1
“KAJIAN KOMPARATIF PRODUK ASURANSI SYARIAH DAN ASURANSI KONVENSIONAL SERTA KESESUAIAN ANTARA KETENTUAN ASURANSI SYARIAH DENGAN PENERAPANNYA” (STUDI KASUS PADA PT. AIA FINANCIAL CABANG KOTA MALANG)
Evelyn Dellarosa
[email protected] Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Malang Jl. Veteran, Malang ABSTRACT The purpose of this study is to determine the compatibility between the stipulation of insurance with its application in Insurance Institute of AIA Financial Malang City and to analyze the comparison results between Sharia Insurance Products with Conventional Insurance Products at Insurance Institute of AIA Financial Malang City. The type of research used by the researcher is a qualitative descriptive with a case study approach. Based on the results of research by the author, it can be concluded that the Indonesian society still has a commercial nature. This can be evidenced by the many people who prefer to use conventional insurance that is more financially advantageous compared with sharia insurance that is the benefits are not too large. Yet it is clear to say that riba' or interest is forbidden under Islamic law. In addition, the implementation of the stipulation into practice has not been completely implemented because the researchers still see the difference between stipulation and practice, especially in the akad tabarru’. So it can be said that there is no difference between the conventional and sharia in the terms of practice, but only the differences in behavior, morality, and the term. Keywords: insurance, Akad Tabarru', sharia LATAR BELAKANG Saat ini lembaga asuransi atau pertanggungan merupakan salah satu lembaga yang mulai populer di tengah masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya lembaga asuransi yang tumbuh berkembang di Indonesia. Asuransi dalam terminologi hukum termasuk perjanjian. Oleh karena itu, perjanjian itu sendiri perlu dikaji sebagai acuan menuju pada pengertian perjanjian asuransi. Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 1992, yang dimaksud dengan asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri pada tertanggung, dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian pada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu
2
peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Di zaman yang semakin maju ini, asuransi mulai berkembang tidak hanya di lingkup konvensional atau umum saja, namun sejak munculnya bank – bank syariah di Indonesia maka asuransi – asuransi syariahpun mulai bermunculan. Para ahli fiqih terkini, seperti Wabbah Az-Zuhaili (dalam Anwar, 2007), mendefinisikan asuransi syariah sebagai at-ta’min at-ta’awuni (asuransi yang bersifat tolong-menolong), yaitu kesepakatan beberapa orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka ditimpa musibah. Berdasarkan definisi terakhir, tersirat makna bahwa at-ta’min atta’awuni lebih menekankan pada adanya saling menanggung atau saling menjamin antara satu sama lain jika di antara mereka ada yang tertimpa musibah kematian, kecelakaan, sakit, kecurian, kebakaran, maupun kerugian-kerugian lainnya. Ini lebih tepat disebut sebagai prinsip takaful. Takaful dapat diartikan sebagai saling menanggung atau saling menjamin yang dilakukan oleh masingmasing individu sehingga individu yang satu menjadi penjamin/penanggung individu yang lain jika musibah datang menimpa, dengan cara setiap individu memberikan sumbangan finansial/iuran kebajikan (tabarru’). Asuransi Syari’ah ini memang sudah bisa dikatakan diterima oleh masyarakat Indonesia. Namun meskipun begitu masih ada kelemahan-kelemahan yang dirasa cukup menghambat perkembangan asuransi syari’ah di Indonesia yaitu kurangnya sumber daya manusia. Munculnya asuransi syari’ah yang masih baru membuat kurangnya sumber daya manusia yang mengerti secara detail prinsip-prinsip syari’ah. Kebanyakan perusahaan syari’ah memiliki karyawan yang dulunya bekerja di konvensional, sehingga ketika ada sistem atau masalah yang muncul maka tidak akan terselesaikan secara sempurna. Selain itu, kelemahan asuransi syari’ah juga disebabkan lemahnya respon masyarakat terhadap asuransi syari’ah yang disebabkan kecewanya masyarakat terhadap manajemen keuangan di asuransi konvensional yang membuat masyarakat enggan untuk mencoba asuransi syari’ah. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui kesesuaian antara ketentuan asuransi syariah dengan penerapannya di Lembaga Asuransi AIA Financial Kota Malang serta untuk mengetahui hasil komparasi antara Produk Asuransi Syariah dengan Produk Asuransi Konvensional pada Lembaga Asuransi AIA Financial Kota Malang. KAJIAN TEORI Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1: “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
3
Menurut Ganie (2011), dalam ilmu asuransi terdapat istilah peril dan hazard yang tidak jarang digunakan saling menggantikan antara keduanya dan terhadap pengertian risk (risiko). Hazard merupakan suatu keadaan yang dapat menciptakan atau meningkatkan kemungkinan suatu kerugian timbul dari peril yang ada. Sesuatu yang dapat merupakan suat peril yang menimbulkan kerugian ekonomis tetapi sakit juga merupakan hazard yang menaikkan kemungkinan kerugian dari peril kematian yang lebih cepat. Hazard secara umum dibagi menjadi 3 kategori yaitu physical hazard, moral hazard dan morale hazard. Physical hazard adalah kondisi fisik objek asuransi yang akan meningkatkan kemungkinan kerugian karena risiko yang diasuansikan. Contohnya, untuk asuransi kebakaran adalah jenis konstruksi, letak, dan penggunaan bangunan. Moral hazard adalah kemungkinan terjadinya kerugian disebabkan karakter tertanggung yang cenderung tidak jujur. Morale hazard adalah tindakan yang akan meningkatkan kerugian karena adanya asuransi, misalnya sikap yang cenderung tidak mencegah kerugian timbul karena terdapat asuransi yang menanggung atau pemberian jenis obat yang lebih mahal karena adanya jaminan asuransi. Menurut sumber syariah online, ada beberapa ciri yang dimiliki asuransi konvensional, diantaranya adalah: 1. Akad asuransi konvensional adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kewajiban kedua pihak ini adalah kewajiban tertanggung membayar primi-premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar uang asuransi jika terjadi peristiwa yang diasuransikan. 2. Akad asuransi ini adalah akad mu’awadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya. 3. Akad asuransi ini adalah akad gharar karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang dia ambil. 4. Akad asuransi ini adalah akad idzan (penundukan) pihak yang kuat adalah perusahan asuransi karena dialah yang menentukan syarat-syarat yang tidak dimiliki tertanggung. Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syari’ah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan Syari’ah. Jadi, jika dalam asuransi konvensional terjadi transfer of risk [memindahkan risiko] dari peserta ke perusahaan, dalam asuransi Syari’ah mekanisme pertanggungannya adalah sharing of risk atau saling menanggung risiko; di mana perusahaan hanya sebagai pemegang amanah dalam mengelola dan menginvestasikan dana dari kontribusi peserta, bukan sebagai penanggung. Hal ini juga disebutkan dalam PSAK 108 yang merupakan pedoman Asuransi Syari’ah. Menurut Janwari (2005), dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa dalam asuransi terdapat lima unsur yang harus ada. Pertama, perjanjian yang
4
mendasari terbentuknya perikatan antara dua pihak yang sekaligus terjadinya hubungan keperdataan (mu’amalah). Kedua, premi berupa sejumlah uang yang sanggup dibayarkan kepada tertanggung kepada penanggung. Ketiga, adanya ganti rugi dari penanggung kepada tertanggung jika terjadi klaim atas masa perjanjian selesai. Keempat, adanya suatu peristiwa yang tidak tertentu yang adanya suatu risiko yang memungkinkan datang atau tidak ada risiko. Kelima, pihak-pihak yang membuat perjanjian, yakni penanggung dan tertanggung. Kelima unsur yang terdapat dalam asuransi itu, satu dengan lainnya memiliki hubungan, baik hubungan struktural maupun hubungan fungsional. Antara unsur penanggung dengan tertanggung keduanya memiliki hubungan struktural, sedangkan kedua unsur tersebut memiliki hubungan fungsional dengan unsur-unsur lain, yaitu pembayaran premi, pembayaran ganti rugi, dan peristiwa yang tidak terduga. Hubungan dari kelima unsur tersebut dapat digambarkan di bawah ini. Gambar 2.1 Hubungan Unsur-Unsur dalam Asuransi Tertanggung
Penanggung
Perjanjian
Peristiwa Tidak Terduga
Pembayaran Premi
Pembayaran Ganti Rugi
Fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah berisi mengenai Ketentuan Umum, Akad dalam Asuransi, Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tijarah & Tabarru’, Ketentuan dalam Akad Tijarah & Tabarru’, Jenis Asuransi dan Akadnya, Premi, Klaim, Investasi, Reasuransi, Pengelolaan, dan Ketentuan Tambahan. Menurut Anwar (2007) akad tabarru’ adalah derma kebajikan atau iuran kebajikan yang telah diniatkan oleh peserta untuk dana tolong-menolong apabila ada peserta yang terkena musibah. Transaksi ini pada hakikatnya bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya kebaikan). Dalam akad tabarru’ ini juga tidak diperbolehkan mengambil laba/keuntungan sedikitpun. Jika ingin mengambil laba maka yang digunakan adalah akad tijarah, bukan akad tabarru’. Fatwa DSN-MUI No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah berisi mengenai Ketentuan Umum, Ketentuan Hukum, Ketentuan Akad, Kedudukan Para Pihak dalam Akad Tabarru’, Pengelolaan, Surplus Underwriting, Defisit Underwriting, dan Penutup.
5
Menurut Ali (2008), ada enam perbedaan mendasar antara asuransi Syari’ah dengan asuransi konvensional. Perbedaan tersebut adalah: 1. Sumber Hukum a. Asuransi Syari’ah Sumber hukum asuransi Syari’ah adalah Al-Qur’an, sunnah, ijma’, fatwa sahabat, mashlahah mursalah, qiyas, istihsan, tradisi, dan fatwa DSN-MUI. b. Asuransi Konvensional Asuransi konvensional mempunyai sumber hukum yang didasari oleh pikiran manusia, falsafah, dan kebudayaan, sementara modus operandinya didasarkan atas hukum positif. 2. Perbedaan Mendasar Mengenai Dewan Pengawas Asuransi a. Asuransi Syari’ah Asuransi Syari’ah mempunyai Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan asuransi Syari’ah. DPS mengawasi jalannya operasional sehari-hari agar selalu berjalan sesuai dengan prinsip Syari’ah. b. Asuransi Konvensional Asuransi konvensional tidak mempunyai dewan pengawas dalam melaksanakan perencanaan, proses, dan praktiknya sehingga tidak ada kontrol dalam pelaksanaannya. 3. Perbedaan Mendasar Mengenai Akad Perjanjian a. Asuransi Syari’ah Asuransi Syari’ah mempunyai akad yang didalamnya dikenal dengan istilah tabarru’ yang bertujan kebaikan untuk menolong di antara sesama manusia, bukan semata-mata untuk komersial dan akad tijarah. Akad tijarah adalah akad atau transaksi yang bertujuan komersial, misalnya mudharabah, wadhi’ah, wakalah, dan sebagainya. b. Asuransi Konvensional Akad pada asuransi konvensional adalah pihak perusahaan asuransi dengan pihak peserta asuransi melakukan akad mu’awadhah, yaitu masing-masing dari kedua belah pihak yang berakad di satu pihak sebagai penanggung dana dan di pihak lainnya sebagai tertanggung. Pihak penanggung memperoleh premi-premi asuransi sebagai pengganti dari uang pertanggungan yang telah dijanjikan pembayarannya. Sedangkan tertanggung memperoleh uang pertanggungan jika terjadi peristiwa atau bencana sebagai pengganti dari premi-premi yang dibayarkan. 4. Kepemilikan, Pengelolaan, dan Sharing of Risk vs Transfer of Risk a. Asuransi Syari’ah Asuransi Syari’ah menganut sistem kepemilikan bersama. Hal itu berarti dana yang terkumpul dari setiap peserta asuransi dalam bentuk iuran atau kontribusi merupakan milik peserta (shahibul mal). Pihak perusahaan asuransi Syari’ah hanya sebagai penyangga aman dalam pengelolaannya. b. Asuransi Konvensioal
6
Kepemilikan harta dalam asuransi konvensional adalah milik perusahaan, bebas menggunakan dan menginvestasikan pengelolaannya, bersifat tidak ada pemisahan antara dana peserta dan dana tabarru’ sehingga semua dana bercampur menjadi satu dan status hak kepemilikan dana dimaksud adalah dana perusahaan, sehingga bebas mengelola dan menginvestasikan tanpa ada pembatasan halal dan haram dalam melakukan transfer of risk atau memindahkan. 5. Premi dan Sumber Pembiayaan Klaim a. Asuransi Syari’ah Unsur-unsur premi pada asuransi Syari’ah terdiri dari unsur tabarru’ (nonkomersil) dan tabungan (untuk asuransi jiwa). Selain itu, sumber pembayaran klaim diperoleh dari rekening tabarru’, yaitu rekening dana tolong-menolong bagi seluruh peserta, yang sejak awal sudah diakadkan dengan ikhlas oleh setiap peserta untuk keperluan saudarasaudaranya. b. Asuransi Konvensional Dalam asuransi konvensional unsur-unsur preminya terdiri atas: 1) Mortality tabel yaitu daftar tabel kematian berguna untuk mengetahui besarnya klaim yang kemungkinan timbul kerugian yang dikarenakan kematian, serta meramalkan berapa lama batas umur seseorang bisa hidup. 2) Penerimaan bunga (untuk menetapkan tarif, perhitungan bunga harus dikalkulasi di dalamnya). 3) Biaya-biaya asuransi terdiri dari biaya komisi, biaya luar dinas, biaya reklame, sale promotion, dan biaya pembuatan polis (biaya administrasi), biaya pemeliharaan, dan biaya-biaya lainnya seperti inkaso. 6. Investasi Dana dan Keuntungan a. Asuransi Syari’ah Asuransi Syari’ah dalam menginvestasikan dananya hanya kepada bank Syari’ah, BPRS, obligasi Syari’ah, dan kegiatan lainnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syari’ah. Sementara profit (laba) untuk asuransi kerugian yang diperoleh dari surplus underwriting bukan menjadi milik perusahaan sebagaimana mekanisme dalam asuransi konvensional. b. Asuransi Konvensional Menurut Peraturan Pemerintah, investasi wajib dilakukan oleh asuransi konvensional pada jenis investasi yang akan menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan. METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian kualitatif. Dengan berbagai karakteristik khas yang dimiliki, penelitian kualitatif memiliki keunikan tersendiri sehingga berbeda dengan penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hal ini
7
dilakukan karena peneliti ingin memberikan gambaran secara jelas mengenai topik yang dibahas oleh peneliti. Data yang akan digunakan oleh penelitian ini, terbagi dalam dua macam, yaitu Data Primer dimana data ini diperoleh dari hasil wawancara pihak manajemen Asuransi AIA Financial, dokumen, serta dari hasil observasi serta Data Sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Pengumpulan data penelitian dilakukan peneliti dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Observasi Observasi ini dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung pada obyek yang diteliti. Jadi dengan metode ini, peneliti melakukan pengamatan di lingkungan kerja serta melakukan pengamatan terhadap objek yang akan diteliti, kemudian mengumpulkan data dari fenomena yang telah muncul untuk memberikan penafsiran, yang diperoleh melalui data primer dalam pengumpulan data. Observasi ini dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung pada Lembaga Asuransi AIA Financial agar peneliti dapat memiliki gambaran lebih jelas mengenai permasalahan yang dibahas dalam topik ini. 2. Wawancara Pada metode ini peneliti dan narasumber berhadapan langsung (face to face) untuk mendapatkan informasi secara lisan dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian. Peneliti melakukan wawancara ini agar peneliti mendapatkan data tambahan yang diperlukan dari sumber yang paling mengerti tentang seluk beluk operasi dalam asuransi AIA Financial Kota Malang. 3. Dokumentasi Dokumentasi ini merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan mengumpulkan dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun elektronik. Dokumen yang dimaksud adalah polis asuransi serta dokumen elektronik. Melalui dokumendokumen yang diperoleh ini, maka peneliti dapat mengetahui bukti fisik dari operasi asuransi konvensional dan syariah yang ada di Lembaga Asuransi AIA Financial Kota Malang. 4. Studi literature Cara lain yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan adalah dengan membaca/mempelajari berbagai macam sumber bacaan seperti referensi, buku-buku literatur, artikel, jurnal penelitian, penelitian sebelumnya serta sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. Untuk menganalisis penelitian ini, maka dilakukan dengan langkahlangkah sebagai berikut: 1. Penjabaran, terkait penjabaran profil perusahaan 2. Pengumpulan informasi, terkait produk asuransi konvensional dan asuransi syari’ah. 3. Penyesuaian, terkait kesesuaian informasi yang diperoleh dengan ketentuan yang sudah ada. 4. Penyajian, terkait penyajian data yang dipeoleh dalam bentuk tabel, ataupun uraian penjelasan yang dapat menjawab permasalahan.
8
5. Tahap akhir, terkait penarikan kesimpulan dan pemberian saran atas permasalahan. Untuk menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut, peneliti harus melakukan pengumpulan data terlebih dahulu sehingga data yang sudah diperoleh tersebut nantinya akan diolah dan dianalisis untuk mendapatkan gambaran mengenai permasalahan yang ada. Oleh sebab itu, peneliti mengunakan tehnik analisis deskriptif. Untuk menetapkan keabsahan data dalam penelitian ini maka dilakukan pengujian. Pengujian tersebut yakni dengan uji kredibilitas yang salah satunya adalah triangulasi dan penggunaan bahan referensi.Dalam triangulasi sumber, peneliti meminta informasi dari beberapa orang di manajemen AIA Financial Malang, atau juga dari pihak yang mengikuti asuransi di AIA Financial Malang. Sedangkan dalam trianguasi teknik, ini untuk menguji kredibilitas dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Dalam triangulasi teknik ini, peneliti akan mengecek data pada Lembaga Asuransi AIA Financial Kota Malang dengan teknik yang berbeda, misalnya dokumen dengan wawancara sehingga apabila hasilnya berbeda maka peneliti akan mendiskusikannya kepada pihak AIA Financial. Untuk triangulasi waktu, ini dilakukan dengan cara pengecekan secara berulang-ulang namun dalam waktu dan situasi yang berbeda. Penelitian ini akan didukung oleh referensi berbentuk dokumentasi sehingga data akan semakin dipercaya. Referensi ini diperoleh dari buku, jurnal, dan dari data elektronik seperti internet. Dokumen dan rekaman diperoleh dari hasil observasi dan wawancara. HASIL DAN PEMBAHASAN Di dalam produk asuransi konvensional yang terdapat di AIA Financial Cabang Malang, batas minimal usia peserta adalah 0 tahun (punya akta) sampai dengan maksimal usia 70 tahun. Namun, usia tentunya akan menentukan besarnya premi yang harus dibayar. Suharnanto selaku Manager AIA Financial Cabang Malang mengatakan bahwa semakin tua usianya, maka akan semakin mahal besarnya premi yang harus dibayar. Ini berkaitan dengan semakin tua usia seseorang, maka tingkat risikonya juga akan semakin tinggi. Sedangkan untuk jangka waktu maksimal dalam mengikuti asuransi ini adalah usia 99 tahun. Pada perjanjian awal, maka semua ketentuan serta peraturan yang akan melandasi semua perjanjian asuransi ini dituangkan dalam bentuk polis asuransi. Di dalam polis ini terdapat beberapa ketentuan yang mengatur seperti umum (penanggung (AIA Financial), pemegang polis (yang namanya dicantumkan dalam polis sebagai pihak yang mengadakan perjanjian asuransi), tertanggung (yang atas risiko jiwanya diadakan perjanjian asuransi berdasarkan polis), yang ditunjuk, tahun polis, tahun premi, masa asuransi, premi, masa leluasa, cuti premi otomatis, uang pertanggungan, dana investasi, asuransi dasar, asuransi tambahan), dasar polis, berlaku dan berakhirnya polis, premi, manfaat asuransi, permintaan dan pembayaran manfaat asuransi, pilihan jenis investasi, biaya-biaya, penarikan dan penebusan, pembatalan polis, perubahan polis, pemulihan polis, mata uang polis, ketentuan tambahan, persengketaan, serta ada deskripsi manfaat asuransi
9
tambahan hospital & surgical plus untuk peserta yang menambahkan asuransi kesehatan di dalam asuransi jiwanya. Untuk pembayaran premi asuransi, ada batas maksimal pembayarannya yaitu jatuh tempo setelah 45 hari kerja. Apabila pemegang polis belum membayarnya, maka akan ada cuti premi otomatis yang artinya suatu kondisi dimana Nilai Akun akan secara otomatis dikurangi, pada tanggal jatuh tempo setiap bulan, dengan biaya-biaya yang timbul untuk menjaga agar polis tetap berlaku apabila Premi Dasar belum dibayar lunas setelah lewat Masa Leluasa (Polis, AIA Financial). Namun, kewajiban untuk membayar premi ini tidak dibedakan dalam penetapan jangka waktu. Untuk produk asuransi konvensional ini, pemegang polis dapat menempeli asuransi jiwanya dengan produk-produk lainnya. Asuransi jiwa disini berperan sebagai rider. Jika pemegang polis hanya menginginkan rider saja, maka premi yang dibayarkan nilainya akan lebih kecil karena hanya menggunakan satu produk saja yaitu asuransi jiwa. Namun, selain membeli rider pemegang polis juga bisa membeli produk yang lain seperti asuransi kesehatan dan asuransi kecelakaan. Tentunya premi yang dibayarkan akan lebih tinggi nilainya karena proteksi yang diberikan kepada Tertanggung juga semakin besar. Intinya adalah di AIA Financial ini berusaha memberikan perlindungan sebaik mungkin sesuai dengan kebutuhan setiap Tertanggung. Apabila di tengah-tengah perjanjian asuransi ini Tertanggung meninggal dunia, maka secara otomatis perusahaan akan membayarkan Manfaat Meninggal berupa Uang Pertanggungan sebagaimana yang tercantum di dalam polis yakni : Tabel 4.1 Presentase Uang Pertanggungan Usia pada saat meninggal (berdasarkan usia sebenarnya) < 1 tahun
Presentase Uang Pertanggungan
1 tahun s/d < 2tahun
40%
2 tahun s/d < 3 tahun
60%
3 tahun s/d < 4 ahun
80%
≥ 4 tahun
100%
20%
Sumber: Polis Asuransi Jiwa AIA Financial, 2010
Manfaat Meninggal ini berlaku dimanapun Tertanggung berada dan untuk semua jenis risiko yang dipertanggungkan, kecuali apabila Tertanggung meninggal dalam Masa Asuransi karena penyakit AIDS/HIV, meninggal karena tindak kejahatan asuransi yang dilakukan pihak yang memiliki atau turut memiliki kepentingan dalam pertanggungan asuransi ini, mencoba bunuh diri yang terjadi dalam waktu 2 tahun sejak tanggal penerbitan polis/tindakan lainnya ke arah itu, serta dengan sengaja melakukan atau turut serta dalam suatu perkelahian, tindak kejahatan, atau suatu percobaan tindak kejahatan, baik aktif maupun tidak. Yang berhak mengajukan permintaan pembayaran Manfaat Asuransi serta yang berhak menerima Manfaat Asuransi ini hanyalah Tertanggung, namun
10
apabila dalam hal ini Tertanggung berhalangan atau meninggal dunia maka yang berhak adalah Yang Ditunjuk atau jika berhalangan maka ahli waris yang sah. Pengajuan permintaan pembayaran Manfaat Meninggal karena Tertanggung meninggal harus dilengkapi dengan berkas-berkas sebagai berikut: 1. Polis yang masih berlaku 2. Tanda bukti diri sah dari yang mengajukan 3. Surat kuasa asli (apabila dikuasakan) 4. Surat Keterangan dari Yang Ditunjuk tentang sebab-sebab kematian Tertanggung (formulir A) 5. Surat Keterangan dari Tenaga Medis yang sah dan berwenang tentang sebab-sebab kematian Tertanggung (formulir B) 6. Tanda bukti diri yang sah dari Tertanggung 7. Surat keterangan kematian asli dari instansi yang berwenang 8. Surat keterangan visum et repertum atau surat keterangan otopsi asli dari Tenaga Medis atau Rumah Sakit yang berwenang, apabila diperlukan 9. Surat keterangan asli dari Kepolisian apabila Tertanggung meninggal karena kecelakaan 10. Surat keterangan kematian dari yang berwenang dilegalisir minimal oleh Konsulat Jenderal R.I setempat, apabila Tertanggung meninggal di luar negeri 11. Dokumen lain yang dinyatakan perlu yang berkaitan dengan Manfaat Asuransi Berkas-berkas permintaan pembayaran Manfaat Asuransi di atas harus diajukan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari sejak risiko yang dipertanggungkan terjadi. Manfaat Asuransi yang tidak diambil sejak perusahaan menyatakan bahwa Manfaat Asuransi tersebut dapat dibayarkan, tidak diberikan bunga dan/atau ganti rugi apapun. Jika sampai jangka waktu yang ditentukan Tertanggung tidak mengajukan klaim, dalam hal ini berarti belum meninggal dunia (untuk asuransi jiwa) atau tidak sakit (untuk asuransi kesehatan), maka perusahaan akan mengembalikan semua dana premi yang telah dibayarkan. Bahkan, perusahaan dapat memberikan dana tersebut 100% lebih karena dana yang diberikan telah diinvestasikan kembali oleh perusahaan. Di dalam produk asuransi syariah yang terdapat di AIA Financial Cabang Malang, sama dengan halnya produk asuransi konvensional, batas minimal usia peserta adalah 0 tahun (punya akta) sampai dengan maksimal usia 70 tahun. Sedangkan untuk jangka waktu maksimal dalam mengikuti asuransi ini adalah usia 99 tahun. Yang berbeda dengan asuransi konvensional yakni pada perjanjian awal, di asuransi syari’ah akan dilakukan akad yakni Akad Wakalah bil Ujrah yang mana memberikan kuasa kepada perusahaan sebagai wakil untuk mengelola Dana Tabarru; dan/atau Dana Investasi sesuai bentuk kuasa atau wewenang yang diberikan dengan imbalan berupa Ujrah (fee). Semua ketentuan serta peraturan yang akan melandasi semua perjanjian asuransi ini dituangkan dalam bentuk polis asuransi. Di dalam polis ini terdapat beberapa ketentuan yang mengatur seperti umum yang menjelaskan mengenai pengertian dari istilah-istilah yang digunakan di dalam polis salah satunya adalah pengelola (AIA Financial), pemegang polis, serta peserta (yang atas risiko jiwanya diadakan perjanjian Asuransi Jiwa Syariah), kemudian ketentuan lainnya ada Akad Wakalah bil Ujrah, dasar polis, berlaku dan berakhirnya polis,
11
kontribsi, manfaat asuransi, manfaat loyalitas, permintaan dan pembayaran manfaat asuransi, dana investasi, aslokasi dana investasi dan perubahannya, biayabiaya, surplus underwriting, unit dan nilai unit, penarikan nilai akun, pembatalan polis, perubahan polis, pemulihan polis, mata uang polis, ketentuan tambahan, persengketaan, serta ada deskripsi manfaat asuransi tambahan hospital & surgical syari’ah plus untuk peserta yang menambahkan asuransi kesehatan di dalam asuransi jiwanya. Untuk pembayaran kontribusi asuransi, ada batas maksimal pembayarannya yaitu jatuh tempo seteal 45 hari kerja. Apabila pemegang polis belum membayarnya, maka akan ada cuti kontribusi otomatis yang artinya suatu kondisi dimana Nilai Akun akan secara otomati dikurangi, pada tanggal jatuh tempo setiap bulan, dengan biaya-biaya yang timbul untuk menjaga agar polis tetap berlaku (Polis, AIA Financial). Perlakuan asuransi syari’ah ini sama dengan asuransi konvensional yaitu, pemegang polis dapat menempeli asuransi jiwanya dengan produk-produk lainnya. Asuransi jiwa disini berperan sebagai rider. Di dalam produk asuransi syari’ah AIA Financial ini, terdapat beberapa akad yang digunakan dalam kegiatan asuransi. Pertama, Akad Tabarru’ yaitu akad hibah dalam bentuk pemberian dana dari satu peserta kepada Dana Tabarru’ yang merupakan milik peserta secara kolektif untuk tujuan tolong-menolong di antara para peserta berupa santunan. Akad Tabarru’ ini tidak bersifat atau bukan untuk tujuan komersil. Kedua, Akad Tijarah yaitu akad antara peserta secara kolektif atau secara individu dengan pengelola dengan tujuan komersil. Salah satu bentuk Akad Tijarah adalah pengelolaan investasi. Ketiga, Akad Wakalah bil Ujrah yaitu Akad Tijarah dengan memberikan kuasa kepada Pengelola sebagai Wakil Peserta untuk melakukan pengelolaan Dana Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai bentuk/klausul kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa ujrah (fee). Keempat, Akad Mudharabah yaitu Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Pengelola sebagai wakil Peserta untuk melakukan pengelolaan investasi Dana Tabarru’ dan atau Dana Investasi Peserta, sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan dengan imbalan berupa bagi hasil yang besarnya ditentukan berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Kelima, Akad Mudharabah Musytarakah yaitu Akad Tijarah yang memberikan kuasa kepada Pengelola sebagai wakil Peserta untuk melakukan pengelolaan investasi Dana Tabarru’ dan atau Dana Investasi Peserta, yang digabungkan dengan kekayaan Perusahaan, sebatas kuasa atau wewenang yang diberikan berdasarkan komposisi kekayaan yang digabungkan dan nisbah yang telah disepakati sebelumnya. Di AIA Financial ini sudah ada Akad Tabaru’ yang artinya AIA Financial telah menerapkan ketentuan angka 1 bagian pertama dari ketentuan hukum fatwa Dewan Syariah Nasional No. 53/DSNMUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah yang menyatakan bahwa akad tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. Karena Akad Tabarru’ ini merupakan dasar dari kontrak asuransi syari’ah. Pada asuransi syariah setiap peserta yang bergabung dengan asuransi syariah mempunyai niat untuk menolong dan melindungi sesama peserta yang sedang tertimpa musibah. Usaha untuk saling menolong dan melindungi diantara para peserta tersebut dilakukan dengan cara menyisihkan sebagian dananya sebagai kontribusi kebajikan yang disebut tabarru’.
12
Berikut ini adalah penerapan salah satu akad pada produk asuransi syari’ah di AIA Financial yaitu Akad Wakalah bil Ujrah yang digambarkan dalam bentuk berikut ini: Gambar 4.2 Penerapan Akad Wakalah bil Ujrah Sumber: Data Elektronik, AIA Financial
Penjelasan: 1. Kontribusi dari Peserta terdiri dari Kontribusi Dasar dan Kontribusi Top Up (jika ada) yang kemudian diunitkan menjadi Nilai Akun Kontribusi Dasar dan Top Up. 2. Nilai Akun dapat diambil jika peserta melakukan Withdrawal atau Full Surrender atau Meninggal atau Maturity (Polis). 3. Iuran Tabarru’ diambil dari Nilai Akun setiap bulan sebagai biaya asuransi untuk pembayaran Klaim peserta dimasa yang akan datang. Peserta Penarikan/ Penutupan/ Kematian/ Jatuh Tempo Biaya Tambahan untuk Penutupan
Kontribusi
Kontribusi Dasar
Kontribusi Top Up
Nilai Akun Kontribusi Dasar
Nilai Akun Kontribusi Top Up Cadangan / retained surplus
Nilai Akun Total
Biaya Pengelolaan Investasi / Biaya Administrasi / Biaya Pemeliharaan Polis / Biaya Pengalihan / Biaya Pengelolaan Risiko
Surplus Pembayar an Santunan
Dana Tabarru’
Biaya Top Up
Defisit Pengelola
Qardh
4. Biaya Bulanan yang terdiri dari Iuran Tabarru’, Biaya Pemeliharaan, Biaya Administrasi Polis, Biaya Pemeliharaan dan Biaya Administrasi Risiko diambil dari Nilai Akun setiap bulan sebagai biaya pengelolaan asuransi. 5. Biaya per transaksi yang terdiri dari Biaya Pengalihan, Biaya Pembatalan Polis, diambil dari Nilai Akun setiap terjadi transaksi tersebut. 6. Biaya Pengelolaan Investasi Top Up akan dikenakan setiap terjadi transaksi pembayaran Kontribusi Top Up. 7. Setiap akhir tahun akan dilakukan perhitungan Surplus/Defisit Underwriting berdasarkan Selisih antara pendapatan dan pengeluaran Dana Tabarru’ untuk tahun berjalan. 8. Jika terdapat Surplus Underwriting Dana Tabarru’, akan dibagi berdasarkan persentase (Nisbah) tertentu. Jika terdapat Defisit
13
Underwriting Dana Tabarru’ maka perusahaan akan memberikan pinjaman murni (Qardh). 9. Semua biaya, formula perhitungan dan persentase (Nisbah) diatur dalam Lampiran Polis. Yang berhak mengajukan permintaan pembayaran Manfaat Asuransi serta yang berhak menerima Manfaat Asuransi ini hanyalah Peserta, namun apabila dalam hal ini Peserta berhalangan atau meninggal dunia maka yang berhak adalah Yang Ditunjuk atau jika berhalangan maka ahli waris yang sah. Pengajuan permintaan pembayaran Manfaat Meninggal karena Peserta meninggal harus dilengkapi dengan berkas-berkas sebagai berikut: 1. Formulir permintaan pembayaran Manfaat Asuransi Syari’ah yang telah diisi dengan benar dan lengkap 2. Polis yang masih berlaku 3. Tanda bukti diri sah dari yang mengajukan 4. Surat kuasa asli (apabila dikuasakan) 5. Surat Keterangan dari Yang Ditunjuk tentang sebab-sebab kematian Tertanggung (formulir A) 6. Surat Keterangan dari Tenaga Medis yang sah dan berwenang tentang sebab-sebab kematian Tertanggung (formulir B) 7. Tanda bukti diri yang sah dari Tertanggung 8. Surat keterangan kematian asli dari instansi yang berwenang 9. Surat keterangan visum et repertum atau surat keterangan otopsi asli dari Tenaga Medis atau Rumah Sakit yang berwenang, apabila diperlukan 10. Surat keterangan asli dari Kepolisian apabila Tertanggung meninggal karena kecelakaan 11. Surat keterangan kematian dari yang berwenang dilegalisir minimal oleh Konsulat Jenderal R.I setempat, apabila Tertanggung meninggal di luar negeri 12. Dokumen lain yang dinyatakan perlu yang berkaitan dengan Manfaat Asuransi Berkas-berkas permintaan pembayaran Manfaat Meninggal di atas harus diajukan selambat-lambatnya 90 (sembilan puluh) hari sejak risiko yang dipertanggungkan terjadi. Di dalam ketentuan yang harus dipenuhi di atas, terdapat syarat untuk menunjukkan polis yang masih berlaku. Hal ini dikarenakan polis merupakan bukti bahwa benar peserta tersebut merupakan peserta dari Asuransi AIA Financial. Di dalam polis tersebut juga sudah dicantumkan kesepakatan antara pihak peserta dengan pengelola serta apa saja manfaat yang bisa didapatkan apabila peserta mengalami musibah. Pengelolaan manfaat asuransi pada AIA Financial tersebut sesuai dengan ketentuan angka 2 bagian pertama dari ketentuan hukum fatwa Dewan Syariah Nasional No.53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah yang menyebutkan bahwa akad tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar peserta pemegang polis. Polis merupakan bukti autentik berupa akta yang mengenai adanya perjanjian asuransi antara peserta asuransi dengan perusahaan asuransi. Pada produk asuransi syari’ah AIA Financial, keuntungan peserta asuransi dilakukan dengan sistem bagi hasil. Hal ini tentunya sesuai dengan prinsip syari’ah yang tidak memperbolehkan adanya riba’.
14
Di dalam polis asuransi jiwa syari’ah AIA Financial terdapat cara perhitungan Surplus Underwriting yaitu dengan menggunakan formula sebagai berikut: Surplus Underwriting = Pendapatan Dana Tabarru’ – Pengeluaran Dana Tabarru’
dimana: Pendapatan Dana Tabarru’ adala penjumlahan dari hal-hal sebagai berikut: 1. Total Iuran Tabarru’ untuk tahun berjalan 2. Total penerimaan investasi Dana Tabarru’ 3. Total penerimaan klain reasuransi 4. Total penerimaan surplus underwriting dari reasuransi (jika ada) 5. Total alokasi Surplus Underwriting dari tahun sebelumnya (jika ada) Pengeluaran Dana Tabarru’ adala penjumlahan dari hal-hal sebagai berikut: 1. Kontribusi reasuransi 2. Klaim yang dibayarkan 3. Cadangan teknis 4. Pembayaran Qardh (jika ada) Formula di atas akan digunakan untuk menghitung surplus underwriting asuransi dasar maupun asuransi tambahan (jika ada) secara terpisah. Jika terdapat surplus underwriting, maka presentase pembagiannya (nisbah) adalah sebagai berikut: 1. Pemegang polis : 60% 2. Pengelola : 20% 3. Dana Tabarru’ : 20% Menurut Suharnanto, ketika diwawancarai oleh penulis terkait penggunaan dana, maka Suharnanto menjelaskan bahwa pada produk asuransi syari’ah AIA Financial terdapat Dana Kontribusi yang di dalamnya ada Dana Tabarru’ dan Dana Tabungan. Dana Tabarru’ ini akan diberikan kembali kepada peserta asuransi apabila dalam masa asuransi, peserta mengajukan klaim. Dan jika peserta meninggal dunia dalam masa asuransi, maka dana tabarru’ akan langsung diberikan kepada ahli waris yang sudah ditunjuk oleh peserta. Akan tetapi, apabila dalam jangka waktu yang sudah ditentukan ternyata peserta tidak meminta klaim dan belum meninggal dunia, maka pihak asuransi AIA Financial akan memberikan semua Dana Kontribusi yang sudah dibayarkan. Menurut Fidhayanti dalam jurnalnya, jika dalam jangka waktu yang sudah ditentukan peserta tidak mengajukan klaim, maka yang diberikan kepada peserta adalah surplus underwriting dari dana tabarru’. Dana tabarru’ yang mengalami surplus underwriting tersebut merupakan hak peserta secara individu karena berasal dari hasil investasi dana tabarru’ yang telah diberikan setelah dikurangi untuk cadangan tabarru’ dan fee atau ujrah untuk pengelola yang telah mewakili peserta untuk mengelola dana tabarru’ tersebut. Namun, peneliti tidak menyetujui hal tersebut karena hal ini tidak sesuai dengan pedoman asuransi syari’ah yaitu PSAK 108 yang menyatakan bahwa Dana Tabarru’ ini merupakan dana hibah yang tidak boleh diambil kembali karena dana ini digunakan untuk tolongmenolong antar peserta asuransi syari’ah. Hal ini juga diungkapkan dalam Hadist dari Ibnu Abbas r.a. (dalam Fidhayanti) yang mengatakan, ا هلل: :
15
ا هلل
:
: :
)(ع ل يه م ت فق28
“orang yang meminta kembali sesuatu yang telah dihibahkan/ diberikan kepada orang lain, adalah sama dengan seekor anjing yang muntah kemudian memakan kembali muntahannya tersebut.”
Sifat dari perumpamaan yang terdapat dalam hadits tersebut sangatlah buruk. Oleh karena itu tidak baik bagi seorang muslim jika memiliki sifat yang buruk sehingga disamakan dengan hewan yang paling buruk pada saat kondisinya yang terburuk. Apabila hibah telah diberikan maka tidak boleh diambil kembali. Namun hal berbeda dilakukan oleh AIA Financial, yang mana AIA menerapkan sistem pengembalian. Pengembalian dilakukan ketika terjadi dua hal, yaitu selama periode polis tidak terjadi klaim dan pada saat perjanjian diputus secara sepihak oleh peserta sebelum periode perjanjian habis. Jadi peneliti menulis berdasarkan hasil wawancara dan memberikan kesimpulan mengenai perbedaan produk asuransi konvensional dengan produk asuransi syari’ah sebagai berikut: 1. Di dalam produk asuransi konvensional, pedoman atas dilakukannya asuransi masih belum jelas karena tidak ada sumber hukum yang pasti. Sedangkan untuk produk asuransi syari’ah sudah pasti ada pedomannya yaitu Al-Qur’an, sunnah, fatwa DSN-MUI, dan sebagainya. 2. Di dalam produk asuransi syari’ah sudah pasti perjanjiannya menggunakan akad. Dalam hal ini menggunakan Akad Wakalah bil Ujrah. Sedangkan produk asuransi konvensional hanya menggunakan akad yang intinya melakukan perjanjian asuransi serta mengungkapkan hak dan kewajiban masing-masing pihak. 3. Semua lembaga keuangan syari’ah memiliki Dewan Pengawas yang bernama Dewan Syari’ah Nasional dan Dewan Pengawas Syari’ah. Sedangkan untuk konvensional tidak ada Dewan Pengawas yang mengawasi jalannya praktek dalam hal keuangan. 4. Penginvestasian dana asuransi syari’ah dilakukan pada instrumen investasi yang sesuai dengan prinsip syari’ah. Contohnya seperti menginvestasikannya pada Bank Syari’ah dan obligasi syari’ah. Untuk asuransi konvensional, penginvestasian dana ini terbuka untuk semua instrumen investasi yang menguntungkan. Sehingga akan sangat besar kemungkinan adanya riba’. 5. Pertumbuhan investasi asuransi konvensional lebih cepat dibandingkan asuransi syari’ah. Selain itu konvensional lebih menjanjikan keuntungan yang besar, sedangkan syari’ah keuntungannya hanya sedikit-sedikit. Mungkin inilah yang menyebabkan pertumbuhan asuransi syari’ah di Indonesia kurang pesat. 6. Dalam asuransi syari’ah, unsur-unsur premi didasarkan pada tabarru’ dan tabungan. Selain itu, untuk pembayaran klaimnya diambilkan dari rekening tabarru’ yang merupakan kumpulan dana pemegang polis dengan tujuan tolong-menolong. Sedangkan pada asuransi konvensional, unsur-unsur preminya terdiri dari penerimaan bunga serta biaya-biaya yang dibebankan seperti biaya pengelolaan investasi, biaya bulanan, dan biaya pembatalan “free lock”.
16
7. Pada asuransi syari’ah, sistem operasionalnya berlandaskan pada AlQur’an dan hadist. Jadi, jelas terhindar dari hal-hal yang tidak diperbolehkan atau diharamkan oleh syariat Islam seperti hal-hal yang mengandung unsur masyir, gharar, dan riba’. Contohnya dalam hal pengelolaan dana, pengelola asuransi memisahkan antara rekening dana peserta dengan rekening tabarru’ agar tidak terjadi pencampuran dana. Sedangkan untuk asuransi konvensional, jika dilihat dari pedomannya yang tidak jelas maka dikhawatirkan dalam usahanya ada unsur ketidakpastian atau bahkan ada praktek yang merugikan orang lain. Berdasarkan studi dokumen, perbedaan asuransi konvensional dengan asuransi syari’ah dilihat dari polis adalah sebagai berikut: Tabel 4.2 Perbedaan Asuransi Konvensional dengan Asuransi Syari’ah Berdasarkan Polis Asuransi Konvensional Akad yang digunakan adalah akad mulzim yang berarti perjanjian yang wajib dilaksanakan bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung.
Istilah : Penanggung (PT. AIA Financial) Tertanggung (yang atas jiwanya diadakan perjanjian asuransi) Premi (sejumlah uang yang dibayarkan kepada penanggung sehubungan dengan penutupan polis ini)
Asuransi Syari’ah Akad yang digunakan adalah akad Wakalah bil Ujrah yang berarti akad Tijarah dengan memberikan kuasa kepada Pengelola sebagai Wakil Peserta untuk melakukan pengelolaan Dana Tabarru’ dan/atau Dana Investasi Peserta, sesuai bentuk/klausul kuasa atau wewenang yang diberikan, dengan imbalan berupa ujrah (fee). Istilah: Pengelola (PT. AIA Financial) Peserta (yang atas risiko jiwanya diadakan perjanjian Asuransi Jiwa Syariah berdasarkan polis ini) Kontribusi (sejumlah uang yang dibayarkan kepada pengelola sehubungan dengan penutupan polis ini) Ada penjelasan mengenai akad polis
Tidak ada penjelasan mengenai akad polis Ada pemberitahuan sebelumnya Tidak ada pemberitahuan secara tertulis ketika akan merubah sebelumnya karena sudah ada besarnya biaya pengelolaan kesepakatan dalam polis apabila investasi bisa berubah sewaktu-waktu Jangka waktu wajib membayar Jangka waktu wajib membayar kontribusi dasar sebelum tanggal premi dasar sebelum tanggal jatuh jatuh tempo untuk jangka waktu 5
17
tempo untuk jangka waktu 3 tahun tahun pertama pertama Ada biaya iuran tabaru’ untuk Tidak ada iuran tabarru’ dimasukkan dalam dana tabarru’ Ada surplus underwriting Tidak ada surplus underwriting Sumber: Penulis, 2014
KESIMPULAN Setelah melakukan analisa berdasarkan dokumen yang diperoleh dari perusahaan serta analisa berdasarkan hasil wawancara, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa masyarakat Indonesia ini masih memiliki sifat komersil. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang lebih memilih untuk menggunakan asuransi konvensional yang memang lebih menguntungkan secara financial dibandingkan dengan asuransi syari’ah yang keuntungannya tidak terlalu besar, meskipun sudah jelas dikatakan bahwa riba’ atau bunga adalah haram menurut syariat Islam. Bahkan masyarakat masih banyak yang tetap memilih asuransi konvensional walaupun jika ada kerugian yang dialami, maka asuransi konvensional akan lebih besar menanggung kerugian tersebut dibandingkan dengan asuransi syari’ah yang masih tergolong stabil. Selain itu, implementasi pada praktek asuransi syariah, masih ada yang belum sesuai dengan teori yang ada. Sehingga hal tersebut cukup menjadi kendala dalam perkembangan asuransi syari’ah. Ketidaksesuaian teori dengan praktek tersebut diketahui dari hasil wawancara dengan Suharnanto, Kepala Kantor Cabang AIA Financial Cabang Malang, yaitu ketika dalam jangka waktu yang sudah ditentukan ternyata peserta tidak mengajukan klaim dan belum meninggal dunia, maka pihak asuransi AIA Financial akan memberikan semua Dana Kontribusi yang sudah dibayarkan. Hal ini tidak sesuai dengan PSAK 108 yang menyatakan bahwa Dana Tabarru’ ini merupakan dana hibah yang tidak boleh diambil kembali karena dana ini digunakan untuk tolong-menolong antar peserta asuransi syari’ah. Ketika ditanya oleh peneliti mengenai pengembalian tersebut, pihak AIA Financial hanya menjelaskan bahwa pihaknya tidak tahu persis mengenai prinsip pengembalian tersebut. Hal ini dikarenakan pihaknya hanya merupakan kantor cabang saja, sehingga mengikuti prosedur atau tata cara yang sudah distandarkan atau ditetapkan oleh kantor pusat. Melihat permasalahan diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya praktek asuransi konvensional dengan asuransi syari’ah adalah sama. Yang membedakan hanyalah dari segi moralitas, perilaku, serta istilah. Hal ini mungkin saja dikarenakan kedua produk ini berada dalam satu perusahaan yang sama. Sehingga dalam prakteknya tidak banyak yang berbeda, hanya saja dibedakan dibeberapa operasional seperti adanya Dana Tabarru’ untuk asuransi syari’ah dan penginvestasian dana lebih kepada instrumen investasi yang sesuai syariat Islam. SARAN
18
Melihat permasalahan yang ditemukan oleh peneliti terkait perbedaan asuransi konvensional dan asuransi syari’ah, banyaknya masyarakat yang lebih memilih menggunakan produk konvensional dibandingkan dengan produk syari’ah, serta kurang sesuainya implementasi antara teori dengan prakteknya, peneliti memberikan beberapa saran dengan harapan dapat memberikan solusi untuk permasalahan tersebut. Berikut ini adalah saran-saran yang dapat diberikan: 1. Perlunya ada sosialisasi kepada masyarakat mengenai produk-produk berbasis syari’ah dengan mengemukakan keuntungan-keuntungan yang dapat diperoleh jika menggunakan produk tersebut. 2. Perlunya sikap keterbukaan dari masyarakat untuk mau menerima hal-hal yang baru serta bermanfaat. 3. Perlunya pengawasan yang lebih jeli terkait praktek-praktek syari’ah agar semua kegiatan yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam. 4. Perlunya dilakukan pelatihan terhadap karyawan-karyawan yang bekerja di lembaga keuangan syari’ah agar karyawan-karyawan tersebut lebih memahami praktek syari’ah yang seharusnya dan agar tidak terus-menerus berpedoman pada praktek konvensional yang sebelumnya. Adapun keterbatasan penelitian yang peneliti alami selama melakukan penelitian di lembaga ini adalah lebih kepada keterbatasan waktu dan tenaga sehingga peneliti hanya memfokuskan untuk meneliti kesesuaian antara teori dengan praktek asuransi konvensional dan syari’ah, kemudian membandingkannya serta mengkaitkannya dengan minat masyarakat. Selain itu, penelitian ini dilakukan pada kantor cabang, sehingga data yang diperoleh kurang sempurna mengingat kantor cabang hanya menjalankan apa yang sudah ditetapkan atau distandarkan oleh kantor pusat. DAFTAR PUSTAKA Ali, Hasan. 2004. Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam. Jakarta: Prenada Media Ali, Zainuddin. 2008. Hukum Asuransi Syariah. Jakarta: Sinar Grafika Antonio, Muhammad Syafi’i. 1994. Asuransi dalam Perspektif Islam. Jakarta: Syarikat Takaful Indonesia Anwar, Khoiril. 2007. Asuransi Syariah; halal & mashlahat. Solo: Tiga Serangkai Aziz, Abdul. 2010. Manajemen Investasi Syari’ah. Bandung: Alfabeta Dewan Syariah Nasional. 2000. DSN No 01 tentang pedoman dasar Dewan Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: DSN Dewan Syariah Nasional. 2000. Surat Keputusan Dewan Syari’ah Nasional No. 3. Jakarta: Dewan Syari’ah Nasional Dewi, Gemala, 2006, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Faisal, S. 1990. Penelitian Kualitatif; dasar dan aplikasi. Malang: Y A 3 Malang
19
Fidhayanti, Dwi. 2012. Pelaksanaan Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah. Jurnal. Malang: UIN Maulana Malik Ibrahim Ganie, Junaedy. 2011. Hukum Asuransi Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika Iqbal, Muhaimin. 2006. Asuransi Umum Syariah dalam Praktik. Jakarta: Gema Insani Press Janwari, Yadi. 2005. Asuransi Syariah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy Kasmir. 2008. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada Moleong. 2008. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Morton, Gene. 1995. Dasar-dasar Asuransi Jiwa dan Asuransi Kesehatan. Jakarta: Yayasan Dharma Bumuputera MUI. 2001. Pedoman Umum Asuransi Syariah. Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah. Jakarta: DSN-MUI. MUI. 2006. Tabarru’ pada Asuransi Syariah. Fatwa DSN Nomor 53/DSNMUI/III/2006 tentang Tabarru’ pada Asuransi Syariah. Jakarta: DSN-MUI. Pratomo, Eko.P. 2004. Cara Mudah Mengelola Keuangan Keluarga Secara Islami. Jakarta: Hijrah Institute Purba, Radiks. 1992. Memahami Asuransi di Indonesia. Jakarta: PPM Soemitra, Andri. 2010. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sudarsono, Heri. 2007. Bank dan Lembga Keuangan Syari’ah. Jakarta: Ekonosia Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Suma, M. Amin. 2006. Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional. Jakarta: Kholam Publishing Susilo, Y, Sri dkk. 2000. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Pertama. Jakarta: Balai Pustaka
20
Wirdyaningsih, dkk. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media ____________. 1992. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian ____________. Ciri-ciri Asuransi Konvensional. www.syariahonline.com, diakses pada tanggal 1 April 2014 ____________. Profil Perusahaan. www.aiafinancial.co.id, diakses pada tanggal 28 Maret 2014