JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN VOLUME 17
No. 01 Maret 2014 Octariana Sofyan, dkk.: Pengaruh Intervensi Diskusi Kelompok Kecil
Halaman 22 - 29 Artikel Penelitian
PENGARUH INTERVENSI DISKUSI KELOMPOK KECIL DISERTAI UMPAN BALIK TERHADAP PERENCANAAN KEBUTUHAN OBAT DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR KOTA MAGELANG THE EFFECT OF FOCUS GROUP DISCUSSION WITH FEEDBACK INTERVENTION ON DRUG NEED ASSESSMENT PLANNING AT TIDAR MAGELANG HOSPITAL Octariana Sofyan1, Chairun Wiedyaningsih2, Sulanto Saleh Danu3, Nunung Priyatni3 1 Magister Manajemen Rumah Sakit, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2 Fakultas Farmasi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Magister Kebijakan Pelayanan Kesehatan, Fakultas KedokteranUniversitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT
ABSTRAK
Background: In order to increase health service to people to obtain healing and restore health, very influencing factor is sufficient drug need planning, either for its type and amount. Problem faced in Magelang Tidar Hospital is excessive drug and low appropriate drug requirement plan (<100%). This research to increase appropriate drug need planning in Magelang Tidar Hospital in 2013. Method: This research used quasi experiment research design with pretest-posttest design. It used indicator of drug need planning as output before and after FGD intervention. Results: 1) Average drug suitability with formulary for regular in before and after FGD intervention are 82.2% and 84.1%, for ASKES in before and after intervention are 95.1% and 97.5%, and for Jamkesmas in before and after FGD intervention are 64.7% and 81.8%. 2) Average drug appropriateness with DOEN 2011 for regular in before and after FGD intervention are 65.6% and 72.8%, for ASKES in before and af ter intervention are 66.6% and 69.1% and for Jamkesmas before and after FGD intervention are 68.7% and 71.1%. 3) Drug fund allocation has reached 100% of available fund. (4) Percentage of drug item amount in planning and real drug item in usage for regular drug before and after FGD intervention are 124.6% and 241.7%, for ASKES in before and after intervention are 185.5% and 265.2%, and for Jamkesmas in before and after FGD intervention are 220.5% and 399.8%. (5) Percentage of planning appropriateness for regular drug before and after FGD intervention are 40.1% and 10.4%, for ASKES in before and after intervention are 13.5% and 4.9%, and for Jamkesmas in before and after FGD intervention are 13.8% and 4.5%. Conclusion: FGD intervention with feedback can increase some appropriateness indicator of drug need planning in Magelang Tidar Hospital such as drug suitability with formulary indicator and drug suitability to DOEN indicator. Fund allocation indicted that required fund have accorded to available fund. Percentage of drug item amount in planning and in real usage is increase and percentage of planning appropriateness is decreased due to excessive drug budget.
Latar Belakang: Dalam meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat untuk memperoleh kesembuhan dan memulihkan kesehatan maka faktor yang sangat berpengaruh yaitu mengenai perencanaan kebutuhan obat yang memadai, baik jenis maupun jumlahnya. Permasalahan yang masih ditemui di RSUD Tidar Kota Magelang yaitu masih terdapat obat yang berlebih dan persentase ketepatan perencanaan kebutuhan obat yang rendah (<100%). Penelitian ini untuk meningkatkan ketepatan perencanaan kebutuhan obat di RSUD Tidar Kota Magelang pada tahun 2013. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan pretest–posttest design. Penelitian ini melihat indikator perencanaan kebutuhan obat sebagai hasil dari sebelum dan sesudah intervensi DKK. Hasil: 1) Rata-rata persentase kesesuaian obat dengan formularium pada kategori obat regular sebelum intervensi DKK sebesar 82,2% dan setelah intervensi DKK sebesar 84,1%, pada kategori obat ASKES sebelum intervensi DKK sebesar 95,1% dan setelah intervensi DKK sebesar 97,5%, pada kategori obat Jamkesmas sebelum intervensi DKK sebesar 64,7% dan setelah intervensi DKK sebesar 81,8%. 2) Ratarata persentase kesesuaian obat dengan DOEN tahun 2011 sebelum intervensi DKK pada kategori obat reguler adalah sebesar 65,6% dan setelah intervensi DKK sebesar 72,8%, pada kategori obat ASKES sebelum intervensi DKK sebesar 66,6% dan setelah intervensi DKK sebesar 69,1%, pada kategori obat Jamkesmas sebelum intervensi DKK sebesar 68,7% dan setelah intervensi DKK sebesar 71,1%. 3) Alokasi dana obat yang dibutuhkan telah mencapai angka 100% terhadap dana yang tersedia. 4) Rata-rata persentase jumlah item obat yang ada dalam perencanaan dengan jumlah item obat dalam kenyataan pemakaian pada kategori obat regular sebelum intervensi DKK sebesar 124,6% dan setelah intervensi DKK sebesar 241,7%%, pada kategori obat ASKES sebelum intervensi DKK sebesar 185,5% dan setelah intervensi DKK sebesar 265,2%, pada kategori obat Jamkesmas sebelum intervensi DKK sebesar 220,5% dan setelah intervensi DKK sebesar 399,8%. 5) Persentase ketepatan perencanaan pada kategori obat regular sebelum intervensi DKK sebesar 40,1% dan setelah intervensi DKK sebesar 10,4%, pada kategori obat
Keywords: FGD intervention, drug need planning, Magelang Tidar Hospital
22
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
ASKES sebelum intervensi DKK sebesar 13,5% dan setelah intervensi DKK sebesar 4,9%, pada kategori obat Jamkesmas sebelum intervensi DKK sebesar 13,8% dan setelah intervensi DKK sebesar 4,5%. Kesimpulan: Intervensi DKK yang disertai umpan balik dapat meningkatkan beberapa indikator ketepatan perencanaan kebutuhan obat di RSUD Tidar Kota Magelang antara lain persentase kesesuaian obat dengan formularium dan persentase kesesuaian obat dengan DOEN. Indikator alokasi dana menunjukkan bahwa dana yang dibutuhkan telah sesuai dengan dana yang tersedia. Indikator persentase jumlah item obat yang ada dalam perencanaan dengan jumlah item obat dalam kenyataan pemakaian mengalami peningkatan dan persentase ketepatan perencanaan mengalami penurunan akibat anggaran obat yang berlebih. Kata Kunci: Intervensi DKK, perencanaan kebutuhan obat, RSUD Tidar Kota Magelang.
PENGANTAR Untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat agar memperoleh kesembuhan dan memulihkan kesehatan maka faktor yang sangat berpengaruh ketersediaan obat yang memadai, baik jenis maupun jumlahnya. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) Tidar Kota Magelang bertindak sebagai pengelola obat yang salah satunya berperan dalam perencanaan kebutuhan obat. Instalasi farmasi Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tidar Kota Magelang memiliki dua orang apoteker yang bekerja sebagai kepala instalasi farmasi dan sebagai koordinasi gudang reguler instalasi farmasi. Perencanaan kebutuhan obat di RSUD Tidar Kota Magelang ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu perencanaan obat reguler yang ditujukan untuk pasien umum, perencanaan obat askes yang ditujukan untuk pasien yang menggunakan asuransi kesehatan, dan perencanaan obat Jamkesmas yang ditujukan untuk pasien yang menggunakan asuransi Jamkesmas. Perencanaan kebutuhan obat diadakan setiap satu bulan sekali dengan menggunakan metode konsumsi dan dilakukan oleh IFRS yang kemudian hasil dari perencanaan kebutuhan obat per bulannya akan diserahkan ke unit layanan pengadaan (ULP) untuk direalisasikan. Permasalahan yang ditemui di RSUD Tidar Kota Magelang yaitu masih banyaknya obat yang berlebih sebagai sisa stok obat untuk kebutuhan obat selama satu bulan serta masih rendahnya persentase ketepatan perencanaan kebutuhan obat sehingga evaluasi terhadap perencanaan kebutuhan obat di RSUD Tidar Kota Magelang perlu dilakukan. Hasil akhir yang diinginkan yaitu meningkatkan ketepatan perencanaan kebutuhan obat, sehingga perlu dilakukan intervensi edukasi yang dapat memberikan pengertian yang lebih mudah dipahami sehingga diharapkan
petugas pengelola obat dapat mengetahui permasalahan dalam perencanaan, mendiskusikan permasalahan yang timbul serta pemecahan masalah untuk mengambil keputusan. Salah satu intervensi yang efektif adalah kontak tatap muka atau pertemuan (diskusi) kelompok kecil. Metode ini sebagai kombinasi antara teori komunikasi dan teori perilaku dengan teknik pengajaran secara konvensional. Dalam diskusi kelompok kecil (DKK), metode pelatihan yang dipakai sebagai sarana sehingga terjadi proses tukar pikiran antar peserta. Metode ini bertujuan untuk mengembangkan, menjelaskan dan menguatkan konsep-konsep dalam pelatihan, mengubah ide-ide dan pemahaman mengenai suatu hal, mengembangkan serta menjawab suatu masalah sehingga terwujud suatu kesepakatan di antara peserta. Anggota DKK terdiri dari 5-10 orang.1 Umpan balik diberikan kepada individu atau kelompok anggota. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian umpan balik adalah mendiskusikan masalah secara terfokus, identifikasi kekurangan untuk meningkatkan intensifikasi supervisi, mengakui adanya kesuksesan yang telah dicapai oleh unit atau fasilitas kesehatan dan identifikasi kelemahan dan kekuatan suatu program. Umpan balik juga menunjukkan apakah perubahan individu maupun organisasi telah terjadi akibat adanya komunikasi.2 Penelitian ini bertujuan untuk menerapkan DKK dan umpan balik guna meningkatkan ketepatan perencanaan kebutuhan obat di RSUD Tidar Kota Magelang tahun 2013. BAHAN DAN CARA Penelitian ini menggunakan desain penelitian kuasi eksperimen dengan rancangan pretest– posttest design. Pre-test sama dengan post-test yaitu berisi mengenai pengelolaan obat terutama masalah yang berhubungan dengan perencanaan. Post-test dilakukan tiga kali, yaitu setelah DKK (post I), 1 bulan setelah post I (post II), 1 bulan setelah post II (post III). Data sekunder dikumpulkan secara retrospektif maupun prospektif dengan cara observasi dokumen yang berhubungan dengan seleksi dan perencanaan obat di RSUD Tidar Kota Magelang pada triwulan pertama (Januari-Maret) dan triwulan ketiga (Juli-September) tahun 2013. Data yang dikumpulkan meliputi anggaran obat, formularium, standar pengobatan, rencana kebutuhan obat, laporan penerimaan dan pengeluaran obat. Wawancara mendalam dilakukan kepada ketua Panitia Farmasi dan Terapi (PFT), tim perencanaan (kepala instalasi farmasi dan koordinator instalasi farmasi), bagian keuangan, dan tim pengadaan.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
23
Octariana Sofyan, dkk.: Pengaruh Intervensi Diskusi Kelompok Kecil
HASIL DAN PEMBAHASAN Anggaran Pengusulan anggaran untuk obat dilakukan sekali dalam setahun yang dilakukan oleh IFRS yang kemudian akan diserahkan kepada tim anggaran RSUD Tidar Kota Magelang. Anggaran untuk obat RSUD Tidar Kota Magelang bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kota Magelang. Anggaran obat akan dilakukan evaluasi bila terjadi kekurangan sehingga dapat diusulkan kembali pada pertengahan atau menjelang akhir tahun. Pada tahun 2013 anggaran yang dimiliki oleh RSUD Tidar Kota Magelang berjumlah Rp53.000.000.000,00 yang mana anggaran untuk pembelanjaan obat selama 10 bulan adalah sebesar Rp14.048.466.000,00 yaitu sebanyak 26,50% dari total anggaran yang dimiliki RSUD Tidar Kota Magelang. Secara terinci anggaran obat adalah sebesar Rp5.395.740.000,00 (regular), Rp5.850.714.000,00 (Askes), dan Rp2.802.012.000,00 dari Jamkesmas. Pada tahun 2013 yaitu sebelum terjadinya perubahan anggaran, dana untuk obat menyerap 26,50% dari total anggaran yang dimiliki oleh RSUD Tidar Kota Magelang. Di banyak negara berkembang belanja obat di rumah sakit dapat menyerap sekitar
40%-50% biaya keseluruhan rumah sakit.3 Belanja perbekalan farmasi yang demikian besar tentunya harus dikelola dengan efektif dan efisien karena dana kebutuhan obat di rumah sakit tidak selalu sesuai dengan kebutuhan. Organisasi a. Instalasi Farmasi Rumah Sakit Instalasi farmasi RSUD Tidar Kota Magelang dikepalai oleh seorang apoteker yang bertanggung jawab langsung kepada Wakil Direktur Pelayanan RSUD Tidar Kota Magelang atas terselenggaranya pelayanan kefarmasian sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Struktur organisasi minimal IFRS harus terdapat tiga unit di bawah kepala instalasi yaitu pengelolaan perbekalan farmasi, pelayanan farmasi klinik, dan manajemen mutu.4 Berdasarkan struktur organisasi minimal yang ditetapkan oleh departemen kesehatan maka struktur organisasi IFRS yang baru diusulkan belum sesuai dengan standar minimalnya. Namun demikian, struktur organisasi minimal IFRS tersebut tidaklah mutlak, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi rumah sakit.
Direktur RSUD Tidar Kota Magelang
Wakil Direktur Pelayanan
Kepala Instalasi Farmasi
Koordinator Instalasi Farmasi
Ka Tim Apotek ASKES
Ka Tim Apotek Jamkesmas
Ka Tim Apotek Reguler
Administrasi Instalasi Farmasi
Ka Tim Gudang ASKES & Jamkesmas
Ka Tim Gudang Reguler
Gambar 1. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD Tidar Kota Magelang
24
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
b.
Panitia Farmasi dan Terapi (PFT) Panitia farmasi dan terapi RSUD Tidar Kota Magelang terbentuk pada tanggal 28 Desember 2010 melalui SK No. 41/SK/RSUD/XII/2010 tentang Panitia Farmasi dan Terapi RSUD Tidar Kota Magelang. Panitia farmasi dan terapi ini diketuai oleh seorang dokter spesialis penyakit dalam dan yang berperan sebagai sekretaris adalah seorang apoteker yang juga menjabat sebagai ketua pokja II ULP. Anggota PFT terdiri dari 2 orang dokter, 2 orang apoteker yang juga bertugas dibagian pengadaan rumah sakit, dan 4 orang perawat. Anggota PFT terdiri dari para dokter, apoteker yang sedapat mungkin berperan sebagai sekretaris, dan tenaga kesehatan lain yang dipilih berdasarkan petunjuk para staf medis.5 Uraian tugas PFT RSUD Tidar Kota Magelang yang berkaitan dengan perencanaan adalah mengembangkan dan menetapkan formularium obat yang diterima untuk digunakan dalam rumah sakit dan mengadakan revisi tetap dan menetapkan kategori obat yang digunakan dalam rumah sakit dan menempatkan tiap obat pada suatu kategori tertentu.
c.
Sumber Daya Manusia Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala instalasi farmasi RSUD Tidar Kota Magelang, jumlah SDM di instalasi farmasi RSUD Tidar Kota Magelang 2012 - 2013 adalah 26 tenaga kerja terdiri 2 apoteker, 20 asisten apoteker, 1 sarjana ekonomi, dan 3 lulusan SMU. Kepala instalasi farmasi, koordinator instalasi farmasi, dan kepala tim gudang reguler adalah seorang apoteker. Administrasi instalasi farmasi adalah seorang tenaga lulusan SMU. Kepala tim apotek ASKES, kepala tim apotek Jamkesmas dan kepala tim apotek reguler dikoordinasi oleh asisten apoteker. Berdasarkan wawancara dengan kepala instalasi farmasi, SDM yang ada masih dirasakan kurang karena volume pekerjaan yang tinggi dan berbagai faktor individu, seperti pengambilan cuti, waktu libur, serta adanya pembagian shift kerja yang membutuhkan jumlah SDM lebih banyak. Selain itu, penambahan jumlah SDM masih membutuhkan tenaga asisten apoteker sekitar sepuluh orang dan penambahan tenaga administrasi.
Regulasi a. Formularium Rumah Sakit Pemberlakuan formularium di RSUD Tidar Kota Magelang mengikuti Keputusan Direktur RSUD Tidar Kota Magelang No. 18/SK/RSUD/ II/2011 tentang pemberlakuan formularium RSUD Tidar Kota Magelang yang bertujuan sebagai panduan dalam perencanaan dan pengendalian pengadaan obat di rumah sakit Formularium berisikan kelas terapi, nama generik, bentuk sediaan dan dosis, nama dagang, dan nama pabrik. Pada formularium tertera kebijakan-kebijakan yang terkait dengan obat yang masuk dalam formularium yaitu semua obat dengan nama generik dan cairan dasar merupakan obat yang secara langsung masuk dalam formularium walaupun tidak tertulis di daftar formularium. Secara singkat permasalahan yang dapat ditemui terkait formularium rumah sakit adalah terkait semua obat dengan nama generik beserta kekuatan sediaan dan dosisnya yang dicantumkan dalam formularium dan pemilihan obat yang masuk dalam formularium belum mempertimbangkan DOEN tahun 2011. b.
Standar Pengobatan Medik (SPM) RSUD Standar pengobatan medik RSUD Tidar Kota Magelang diterbitkan pada tahun 2010. Proses penyusunan SPM ini tidak melibatkan PFT melainkan hanya melibatkan komite medik rumah sakit. SPM berisi tentang nama penyakit, definisi, etiologi, patofisiologi, diagnosis, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, terapi non-farmakologi dan farmakologi, dan komplikasi penyakit. Permasalahan SPM RSUD Tidar Kota Magelang yaitu: 1) SPM tidak mencantumkan secara jelas nama obat yang digunakan untuk tiap penyakit dan aturan pemakaian obat beserta kekuatan sediaan obat, 2) SPM tidak mencantumkan aturan pemakaian dan kekuatan sediaan tiap obat.
Pedoman pengobatan merupakan standar pelayanan medis yang telah dibukukan yang memuat informasi penyakit, terutama penyakit yang umum terjadi, keluhan dan gejala penyakit, serta informasi mengenai pengobatan yang terdiri dari nama obat, kekuatan dosis, dan lama pengobatan.6
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
25
Octariana Sofyan, dkk.: Pengaruh Intervensi Diskusi Kelompok Kecil
Proses Perencanaan Obat Perencanaan obat di RSUD Tidar Kota Magelang dilakukan oleh koordinator IFRS yang selanjutnya diberikan kepada kepala instalasi farmasi untuk disetujui. Perencanaan obat dilakukan dengan mengacu pada formularium dan kartu stok dengan menggunakan metode konsumsi dan berdasarkan jenis pola penyakit yang muncul yang dilakukan setiap satu bulan sekali. Perencanaan obat di suatu rumah sakit meliputi penentuan tentang berapa banyak obat akan diadakan, baik jenis maupun jumlah yang dikaitkan dengan pertimbangan terhadap sumber dan jumlah anggaran.7 Siklus perencanaan kebutuhan obat terdiri dari usulan daftar perencanaan obat, realisasi dan daftar pemakaian obat. Permasalahan yang ditemui pada proses perencanaan kebutuhan obat adalah sebagai berikut: Proses perencanaan kebutuhan obat tidak memperhatikan kunjungan pasien dan pola penyakit terbesar. Proses perencanaan kebutuhan obat tidak mengacu pada DOEN dan pedoman pengobatan. Masih banyaknya obat yang tidak termasuk dalam formularium. Adanya kunjungan sales obat yang mempengaruhi proses perencanaan kebutuhan obat dan Evaluasi mengenai kesesuaian obat dengan formularium tidak pernah dilakukan oleh pihak IFRS RSUD Tidar Kota Magelang. Diskusi Kelompok Kecil Hal utama yang dibahas pada DKK yaitu hasil temuan data evaluasi perencanaan obat pada bulan Januari hingga Maret tahun 2013, antara lain mengenai kesesuaian obat dalam perencanaan dengan formularium, kesesuaian obat dengan DOEN, alokasi dana, perbandingan antara jumlah jenis obat yang ada dalam perencanaan dengan jumlah jenis obat dalam kenyataan pemakaian, dan perbandingan
antara jumlah obat dari satu item obat dalam perencanaan dengan jumlah obat dari jenis tersebut dalam kenyataan pemakaian. Selama proses diskusi berlangsung, terungkap bahwa dalam perhitungan kebutuhan obat petugas tidak mempertimbangkan jumlah kunjungan pasien, pola penyakit terbesar di RSUD Tidar Kota Magelang, SPM, dan petugas pengelola obat juga belum mengenal DOEN. Selain itu, terungkap bahwa dalam melakukan perencanaan kebutuhan obat, lokasi dan informasi yang diberikan oleh sales obat sangat besar dalam menentukan jumlah obat yang akan direncanakan. Perhitungan kebutuhan obat di RSUD Tidar Kota Magelang hanya memperhatikan jumlah pemakaian tiga bulan sebelumnya ditambah dengan 30% dengan mempertimbangkan kesesuaian obat dengan formularium dan penyakit yang sedang marak terjadi di kota magelang. Hasil DKK ini dapat disimpulkan bahwa proses perencanaan kebutuhan obat masih belum sesuai dengan pedoman perbekalan farmasi di rumah sakit sehingga disepakati untuk meningkatkan ketepatan perencanaan kebutuhan obat untuk selanjutnya. Indikator Perencanaan Kebutuhan Obat a. Kesesuaian Obat dengan Formularium RSUD Tidar Kota Magelang Gambar 1, menunjukkan bahwa perencanaan kebutuhan obat pada saat sebelum dilakukannya intervensi DKK yaitu ASKES memiliki persentase paling tinggi dan perencanaan kebutuhan obat Jamkesmas memiliki persentase kesesuaian obat dengan formularium yang paling rendah. Setelah dilakukannya intervensi DKK persentase kesesuaian obat dengan formularium pada perencanaan kebutuhan obat regular, ASKES, dan Jamkesmas mengalami peningkatan.
Gambar 1. Persentase Kesesuaian Obat dengan Formularium
26
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Intervensi DKK dapat meningkatkan kesesuaian obat dengan formularium, namun secara statisitik kenaikkan ini tidak bermakna (p>0,05) sehingga masih perlu dilakukan evaluasi terhadap formularium yang berlaku yaitu dengan meningkatkan koordinasi antara IFRS dengan PFT sehingga kebijakan mengenai penambahan obat baru melalui sisipan formularium sebelum formularium baru dibuat dapat berjalan dengan baik. b.
terhadap hasil perencanaan kebutuhan obat yang menjadi berlebih karena proses perencanaan kebutuhan obat hanya menyesuaikan dengan alokasi dana yang tersedia. Namun secara statistik kenaikkan persentase ini tidak bermakna secara signifikan (p>0,05). c.
Persentase Jumlah Jenis Obat dalam Perencanaan dan Kenyataan Pemakaian Perencanaan yang baik adalah perencanaan yang mendekati pada kenyataan. Oleh karena itu, perbandingan antara perencanaan dan kenyataan yang mendekati atau 100% akan semakin baik.8 Gambar 2 menunjukkan bahwa sebelum intervensi DKK masih banyaknya jumlah perencanaan kebutuhan obat yang pada kenyataannya tidak digunakan dalam sebulan (>100%), hal ini disebabkan karena dalam proses perencanaan kebutuhan obat tidak memperhatikan jumlah kunjungan pasien reguler, ASKES, dan Jamkesmas serta tidak dapat memperkirakan fluktuatif pergerakan obat yang dipengaruhi pola peresepan dokter.
Kesesuaian Obat dengan DOEN Tahun 2011 Penetapan obat yang termasuk dalam DOEN telah mempertimbangkan faktor drug of choice, analisis biaya dan manfaat, serta didukung dengan data ilmiah.3 Gambar 3 menunjukkan bahwa persentase kesesuaian obat dengan DOEN mengalami peningkatan setelah dilakukannya intervensi DKK, namun tidak signifikan (p>0,05).
Gambar 3. Persentase Kesesuaian Obat dengan DOEN Tahun 2011
d.
Gambar 2. Persentase Jumlah Jenis Obat dalam Perencanaan dan Kenyataan Pemakaian
Setelah dilakukan intervensi DKK, rata-rata persentase jumlah item obat dalam perencanaan dengan jumlah jenis obat dalam kenyataan pemakaian mengalami kenaikan persentase. Hal ini disebabkan karena alokasi anggaran obat yang berlebih, sehingga direktur RSUD Tidar Kota Magelang membuat kebijakan untuk mengoptimalkan anggaran pembelanjaan untuk obat kepada pihak IFRS. Hal ini, berdampak besar
Persentase Ketepatan Perencanaan Ketepatan perencanaan adalah perbandingan jumlah obat dari satu item obat dalam perencanaan dengan jumlah obat dari jenis tersebut dalam kenyataan pemakaian.9 Pada Gambar 4 menunjukkan bahwa setelah dilakukannya intervensi DKK persentase ketepatan perencanaan kebutuhan obat belum dapat mencapai angka 100% dan masih banyak obat yang berlebih. Hal ini dipengaruhi oleh adanya kebijakan dari direktur RSUD Tidar Kota Magelang untuk mengoptimalkan anggaran pembelanjaan obat kepada pihak IFRS, sehingga perencanaan kebutuhan obat menjadi berlebih. Penurunan persentase ketepatan perencanaan secara signifikan terjadi pada kategori obat reguler dan ASKES (p<0,05) namun tidak signifikan untuk kategori obat Jamkesmas (p>0,05).
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
27
Octariana Sofyan, dkk.: Pengaruh Intervensi Diskusi Kelompok Kecil
pada bulan juni anggaran untuk obat di indikasikan berlebih sehingga terdapat kebijakan direktur RSUD Tidar Kota Magelang untuk mengoptimalkan dana yang ada sehingga pada bulan Juli dan Agustus pembelanjaan obat menjadi berlebih akibat dana yang berlebih. Dana yang berlebih ini disebabkan karena telah ditiadakannya program untuk kemoterapi sehingga dana obat kemoterapi dialihkan kepada pembelanjaan obat yang lainnya.
Gambar 4. Persentase Ketepatan Perencanaan
e.
Alokasi Anggaran Pada tahun 2013 anggaran obat yang tersedia untuk pembelanjaan obat selama 10 bulan adalah sebesar Rp14.048.466.000,00. Tabel 1 menunjukkan bahwa dana yang tersedia untuk realisasi perencanaan kebutuhan obat pada bulan Januari hingga Maret mencapai angka 100%. Pada Tabel 2 menunjukkan besarnya persentase penyerapan anggaran obat tiap bulannya terhadap dana yang tersedia. Tabel 1. Persentase Alokasi Anggaran Obat RSUD Tidar Tahun 2013 Dana yang Dana yang Bulan % tersedia dibutuhkan Januari 865.456.320 865.456.320 100 Februari 1.574.307.928 1.574.307.928 100 Maret 1.465.007.266 1.465.007.266 100 April 1.654.621.655 1.654.621.655 100 Mei 1.225.914.608 1.225.914.608 100 Juni 1.426.928.116 1.426.928.116 100 Juli 2.292.859.514 2.292.859.514 100 Agustus 3.090.110.599 3.090.110.599 100 September 1.294.227.848 1.294.227.848 100
Tabel 2. Persentase Anggaran Obat yang Digunakan terhadap Anggaran yang Tersedia untuk Pengadaan Obat Bulan Januari-September Tahun 2013 Dana yang tersedia Dana yang % untuk pengadaan digunakan untuk obat pengadaan obat 865.456.320 6,16 1.574.307.928 11,20 1.465.007.266 10,42 1.654.621.655 11,77 14.048.466.000 1.225.914.608 8,72 1.426.928.116 10,15 2.292.859.514 16,32 3.090.110.599 22 1.294.227.848 9,21
Berdasarkan hasil wawancara, penggunaan dana ini disesuaikan dengan kebutuhan pasien yang meningkat sehingga pembelanjaan obat juga ikut meningkat agar kebutuhan pasien terpenuhi. Namun
28
KESIMPULAN Intervensi DKK yang disertai umpan balik tidak meningkatkan kesesuaian obat dengan formularium, Kesesuaian obat dengan DOEN dan kesesuaian jumlah jenis obat antara perencanaan dan pemakaian. Alokasi dana obat yang dibutuhkan telah mencapai 100% terhadap dana yang tersedia. Ketepatan perencanaan untuk kategori obat reguler dan ASKES sebelum dan sesudah intervensi DKK mengalami penurunan yang signifikan. Hendaknya PFT terlibat langsung dalampembuatan SPM bekerja sama dengan komite medik rumah sakit guna memperbaiki serta mengevaluasi standar pengobatan agar dapat dijadikan acuan dalam proses perencanaan kebutuhan obat. Disarankan PFT mengevaluasi dan memonitoring secara aktif penggunaan formularium sebagai acuan dalam proses perencanaan kebutuhan obat. Obat generik sebaiknya tetap dicantumkan dalam formularium rumah sakit beserta kekuatan sediaan dan jenis sediaannya agar lebih jelas. Tim pengadaan obat sebaiknya melakukan evaluasi atau pengecekan kembali terhadap daftar perencanaan kebutuhan obat yang akan direalisasikan. Perlu adanya evaluasi terhadap kebijakan yang berkaitan dengan proses perencanaan kebutuhan obat guna lebih meningkatkan kepatuhan petugas pengelola obat dalam melakukan perencanaan kebutuhan obat. Intervensi intervensi regulasi dan intervensi edukasi dapat diterapkan untuk lebih dapat meningkatkan ketepatan perencanaan kebutuhan obat di RSUD. REFERENSI 1. Quick JD, Hume ML, Rankin JR, & O’Connor RW. Managing Drug Supply. 2nd ed. Management Sciences For Health. Kumarin Press. Boston. 1997. 2. Koontz H, O’Donnell C, and Weihrich H. Management. 8th ed. Mc Graw Hill International Company. Tokyo. 1984. 3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta. 2008.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
4.
5. 6.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Jakarta. 2006. Hasan WE. Hospital Pharmacy, Fifth Edition. Lea and Febiger. Philadelphia. 1986. Halloway K, Green T. Drug and Therapeutics Committees, WHO, Management Sciences for Health, Arlington. 2003.
7.
8.
9.
Muktiningsih SR. Pengelolaan Obat Di Rumah Sakit Kelas A dan B. Medika, No. 11 Tahun 12, November 1986. Pudjaningsih D. Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat di Farmasi. Tesis Manajemen Rumah Sakit. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 1996. Pudjaningsih D.& Santoso B. Pengembangan Indikator Efisiensi Pengelolaan Obat Di Farmasi Rumah Sakit. Logika,2006;3(1) Januari.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 17, No. 1 Maret 2014
29