Kajian Etnobotani Pisang-pisang Liar (Musa spp.) Di Malinau, Kalimantan Timur Lulut D. Sulistyaningsih dan Albert H. Wawo Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi - LIPI Jl. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911, P.O Box 25 Cibinong. Indonesia Telp. (021) 8765067 Fax. 8765069, Email:
[email protected] Diterima April 2010 disetujui untuk diterbitkan Januari 2011
Abstract Ethnobotany studies of wild banana species in Malinau, East Kalimantan has been done. There are two varieties of wild banana species in Malinau, e.g. Musa borneensis Becc. var. flavida Häkkinen & Meekiong and Musa acuminata Colla var. microcarpa Nasution. They have an important roles in the customs of the local communities in Malinau, Punan tribes as land certificate. In addition, young pseudostem of M. borneensis Becc. var. flavida often used as food in the traditional parties. The description and the uses of M. borneensis var. flavida and M. acuminata var. microcarpa are presented here. Key words: ethnobotany, wild banana, Malinau, land sertificate
Pendahuluan Pisang merupakan komoditas buah tropis yang populer dan termasuk ke dalam salah satu jenis tanaman buah dengan prospek cerah di masa datang karena memiliki tingkat konsumsi yang tinggi. Pisang (marga Musa) merupakan salah satu dari tiga marga dalam suku Musaceae. Dua marga yang lain adalah Musella C. Y. Wu ex H. W. Li dan Ensete Horan. Beberapa ahli botani berpendapat bahwa nama Musa berasal dari Antonius Musa, nama salah seorang dokter pribadi dan seorang ahli botani pada zaman Kaisar Octavianus Augustus dari Roma yang menyarankan kaisar dan keluarganya untuk mengonsumsi pisang guna menjaga kesehatan. Sementara itu, beberapa ahli botani lainnya berpendapat bahwa nama Musa berasal dari bahasa Arab, mouz atau mouwz, yang berarti pisang (Hyam dan Pankhurst, 1995). Secara umum pisang-pisangan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu pisang tanpa biji atau pisang budidaya yang terdiri atas lebih kurang 500 kultivar (Valmayor et al., 2002) dan pisang liar yang terdiri atas lebih kurang 70 jenis (Häkkinen dan Väre 2008a-c; Häkkinen 2009). Kawasan Indo-Malesia merupakan pusat keanekaragaman utama pisang-pisangan dan salah satu pusat penyebaran pisang-pisang liar di kawasan ini adalah Borneo. Pulau terbesar ketiga di dunia ini meliputi kawasan Kalimantan (Indonesia), Sarawak dan Sabah (Malaysia), serta Brunei Darussalam. Eksplorasi untuk melihat keanekaragaman pisangpisang liar di Borneo telah dilakukan secara intensif di kawasan Sarawak, Sabah, dan Brunei Darussalam, sedangkan untuk daerah Kalimantan masih jarang dilakukan eksplorasi. Häkkinen (2004) melaporkan bahwa setidak-tidaknya terdapat 20 jenis pisangpisang liar yang endemik di kawasan ini. Secara keseluruhan, Indonesia mempunyai jumlah pisang budidaya dan pisang liar yang cukup melimpah. Hingga saat ini telah tercatat sebanyak 325 kultivar pisang (Setyadjit et al., 2003). Sementara itu, Nasution dan Yamada (2001) melaporkan bahwa setidak-tidaknya telah ditemukan 12 jenis pisang liar dan 15 varietas M. acuminata Colla di Indonesia, yang tersebar luas mulai dari Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Dilihat dari aspek sosial ekonomi, pemanfaatan pisang-pisangan, khususnya pisang budidaya telah melekat dan memegang peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat telah memanfaatkan pisang sebagai bahan pangan,
44 Biosfera 28 (1) Januari 2011 pakan ternak, bahan obat-obatan, sumber serat, penutup semai atau bibit tanaman, pengikat, dan pembungkus makanan. Filosofi pohon pisang, yang selalu melakukan regenerasi melalui tunasnya sebelum berbuah dan mati sehingga tetap mampu bertahan untuk memberikan manfaat kepada manusia, menjadikan pohon pisang seringkali digunakan sebagai simbol dalam upacara adat pernikahan. Bagi masyarakat Madura, buah pisang sendiri melambangkan kesejahteraan, kesuburan, dan kemegahan. Oleh karena itu, buah pisang sering kali dijadikan hantaran pada waktu meminang, mengantarkan mempelai, menjenguk anak yang baru lahir dan orang sakit (Rifai, 1976). Kajian pemanfaatan pisang, khususnya pisang-pisang liar dalam kehidupan masyarakat Indonesia, masih sangat diperlukan mengingat pemanfaatan tanaman ini telah mencakup banyak aspek dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan sebagian besar di antaranya belum banyak disentuh dan dikaji lebih dalam.
Materi dan Metode Kajian etnobotani pisang-pisang liar telah dilakukan di Kabupaten Malinau yang terletak antara 1°21 36 dan 4°10 50 LU serta antara 114°35 22 dan 116°50 55 BT. Daerah ini mempunyai luas 42.620,7 km2 dan berbatasan dengan Kabupaten Nunukan di utara, Kabupaten Bulungan di timur, Kabupaten Kutai Barat di selatan, dan Serawak – Malaysia Timur di barat. Penelitian dilakukan menggunakan metode survei eksploratif dan wawancara semi structural dengan masyarakat setempat. Pengambilan koleksi tumbuhan mengikuti Bridson dan Forman (1992) serta Bean (2006). Karakter morfologi Musa spp. diidentifikasi menggunakan Descriptors for Banana (Musa spp.) dari International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI)–INIBAP.
Hasil dan Pembahasan Desa-desa di Kabupaten Malinau banyak dihuni oleh masyarakat dayak Kenyah, Merap, Punan, dan beberapa kelompok minoritas yang sebenarnya merupakan masyarakat dayak pendatang dengan ketergantungan kepada hutan yang masih sangat tinggi. Kabupaten Malinau sendiri merupakan habitat yang luas untuk pisang liar (Musa spp.). Selama penelitian dilakukan telah ditemukan dua varietas pisang liar, yaitu Musa borneensis Becc. var. flavida (Hotta) Häkkinen & Meekiong (Bovong) dan Musa acuminata Colla var. microcarpa Nasution (Tibak Li). M. borneensis Becc. var. flavida merupakan salah satu dari enam varietas anggota M. borneensis yang endemik di Borneo dengan daerah penyebaran di Miri, Limbang, dan Lawas (Malaysia), serta kawasan Temburong (Brunai Darusalam) (Häkkinen dan Meekiong, 2005). Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa M. borneensis var. flavida juga mempunyai daerah penyebaran di Malinau, Kalimantan Timur. Varietas ini ditemukan tumbuh berumpun pada lokasi yang terbuka. M. acuminata var. microcarpa, atau yang biasa disebut oleh masyarakat Punan dengan nama Tibak Li, merupakan salah satu dari dua varietas M. acuminata yang ditemukan di Kalimantan (Nasution, 1991). Sama halnya dengan M. borneensis var. flavida, M. acuminata var. microcarpa ini ditemukan pada daerah yang terbuka. Sementara itu, apabila lokasi masih berupa hutan yang kanopinya sangat padat, maka kedua varietas ini hanya dapat ditemukan di tepi jalan, sedangkan di bawah lantai hutan tidak ditemukan kedua jenis pisang tersebut. Musa borneensis Becc. var. flavida Häkkinen & Meekiong (Bovong) mempunyai tinggi 4-5 m, pelepah bagian luar berwarna hijau muda, bagian dalam berwarna kuning dengan bercak-bercak ungu; panjang tangkai daun mencapai 1 m, tepian tegak; daun tegak, panjang 2-3 m, lebar 60-80 cm, oblong, permukaan atas berwarna hijau, permukaan bawah berwarna hijau terang, lekukan pada pangkal daun asimetris, kedua pangkal meruncing, tulang daun bagian atas berwarna hijau terang hingga kuning, tulang daun bagian bawah bebercak ungu-cokelat; perbungaan horizontal, panjang 130-200 cm; jantung bulat, panjang 20 cm, lebar 16 cm, diameter 12.7 cm, braktea menyirap, berwarna hijau, bagian ventral berwarna kuning pucat, bagian dorsal berwarna kuning terang; tandan panjang sampai 2 m, terdapat 7-20 sisir, setiap sisir 8-9 buah; bunga dan buah
Sulistiyaningsih dan Wawo, Kajian Etnobotani Pisang-pisang Liar (Musa spp.):43-47
45
tersusun dalam 2 baris; buah berwarna hijau, panjang 12-14 cm, diameter 4.8 cm, berbentuk curva, daging buah berwarna kuning pucat; biji hitam, berbetuk seperti buah pir, diameter 4-5 mm, tinggi 6-7 mm, tersusun membentuk barisan.
a
b
c
d
e
f
Gambar 1. (a) lahan (jakau) yang telah ditumbuhi M. borneensis var. Flavida, (b) perbungaan, (c) permukaan bawah daun, (d) jantung dan batang semu, (e) buah, (f) keseluruhan perawakan Figure 1. (a) land covered with M. borneensis var. Flavida, (b) flowering, (c) lower surface of leaf, (d) flower and pseudopetiole, (e) fruit, (f) habitus Musa acuminata Colla var. microcarpa Nasution (Tibak Li) mempunyai tinggi 1-1,8 m, batang semu ramping, diameter 9,5-12,7 cm, berwarna keunguan; panjang daun 2,53,5 m, lebar 50-60 cm, jumlah daun 4-5 helai, permukaan bawah dan atas berwarna hijau, pangkal daun membundar; perbungaan menjuntai, panjang 115-120 cm; jantung bulat, panjang 12-15 cm, diameter 6,4 cm, ujung meruncing, berwarna keunguan; Jumlah sisir per tandan 7-9, setiap sisir 25-30 buah; bunga dan buah tersusun dalam 2 baris; buah panjang 7-8 cm, keliling 2-3 cm, tebal kulit 2-3 mm, rasa kesad, tekstur kasar; biji banyak, hitam, berbetuk segitiga tidak beraturan.
a
c
b
e
d
Gambar 2 (a) perbungaan M. acuminata Colla var. Microcarpa, (b) jantung, (c) tandan buah, (d) buah dengan irisan melintang, (e) jakau yang sudah ditumbuhi oleh M. acuminata Colla var. microcarpa Figure 2 (a) flowering of M. acuminata Colla var. Microcarpa, (b) flower, (c) fruit, (d) fruit with cross section, (e) land covered with M. acuminata Colla var. microcarpa Meskipun kaya akan sumber daya alam, kesuburan tanah di daerah Malinau masih relatif rendah. Oleh karena itu, setelah membuka hutan untuk kebun, masyarakat Malinau, khususnya suku Punan, langsung mengolah kebun tersebut selama 3 hingga 4 tahun. Selanjutnya, kebun akan dibiarkan menjadi tanah bera yang dalam bahasa Punan disebut dengan jakau. Jakau akan dibiarkan begitu saja selama beberapa tahun hingga terjadi pemulihan kesuburan secara alami. Di sini nampak adanya kearifan lokal masyarakat setempat terhadap alam. Masyarakat setempat tidak menghendaki hutan tempat mereka menggantungkan diri secara tidak langsung menjadi rusak. Dalam hal ini, orang lain yang bukan orang pertama tidak akan menggunakan jakau yang telah subur tersebut menjadi kebunnya karena di dalam jakau itu telah tumbuh M. borneensis var. flavida dan M. acuminata Colla var. microcarpa. Kedua varietas pisang liar tersebut digunakan sebagai
46 Biosfera 28 (1) Januari 2011 penanda bahwa jakau tersebut adalah milik orang pertama. Oleh karena itu, masyarakat suku Punan menginterpretasikan pisang hutan yang tumbuh dalam jakau tersebut sebagai ”surat tanah” bagi suku Punan.
a
b
Gambar 3. (a) perbandingan jantung M. borneensis var. flavida dan M. acuminata var. microcarpa, (b) perbungaan M. borneensis var. flavida dan M. acuminata var. microcarpa Figure 3. (a) comparison of M. borneensis var. flavida dan M. acuminata var. Microcarpa flower, (b) flowering of M. borneensis var. flavida dan M. acuminata var. Microcarpa Masyarakat Malinau dikenal sebagai masyarakat yang selalu memulung hasil hutannya. Keterikatan antara masyarakat dan lingkungan hutan masih relatif tinggi. Masyarakat masih menggantungkan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung kepada hutan di sekitarnya. Apabila ada acara pesta adat di kampung, seperti membangun rumah atau pernikahan adat, masyarakat sering memotong ternak, terutama babi. Babi merupakan binatang ternak utama bagi suku Punan. Pada saat upacara adat, sebagian daging babi dimasak bersama-sama dengan batang muda kedua varietas pisang hutan ini, terutama dari M. borneensis var. flavida (bovong) yang kemudian menjadi hidangan saat acara adat tersebut berlangsung. Pisang-pisang yang tumbuh secara liar tersebut tidak hanya dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. Di habitat alaminya, M. borneensis var. flavida dan M. acuminata var. microcarpa berguna sebagai makanan bagi beberapa hewan seperti musang, kelelawar, tikus, babi, dan burung. Persebaran kedua varietas pisang liar tersebut secara tidak langsung dilakukan oleh hewan-hewan tersebut.
Kesimpulan Sekurang-kurangnya telah ditemukan dua varietas pisang liar di kawasan Malinau, yaitu Musa borneensis var. flavida dan M. acuminata var. microcarpa. Ditemukannya M. borneensis var. flavida di kawasan ini merupakan catatan baru bagi distribusi varietas pisang liar ini. Di habitat alaminya kedua varietas tersebut berfungsi sebagai makanan bagi musang, kelelawar, tikus, babi, dan burung. Sementara itu, bagi masyarakat suku Punan kedua varietas pisang liar ini berfungsi sebagai surat tanah dan hidangan dalam upacara adat.
Daftar Pustaka Bean, A.R., 2006. Collecting and Preserving Plant Specimens: a Manual. Queesland Herbarium, Environmental Protection Agency Biodiversity Sciences Unit, Brisbane, Australia. Bridson D. and Forman, L., 1992. The Herbarium Handbook. Royal Botanic Gardens, Kew, Great Britain. Häkkinen, M., 2004. Musa voonii, a new Musa species from northern Borneo and discussion of the section Callimusa in Borneo. Acta Phytotax. Geobot. 55 (2), 79-88.
Sulistiyaningsih dan Wawo, Kajian Etnobotani Pisang-pisang Liar (Musa spp.):43-47
47
Häkkinen, M., 2009. Musa chunii Häkkinen, a new species (Musaceae) from Yunnan, China and taxonomic identity of Musa rubra. Journal of Systematics and Evolution 47, 87-91. Häkkinen, M. and Väre, H., 2008c. Typification and check-list of Musa L. names (Musaceae) with nomenclatural notes. Adansonia ser 3, 30 (1), 63-112. Häkkinen, M. and Meekiong, K., 2005. Musa borneensis Becc. (Musaceae) and its intraspecific taxa in Borneo. Acta Phytotac. Geobot. 56 (3), 213-230. Hyam, R. and Pankhurst, R., 1995. Plants and Their Names: A Concise Dictionary. Oxford University Press, Oxford. Nasution, R. E., 1991. A taxonomic study of the Musa acuminata Colla with its intraspecific taxa in Indonesia. Memoirs of the Tokyo University of Agriculture 32, 1122. Nasution, R. E. and Yamada, I., 2001. Pisang-pisang Liar di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI, Bogor. Rifai, M. A., 1976. Pendayagunaan tanaman pisang: sebuah tinjauan etnobotani. Buletin Kebun Raya 2 (6), 193-197. Setyadjit, Dimyati, A, Lokollo, E.M., Kuntarsih, S., Basuki, R.S., Hidayat, A., Hofman, P.J., Ledger, S.N., and Woods, E.J., 2003. Analysis of the constrains to banana industry development in Indonesia using the supply chain concept. In: Proceeding of international workshop of Agri-product supply chain management in developing countries, ACIAR, Canberra. Valmayor, R.V., Espino, R.R.C., and Pascua, O.C., 2002. The Wild and Cultivated Bananas of the Philippines. Philippine Agriculture and Resource Research Foundation, Laguna.