Kajian Kinerja dan Dampak Program Strategis Departemen Pertanian PENDAHULUAN 1.
Dalam upaya meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani dan masyarakat di perdesaan, Departemen Pertanian memfokuskan pada tiga program utama : (1) Program peningkatan ketahanan pangan, (2) Program pengembangan agribisnis, dan (3) Program peningkatan kesejahteraan petani. Selama tahun 2005-2006, untuk implementasi program-program tersebut, Departemen Pertanian mengeluarkan anggaran sekitar 7 triliun per tahun, dan pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 8,7 triliun dengan Dana Alokasi Khusus (DAK) 1,4 Triliun. Pada tahun 2008, Departemen Pertanian mengalokasikan anggaran Rp 8,3 triliun, dengan alokasi untuk pembiayaan kegiatan pembangunan pertanian di daerah dan pusat masing-masing 72,4 persen dan 27,6 persen.
2.
Penggunaan anggaran yang cukup besar perlu dievaluasi dan dimonitor terkait dengan seberapa besar dampak manfaat yang diciptakan dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Dengan demikian akan dapat diketahui faktor apa saja yang menjadi keunggulan dan kelemahannya, sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan informasi yang sangat penting untuk perbaikan program secara lebih akurat, efektif dan efisien. Atas dasar itu, dipandang penting untuk dilakukan kajian dampak program dan kegiatan pembangunan pertanian terpilih selama tahun 2005-2008. Aspek kajian meliputi kegiatan analisis dan sintesis terhadap konsep/rancangan, implementasi dan dampak program serta implikasinya bagi penyusunan kebijakan di masa mendatang.
Tujuan dan Keluaran 3.
Tujuan penelitian ini adalah : (1) Menelaah konsepsi/rancangan, implementasi dan kinerja program/kegiatan strategis Departemen Pertanian, (2) Mengkaji dampak program/kegiatan terhadap produksi, produktivitas, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan. (3) Menyusun langkah-langkah kebijakan untuk perbaikan pelaksanaan program strategis Departemen Pertanian.
4.
Keluaran dari penelitian adalah : (1) Satu paket informasi dan rancangan serta kinerja program/kegiatan strategis Departemen Pertanian, (2) Satu paket tentang informasi dampak kinerja kegiatan terhadap produksi, produktivitas, penyerapan tenaga kerja dan pendapatan dan (3) Rekomendasi kebijakan untuk perbaikan pelaksanaan program strategis Departemen Pertanian.
Metode Penelitian 5.
Usaha pemantapan program dan strategi kebijakan berarti mengevaluasi program yang sudah ada melalui : (1) Analisis dan sintesis konsep, dan dibandingkan dengan apa yang seharusnya dilakukan; (2) Mempelajari kebijakan, keadaan, fakta dan fenomena melalui pengkajian data empiris terhadap masalah yang akan diperbaiki.
36
6.
Lokasi penelitian di Provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur masing-masing diambil dua kabupaten, dan pada masing-masing kabupaten dipilih 2-4 LM3, 10 kelompok tani SLPTT dan 4 lokasi Jides/Jitut. Pemilihan lokasi di dasarkan pada penerima program pembangunan pertanian terbanyak dengan performa yang beragam.
HASIL DAN PEMBAHASAN Program LM3 7.
Lembaga Mandiri Mengakar di Masyarakat (LM3) adalah lembaga mandiri yang tumbuh dan berkembang di masyarakat dengan kegiatan peningkatan gerakan moral melalui kegiatan pendidikan dan keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program LM3 pada dasarnya bermuara pada pemberdayaan (empowerment) masyarakat, baik aspek ekonomi maupun sosial. Proses pemberdayaan LM3 dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran LM3 serta meningkatkan semangat dan kapasitasnya untuk mengembangkan usaha agribisnis sehingga dapat lebih berperan dalam pembangunan masyarakat.
8.
Di Jawa Barat dan Jawa Timur selama tahun 2006-2008 jumlah penerima dana LM3 masing-masing 452 dan 491 buah. Jenis usaha yang dominan di Jawa Barat adalah hortikultura dan peternakan, sementara di Jawa Timur adalah peternakan dan pengolahan/pemasaran hasil.
9.
Di Kabupaten Cianjur dan Garut penerima dana LM3 berjumlah 25 dan 34 ponpes. Pengembangan usaha hortikultura dominan di kedua kabupaten ini. Sementara di Lamongan, jumlah ponpes yang mendapat bantuan dana penguatan modal sebanyak 23 LM3 dan di Nganjuk 20 LM3 dengan jenis usaha sebagian besar peternakan dan pengolahan hasil.
10.
Dampak positip yang diciptakan oleh program LM3, diantaranya: (a) ponpes mampu mengoptimalkan pemanfaatan lahannya, (b) meningkatkan skala usaha, (c) diversifikasi jenis usaha, (d) membuka kesempatan kerja bagi para santri/alumni maupun masyarakat di sekitar ponpes, (e) membantu pendidikan santri yang kurang mampu, (f) menunjang kegiatan praktek belajar mengajar, (g) membantu ponpes dalam menjalankan kegiatan sosial, (h) diseminasi teknologi pertanian, (i) bantuan modal ke petani sehingga lepas dari rentenir, dan (i) pemberdayaan sosial bagi masyarakat.
11.
Kendala utama yang dihadapi dalam program penguatan kelembagaan agribisnis LM3 adalah di bidang pemasaran. Kendala lainnya adalah (1) modal usaha yang masih belum sepenuhnya memadai, (2) belum optimalnya penguasaan teknologi budidaya dan pasca panen; (3) aspek manajerial yang masih lemah, serta (4) kurang selarasnya antara materi pelatihan dan jenis usaha yang dijalankan LM3.
12.
Beberapa aspek yang perlu dikritisi dalam impementasi LM3 : (1) pemilihan penerima dana yang kadang masih “bias”, (b) peranan dinas di daerah dalam penentuan penerima masih kurang, (c) pengawasan dan pembinaan LM3 belum optimal, (d) administrasi pelaporan tidak jelas, dan (f) belum ada mekanisme reward dan punishment.
37
Program SLPTT 13.
Kinerja implementasi program mencakup : (a) Bantuan yang diterima petani peserta SLPTT, diareal LL dan SL, jenis dan jumlahnya sesuai pedum program; (b) Luas lahan garapan petani relatif kecil (sekitar 0.20 ha), sehingga petani peserta dalam areal LL dapat mencapai 2-3 orang petani; (c) Secara umum petani dapat mengadopsi teknologi PTT untuk semua komoditas, (d) Berdasarkan pertimbangan tertentu beberapa teknologi tidak diaplikasi secara penuh, seperti sistem tanam legowo pada padi (kendala tenaga tanam terampil), teknologi intermiten (irigasi pedesaan dan air sulit diatur), usahatani bebas pestisida terutama kedelai, dan pemanfaatan pupuk organik, yang disebabkan masalah ketersediaan dan permodalan.
14.
Penerapan teknologi SLPTT berdampak pada peningkatan produktivitas untuk semua komoditas. Peningkatan ini disebabkan oleh: (1) penggunaan benih unggul berlabel; (2) pengolahan lahan yang lebih baik (terutama jagung dan kedelai); (3) pemakaian benih muda (padi) dalam jumlah yang lebih sedikit; (4) penggunaan pupuk kimia yang lebih berimbang dan pupuk organik; (5) sistem tanam legowo (padi) dan pengaturan jarak tanam (jagung dan kedelai) yang meningkatkan serapan pupuk, mempermudah penyiangan dan pengairan serta memanfaatkan efek tanam pinggir; dan (6) pengendalian hama yang lebih intensif secara alamiah (manual).
15.
Analisis usahatani padi non hibrida dan padi hibrida di lokasi penelitian menunjukkan: (1) Pada semua lokasi, usahatani padi menguntungkan dengan tingkat profitabilitas di atas 50 persen; (2) Produksi padi di Jawa Barat lebih tinggi dibanding di Jawa Timur, kecuali untuk padi hibrida tertinggi di Lamongan; dan (3) Khusus untuk padi non hibrida terjadi pertambahan produktivitas dibanding sebelum menerapkan teknologi SLPTT rata-rata di atas 1 ton per ha. Melalui perhitungan pertambahan biaya dan penerimaan maka pertambahan ini berimplikasi pada pertambahan pendapatan petani.
16.
Analisis usahatani jagung dan kedelai menunjukkan: (1) pada semua lokasi menguntungkan dengan tingkat profitabilitas di atas 50 persen, kecuali usahatani kedelai di Cianjur yang mengalami gagal panen akibat keterlambatan benih dan pengaruh iklim; (2) Produktivitas kedelai di Jawa Barat jauh di bawah Jawa Timur khususnya Nganjuk dan masih di bawah target daerah. Selain aspek teknis usahatani, kondisi ini disebabkan perbedaan agroekosistem lahan yang digunakan. Di Jawa Barat penanaman kedelai banyak dilakukan di lahan kering, sedangkan di Jawa Timur di agroekosisten sawah beririgasi; (3) Biaya produksi di Jawa Timur lebih tinggi terutama pada komponen upah tenaga kerja yang relatif lebih mahal; (4) Pertambahan produktivitas jagung antara 5-15 kuintal per ha.
17.
Implementasi SLPTT juga memberi dampak pada aspek lain diantaranya: (1) Membuka tambahan penggunaan tenaga kerja hampir pada semua kegiatan usahatani; (2) Meningkatkan interaksi antar petani dalam kelompok; dan (3) Meningkatkan interaksi antara petani dengan petugas (PPL, POPT, KCD, peneliti, dll); dan (4) Meningkatkan akses petani terhadap pasar input dan produksi.
38
18.
Permasalahan pelaksanaan SLPTT di tingkat pemerintah daerah : (a) Tersebarnya wilayah pelaksanaan sehingga kesulitan dalam pendampingan dan monitoring; (b) Tidak tersedianya mata anggaran untuk pemandu lapang sehingga dinamisasi petugas kurang; (c) Keterbatasan tenaga pelaksana;
19.
Permasalahan pelaksanaan SLPTT di tingkat penerima program (petani/kelompok tani) : (a) biaya administrasi dinilai tinggi; (b) Kelembagaan kelompok masih lemah; (c) Keterlambatan cairnya dana yang berdampak pada risiko gagal panen; (d) Varietas benih tidak sesuai dengan yang diinginkan petani; (e) Harga saprodi lebih tinggi dari perkiraan dalam paket; (f) Kesulitan memperoleh pupuk organik.
JIDES/JITUT 20.
Realisasi berdasarkan target luas areal di semua lokasi mencapai 90 sampai 100 persen. Realisasi di Jawa Timur tahun 2006-2008 mencapai 96,18 % untuk rehabilitasi JITUT dan 96,68 % untuk JIDES, sedangkan di Jawa Barat realisasi melampaui target yaitu sebesar 100,11% untuk JITUT dan 110,76% untuk JIDES. Rehabilitasi JIDES/JITUT sebagian besar telah dilaksanakan sesuai dengan juknis, terutama yang berkaitan dengan lokasi, SID, konstruksi, partisipasi petani, pengawasan dan pembiayaan.
21.
Dampak positip dari Jitut dan Jides : (a) bertambahnya luas areal lahan, (b) perubahan pola tanam, (c) peningkatan IP, dan (d) penanaman komoditas baru. Perluasan areal memang tidak selalu terjadi pada lokasi rehabilitasi JIDES/JITUT. Disamping itu, terjadi peningkatan produktivitas pada lahan rehabilitasi JITUT sekitar 0-2,1 ton/ha di Jawa Timur, sedangkan di Jawa Barat meningkat 1,5-2 ton/ha. Peningkatan produktivitas pada lahan JIDES berkisar 0-2,4 ton/ha di Jawa Barat dan 0,7-1,5 ton/ha di Jawa Timur. Pendapatan meningkat 40,92% sampai 76,71%. Peningkatan pendapatan memang tidak saja bersumber pada kenaikan produksi, namun juga karena peningkatan harga jual gabah, dan pengurangan biaya usahatani. Peningkatan produktivitas ini tidak hanya disebabkan oleh kecukupan air, namun juga oleh penerapan teknologi budidaya yang relatif lebih baik, terutama karena adanya program lain seperti SLPTT yang juga diimplementasikan pada lokasi yang sama.
22.
Dampak sosial berupa berkurangnya konflik yang bersumber pada air, dan timbulnya rasa kekeluargaan dari masyarakat antardesa karena air dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat di desa lain yang tidak secara langsung mendapatkan bantuan rehabilitasi jaringan. Dampak positip lainnya dari JIDES/JITUT adalah meningkatnya dinamika kelompok tani/P3A/HIPPA. Kondisi ini telah menumbuhkan interaksi yang lebih intensif antara lembaga Gabungan HIPPA, Pemerintah Desa, dan PPL.
23.
Implementasi program ini di berbagai daerah menghadapi berbagai masalah : (1) Pelaksanaan program di tingkat daerah sering terbentur dengan masalah administrasi dan struktur pemerintah dan staf yang selalu berubah; (2) Faktor iklim atau cuaca sehingga program tertunda, (3) Ketidaksiapan tenaga kerja di daerah untuk melaksanakan rehabilitasi; dan (4) ketidaksiapan Koptan/P3A menindaklanjuti perawatan irigasi.
39
KESIMPULAN DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Kesimpulan 24.
Secara makro, ketiga program memberikan dampak positif terhadap perbaikan usaha masyarakat, baik di sektor hulu maupun hilir. Implikasinya terjadi peningkatan pendapatan secara ekonomi, maupun perbaikan aspek sosial dan lingkungan. Sekalipun di tingkat lapangan petani melaksanakan kegiatan secara koordinasi, tetapi di tingkat kebijakan, nasional maupun daerah, perencanaan, implementasi maupun evaluasi program belum terkoordinasi dengan baik.
LM3 25.
Beberapa hal yang sangat menentukan keberhasilan usaha agribisnis LM3, diantaranya: (1) telah memiliki pengalaman usaha (2) pembinaan yang intensif dari dinas terkait, (3) usaha yang dipilih berbasis ketersediaan sumberdaya setempat dan (4) komitmen yang kuat dari pengelola LM3, dan (5) kesesuaian materi pelatihan dengan usaha yang dikembangkan LM3.
26.
Dampak positip program LM3 diantaranya : (a) ponpes dapat mengoptimalkan lahan pertanian yang dimiliki, (b) memungkinkan pospes mengembangkan skala usaha; (c) pengembangan diversifikasi usaha ponpes, (d) membuka kesempatan kerja bagi para santri/alumni maupun masyarakat di sekitar, (e) mengoptimalkan peran ponpes sebagai lembaga pendidikan dan penjaga moralitas bangsa, (f) membantu kehidupan sosial ekonomi santri/alumni/masyarakat.
27.
Langkah-langkah perbaikan program LM3 : (1) pembinaan/pendampingan yang kontinyu dari petugas, (2) Diatur secara lebih jelas tentang sanksi dan penghargaan bagi penerima LM3, (3) Materi yang diberikan saat diklat harus lebih spesifik sesuai dengan usaha yang akan dijalankan, (4) mengoptimalkan peran Asosiasi Penerima LM3 untuk sharing dalam pengalaman usaha, dan (5) Perlu melibatkan departemen terkait dan instansi lain untuk melakukan pembinaan kepada penerima LM3 di daerah.
SLPTT 28.
Implementasi program di lapangan dapat dinilai berjalan cukup baik dengan indikator (a) paket teknologi sampai pada petani/kelompok tani dengan baik; (b) keterlibatan petani dalam mengikuti SL hingga 90 persen; (c) teknologi SLPTT diterapkan seoptimal mungkin dengan keterbatasan dalam beberapa hal; dan (d) meningkatnya interaksi antar petani dan antar petani dengan petugas.
29.
Penerapan teknologi SLPTT berdampak terhadap peningkatan produksi, produktivitas dan pendapatan usahatani. Menggunakan indikator profitabilitas, usahatani di seluruh lokasi dan semua komoditas menguntungkan. Pada tingkat harga sama, pertambahan produksi dibandingkan dengan pertambahan biaya usahatani menunjukkan terjadi peningkatan pendapatan. Dampak lain terjadi pertambahan TK hampir pada semua kegiatan usahatani, meningkatkan
40
interaksi antar petani dan petani dengan petugas dan meningkatkan akses terhadap pasar input dan output. 30.
Langkah untuk perbaikan program SLPTT : (a). Mempercepat waktu pengajuan usulan; (b) Survei harga saprodi untuk paket teknologi perlu memperhitungkan inflasi; (c) Melaksanakan monitoring secara berkelanjutan;(d) Pembinaan kepada distributor pupuk bersubsidi dan evaluasi pelaporan penyaluran serta pemantauan lapangan; (e) Meningkatkan peran penyuluh lapangan; (f) Penyaluran dana bantuan melalui rekening gapoktan; (g) Mengedepankan penguatan kelembagaan; (h) Kebijakan pengaturan jumlah dan wilayah kerja petugas lapang; (i) Kebijakan pengaturan mata anggaran petugas lapang; dan (j) Kebijakan mengenai penangkaran benih mengantisipasi ketersediaan benih saat dibutuhkan.
JIDES/JITUT 31.
Dampak langsung peningkatan kinerja jaringan terhadap usahatani, berupa bertambahnya luas areal lahan, perubahan pola tanam, peningkatan IP, dan penanaman komoditas baru. Pada sebagian lokasi, terjadi perubahan struktur usahatani dengan turunnya waktu yang dibutuhkan untuk mengolah lahan maupun untuk membayar air irigasi.
32.
Rehabilitasi JIDES/JITUT juga meningkatkan penyerapan tenaga kerja pedesaan melalui sistem padat karya saat pekerjaan konstruksi jaringan dilakukan, juga karena perluasan areal tanam dan peningkatan IP yang terjadi sesudahnya. Kondisi ini berdampak mengurangi migrasi terutama saat musim kemarau.
33.
Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi rehabilitasi JITUT/JIDES: (1) Pelaksanaan program dengan pemerintah oleh pemerintah daerah sering terbentur dengan masalah administrasi dan struktur pemerintah dan staf yang selalu berubah; (2) Faktor iklim atau cuaca setempat bisa tidak sesuai dengan jadwal pelaksanaan pembangunan; (3) Ketidaksiapan Koptan/P3A menindaklanjuti perawatan irigasi.
Implikasi Kebijakan Program LM3 34. Upaya meningkatkan keberhasilan serta keberlanjutan usaha LM3 bisa dilakukan dengan mengadakan pelatihan tambahan sesuai dengan bidang yang lebih spesifik. Namun yang paling penting, adalah ”pembinaan yang intensif”. Dari pengalaman selama ini kelompok yang dibina memiliki tingkat keberhasilan hingga 90%. 35. Untuk memberikan motivasi penerima program LM3 dalam pengembangan usaha, dipandang perlu melakukan workshop antara penerima program. Pada momen tersebut bisa diundang LM3 yang dinilai berhasil pada bidang yang relatif beragam sehingga dapat saling berbagi pengalaman baik dalam manajemen, pemasaran, diversifikasi usaha, dan sebagainya.
41
36. Dengan kondisi LM3 yang relatif tersebar dan bersifat spot-spot serta dengan kegiatan yang sangat bervariasi maka perlu dirancang desain pengembangan LM3 yang komprehensif mulai dari hulu sampai hilir. Dengan demikian akan lebih terjamin keberlanjutan usaha dan pengembangannya ke depan sehingga keberadaan program LM3 dapat memberikan manfaat baik bagi penerima dana maupun masyarakat sekitar. Program SLPTT 37. Perlu antisipasi ketersediaan saprodi (terutama benuh unggul dan pupuk organik) secara tepat jumlah, jenis, dan waktu saat petani membutuhkan (mulai tanam), karena sangat beresiko terhadap keberhasilan usahatani. 38. Peluncuran program SLPTT belum disertai penyiapan perangkat sistem lain yang terkait seperti jumlah dan mata anggaran petugas lapang, ketersediaan saprodi termasuk penangkar benih unggul. 39. Perlu ada sinergi antar program yang berada dibawah Departemen Pertanian agar pencapaian tujuan program bisa tercapai dengan waktu, dana dan tenaga yang lebih efisien. Sinergi program JITUT/JIDES dengan SLPTT di tingkat kawasan sejalan dalam mendukung PMI untuk mencapai tingkat kemandirian pangan. JIDES/JITUT 40. Mengingat masih besarnya kebutuhan rehabilitasi jaringan, perlu adanya database mengenai kondisi-kondisi jaringan pemerintah maupun desa, termasuk di dalamnya cakupan luas areal lahan yang diairi dan lahan yang mungkin mendapat manfaat jika dilakukan rehabilitasi, sehingga bisa disusun prioritas untuk kegiatan rehabilitasinya dari tahun ke tahun.
42