Kajian
ISU-ISU STRATEGIS di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Isu I : Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional Isu II : Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan Isu III : Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA DEPUTI BIDANG KAJIAN KEBIJAKAN PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA 2016
i
Kajian Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Penyusun: Tim Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara
Kontributor : Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum. Prof. Dr. TB. Rachmat Sentika, Sp.A., MARS. Dr. Togar Siallagan, M.M., M.Kes. Dr. dr. Yout Savitri, MARS. Dr. Theryoto, M.Kes. Dr. Chairulsyah Sjahruddin, Sp.OG., MARS. Dr. Ardan Adiperdana, Ak., MBA., CA., CFrA., FCMA., CGMA. Dr. Cris Kuntadi, S.E., M.M., CA., CPA., QIA., FCMA., CGMA., Ak. Dr. Dian Puji N. Simatupang, S.H., M.H. Dr. Zainal Arifin Mochtar, SH, LLM Dr. Sri Winarsi, S.H., M.H. Alvin Lie, M.Si. Armansyah, S.H., M.H. Suria Ningsih, S.H., M.Hum. Ir. Agus Raharjo Timboel Siregar
Diterbitkan oleh : Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara - Lembaga Administrasi Negara Jl. Veteran No. 10 Jakarta Pusat Telp. (021) 3868201-05, Fax. (021) 3868208
Kajian Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara. – Jakarta : PKSANHAN - LAN, 2016. 88 hlm. ISBN : 978-602-72295-4-9
ii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara dan hukum administrasi negara merupakan upaya untuk merespon secara cepat (quick response) atas dinamika praktek dalam implementasi kebijakan di bidang sistem dan hukum administrasi negara di Indonesia. Kajian ini mempunyai durasi waktu yang pendek dan dilakukan beberapa kali dalam 1 (satu) tahun anggaran disesuaikan dengan kebutuhan untuk merespon dinamika tersebut. Pada tahun anggaran 2016, dilaksanakan 3 (tiga) kegiatan yang dipandang penting (urgent) untuk disikapi yakni sebagai berikut: 1. Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional; 2. Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan; dan 3. Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara ini dilakukan dengan tujuan menganalisis dan menyusun policy brief terkait isu-isu aktual yang strategis dibidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara. Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dari Kajian tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara ini adalah tersedianya rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif solusi penyelesaian masalah-masalah aktual di bidang sistem dan hukum administrasi negara. A. Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional Pertumbuhan peserta BPJS Kesehatan yang begitu pesat dan jauh melampaui target berdampak signifikan bagi peningkatan permintaan pelayanan kesehatan terutama dari kalangan masyarakat yang selama ini tidak mampu memanfaatkan layanan kesehatan. Lonjakan
iii
peserta ini sayangnya tidak diiringi dengan pelayanan yang mumpuni sehingga menimbulkan banyak keluhan terhadap program JKN. Keberhasilan JKN tidak dapat diserahkan sepenuhnya hanya kepada pemerintah semata, JKN juga melibatkan aktor lainnya seperti BPJS Kesehatan dan Faskes. Pemerintah sebagai regulator penyelenggara JKN sesuai peraturan perundang-undangan dibantu oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS) selaku operator penyelenggara JKN dan Faskes penyedia jasa Jaminan Kesehatan. Ketiga pihak tersebut merupakan aktor penting pelaksana JKN, mereka harus bekerjasama mewujudkan suksesnya JKN ini, disamping itu adanya dukungan dari faktor lain seperti Pemerintah Daerah, badan usaha dan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka lembaga Administrasi Negara cq Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara melakukan analisis terhadap peran masing-masing aktor pelaksana JKN dan mutual partnership antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan. Pemerintah sebagai regulator, BPJS Kesehatan sebagai operator, serta Faskes sebagai penyedia jasa harus mampu menjawab berbagai tantangan untuk perbaikan program JKN. Ada beberapa prinsip kemitraan dalam rangka membangun kemitraan yang baik atau berkualitas. Prinsip-prinsip tersebut adalah : adanya kesetaraan dan keadilan (equally dan equity), keterbukaan (openness), kemanfaatan bersama (mutual benefit), dan tanggung jawab (responsibility). Terwujudnya pelayanan kesehatan yang baik dilaksanakan berdasarkan hubungan kemitraan yang harmonis. Oleh karena itu setiap pelaksana JKN harus melaksanakan perannya dengan optimal, meningkatkan kapasitas dan melakukan inovasi yang dapat menunjang pelayanan kesehatan. B. Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan Dengan keluarnya UU AP fungsi APIP menjadi bertambah yaitu harus mampu menilai sebuah keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan itu termasuk dalam kategori : (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) iv
bertindak sewenang-wenang; atau tidak salah sama sekali. Untuk itu dilakukan kegiatan kajian isu strategis tentang Penguatan Peran APIP Pasca UU Administrasi Pemerintahan. Fakta yang dihadapi saat ini, SDM APIP masih dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti persoalan tumpang tindihnya pengawasan, hubungan dengan Aparat Penegak Hukum dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal, kurangnya komitmen tindak lanjut atas hasil pengawasan, kurang jelasnya pembagian tugas antar lembaga pengawasan, serta minimnya kompetensi yang dimiliki oleh SDM APIP. Kedudukan kelembagaan serta pengembangan kapasitasi APIP ini menjadi sangat penting, karena kewenangan APIP yang teramat besar sepatutnya diiringi dengan posisi kelembagaan yang dapat men-support pelaksanaan fungsi APIP secara optimal, obyektif dan profesional. Dasar political will Penguatan Peran APIP : (1) Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis tertanggal 8 Januari 2016 (yang selanjutnya disebut “Inpres”), dimana dalam Diktum KEENAM Inpres tersebut menyatakan bahwa : Jaksa Agung dan Kapolri: mendahulukan proses administrasi Pemerintahan sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. (2) Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara dalam Penilaian Unsur Penyalahgunaan Wewenang, yang mengatur: Pengadilan berwenang menerima, memeriksa dan memutus permohonan penilaian ada atau tidak ada penyalahgunaan Wewenang dalam Keputusan dan/atau Tindakan Pejabat Pemerintahan sebelum adanya proses pidana. Hasil kajian merekomendasikan perlu adanya reformulasi kedudukan kelembagaan APIP dan perlunya peningkatan kompetensi SDM APIP diluar kompetensi teknis di bidang auditif.
v
C. Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Pelayanan publik yang prima (cepat, mudah, pasti, murah dan akuntabel) merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali (non diskriminatif). Namun kenyataannya yang terjadi seringkali muncul berbagai masalah dalam pelayanan publik pemerintah terhadap masyarakat. Selain itu, bahkan ada oknum aparat pemerintah yang mencoba memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan penghasilan tambahan, mereka membuat masyarakat untuk membayar uang tambahan dengan dalih untuk memperlancar dan mempercepat segala urusan. Ketidakpastian dan lemahnya posisi masyarakat dalam pelayanan publik menjadikan praktek Pungutan Liar (Pungli) tetap menjamur hingga saat ini. Operasi Tangkap Tangkap (OTT) yang melibatkan oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, pegawai Pelindo I, Pelindo III serta tertangkapnya pejabat pemeriksa bea cukai pelabuhan Tanjung Mas mencerminkan masih maraknya praktik Pungli di Indonesia. Rekomendasi Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara untuk mengatasi Pemberantasan Pungli di Birokrasi dapat dilakukan melalui alternatif strategi berikut : 1. Memaksimalkan fungsi APIP sesuai dengan amanat UU Administrasi Pemerintahan; 2. Mendorong dilaksanakannya pelayanan publik secara online; 3. Melaksanakan diskriminsasi positif bagi pelayanan publik yang bersifat komersial; 4. Menuangkan komitmen pemberantasan pungli dalam kontrak kinerja PNS; 5. Mengidentifikasi jabatan rawan pungli dan memberi insentif yang layak dan seimbang dengan resiko jabatannya; 6. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk memberi informasi dan melaporkan pungutan liar.
vi
SAMBUTAN KEPALA LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
Seiring dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat, implementasi kebijakan yang bersifat dinamis akan melahirkan isu-isu strategis dan permasalahan yang harus direspon secara cepat (quick response). Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai lembaga pemerintah yang bertanggung jawab secara fungsional dalam bidang pengembangan administrasi negara, senantiasa perlu untuk melakukan pengkajian dan merumuskan rekomendasi serta solusi terkait isu-isu strategis dalam praktek sistem administrasi negara dan hukum administrasi negara di indonesia. Kajian isu-isu strategis ini merupakan salah satu wujud dari upaya akuntabilitas LAN, baik kepada pemerintah maupun kepada masyarakat. Melalui kegiatan kajian ini diharapkan dapat dirumuskan rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif solusi penyelesaian masalah aktual di bidang administrasi negara dan hukum administrasi negara. Selain itu, hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi pejabat publik dan penyelenggara negara dalam merumuskan kebijakan maupun untuk mengevaluasi implementasi kebijakan. Sehubungan dengan hal tersebut, saya menyambut baik dilakukannya kegiatan Kajian tentang Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara yang diarahkan untuk 1) Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional; 2) Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan; 3) Pengembangan Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. vii
Melalui identifikasi isu yang tepat dan bersifat aktual strategis diharapkan dapat membantu pemerintah untuk merumuskan langkah dalam mengimplementasikan kebijakan. Diharapkan hasil kajian ini dapat memberikan masukan bagi selruh unsur penyelenggara pemerintahan dalam memastikan proses penyelenggaraan pembangunan tidak terhambat oleh hal-hal yang berifat administratif dan bermanfaat bagi pengembangan sistem administrasi negara dan hukum administrasi negara di Indonesia. Jakarta,
Desember 2016
Kepala Lembaga Administrasi Negara
Adi Suryanto
viii
KATA PENGANTAR
Kajian tentang Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara ini merupakan salah satu kegiatan kajian di lingkungan Lembaga Administrasi Negara (LAN) yang dilaksanakan oleh Kedeputian Bidang Kajian Kebijakan, melalui Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN), pada Tahun Anggaran 2016. Kegiatan kajian ini merupakan upaya LAN untuk merespon secara cepat (quick response) atas dinamika implementasi kebijakan di bidang sistem administrasi negara dan hukum administrasi negara di Indonesia. Kajian tentang Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai perkembangan isu-isu sistem administrasi negara dan hukum administrasi negara yang berkembang dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia serta memberikan alternatif rekomendasi kebijakan yang diharapkan dapat menjadi solusi atas potensi permasalahan yang timbul dampak dari implementasi kebijakan di bidang sistem administrasi negara dan hukum administrasi negara. Pada tahun anggaran 2016 Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) telah dilaksanakan 3 (tiga) kajian isu strategis yang terdiri dari: 1) Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional; 2) Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan; 3) Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, tim penyusun, narasumber baik dilingkungan internal LAN maupun berbagai instansi terkait, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, akademisi, dan LSM yang telah membantu dan berpartisipasi dalam penyusunan dalam kajian ini. Kami sadari bahwa hasil kajan ini masih belum komprehensif dan sempurna, oleh karena itu kami mengharapkan masukan dan saran
ix
terhadap perbaikan untuk penyempurnaan dari pelaksanaan kegiatan tahap selanjutnya. Jakarta,
Desember 2016
Deputi Bidang Kajian Kebijakan
Muhammad Taufiq
x
DAFTAR ISI Ringkasan Eksekutif Sambutan Kepala Lembaga Administrasi Negara Kata Pengantar Daftar Isi Bagian I
Bagian II
iii vii viii ix
PENDAHULUAN
1
TENTANG KAJIAN ISU-ISU STRATEGIS DI BIDANG SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA A. Latar Belakang B. Tujuan dan Sasaran C. Indikator Kinerja D. Sistematika Laporan
3 3 4 5 5
BAHASAN ISU-ISU STRATEGIS BIDANG SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
7
ISU I : MENINGKATKAN KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH, BPJS KESEHATAN DAN FASILITAS KESEHATAN MENUJU PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL A. Pendahuluan B. Konsep Kemitraan C. Kemitraan Antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan D. Meningkatkan Kemitraan Antara Pemerintah, BPJS dan Fasilitas Kesehatan E. Penutup ISU II : PENGUATAN PERAN APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP) PASCA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN xi
9 9 16 22 30 31
23
A. B. C. D. E. F. G.
Bagian III
Latar Belakang Permasalahan Tinjauan Konsep Pengawasan Tinjauan Kebijakan Mengenai APIP Identifikasi APIP Analisis Rekomendasi Stratejik
23 37 37 40 48 49 55
ISU III : STRATEGI PEMBERANTASAN PUNGLI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK A. Pendahuluan B. Pemahaman Pelayanan Publik C. Pungutan Liar di Birokrasi D. Strategi Pemberantasan Pungutan Liar E. Penutup
57 57 59 70 73 78
PENUTUP
79
RANGKUMAN REKOMENDASI A. Isu I : Meningkatkan Kemitraan Antara Pemerintah, Bpjs Kesehatan Dan Fasilitas Kesehatan Menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional B. Isu II : Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (Apip) Pasca Uu Administrasi Pemerintahan C. Isu III : Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
81
REFEERENSI
81
82 83
90
xii
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
1
2
TENTANG KAJIAN TENTANG ISU-ISU STRATEGIS DI BIDANG SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
A. Latar Belakang Lembaga Administrasi Negara (LAN) sebagai lembaga pemerintah non kementerian melaksanakan tugas pemerintahan di bidang administrasi negara.1 Salah satu fungsi LAN adalah melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional tertentu di bidang administrasi negara.2 Sebelumnya di tahun 2015, LAN c.q. Deputi Bidang Kajian Kebijakan melalui Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) telah melaksanakan beberapa kajian isu-isu strategis antara lain, tentang : 1. Critical Review Implementasi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan; 2. Pilkada Serentak dan Pemerintahan Daerah di Masa Transisi; 3. Strategi Pengembangan Kompetensi Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP) dalam rangka Implementasi UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi pemerintahan. Dalam pelaksanaan kajian tersebut, PKSHAN telah berkerja sama dengan Pemerintah Pusat dan Daerah, BUMN, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada tahun 2016 ini, Deputi Bidang Kajian Kebijakan c.q. PKSHAN kembali melakukan pengkajian terhadap Isu-isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara. Isu-isu yang akan dikaji adalah isu-isu yang diprioritaskan penanganannya secara cepat (quick response) atas dinamika praktek dalam implementasi kebijakan di bidang sistem dan hukum administrasi negara di Indonesia. Kajian ini mempunyai durasi waktu yang pendek dan dilakukan beberapa kali dalam 1 (satu) tahun anggaran, serta diharapkan 1 2
Peraturan Presiden No.57 Tahun 2013, Pasal 2. Ibid, Pasal 3 huruf a.
3
rekomendasi kebijakan atau policy brief dari kajian ini dapat tersampaikan kepada para pemangku kepentingan (stakeholders). B. Tujuan dan Sasaran Kajian tentang Isu-Isu Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara ini bertujuan untuk membahas masalah-masalah aktual yang strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara. Aktual dalam pengertian permasalahan yang dibahas sedang menjadi isu yang menjadi pusat perhatian (trending topic) dibicarakan oleh masyarakat yang penting untuk segera dibahas dan diselesaikan permasalahannya oleh pemerintah. Sedangkan strategis dalam pengertian bahwa permasalahan tersebut merupakan hal penting yang akan sangat mempengaruhi rencana pemerintah upaya memberikan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua hal tersebut menjadi acuan pemilihan tema karena pada akhirnya akan mempengaruhi pandangan publik atau masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Untuk tahun anggaran 2016 ini terdapat 3 (tiga) isu strategis yang dipandang penting (urgent) untuk dapat disikapi yakni: 1. Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional; 2. Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan; dan 3. Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan Kajian tentang Strategis di Bidang Sistem dan Hukum Administrasi Negara ini tersedianya rekomendasi kebijakan yang memuat alternatif penyelesaian terhadap masalah aktual di bidang sistem dan administrasi negara.
4
Isu-Isu adalah solusi hukum
C. Indikator Kinerja Indikator kinerja yang diharapkan dari kajian ini adalah dihasilkan rekomendasi kebijakan tentang isu-isu strategis di bidang sistem dan hukum administrasi negara. Rekomendasi kebijakan tersebut disampaikan dalam bentuk policy brief. Policy brief dimasud meliputi policy brief tentang Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional; Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan; dan Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. D. Sistematika Laporan Bagian Pendahuluan, berisi Latar Belakang; Tujuan dan Pertama Sasaran; Indikator Kerja; Waktu Pelaksanaan; Anggaran; dan Sistematika Laporan. Bagian Kedua
Membahas tiga isu strategis terpilih, yaitu Isu I : “Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan Menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional“ yang berisi Pendahuluan; Konsep Kemitraan; Kemitraan Antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan; Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS dan Fasilitas Kesehatan; Penutup. Isu II : “Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan” yang berisi Latar Belakang; Permasalahan; Tinjauan Konsep Pengawasan; Tinjauan kebijakan Dasar mengenai APIP; Analisis; rekomendasi Stratejik. Isu III : “Strategi Pemberantasan Pungli sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik” yang 5
berisi Pendahuluan; Pemahaman Pelayanan Publik; Pungutan Liar di Birokrasi; Strategi Pemberantasan Pungutan Liar; Penutup. Bagian Ketiga
Penutup, berisi rangkuman rekomendasirekomendasi yang dihasilkan dari setiap pembahasan tema isu strategis terpilih.
6
BAGIAN KEDUA BAHASAN ISU-ISU STRATEGIS BIDANG SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA
7
8
Isu Pertama MENINGKATKAN KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH, BPJS KESEHATAN DAN FASILITAS KESEHATAN MENUJU PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
A. Pendahuluan Jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak apabila terjadi hal-hal yang mengakibatkan hilang atau berkurangnya pendapatan, karena menderita sakit, mengalami kecelakaan, kehilangan pekerjaan, memasuki usia lanjut, atau pensiun.3 Jaminan Sosial Nasional diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (selanjutnya disingkat BPJS), yang terdiri atas BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. 4 Prinsip yang dianut dalam sistem jaminan sosial nasional adalah sebagai berikut :5 1. Gotong-royong Dengan kewajiban semua peserta membayar iuran maka akan terjadi prinsip gotong royong dimana yang sehat membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin. 2. Nirlaba Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak diperbolehkan mencari untung. Dana yang dikumpulkan dari masyarakat adalah dana amanat, sehingga hasil pengembangannya harus dimanfaatkan untuk kepentingan peserta. 3. Keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisien dan efektivitas Prinsip manajemen ini mendasari seluruh pengelolaan dana yang berasal dari iuran peserta dan hasil pengembangan. 3
Indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Pasal 1 angka 1. 4 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 5 ayat (2). 5 Ibid, Pasal 4.
9
4. Portabilitas Prinsip ini menjamin bahwa sekalipun peserta berpindah tempat tinggal atau pekerjaan, selama masih di wilayah Negara Republik Indonesia tetap dapat mempergunakan hak sebagai peserta JKN. 5. Kepesertaan bersifat wajib Agar seluruh rakyat menjadi peserta sehingga dapat terlindungi. Penerapannya tetap disesuaikan dengan kemampuan ekonomi rakyat dan pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. 6. Dana amanat Dana yang terkumpul dari iuran peserta merupakan dana titipan kepada badan penyelenggara untuk dikelola sebaik – baiknya demi kepentingan peserta. 7. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Salah satu program SJSN adalah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang akan menjamin pesertanya memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Sejak 1 Januari 2014 pemerintah telah mengimplementasikan JKN kepada seluruh masyarakat dengan menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib (mandatory) dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar kesehatan masyarakat yang layak. Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta Jaminan kesehatan yang dikelola BPJS Kesehatan, artinya mereka tidak boleh tidak menjadi peserta BPJS Kesehatan meskipun sudah memiliki Jaminan kesehatan lain. Peserta JKN terdiri atas Penerima Bantuan Iuran (selanjutnya disebut PBI) jaminan kesehatan dan bukan PBI Jaminan Kesehatan.6 Yang dimaksud dengan PBI Jaminan Kesehatan adalah orang yang tergolong fakir miskin dan tidak
6
Indonesia, Peraturan presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan, Pasal 2.
10
mampu, sedangkan yang dimaksud dengan bukan PBI jaminan 7 kesehatan adalah : 1. Pekerja penerima upah dan anggota keluarganya : a. Pegawai Negeri Sipil b. Anggota TNI c. Anggota Polri d. Pejabat Negara e. Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri f. Pegawai Swasta g. Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai f yang menerima upah 2. Pekerja bukan penerima upah dan anggota keluarganya : a. Pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan peerima upah 3. Bukan pekerja dan anggota keluarganya : a. Investor b. Pemberi kerja c. Penerima pensiun d. Veteran e. Perintis kemerdekaan f. Bukan pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai e yang mampu membayar iuran.
7
Ibid, Pasal 3 dan 4.
11
Gambar 1 Kelompok Kepersertaan Iuran bagi peserta PBI dibayarkan oleh Pemerintah, sedangkan besaran iuran bagi peserta bukan PBI dibagi menjadi beberapa kategori sebagai berikut: 1. Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada Lembaga Pemerintahan terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: 3% (tiga persen) dibayar oleh pemberi kerja dan 2% (dua persen) dibayar oleh peserta. 2. Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja di BUMN, BUMD dan Swasta sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan: 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta. 3. Iuran untuk keluarga tambahan Pekerja Penerima Upah yang terdiri dari anak ke 4 dan seterusnya, ayah, ibu dan mertua, besaran iuran sebesar sebesar 1% (satu persen) dari dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah. 4. Peserta Pekerja bukan penerima upah serta peserta bukan pekerja adalah sesuai dengan kelas rawat inap yang dipilih, yaitu : 12
a. sebesar Rp. 25.500,- (dua puluh lima ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III. b. sebesar Rp. 42.500,- (empat puluh dua ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II. c. sebesar Rp. 59.500,- (lima puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I. 5. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, dan janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan, iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari 45% (empat puluh lima persen) gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 (empat belas) tahun per bulan, dibayar oleh Pemerintah. Tabel 1 Iuran Peserta BPJS
Manfaat yang dijamin oleh Program JKN berupa layanan kesehatan perseorangan yang komrehensif yang mencakup : 1. Pelayanan Kesehatan di Tingkat I/Dasar, yaitu pelayanan kesehatan non spesialistik terdiri dari : a. Administrasi pelayanan b. Pelayanan promotif dan preventif 13
c. Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis d. Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non operatif e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai f. Transfusi darah sesuai kebutuhan medis g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium Tingkat I h. Rawat Inap Tingkat I sesuai dengan Indikasi Medis 2. Pelayanan Kesehatan di Tingkat II/Lanjutan, terdiri dari: a. Rawat jalan, meliputi: 1) Administrasi pelayanan 2) Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik 3) Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis 4) Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai 5) Pelayanan alat kesehatan implant 6) Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis 7) Rehabilitasi medis 8) Pelayanan darah 9) Pelayanan kedokteran forensik 10) Pelayanan jenazah di fasilitas kesehatan b. Rawat Inap yang meliputi: 1) Perawatan inap non intensif 2) Perawatan inap di ruang intensif 3) Pelayanan kesehatan lain yang ditetapkan oleh Menteri Jumlah peserta BPJS Kesehatan dalam waktu 2 (dua) tahun mencapai 163 juta perserta8. Pertumbuhan peserta BPJS Kesehatan yang begitu pesat dan jauh melampaui target berdampak signifikan bagi peningkatan permintaan pelayanan kesehatan terutama dari kalangan masyarakat yang selama ini tidak mampu memanfaatkan layanan kesehatan. Jumlah pasien yang datang ke Fasilitas Kesehatan (Faskes) saat ini meningkat tiga kali lipat perhari dibanding dengan saat belum ada 8
BPJS Kesehatan Tak Mampu Imbangi Pertumbuhan Peserta, www.okezone.com
14
JKN, hal ini merupakan salah satu indikator pertumbuhan peserta BPJS Kesehatan.9 Lonjakan peserta ini sayangnya tidak diiringi dengan pelayanan yang mumpuni sehingga menimbulkan banyak keluhan terhadap program JKN. Keluhan masyarakat biasanya terhadap pelayanan Faskes yang membedakan pasien BPJS dengan pasien non BPJS. Selain itu masyarakat sering dibuat bingung karena peraturan BPJS yang kerapkali berubah tanpa ada sosialisasi sebelumnya. Mereka juga kecewa karena terbatasnya kehadiran tim advokasi BPJS Kesehatan di RS juga yang akan membantu pasien. Faskes sebagai penyedia jasa biasanya mempunyai beberapa keluhan, antara lain kejanggalan tarif INACBG’s yang ditetapkan oleh pemerintah, pencairan uang klaim yang cukup lama dan standar ganda yang digunakan oleh BPJS Kesehatan dalam pelaksanaan implementasi MOU oleh BPJS Kesehatan dengan Faskes. Faskes menilai terdapat disorientasi fungsi BPJS kesehatan, BPJS Kesehatan bertindak tidak sebagai verifikator melainkan sebagai auditor. Faskes juga menyayangkan kurangnya sosialisasi program dan perubahan kebijakan BPJS Kesehatan kepada masyarakat, hal ini menyebabkan pasien marah karena merasa dipersulit sehingga akibatnya tidak jarang terjadi kasus tenaga kesehatan yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari pasien. BPJS Kesehatan selaku operator dalam program JKN mempunyai beberapa keluhan terhadap pasien karena tidak paham rujukan berjenjang serta tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar iuran. Banyak masyarakat sebagai pengguna jasa jaminan kesehatan hanya membayar iuran dikala sakit, namun ketika sudah sehat mempunyai tunggakan iuran hingga berbulan-bulan. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan terjadinya defisit. Disamping itu, BPJS Kesehatan juga mengeluh terhadap fraud yang dilakukan oleh faskes sehingga biaya yang diklaim menjadi lebih tinggi. BPJS Kesehatan menyayangkan pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Rumah Sakit tidak optimal dan kurangnya penegakkan hukum. 9
Ibid
15
Berdasarkan informasi tersebut di atas terlihat bahwa hubungan kemitraan antar aktor kurang harmonis. Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan adalah : 1. Mengapa terjadi ketidakharmonisan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan dalam pelaksanaan JKN ? 2. Bagaimana upaya meningkatkan kemitraan yang baik antara Pemerintah, BPJS Kesehatan, dan Fasilitas Kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan jaminan kesehatan ? Tujuan kegiatan kajian ini adalah merumuskan rekomendasi untuk meningkatkan kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan agar mampu meningkatkan kualitas pelayanan jaminan kesehatan. Output kajian ini berupa policy brief, yaitu ringkasan hasil kajian yang akan dipublikasikan dan disampaikan kepada stakeholders sebagai bahan referensi meningkatkan kemitraan agar kualitas layanan jaminan kesehatan. Kajian ini akan sangat bermanfaat bagi Pemerintah selaku regulator penyelenggaran jaminan kesehatan, BPJS Kesehatan selaku operator penyelenggara jaminan kesehatan dan Fasilitas Kesehatan selaku penyedia jasa jaminan kesehatan. B. Konsep Kemitraan 1. Pengertian Kemitraan Kemitraan pada esensinya adalah dikenal dengan istilah gotong royong atau kerjasama dari berbagai pihak, baik secara individual maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo, kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Ada berbagai pengertian kemitraan secara umum, meliputi:10 a. Kemitraan mengandung pengertian adanya interaksi dan interelasi minimal antara dua pihak atau lebih dimana masing-masing pihak merupakan ”mitra” atau ”partner”. 10
http://digilib.unila.ac.id/3703/16/BAB%20II.pdf
16
b. Kemitraan adalah proses pencarian/perwujudan bentuk-bentuk kebersamaan yang saling menguntungkan dan saling mendidik secara sukarela untuk mencapai kepentingan bersama. c. Kemitraan adalah upaya melibatkan berbagai komponen baik sektor, kelompok masyarakat, lembaga pemerintah atau non-pemerintah untuk bekerja sama mencapai tujuan bersama berdasarkan atas kesepakatan, prinsip, dan peran masing-masing. d. Kemitraan adalah suatu kesepakatan dimana seseorang, kelompok atau organisasi untuk bekerjasama mencapai tujuan, mengambil dan melaksanakan serta membagi tugas, menanggung bersama baik yang berupa resiko maupun keuntungan, meninjau ulang hubungan masing-masing secara teratur dan memperbaiki kembali kesepakatan bila diperlukan. Terdapat 3 prinsip kunci yang perlu dipahami dalam membangun suatu kemitraan oleh masing-masing anggota kemitraan yaitu: a. Prinsip Kesetaraan (Equity) Individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati. b. Prinsip Keterbukaan Keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua itu harus diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu diantara golongan (mitra). c. Prinsip Azas manfaat bersama (mutual benefit) Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan kontribusi masing-masing. Kegiatan atau pekerjaan akan menjadi efisien dan efektif bila dilakukan bersama.
17
2. Langkah-langkah Kemitraan Kemitraan memberikan nilai tambah kekuatan kepada masingmasing sektor untuk melaksanakan visi dan misinya. Namun kemitraan juga merupakan suatu pendekatan yang memerlukan persyaratan, untuk itu diperlukan langkah- langkah tahapan sebagai berikut: a. Pengenalan masalah b. Seleksi masalah c. Melakukan identifikasi calon mitra dan pelaku potensial melalui surat- menyurat, telepon, kirim brosur, rencana kegiatan, visi, misi, AD/ART. d. Melakukan identifikasi peran mitra/jaringan kerjasama antar sesama mitra dalam upaya mencapai tujuan, melalui: diskusi, forum pertemuan, kunjungan kedua belah pihak, dll e. Menumbuhkan kesepakatan yang menyangkut bentuk kemitraan, tujuan dan tanggung jawab, penetapan rumusan kegiatan memadukan sumberdaya yang tersedia di masing-masing mitra kerja, dll. Kalau ini sudah ditetapkan, maka setiap pihak terbuka kesempatan untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang lebih bervariasi sepanjang masih dalam lingkup kesepakatan. f. Menyusun rencana kerja: pembuatan POA penyusunan rencana kerja dan jadwal kegiatan, pengaturan peran, tugas dan tanggung jawab. g. Melaksanakan kegiatan terpadu: menerapkan kegiatan sesuai yang telah disepakati bersama melalui kegiatan, bantuan teknis, laporan berkala, dll. h. Pemantauan dan evaluasi 3. Model-model Kemitraan dan Jenis Kemitraan Secara umum, model kemitraan dalam sektor dikelompokkan menjadi dua yaitu:
kesehatan
a. Model I Model kemitraan yang paling sederhana adalah dalam bentuk jaring kerja (networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk 18
jaringan kerja saja. Masing-masing mitra memiliki program tersendiri mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan tersebut terbentuk karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik lainnya. b. Model II Kemitraan model II ini lebih baik dan solid dibandingkan model I. Hal ini karena setiap mitra memiliki tanggung jawab yang lebih besar terhadap program bersama. Visi, misi, dan kegiatan-kegiatan dalam mencapai tujuan kemitraan direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama. Menurut Beryl Levinger dan Jean Mulroy, ada empat jenis atau tipe kemitraan yaitu : 1) Potential Partnership Jenis kemitraan ini pelaku kemitraan saling peduli satu sama lain tetapi belum bekerja bersama secara lebih dekat. 2) Nascent Partnership Kemitraan ini pelaku kemitraan adalah partner tetapi efisiensi kemitraan tidak maksimal 3) Complementary Partnership Pada kemitraan ini, partner/mitra mendapat keuntungan dan pertambahan pengaruh melalui perhatian yang besar pada ruang lingkup aktivitas yang tetap dan relatif terbatas seperti program delivery dan resource mobilization. 4) Synergistic Partnership Kemitraan jenis ini memberikan mitra keuntungan dan pengaruh dengan masalah pengembangan sistemik melalui penambahan ruang lingkup aktivitas baru seperti advokasi dan penelitian. Bentuk-bentuk/tipe kemitraan menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI yaitu terdiri dari aliansi, koalisi, jejaring, konsorsium, kooperasi dan sponsorship. Bentuk-bentuk kemitraan tersebut dapat tertuang dalam :
19
a. b. c. d. e.
SK bersama MOU Pokja Forum Komunikasi Kontrak Kerja/perjanjian kerja
4. Tingkat/ Jenjang Kemitraan Menurut Heideneim, ada lima tingkat atau jenjang dalam suatu kemitraan yaitu: full collaboration, coalition, partnership, alliance, dan network. Kelimanya digambarkan sebagai berikut :
Menurut Phillips El Ansori, dalam peningkatan dampak kemitraan agar lebih baik dipengaruhi oleh faktor personal, adanya hambatan dari 20
personal, faktor kekuasaan, faktor organisasional, hambatan dalam pengorganisasian, dan faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi kepuasaan dan peningkatan keefektifan komitmen serta keberhasilan aktivitas atau kegiatan. 5. Konflik dalam Kemitraan Beberapa literatur menyebutkan makna konflik sebagai suatu perbedaan pendapat di antara dua atau lebih anggota atau kelompok dan organisasi, yang muncul dari kenyataan bahwa mereka harus membagi sumber daya yang langka atau aktivitas kerja dan mereka mempunyai status, tujuan, nilai, atau pandangan yang berbeda, dimana masingmasing pihak berupaya untuk memenangkan kepentingan atau pandangannya. Sedangkan menurut Brown, konflik merupakan bentuk interaksi perbedaan kepentingan, persepsi, dan pilihan. Wujudnya bisa berupa ketidak-setujuan kecil sampai ke perkelahian. Konflik dalam organisasi biasanya terbentuk dari rangkaian konflikkonflik sebelumnya. Konflik kecil yang muncul dan diabaikan oleh manajemen merupakan potensi munculnya konflik yang lebih besar dan melibatkan kelompok-kelompok dalam organisasi. Konflik sebagai sebuah siklus yang melibatkan beberapa eleme, yaitu : a. Isu b. Perilaku sebagai respon dari isu-isu yang muncul c. Akibat-akibat d. Peristiwa-peristiwa pemicu. Faktor-faktor yang bisa mendorong konflik adalah : a. Perubahan lingkungan eksternal b. Perubahan ukuran perusahaan sebagai akibat tuntutan persaingan c. Perkembangan teknologi d. Pencapaian tujuan organisasi e. Struktur organisasi Menurut Myer dalam Nursya’bani Purnama, terdapat tiga bentuk konflik dalam organisasi, yaitu : 21
a. Konflik pribadi, merupakan konflik yang terjadi dalam diri setiap individu karena pertentangan antara apa yang menjadi harapan dan keinginannya dengan apa yang dia hadapi atau dia peroleh. b. Konflik antar pribadi, merupakan konflik yang terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lain. c. Konflik organisasi, merupakan konflik perilaku antara kelompokkelompok dalam organisasi dimana anggota kelompok menunjukkan “keakuan kelompoknya” dan membandingkan dengan kelompok lain, dan mereka menganggap bahwa kelompok lain menghalangi pencapaian tujuan atau harapan-harapannya. Untuk dapat mengetahui keberhasilan pengembangan kemitraan diperlukan adanya indikator yang dapat diukur. Dalam penentuan indikator sebaiknya dipahami prinsip-prinsip indikator yaitu: spesifik, dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan tepat waktu.
INPUT
OUTPUT
PROSES
OUTCOME E
C. Kemitraan Antara Pemerintah, BPJS Kesehatan Dan Fasilitas Kesehatan 1. Peran Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional Pemerintah sebagai regulator penyelenggara JKN, BPJS Kesehatan Badan Penyelenggara selaku operator penyelenggara JKN dan Faskes selaku penyedia jasa Jaminan Kesehatan dapat dilihat dari fungsi dan tugas, serta hak dan kewajiban yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. a. Peran Pemerintah Dalam UU SJSN maupun UU BPJS dikatakan bahwa Pemerintah memiliki peran untuk mendaftarkan PBI dan anggota keluarganya
22
sebagai peserta BPJS, serta Pemerintah membayar dan menyetorkan iuran untuk PBI kepada BPJS. Pemerintah dalam hal ini Presiden sewaktu-waktu dapat meminta laporan keuangan dan laporan kinerja BPJS sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan penyelenggaraan jaminan sosial nasional.11 Dalam hal terdapat kebijakan fiskal dan moneter yang mempengaruhi tingkat solvabilitas BPJS, Pemerintah dapat mengambil kebijakan khusus untuk menjamin kelangsungan program jaminan sosial. Sedangkan apabila terjadi krisis keuangan dan kondisi tertentu yang memberatkan perekonomian, Pemerintah dapat melakukan tindakan khusus untuk menjaga kesehatan keuangan dan kesinambungan penyelenggaraan program jaminan sosial.12 Kementerian Kesehatan sebagai regulator telah mengeluarkan kebijakan yang mengatur penyelenggaraan pelayanan kesehatan di tingkat primer dengan harapan agar pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan standar, sesuai kompetensi dan kewenangan. Tidak hanya itu, dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan, Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan Akreditasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. b. Peran BPJS Kesehatan Berdasarkan UU SJSN, peran BPJS adalah sebagai berikut : 1) BPJS memiliki kewajiban untuk memberikan nomor identitas tunggal kepada setiap peserta dan anggota keluarganya. 2) BPJS wajib memberikan informasi tentang hak dan kewajiban kepada peserta untuk mengikuti ketentuan yang berlaku.
11
Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 56 ayat (1). 12 Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 56 ayat (2) dan (3).
23
3) BPJS dapat melakukan kerjasama dengan Fasilitas Kesehatan dan melakukan kesepakatan dengan Fasilitas Kesehatan dan Asosiasi Fasilitas Kesehatan mengenai besaran pembiayaan. 4) Dalam hal pembayaran klaim yang dilakukan oleh Fasilitas Kesehatan, BPJS wajib melakukan pembayaran paling lambat 15 hari sejak permintaan pembayaran diterima BPJS. 5) BPJS diwajibkan untuk mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem pengendalian mutu layanan dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan. 6) Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh BPJS secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai. 7) BPJS wajib mengelola pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku serta membentuk cadangan teknis sesuai standar praktek aktuaria yang lazim berlaku umum. BPJS dalam operasional kesehariannya memiliki tugas : 1) Melakukan dan/atau menerima pendaftaran peserta; 2) Memungut dan mengumpulkan iuran dari peserta dan pemberi kerja; 3) Menerima bantuan iuran dari pemerintah; 4) Mengelola dana jaminan sosial untuk kepentingan peserta; 5) Mengumpulkan dan mengelola data peserta program jaminan sosial; 6) Membayarkan manfaat dan/atau membiayai pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan program jaminan sosial; dan 7) Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan jaminan sosial kepada peserta dan masyarakat.13
13
Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 10.
24
Dalam melaksanakan tugasnya, BPJS berwenang untuk : 1) Menagih pembayaran iuran; 2) Menempatkan dana jaminan sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; 3) Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan jaminan sosial nasional; 4) Membuat kesepakatan dengan fasilitas kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh pemerintah; 5) Membuat atau menghentikan kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan; 6) Mengenakan sanksi administratif kepada peserta atau pemberi kerja yang tidak mematuhi kewajibannya; 7) Melaporkan pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 8) Melakukan kerja sama dengan pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan social.14 Dalam pelaksanaan tugasnya BPJS juga memiliki kewajiban untuk: 1) Memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta; 2) Mengembangkan aset dana jaminan sosial dan aset BPJS untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta; 3) Memberikan informasi melalui media massa cetak dan elektronik mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya;
14
Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Pasal 11.
25
4)
Memberikan manfaat kepada seluruh peserta sesuai dengan undang-undang tentang SJSN; 5) Memberikan informasi kepada peserta mengenai hak dan kewajiban untuk mengikuti ketentuan yang berlaku; 6) Memberikan informasi kepada peserta mengenai prosedur untuk mendapatkan hak dan memenuhi kewajibannya; 7) Memberikan informasi kepada peserta mengenai saldo jaminan hari tua dan pengembangannya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; 8) Memberikan informasi kepada peserta mengenai besar hak pension 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun; 9) Membentuk cadangan teknis sesuai dengan standar praktik aktuaria yang lazim dan berlaku umum; 10) Melakukan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku dalam penyelenggaraan jaminan sosial; dan 11) Melaporkan pelaksanaan setiap program, termasuk kondisi keuangan, secara berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden dengan tembusan kepada DJSN.15 Dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan program jaminan sosial, BPJS dapat bekerjasama dengan lembaga Pemerintah16, serta bekerjasama dengan organisasi atau lembaga lain di dalam atau di luar negeri untuk menjalankan tugasnya17. c. Peran Faskes Peran Faskes dalam pasal 23 UU SJSN adalah melakukan pelayanan kesehatan yang mencakup pelayanan promotive, preventif, kuratif, dan rehabilitative termasuk obat dan bahan medis habis pakai yang diperlukan. Peran fasilitas kesehatan tingkat pertama sangat penting karena tidak hanya harus mampu melakukan pengobatan dasar sesuai dengan kewenangannya tetapi juga harus dapat melakukan edukasi, promosi, prevensi 15
Ibid, Pasal 13. Ibid, Pasal 51 ayat (1). 17 Ibid, ayat (2). 16
26
untuk penduduk yang sehat agar tetap sehat dan tidak menjadi sakit.
2. Hambatan Dalam Pelaksanaan Program JKN Pelaksanaan JKN hingga tahun 2016 masih kurang optimal, salah satu penyebabnya adalah belum adanya peraturan pelaksana dari UU No. 20 Tahun 2004 dan UU No.24 Tahun 2011.18 Beberapa peraturan pelaksana dari kedua undang-undang tersebut yang urgent untuk segera diterbitkan antara lain : a. Perpres yang mengatur mengenai tahapan pemberi kerja yang wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjaannya sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, sesuai dengan program jaminan sosial yang diikuti; b. Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pendaftaran penerima bantuan iuran (fakir miskin dan orang tidak mampu)
18
Dialog Kebangsaan Dalam Rangka Hari Bakti Dokter Indonesia Ke-107 dan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 2015 “Langkah Satu Tahun Menuju National Coverage, Apakah Siap di 2019?” http://www.idionline.org/berita/dialog-kebangsaan-dalam-rangka-hari-bakti-dokter-indonesia-ke-107dan-hari-kebangkitan-nasional-tahun-2015-langkah-satu-tahun-menuju-national-coverage-apakahsiap-di-2019/
27
c. d. e. f.
secara bertahap sebagai peserta kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial; Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Pengelolaan dan Pengembangan Dana Jaminan Sosial; Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai sumber dan penggunaan aset BPJS; Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai sumber dan penggunaan aset Dana Jaminan Sosial; dan Peraturan Pemerintah tentang Dana Operasional.
Amanat UU SJSN, kebijakan yang mengatur mengenai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus disesuaikan paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang tersebut diundangkan (19 oktober 2004), sedangkan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang BPJS ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun untuk peraturan yang mendukung beroperasinya BPJS Kesehatan terhitung sejak Undang-Undang tersebut diundangkan (25 November 2011). Dengan demikian tuntutan terhadap peraturan tersebut telah melewati batas waktu yang telah ditentukan. Selain dari dimensi kebijakan, permasalahan internal di masingmasing aktor juga menjadi faktor hambatan pelaksanaan JKN. Bagi Faskes beberapa kendala internal yang muncul adalah sebagai berikut: a. Terbatasnya jumlah klinik dan RS swasta (fasilitas kesehatan) yang bekerjasama dengan BPJS serta penyebarannya tidak merata. b. Kekurangan tenaga medis (dokter, bidan, perawat) diberbagai RS, tidak saja di luar Jawa melainkan juga di Jawa. c. Terbatasnya ketersediaan alat-alat kesehatan. Selanjutnya kendala yang dihadapi oleh BPJS Kesehatan antara lain : a. Kurangnya infrastruktur BPJS Kesehatan seperti SDM, IT, Kantor, dll; b. Belum tersedia sistem kolekting iuran yang “dapat memaksa” peserta untuk membayar premi setiap bulan;
28
c. Belum adanya unit pengendali mutu pelayanan dan penanganan pengaduan Peserta, sebagaimana diwajibkan dalam UndangUndang; d. Belum dikembangkannya aset Dana Jaminan Sosial dan aset BPJS untuk sebesar besarnya kepentingan Peserta, padahal hal ini diamanatkan secara kongkret dalam Undang-Undang; e. Belum menginformasikan kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya melalui media massa cetak dan elektronik mengenai. f. Penanganan pengaduan masih kurang responsif karena berlangsung lebih dari 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya pengaduan. Padahal menurut Undang-Undang, paling lambat penanganan pengaduan adalah 5 (lima) hari kerja. Bagi Pemerintah kendala utama dalam implementasi JKN ini adalah pada saat mengidentifikasi masyarakat yang termasuk dalam kategori PBI dan ketika akan melakukan penegakan hukum bagi Faskes yang “nakal” Dalam pelaksanaan JKN, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) mempunyai peran penting atas kewenangan untuk melakukan monitoring dan evaluasi (monev) penyelenggaraan program jaminan sosial. Namun, hingga saat ini hasil monev tersebut belum terdiseminasikan dengan baik dan belum menjadi solusi atas timbulnya berbagai permasalahan dalam implementasi Program JKN. Hambatan serta permasalahan yang timbul merupakan faktor pemicu terjadinya ketidakharmonisan/konflik. Tampaknya terdapat perbedaan pendapat di antara para aktor terkait tujuan, nilai, atau pandangan terhadap program JKN. Masing-masing pihak mengutamakan kepentingannya sendiri, sehingga konflik terus menerus terjadi. Faskes berorientasi terhadap profit namun tarif INACBG’s yang ditetapkan tidak sesuai dengan profit yang diharapkan karena tarif INACBG’s tersebut ditetapkan sesuai dengan prinsip nirlaba. Orientasi masyarakat banyak yang hanya sekedar mencari “donatur biaya berobat”. Belum banyak orang yang merasa pentingnya JKN, mereka tidak paham bahwa kepesertaan JKN bersifat wajib dan gotong 29
royong. Selanjutnya, orientasi BPJS Kesehatan adalah menyelenggarakan program pemerintah sesuai dengan prinsip yang terdapat dalam UU SJSN. Namun dalam prakteknya BPJS Kesehatan fokus kepada pengumpulan dana tanpa ada pengembangan dana lebih lanjut. D. MENINGKATKAN KEMITRAAN ANTARA PEMERINTAH, BPJS DAN FASILITAS KESEHATAN Hubungan antara Pemerintah-BPJS Kesehatan-Faskes saat ini menganut model kemitraan yang paling sederhana, yaitu dalam bentuk jaring kerja (networking) atau building linkages. Kemitraan ini berbentuk jaringan kerja saja, masing-masing mitra memiliki program tersendiri mulai dari perencanaannya, pelaksanaannya hingga evalusi. Jaringan tersebut terbentuk karena adanya persamaan pelayanan atau sasaran pelayanan atau karakteristik lainnya. Kemitraan antar para aktor harus ditingkatkan dari sekedar membentuk jejaring kerja (networking) menjadi full collaboration. Pemerintah sebagai regulator, BPJS Kesehatan sebagai operator, serta Faskes sebagai penyedia jasa harus mampu menjawab berbagai tantangan untuk perbaikan program JKN sebagai berikut : 1. Memastikan peningkatan kepuasan peserta. 2. Mengintegrasikan Jamkesda dengan program JKN. 3. Membangun Fakes hingga ke daerah terpencil. 4. Menyebarluaskan tenaga medis secara merata hingga daerah terpencil 5. Mengevaluasi tarif INACBGS. 6. Menyusun peraturan pelaksana dari UU SJSN dan UU BPJS. 7. Mengharmonisasi ketentuan teknis dengan Peraturan Perundangundangan 8. Mendorong kepesertaan di Desa, PBPU dan Mandiri. 9. Memberi pemahaman kepada masyarakat tentang sistem pelayanan BPJS Kesehatan secara komprehensif. 10. Mencegah fraud di Faskes. 11. Mengendalikan mutu dan biaya. 30
12. Meningkatkan kolektibilitas iuran peserta, terutama peserta mandiri. 13. Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM BPJS Kesehatan. 14. Meningkatkan fungsi advokasi 15. Meningkatkan fungsi promotif dan preventif. 16. Meningkatkan kualitas pelayanan secara profesional. 17. Memperbaiki hubungan terutama dengan provider dan profesi. Untuk menjawab tantangan tersebut maka Faskes, BPJS Kesehatan, Pemerintah serta masyarakat harus menjalankan prinsipprinsip kemitraan yang menjunjung adanya kesetaraan dan keadilan (equally dan equity), keterbukaan (openness), kemanfaatan bersama (mutual benefit), dan tanggung jawab (responsibility). Prinsip kesetaraan dan keadilan (equally dan equity) menuntut adanya kesetaraan derajat posisi antara Pemerintah-BPJS Kesehatan-Faskes dalam kerjasama pemberian JKN. Prinsip keterbukaan (openess) menuntut agar masingmasing pihak menginformasikan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki, serta standar/keinginan, agar kondisi masing-masing pihak menjadi jelas. Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Prinsip kemanfaatan bersama (mutual benefit) menuntut adanya adanya sharing manfaat yang seharusnya atau ingin diperoleh oleh masing-masing pihak melalui penyelenggaraan kerjasama pemberiaan JKN. Prinsip tanggung jawab menuntut para pihak yang bermitra harus bertanggung jawab untuk bersedia melaksanakan dengan sebaik-baiknya segala yang menjadi bagian melaksanakan dengan sebaik-baiknya segala yang menjadi bagian tugasnya sesuai dengan perjanjian. E. PENUTUP Konflik yang muncul antar aktor pelaksana JKN disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 1. Dimensi kebijakan UU No. 20 Tahun 2004 dan UU No.24 Tahun 2011 mengamanatkan lahirnya beberapa peraturan pelaksana sebelum tahun 2015. 31
2. Permasalahan internal Setiap aktor yang terlibat dalam pelaksanaan JKN mempunyai kendala internal yang dihadapi. Kendala yang dihadapi biasanya terkait dengan SDM dan infrastruktur. 3. Lemahnya pengawasan oleh DJSN Kemitraan dalam upaya kesehatan (partnership for health) adalah kebersamaan dari sejumlah pelaku untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat yang didasarkan atas kesepakatan tentang peranan dan prinsip masing-masing pihak. Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Faskes harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Kesetaraan (equity), mutual respect, compatible/two way communication. Individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati. 2. Keterbukaan (opennes) Keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masingmasing anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua itu harus diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu diantara golongan (mitra). 3. Manfaat bersama (mutual benefit), defined expectation, shared goals, complementary skills, synergy, result oriented Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan kontribusi 4. Tanggung jawab (responsibility) Terwujudnya pelayanan kesehatan yang baik dilaksanakan berdasarkan hubungan kemitraan yang harmonis. Oleh karena itu setiap pelaksana JKN harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan 32
optimal, meningkatkan kapasitas serta melakukan inovasi yang dapat menunjang pelayanan kesehatan, terutama inovasi yang memanfaatkan teknologi informatika.
33
34
Isu Kedua PENGUATAN PERAN APARAT PENGAWASAN INTERN PEMERINTAH (APIP) PASCA UU ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) telah disahkan dan mulai berlaku efektif sejak tanggal 17 Oktober 2014. Semangat dari pembentukan UU AP ini adalah untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi aparat pemerintah dalam mengambil kebijakan. Tidak dapat dipungkiri adanya UU AP ini telah membawa perubahan besar dalam manajemen penyelenggaraan pemerintahan, baik dari aspek sumber daya manusia (SDM) aparatur, kelembagaan maupun dimensi ketatalaksanaannya. Salah satu perubahan dimaksud adalah dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan di birokrasi pemerintahan, khususnya terkait dengan kedudukan dan peran dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Kedudukan dan peran APIP yang semula berdasarkan Pasal 11 Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PP SPIP), antara lain hanya: (a) Memberikan keyakinan yang memadai atas ketaatan, efisiensi, dan efektivitas pencapaian tujuan penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; (b) Memberikan peringatan dini dan meningkatkan efektivitas manajemen risiko dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dan (c) Memelihara dan meningkatkan kualitas tata kelola penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah; dengan keluarnya UU AP ini fungsi APIP menjadi bertambah yaitu harus mampu menilai sebuah keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan itu apakah termasuk dalam kategori : (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) bertindak sewenang-wenang; atau tidak. 35
Hal ini menyiratkan bahwa APIP yang semula hanya merupakan “lembaga audit internal biasa” namun sekarang mempunyai kewenangan layaknya “penegak hukum” di tingkat birokrasi pemerintahan. Peran yang efektif dari APIP diharapkan dapat menjamin penyelenggaraan pemerintahan dapat terlaksana secara tertib, efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat menjadi instrumen penting untuk mewujudkan organisasi yang bersih dan bebas dari korupsi (clean governance). APIP yang memiliki fungsi pembinaan seyogyanya dapat mengawal serta terlibat langsung dalam setiap langkah pelaksanaan kegiatan pada organisasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoringevaluasi kegiatan. APIP harus lebih mengedepankan tindakan preventif daripada represif, artinya APIP diharapkan dapat mencegah sedini mungkin potensi terjadinya penyimpangan, mal-administrasi maupun korupsi di birokrasi. Pada hakikatnya APIP dapat menjalankan fungsi sebagai katalis pertama pencegahan korupsi serta berbagai bentuk penyimpangan lainnya dari pejabat atau aparat pemerintah yang korup. Perilaku korup dari pejabat atau aparat pemerintah sendiri semakin hari semakin beragam. Seperti yang kita ketahui bersama adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) beberapa waktu lalu di akhir tahun 2016 telah menimbulkan tanda tanya mengapa hal tersebut dapat terjadi, apakah tidak ada pengawasan internal yang dilakukan sebelumnya, atau pengawasan yang telah dilakukan kurang, atau apakah standar dari APIP yang kurang kompeten dalam hal ini. Di dalam Instansi sebesar Kementerian Perhubungan yang dinilai memiliki APIP profesional dan kompeten pun ternyata belum mampu terhindar dari praktek korup dari oknum pejabat atau aparat didalamnya. Pertanyaan besarnya adalah APIP yang sudah dilengkapi standar yang baik dan ‘dipersenjatai’ dengan UU AP saja masih bisa terjadi tindakan korup dari oknum pejabat atau aparat pemerintahnya. Terkait hal tersebut, Lembaga Administrasi Negara (LAN) cq. Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) melakukan kegiatan kajian isu strategis tentang Penguatan Peran APIP Pasca UU Administrasi Pemerintahan 36
B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka dalam rangka penguatan APIP pasca UU AP ada beberapa pertanyaan penting yang diajukan, yaitu : 1. Bagaimanakah reformulasi struktur kelembagaan APIP yang ideal? Fakta yang dihadapi saat ini, SDM APIP masih dihadapkan pada sejumlah tantangan seperti persoalan tumpang tindihnya pengawasan, hubungan dengan Aparat Penegak Hukum dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku auditor eksternal, kurangnya komitmen tindak lanjut atas hasil pengawasan, kurang jelasnya pembagian tugas antar lembaga pengawasan, serta minimnya kompetensi yang dimiliki oleh SDM APIP. 2. Bagaimana pengembangan kapasitas (capacity building) SDM APIP agar lebih efektif dalam mencegah dan memberantas korupsi? Kedudukan kelembagaan serta pengembangan kapasitasi APIP ini menjadi sangat penting, karena kewenangan APIP yang teramat besar sepatutnya diiringi dengan posisi kelembagaan yang dapat men-support pelaksanaan fungsi APIP secara optimal, obyektif dan profesional. C. Tinjauan Konsep Pengawasan James A.F. Stoner/Charles Wankel (1986) menyatakan bahwa pengawasan adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan kinerja standar pada perencanaan, untuk merancang sistem umpan balik informasi, untuk membandingkan kinerja aktual dengan standar yang telah ditentukan, untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan dan mengukur signifikansi penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya organisasi telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan organisasi. Definisi tersebut mengacu pada unsur-unsur pokok proses pengawasan. 37
Selanjutnya Strong dan Smith (1989), menyatakan bahwa tanpa tegaknya sistem pengawasan yang memadai, kecil kemungiknannya suatu manajemen akan berhasil, meskipun dalam manajemen itu telah ada perencanaan yang baik tentang tujuan yang ingin dicapai, organisasi yang kuat, para pelaksana yang cakap, dan motivasi yang bergairah. Senada dengan Strong dan Smith, Massie (1971) menyatakan bahwa pengawasan merupakan “pengukur kinerja” yang sedang berjalan dan memandunya ke depan kearah tujuan yang telah ditentukan. Esensi pengawasan terletak pada pengecekan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dibandingkan dengan hasil yang diinginkan yang telah ditetapkan dalam proses perencanaan. Sejalan dengan beberapa pemikiran tersebut di atas, Hariadi Darmawan (1998) menyatakan bahwa pengawasan adalah segenap kegiatan untuk meyakinkan dan menjamin bahwa pekerjaan-pekerjaan dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan, kebijakankebijakan yang telah digariskan dan petunjuk teknis/operasional yang telah diberikan, dalam rangka pelaksanaan rencana tersebut secara efektif dan efisien. Pengawasan harus mampu menjadi alat kendali dan alat ukur terhadap proses dan hasil kerja yang ingin dicapai, menilai pelaksanaan kegiatan (kinerja) serta mengadakan tindakan perbaikan dan penyesuaian yang dipandang perlu dan sedini mungkin. Lebih lanjut disebutkan bahwa, secara langsung pengawasan bertujuan untuk: (1) menjamin ketepatan pelaksanaan kegiatan agar sesuai dengan rencana, kebijakan dan petunjuk operasional, serta ketaat-asasan terhadap peraturan perundang-undangan yang benar-benar mencerminkan rasa keadilan masyarakat; (2) menjamin kelancaran dan terwujudnya kepuasan masyarakat atas mutu/nilai barang atau jasa/pelayanan yang dihasilkan; (3) menyerasikan dan menetapkan koordinasi pelaksanaan kegiatan yang saling terkait; (4) mencegah pemborosan dan penyelewengan atau penyalahgunaan wewenang; (5) membina kepercayaan, penghargaan, dan kepatuhan masyarakat terhadap kepemimpinan dan pembinaan instansi teknis terkait. Sedangkan M. Manullang (1983) menyatakan bahwa pengawasan dapat diartikan sebagai suatu proses untuk menetapkan pekerjaan apa 38
yang sudah dilaksanakan, menilainya dan mengoreksi bila perlu dengan maksud supaya pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan rencana semula. Selanjutnya disebutkan bahwa tujuan utama dari pengawasan adalah mengusahakan agar apa yang direncanakan menjadi kenyataan. Untuk benar-benar merealisasikan tujuan utama tersebut, maka pengawasan pada taraf pertama bertujuan agar pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan instruksi yang telah dikeluarkan, dan untuk mengetahui kelemahankelemahan serta kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam pelaksanaan rencana berdasarkan penemuan-penemuan tersebut dapat diambil tindakan untuk memperbaikinya baik pada waktu itu ataupun waktu-waktu yang akan datang. Dalam rangka meminimalisir adanya tumpang tindih dan tidak efektifnya pelaksanaan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Irsan Yani, M.A.Sc. (1998) menyatakan bahwa terdapat konsepsi pengawasan sebagai berikut: 1. Konsepsi Pengawasan Berjenjang Konsepsi ini dilandasi oleh pemikiran bahwa pelaksanaan tugas pengawasan fungsional perlu dilakukan secara berjenjang. Dalam hal ini aparat pengawasan yang lebih tinggi tingkatnya secara hierarkis organisatoris melaksanakan tugas yang lebih luas pendekatannya atau lebih makro wawasannya daripada aparat pengawasan yang lebih rendah. 2. Konsepsi Internal dan Eksternal Konsepsi ini bertolak dari pemikiran bahwa pengawasan terhadap suatu unit organisasi barulah dapat dikatakan lengkap apabila dilakukan oleh aparat pengawasan intern dan ekstern. 3. Konsepsi User’s Oriented Konsepsi ini berkaitan dengan pemikiran bahwa hasil-hasil pengawasan haruslah sesuai dengan keperluan penggunanya. Konsepsi ini berkait dengan konsepsi pengawasan berjenjang dalam arti bahwa user atau pemakai hasil pengawasan juga berjenjang tingkatnya. Pejabat atau pihak yang lebih tinggi atau lebih ekstern berdasarkan pemikiran ini dipandang memerlukan informasi hasil pengawasan yang lebih makro. 39
4. Konsepsi Ekstern Mendahulukan dan Memanfaatkan hasil pekerjaan Internal (EMMI) dan Internal Mendukung Eksternal (IME). Konsepsi ini berkaitan dengan usaha menata secara efektif fungsi berbagai aparat pengawasan sehingga dapat dicapai manfaat yang optimal. Konsepsi ini menghendaki agar aparat pengawasan eksternal mendahulukan pemilihan objek pemeriksaan oleh aparat pengawasan yang lebih internal dan juga berusaha memanfaatkan hasil-hasil pengawasan aparat yang lebih intern. Pengawasan sebagai subsistem manajemen pemerintahan perlu terus dikembangkan dan dimantapkan sebagai alat kendali mutu dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk dapat lebih memberikan peran yang optimal, maka pengawasan pemerintah daerah harus segera dilakukan revitalisasi. Revitalisasi pengawasan dimaksudkan sebagai upaya peningkatan peran dan pemberdayaan agar pengawasan internal pemerintah daerah lebih efektif, dan penyelenggaraan pengawasan dilaksanakan secara hemat dan efisien. Berkaitan dengan revitalisasi pengawasan, R. Soekarsono (1998) menyatakan bahwa revitalisasi dimaksudkan sebagai upaya pemberdayaan agar pengawasan lebih efektif, tetapi penyelenggaraan pengawasan dilaksanakan secara hemat dan efisien. Revitalisasi bukan dimaksudkan untuk memperbesar organisasi dan menambah jumlah auditor. Akan tetapi, revitalisasi pengawasan dimaksudkan sebagai pendelegasian dan pemberdayaan kepada obrik untuk menciptakan dan menerapkan sistem pengendalian intern dengan lebih baik. D. Tinjauan Kebijakan Dasar Mengenai APIP 1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PP SPIP) Dalam PP SPIP dijelaskan bahwa pengawasan intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, pemantauan, evaluasi, dan kegiatan pengawasan lainnya berupa asistensi, sosialisasi dan konsultasi terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai 40
dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik.19 Berdasarkan ketentuan Pasal 48 PP SPIP, Pengawasan internal dilaksanakan oleh APIP, yang dimaksud dengan APIP adalah :20 a. BPKP; b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota. BPKP melakukan pengawasan internal terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi :21 a. Kegiatan yang bersifat lintas sektoral; b. Kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; c. Kegiatan berdasarkan penugasan. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.22 Sedangkan untuk Inspektorat Provinsi/Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi/kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi/kabupaten/kota.23 Audit yang dilakukan oleh APIP terdiri atas : 24
19
Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern, Pasal 1 angka
3. 20
Ibid, Pasal 49. Ibid, ayat (2) 22 Ibid, ayat (4) 21
23 24
Ibid, ayat (5) dan (6) Ibid, Pasal 50 ayat (1)
41
a. Audit kinerja Audit kinerja merupakan audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas.25 Audit atas laporan keuangan bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran penyajian laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang diterima umum sedangkan audit kinerja bertujuan untuk memberikan simpulan dan rekomendasi atas pengelolaan instansi pemerintah secara ekonomis, efisien dan efektif. b. Audit dengan tujuan tertentu. Sedangkan audit dengan tujuan tertentu mencakup audit yang tidak termasuk dalam audit kinerja.26 Audit dengan tujuan tertentu bertujuan untuk memberikan simpulan atas suatu hal yang diaudit. Yang termasuk dalam kategori ini adalah audit investigatif, audit terhadap masalah yang menjadi fokus perhatian pimpinan organisasi dan audit yang bersifat khas. 2. Berdasaran Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (PP 79/2005) Berdasarkan Pasal 1 angka 4 PP 79/2005, pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintahan daerah berjalan secara efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada Pasal 28 ayat (1), Aparat Pengawas Intern Pemerintah Pusat melaksanakan pengawasan sesuai dengan fungsi dan kewenangannya, melalui: (a) pemeriksaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah; (b) pemeriksaan berkala atau sewaktuwaktu maupun pemeriksaan terpadu; (c) pengujian terhadap laporan berkala dan/atau sewaktu-waktu dari unit/satuan kerja; (d) pengusutan
25 26
Ibid, ayat (2). Ibid, ayat (3).
42
atas kebenaran laporan mengenai adanya indikasi terjadinya penyimpangan dan KKN; (e) penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijakan, pelaksanaan program dan kegiatan; serta (f) monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan desa. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, Inspektorat Jenderal Departemen melakukan pengawasan terhadap: a. pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan; b. pinjaman dan hibah luar negeri; dan c. pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan fungsi dan kewenangannya. Khusus untuk Inspektorat Jenderal Departemen Dalam Negeri selain mempunyai tugas pengawasan di atas, melakukan juga pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, meliputi: a. pengawasan pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah, antara lain: 1) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah provinsi, meliputi: (a) urusan bersifat wajib; (b) urusan bersifat pilihan; dan (c) dekonsentrasi dan tugas pembantuan. 2) pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota, meliputi: (a) urusan bersifat wajib; (b) urusan bersifat pilihan; dan (c) tugas pembantuan. 3) pelaksanaan urusan pemerintahan desa meliputi: (a) urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; (b) urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 43
(c) tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota; dan (d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. b. pengawasan Perda dan Peraturan Kepala Daerah, yang dilakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut: 1) Pengawasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), yaitu terhadap Raperda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda kabupaten/kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal; 2) Selain yang termasuk dalam angka 1) di atas, pengawasan terhadap setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan Gubernur untuk kabupaten/kota, dalam rangka memperoleh klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. c. pengawasan DPRD. Jenis pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh APIP adalah sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.
44
Gambar. 1 Jenis Pengawasan APIP terhadap Penyelenggaraan Pemda Pemeriksaaan dalam rangka berakhirnya masa jabatan kepala daerah
Pemeriksaan berkala atau sewaktu-waktu maupun pemeriksaan terpadu Pengujian terhadap laporan berkala atau sewaktu-waktu unit/satuan kerja
JENIS PENGAWASAN APIP TERHADAP PENYELENGGARAAN PEMERINTAH DAERAH
Pengusutan atas kebenaran laporan adanya indikasi terjadinya penyimpangan dan KKN
Penilaian atas manfaat dan keberhasilan kebijakan pelaksanaan program dan kegiatan Monitoring dan evaluasi pelaksanaan urusan urusan pemerintahan di daerah dan pemerintahan desa
3. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP) Berdasarkan UU AP, APIP mempunyai tugas pokok yang sangat strategis dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi, yaitu melakukan pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. APIP harus mampu menilai apakah keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan itu masuk dalam kategori berikut:27 1. melampaui wewenang; 2. mencampuradukkan wewenang; dan/atau 3. bertindak sewenang-wenang. 27
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Pasal 17 ayat (2).
45
Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui Wewenang (melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya wewenang; melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan) serta Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang (tanpa dasar Kewenangan; dan/atau bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap) tidak sah apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.28 Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan Wewenang (di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan) dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 29 Sedangkan keputusan dan/atau tindakan aparatur pemerintahan masuk dalam kategori bertindak sewenang-wenang, jika tindakan tersebut dilakukan dalam hal :30 1. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau 2. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Berdasarkan klasifikasi tersebut, APIP harus dapat mengklasifikasikan hasil pengawasan atas keputusan dan/atau tindakan tersebut dalam jenis :31 1. tidak terdapat kesalahan; 2. terdapat kesalahan administratif. Jika ditemukan kesalahan ini, dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 3. terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara. Jika masuk dalam klasifikasi ini, perlu dilakukan 28
Ibid, Pasal 19 ayat (1) Ibid, ayat (2) 30 Ibid, ayat (3) 31 Ibid, Pasal 20 ayat (2) 29
46
pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan APIP. Pengembalian kerugian negara ini dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administratif terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang. Sedangkan pengembalian kerugian negara tersebut dibebankan kepada Pejabat Pemerintahan, apabila kesalahan administratif terjadi karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang. 4. Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Terkait kewajiban APIP, hal ini dipertegas dan dinyatakan pula dalam Pasal 385 UU Pemda yakni sebagai berikut:
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 385 Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di instansi Daerah kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan/atau aparat penegak hukum. Aparat Pengawasan Internal Pemerintah wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan Aparat Pengawas Internal Pemerintah atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi pengawasan. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal Pemerintah. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat
47
pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 20 UU AP dan Pasal 385 UU Pemda, maka APIP mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas penyimpangan yang dilakukan oleh aparatur sipil negara, termasuk pegawai negeri sipil. Sedangkan bagi aparat penegak hukum, sebelum melakukan pemeriksaan atas penyimpangan dimaksud, harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan APIP. E. Identifikasi APIP Terkait dengan identifikasi APIP, ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang hingga saat ini masih berlaku, yaitu: 1. Berdasarkan ketentuan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengawasan Intern Pemerintah, dinyatakan bahwa “Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas: a. BPKP; b. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern; c. Inspektorat Provinsi; dan d. Inspektorat Kabupaten/Kota. 2. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dinyatakan bahwa “Aparat Pengawas Intern Pemerintah atau pengawas intern pada institusi lain yang selanjutnya disebut APIP adalah aparat yang melakukan pengawasan melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi. 3. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut 48
“UU Pemda”), dinyatakan bahwa “Aparat Pengawas Internal Pemerintah adalah inspektorat jenderal kementerian, unit pengawasan lembaga pemerintah nonkementerian, inspektorat provinsi, dan inspektorat kabupaten/kota.” F. Analisis APIP menjadi instrumen penting untuk mewujudkan organisasi yang bersih dan bebas dari korupsi (clean governance). Dengan fungsi pembinaan yang melekat pada APIP, APIP dapat mengawal serta terlibat langsung dalam setiap langkah pelaksanaan kegiatan pada organisasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring-evaluasi kegiatan. APIP harus lebih mengedepankan tindakan preventif daripada represif, artinya APIP diharapkan dapat mencegah sedini mungkin potensi terjadinya penyimpangan, mal-administrasi maupun korupsi di birokrasi. APIP seyogyanya dapat menjalankan fungsi sebagai katalis pertama pencegahan korupsi serta berbagai bentuk penyimpangan lainnya. 1. Kewenangan APIP Kewenangan APIP pasca UU AP mempunyai perubahan yang sangat mendasar. Tidak hanya dalam aspek administratif saja, namun APIP juga berwenang untuk melakukan audit yang masuk ke ranah perhitungan keuangan negara dan termasuk pula mengkaji ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan tindakan dan/atau kebijakan Pejabat Pemerintahan. SDM APIP dituntut untuk dapat menghasilkan kesimpulan apakah kesalahan yang terjadi masuk ranah pidana atau hanya permasalahan administratif saja. Berdasarkan penjelasan terkait pengawasan internal di atas maka dapat dikatakan bahwa desain kewenangan APIP berdasarkan UU AP dan UU Pemda telah merubah desain kewenangan APIP sebagaimana diatur dalam PP 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (PP SPIP) dan PP 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. APIP semula hanya merupakan “lembaga audit internal biasa” namun 49
sekarang mempunyai kewenangan layaknya “penegak hukum” di tingkat birokrasi pemerintahan. APIP juga mempunyai peran strategis untuk mengawal beberapa arahan Presiden Jokowi. Arahan yang diucapkan dalam pidatonya pada tanggal 24 Agustus 2015 di Istana Bogor menyatakan bahwa : a. Kebijakan tidak dipidana dan kesalahan administrasi cukup ditangani oleh APIP sesuai UU AP; b. Tindakan administrasi pemerintahan terbuka juga dilakukan tuntutan secara perdata, tidak harus dipidanakan, sehingga hanya cukup melakukan pengembalian; c. Aparat dalam melihat kerugian negara harus konkret bahwa benarbenar atas niat untuk mencuri; d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) jika melihat ada indikasi kesalahan administrasi keuangan negara, diberi waktu 60 (enam puluh) hari untuk perbaikan. Dalam masa perbaikan tersebut, Aparat Kepolisian, Kejaksaan, dan APH tidak boleh intervensi; dan e. Tidak boleh melakukan ekspose tersangka sebelum dilakukan penuntutan. Dalam seminar “Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Dalam Pemberantasan Korupsi Pasca UndangUndang Administrasi Pemerintahan”, Agus Raharjo selaku Ketua KPK menyatakan bahwa Inspektorat atau APIP sebaiknya independent, sehingga leluasa dalam melakukan pengawasan, tidak bergantung pada kedudukan tempat inspektorat bekerja. Berkaitan dengan konsep hukum administrasi negara, Dian Puji Simatupang selaku pakar hukum keuangan negara menyatakan bahwa peran dari Inspektorat Jenderal penting dalam melakukan pencegahan penyalahgunaan wewenang. Dalam sistem yang baik, perlu adanya kementerian yang melakukan perencanaan dan kementerian yang bertugas melakukan pengawasan.
50
2. Kewajiban bagi APH untuk Berkoordinasi dengan APIP Berdasarkan UU Pemda, masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) di instansi Daerah kepada APIP dan/atau Aparat Penegak Hukum (APH). APIP wajib melakukan pemeriksaan atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat tersebut. Kata wajib disini, bukan hanya bermakna “keharusan” untuk menindaklanjuti, namun juga membawa konsekuensi adanya perlindungan terhadap pelapor (justice blower system) serta “keharusan” memberikan informasi bagi masyarakat pelapor mengenai progress pengaduan yang disampaikan. Jika berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh APH ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif, proses lebih lanjut diserahkan kepada APIP. Sedangkan jika ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih lanjut diserahkan kepada APH sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. APH melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang disampaikan oleh masyarakat, setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan APIP atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi pengawasan. Merujuk ketentuan normatif yang ada dalam kedua Undang-Undang tersebut, jelas sekali kewenangan APIP sangatlah besar. APH harus menghormati dan “kulo nuwun” dulu kepada APIP apabila akan memproses pengaduan masyarakat atas penyimpangan yang diduga dilakukan oleh ASN, termasuk Pegawai Negeri Sipil di dalamnya. Namun dengan struktur kelembagaan APIP yang merupakan organ internal menimbulkan semangat jiwa korsa yang tinggi serta budaya ewuh pekewuh. Hal ini ditengarai menjadi kendala psikologis bagi APIP untuk bekerja secara optimal, sehingga jarang di dengar temuan korupsi di sebuah intansi yang murni berasal dari temuan APIP. 3. Pengembangan Kapasitas SDM APIP Dengan berubahnya desain kewenangan APIP pasca UU AP maka diperlukan pengembangan kapasitas SDM APIP melalui peningkatan 51
kompetensi. Menurut Lembaga Administrasi Negara, kompetensi terdiri atas : 32 a. Kompetensi Teknik (technical competence) yaitu kompetensi mengenai bidang yang menjadi tugas pokok organisasi. Sesuai Pasal 69 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, kompetensi teknis yang diukur dari tingkat dan spesialisasi pendidikan, pelatihan teknis fungsional, dan pengalaman bekerja secara teknis. b. Kompetensi Manajerial (managerial competence) adalah kompetensi yang berhubungan dengan berbagai kemampuan manajerial yang dibutuhkan dalam menangani tugas organisasi. Kompetensi manajerial meliputi kemampuan menerapkan konsep dan teknik perencanaan, pengorganisasian, pengendalian dan evaluasi kinerja unit organisasi, juga kemampuan dalam melaksanakan prinsip good governance dalam manajemen pemerintahan dan pembangunan termasuk bagaimana mendayagunakan kemanfaatan sumberdaya pembangunan untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas. c. Kompetensi Sosial (Social Competence), yaitu kemampuan melakukan komunikasi yang dibutuhkan oleh organisasi dalam pelaksanaan tugas pokoknya. Kompetensi sosial dapat terlihat di lingkungan internal seperti memotivasi SDM dan atau peran serta masyarakat guna meningkatkan produktivitas kerja, atau yang berkaitan dengan lingkungan eksternal seperti melaksanakan pola kemitraan, kolaborasi dan pengembangan jaringan kerja dengan berbagai lembaga dalam rangka meningkatkan citra dan kinerja organisasi, termasuk bagaimana menunjukkan kepekaan terhadap hak asasi manusia, nilai-nilai sosial budaya dan sikap tanggap terhadap aspirasi dan dinamika masyarakat d. Kompetensi intelektual / Strategik (intellectual / strategic competence) yaitu kemampuan untuk berpikir secara strategic dengan visi jauh ke depan. Kompetensi intelektual ini meliputi 32
Sistem Administrasi Negara Kesatuan Repubik Idonesia. LAN: Jakarta, 2003.
52
kemampuan merumuskan visi, misi, dan strategi dalam rangka mencapai tujuan organisasi sebagai bagian integral dari pembangunan Nasional, merumuskan dan memberi masukan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan yang logis dan sistematis, juga kemampuan dalam hal memahami paradigma pembangunan yang relevan dalam upaya mewujudkan good governance dan mencapai tujuan berbangsa dan bernegara, serta kemampuan dalam menjelaskan kedudukan, tugas, fungsi organisasi instansi dalam hubungannya dengan Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor Per/05/M.PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP menyatakan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh pejabat pengawas/auditor SDM APIP meliputi kompetensi teknis, kompetensi intelektual, dan kompetensi etik. Kompetensi teknis yang harus dimiliki auditor meliputi auditing, akuntansi, administrasi pemerintahan, dan komunikasi. Dalam hal kompetensi teknis, di samping wajib memiliki keahlian tentang Standar Audit, kebijakan, prosedur dan praktik-praktik audit, auditor harus memiliki keahlian yang memadai tentang lingkungan pemerintahan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi unit yang dilayani oleh APIP. Dalam hal auditor melakukan audit terhadap sistem keuangan, catatan akuntansi dan laporan keuangan, maka auditor wajib mempunyai keahlian atau mendapatkan pelatihan di bidang akuntansi sektor publik dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait dengan akuntabilitas auditi. Sedangkan dalam hal kompetensi intelektual, Auditor harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat dan seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam setiap penugasan. Due professional care dapat diterapkan dalam pertimbangan profesional (professional judgement), meskipun dapat saja terjadi penarikan kesimpulan yang tidak tepat ketika audit sudah dilakukan dengan seksama. Adapun dalam hal kompetensi etik, Auditor harus mematuhi Kode Etik yang ditetapkan. Pelaksanaan audit harus mengacu kepada Standar Audit, dan auditor wajib mematuhi Kode Etik
53
yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Standar Audit yang telah ditetapkan. Dian Puji Simatupang menyatakan sejak tahun 1999 telah terjadi pergeseran yang luar biasa dalam penegakan sanksi pidana. Trend yang terjadi adalah kasus administrasi berubah menjadi kasus yang dapat dipidanakan. Dalam rangka merespon UU Administrasi Pemerintahan, UU Pemerintahan Daerah dan arahan presiden terkait dengan peran APIP, Ardan Adiperdana selaku Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa instansinya sudah mencoba melakukan pelatihan Audit Investigatif, Audit PKKN dan Pemberian Keterangan Ahli agar auditor bisa mengidentifikasi mana yang bersifat administrasi mana yang bersifat pidana.33 BPKP juga telah melakukan sertifikasi auditor APIP di seluruh Indonesia sejak tahun 20132016 sebanyak 20.433 dari target sebesar 18.427 (per Mei 2016). Selain itu BPKP menyelenggarakan program pembelajaran elektronik (elearning) yang memungkinkan calon auditor mengikuti pelatihan secara on-line real time mulai Mei 2014. Terkait pemberantasan korupsi, terdapat peran-peran yang dilakukan oleh APIP, perlu adanya SOP yang terintegrasi, karena penanganan pemberantasan korupsi sejak menemukan PMH sampai dengan penghitungan kerugian negara melibatkan beberapa instansi sehingga diperlukan kesepakatan SOP antar instansi tersebut. Agar tidak terjadi kriminalisasi kebijakan, maka pengawasan yang dilakukan oleh APIP harus dilaksanakan sesuai dengan amanat pasal 20 UU AP, yaitu : a. Jika terdapat kesalahan administratif maka dilakukan tindak lanjut dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. b. Jika terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diputuskan dan diterbitkannya hasil pengawasan. Disampaikan pada seminar “Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Dalam Pemberantasan Korupsi Pasca Undang-Undang Administrasi Pemerintahan” 33
54
Dengan demikian APIP dituntut untuk : a. Meningkatkan kualitasnya dalam menyeldiki mana ranah hukum administrasi dan hukum pidana; b. Mendapat kesempatan pertama (first-chance) untuk menindaklanjuti laporan penyalahgunaan wewenang; c. Memperkuat struktur dan personalianya untuk memahami unsur melawan hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum pidana serta penyelesaiannya menurut sistem hukum dan peraturan perundang-undangan. G. Rekomendasi Stratejik Berdasarkan hasil kajian serta pembahasan para Narasumber, Lembaga Administrasi Negara (LAN) cq. Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut untuk memperkuat kedudukan dan peran APIP pasca pemberlakukan UU AP. 1. Perlu adanya reformulasi kedudukan kelembagaan APIP Untuk mereformulasi kedudukan kelembagaan APIP dapat dilakukan melalui : a. Mempercepat terbentuknya Undang-Undang tentang Sistem Pengawasan Internal yang sudah masuk dalam rencana aksi Prolegnas tahun 2016. Didalam proses pembentukan UndangUndang ini termasuk didalamnya menyempurnakan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Penyempurnaan dimaksud meliputi antara lain terkait dengan pengertian dan identifikasi APIP, manajemen SDM APIP, serta mekanisme kerja APIP di tingkat nasional yang harus sinergi dengan APIP di tingkat lokal. b. Menempatkan APIP di internal instansi pemerintahan, namun secara fungsional pelaksanaan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh BPKP. Pada masa mendatang, secara 55
organisatoris APIP diarahkan menjadi bagian dari BPKP. Untuk pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan instansi pemerintah, BPKP akan mendistribusikan auditor ke masing-masing instansi tersebut. Para auditor dimaksud, dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada Kepala BPKP. 2. Perlu peningkatan kompetensi SDM APIP diluar kompetensi teknis di bidang auditif APIP harus memiliki kompetensi teknis lain yang mendukung seperti: a. Kompetensi teknis hukum, khususnya untuk mencermati suatu keputusan dan/atau tindakan Aparatur Pemerintahan masuk dalam klasifikasi ranah administrasi atau ranah pidana. Termasuk dalam hal ini adalah kompetensi untuk melakukan “penyelidikan” maupun “penyidikan” atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilaporkan oleh masyarakat; b. Kompetensi menghitung kerugian negara. Untuk mendukung peningkatan komptensi tersebut, Lembaga Administrasi Negara sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam bidang pengkajian serta pendidikan dan pelatihan (Diklat) ASN berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, perlu menyusun Diklat Teknis bagi Auditor berkoordinasi dengan BPKP.
56
Isu Ketiga STRATEGI PEMBERANTASAN PUNGLI SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK
A. Pendahuluan Negara berkewajiban melayani setiap warga negara dan penduduk untuk memenuhi hak dan kebutuhan dasarnya dalam kerangka pelayanan publik yang merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa membangun kepercayaan masyarakat atas pelayanan publik yang dilakukan penyelenggara pelayanan publik merupakan kegiatan yang harus dilakukan seiring dengan harapan dan tuntutan seluruh warga negara dan penduduk tentang peningkatan pelayanan publik. Amanat Presiden Joko Widodo dalam Nawacita poin kedua menyatakan bahwa Pemerintah tidak boleh absen dengan harus membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya. Pemerintah dituntut untuk dapat melaksanakan perannya sebagai penyelenggara pelayanan publik yang berkualitas serta efektif dan efisien karena pelayanan publik adalah tolak ukur paling nyata terhadap kinerja pemerintah. Masyarakat dapat menilai langsung kinerja pemerintah berdasarkan pelayanan yang dirasakannya. Pelayanan publik yang prima (cepat, mudah, pasti, murah dan akuntabel) merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pemerintah kepada seluruh warga negara tanpa terkecuali (non diskriminatif). Namun kenyataannya yang terjadi seringkali muncul berbagai masalah dalam pelayanan publik pemerintah terhadap masyarakat, diantaranya pelayanan yang kurang ramah, kaku dan berbelit-belit, pelayanan yang tidak sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). Artinya pelayanan publik yang ada saat ini serba penuh ketidakpastian karena prosedur pelayanan tidak pernah mengatur secara jelas kewajiban dari penyelenggara pelayanan (dalam hal ini aparat 57
pemerintah/ penyelenggara Negara) dan hak dari pengguna layanan (masyarakat). Tidak hanya itu, bahkan ada oknum aparat pemerintah yang mencoba memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan penghasilan tambahan, mereka membuat masyarakat untuk membayar uang tambahan dengan dalih untuk memperlancar dan mempercepat segala urusan. Patut menjadi perhatian bersama adalah bahwa selama ini celah untuk praktik pungli terbuka lebar dan hidup di dalam masyarakat. Ketidakpastian dan lemahnya posisi masyarakat dalam pelayanan publik menjadikan praktek Pungutan Liar (Pungli) tetap menjamur hingga saat ini. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pungli berarti meminta sesuatu (uang dan sebagainya) kepada seseorang (lembaga, perusahaan, dan sebagainya) tanpa menurut peraturan yang lazim. Pada hakekatnya, pungli merupakan pola transaksional antara penyelenggara pelayanan publik (aparat pemerintah/penyelenggara Negara) dengan masyarakat yang dilakukan secara melawan hukum. Pungli telah menghambat upaya peningkatan pelayanan publik yang baik, cepat dan profesional yang merupakan bagian dari agenda RB. Operasi Tangkap Tangkap (OTT) yang melibatkan oknum Pegawai Negeri Sipil (PNS) Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, pegawai Pelindo I, Pelindo III serta tertangkapnya pejabat pemeriksa bea cukai pelabuhan Tanjung Mas mencerminkan masih maraknya praktik Pungli di Indonesia. Data penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW), pada kurun waktu 2010 sd 2015, menunjukan beberapa sektor menjadi ranah Pungli yang paling banyak dilaporkan. Fenomena Pungli semakin meneguhkan bahwa RB di instansi pemerintah, masih jauh dari harapan. Pemenuhan 8 (delapan) area perubahan RB yang dilakukan oleh instansi pemerintah, cenderung untuk memenuhi syarat formal semata. Perbaikan penghasilan (remunerasi) bagi PNS (aparat pemerintah) sebagai salah satu “output nyata” RB, belum berdampak signifikan dalam transformasi pelayanan publik.
58
Sehubungan dengan hal tersebut Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) memandang perlu melakukan kajian yang bertujuan untuk mengidentifikasi alternatif strategi pemberantasan Pungli yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam rangka mencapai nawacita poin kedua dan reformasi birokrasi di bidang pelayanan publik. B. Pemahaman Pelayanan Publik 1. Pengertian Pelayanan Publik Berikut adalah beberapa pengertian pelayanan publik yang dikemukakan oleh para ahli : a. Roth menyatakan bahwa pelayanan publik merupakan layanan yang tersedia untuk masyarakat, baik secara umum (seperti di museum) atau secara khusus (seperti di restoran makanan).34 b. Lewis dan Gilman mendefinisikan pelayanan publik sebagai kepercayaan publik. Warga negara berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan sumber penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.35 Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggung-jawabkan menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang baik.36
34
Gabriel Joseph Roth, The Privat Provision of Public Service in Developing Country (Washington DC : Oxford University Press, 1926), hal.1. 35 Carol W. Lewis and Stuart C. Gilman, The Ethics Challenge in Public Service: A Problem-Solving Guide, Market Street (San Fransisco: Jossey-Bass, 2005), hal. 55. 36 Ibid
59
c. Moenir menjelaskan pelayanan publik adalah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan landasan faktor material melalui sistem, prosedur dan metode tertentu dalam usaha memenuhi kepentingan orang lain sesuai dengan haknya.37 Pemberian pelayanan publik oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat sebenarnya merupakan implikasi dari fungsi aparat negara sebagai sebagai pelayan masyarakat.38 d. Sinambela menyatakan bahwa pelayanan publik adalah sebagai setiap kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.39 Pengertian pelayanan publik sendiri dapat kita peroleh di dalam Keputusan MENPAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003, dimana yang dimaksud dengan pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mengikuti definisi di atas, pelayanan publik dapat didefinisikan sebagai rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pelayanan Publik menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. 2. Bentuk Pelayanan Publik Timbulnya pelayanan publik dikarenakan adanya kepentingan, dimana kepentingan tersebut dapat bermacam-macam bentuknya. 37
Agung, Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik (Yogyakarta: Pembaharuan, 2005), hal.7. Ibid 39 Lijan Poltak Sinambela, Reformasi Pelayanan Publik (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal.128. 38
60
Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diatas, dapat dipisahkan beberapa bentuk kegiatan pelayanan publik : a. Pelayanan Barang Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk/jenis barang yang digunakan oleh publik, misalnya jaringan telepon, penyediaan tenaga listrik, air bersih dan sebagainya; b. Pelayanan Jasa Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk jasa yang dibutuhkan oleh publik, misalnya pendidikan, pemeliharaan kesehatan, penyelenggaraan transportasi, pos, dan sebagainya; c. Pelayanan Administratif Yaitu pelayanan yang menghasilkan berbagai bentuk dokumen resmi yang dibutuhkan oleh publik, misalnya status kewarganegaraan, sertifikat kompetensi, kepemilikan atau penguasaan terhadap suatu barang dan sebagainya. Dokumendokumen ini antara lain Kartu Tanda Penduduk (KTP), Akte Pernikahan, Akte Kelahiran, Akte Kematian, Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB), Surat Ijin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), Ijin Mendirikan Bangunan (IMB), Paspor, Sertifikat Kepemilikan/Penguasaan Tanah dan sebagainya. 3. Asas dan Standar Pelayanan Publik Beberapa asas yang harus tercermin dari pelayanan publik menurut Lijan Poltak Simanjuntak adalah sebagai berikut :40 a. Transparansi Pelayanan harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. b. Akuntabilitas Pelayanan yang dilakukan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
40
Lijan, Op.Cit
61
c. Kondisional Pelayanan diberikan sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas. d. Partisipatif Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. e. Keamanan Hak Tidak diskriminatif Hal ini berarti bahwa dalam pelayanan public harus ada keseimbangan hak dan kewajiban pemberi dan penerima. Pelayanan publik harus memenuhi hak dan kewajiban masingmasing pihak dalam arti tidak membedakan suku, agama, ras, golongan, gender dan status ekonomi. Sedangkan asas penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik terdiri dari : a. kepentingan umum Pemberian pelayanan tidak boleh mengutamakan kepentingan pribadi dan/'atau golongan. b. kepastian hukum Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam penyelenggaraan pelayanan. c. kesamaan hak Pemberian pelayanan tidak membedakan suku, ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi. d. keseimbangan hak dan kewajiban Pemenuhan hak harus sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun penerima pelayanan. e. Keprofesionalan Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan bidang tugas.
62
f. Partisipatif Peningkatan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan harapan masyarakat. g. persarnaan perlakuan/ tidak diskriminatif Setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan yang adil. h. Keterbukaan Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan. i. Akuntabilitas Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan. Pemberian kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam pelayanan. k. ketepatan waktu Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan. l. kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Setiap jenis pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau Penyelenggaraan pelayanan publik harus memiliki standar pelayanan dan dipublikasikan sebagai jaminan adanya kepastian bagi penerima pelayanan. Standar pelayanan merupakan ukuran yang dipergunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau dan terukur.41 Komponen standar pelayanan 42 sekurang-kurangnya meliputi :
41Undang-Undang 42
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Pasal 1 angka (7)
Ibid, Pasal 21
63
1) Dasar hukum; 2) Persyaratan; 3) Sistem, mekanisme, dan prosedur; 4) Jangka waktu penyelesaian; 5) Biaya/tarif; 6) Produk pelayanan; 7) Sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; 8) Kompetensi pelaksana; 9) Pengawasan internal; 10)Penanganan pengaduan, saran, dan masukan; 11)Jumlah pelaksana; 12)Jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan; 13)Jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; 14)Evaluasi kinerja pelaksana. Asas dan standar pelayanan tersebut diatas merupakan pedoman dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh instansi pemerintah dan juga berfungsi sebagai indikator dalam penilaian serta evaluasi kinerja bagi penyelenggara pelayanan publik. Dengan adanya standar dalam kegiatan pelayanan publik ini diharapkan masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan dan prosesnya memuaskan dan tidak menyulitkan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Menteri PAN dan RB Nomor 13 Tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik dengan Partisipasi Masyarakat, ada beberapa hal penting berikut ini merupakan prasyarat penting dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang semakin baik, yaitu: a. Komitmen pimpinan Upaya yang secara teknik dapat dilakukan oleh aparatur pelaksana secara faktual selalu memerlukan dukungan dari para pengambil keputusan (para pimpinan) baik di daerah maupun di lingkungan 64
b.
c.
d.
e.
pemerintah pusat. Komitmen dimaksudkan adalah keinginan yang kuat dan konsisten untuk melakukan perbaikan menerus. Komitmen ini diikuti oleh kebijakan, keputusan yang senada dalam kaitan dengan pengalokasian dan pendayagunaan sumberdaya dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik. Perubahan pola pikir (mindset) terhadap fungsi pelayanan Perubahan pola pikir adalah awal dari seluruh usaha perbaikan dan mempunyai pengaruh yang sangat besar untuk keseluruhan proses peningkatan pelayanan publik. Jika tidak ada pemahaman baru tentang pentingnya dan manfaat peningkatan pelayanan publik bagi individu dan organisasi aparatur maka tindakan nyata ke arah itu tidak akan pernah terwujud. Partisipasi masyarakat pengguna pelayanan Peningkatan kualitas pelayanan publik sulit diwujudkan bila partisipasi masyarakat pengguna pelayanan masih rendah. Aspek partisipasi masyarakat pengguna pelayanan yang terpenting adalah aspirasi mereka atas ragam, kualitas dan biaya penyelanggaraan pelayanan. Jika tidak demikian, sangat mungkin penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik akan menyelenggarakan dan melaksanakan pelayanan yang menghasilkan sesuatu yang justeru tidak dibutuhkan dan atau tidak diinginkan oleh para pengguna pelayanan. Kepercayaan Kunci sukses untuk memperbaiki pelayanan publik adalah adanya saling percaya (trust) antara penanggungjawab, penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik dengan masyarakat penggunanya. Saling percaya akan menghasilkan komunikasi dan interaksi yang positif dan lebih bermakna dalam penyelenggaraan dan pelaksanaan pelayanan itu sendiri. Kesadaran penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik Kesadaran sangat berkaitan dengan tingkat responsifitas dan akuntabilitas penyelenggaraan dan pelaksanaan pelayanan publik. Banyak kasus menunjukkan kelambanan organisasi penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik untuk menemukan pintu masuk 65
f.
g.
h.
i.
perbaikan kualitas pelayanan disebabkan karena lemahnya kesadaran organisasi atas kualitas pelayanan publik yang dikelolanya. Tidak sadar masalah akan mengakibatkan tumpulnya kepekaan terhadap aspirasi pengguna pelayanan serta matinya kemauan untuk membuat perubahan yang bermakna perbaikan. Keterbukaan Kendala utama yang dihadapi dalam usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah sifat keterbukaan yang belum dimiliki baik oleh penyedia layanan maupun oleh penerima layanan. Keterbukaan dalam hal ini adalah kesediaan untuk menerima pengaduan atau keluhan dan sekaligus kesiapan untuk melakukan tindakan nyata perbaikan. Keterbukaan juga dapat diartikan sebagai kemauan untuk berkomunikasi dengan pihak lain secara efektif. Aspek terpenting dari keterbukaan adalah kejujuran atas fakta yang ada. Ketersediaan anggaran Hal yang dianggap sebagai strategi kunci keberhasilan peningkatan kualitas pelayanan publik adalah ketersediaan anggaran. Anggaran perbaikan pelayanan publik haruslah merupakan bagian integral dari keseluruhan anggaran satuan kerja yang bertanggungjawab untuk itu. Dengan kata lain, peningkatan kualitas pelayanan secara menerus adalah bagian inheren keseluruhan tugas penyelenggaraan dan pelaksanaan pelayanan publik. Tumbuhnya rasa memiliki Di sisi masyarakat pengguna pelayanan, perlu ditumbuhkan keyakinan bahwa kontribusi mereka dibutuhkan, aspirasi mereka akan diperhatikan. Hal ini untuk menumbuhkan motivasi keterlibatan. Harus juga diyakini bersama bahwa satusatunya tujuan (motivasi) untuk menyampaikan pengaduan (keluhan) adalah untuk melakukan perbaikan pelayanan, tidak ada maksud atau motivasi lain. Survei atau apapun yang meminta partisipasi masyarakat pengguna pelayanan harus diikuti dengan tindakan nyata perbaikan
66
Survei pengaduan mungkin terasa berat secara psikologis bagi para pelaksana pelayanan publik, tetapi hal ini, jika dilakukan secara berani, justru menjadi titik awal untuk menunjukkan ada perubahan dan untuk meraih kepercayaan. Oleh sebab itu, penyedia pelayanan sebaiknya berpartisipasi aktif dan memikul tanggung jawab utama dalam keseluruhan proses pelaksanaan. Survei hanyalah alat bantu untuk mengetahui status awal kinerja dan kualitas pelayanan. Jika status awal tersebut tidak pernah diperbaiki dan melakukan survey lagi maka secara pasti cepat atau lambat akan mencapai titik apatisme di kalangan pelaksana terutama di kalangan pengguna pelayanan. j. Kejujuran Kejujuran merupakan faktor penting dalam upaya peningkatan kualitas pelayanan publik. Kejujuran atas masalah yang ada akan membimbing ke arah solusi yang tepat. Sebaliknya upaya menutupnutupi masalah yang sesungguhnya ada melalui mekanisme defensif akan menyesatkan semua pihak dari solusi dan tindakan perbaikan yang tepat. k. Realistis dan cepat Upaya nyata perbaikan sebaiknya dilakukan agar dapat memberi kesan nyata yang cepat dan mudah dirasakan dan diamati perubahan dan manfaatnya oleh masyarakat pengguna pelayanan. Harus dipercayai bahwa masyarakat selalu memiliki kesadaran dan toleransi yang cukup terhadap batas kemampuan penyelenggara dan pelaksana pelayanan publik. Tidak mungkin menyelesaikan seluruh persoalan secara serentak. Tindakan nyata, meskipun nampaknya sederhana, jauh lebih dinilai dan lebih bernilai daripada tindakan besar yang baru dapat dijanjikan dan belum tentu dapat diwujudkan. l. Umpan-balik dan hubungan masyarakat (Humas) Adalah suatu keharusan sesegera mungkin memberi balikan (umpan-balik) atas setiap hal yang diterima apalagi diminta dari masyarakat. Jika masyarakat diminta untuk memberi pendapat (memberi suara) dengan menjadikan mereka sebagai responden, 67
maka jangan pernah menunggu terlalu lama untuk memberitahukan hasil survei kepada mereka sebagai balikan. Itulah sebabnya mengapa sering kali survei ilmiah dengan metode ilmiah memberikan hasil yang tidak terlalu mudah untuk diolah hingga menjadi balikan yang tidak dapat dimengerti oleh para responden. m. Tingkatkan keberanian dan kebiasaan menerima pengaduan (keluhan) Umumnya tidak ada seorangpun yang merasa senang dengan pengaduan (keluhan) terhadap dirinya. Setiap orang harus mulai belajar untuk memahami bahwa kritikan, keluhan (pengaduan secara umum) lebih jujurdaripada pujian atau sanjungan. Hal ini disebabkan karena pujian diberikan seseorang untuk kepentingan orang lain. Jika tidak, maka pujian itu sudah pasti mengandung ketidak-jujuran. Sebaliknya hampir dapat dipastikan bahwa jika seseorang menyampaikan kritikan, keluhan atau pengaduan, itu dilakukan untuk kepentingannya diri sendiri. Setiap orang umumnya lebih jujur atas kepentingan dirinya sendiri. Itulah sebabnya mengapa pengaduan atau keluhan dan kritikan, sekalipun terasa pedas atau pahit, secara umum lebih jujurdan lebih faktual daripada pujian atau sanjungan yang manis. n. Pengalaman keberhasilan dalam menggunakan metode Sekalipun kecil, keberhasilan di awal akan selalu lebih motivatif daripada kegagalan. ltulah sebabnya mengapa melakukan hal kecil, sederhana tetapi menghasilkan perubahan yang nyata, menjadi sangat penting untuk menumbuhkan keberanian untuk melakukan hal-hal yang lebih besar dan lebih rumit. Jangan memulai sesuatu dari hal-hal yang rumit dengan risiko gagal yang takterprediksi, karena kegagalan cenderung mengakibatkan demotivasi. 4. Kedudukan dan Peran Aparatur Sipil Negara dalam Pelayanan Publik Berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), dalam rangka mencapai tujuan nasional sebagaimana 68
tercantum dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, diperlukan ASN yang profesional, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mewujudkan tujuan nasional, dibutuhkan Pegawai ASN. Pegawai ASN diserahi tugas untuk melaksanakan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu. a. tugas pelayanan publik dilakukan dengan memberikan pelayanan atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan Pegawai ASN. b. adapun tugas pemerintahan dilaksanakan dalam rangka penyelenggaraan fungsi umum pemerintahan yang meliputi pendayagunaan kelembagaan, kepegawaian, dan ketatalaksanaan. c. sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembangunan tertentu dilakukan melalui pembangunan bangsa (cultural and political development) serta melalui pembangunan ekonomi dan sosial (economic and social development) yang diarahkan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh masyarakat. Berdasarkan Pasal 11 UU ASN, tugas pegawai ASN adalah untuk: a. melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan c. mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
69
C. Pungutan Liar Di Birokrasi 1. Beberapa Kasus Aktual Pungutan Liar a. Pungutan Liar di Kementerian Perhubungan Praktik pungli di Kementerian Perhubungan terkuak pada saat dilakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Presiden Jokowi bersama Kapolri Tito Karnavian dan anggota polisi lainnya. Pungli diambil dari beberapa pelayanan perizinan di Direktorat Perkapalan dan Kelautan seperti pembuatan lisensi pelaut, pengurusan pajak, panjang, berat serta pergantian bendera kapal.43 Informasi mengenai praktik pungli ini didapatkan dari informasi masyarakat dan sudah dilakukan pendalaman selama 1 bulan.44 Dalam OTT tersebut ditemukan sejumlah uang sebesar Rp.34.000.000 (tiga puluh empat juta rupiah) yang terletak di ruangan Direktorat Perkapalan dan Kepelautan. Selain itu juga ditemukan uang sejumlah Rp.61.000.000 (enam puluh satu juta rupiah) dan tabungan sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) di ruang kerja Kepala Seksi (Kasi) dan Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Perkapalan dan Kepelautan. Berdasarkan keputusan gelar perkara telah ditetapkan tiga orang petugas di bidang perizinan sebagai tersangka, mereka adalah Kepala Seksi bidang registrasi kapal berkaitan dengan penentuan bendera (kebangsaan kapal) dan menerbitkan surat izin laut, Kepala Seksi Perizinan lalu staf Kepala Seksi bidang registrasi kapal.45 b. Pungutan Liar di Pelindo I Kegiatan pungli di Belawan sudah menjadi rahasia umum dan berlangsung cukup lama yang dilakukan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk mencari keuntungan pribadi. Polda Sumut mengamankan tiga orang karyawan di Kantor Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) yang terlibat dugaan pungli di Pelabuhan Belawan, Medan.46 Selain itu, satu orang pegawai Otoritas Belawan juga 43
http://www.katawarta.com/hukum-dan-kriminalitas/simak-perkembangan-kasus-pungutan-liar-dikementerian-perhubungan 44Ibid. 45http://news.okezone.com/read/2016/10/12/337/1512902/polisi-tetapkan-3-tersangka-pungli-dikementerian-perhubungan 46 http://eksposnews.com/hukum-kriminal/Pungli-di-Belawan-Diduga-Melibatkan-Pejabat-Pelindo-1
70
diamankan dalam Operasi Tertangkap Tangan (OTT) menerima pungli dari sejumlah pengusaha importir dan eksportir.47 Praktik pungli di Pelabuhan Belawan tidak hanya melibatkan TKBM dan pegawai Otorita Belawan, melainkan juga oknum pejabat di BUMN, serta Pimpinan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait. Modus pungli dilakukan dengan memungut biaya jasa buruh terhadap bongkar muat. Pungutan tersebut oleh oknum Pelindo I seolaholah dilegalkan melalui surat edaran, padahal seharusnya biaya bongkar muat tersebut merupakan tanggungjawab pihak Pelindo I.48 c. Pungutan Liar di Pelindo III Kasus pungli di pelabuhan terbesar kedua di Indonesia itu mencuat setelah Tim Saber Pungli menangkap Direktur Utama PT Akara Multi Karya, Augusto Hutapea, dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) di terminal Petikemas Surabaya. Augusto menyebut, aliran uang pungli sampai kepada Rahmat Satria, yang pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT.TPS periode 2013-2014.49 Menurut kepolisian, PT Akara ialah perusahaan topeng yang dibentuk anak perusahaan Pelindo III, PT Terminal Petikemas Surabaya (TPS). Perusahaan itu berperan membuka dan menutup segel kontainer impor serta melakukan pemeriksaan karantina khususnya fumigasi. Satu kontainer dipungut biaya ilegal antara Rp 500.000 hingga Rp 2.000.000 agar lancar keluar dari pelabuhan. d. Pungutan Liar di Kementerian Keuangan Pungutan liar yang dilakukan oleh pejabat pemeriksa bea cukai pelabuhan Tanjung Mas dilakukan dengan cara meminta uang kepada Importir sebesar Rp.2.000.000 hingga Rp.4.000.000 per dokumen atau Rp.40.000.000 hingga Rp. 50.000.000 per kontainer.50 Uang tersebut diminta untuk ditransfer uang ke beberapa rekening penampungan yang telah disediakan agar memudahkan pengurusan dokumen impor. 47
Ibid Ibid 49 https://nasional.tempo.co/read/news/2016/11/12/058819698/pungli-di-tanjung-perak-dirut-pelindoiii-ini-ujian-berat 50 https://news.detik.com/berita/d-3354229/tersangka-pungli-oknum-bea-cukai-pelabuhan-tanjungemas-semarang-jadi-3-orang 48
71
2. Modus Pelayanan Buruk di Birokrasi Pungli yang terjadi di Kementerian Perhubungan, Pelindo I dan III serta Kementerian Keuangan dilakukan oleh staf maupun pejabat yang terkait langsung. Pungutan liar dilakukan dengan cara : a. membebankan biaya tambahan sehingga tidak sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan. b. meminta uang/biaya kepada masyarakat untuk pemberian pelayanan yang seharusnya tidak berbayar/gratis. Pungli yang terjadi pada kasus di atas melibatkan pejabat yang terkait yang mempunyai kewenangan. Menurut Cris Kuntadi (Inspektur Jenderal Kementerian Perhubungan), pungli bisa dikategorikan sebagai pemerasan, apabila pegawai negeri atau penyelenggara negara berbuat menguntungkan diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaannya dan memaksa seseorang memberikan sesuatu atau meminta bayaran di luar aturan.51 Dari beberapa praktek pungli yang telah diuraikan diatas maka dapat dikatakan bahwa pelayanan publik yang dilakukan belum berorientasi pada masyarakat sebagai pelanggan, kepuasan pelanggan bukan menjadi perhatian utama. Mereka masih menganggap bahwa tanpa disertai pelayanan publik yang baik pasti masyarakat yang membutuhkan jasa atau layanan publik ini akan tetap datang. Pola pikir (mind set) seperti ini sudah sepantasnya diubah. Rutinitas tugas-tugas pelayanan yang berlebihan kepada pertanggungjawaban formal telah mengakibatkan adanya prosedur yang kaku dan lamban.52 Yang lebih parah prosedur yang kaku dan lambat tersebut dijadikan komoditas yang diperdagangkan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok.53 Setiap masyarakat mempunyai hak untuk mendapat pelayanan yang baik dari Pemerintah, oleh karena itu Pemerintah diharapkan bisa mendorong penyedia layanan publik untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara layak. Kualitas pelayanan publik ini harus selalu 51
https://www.tempo.co/read/kolom/2016/11/24/2431/pungutan-liar-pemerasan-dan-suap Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara (Jakarta : Raja GrafindoPersada, 1996) 53 Ibid 52
72
dimonitor dari waktu ke waktu agar tercipta perbaikan secara terus menerus. Informasi tentang apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat harus selalu digali agar mengurangi gap (kesenjangan) antara harapan masyarakat dengan praktek penyelenggaraan layanan publik yang ada. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam menentukan prioritas kebutuhannya dan mengembangkan kapabilitasnya sehingga mempunyai tingkat produktivitas yang tinggi. Komponen standar pelayanan di setiap instansi harus di tinjau ulang apakah sudah sesuai dengan kondisi dan tuntutan saat ini. D. Strategi Pemberantasan Pungutan Liar Merespon banyaknya praktek pungli yang terjadi di beberapa instansi pemerintah, Presiden Jokowi segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Pungutan Liar yang disebut dengan Satgas Saber Pungli. Satgas Saber Pungli bertanggungjawab kepada Presiden.54 Satgas Saber Pungli menyelenggarakan fungsi :55 a. Intelejen; b. Pencegahan; c. Penindakan; dan d. Yustisi. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Satgas Saber Pungli mempunyai wewenang :56 a. Membangun sistem pencegahan dan pemberantasan pungutan liar; b. Melakukan pengumpulan data dan informasi dari kementerian/lembaga dan pihak lain yang terkait dengan menggunakan teknologi informasi; c. Mengkoordinasikan, merencanakan dan melaksanakan operasi pemberantasan pungutan liar; d. Melakukan operasi tangkap tangan;
54
Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar, Pasal 1 ayat (2). 55 Ibid, Pasal 3. 56 Ibid, Pasal 4.
73
e. Memberikan rekomendasi kepada pimpinan kementerian/lembaga serta kepala pemerintah daerah untuk memberikan sanksi kepada pelaku pungli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; f. Memberikan rekomendasi pembentukan dan pelaksanaan tugas unit Saber Pungli di setiap instansi penyelenggara pelayanan publik kepada pimpinan kementerian/lembaga dan kepala pemerintahan daerah; dan g. Melaksanakan evaluasi kegiatan pemberantasan pungutan liar. Koordinator Saber pungli ini adalah Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan, namun penggerak utama satgas ini dititikberatkan kepada Polri yang dibantu oleh Kementerian atau lembaga terkait.57 Dalam melaksanakan pemberantasan pungutan liar, Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah membentuk unit pemberantasan pungli berdasarkan rekomendasi dari Satgas Saber Pungli. Unit pemberantasan pungli berada pada satuan pengawas internal dan dalam melaksanakan tugasnya berkoordinasi dengan Satgas Saber Pungli. Pemberantasan pungli tidak cukup hanya dengan membentuk Satgas Saber Pungli. Satgas Saber Pungli bersifat adhoc. Selain itu pembentukan Satgas Saber Pungli dianggap ganjil oleh Komisioner Ombudsman karena sebenarnya di setiap kementerian dan lembaga negara sudah ada pengawas internal, Kepolisian dan juga KPK.58 Oleh sebab itu harus dilakukan strategi pemberantasan pungli yang lebih komprehensif. Dalam memberantas pungli penyelenggaraan pemerintahan harus menggunakan pendekatan Whole of Government (WoG). Dalam modul WoG yang dibuat oleh Lembaga Administrsi Negara disebutkan bahwa WoG adalah sebuah pendekatan penyelenggaraan pemerintahan yang menyatukan upaya-upaya kolaboratif pemerintahan dari keseluruhan sektor dalam ruang lingkup koordinasi yang lebih luas guna mencapai 57
Ibid, Pasal 5.
58http://ombudsman.go.id/index.php/berita/berita/kliping-berita/1903-ombudsman-kritik-pembentukan-
satgas-pemberantas-pungli.html
74
tujuan-tujuan pembangunan kebijakan, manajemen program dan pelayanan publik. Oleh karenanya WoG juga dikenal sebagai pendekatan inter agency, yaitu pendekatan yang melibatkan sejumlah kelembagaan yang terkait dengan urusan-urusan yang relevan. Pendekatan WoG dapat dirumuskan dalam prinsip-prinsip kolaborasi, kebersamaan, kesatuan, tujuan bersama, dan mencakup keseluruhan aktor dari seluruh sektor dalam pemerintahan. Dalam banyak literatur lainnya, WoG juga sering disamakan atau minimal disandingkan dengan konsep policy integration, policy coherence, crosscutting policy-making, joined-up government, concerned decision making, policy coordination atau cross government. WoG memiliki kemiripan karakteristik dengan konsep-konsep tersebut, terutama karakteristik integrasi institusi atau penyatuan pelembagaan baik secara formal maupun informal dalam satu wadah. Ciri lainnya adalah kolaborasi yang terjadi antar sektor dalam menangani isu tertentu. Namun demikian terdapat pula perbedaannya, dan yang paling nampak adalah bahwa WoG menekankan adanya penyatuan keseluruhan (whole) elemen pemerintahan, sementara konsep-konsep tadi lebih banyak menekankan pada pencapaian tujuan, proses integrasi institusi, proses kebijakan dan lainnya, sehingga penyatuan yang terjadi hanya berlaku pada sektorsektor tertentu saja yang dipandang relevan. Berdasarkan pendekatan WoG maka ada beberapa strategi tersebut antara lain sebagai berikut : - Pemerintah harus dapat memaksimalkan fungsi sistem pengawasan internal. Deputi Birokrasi Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB), menilai sistem pengawasan internal melalui inspektorat sejauh ini masih lemah, terlebih auditor yang ada kerap kali tidak mempunyai kompetensi untuk melakukan pengawasan.59 Inspektorat sebagai lembaga yang berfungsi melakukan pengawasan terkadang justru mengikuti arahan pimpinan di lembaga tersebut sehingga independensi juga menjadi persoalan.60 Dengan 59http://news.okezone.com/read/2016/10/15/337/1515692/kemenpan-rb-pengawasan-inspektorat-
terhadap-pungli-masih-lemah 60 Ibid
75
-
diterbitkannya UU AP, peran APIP menjadi lebih penting dalam organisasi pemerintahan karena mempunyai tugas pokok dalam mencegah dan memberantas korupsi, yaitu dengan melakukan pengawasan larangan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. APIP harus mampu untuk menilai bahwa keputusan dan/atau tindakan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan itu masuk dalam kategori : (1) melampaui wewenang; (2) mencampuradukkan wewenang; dan/atau (3) bertindak sewenang-wenang. Hal ini menyiratkan bahwa APIP yang semula hanya merupakan “lembaga audit internal biasa” namun sekarang mempunyai kewenangan layaknya “penegak hukum” di tingkat birokrasi pemerintahan. Peran yang efektif dari APIP diharapkan dapat menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan dapat dilaksanakan secara tertib, efisien dan efektif sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat menjadi instrumen penting untuk mewujudkan organisasi yang bersih dan bebas dari korupsi (clean governance). APIP yang memiliki fungsi pembinaan seyogyanya dapat mengawal serta terlibat langsung dalam setiap langkah pelaksanaan kegiatan pada organisasi sejak tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring-evaluasi kegiatan. APIP harus lebih mengedepankan tindakan preventif daripada represif, artinya APIP diharapkan dapat mencegah sedini mungkin potensi terjadinya penyimpangan, mal-administrasi maupun korupsi di birokrasi. Pada hakikatnya APIP dapat menjalankan fungsi sebagai katalis pertama pencegahan korupsi serta berbagai bentuk penyimpangan lainnya dari pejabat atau aparat pemerintah yang korup. Mendorong pelaksanaan pelayanan publik secara online. Proses perencanaan kegiatan (planning), penganggaran (budgeting), pengadaan barang dan jasa (procurement), serta hal-hal yang rentan korupsi harus dilakukan secara terbuka. Untuk itu optimalisasi teknologi informasi menjadi keharusan yang tentu saja wajib didukung dengan sistem yang representatif dan SDM yang profesional. Terkait hal ini, maka model e-government yang sudah ada di beberapa 76
-
-
-
-
daerah (champion innovation), harusnya bisa diadosi secara nasional dan menjadi gerakan kolektif. Aspek keterbukaan secara benar ini menjadi penting agar publik dapat mengawasi dan menghindari adanya intervensi dalam bentuk “memperdagangkan pengaruh” dari pejabat yang pastinya melanggar tatanan sistem yang telah dibangun. Konsistensi penegakan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) menjadi penting segera dilaksanakan. Perlu dipertimbangkan adanya diskriminasi positif (fast track) untuk pelayanan publik yang bersifat komersiil (ijin eksport ijin investasi). Beberapa jenis pelayanan tertentu, harus diberikan mekanisme yang akseleratif, khususnya terkait dengan sektor-sektor vital yang berdampak langsung pada perekonomian negara. Misalkan, sektor perdagangan, perindustrian, dan sector strategis lainnya. Menuangkan komitmen pemberantasan pungli dalam kontrak kinerja PNS. Setiap instansi pemerintah harus menjadikan pencegahan dan pemberantasan Pungli sebagai bagian dari kontrak kinerja pejabat. Secara kongkret hal ini harus dituangkan dalam dokumen kontrak kinerja tersebut, sehingga jika masih terjadi Pungli, maka pejabat yang bersangkutan langsung dapat dikenakan sanksi yang tegas. Melakukan identifikasi jabatan rawan Pungli dan memberi insentif yang layak serta seimbang dengan risiko jabatannya. Untuk itu, perlu dikaji pemberian skema penghasilan bagi pejabat yang jabatannya bersinggungan dengan pelayanan publik, procurement, pengelolaan keuangan dan wilayah-wilayah strategis lainnya. Mendorong partisipasi masyarakat untuk lebih aktif memberi informasi dan melaporkan pungutan liar yang terjadi. Pemerintah telah menyediakan Sistem Pengelolaan Pengaduan Pelayanan Publik Nasional (SP4N) melalui aplikasi LAPOR. Masyarakat bisa kapan saja dan di mana saja menyampaikan laporan secara cepat, antara lain melalui kanal LAPOR! (lapor.go.id), SMS ke 1708 ataupun melalui media sosial Twitter @LAPOR1708 atau melalui e-mail
[email protected].
77
E. Penutup Berdasarkan pembahasan dalam bab-bab sebelumnya, Pungli di birokrasi ditengarai sudah berjalan masif, terstruktur dan sistemik. Atas dasar itu dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: 1. Pola Pungli yang saat ini terjadi di Birokrasi, dilakukan dengan cara : a. membebankan biaya tambahan sehingga tidak sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan; b. meminta uang kepada masyarakat untuk sesuatu hal yang tidak perlu membayar. 2. Pemberantasan Pungli di Birokrasi dapat dilakukan dengan strategi berikut : a. Memaksimalkan fungsi APIP sesuai dengan amanat UU Administrasi Pemerintahan; b. Mendorong dilaksanakannya pelayanan publik secara online; c. Melaksanakan disriminsasi positif bagi pelayanan publik yang bersifat komersil; d. Menuangkan komitmen pemberantasan pungli dalam kontrak kinerja PNS. e. Mengidentifikasi jabatan rawan pungli dan memberi insentif yang layak dan seimbang dengan resiko jabatannya. f. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk memberi informasi dan melaporkan pungutan liar.
78
BAGIAN TIGA PENUTUP
79
80
RANGKUMAN REKOMENDASI HASIL KAJIAN ISU-ISU STRATEGIS
A. Meningkatkan Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Fasilitas Kesehatan Menuju Peningkatan Kualitas Pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional Konflik yang muncul antar aktor pelaksana JKN disebabkan oleh beberapa hal, yaitu : 1. Dimensi kebijakan UU No. 20 Tahun 2004 dan UU No.24 Tahun 2011 mengamanatkan lahirnya beberapa peraturan pelaksana sebelum tahun 2015. 2. Permasalahan internal Setiap aktor yang terlibat dalam pelaksanaan JKN mempunyai kendala internal yang dihadapi. Kendala yang dihadapi biasanya terkait dengan SDM dan infrastruktur. 3. Lemahnya pengawasan oleh DJSN Kemitraan dalam upaya kesehatan (partnership for health) adalah kebersamaan dari sejumlah pelaku untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat yang didasarkan atas kesepakatan tentang peranan dan prinsip masing-masing pihak. Kemitraan antara Pemerintah, BPJS Kesehatan dan Faskes harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai berikut : 1. Kesetaraan (equity), mutual respect, compatible/two way communication. Individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati. 2. Keterbukaan (opennes) Keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masingmasing anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki. Semua itu harus diketahui oleh anggota lain. Keterbukaan ada sejak awal 81
dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan. Dengan saling keterbukaan ini akan menimbulkan saling melengkapi dan saling membantu diantara golongan (mitra). 3. Manfaat bersama (mutual benefit), defined expectation, shared goals, complementary skills, synergy, result oriented Individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan kontribusi 4. Tanggung jawab (responsibility) Terwujudnya pelayanan kesehatan yang baik dilaksanakan berdasarkan hubungan kemitraan yang harmonis. Oleh karena itu setiap pelaksana JKN harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan optimal, meningkatkan kapasitas serta melakukan inovasi yang dapat menunjang pelayanan kesehatan, terutama inovasi yang memanfaatkan teknologi informatika. B. Penguatan Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Pasca UU Administrasi Pemerintahan Berdasarkan hasil kajian serta pembahasan para Narasumber, Lembaga Administrasi Negara (LAN) cq. Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara (PKSHAN) merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut untuk memperkuat kedudukan dan peran APIP pasca pemberlakukan UU AP. 1. Perlu adanya reformulasi kedudukan kelembagaan APIP Untuk mereformulasi kedudukan kelembagaan APIP dapat dilakukan melalui : a. Mempercepat terbentuknya Undang-Undang tentang Sistem Pengawasan Internal yang sudah masuk dalam rencana aksi Prolegnas tahun 2016. Didalam proses pembentukan UndangUndang ini termasuk didalamnya menyempurnakan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang saat ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Penyempurnaan dimaksud 82
meliputi antara lain terkait dengan pengertian dan identifikasi APIP, manajemen SDM APIP, serta mekanisme kerja APIP di tingkat nasional yang harus sinergi dengan APIP di tingkat lokal. b. Menempatkan APIP di internal instansi pemerintahan, namun secara fungsional pelaksanaan tugas dan fungsinya dikoordinasikan oleh BPKP. Pada masa mendatang, secara organisatoris APIP diarahkan menjadi bagian dari BPKP. Untuk pelaksanaan fungsi-fungsi pengawasan instansi pemerintah, BPKP akan mendistribusikan auditor ke masing-masing instansi tersebut. Para auditor dimaksud, dalam pelaksanaan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada Kepala BPKP. 2. Perlu peningkatan kompetensi SDM APIP diluar kompetensi teknis di bidang auditif APIP harus memiliki kompetensi teknis lain yang mendukung seperti : a. Kompetensi teknis hukum, khususnya untuk mencermati suatu keputusan dan/atau tindakan Aparatur Pemerintahan masuk dalam klasifikasi ranah administrasi atau ranah pidana. Termasuk dalam hal ini adalah kompetensi untuk melakukan “penyelidikan” maupun “penyidikan” atas dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilaporkan oleh masyarakat; b. Kompetensi menghitung kerugian negara. Untuk mendukung peningkatan komptensi tersebut, Lembaga Administrasi Negara sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam bidang pengkajian serta pendidikan dan pelatihan (Diklat) ASN berdasarkan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, perlu menyusun Diklat Teknis bagi Auditor berkoordinasi dengan BPKP. C. Strategi Pemberantasan Pungli Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Pungli di birokrasi ditengarai sudah berjalan masif, terstruktur dan sistemik. Atas dasar itu dapat ditarik beberapa kesimpulan berikut: 83
1. Pola Pungli yang saat ini terjadi di Birokrasi, dilakukan dengan cara : a. membebankan biaya tambahan sehingga tidak sesuai dengan tarif yang telah ditetapkan; b. meminta uang kepada masyarakat untuk sesuatu hal yang tidak perlu membayar. 2. Pemberantasan Pungli di Birokrasi dapat dilakukan dengan strategi berikut : a. Memaksimalkan fungsi APIP sesuai dengan amanat UU Administrasi Pemerintahan; b. Mendorong dilaksanakannya pelayanan publik secara online; c. Melaksanakan disriminsasi positif bagi pelayanan publik yang bersifat komersil; d. Menuangkan komitmen pemberantasan pungli dalam kontrak kinerja PNS. e. Mengidentifikasi jabatan rawan pungli dan memberi insentif yang layak dan seimbang dengan resiko jabatannya. f. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif untuk memberi informasi dan melaporkan pungutan liar.
84
REFERENSI
Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, 2014. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Lembaran Negara RI Tahun 2014, Nomor ... Jakarta : Sekretariat Negara. Republik Indonesia, 2014. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Lembaran Negara RI Tahun 2014, Nomor ... Jakarta : Sekretariat Negara. Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Lembaran Negara RI Tahun 2004, Nomor ... Jakarta : Sekretariat Negara. Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Lembaran Negara RI Tahun 2011, Nomor ... Jakarta : Sekretariat Negara. Republik Indonesia, 2013. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Lembaran Negara RI Tahun 2013, Nomor ... Jakarta : Sekretariat Negara. Republik Indonesia, 2009. Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lembaran Negara RI Tahun 2009, Nomor ... Jakarta : Sekretariat Negara. Republik Indonesia, Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelayanan Publik. Berita Negara RI Tahun 2011, Nomor ... Jakarta : Sekretariat Negara. Republik Indonesia, 2011. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatuhan Jabatan Pegawai Negeri Sipil Peraturan pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah 85
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Buku Sentika, R, Optimalisasi Operasional Jaminan Kesehatan Nasional Di Tingkat Kabupaten/Kota, 2016, Jakarta : Lembaga Administrasi Negara. Sudarto, 1952. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Surayogo, I, 2001. Metode Penelitian Sosial, Bandung : Remaja Rosdakarya. A.F. Stoner J. & Charles Wankel (1986), Management, (Third Edition). Lembaga Administrasi Negara, Manajemen Pembangunan Daerah, Jakarta M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983. Hariadi Darmawan, Peranan Inspektorat Jenderal Departemen/LPND Saat Ini dan Masa Datang, Jakarta, Balai Pustaka, 1998. Irsan Yani, Sistem Pengawasan Fungsional, Sinergi Antar Lembaga Pengawasan, Jakarta, Balai Pustaka, 1998. Agung, Kurniawan 2005. Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaharuan. Barata, Atep. 2004. Dasar-Dasar Pelayanan Prima. Jakarta : Elex Media Komputindo. Hardiyansyah. 2011. Kualitas Pelayanan Publik Konsep, Dimensi, Indikator, dan Implementasinya. Yogyakarta: Gava Media. Kasmir. 2006, Manajemen Perbankan. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Kumorotomo, Wahyudi. 1992. Etika Administrasi Negara. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Lewis, Carol W., and Stuart C. Gilman, 2005. The Ethics Challenge in Public Service: A Problem-Solving Guide, Market Street, San Fransisco: Jossey-Bass.
86
Ratminto & Atik Septi Winarsih. 2006. Manajemen Pelayanan. Jakarta: Pustaka Pelajar. Roth, Gabriel Joseph. 1926. The Privat Provision of Public Service in Developing Country. Washington DC : Oxford University Press. Sinambela, Lijan Poltak, 2010, Reformasi Pelayanan Publik, Jakarta: Bumi Aksara Yogi Suwarno, LAN, 2016, Modul MoT Lembaga Administrasi Negara, Whole of Government dalam Pelayanan Publik. 6, Perri (2004). "Joined-Up Government in the Western World in Comparative Perspective: A Preliminary Literature Review and Exploration". Journal of Public Administration Research and Theory: J-PART. Oxford, United Kingdom: Oxford University Press. 14: 103–138. Website BPJS Kesehatan Tak Mampu Imbangi Pertumbuhan Peserta, 2016. http://economy.okezone.com/read/2016/03/19/320/1340303/bpjskesehatan-tak-mampu-imbangi-pertumbuhan-peserta. Langkah Satu Tahun Menuju National Coverage, Apakah Siap di 2019?, 2015. http://www.idionline.org/berita/dialog-kebangsaan-dalamrangka-hari-bakti-dokter-indonesia-ke-107-dan-hari-kebangkitannasional-tahun-2015-langkah-satu-tahun-menuju-nationalcoverage-apakah-siap-di-2019/. http://digilib.unila.ac.id/3703/16/BAB%20II.pdf http://www.katawarta.com/hukum-dan-kriminalitas/simakperkembangan-kasus-pungutan-liar-di-kementerian-perhubungan http://news.okezone.com/read/2016/10/12/337/1512902/polisi-tetapkan3-tersangka-pungli-di-kementerian-perhubungan http://eksposnews.com/hukum-kriminal/Pungli-di-Belawan-DidugaMelibatkan-Pejabat-Pelindo-1 https://nasional.tempo.co/read/news/2016/11/12/058819698/pungli-ditanjung-perak-dirut-pelindo-iii-ini-ujian-berat https://news.detik.com/berita/d-3354229/tersangka-pungli-oknum-beacukai-pelabuhan-tanjung-emas-semarang-jadi-3-orang 87
https://www.tempo.co/read/kolom/2016/11/24/2431/pungutan-liarpemerasan-dan-suap http://ombudsman.go.id/index.php/berita/berita/kliping-berita/1903ombudsman-kritik-pembentukan-satgas-pemberantas-pungli.html http://news.okezone.com/read/2016/10/15/337/1515692/kemenpan-rbpengawasan-inspektorat-terhadap-pungli-masih-lemah http://nasional.sindonews.com/read/1146509/13/menteri-pan-rb-imbaumasyarakat-segera-lapor-jika-ada-pungli-1476248162
88
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
2
Lampiran 1
3
4
5
6
Lampiran 2.
7
8
9
10
11
Lampiran 3.
12
13
Lampiran 4
14
15
16
17
18
19
Lampiran 5
20
21
22
23
24