Meskipun demikian, pada pertengahan 1994 dan 1995, Podes dilaksanakan tanpa terintegrasi dengan sensus. Kala itu, Podes dilaksanakan dengan maksud untuk menentukan desa-desa yang tertinggal. Podes mencakup seluruh pedesaan. Sebagai contoh, pada 1990 terdapat 67.515 desa. Podes 1993 dilakukan sebagai bagian dari sensus agrikultural dan pada 1996 menjadi bagian dari sensus ekonomi. Sementara pada 2006 Podes dilakukan sebagai bagian dari Sensus Ekonomi 2006, yang dilaksanakan pada April 2005. Ruang lingkup Podes 2006—sebagai bagian dari Sensus Ekonomi 2006—adalah seluruh desa/kelurahan atau yang serupa termasuk unit pemukiman transmigrasi dan Pemukiman Masyarakat Tertinggal (PMT) di Indonesia. Responden Podes adalah kepala desa, staf yang ditugaskan untuk menjawab kuesioner atau individu yang dianggap relevan sebagai sumber. Metode pengumpulan data Podes didasarkan kepada perhitungan lengkap melalui wawancara secara langsung oleh pewawancara. Meskipun demikian, data ketenagakerjaan dalam Podes sangat terbatas. Informasi yang terkait dengan ketenagakerjaan seperti itu hanya mencakup persentasi rumah tangga yang terlibat dalam kegiatan agrikultural, manufaktur, perdagangan, jasa, dan lainnya.
29
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Data administratif .Sumber lain atas data ketenagakerjaan adalan data administratif. Meskipun Depnakertrans menyimpan catatan data mengenai ketenagakerjaan dan data yang berkaitan dengan ketenagakerjaan, namun biasanya sebagian besar data ini tidak diolah dan dipublikasikan. Tipe data yang diperoleh umumnya tergantung dari fungsi unit kerja. Misalnya, “lowongan kerja” dan “pencari kerja” adalah data yang dilaporkan oleh Direktorat Penempatan Tenaga Kerja sebagai upaya untuk memfasilitasi fungsi pasar kerja. Departemen tersebut juga menyimpan catatan mengenai ketenagakerjaan yang diperoleh dari proyek padat karya pemerintah (program pekerjaan masyarakat). Catatan mengenai hal tersebut disimpan hanya untuk penggunaan internal. Depnakertrans menyimpan catatan mengenai warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri. Sayangnya, karena banyak yang bekerja secara ilegal di luar negeri, Depnakertrans tidak dapat menyediakan data yang akurat tentang mereka. Terkait para pencari kerja dan lowongan kerja yang terdaftar, lingkup segmen pasar kerja ini terbilang kecil, karena tidak seluruh lembaga yang menawarkan lowongan kerja mendaftarkannya di Depnakertrans. Pada kenyataannya, sebagian besar dari mereka umumnya mengiklankan lowongan kerja secara publik untuk mencapai para pencari kerja dengan jangkauan yang lebih luas. Walaupun peraturan16 menyatakan perusahaan harus melaporkan apabila terdapat perubahan ketenagakerjaan—dalam arti terdapat potensi lowongan pekerjaan—kepada Depnakertrans, pada kenyataannya hanya rekrutmen massal yang umumnya dilaporkan, dan tidak seluruh perusahaan menuruti peraturan tersebut. Masalah lain dengan sumber data ini adalah tidak semua dokumen dapat diproses, sehingga hal ini membatasi manfaat data tersebut untuk kepentingan analisa pasar. Lebih lanjut, perusahaan umumnya berusaha menghindari Depnakertrans, dengan alasan birokrasinya yang sangat kompleks. Selain itu, pencari kerja dengan kualifikasi tinggi jarang mendaftarkan diri ke Depnakertrans, mereka umumnya lebih memilih untuk melamar langsung ke perusahaan yang diinginkan. Depnakertrans telah menjalankan beragam program pengembangan yang berhubungan dengan ketenagakerjaan, apalagi berdasarkan hukum lembaga ini diharuskan untuk menyimpan catatan mengenai program-program tersebut. Terlepas dari derajat ketersediaan dan konsistensi Depnakertrans, sayangnya data-data itu tidak diproses secara sistematis untuk menghasilkan suatu statistik reguler. Apabila data tersebut diproses, dikelola, dan dicatat dengan baik, data itu akan sangat bermanfaat bagi para pembuat kebijakan dan para pengguna lain.
2.4. Karakteristik Data Frekuensi Sejalan dengan peraturan pemerintah, Sensus Penduduk dan Survei Penduduk Antar Sensus dilaksanakan setiap 10 tahun. Survei-survei lain seperti Sakernas (1976, 1986, sampai 1993) diadakan setiap triwulan atau Sakernas (sejak 1994) dan Susenas diadakan setiap tahun. Mulai 2005, Sakernas akan dilaksanakan per semester.
30
Ruang lingkup 1. Sensus Penduduk Pada sensus penduduk 1971, jumlah rumah tangga yang dipilih sebagai “sensus sampel” adalah sekitar 3,8 persen dari penduduk. Masyarakat di Timor-Timur dan wilayah-wilayah terpencil di Papua tidak diikut sertakan. 2. Survei Penduduk AntarSensus (Supas) Pada survei penduduk antarsensus pertama tahun 1976, terdapat sekitar 60.733 rumah tangga di 26 provinsi. Supas kedua yang diadakan pada 1985 mencakup sekitar 125.400 rumah tangga. Sedangkan Supas ketiga yang dilakukan pada 1995 mencakup sekitar 206.848 rumah tangga dari seluruh area geografis di Indonesia. 3. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Sakernas dimulai 1976. Sebagai survei angkatan kerja pertama yang dilakukan oleh BPS, survei ini berfungsi sebagai patokan, terutama dalam perancangan kuesioner yang sebagian besar digunakan untuk survei-survei lain yang serupa. Sakernas berikutnya dilaksanakan pada 1977, 1978, dan 1986 sampai 1994. Timor-Timur tidak diikutkan dalam dua survei pertama. Jumlah rumah tangga yang tercakup dalam setiap periode survei bervariasi, seperti terlihat sebagai berikut: Sakernas 1976 mencakup sekitar 95.400 rumah tangga Sakernas 1977 dan 1978 mencakup sekitar 71.550 rumah tangga Sakernas 1986 sampai 1993 mencakup sekitar 65.490 rumah tangga Sakernas 1994 mencakup sekitar 65.524 rumah tangga Sakernas 1997 mencakup sekitar 65.664 rumah tangga Sakernas 1998 mencakup sekitar 49.248 rumah tangga Sakernas 1999 mencakup sekitar 48.576 rumah tangga 4. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Pada dasarnya Susenas bertujuan untuk mengumpulkan data tentang kondisi sosial ekonomi penduduk Indonesia. Namun, informasi yang berkaitan dengan angkatan kerja juga dikumpulkan, terutama pada Susenas 1982 ketika angkatan kerja dimaksudkan menjadi modul utama. Pada 1982, Susenas dilaksanakan di 27 provinsi, mencakup 60.400 rumah tangga. Mulai 1992 (paling tidak hingga 1995) jumlah rumah tangga yang dipilih diperbesar menjadi 206.076 rumah tangga—dengan harapan dari survei besar ini parameter untuk area-area yang lebih kecil (kelurahan) dapat diperkirakan.
Kurun waktu Karena Sakernas adalah survei paling penting sebagai data pekerja dan ketenagakerjaan, pengaturan kurun waktu dari survei ini pun menjadi sangat penting. Jeda waktu antara pengumpulan data dan publikasi survei Sakernas berkisar di antara enam bulan, terkadang lebih. Untuk memonitor dinamika ketenagakerjaan—khususnya pengangguran—pengaturan kurun waktu dan frekuensi perolehan data sangat dibutuhkan. Inilah alasan pada 2005 BPS mulai melaksanakan
31
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Sakernas per semester. Penting pula bagi BPS untuk mempersingkat jeda waktu tersebut agar dapat memaksimalkan manfaat dari survei ini.
Variabel Tabel 2.2. memberikan informasi mengenai variabel yang diperoleh dalam sensus atau survei tersebut. Meskipun terdapat keragaman variabel yang dikumpulkan dalam survei atau sensus, namun tabulasi berdasarkan umur atau jenis kelamin sangat terbatas.
Tabel 2.2. V ariabel yang diper oleh dari Sensus Penduduk, Sensus Penduduk Antar Sensus, Variabel diperoleh Survei Angkatan Kerja Nasional dan Survei Sosial Ekonomi Nasional Variabel
Sensus Penduduk
Supas
Saker nas Sakernas
Susenas
Jenis kelamin
+
+
+
+
Status pernikahan
+
+
+
+
Hubungan dengan kepala rumah tangga
+
+
+*
+
Jenjang pendidikan yang ditempuh
+
+
+
+
Status aktivitas utama pada seminggu lalu
+
+
+
+
Bekerja minimal satu jam selama minggu lalu
+
+
+
+
Sementara tidak bekerja dulu selama minggu lalu
+
+
+
+
Pernah bekerja
+
+
+
-
Hari kerja/jam kerja dari seluruh pekerjaan
+
+
+
+
Jabatan dari pekerjaan utama
+
+
+*
+
Kelas industrial dari pekerjaan utama
+
+
+
+
Status ketenagakerjaan dari pekerjaan utama
+
+
+
+
Jam kerja dari pekerjaan utama
+
+
+
-
Hari kerja dari pekerjaan utama
-
-
+
-
Upah/gaji rata-rata
-
-
+
-
Mencari kerja
+
+
+
+
Ketersediaan untuk bekerja
-
+
+
-
Langkah-langkah yang diambil untuk mencari kerja -
+
+
-
Lama waktu yang dihabiskan dalam mencari kerja
-
+
+
-
Tipe pekerjaan yang dicari (paruh/penuh waktu)
-
+
+
-
Pekerjaan-pekerjaan tambahan
+
+
+**
-
Hari kerja/jam kerja dari seluruh pekerjaan tambahan-
+
-
-
Kelas industrial pada pekerjaan tambahan utama
+
-
-
32
+
Variabel
Sensus Penduduk
Supas
Saker nas Sakernas
Susenas
Alasan untuk tidak mencari kerja
+
+
-
-
Telah bekerja dalam tahun sebelumnya
+
+
-
-
+
+
-
Kelas industrial dari pekerjaan dalam tahun sebelumnya
-
Catatan : *). Tidak tercakup sebelum NLFS 1994 (NLFS Triwulanan) Sumber: www.bps.go.id
2.5. Distribusi Umumnya BPS menerbitkan aktivitasnya dan dikirim kepada lembaga-lembaga relevan, terutama lembaga pemerintah. Meskipun demikian, periode waktu di antara pengumpulan dan distribusi data tersebut cukup lama. Publikasi ini akan lebih bermanfaat apabila periode itu dipersingkat. Masyarakat dapat mengakses publikasi BPS melalui perpustakaan atau membeli publikasi ini dari toko buku BPS. Tabulasi yang terbatas juga disajikan dalam situs www.bps.go.id. Tabulasi khusus dapat diperoleh melalui permohonan namun dikenakan biaya. Pusat Data dan Informasi Tenaga Kerja dari Depnakertrans mengelola sebuah situs internet www.nakertrans.go.id yang bisa diakses oleh masyarakat. Selain itu Depnakertrans juga telah menerbitkan beberapa publikasi seperti: Profil Sumber Daya Manusia di Indonesia (tahunan) Situasi Ketenagakerjaan di Indonesia (tahunan) Informasi Singkat mengenai Pasar Kerja di Indonesia
Walaupun Pusat Data dan Informasi ini telah memproduksi buklet tahunan yang mencakup hampir seluruh data administratif di Depnakertrans, namun unit kerja yang berbeda di departemen ini juga memproduksi publikasi sendiri secara ad hoc. Distribusi publikasi Depnakertrans biasanya terbatas hanya untuk kantor-kantor pemerintah, namun dengan pengajuan permohonan, lembagalembaga lain dapat memperolehnya.
33
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
34
BAB
3
Indikator Pekerjaan Yang Layak: Kualitas dan Ketersediaan Data Bab ini akan mengkaji kualitas data pekerja dan ketenagakerjaan di Indonesia serta ketersediaan data atas indikator pekerjaan yang layak. Untuk menilai hal ini, seseorang perlu melihat kualitas data melalui konsistensi, yang kemudian diperbandingkan dengan ketersediaan, waktu diambilnya data, keuntungan serta kerugiannya. Bagian terakhir pada bab ini menyajikan implikasi sistem desentralisasi pada pengumpulan dan penyebaran data.
3.1. Konsistensi dan dapat diperbandingkan17 Banyaknya sumber yang berbeda-beda dalam data ketenagakerjaan dapat menyebabkan pemrosesan data kurang diperbandingkan. Padahal penggunaan sumber data yang sama akan lebih menguntungkan karena konsistensi dan perbandingan melalui statistik dapat dilakukan. Perbandingan statistik ketenagakerjaan dengan sumber yang berbeda-beda biasanya berujung pada masalah. Sebagai contoh, data ketenagakerjaan yang didapatkan melalui survei rumah tangga tidak dapat diasosiasikan langsung dengan data yang didapatkan melalui survei perusahaan. Faktor lain yang menentukan adalah definisi kerja di dalam dua jenis survei tersebut berbeda. Di dalam survei rumah tangga, seseorang dianggap “bekerja” bila ia bekerja setidaknya satu jam dalam satu minggu. Sementara, survei perusahaan mendefinisikan “seseorang yang bekerja” adalah seseorang yang tidak hanya didefinisikan bekerja di dalam perusahaan, tetapi juga seseorang yang berada di dalam daftar pembayaran gaji perusahaan untuk beberapa periode waktu. Perlu diingat survei perusahaan hanya meliputi mereka yang bekerja di sebuah perusahaan. Oleh karena itu, mereka yang tidak bekerja di perusahaan tidak akan disertakan di dalam survei perusahaan, tetapi hanya tercakup di dalam survei rumah tangga. Selain itu, sektor ekonomi di dalam survei perusahaan ditentukan berdasarkan jenis produk atau hasil. Di sisi lain, survei rumah tangga menggambarkan sektor ekonomi atas bagaimana responden menerimanya. Dengan demikian, tingkat ketenagakerjaan sektoral di dalam survei rumah tangga pada umumnya lebih tinggi dibanding sektor lainnya di dalam survei perusahaan. Bahkan, seseorang yang bekerja di lebih dari satu usaha dapat terdaftar di lebih dari satu survei perusahaan. Sementara, seseorang yang bekerja di dalam survei rumah tangga cuma ditentukan oleh pekerjaan utamanya. Terlepas dari perbedaan konseptual tersebut, bukan tidak mungkin untuk merekonsiliasikan data dari sumber-sumber ini. Cara yang terbaik untuk merekonsiliasinya adalah mulai dari tahap 17
Bagian ini umumnya berdasarkan data Hananto Sigit, 2000, Data Ketenagakerjaan di Indonesia.
35
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
perencanaan. Setidaknya dua sumber ini terekonsiliasi. Perbaikan dan penyederhanaan metodologi yang digunakan di survei rumah tangga dan perusahaan sangat diperlukan agar dapat menghasilkan data yang dapat dikaitkan secara langsung. Upaya melihat aspek konsistensi data merupakan upaya yang berharga karena data dapat menjadi lebih berguna dan dapat diaplikasikan. Agar dua survei ini berguna, terutama mengenai data ketenagakerjaan, perlu dilakukan upaya serius untuk merekonsiliasi data ketenagakerjaan.
3.2. Keuntungan dan kekurangan Survei perusahaan, survei data masyarakat dan survei rumah tangga memiliki karakteristik yang berbeda-beda, terutama pada jenis responden dan jenis informasi yang dikumpulkan. Pada dasarnya, setiap survei memiliki kelebihan dan kekurangan. Di dalam survei perusahaan, informasi disediakan oleh orang yang ditugaskan oleh perusahaan untuk menanggapi kuesioner. Jawaban pada umumnya didasarkan pada dokumentasi perusahaan. Dengan demikian konsep dan definisi yang digunakan di dalam jenis survei ini seharusnya sesuai dengan konsep dan definisi yang diaplikasikan di dalam lembaga. Sehingga di dalam jenis survei ini, seseorang tidak dapat langsung melemparkan pertanyaan terkait dengan pekerja individual. Di dalam survei perusahaan, seseorang tidak menuruti definisi dan konsep “pendekatan angkatan kerja”. Hal ini berbeda dengan survei rumah tangga, di mana pertanyaan spesifik mengenai ketenagakerjaan diberikan kepada individu anggota rumah tangga berdasarkan “pendekatan angkatan kerja”. Survei perusahaan terdiri dari data karyawan yang terbatas yang dapat dikaitkan dengan informasi mengenai biaya, modal dan output lembaga. Kelebihan survei ini adalah dapat digunakan untuk menghasilkan informasi yang lebih detail mengenai ketenagakerjaan sub-sektoral dan klasifikasi pekerjaan. Dengan menyatukan data ketenagakerjaan dari survei perusahaan dengan survei rumah tangga, informasi detail mengenai klasifikasi pekerjaan dan sub-sektoral dapat dicapai. Data individual secara detail dan data pekerja rumah tangga tersedia di dalam survei rumah tangga. Perubahan metodologi dan cakupan mengakibatkan kelemahan baik bagi survei perusahaan dan rumah tangga sehingga kedua survei tersebut sebaiknya tidak digunakan sebagai perbandingan jangka pendek. Meskipun demikian, konsistensi dari metodologi dan kuesioner perlu dijaga, dan bila perlu, dilakukan penyesuaian, agar data dapat diperbandingkan—sehingga bisa digunakan sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Hal ini pasti akan memperbaiki hasil dari analisis serial. Selain itu, catatan administratif juga sangat membantu dan tidak dapat diabaikan dalam menyediakan indikator secara cepat untuk beberapa aspek dari pasar kerja yang tidak disediakan oleh jenis-jenis survei di atas. Meskipun jenis-jenis data ini sering kali tidak lengkap, namun datadata tersebut tetap berguna.
36
3.3. Indikator pekerjaan yang layak: kesenjangan data Indikator pekerjaan yang layak dibangun dari data pekerja dan ketenagakerjaan. Tabel 3.1. di bawah ini menggambarkan sumber dan tempat penyimpanan data indikator pekerjaan yang layak. Tujuh dari 24 indikator didapatkan dari Depnakertrans yang dihasilkan melalui catatan pemerintah, seperti catatan asuransi atau laporan hubungan industrial di Depnakertrans. Sisanya, 17 indikator kerja yang layak didapatkan dari BPS yang dihasilkan melalui Sensus Penduduk, Sakernas, dan sedikit dari Susenas (Tabel 3.1). Perlu dicatat bahwa selama memungkinkan, indikator ditunjukkan melalui usia dan jenis kelamin. Tabel 3.1. Sumber dan T empat Penyimpanan Indikator Pekerjaan yang Layak Tempat No.
Tahun Judul indikator dan lokasi infor masi informasi
DWI-1
Lembaga yang bertanggung jawab atas pengumpulan dan penyebaran data
Tingkat partisipasi anak non-sekolah dengan usia 5-14 tahun 1990
Tidak tersedia
1999
Survei Sosial Ekonomi Nasional
BPS
2003
Survei Sosial Ekonomi Nasional
BPS
2004
Survei Sosial Ekonomi Nasional
BPS
DWI-2
Lapangan pekerjaan perempuan di ISCO-1 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-3
Kasus pengadilan pekerja 1990
Catatan administratif
Depnakertrans
1999
Catatan administratif
Depnakertrans
2003
Catatan administratif
Depnakertrans
2004
Catatan administratif
Depnakertrans
DWI-4
Tingkat partisipasi angkatan pekerja 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-5
Rasio penduduk-tenaga kerja 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
37
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
No.
Tahun Judul indikator dan lokasi infor masi informasi
DWI-6
Tenaga kerja informal 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-7
Jumlah dan upah pekerja harian 1990
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-8
Tingkat pengangguran kaum muda 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-9
Tingkat Kaum muda tanpa kegiatan 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-10
Tingkat pengangguran 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-11
Status di dalam pekerjaan dan cabang kegiatan 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-12
38
Lembaga yang bertanggung jawab atas pengumpulan dan penyebaran data
Bagian upah kerja perempuan di bidang pertanian, industri & jasa 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
No.
Tahun Judul indikator dan lokasi infor masi informasi
DWI-13
Lembaga yang bertanggung jawab atas pengumpulan dan penyebaran data
Produktivitas pekerja 1990
Sensus Penduduk dan Perhitungan Nasional
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional & Perhitungan Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional & Perhitungan Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional & Perthitungan Nasional
BPS
DWI-14
Penghasilan per kapita 1990
National Accounts
BPS
1999
National Accounts
BPS
2003
National Accounts
BPS
2004
National Accounts
BPS
DWI-15
Cakupan perlindungan dosial 1990
Catatan asuransi
Depnakertrans
1999
Catatan asuransi
Depnakertrans
2003
Catatan asuransi
Depnakertrans
2004
Catatan asuransi
Depnakertrans
DWI-16
% bantuan sosial terhadap PDB 1990
Tidak tersedia
1993
Catatan pemerintah
1999
Tidak tersedia
2000
Catatan pemerintah
2003
Tidak tersedia
2004
Tidak tersedia
2005
Catatan pemerintah
DWI-17
Departemen Keuangan Departemen Keuangan
Departemen Keuangan
Kecelakaan kerja 1990
Catatan administratif
Depnakertrans
1999
Catatan administratif
Depnakertrans
2003
Catatan administratif
Depnakertrans
2004
Catatan administratif
Depnakertrans
DWI-18
Jam kerja lembur (>45 jam) 1990
Sensus Penduduk
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
39
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
No.
Tahun Judul indikator dan lokasi infor masi informasi
DWI-19
Tingkat upah rendah 1990
Tidak tersedia
BPS
1999
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2003
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
2004
Survei Angkatan Kerja Nasional
BPS
DWI-20
Keanggotaan serikat pekerja 1990
Catatan administratif
Depnakertrans
1999
Catatan administratif
Depnakertrans
2003
Catatan administratif
Depnakertrans
2004
Catatan administratif
Depnakertrans
DWI-21
Jumlah perusahaan 1990
Catatan administratif
Depnakertrans
1999
Catatan administratif
Depnakertrans
2003
Catatan administratif
Depnakertrans
2004
Catatan administratif
Depnakertrans
DWI-22
Tingkat cakupan perundingan bersama 1990
Catatan administratif
Depnakertrans
1999
Catatan administratif
Depnakertrans
2003
Catatan administratif
Depnakertrans
2004
Catatan administratif
Depnakertrans
Pemogokan dan larangan kerja (lockout)
DWI-23 1990
Catatan administratif
Depnakertrans
1999
Catatan administratif
Depnakertrans
2003
Catatan administratif
Depnakertrans
2004
Catatan administratif
Depnakertrans
DWI-24
40
Lembaga yang bertanggung jawab atas pengumpulan dan penyebaran data
Pertumbuhan ekonomi 1990
National Accounts
BPS
1999
National Accounts
BPS
2003
National Accounts
BPS
2004
National Accounts
BPS
Idealnya, terdapat keseimbangan antara kebutuhan data dan sumber data. Namun, kasus yang terjadi di lapangan tidaklah selalu demikian. Data harus dipilih secara seksama agar dapat mewakili kebutuhan. Data juga mesti dihasilkan melalui cara yang efisien agar dapat menghasilkan statistik yang relevan sesuai dengan kepentingan.
3.3.1. Kesempatan kerja Kesempatan kerja dengan segala aspeknya telah lama menjadi perhatian pemerintah Indonesia. Agenda kerja yang layak, misalnya menjadi prioritas utama dengan diluncurkannya Rencana Aksi Pekerjaan yang Layak pada 2003. Seperti yang telah diulas di bab sebelumnya, pekerjaan yang layak tidak hanya meliputi penciptaan lapangan kerja, tetapi juga komponen seperti hak di tempat kerja, perlindungan sosial dan dialog sosial. Inilah alasan mengapa indikator pekerjaan yang layak menjadi sangat penting untuk dijaga dan diperbarui informasinya agar kemajuan pekerjaan yang layak dapat terus dipantau.
3.3.1.1.
Perubahan struktural
Sebagaimana dinyatakan di dalam agenda indikator pekerjaan yang layak, kesempatan kerja, sebagai salah satu empat pilar pekerjaan yang layak, merupakan komponen yang sangat penting. Oleh karena itu, data mengenai kesempatan kerja harus bisa mendukung keutuhan pengawasan perubahan struktural yang terjadi, selain karakteristik-karakteristik lain. Mengawasi perubahan struktural sangat penting, terutama pada saat periode pergolakan ekonomi. Data ketenagakerjaan juga penting untuk mencerminkan fluktuasi jangka pendek. Pengalaman Indonesia pada 1997 ketika kondisi ekonomi jatuh menggambarkan pentingnya memiliki data yang dapat diandalkan. Dengan data yang dapat diandalkan, bisa digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan program pengembangan. Dari serangkaian data ketenagakerjaan yang dapat diandalkan, seseorang dapat melihat perubahan di dalam struktur ketenagakerjaan, pergeseran dari salah satu cabang kegiatan ekonomi ke cabang yang lainnya. Penggunaan serangkaian data ini juga mampu menjawab pertanyaan apakah sektor modern yang berkembang dengan baik dapat cukup menyerap tenaga kerja, untuk mengurangi tingkat pengangguran baik di sektor formal maupun informal. Keberhasilan dalam menciptakan lapangan kerja di masa depan diharapkan mampu membawa perubahan drastis terhadap komposisi status pekerjaan. Dengan demikian, semakin jelas bahwa kebutuhan atas statistik ketenagakerjaan struktural akan menjadi semakin meningkat di masa depan. Statistik ketenagakerjaan setidaknya harus terdiri dari perubahan struktural, antara lain kegiatan sektor ekonomi, jenis pekerjaan dan status pekerjaan. Singkatnya, data ketenagakerjaan harus dijaga, terus dikembangkan dan diperbaiki melalui metode yang berkeseinambungan.
3.3.1.2.
Tren jangka pendek
Karena ekonomi Indonesia didominasi oleh bidang pertanian, statistik ketenagakerjaan juga perlu mencerminkan pergerakan musim di sektor terkait. Beberapa pertanyaan kebijakan perlu dijawab, misalnya intensitas kerja di dalam bidang pertanian selama periode musim panen dan musim kering; apakah penggunaan tenaga kerja di bidang pertanian menurun di musim kemarau; sektor apa yang dapat menyerap pekerja di bidang pertanian; apa komposisi kesempatan kerja formalinformal; apakah pola musim berbeda berdasarkan jender, pendidikan, dan karakteristik lain dari pekerja individual; serta aspek pekerjaan apa saja yang dipengaruhi oleh perubahan musim.
41
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Data ketenagakerjaan perlu mengawasi dampak gejolak ekonomi agar dapat menjawab tingkat intensitas dan produktivitas kerja; upah riil; perpindahan pekerja dari daerah urban menuju daerah rural—agar dapat bekerja dan tinggal dengan keluarganya; apa sektor yang paling efektif; serta bagaimana rumah tangga dan masyarakat menanggapai kemerosotan kesempatan kerja. Selama periode pemulihan ekonomi, indikator-indikator tersebut perlu digunakan untuk menjawab pertanyaan sebaliknya, seperti berapa banyak orang yang mendapatkan pekerjaan baru, dan apakah orang kembali memiliki kegiatan ekonomi seperti dulu.
3.3.1.3.
Pengangguran dan setengah pengangguran
Dengan pendekatan angkatan kerja, klasifikasi penduduk kerja18 dibagi ke dalam bekerja, tidak bekerja, dan tidak di dalam angkatan kerja. Kemudian kelompok ini masih akan digolongkan berdasarkan mereka yang masih menjalankan pendidikan, menjaga rumah tangga, dan lain-lain. Di Indonesia, klasifikasi pencari kerja pertama terdiri dari mereka yang tidak bekerja dan mereka yang sudah bekerja tetapi masih mencari pekerjaan lain. Bertambahnya tingkat pengangguran bisa jadi mencerminkan dampak krisis ekonomi karena banyak orang kehilangan pekerjaannya. Selain itu, di dalam pergolakan ekonomi seperti itu, berkurangnya pekerjaan semakin meningkat. Pengangguran merupakan indikator penting untuk melihat kondisi perkembangan negara. Di negara-negara yang ekonominya sedang berkembang seperti Indonesia, selain pengangguran, pengukuran setengah pengangguran juga menjadi indikator penting karena dapat menunjukkan bahwa meskipun orang memiliki pekerjaan, namun pekerjaan tersebut mungkin saja tidak produktif. Mengikuti tren permintaan dan persediaan tenaga kerja di sektor modern akan sangat berguna untuk memahami mekanisme ketentuan upah di sektor modern, yang kemudian memengaruhi tingkat pendapatan di sektor informal. Pasar kerja untuk seluruh ekonomi tidak dapat dipahami tanpa mengetahui permintaan dan persediaan tenaga kerja di sektor modern. Data mengenai kesempatan kerja disajikan ke dalam tingkat pengangguran yang diklasifikasikan berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin, baik untuk kaum muda dan umum. Sebagai tambahan, data tentang rasio kesempatan kerja terhadap penduduk juga disediakan. Hal ini dilakukan karena di banyak negara seperti Indonesia, akan lebih baik untuk mengukur setengah pengangguran. Ditunjukkannya tingkat pengangguran pada kaum muda untuk menggambarkan pengangguran pada kaum muda tidaklah cukup. Tingkat pengangguran kaum muda harus ditambahkan dengan rasio pengangguran kaum muda terhadap dewasa, porsi kaum muda di dalam lapangan kerja dan tingkat kaum muda yang tidak aktif. Dengan demikian gambar yang lebih menyeluruh mengenai kesempatan kerja untuk kaum muda dapat disajikan. Tingkat kaum tidak aktif (youth
non activity rate) menunjukkan tingkat kaum muda yang tidak berpartisipasi di dalam angkatan kerja.
3.3.1.4.
Sektor informal
Pentingnya sektor informal dalam menyediakan lapangan kerja bagi tenaga kerja yang berlebihan di Indonesia sudah tidak dapat diperdebatkan lagi. Sektor ini dipercaya mampu menyediakan “keamanan” pekerjaan dengan menyerap pekerja dari bidang pertanian yang berpindah ke daerah 18
42
Di Indonesia penduduk usia kerja didefinisikan bagi mereka yang berada di dalam kelompok usia 15 tahun ke atas.
perkotaan, dan menyediakan pekerjaan bagi mereka yang tidak mendapatkan pekerjaan di sektor formal. Sektor informal akan menjadi bagian dalam ekonomi pada waktu yang lama. Bahkan sulit untuk mengukur sektor informal dari waktu ke waktu. Perlu diingat, indikator bisa jadi akan berfluktuasi seiring dengan perjalanan waktu di suatu negara. Saat ini, dua jenis sumber data tersedia untuk menilai lapangan kerja sektor informal. Sumber data pertama adalah dari survei rumah tangga (seperti Sakernas dan Supas), sedangkan sumber data kedua adalah dari survei perusahaan. Estimasi lapangan kerja informal dari survei rumah tangga dihitung dengan menggunakan status pekerjaan sebagai wakil. Wirausahawan (kecuali profesional), orang yang bekerja sendiri (own account), pekerja kasual, dan pekerja tanpa bayaran dianggap sebagai pekerja di dalam sektor informal. Pemberi kerja dan pekerja (kecuali tenaga kerja tani) diklasifikasikan sebagai pekerja formal. Estimasi pendapatan diambil melalui survei perusahaan. Bagi sub-sektor manufaktur, estimasi pendapatan diambil dari survei terhadap industri kecil dan industri rakyat. Lembaga mikro dianggap sebagai sektor informal, yang meliputi: biaya produksi, pengeluaran untuk tenaga kerja, jumlah dan karakteristik kelompok pekerja, struktur output, modal, operasi bisnis, pemasaran dan partisipasi di dalam program pemerintah. Berdasarkan informasi ini, rata-rata penghasilan dari kelompok yang berbeda-beda akan dihitung. Meskipun estimasinya tersedia, namun estimasi ini tidak terlalu sering digunakan. Dan indikator yang lebih baik dan lebih banyak dari data-data tersebut masih perlu dikonstruksikan untuk menunjukkan perubahan sektor informal.
3.3.1.5.
Upah dan remunerasi
Remunerasi merupakan aspek kondisi kerja yang berdampak langsung kepada hari kerja. Sejak awal, pertanyaan mengenai tingkat upah layak dan praktik remunerasi tenaga kerja yang adil telah menjadi pusat kegiatan ILO. Selain itu ILO pun telah mengadvokasi standar kerja agar dapat menjamin dan melindungi hak para pekerja terutama dalam masalah upah. Konstitusi asli (1919) telah mengacu kepada “ketetapan upah hidup yang layak” sebagai salah satu perubahan yang paling mendesak. Upah memiliki implikasi yang berbeda bagi pemberi kerja dan pekerja. Upah merupakan biaya bagi pemberi kerja tetapi juga merupakan cara untuk memotivasi pekerja. Bagi para pekerja, upah mencerminkan standar kehidupan mereka, insentif untuk memiliki keterampilan dan sumber kepuasan kerja. Perundingan kolektif pada tingkat perusahaan yang dikombinasikan dengan dialog sosial tripartit nasional merupakan cara terbaik untuk menetukan upah dan memecahkan konflik potensial. Perundingan upah yang terkoordinasi menjadi sarana penting untuk mencapai tingkat inflasi rendah. Tapi tentunya itu harus dikombinasikan dengan tingginya penggunaan tenaga kerja dan tingginya tingkat kompetisi. Dialog sosial mengenai upah menjadi pertimbangan dalam berbagai instrumen ILO, di mana perhatian khusus diberikan terhadap peran mitra sosial dalam memperbaiki kondisi upah minimum. Konvensi Perbaikan Upah Minimum (No.131) dan Rekomendasi (No.135) menunjukkan partisipasi ekstensif dari pemberi kerja dan pekerja, baik dalam menentukan kelompok penghasil upah yang harus dicakup oleh sistem perbaikan upah minimum, operasi maupun modifikasi mekanisme perbaikan upah minimum.
43
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Instrumen ILO juga menangani isu perlindungan upah: Konvensi Perlindungan Upah (No.95) dan Rekomendasi (No.85). Instrumen pun menangani perlindungan atas keluhan pekerja di dalam kasus bangkrutnya pemberi kerja atau likuidasi judisial: Konvensi (No. 173) Perlindungan Keluhan Pekerja (Masalah Pekerja yang Belum Terselesaikan) dan Rekomendasi (No.180). Untuk mengukur perlindungan seperti yang diamanatkan dalam instrumen ILO tentunya sangat dibutuhkan adanya bantuan dari mitra sosial. Data mengenai upah, gaji atau pendapatan perlu dikumpulkan karena data ini mencerminkan kesejahteraan seseorang. Data upah dapat dikumpulkan melalui survei perusahaan atau survei rumah tangga. Tapi karena survei perusahaan di Indonesia hanya mencakup cabang-cabang sektor ekonomi dan jenis pekerjaan pekerja formal tertentu, tingkat upah yang diambil dari survei ini tidak akan mencerminkan gambaran umum dari pendapatan pekerja. Data upah, gaji, pendapatan yang diperoleh melalui survei rumah tangga lebih mencerminkan situasi aktual dari tingkat upah di negara ini. Hal ini disebabkan cakupan Sakernas, sebagai survei rumah tangga, yang lebih luas meliputi anggota rumah tangga yang bekerja di dalam sampel— meskipun mereka adalah pekerja yang dibayar. Tingkat upah dianggap sebagai salah satu indikator pekerjaan yang layak. Idealnya, data mengenai upah seharusnya mencerminkan kecukupan biaya hidup pekerja. Bahkan, sebenarnya dapat diinterpretasikan sebagai “… bagaimana distribusi pekerja menurut tingkat upahnya, dan berapa persentase pekerja yang menerima upah rata-rata rendah?” Dua indikator pada upah telah ditampilkan. Pertama, jumlah dan upah dari pekerja kasual, dan kedua, distribusi pekerja berdasarkan tingkat upah yang memungkinkan seseorang untuk mendeteksi adanya tingkat upah rendah. Kedua indikator ini berupaya untuk melihat pekerja yang menerima tingkat upah rendah. Ketersediaan data akan membuka akses untuk membedakan pekerja kasual yang dipekerjakan di dalam bidang pertanian dan pekerja kasual yang dipekerjakan di kegiatan non pertanian.
3.3.1.6.
Jam kerja
Jam kerja mencerminkan apakah pekerja bekerja di dalam kurun waktu yang normal atau tidak. Jam kerja yang berlebihan tidak dapat diterima dengan mempertimbangkan kesehatan atau penghargaan untuk lembur. Jam kerja juga dapat berkaitan dengan setengah pengangguran. Data menunjukkan jumlah pekerja dan jam kerja mereka. Kelompok ini akan dipecah ke dalam 12 kategori jam kerja, yaitu 1-4, 5-9, 10-14, 15-19, 20-24, 25-34, 35-44, 45-54, 55-59, 60-74 dan 75+. Diharapkan penggolongan ini dapat membantu analisis ketenagakerjaan. Jam kerja normal di Indonesia adalah 40-45 jam per minggu, dengan demikian mereka yang bekerja lebih dari 45 jam seminggu dianggap bekerja berlebihan.
3.3.2. Jaminan sosial Data mengenai jaminan sosial sangat penting untuk memantau kondisi indikator pekerjaan yang layak. Indikator tentang jaminan sosial ini dicerminkan melalui cakupan jaminan sosial dan persentase bantuan sosial publik terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
44
3.3.2.1.
Cakupan jaminan sosial
Indikator ini diperoleh dari Depnakertrans yang mengumpulkan informasi catatan asuransi para pekerja di bawah jurisdiksi Jamsostek, sebuah lembaga asuransi tenaga kerja milik negara. Meskipun demikian, beberapa tahun belakangan ini, arus informasi tersebut tidak terlalu lancar. Data yang tersedia di Depnakertrans biasanya disajikan dari perusahaan yang berpartisipasi di dalam skema jaminan sosial dan cakupan pekerja di dalam skema. Karena skema ini hanya meliputi pekerja formal, keterlibatan mereka yang bekerja di sektor informal tidak dapat terwakili.
3.3.2.2.
Persentase bantuan sosial terhadap Produk Domestik Bruto
Wajar jika kita berharap jenis indikator ini dapat diperoleh dari laporan Departemen Keuangan. Sayangnya, informasi ini tidak selalu tersedia untuk umum. Ada tiga bagian tahun yang tersedia. Sedangkan ketidaktersediaan data diakibatkan karena di masa lalu anggaran pengeluaran yang dialokasikan tidak memungkinkan untuk melihat pengeluaran pada “bantuan sosial” secara terpisah, sehingga kategori ini digabungkan dengan pengeluaran lain. Baru pada akhir tahun 2005, pengeluaran pada “bantuan sosial” diletakkan secara terpisah di dalam proposal anggaran, sehingga persentase bantuan sosial terhadap PDB dapat diakses. Karena indikator ini sangat penting bagi yang ingin melihat tren pada anggaran bantuan sosial, akan sangat bijaksana bila format dari alokasi anggaran semacam ini dapat dipertahankan.
3.3.3. Dialog sosial Komponen dialog sosial disajikan di dalam empat indikator, yaitu keanggotaan serikat kerja, jumlah perusahaan yang masuk asosiasi pengusaha, cakupan peraturan perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama, serta pemogokan dan larangan kerja. Empat indikator ini dianggap cukup untuk mencerminkan ruang lingkup dialog sosial di tempat kerja.
3.3.3.1.
Keanggotaan serikat pekerja
Jenis data ini dapat diambil dari Depnakertrans karena lembaga ini menyusun laporan dari serikat pekerja. Semasa pemerintahan Presiden Soeharto, pemerintah hanya mengakui satu serikat pekerja, Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasi Konvensi ILO No.87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berserikat pada 1998. Sejak saat itulah, jumlah serikat pekerjaan makin bertambah. Indikator ini muncul bukan hanya dari kebebasan bagi pekerja tetapi juga mencerminkan ruang lingkup dialog sosial di tempat kerja yang kian terbuka. Pertumbuhan serikat pekerja tergolong baru di Indonesia. Pemerintah, melalui Depnakertrans hingga saat ini masih terus memverifikasi validitasnya. Sehingga sebagai salah satu indikator untuk dialog sosial di tempat kerja harus diinterpretasikan dengan hati-hati.
3.3.3.2.
Jumlah perusahaan yang masuk asosiasi pengusaha
Konvensi ILO No.87 tidak hanya mengatur kebebasan serikat pekerja, tetapi juga pengusaha. Ada dua organisasi pengusaha di Indonesia, Kadin dan Apindo. Selama ini Apindo kerap dianggap sebagai cerminan organisasi pengusaha yang terkait dengan ketenagakerjaan.
45
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Data diolah Depnakertrans atas dasar laporan organisasi pengusaha. Meskipun demikian, data ditampilkan di dalam bentuk jumlah akumulasi perusahaan. Hal ini karena hampir tidak ada perubahan di dalam angka keanggotaan dari tahun ke tahun.
3.3.3.3.
Cakupan peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja kolektif
Data ini diambil dari Depnakertrans atas dasar laporan dari perusahaan. Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tantang Ketenagakerjaan mewajibkan perusahaan untuk menyusun peraturan perusahaan. Meskipun demikian, perusahaan yang turut serta dalam Perjanjian Kerja Bersama tidak perlu memiliki peraturan perusahaan. Peraturan dan kesepakatan sangat penting untuk melindungi kedua belah pihak, baik hak pekerja maupun pengusaha. Oleh karena itu, kelanjutan dan konsistensi pengumpulan data sangat penting dijaga agar dapat digunakan untuk mengawasi status pekerjaan yang layak di Indonesia.
3.3.3.4.
Pemogokan dan larangan kerja
Depnakertrans juga mengumpulkan data tentang pemogokan dan larangan kerja (tidak dipisahkan antara pemogokan dan larangan kerja). Merupakan kewajiban bagi pekerja untuk melaporkan kepada Depnakertrans bila mereka ingin melakukan pemogokan. Data ini disimpan dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Hubungan Industri Depnakertrans.
3.3.4. Hak di tempat kerja Ada tiga indikator pekerjaan yang layak di tempat kerja, yaitu partisipasi anak non-sekolah usia 715 tahun, persentase perempuan yang bekerja di ISCO-2, dan kasus-kasus yang terjadi pada pengadilan hubungan industrial.
3.3.4.1.
Partisipasi anak non-sekolah usia 7-15 tahun
Usia sekolah resmi di Indonesia dimulai pada usia tujuh tahun. Pemerintah telah memperkenalkan pendidikan wajib sembilan tahun yang diterapkan kepada anak usia 7-15 tahun. Meskipun program ini belum sepenuhnya berjalan, anak-anak di dalam kelompok usia ini yang tidak bersekolah dianggap sebagai angkatan kerja. Asumsi seperti ini memberikan dasar yang kabur atas parameter tenaga kerja anak. Partisipasi anak non-sekolah dapat diambil dari Susenas, sebuah survei sosial ekonomi nasional yang diadakan setiap tahun. Susenas melemparkan pertanyaan di dalam kuesioner mengenai pendidikan yang ditujukan kepada penduduk usia lima tahun ke atas. Anak dengan usia 7-15 tahun yang masih bersekolah akan sama seperti mereka yang terdapat di sekolah dasar dan sekolah mengengah.
3.3.4.2.
Persentase perempuan yang bekerja di ISCO-2 (1968)19
Perempuan di negara berkembang biasanya bekerja pada bidang yang cenderung bersifat feminin dan berada pada peringkat yang lebih rendah. Hal ini pun terjadi di Indonesia. Proporsi perempuan yang bekerja di kelompok pekerjaan utama sebagai “pekerja administratif dan manajerial” masih 19
46
Kelompok utama pekerjaan serupa di dalam ISCO-1988 adalah kelompok ISCO-1 yang meliputi legislator, manajer dan pekerjaan bergengsi lainnya.
sangat rendah. Bila seseorang mengasumsikan rendahnya proporsi perempuan di bidang kerja ini sebagai indikator dari perempuan yang tidak memiliki akses pekerjaan tingkat atas dan tidak mendapatkan perlakuan yang adil, indikator ini akan berguna untuk mengawasi hak pekerja perempuan. Golongan utama kedua di dalam Klasifikasi Jenis Pekerjaan Standar Internasional tahun 1968 mengacu kepada “pekerja administratif dan manajerial”. Kelompok utama ini meliputi (1) pejabat legislatif dan administrator pemerintah, dan (2) manajer. Data dapat diambil melalui Sakernas, Sensus Penduduk, atau bahkan dari Susenas. Dengan melihat porsi perempuan yang bekerja di ISCO-2 (ISCO-rev.2,1968) hal ini akan memberikan indikator ketidaksetaraan di tempat kerja.
3.3.4.3.
Kasus-kasus yang dibawa ke pengadilan hubungan industrial
Bila terjadi perselisihan dan kesepakatan bersama tidak dapat dicapai, sebuah kasus dapat dibawa ke pengadilan hubungan industrial. Dulu saat pengadilan hubungan industrial belum ada perselisihan hubungan industrial akan dibawa ke komite penyelesaian konflik tenaga kerja. Komite tersebut dikenal dengan Panitia Penyelesaian Perburuhan Pusat (P4)—di tingkat nasional—dan di daerah komite ini disebut Panitia Penyelesaian Perburuhan Daerah (P4D). Di masa lalu dalam periode sentralisasi, arus informasi tergolong baik, karena daerah wajib memberikan laporan kepada kantor pusat. Hal ini meliputi kasus-kasus yang dibawa ke P4D. Sejak diberlakukannya desentralisasi, arus data menjadi berkurang, bahkan terkadang tidak ada sama sekali. Beberapa daerah kadang malah tidak mengirimkan laporannya ke Depnakertrans. Data pada indikator ini ditampilkan di dalam jumlah kasus perselisihan (juga mengacu kepada kasus yang tidak selesai) dan jumlah pekerja yang dipecat (sesuai dengan keputusan komite). Perlu diingat, jumlah kasus bukan suatu pengukuran yang baik. Interpretasi bisa dianggap positif bila kasus dapat diselesaikan. Untuk menjaga serangkaian indikator kerja yang baik, perlu dipastikan adanya laporan secara teratur kepada pemerintah pusat secara konsisten dan berkelanjutan sehingga data dapat tersedia.
3.4. Implikasi otonomi daerah pada pengumpulan data Sejak penerapan UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah, yang kemudian direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004, daerah memiliki hak untuk menjalankan aktivitasnya secara otonom, kecuali dalam beberapa bidang.20 Departemen teknis termasuk Depnakertrans tidak lagi memiliki koordinasi vertikal dengan dinas-dinas terkait di daerah. Manajemen dari dinas daerah dipindahkan ke pemerintah daerah. Meskipun otonomi daerah membawa perbaikan kepada daerah, namun ada beberapa kegiatan yang agak terbengkalai. Sebagai contohnya adalah aktivitas dalam menjaga kelanjutan dan konsistensi arus data seperti yang didapatkan pada indikator kerja yang layak melalui sensus, survei, dan catatan administratif.
20
Aspek ini meliputi politik, pertahanan, keamanan, keadilan, moneter dan fiskal nasional serta agama (lihat UU No.32 Tahun 2004).
47
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Informasi pasar kerja daerah Idealnya BPS juga menyediakan informasi pasar kerja pada tingkat daerah. Publikasi hasil sensus, survei penduduk antar sensus, Sakernas, dan Susenas memang menyediakan tabel informasi ketenagakerjaan pada tingkat provinsi, tetapi sayangnya tidak memungkinkan pada tingkat kabupaten. Kantor daerah, kecuali BPS, biasanya tidak memiliki keahlian untuk menghasilkan tabel seperti itu di tingkat daerah. Mereka kekurangan informasi pasar kerja yang sudah siap. Padahal jika data ini tersedia setidaknya dapat membantu untuk menegosiasikan tingkat upah minimum, menilai kurangnya keterampilan dan kelebihan mereka, memberikan informasi pasar kerja dasar kepada para pemberi kerja dan pencari kerja serta kepada lembaga pelatihan dan pendidikan. Oleh karena itu, penting bagi BPS dan lembaga pemerintah yang terkait dengan ketenagakerjaan untuk melakukan upaya yang fokus agar menghasilkan estimasi pada tingkat provinsi dan kebupaten. Selain itu, setelah krisis keuangan, yang diikuti oleh implementasi otonomi daerah, berakibat pada berkurangnya anggaran BPS sehingga berdampak pada kurangnya ukuran sampel survei Sakernas. Pada awal 2000, BPS tidak dapat menghasilkan tabel estimasi bahkan untuk tingkat provinsi. Tabulasi untuk provinsi digantikan dengan tabel tingkat kepulauan. Namun seiiring dengan membaiknya situasi ekonomi, ukuran sampel pun dikembalikan ke ukuran normal. Upaya untuk mendapatkan data informasi pasar kerja di tingkat kabupaten dilakukan oleh Depnakertrans pada 1990. Depnakertrans mengalokasikan anggaran untuk survei tenaga kerja daerah di beberapa provinsi, masing-masing pada tiga atau empat kabupaten. Survei tenaga kerja ini dikenal sebagai Survei Tenaga Kerja Daerah (Sakerda). Kerjasama antara Bappenas dan BPS juga dilakukan, meskipun peran sentralnya sebenarnya adalah Depnakertrans. Inisiatif ini tidak dilanjutkan karena hambatan anggaran, selain juga karena kurangnya keahlian teknis. Depnakertrans sebaiknya berkonsentrasi pada analisis data dan memberikan wewenang produksi, pemrosesan, dan publikasi data kepada pihak yang kompeten, yaitu BPS kabupaten di bawah pengawasan dan koordinasi BPS nasional.
Pengumpulan data melalui survei dan sensus Hingga saat ini, produksi statistik masih sangat terpusat. BPS masih menghasilkan statistik nasional dan regional. Karena Sakernas merupakan satu-satunya sumber data ketenagakerjaan yang berkelanjutan dan konsisten, pengambilan datanya harus terus dijaga dan diperbaiki. Meskipun demikian, karena jumlah sampel yang digunakan oleh Sakernas relatif kecil, data ketenagakerjaan tidak dapat digunakan untuk tingkat administratif ke bawah, seperti pada tingkat kabupaten. Dengan diberlakukannya otonomi daerah, kebutuhan data ketenagakerjaan daerah untuk memonitor indikator kerja yang layak menjadi semakin penting. Data pada tingkat kabupaten dan provinsi dapat diandalkan bila survei didasarkan pada sampel yang besar. Pemerintah direkomendasikan untuk memperluas cakupan Sakernas sehingga dapat menganalisa pasar kerja hingga ke tingkat kabupaten. Ketersediaan data daerah akan sangat berguna bagi pemerintah daerah dalam perencanaan dan penerapan program pembangunannya.
48
Pengumpulan data melalui catatan administratif Catatan administratif dikumpulkan oleh departemen teknis. Data mengenai tenaga kerja dan ketenagakerjaan ditangani oleh Depnakertrans. Dulu, arus data dari daerah ke Depnakertrans tergolong lancar, meskipun terkadang ada data-data yang tidak tertangani, terutama untuk pulaupulau di luar. Sejak diberlakukannya otonomi daerah, beberapa departemen teknis seperti Depnakertrans tidak lagi memiliki kantor daerah. Isu tenaga kerja dan ketenagakerjaan ditangani oleh Dinas Tenaga Kerja di bawah pemerintah daerah. Dalam banyak kasus, Dinas Tenaga Kerja ini tidak mengirimkan data atau informasi kepada Depnakertrans karena mereka tidak diwajibkan untuk melakukannya. Bukan hanya itu, beberapa Dinas Tenaga Kerja di daerah juga dikelola oleh mereka yang tidak memiliki latar belakang di bidang tenaga kerja dan ketenagakerjaan. Sehingga, tidak mengejutkan bila petugasnya tidak memiliki pengetahuan mengenai pentingnya data yang berkaitan dengan tenaga kerja. Kurangnya kesadaran mengenai nilai data dan tidak adanya kewajiban untuk mengirimkan data ke pusat merupakan tantangan yang dihadapi dalam mengupayakan indikator kerja layak yang baik dan dapat diandalkan.
Kesimpulan Sejauh ini, bab ini telah mengkaji konsistensi, perbandingan, dan kesenjagan data untuk memformulasikan indikator kerja yang layak. Terdapat kebutuhan untuk meningkatkan kesadaran pentingnya data terutama di tingkat pemerintah daerah. Sehingga meskipun pemerintah daerah tidak diwajibkan untuk mengirimkan data informasi ke kantor pusat, dengan adanya kesadaran, mereka akan melakukannya dengan sukarela. Ketersediaan data yang dikumpulkan oleh BPS juga sebaiknya digabungkan dengan kekuatan BPS dan Depnakertrans dalam hal analisis. Pasalnya tingkat analisis masih cukup lemah di kedua lembaga ini. Peningkatan fokus dalam analisis teratur juga perlu dilakukan.
49
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
50
BAB
4
Mekanisme Koordinasi atas Informasi Pasar Kerja dan Indikator Pekerjaan Yang Layak Bab ini mengkaji mekanisme koordinasi pengumpulan dan penyebaran data di dalam dan di luar Depnakertrans—yang merupakan departemen teknis yang bertanggung jawab atas tenaga kerja dan lapangan kerja, termasuk indikator pekerjaan yang layak. Untuk dapat memahami mekanisme koordinasi yang disediakan atas indikator pekerjaan yang layak di Depnakertrans, kita perlu memahami lokasi unit kerja yang bertanggung jawab atas informasi pasar kerja di Depnakertrans agar dapat mengidentifikasi mitra utamanya dalam melakukan pengumpulan data, jenis data yang dikumpulkan, dan pengguna utamanya. Hal lain yang dikaji adalah hubungan internal antara unit kerja yang berbeda di dalam departemen dan hubungan eksternal mengenai pasar kerja beserta indikator layak kerja.
4.1. Mekanisme koordinasi informasi pasar kerja dan indikator pekerjaan yang layak di Depnakertrans Bagian ini mengulas lembaga yang bertanggung jawab atas pengumpulan data, mitra kerja, jenis data yang dikumpulkan, pengguna utama serta hubungan internal dan eksternal Depnakertrans.
4.1.1. Lembaga yang bertanggung jawab atas indikator pekerjaan yang layak di Depnakertrans Berdasarkan jurisdiksi, Depnakertrans memiliki tanggung jawab yang tercerminkan melalui sembilan jajaran unit kerja eselon pertama, salah satunya Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi. Berdasarkan Keputusan Presiden, badan ini ditugaskan untuk melakukan penelitian, pengembangan dan pengelolaan informasi, sehingga data serta informasi mengenai tenaga kerja dan transmigrasi dapat dikelola dengan baik. Instruksi Menteri Tenaga Kerja No.1 Tahun 2001 menetapkan Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi merupakan lembaga yang mengelola website Depnakertrans www. nakertrans.go.id. Di dalam lembaga ini, terdapat dua pusat informasi. Pertama adalah pusat informasi tenaga kerja dan kedua pusat informasi transmigrasi. Karena informasi pasar kerja serta indikator pekerjaan yang layak berkaitan erat dengan permasalahan ketenagakerjaan, termasuk tenaga kerja, maka berdasarkan legislasi, lembaga yang bertanggung jawab atas pengelolaan dan penyebaran informasi tenaga kerja adalah Pusat Informasi Tenaga Kerja.
51
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
4.1.2. Pengguna utama informasi pasar kerja dan indikator pekerjaan yang layak Pengguna utama Ada empat pengguna utama informasi ini yaitu (1) pencari kerja, (2) pemberi kerja, (3) serikat pekerja, dan (4) pembuat kebijakan dan analis pasar kerja. Semua pengguna informasi ini memiliki suatu kesamaan yakni ingin mendapatkan informasi mengenai pasar kerja beserta kondisi kerja yang layak. Meskipun demikian, jenis informasi yang dicari masing-masing pengguna mungkin berbeda. Tabel di bawah ini menunjukkan secara singkat jenis-jenis data yang dicari pengguna.
Kebutuhan informasi pengguna indikator pekerjaan yang layak Tabel di bawah ini menunjukkan secara singkat bahwa para pengguna memiliki kebutuhan informasi yang berbeda-beda. Pencari kerja akan mencari informasi mengenai lowongan kerja, sementara karyawan mungkin lebih tertarik akan informasi mengenai upah minimum yang berlaku, atau mengenai kesepakatan kerja bersama Tabel 4.1: Jenis Infor masi yang Diperlukan Pengguna Informasi Pengguna
Kebutuhan Infor masi Informasi
Pencari kerja
Lowongan bagi para pencari kerja, berdasarkan: Pekerjaan dan pengalaman yang diperlukanIndustri dan lokasi Gaji dan tunjangan lain serta prospek karier Kesempatan penempatan kerja di luar kota atau luar negeri Bimbingan karier dan jasa konseling bagi pelajar Pekerjaan yang menjanjikan: lama pendidikan dan pelatihan, tingkat kesulitan, gaji, prospek karier. Pelatihan khusus, misalnya, keterampilan komputer dan berbahasa
Pemberi kerja
Kinerja ekonomi Upah minimum Keterampilan Pasar kerja Upah bagi tenaga kerja yang tidak terampil, cukup terampil dan sangat terampil. Upah minimum dan biaya hidup karyawan. Perundingan kolektif. Peraturan perusahaan.
Serikat pekerja
Upah minimum Upah rata-rata Anggota serikat pekerja Peraturan perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. Pemogokan (lokasi, frekuensi, durasi, hilangnya jam kerja, hilangnya materi)
Pembuat kebijakan
Tren pasar kerja
dan analis pasar kerja
Tren indikator kerja yang layak Lapangan pekerjaan Pengangguran Pekerjaan lain dan informasi yang berkaitan dengan tenaga kerja
52
4.2. Hubungan 4.2.1. Hubungan internal Untuk mengelola pengumpulan dan penyebaran data Depnakertrans, Pusat Informasi Tenaga Kerja bermitra dengan unit kerja lain di departemen yang terlibat dengan data atau informasi. Berdasarkan struktur, setiap unit kerja eselon pertama, seperti direktorat jenderal atau badan memiliki struktur yang dikenal dengan sebutan “program dan evaluasi pelaporan (PEP)”. PEP wajib digunakan untuk menyusun data dan catatan yang didapatkan dari provinsi/kabupaten atau data dalam bentuk laporan administratif dari unsur-unsur yang berkaitan. PEP berfungsi untuk membuat laporan atas seluruh implementasi program dan kegiatan yang dilakukan oleh unit kerja eselon pertama. Dengan demikian, PEP bertindak sebagai titik penghubung dengan Pusat Informasi Tenaga Kerja Dulu PEP menerima data adminstratif dari tingkat provinsi yang memperoleh data administratif dari tingkat kabupaten. Data administratif beserta informasi disusun oleh PEP dan kemudian diserahkan kepada Pusat Informasi Tenaga Kerja. Selanjutnya mereka akan mengelola dan memproses data dan informasi tersebut ke dalam format yang dapat disajikan. Untuk kembali menegaskan mandat Pusat Informasi Tenaga Kerja, Depnakertrans juga telah membentuk “Tim Manajemen Informasi” yang diketuai oleh Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Informasi (Balitfo), di mana anggotanya terdiri dari seluruh anggota sekretariat dari eselon satu (biasanya diwakilkan oleh PEP). Tim ini dimandatkan untuk menerapkan tugasnya melalui surat keputusan yang dikeluarkan Kepala Badan Penelitian dan Informasi. Pusat Informasi Tenaga Kerja tidak hanya bertanggung jawab atas pengelolaan data di Depnakertrans tapi juga mengelola data untuk website Depnakertrans. Meskipun di masa lalu data tidak dikelola secara sistematis, namun data-data tersebut cukup konsisten dan teratur dikeluarkan. Namun seiring diberlakukannya otonomi daerah, daerah tidak wajib lagi untuk mengirimkan data dan informasi kepada pemerintah pusat. Depnakertrans pun tidak lagi menerima data dari daerah-daerah secara teratur. Hal sebetulnya ini merugikan karena Depnakertrans tidak dapat mengawasi indikator pekerjaan yang layak secara reguler dan konsisten, bahkan keakuratan data juga kemudian dipertanyakan.
Jenis data yang dikumpulkan Pusat Informasi Tenaga Kerja Jenis data yang dikumpulkan Pusat Informasi Tenaga Kerja mencerminkan tugas dan fungsi setiap direktorat jenderal di Depnakertrans yang memiliki fungsi dan tugas spesifik. Dengan demikian, data dan informasi yang dikumpulkan dari setiap direktorat jenderal akan mencerminkan tanggung jawabnya. Sebagai contoh, data mengenai penempatan tenaga kerja dan layanan pasar kerja disusun oleh Direktorat Jenderal Penempatan Tenaga Kerja Domestik. Sementara, data mengenai pemogokan dan larangan kerja dikumpulkan bersama Direktorat Jenderal Hubungan Industrial (Tabel 4.2).
53
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
Tabel 4.2: Jenis Data T enaga kerja dan Ketenagakerjaan yang Dikumpulkan Dir ektorat Tenaga Direktorat Jenderal di Departemen T enaga Kerja dan T ransmigrasi Tenaga Transmigrasi Dir ektorat Jenderal Direktorat
Jenis Data
Sumber Data
Ditjen Penempatan Tenaga Kerja Domestik
Pencari kerja yang terdaftar Lowongan kerja yang terdaftar Penempatan kerja yang terdaftar Pekerja asing Kecelakaan kerja
Laporan perusahaan berdasarkan UU No.7 Tahun 1981
Ditjen Pengawasan Standar Ketenagakerjaan
Upah Minimum Provinsi Upah minimum Kebutuhan hidup minimum Cakupan keamanan Sosial
Laporan dari setiap direktorat
Ditjen Hubungan Industrial
Peraturan perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama Pemogokan dan larangan kerja Jumlah serikat kerja dan anggotanya Organisasi karyawan dan jumlah karyawan di setiap serikat pekerja
Laporan dari setiap direktorat
Jumlah orang yang bekerja di luar negeri beserta asal dan tempat kerja yang dituju Pembayaran pekerja
Laporan dari setiap direktorat
Pelatihan pencari kerja * Pelatihan magang Jumlah instruktur
Oleh serikat pekerja Oleh provinsi
Ditjen Penempatan Kerja di Luar Negeri
Ditjen Pelatihan dan Produktivitas
Laporan dari pengawas ketenagakerjaan
Laporan dari setiap direktorat
Laporan dari setiap direktorat
Catatan: * Dengan diberlakukannya otonomi daerah, sebagian besar dari balai/pusat pelatihan dipindahkan ke pemerintah daerah.
Metode pengantaran data/informasi Metode pengantaran data/informasi dari setiap direktorat jenderal menuju Pusat Informasi Tenaga Kerja sangat beragam. Pengantaran data/informasi dapat dilakukan melalui e-mail, kurir kantor, atau data dapat disajikan dalam bentuk laporan tri wulan atau laporan tahunan. Meskipun demikian, terkadang staf Pusat Informasi Tenaga Kerja dapat mengambil sendiri data tersebut, seperti data mengenai jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri. Frekuensi pengumpulan data yang dilakukan Pusat Informasi Tenaga Kerja pada umumnya dilakukan dengan basis tri wulan atau tahunan.
4.2.2. Hubungan eksternal Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Pusat Informasi Tenaga Kerja bekerja sama dengan BPS. Hal ini disebabkan karena menurut undang-undang, BPS merupakan lembaga tunggal di negara ini yang mengumpulkan dan menyebarkan data dasar dan umum serta informasi, termasuk mengenai ketenagakerjaan dan tenaga kerja.
54
Saat hendak melakukan sebuah survei, Depnakertrans perlu berkoordinasi dengan BPS terkait keahliannya dan legalitasnya. Sebaliknya, bila BPS melaksanakan sebuah sensus maupun survei, BPS juga akan meminta pendapat departemen teknis terkait melalui pertemuan dan diskusi untuk membahas tentang formulasi kuesioner, jenis variabel yang akan digunakan, presentasi hasil dan lain sebagainya. Dalam kasus survei angkatan kerja, departemen yang perlu dimintai pertimbangan, antara lain Depnakertrans. Umumnya, perwakilan Depnakertrans akan memberikan pendapat serta saran atas permasalahan yang relevan agar berguna bagi pengguna survei/sensus. Kolaborasi kerja juga dilakukan Pusat Informasi Tenaga Kerja dan BPS berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, terutama dalam publikasi buku Laporan Singkat Informasi
Pekerjaan dan Profil Sumber Daya Manusia Indonesia. Selain BPS, hubungan dengan departemen atau lembaga pemerintahan lain juga dijaga, meskipun sebagian besar bersifat sementara. Sebagai contoh, Pusat Informasi Tenaga Kerja juga membangun kerjasama dengan Bank Indonesia. Selain itu, hubungan eksternal juga disajikan melalui tim kerja atau komite kerja. Sebagai contoh, beberapa tim kerja atau komite kerja terkait ketenagakerjaan yang sudah ada antara lain, Tim Perencanaan Tenaga Kerja, Dewan Pengupahan, Komisi Pelatihan dan lain-lain. Tim komite kerja ini pada umumnya terdiri dari perwakilan tri-partiti plus, dan dapat juga terdiri dari lembaga teknis terkait. Komite ini berada baik di tingkat daerah dan nasional. Sebagai contoh, “Tim Perencanaan Tenaga Kerja Daerah” umumnya berada di setiap tingkat provinsi dan kabupaten. Pada umumnya, tim dipimpin oleh seorang perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja di daerah, dan terdiri atas perwakilan dari Badan Perencana Pembangunan Daerah, lembaga statistik, kantor/dinas teknis terkait lainnya (bidang industri, perdagangan, pertanian, dan lainlain), pengusaha dan serikat kerja. Dengan adanya beberapa komite kerja buruh dan isu yang berkaitan dengan ketenagakerjaan setidaknya ada manfaat yang bisa diambil, karena komite dapat digunakan sebagai media untuk memfasilitasi pengumpulan data dan memperbaruinya. Tim Perencanaan Tenaga Kerja juga sangat relevan untuk dipertimbangkan.
Laporan kepada ILO Depnakertrans juga membina hubungan eksternal, salah satunya dengan ILO. Departemen ini memang memiliki kewajiban untuk memberikan laporan data kepada ILO. Sistem pelaporan kepada ILO didasarkan pada mandat dari setiap unit kerja di Depnakertrans. Berdasarkan struktur organisasi Depnakertrans, Pusat Administrasi untuk Hubungan Luar Negeri21 merupakan lembaga yang bertanggung jawab untuk membina hubungan dengan pihak luar negeri (bilateral maupun multilateral). Dengan mandat ini, pusat ini bertanggung jawab untuk menyediakan data atau informasi yang diperlukan oleh lembaga internasional seperti ILO. Untuk menyediakan laporan data kepada ILO, sejauh ini koordinasi dilakukan dengan unit kerja relevan di Depnakertrans. Pusat Administrasi untuk Hubungan Luar Negeri menyediakan formulir standar yang harus diisi oleh unit kerja yang bersangkutan. Laporan untuk ILO biasanya diserahkan setiap tahun.
21
Pusat Administrasi untuk Hubungan Luar Negeri ini dibawah pengawasan Sekretarian Jenderal Depnakertrans.
55
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
4.3. Tantangan Pada bab sebelumnya (Bab 3, Sub-bab 3.4) disinggung tentang tantangan Depnakertrans dalam mengumpulkan data secara berkesinambungan, terutama setelah diberlakukannya otonomi daerah. Apa yang dapat dilakukan untuk melalui tantangan ini? Dengan kebijakan desentralisasi, lembaga di daerah yang bertanggung jawab atas permasalahan tenaga kerja dan ketenagakerjaan adalah Dinas Tenaga Kerja. Dinas ini dipayungi oleh pemerintah daerah terkait. Sayangnya, struktur organisasi Dinas Tenaga Kerja berbeda antara satu dinas di daerah yang satu dengan yang lainnya. Di beberapa daerah, data tenaga kerja dan ketenagakerjaan dikelola pada tingkat dinas, dan di beberapa daerah lain, data tersebut hanya dikelola pada tingkat sub-dinas. Tidak ada struktur organisasi yang terstandarisasi untuk Dinas Tenaga Kerja di setiap daerah. Dinas yang mengelola tenaga kerja dan ketenagakerjaan merupakan dinas yang memiliki tingkat kewenangan yang lebih tinggi. Namun pada kasus-kasus lain, data tenaga kerja dan ketenagakerjaan dicampur dengan hal lain sehingga menurunkan tingkat kepentingan permasalahan ini. Bersamaan dengan proses desentralisasi, restrukturisasi organisasi pemerintah daerah juga terjadi. Hal ini meliputi restrukturisasi pegawai pemerintah. Masih baik bila petugas direlokasikan ke dalam bidang tanggung jawab yang serupa dengan posisi sebelumnya. Namun sayangnya, hal ini tidak selalu terjadi. Sebagai contoh, seseorang yang dulunya bertugas di bidang ketenagakerjaan direlokasikan ke bidang yang berbeda dari departemen yang berbeda. Sebaliknya, beberapa petugas tanpa latar belakang keterampilan teknis tenaga kerja dan ketenagakerjaan direlokasikan ke dalam Dinas Tenaga Kerja. Akibatnya, beberapa dinas tenaga kerja dikelola oleh petugas yang tidak memiiki latar belakang tentang tenaga kerja dan ketenagakerjaan. Situasi demikian sangat berdampak buruk dalam operasional, implementasi tugas serta fungsi dinas. Selama masa sentralisasi, Depnakertrans, seperti departemen teknis lainnya, telah menginvestasikan pembangunan sumber daya manusianya. Pelatihan reguler mengenai keterampilan teknis bagi petugas di dinas pusat diadakan untuk meningkatkan kinerja. Hal serupa juga dilakukan di daerah. Sosialisasi atas beragam permasalahan dan kebijakan mengenai tenaga kerja dilakukan secara teratur untuk menyamakan persepsi dan standar dari tingkat kompetensi. Tantangan nyata saat ini adalah memperbarui informasi pasar kerja serta indikator pekerjaan yang layak dengan meningkatkan keterampilan. Tak cukup membekali petugas ketenagakerjaan hanya dengan permasalahan tenaga kerja dan ketenagakerjaan, tetapi juga pengetahuan menyeluruh atas pentingnya data. Dengan demikian, pengetahuan mengenai pentingnya informasi pasar kerja dan indikator kerja yang layak serta kebutuhan untuk memonitor indikator-indikator tersebut juga perlu diperkenalkan.
Kesimpulan Meskipun berdasarkan struktur, unit kerja yang memiliki mandat atas pengumpulan dan penyebaran data di Depnakertrans sudah dibentuk, tapi masih ada beberapa permasalahan yang muncul. Permasalahan ini berkaitan dengan akibat penerapan otonomi daerah, karena pemerintah daerah tidak mewajibkan adanya pelaporan kepada kantor pusat.
56
Beberapa tindak pemulihan perlu dilakukan agar arus informasi tetap berkesinambungan. Langkahlangkah yang mungkin dapat dilakukan adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran, membangun kapasitas dan memperkuat dewan atau komite daerah yang sudah ada. Rekomendasi mengenai mekanisme koordinasi yang berkaitan dengan informasi pasar kerja dan indikator kerja yang layak ditampilkan di bab terpisah.
57
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
58
BAB
5
Kesimpulan dan Rekomendasi
5. 1. Kesimpulan Informasi pasar kerja sangat terkait dengan data mengenai persediaan dan permintaan tenaga kerja serta karakteristik pekerjaan dan pengangguran. Di sisi lain, indikator pekerjaan yang layak meliputi tak hanya informasi pasar kerja, tetapi juga dialog sosial, hak dan perlindungan sosial di tempat kerja. Pekerjaan layak merupakan tujuan akhir ILO. Oleh karena itu, dalam konteks yang lebih besar, indikator pekerjaan yang layak mencerminkan banyak permasalahan yang berkaitan dengan tenaga kerja dan pekerjaan, dibandingkan informasi pasar kerja. Depnakertrans melalui Pusat Informasi Tenaga Kerja merupakan departemen teknis yang bertanggung jawab menyediakan indikator kerja yang layak dan informasi pasar kerja. Lembaga ini bertugas mengumpulkan dan menyebarkan data. Boleh dibilang, sistem koordinasi pengumpulan data untuk bank data indikator pekerjaan yang layak dan informasi pasar kerja sudah cukup baik. Kendati sistemnya baik, namun keterampilan dari petugas daerah masih belum cukup. Dengan demikian, diperlukan adanya upaya untuk meningkatkan keterampilan mereka. Pembangunan ke-24 indikator pekerjaan yang layak di Indonesia dapat dilakukan. Beberapa indikator dengan mudah dapat dibentuk, meskipun diperlukan upaya tambahan bagi beberapa indikator lain. Indikator ini diambil dari sensus, survei, serta catatan administratif yang berasal dari BPS dan dari departemen teknis, terutama Depnakertrans. Sejak penerapan otonomi daerah, arus data dari daerah tidak lagi selancar dahulu. Akibatnya, kesinambungan pengelolaan, terutama data yang diambil dari catatan administratif terpaksa dikompromikan. Perlu adanya upaya untuk memperbaiki situasi ini.
5.2. Rekomendasi Yang harus dievaluasi juga adalah kurangnya keterampilan yang dimiliki oleh mereka yang mengelola pengumpulan dan penyebaran data, terutama para petugas di daerah. Oleh karena itu, langkah untuk memastikan adanya kesinambungan pada sistem koordinasi dari lembaga atau unit kerja relevan Depnakertrans mengenai pengumpulan data indikator kerja yang layak dan informasi pasar kerja juga dapat dimasukkan ke dalam agenda berikutnya.
59
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
·
Pembangunan kapasitas bagi petugas harus dimasukkan ke dalam prioritas utama. Hal ini terutama bagi struktur organisasi baru dari kantor daerah. Ada kecenderungan besar sejumlah petugas tidak memiliki cukup keterampilan di bidang tenaga kerja dan ketengakaerjaan, sehingga peningkatan keterampilan diperlukan untuk menangani bank data indikator pekerjaan yang layak dan informasi pasar kerja.
·
Keterampilan di bidang manajemen bank data indikator pekerjaan yang layak dan informasi pasar kerja sangat penting dimiliki. Keterampilan teknis dalam metodologi untuk menguasai konsep dan definisi, metode pengumpulan data, analisis pasar kerja dan formulasi indikator kerja yang layak serta beberapa pengetahuan teknis lainnya juga penting. Dalam hal ini, bantuan teknis dari ILO sebagai lembaga PBB yang berspesialisasi dalam masalah tenaga kerja, ketenagakerjaan serta sosial akan sangat berguna.
·
Bantuan teknis dari ILO akan berguna untuk mendukung pengembangan survei angkatan kerja yang mengulas analisis pekerjaan hingga ke tingkat administratif pemerintah tingkat kecamatan. Sampel yang besar dan berkualitas sangat bernilai digunakan sebagai basis untuk membuat kebijakan ketenagakerjaan yang baik.
·
Upaya untuk memperkuat hubungan kerja antara dinas tenaga kerja, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) dan kantor statistik di daerah.
·
Tim kerja daerah perlu dipertimbangkan. Tim tersebut akan mendiskusikan dan membantu hal-hal yang berkaitan dengan tenaga kerja dan ketenagakerjaan, termasuk indikator kerja yang layak dan informasi pasar kerja. Anggota tim dapat meliputi perwakilan dari mitra kerja utama antara lain Dinas Tenaga Kerja, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, kantor statistik, perwakilan lain dari kantor teknis (bidang industri, pertanian, perdagangan, dan lainlain) dan pihak universitas.
·
Ada kemungkinan di sejumlah daerah sudah terdapat Tim Perencanaan Tenaga Kerja Daerah (PTKD). Karena tim PTKD pada umumnya terdiri dari beberapa perwakilan tersebut di atas, maka daerah dapat mempertimbangkan untuk memasukkan manajemen indikator pekerjaan yang layak dan informasi pasar kerja ke dalam agenda tim PTKD.
60
Referensi
Anker, Richard. 1998. “Gender and Jobs: Sex Segregation of Occupations in the World”, Jenewa, ILO. Anker, Richard. 2001. “ILO Multi-Country Databases.” ILO, Jenewa. BPS, 1976. “Population of Indonesia, Results of the 1975, Survei Penduduk Antar Sensus.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1986. “Population of Indonesia, Results of the 1985, Survei Penduduk Antar Sensus.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1996. “Population of Indonesia, Results of the 1995, Survei Penduduk Antar Sensus.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1993. “Several Manuals and Questionnaires for the Agricultural Census and Surveis.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1993. “Survei Pendapatan Petani 1990, hasil survei.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1994. “Statistik Industri Kecil 1993, hasil dari SKKR.” Jakarta, Indonesia.
BPS, 1994. “Statistik Industri/Kerajinan Rumahtangga, hasil dari SKKR.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1995. ”Struktur Ongkos Usaha Pertanian Padi dan Palawija, 1993.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1996. ”Pedoman Pelaksanaan Lapangan Direktori Perusahaan, Sensus Ekonomi.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1996. ”Pedoman Teknis Dinas Statistik Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya, Sensus Ekonomi.” Jakarta, Indonesia. BPS, 1996. Beberapa publikasi tentang hasil survei dan sensus pertanian yang meliputi subjek dan sub-sektor yang berbeda-beda. Jakarta, Indonesia. BPS, 1998. ”Laporan Survei Dampak Krisis pada Tingkat Kecamatan di Seluruh Indonesia.” Kerjasama dengan Ford Foundation dan Bank Dunia, Jakarta, Indonesia. BPS, 1998. ”Profil Usaha Kecil dan Menengah Tidak Berbadan Hukum, Sektor Industri Kecil dan Rumahtangga 1998.” Jakarta, Indonesia. Serta publikasi untuk sektor-sektor lain. BPS, 1998. Beberapa manual dan kuesioner pada subjek-subjek yang berbeda dari Survei Dampak Krisis, Jakarta, Indonesia. BPS, 1998. Statistik Upah Triwulanan, dan beberapa publikasi tri wulan selama beberapa tahun, Jakarta, Indonesia.
61
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
BPS, 1998. Survei Usaha Terintegrasi, Panduan Pengawas/Pemeriksa (PMS), Jakarta, Indonesia, September 1998. Serta publikasi lain mengenai manual untuk Kepala Badan Statistik Provinsi dan Kabupaten. BPS, 1999. ”Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia.” Agustus 1999, Jakarta Indonesia. BPS, 1999. Laporan Survei Dampak Krisis Pada Tingkat Kecamatan di Seluruh Indonesia1998, bekerja sama dengan Ford Foundation dan Bank Dunia. BPS, 1999. Beberapa publikasi mengenai hasil Survei Dampak Krisis, Jakarta, Indonesia. BPS, 1999. Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999, Jakarta, Indonesia, Februari 1999. Serta publikasi Susenas 1992-1998. BPS, 1999. Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), 1999, Pedoman Pencacah, Jakarta, Indonesia. Serta manual pewawancara sebelumnya selama beberapa tahun. BPS, 1999. Survei Usaha Terintegrasi 1999 (SUSI99), Pedoman Pengawas/Pemeriksa, Jakarta, Indonesia Juni 1999. Serta publikasi mengenai manual pewawancara dan manual untuk Kepala Badan Statistik Provinsi dan Kabupaten. Ghai, Dharam. 2003. “Social Security: Learning from Global Experience to Reach the Poor”, in Journal of Human Development (New York), Vol. 4, No. 1, pp. 125-150. Ghai, Dharam. 2003. “Decent Work: Concept and Indicators.” International Labour Review Vol. 142 No. 2. Jenewa. ILO, 1990. Surveis of Economically Active Population, Employment, Unemployment and Underemployment, an ILO manual on concepts and methods, ILO-Jenewa, 1990. ILO, 1998. Employment Challenges of the Indonesian Economic Crisis, UNDP, Jakarta, Indonesia, Juni 1998. ILO. 2000a. Report of the Director-General: Your Voice at Work–Global Report Under the Follow up to the ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work. International Labour Conference, Sesi ke-88, Jenewa. ILO. 2000b. Organization, Bargaining and Dialogue for Development in a Globalizing World. Dokumen mengenai Kelompok Kerja Lembaga Pemerintah mengenai Dimensi Sosial Globalisasi, GB.279/WP/SDG/2. Jenewa. November. ILO. 2001. The Size of the Working Poor Population in Developing Countries. Employment Paper No. 2001/16. Sektor Ketenagakerjaan, Jenewa. ILO. 2002. Report of the Director-General: A Future without Child Labour–Global Report under the Follow-up to the ILO Declaration on Fundamental Principles and Rights at Work. International Labour Conference, Sesi ke-90, Jenewa. ILO. 2004. “Yearbook of Labour Statistics.” Jenewa. ILO. 2005. “Yearbook of Labour Statistics.” Jenewa. Jose, A.V. (ed.). 2002. Organized Labour in the 21st Century. Jenewa, Institut Internasional atau Studi Tenaga Kerja. Kucera, David. 2001. The Effects of Core Worker Rights on Labour Costs and Foreign Direct Investment: Evaluating the “Conventional Wisdom”. Discussion Paper No. 130. International
62
Institute of Labour Studies. Geneva Merhan, Farhad. 2000. “ILO Labour Force Participation Rates for 10-14 Years Old versus UNESCO School Enrolment Ratios”, in Bulletin of Labour Statistics, No. 3, pp. xi-xx. Geneva Ministry of Manpower and the ILO Jakarta. “The Ratified Eight ILO Core Conventions and Seven General Conventions.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No. 7 Tahun 1960 mengenai Statistik.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No. 7 Tahun 1981 mengenai “Kewajiban Laporan Ketenagakerjaan di dalam Perusahaan.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No. 16 Tahun 1997 mengenai Statistik.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No 101 Tahun 1998 mengenai Organisasi dan Tugas Akademi Statistik.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “Dekrit Presiden No. 163 Tahun 1998 mengenai Akademi Statistik.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1999 mengenai Upaya Statistik.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “Dekrit Presiden No. 166 Tahun 2000 mengenai Status, Tugas, Fungsi, Wewenang, dan Struktur Organisasi Institusi Pemerintah Snon-Departemen.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “Dekrit Presiden No. 178 Tahun 2000 mengenai Struktur Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non-Departemen.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No.1 Tahun 2001 mengenai Organisasi dan Tugas BPS.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No. 13 Tahun 2003 mengenai Tenaga Kerja.” Jakarta. Indonesia Republik Indonesia. “UU No.32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah.” Jakarta. Indonesia Sigit, Hananto. BPS, 1991. ”Pelatihan Petugas Pengumpul Data Statistik Distribusi 1991, Pedoman Pencacahan Statistik Perhotelan.” Jakarta, Indonesia. Sigit, Hananto. 2000. “Employment Data in Indonesia: A Review of Existing Source.” STAT Project USAID Report No. 5. Jakarta. Indonesia
63
Kajian tentang Indikator Kerja Yang Layak di Indonesia
64