JURNAL PENA INDONESIA Jurnal Bahasa dan Sastra Indonesia serta Pengajarannya Volume 3, Nomor 1, Maret 2017 ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195
SASTRA IDEALIS VERSUS INDUSTRI KREATIF: STUDI KASUS FILM NAY SEBAGAI BENTUK FILMISASI NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU
Ririe Rengganis Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya Email:
[email protected]
Abstrak Sastra idealis sering dihadapkan pada kepentingan-kepentingan lain yang dilekatkan padanya. Selain indah, sastra mesti memiliki kegunaan bagi masyarakat yang menikmatinya dalam bentuk karya, di antaranya adalah bentuk novel (prosa) dan film (skenario dan pelakonan). Baik dalam bentuk novel (prosa), maupun dalam bentuk film (skenario dan pelakonan), idealisme tidak dapat ditemukan sepenuhnya karena ada beberapa pertimbangan akibat kepentingan-kepentingan yang dilekatkan tersebut. Pertimbangan-pertimbangan tersebut antara lain, pertama, mengenai sensor yang berhubungan dengan norma-norma yang ada dalam kehidupan masyarakat di Indonesia, dan kedua, berhubungan dengan kepentingan pemilik modal yang membiayai ongkos produksi karya idealis tersebut agar tersampaikan pada masyarakat penikmatnya. Sensor yang dilakukan dalam film dan karya dilakukan melalui penggunaan bahasa penulisnya. Hal ini dilakukan karena bahasa dalam karya merupakan ekspresi penulisnya sebagaimana yang disampaikan Lacan dalam teori subjektivitasnya. Dalam tulisan ini, idealisme Djenar Maesa Ayu (DMA) sebagai penulis novel Nayla sekaligus sebagai penulis skenario dan sutradara film Nay juga diekspresikan melalui bahasa yang sarat metafora dan metonimia guna menghindari sensor. Penggunaan metafora dan metonimia yang dilakukan DMA juga mempertimbangkan norma-norma yang berlaku di masyarakat Indonesia. Kata Kunci: sastra, industri kreatif, sekolah. Abstract Idealism in literary studies often confronted with other interests embedded within the study. In addition to beautiful, literature must have utility for the people who enjoy it in the form of works, among which is a form of (prose) and the film (screenplay and theater). Either in the form of a novel (prose) or in the form of a film, idealism is not to be found entirely because there are some considerations due to the interests attached to them. These considerations include, first, the sensor associated with the norms that exist in people's lives in Indonesia, and secondly, related to the interests of owners of capital to finance the cost of production of the idealistic work to be conveyed to the public audience. Censorship in the film and the work done through the use of language of the
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
author. This is done because the language in the works are an expression of the author as Lacan statement in the theory of subjectivity. In this paper, idealism within Djenar Maesa Ayu (DMA) as the author of the novel Nayla as well as a screenwriter and film director Nay is also expressed through the language of metaphor and metonymy are loaded in order to avoid censorship. The use of metaphor and metonymy that do DMA also consider the norms as reflected in Indonesian society. Keywords: literature, idealistic, creative industries, sensors. PENDAHULUAN Seorang filsuf Perancis di awal abad ke 19, Victor Cousin menyatakan semboyan l’art pour l’art (seni untuk seni) bahwa seni selalu berhubungan erat dengan estetika seni dan tidak memerlukan penilaian apalagi penghakiman dari pembacanya. Seni tidak berhubungan dengan unsur-unsur lain seperti politik dan pendidikan. Semboyan ini lantas diajarkan pula dalam teori kesusastraan pada setiap mahasiswa program sastra di tahun awal perkuliahan. Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah masih adakah sastra idealis di Indonesia? Ketika sastra dihadapkan pada fungsi sastra dulce et utile, yaitu indah dan berguna, maka karya sastra yang baik adalah karya sastra yang baik dan berguna (di antaranya sebagai sarana pendidikan di Indonesia). Sastra idealis di Indonesia mesti berhadapan dengan penerbitan bila ingin disebarluaskan pada pembacanya. Beberapa masalah pada penerbitan buku sastra di Indonesia (terutama pada penerbit-penerbit besar) antara lain adalah karya sastra yang diterbitkan mewajibkan penggunaan bahasa yang santun dan tidak provokatif. Penerbit-penerbit dalam sistem penerbitan besar menerapkan sensor dalam hal ini guna mengembalikan modal yang dipakai untuk penerbitannya. Begitu pula dengan desain sampul pada karya sastra (novel,
http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 41
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
kumpulan cerita pendek atau puisi) yang kadang kala tidak mempertimbangkan idealisme penulis untuk menyampaikan ide-ide pada pembaca. Masalah idealisme ini juga terjadi pada ranah film di Indonesia ketika film menjadi wahana baru untuk memvisualisasikan karya-karya sastra Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir sebagai sebuah tren baru menikmati sastra bagi generasi muda (yang malas membaca buku) dalam bentuk filmisasi. Filmisasi ini pun mengalami masalah yang sama dengan karya sastra tulisnya, ada seperangkat sensor yang diterapkan bila film yang diangkat dari karya sastra itu akan ditayangkan pada penonton secara luas. Apalagi di Indonesia sering kali menerapkan aturan-aturan tidak tertulis tentang norma-norma kepantasan dan ketidakpantasan bagi masyarakatnya, sehingga apabila lembaga sensor telah menetapkan sebuah karya sastra atau film melanggar norma-norma kepantasan ini, maka karya sastra atau film tersebut tidak akan pernah sampai pada pembaca/penonton untuk dinikmati sebagai sebuah karya. Masalah sensor pada karya sastra ini muncul setelah Orde Baru tumbang di Indonesia, ketika idealisme perempuan-perempuan penulis menyampaikan ketubuhan mereka pada catatan sejarah karya sastra di Indonesia pada awal 2000-an, maka sebagian kritikus sastra sibuk membuat istilah sastra wangi atau sastra selangkangan. Bahwa perempuan-perempuan penulis hanya mampu menyampaikan cerita-cerita tentang ketubuhan dan persetubuhan merupakan stigma yang dilekatkan para kritikus pada perempuan-perempuan penulis, yang salah satunya adalah Djenar Maesa Ayu (DMA). DMA merupakan salah satu perempuan penulis di Indonesia yang mengangkat isu-isu ketubuhan dan persetubuhan dalam karya-karyanya, sehingga label sastra wangi pun dilekatkan padanya. Loekito menjelaskan bahwa penyebutan sastra wangi tidak dapat dipisahkan dari dua hal, yaitu perempuan 42 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
sebagai pengarangnya dan seks sebagai isi cerita. Sastra wangi merupakan terobosan baru dalam dunia sastra Indonesia pascaorba yang menawarkan halhal yang bersifat seksualitas, dengan cerita seputar hubungan perkelaminan, homoseksualitas, dan kelainan seksual lain, yang merupakan pelecehan terhadap sastra (2003: 130). Dengan demikian kemunculan istilah sastra wangi dalam sastra Indonesia ditujukan sebagai labelisasi terhadap perempuan-perempuan penulis muda dan cantik yang menulis cerita seputar seksualitas dan segala masalah yang ada di dalam seksualitas itu sendiri. Di lain pihak, perempuan-perempuan penulis yang berkisah seputar seksualitas dan segala masalah yang ada di dalam seksualitas itu sendiri adalah perempuan-perempuan yang memiliki idealisme dalam berkarya, karena ketubuhan perempuan hanya dapat dipahami oleh perempuan itu sendiri. Sebagaimana Arivia memamparkan bahwa selama masa Orde Baru berkuasa, perempuan secara biologis didefinisikan sebagai manusia yang lemah, sensitif, dan emosional, sehingga peran publiknya tidak mendapatkan posisi yang setara. Tubuh perempuan didefinisikan secara maternal lengkap dengan atributatributnya sebagai makhluk keibuan, perawat, dan lemah lembut yang menampilkan sosok perempuan yang diterima oleh masyarakat patriarkal (2006: 85-86). Arivia juga menyatakan bahwa seksualitas merupakan hal yang sah dimiliki manusia dan dibutuhkan dalam kehidupan, sehingga semestinya diterima dengan sikap wajar dan tanpa ketegangan, sebagaimana manusia menerima tubuhnya sendiri. Berawal dari atribut biologis yang dilekatkan pada perempuan sebagai makhluk yang lemah, sensitif, dan emosional inilah ketika perempuan berbicara tentang ketubuhannya dengan lantang melalui karya-karya sastra, maka perempuan-perempuan penulis ini mendapatkan label sastra wangi.
http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 43
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
PEMBAHASAN Idealisme DMA dalam Film Nay sebagai Bentuk Filmisasi Novel Nayla Film Nay dapat dianggap sebagai sebuah karya ideal dari DMA, yang skenario filmnya ditulis dan disutradarai langsung oleh DMA. Film tersebut diangkat pula dari novel Nayla yang merupakan karya DMA. Film Nay dan novel Nayla
merupakan
ekspresi
DMA
yang
dapat
dicermati
melalui
penggunaan/ekspresi bahasa, baik di dalam film maupun di dalam novel. Berawal dari munculnya premis bahwa ketaksadaran sesungguhnya terstruktur seperti bahasa, psikoanalis Perancis, Jacques Lacan telah memberikan orientasi baru pada teori dan praktik Freudian. Lacan merevisi lebih lanjut pendapat Freud dalam psikoanalisis klasiknya bahwa teks sastra –seperti halnya mimpi– adalah suatu bentuk kompromi antara intensi ketaksadaran dan kesadaran. Ketaksadaran tidak saja berada di dalam teks, tetapi juga berada dalam pikiran penulis dan pembacanya, sebuah pandangan yang mengarah pada psikobiografi dan teori respons-pembaca (Noland dalam Makaryk, 1993:321). Selanjutnya, Lacan menjelaskan bahwa teks sastra hadir melalui bahasa dan mengenai konsep ketaksadaran, tubuh, dan sejarah seksualitas subjek manusia berlawanan dengan seluruh produksi kesadaran (Camden dalam Makaryk, 1993:163), sehingga bahasa mengungkapkan hal lain dari apa yang dikatakannya, berlawanan dengan wacana kesadaran. Dengan demikian dalam kerangka Lacanian, psikoanalisis bukan merupakan wacana terpisah di luar karya sastra. Subjektivitas mewujud dalam karya sastra melalui bahasa yang digunakan manusia (subjek). Subjek mewujud dalam bahasa dan diwakili oleh bahasa melalui tuturan (parole). Faruk (2012:196) mengungkapkan bahwa bahasa merupakan sebuah tatanan kultural yang menanamkan subjektivitas bagi manusia, membuat manusia menemukan 44 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
identitas atau dirinya. Namun apa yang dilakukan bahasa pada subjek itu bersifat mendua: di satu pihak memberikan rasa subjektivitas, di lain pihak menjauhkan subjek dari diri asalinya. Bahasa, dengan demikian, justru memperkuat rasa kurang dan rasa kehilangan dalam alam bawah sadar manusia. Karya sastra hadir dalam masyarakat melalui bahasa dalam wujud kata, frasa, kalimat maupun paragraf yang merupakan perwakilan dari sang penulis untuk menyampaikan keinginan, pemikiran, pendapat atau gagasan pada pembaca (masyarakat). Bahasa yang digunakan oleh penulis sebagai subjek diperoleh sejak ia berada dalam masa-masa pembentukan subjek hingga ia menjadi makhluk sosial yang menyerap bahasa sebagai wacana sosial untuk mendukung eksistensi diri sebagai subjek dalam masyarakat melalui bahasa. Begitu pula dengan bahasa dalam karya sastra (termasuk teks, yang berupa gambar, foto, dan lukisan) merupakan sarana sang penulis untuk menyampaikan subjektivitasnya dalam masyarakat. Dengan demikian, memahami bahasa dalam karya sastra dengan menggunakan konsep Lacanian sesungguhnya menemukan kondisi bawah sadar subjek yang penuh kekurangan dan kehilangan. Sebuah kondisi yang tidak mungkin bagi penelaah sastra untuk mengakses kondisi bawah sadar penulis karya sastra, tetapi pemahaman yang dilakukan dalam kerangka psikoanalisis Lacanian meliputi kondisi yang terjadi pada bahasa karya sastra, bagaimana bahasa karya sastra itu bergerak, serta penggunaan metafora dan metonimia dalam bahasa karya sastra. Melalui bahasa, sang penulis karya sastra mewujudkan
diri
dan
menyampaikan
subjektivitas
(identitas)
serta
menyampaikan hasrat (keinginan) agar diakui keberadaannya sebagai subjek dalam masyarakatnya. Hal ini penting karena bahasa akan menentukan subjektivitas yang mengada dan hadir dalam masyarakat. http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 45
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
Idealisme DMA mengenai Pendidikan Seks untuk Mencegah Terjadinya Kekerasan Seksual terhadap Anak dan Perempuan Film Nay muncul sebagai cermin bagi masyarakat bahwa kekerasan anak dan perempuan masih sering terjadi di Indonesia, terutama kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang dialami anak dan perempuan di Indonesia sering kali tidak dapat ditemukan penyelesaiannya, karena masyarakat masih menganggap tabu untuk membicarakan seksualitas di ranah publik. Misalnya saja kasus perkosaan yang dialami tokoh Nay dalam film Nay terjadi ketika dirinya berusia 9 tahun, perkosaan yang tidak boleh diceritakan bahkan dilaporkan oleh Ibu Nay, karena dua hal. Pertama, perkosaan adalah aib bagi perempuan yang mesti ditutup dari masyarakat, dan kedua, perkosaan dilakukan oleh pacar ibunya sebagai orang terdekat dalam keluarga. Dengan demikian, perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan seksual yang dialami (anak) perempuan tidak dapat ditanggulangi sejak dini, karena perkosaan adalah hal memalukan yang tidak perlu diceritakan dan diselesaikan permasalahannya apalagi bila dilakukan oleh orang-orang terdekat keluarga. Sebuah pembiaran terhadap pelanggaran atas hak-hak perempuan dalam memperoleh keadilan bagi kekerasan yang dialaminya. Perkosaan yang dialami tokoh Nay dalam film Nay ini merupakan salah satu bentuk filmisasi dari novel Nayla yang juga merupakan karya DMA. Dalam novel Nayla melalui tokoh Nayla, DMA mendeskripsikan perkosaan yang dialami Nayla dialami sebagai akibat dari tabu yang dianut masyarakat di Indonesia tentang pendidikan seks sejak dini. Seks adalah tabu untuk dibicarakan apalagi dalam ranah pendidikan, sehingga pada tahapan selanjutnya anak-anak menjadi korban kekerasan seksual/perkosaan akibat ketidaktahuan mereka dalam mencegah kekerasan seksual/perkosaan tersebut terjadi pada tubuh mereka. Selanjutnya, 46 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
apabila kekerasan seksual/perkosaan telah terjadi pada diri anak-anak atau perempuan, maka kekerasan seksual/perkosaan tersebut mesti dirahasiakan dari masyarakat atau aib akan mencoreng keluarga. Sebuah standar timpang yang diterapkan bagi (anak) perempuan dalam masyarakat berkonstruksi patriarkis. DMA melalui tokoh Nayla memprotes standar timpang tersebut melalui novel Nayla dalam kisahnya sebagai berikut. Bagaimana jika seorang perempuan mengalami pelecehan seksual, terutama yang sampai merusak keperawanan, sementara sejak kecil kepala sudah dibombardir dengan informasi bahwa perempuan mutlak perawan dan jika tidak, berarti ia tidak akan laku? Mereka tidak berani mengaku. Selain mendapat ancaman dari pelaku, mereka sudah terancam oleh informasi atau syarat perempuan ideal yang berlaku. Bagi yang mengaku, tak jarang yang didapat bukan dukungan melainkan penghinaan. Baik dari masyarakat luas, maupun dari pihak keluarga terdekat. Masih banyak orang tua yang merasa perkosaan adalah aib bagi si korban, bukan aib bagi si pelaku. Aib harus ditutupi. Kejahatan mereka tutupi. Dan kenyataan ini membuat korban merasa terhina dan lebih terpuruk lagi. Tindak pelecehan seksual pun rentan terjadi pada anak-anak perempuan di bawah umur. Seks yang menjadi momok dalam kepala masyarakat membuat anak-anak tidak diberi pendidikan seksual semenjak dini. Seks ditabukan. Ditutupi. Upaya-upaya seperti ini dilakukan supaya anak-anak perempuan tidak menjangkau pengetahuan seks. Harapan orangtua, niscaya anakanak perempuan mereka tetap suci hingga saatnya dipersunting mempelai laki-laki. Akibatnya, pelecehan seksual anak-anak di bawah umur banyak dilakukan justru oleh lingkungan terdekatnya sendiri. Anak-anak perempuan di bawah umur yang tidak diberi pembelajaran tentang seks dan tidak pernah mengetahui fungsi alat kelamin, dengan mudah ditipu oleh pelaku pelecehan seksual dengan mengatakan penisnya adalah permen loli. Vagina adalah neraka dan penis adalah setan. Jika penis dimasukkan ke dalam vagina, berarti setan tengah dimasukkan ke dalam neraka. Dan sebagainya, dan sebagainya, yang sayangnya kebanyakan baru diketahui setelah semuanya terlambat. Semua baru terbongkar http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 47
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
ketika anak-anak tertentu mengeluh sakit saat buang air kecil, atau panas tinggi akibat vaginanya infeksi. (Nayla, 85-86) Dalam kutipan tersebut, DMA melalui tokoh Nayla menyampaikan ide-ide tentang perlindungan terhadap anak dan perempuan akan pentingnya pendidikan seks sejak dini agar mereka dapat melindungi diri dari kekerasan seksual/perkosaan. Penggunaan metafora-metafora dalam pendidikan seks malah menyebabkan anak-anak dan perempuan tidak mampu memahami tubuhnya sendiri sejak dini. Ketidakmampuan anak-anak dan perempuan memahami tubuhnya ini pada giliran selanjutnya malah makin memudahkan anak-anak dan perempuan mudah dikelabui oleh para pelaku kejahatan seksual, terutama dari orang-orang terdekat keluarga. Penyebab lain terjadinya kekerasan seksual/perkosaan adalah adanya bias gender dalam pembagian tugas lelaki-perempuan di masyarakat yang menciptakan mitos bahwa lelaki bekerja di ranah publik, sedangkan perempuan bekerja di ranah domestik. Perempuan mesti tunduk dan patuh pada hukum lelaki sebagaimana kutipan berikut. Sudah sering kita dengar celetukan-celetukan para orang tua tentang bedanya punya anak laki-laki atau perempuan. Jika punya anak laki-laki, perhatian mereka lebih terpaku kepada bagaimana ia kelak bisa mencari nafkah dengan benar. Jika punya perempuan, perhatian mereka lebih terpaku kepada bagaimana ia kelak bisa mendapat laki-laki yang bisa menafkahi dengan benar. Untuk itu laki-laki dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan supaya lebih mudah mendapat pekerjaan. Sementara perempuan dibekali berbagai pengetahuan dan keterampilan supaya lebih mudah mendapat laki-laki. Syarat-syarat menjadi perempuan yang mudah mendapat laki-laki sudah merakyat secara turun-menurun. Bahwasanya perempuan harus perawan, harus pandai mengatur keuangan, harus sabar, harus bisa memasak, harus bisa memberi keturunan, 48 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
harus pandai memuaskan suami di ranjang. Sementara syaratsyarat menjadi laki-laki hanya satu, pandai-pandailah mencari uang. (Nayla, 2012: 84-85) Pada kutipan tersebut, DMA melalui tokoh Nayla dalam novel Nayla mengisahkan bahwa ibunya mengajarkan dirinya sebagai perempuan untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan agar mudah mendapatkan lelaki yang mampu menghidupi dengan layak. Sebagaimana dinyatakan pula dalam film Nay melalui tokoh Nay, ibunya berpisah dengan ayahnya karena sang ayah dianggap tidak mampu memberi kehidupan layak pada Nay dan ibunya, sehingga keutuhan rumah tangga dan kenyamanan batin Nay sebagai anak menjadi taruhan pada giliran selanjutnya.
Idealisme DMA mengenai Kedekatan Ibu-Anak Perempuan untuk Mendeteksi Kekerasan Seksual terhadap Anak Sejak Dini Dalam film Nay, DMA mengisahkan melalui tokoh Nay yang tinggal bersama ibu sejak kecil tidak memiliki kedekatan emosional yang baik. Setelah perceraian dengan ayahnya, Nay terpaksa hidup bersama ibunya. Akan tetapi, hidup bersama ibu merupakan siksaan tersendiri bagi Nay. Pada usia 9 tahun, Nay diperkosa oleh pacar ibunya. Pada usia 9 tahun, Nay mesti menahan kepedihan atas perkosaan yang dialaminya dan tidak memperoleh keadilan. Nay dilarang oleh ibunya untuk mengisahkan perkosaan yang dialaminya, karena perkosaan itu adalah aib seperti yang diajarkan oleh ibunya. Sementara itu, dalam novel Nayla melalui tokoh Nayla, DMA mengisahkan bahwa Nayla menganggap ibunya adalah monster yang gemar menyiksa dirinya dengan menusuki peniti di selangkangannya. DMA melalui tokoh Nayla menyampaikan bahwa anak-anak justri sering kali menjadi korban kekerasan dari http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 49
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
orang-orang terdekat/keluarga. Atas nama kepatuhan dan kewajaran pula, anakanak yang menerima kekerasan dari orang tua dan keluarga tidak mendapatkan keadilan. Anak-anak yang mestinya mendapat perlindungan dari orang tua malah menjadi objek kekerasan sebagaimana kutipan berikut. Mata Nayla menatap tajam ke arah rangkaian peniti yang teronggok di atas meja tepat di depannya. Beberapa tahun lalu, Nayla masih gentar setiap kali melihat rangkaian peniti itu. Ia akan terdiam cukup lama sebelum akhirnya terpaksa memilih satu. Itu pun harus dengan cara ditampar Ibu terlebih dulu. Beberapa tahun lalu, Nayla masih gemetar ketika tangan Ibu menyalakan pemantik lantas membakar peniti yang sudah dipilihnya. Peniti dengan ukuran terkecil, tentunya. Dan ketika peniti yang menurut Ibu sudah steril itu ditusukkan ke selangkangannya, ia akan mengapit rapat-rapat kedua pahanya. Terisak. Meronta. Ibu semakin murka. Tapi kini, beberapa tahun kemudian, tak ada satu peniti pun yang membuat Nayla gentar maupun gemetar. Ia malah menantang dengan memilih peniti yang terbesar. Membuka pahanya lebar-lebar. Tak terisak. Tak meronta. Membuat Ibu semakin murka. Tak hanya selangkangan Nayla yang ditusukinya. Tapi juga vaginanya. Nayla diam saja. Tak ada sakit terasa. Hanya nestapa. Tak ada takut. Hanya kalut. Pertanyaan-pertanyaan masih kerap hadir di kepalanya walaupun fisiknya sudah terbiasa. Ia masih saja heran kenapa setiap malam ngompol di celana padahal sudah menjelang sepuluh tahun usianya. Ia masih saja heran kenapa Ibu tak percaya kalau ia sama sekali tidak malas. Ia benar-benar tak tahu kenapa tak pernah terbangun untuk membuang urine yang sudah memenuhi kantung kemihnya. Ia juga masih heran, kenapa Ibu tega menghukumnya dengan cara yang seperti itu. Kenapa Ibu tak bisa berpikir bahwa tak akan ada satu orang anak pun yang memilih ditusuki vaginanya dengan peniti hanya karena ingin mempertahankan rasa malas. Rasa sakit di hatinya pun masih kerap menusuk setiap kali melihat sosok Ibu tak ubahnya monster. Padahal ia ingin melihat Ibu seperti ibu-ibu lain yang biasa dilihatnya di sekolah ataupun di 50 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
ruang tunggu dokter. Ia ingin Ibu seperti ibu-ibu lain yang terkejut ketika anak kandungnya jatuh hingga terluka dan mengeluarkan darah, bukan sebaliknya membuat berdarah. Nayla ingin punya ibu, tapi bukan ibunya sendiri. Nayla ingin memilih tak punya, ketimbang punya Ibu yang mengharuskannya memilih peniti (Nayla, 2012: 1-3) Kekerasan-kekerasan yang dialami Nayla dari ibunya terjadi setelah ibu bercerai dari ayah. Nayla sebagai korban perceraian orang tuanya sekaligus menjadi korban kekerasan dari ibunya. Kekerasan-kekerasan yang diterima Nayla dari ibunya menyebabkan Nayla tidak mendapatkan kasih sayang sebagai anak dan tidak memiliki kedekatan emosional dengan ibunya sebagaimana kutipan berikut. Setengah bermimpi Nayla berjalan. Bulan purnama bagai anting-anting yang menggantung di kuping awan. Ia berjalan melewati kucing-kucing-kucing dan anjing-anjing tak bertuan. Mendadak Nayla merasa tak lebih dari binatang-binatang itu. Tak lebih dari sampah yang belum dibersihkan di jalan. Tak bisa selamanya ia begini. Ia butuh pekerjaan. Butuh tempat tinggal. Butuh sesuatu yang bisa membuatnya sedikit merasa berarti ketimbang binatang dan sampah itu. Nayla butuh pilihan. Tapi apa yang bisa ia pilih ketika ia sama sekali tak punya pilihan? Hanya untuk semua inikah ia dilahirkan? Terlahir, terluka, dan disia-siakan? Sampai matikah ia akan seperti ini? (Nayla, 2012: 75-76) Selanjutnya, kekerasan-kekerasan yang dialami Nayla telah menempatkan Nayla sebagai pribadi yang tertutup dan menganggap hidup sebagai luka dan kesia-siaan. Apalagi setelah kematian ayah, Nayla makin menjadi pribadi tertutup. Makin tidak dekat dengan ibunya. Akan tetapi, Nayla tidak dapat berbuat apapun sebagaimana kutipan berikut.
http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 51
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
Banyak, banyak sekali yang terjadi sesudahnya. Tapi saya yakin, Ayah bisa melihatnya di atas sana. Ayah bisa menyaksikan setiap detik betapa di saat yang sama Ia memberi karunia. Ia memberi kekuatan luar biasa bagi saya untuk terus bertahan di dalam arena permainan-Nya. Tapi saya belajar, Ayah, semua yang Ia berikan ini sifatnya hanya sementara. Kapan saja Ia bisa menarik kembali dan tertawa gembira ketika saya tertatih-tatih mencoba bangkit berdiri. Saya tak mau tertatih lagi. Saya harus menutup hati dan tak begitu saja gembira dengan hadiah-hadiah yang diberikan-Nya. Saya tahu, di balik setiap tawa akan ada luka. Setiap pertemuan akan ada perpisahan. Saya tak mau menerima yang pertama. Saya harus siap dengan kemungkinan kedua. Saya akan membuka hati hanya untuk terluka saja. (Nayla, 2012: 5658) DMA melalui tokoh Nayla menyampaikan idealismenya bahwa keutuhan keluarga memegang peran penting bagi pertumbuhan mental anak di kehidupannya ketika dewasa kelak. Anak-anak yang tumbuh dalam keluarga broken home pun berhak untuk mendapatkan lingkungan yang sehat secara mental. Ibu memegang peran penting dalam hal ini, karena ibu merupakan penyelamat bagi anak-anaknya dan bukan monster penyiksa bagi batin anakanaknya. Ketika anak-anak mendapatkan perilaku kekerasan dari orang tuanya, kelak ketika mereka dewasa, maka anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang terpecah. DMA melalui tokoh Nayla dalam novel Nayla pun mengalami keterpecahan sebagaimana kutipan berikut. NAYLA : Tapi kan gak ada yang tau itu. Orang cuma liat kamu sekarang. KINAR : Makanya, catet sekali lagi nih, jangan sok tau kalo gak tau! Dan gue gak mau tahu biarpun mereka mau tau ataupun 52 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
gak mau tau! Mereka gak kasih makan gue! Mereka gak tau sakitnya gue! Mereka gak ngurusin waktu gue lagi susah! So fuck off! Saudara bukan kirik bukan! NAYLA : Bener juga ya… lagian gue kan bagian kiri. Harusnya kekiri-kirian. Kenapa posisi gue terbalik jadi penasehat? KINAR : Karena kita lain, goblog! Jadi jangan lebih goblog lagi dengan ngikutin mereka manusiamanusia bikinan dan polesan! NAYLA : Setuju! KINAR : Good! NAYLA KINAR : Cheers! Saya mabuk, dan saya menjadi bidadari. Saya tak peduli. (Nayla, 2012: 164-165) Pada kutipan tersebut, Nayla mengalami keterpecahan akibat kekerasan dan ketakutan yang dialaminya sejak kecil. Ibu mengajarkan ketakutan-ketakutan dan tabu yang diciptakannya untuk mengekang Nayla sekaligus mengajarkan dendam padanya kelak ketika Nayla dewasa. Dendam yang dimiliki Nayla terjadi akibat ketidakadilan-ketidakadilan dan kurangnya kasih sayang ibu pada dirinya sejak kecil. Di pihak lain, Nayla tetaplah anak yang patuh pada ibu yang melahirkannya. Akan tetapi, kepatuhan Nayla tidak pernah disampaikan pada ibunya. Kepatuhan sekaligus ketakutan sebagaimana dalam kutipan berikut. Ibu, Saya gak tahu apakah tindakan menulis surat ini akan memperburuk atau memperbaiki keadaan. Tapi saya gak ada maksud jelek sedikit pun. Saya cuma ingin mengabari bahwa saya sudah mulai bisa hidup dengan hasil keringat saya sendiri. ………………………………………………………………………………… Tapi masa-masa menekan itu sudah lewat. Saya punya teman yang bekerja jadi sopir antar jemput karyawan untuk sebuah diskotek dan menawari saya pekerjaan. Diskotek itu kebetulan butuh juru lampu. Saya ikut training selama satu bulan, selama itu http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 53
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
saya diperbolehkan tidur di diskotek itu, sehinga saya tak perlu luntang-lantung mencari rumah teman yang bisa dijadikan tempat bermalam atau terpaksa tidur di terminal dan emperan jalan. Saya diterima, Ibu. Gaji pertama saya dua ratus ribu. Akhirnya saya bisa membayar per bulan sewa kamar, walaupun teman-teman yang datang sering bilang kamar saya persis kandang ayam. ………………………………………………………………………………… Saya juga punya pacar. Bukan laki-laki, tapi perempuan. Yang laki-laki cuma untuk hit and run. Mereka benar-benar makhluk yang menyebalkan, sekaligus menggiurkan. Tapi untuk urusan perasaan, saya lebih merasa nyaman dengan perempuan. Entah salah atau benar, saya menemukan Ibu di dalam dirinya. Saya rindu Ibu. Tapi saya tahu, pasti ini bukan saatnya cengengcengengan. Seperti Ibu bilang, kita harus kuat jika ingin bertahan. Tak ada waktu untuk meratapi keadaan. Hanya ini yang ingin saya sampaikan, Ibu. Semoga bisa membuat Ibu sedikit tenang, teriring terima kasih sedalamdalamnya untuk semua petuah dan prinsip yang pernah Ibu ajarkan dan cinta yang Ibu berikan. Peluk, cium, dan cinta selalu. Nayla. Jakarta, 11 November 1989 Surat ini tak pernah dikirimkan. (Nayla, 2012: 53-55) Kutipan tersebut menunjukkan bahwa anak adalah anak yang tetap mencintai ibunya. Anak akan tetap mendengar nasihat ibunya, meski ibu sering kali melakukan penyiksaan padanya. DMA melalui tokoh Nayla menyampaikan bahwa ibu merupakan perempuan yang semestinya menjadi pelindung bagi anak-anaknya. Nayla adalah anak yang patuh pada nasihat ibu untuk menjadi anak yang kuat. 54 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
Sementara itu, DMA melalui tokoh Nayla juga menyampaikan bahwa ibu adalah sosok yang ditakuti oleh anaknya. Ketakutan ini diciptakan ibu melalui penyiksaan-penyiksaan yang dialami oleh Nayla. Penyiksaan-penyiksaan yang selanjutnya menciptakan dendam dalam diri Nayla ketika ia beranjak dewasa sebagaimana kutipan berikut.
“Jadi Anda takut dengan tokoh Ibu?” Seharusnya saya tidak takut. Setelah segala sesuatu yang terjadi pada saya, tidak ada alasan apapun untuk merasa takut, apalagi mereka tidak berhak. Saya tidak berhak menyakiti hati siapa pun, tapi bukankah saya berhak untuk pengalaman itu sendiri? ………………………………………………………………………………… Saya pun punya kehidupan sendiri, walaupun saya anak dari Ayah dan Ibu. Hidup saya bukan hidup mereka. Pilihan saya bukan pilihan mereka. Tapi setiap tindakan yang menurut saya benar, tidak pernah benar di mata Ibu. ………………………………………………………………………………… Suaranya bergetar. Terasa ada ketidakjujuran di sana. Terasa ada kebencian tersamar. Dan dendam yang berusaha diredam. (Nayla, 2012: 175-178) Kutipan tersebut menggambarkan Nayla yang memiliki dendam pada ibu akibat penyiksaan-penyiksaan yang dialaminya sejak kecil sekaligus kepatuhan Nayla untuk meredam dendam pada ibu yang telah melahirkannya sebagai bentuk kepatuhan anak pada ibunya. DMA melalui tokoh Nayla menyampaikan bahwa anak-anak tetaplah anak-anak yang selalu merindukan kasih sayang ibu dan tidak layak mendapatkan kekerasan-kekerasan dari orang tua.
Idealisme DMA versus Kepentingan Industri Kreatif
http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 55
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
DMA sebagai sutradara dan penulis skenario film Nay serta penulis novel Nayla memiliki idealisme dalam menyampaikan ide-ide pada penikmat karyakaryanya. Akan tetapi, idealisme DMA mesti berhadapan dengan kepentingan industri kreatif melalui sensor. Dalam film Nay, tokoh Nay (perempuan) ketika berdialog dengan pacarnya melalui telepon mendapat sensor ketika memaki pacarnya. Selain itu, sensor juga berasal dari tokoh ibu si pacar yang mengatakan bahwa kehamilan Nayla adalah bukan tanggung jawab anak lelakinya, karena Nayla telah tidak perawan sejak kanak-kanak. Ada stigma bahwa perempuan yang pernah menjadi korban perkosaan sejak kanak-kanak tidak layak untuk mendapatkan kebahagiaan ketika ia dewasa. Stigma semacam ini adalah sensor bagi ketubuhan perempuan. Sensor bagi perempuan untuk menuntut keadilan atas seksualitas dan menyelesaikan masalah seksualitas. Sementara itu, dalam novel Nayla melalui tokoh Nayla, sensor dilakukan melalui penggunaan metafora-metafora dan metonimia dalam menggambarkan ibu sebagai monster. Nayla tetap menunjukkan ketakutan dan kepatuhan sebagai anak pada ibunya. Hal ini terjadi karena norma masyarakat telah menempatkan ibu sebagai orang yang mesti dipatuhi. Peran ibu adalah peran paling mulia di dalam masyarakat, meski ibu telah melakukan kekerasan pada anaknya. Sensor yang dilakukan DMA melalui bahasa yang digunakan subjek dalam novel Nayla tunduk pada norma-norma yang hidup pada masyarakat (sebagai liyan). Norma-norma yang hidup pada masyarakat (sebagai liyan) mewujud melalui tokoh Ibu. Subjek patuh pada Ibu. Subjek patuh pada liyan, meski liyan telah menempatkan subjek pada posisi yang tidak nyaman dan ketakutan sepanjang kehidupannya. Subjek tidak punya pilihan selain tunduk pada liyan. Subjek masih tunduk pada pencitraan dan stigma. Hal ini terjadi 56 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi
Ririe Rengganis, Sastra Idealis Versus Industri Kreatif...(hal. 40 - 58)
karena subjek masih membutuhkan pengakuan liyan untuk mengakui eksistensinya sebagai subjek dalam masyarakat (Liyan).
SIMPULAN Berdasarkan pemaparan tersebut, sastra idealis di Indonesia tidak dapat ditemukan sepenuhnya, karena adanya sistem sensor melalui norma-norma masyarakat yang berfungsi sebagai kontrol atas kebebasan subjek ideal. Keberadaan subjek ideal pun tidak dapat ditemukan karena adanya liyan yang mewujud dalam norma masyarakat, norma agama, dan norma-norma lain yang menjadi aturan dalam hidup subjek. Oleh karena itu, sastra idealis yang sungguhsungguh idealis di Indonesia tidak pernah akan dapat ditemukan. Idealisme yang sungguh-sungguh ideal dalam dunia sastra akan menjadikan karya-karya sastra tidak dapat dinikmati pembacanya secara luas. Selain sekian norma tersebut, ada pertimbangan lain mengenai idealisme yang tidak mungkin diwujudkan sepenuhnya, yaitu mengenai modal/biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi karya pun patut dipertimbangkan. Hal ini terjadi karena kreativitas perlu biaya yang tidak sedikit, sedangkan para pemilik modal pun perlu menghitung laba atas modal yang telah dikeluarkan. Guna kepentingan tersebut, sensor diterapkan tidak hanya dalam karya sastra, tetapi juga dalam film melalui ekspresi-ekspresi bahasa yang metaforis dan metonimis.
DAFTAR RUJUKAN Arivia, Gadis. 2006. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas. Ayu, Djenar Maesa. 2012. Nayla. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 | 57
Jurnal Pena Indonesia, Vol. 3, No. 1 – Maret 2017
Camden, Vera J. 1993. “Psychoanalytic Theory” dalam Irena R. Makaryk (ed.): Encyclopedia of Contemporary Literary Theory, Approaches, Scholars, Terms. Toronto: University of Toronto Press. Chiesa, Lorenzo. 2007. Subjectivity and Otherness: A Philosophical Reading of Lacan. Massachusetts: Massachusetts Institute of Technology Press. Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Loekito, Medy. 2003. “Perempuan dan Sastra Seksual” dalam Sastra Kota oleh Linda Christanty dkk (Ed.),. Yogyakarta: Bentang. Noland, Richard W. 1993. “Sigmund Freud” dalam Irena R. Makaryk (ed.): Encyclopedia of Contemporary Literary Theory, Approaches, Scholars, Terms. Toronto: University of Toronto Press.
58 | ISSN: 22477-5150, e-ISSN: 2549-2195 http://journal.unesa.ac.id/index.php/jpi