JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN VOLUME 15
No. 03 September 2012 Andi Heryono, dkk.: Lama Waktu Operasi, Luas Daerah Operasi,
Halaman 140 - 146 Artikel Penelitian
LAMA WAKTU OPERASI, LUAS DAERAH OPERASI, BANYAKNYA LARUTAN IRIGASI DAN JENIS ANESTESI DENGAN KOMPLIKASI YANG TERJADI PASCAODONTEKTOMI RELATIONSHIPS AMONG OPERATING TIME, OPERATING AREA, AMOUNT OF IRRIGATION AND TYPE OF ANAESTHESIA USED WITH POST ODONTECTOMY COMPLICATIONS Andi Heryono1, Dibyo Pramono2, Adi Utarini3 Minat Magister Manajemen Rumah Sakit, FK UGM, Yogyakarta 2 Fakultas Kedokteran Gigi UGM, Yogyakarta 3 Minat Magister Manajemen Rumah Sakit dan Bagian IKM, FK UGM, Yogyakarta 1
ABSTRACT Background: There have been changes in clinical performance management paradigm. Previously, clinical management focused on the outcome occurred. Nowadays, the improvement of health care processes becomes the main focus. Impacted-tooth case is a frequentdental problem and a major cause of patient complaints.Common complications during odontectomy are oedema, trismus, paresthesia and dry socket. Objective: This research aims to measure the relations between operating time, operating area, amount of irrigation and type of anaesthesia used with post odontectomy complications, and to measure factors affecting odontectomy complications. Methods: This study applied a cross-sectional study design. Data were collected prospectively at Cipto Mangunkusumo Central Hospital, consisting of subjective and objective clinical examinations. Patient complaints post odontectomy, length of surgery, operations area, amount of irrigations and type of anaesthesia used were collected.The data obtained were analyzed by using multiple logistic regression methods. Results: There were 57 patients aged 18-55 years. Co-morbidity was significantly associated with higher odontectomy complications (p=0.026). Oedema, trismus, and paresthesia increased with increasing length of surgery. However, length of operation, operations area, amount of irrigations and type of anaesthesia used were not statistically associated to odontectomy complications. Conclusions:Co-morbidity is associated with higher postoperative morbidity. In revising and implementing clinical protocol, co-morbidity should be considered as an important factor. Keywords: clinical performance, complications, odontectomy, teaching hospital
ABSTRAK Latar belakang: Perubahan paradigma manajemen kinerja klinis yang semula terfokus pada keluaran klinis, saat ini lebih menekankan pada mengurangi variasi proses pelayanan kesehatan. Gigi terpendam (impaksi) merupakan tindakan operasi yang sering dilakukan dan merupakan masalah yang sering menimbulkan keluhan pasien. Pencabutan gigi impaksi (odontektomi) sering menimbulkan komplikasi seperti edema, trismus, parestesi dan dry socket. Tujuan: Untuk mengukur hubungan antara lama waktu operasi, jenis anestesi yang digunakan, banyaknya larutan irigasi yang
140
digunakan dan luas daerah operasi dengan komplikasi yang terjadi pascaodontektomi dan mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komplikasi pascaodontektomi. Metode: Studi ini menggunakan rancangan cross-sectional. Pengumpulan data dilakukan secara prospektif di RSUP Cipto Mangunkusumo dengan menggunakan pemeriksaan klinis subyektif dan obyektif pada 57 pasien dewasa. Data yang dikumpulkan adalah keluhan penderita pascaodontektomi, lamanya waktu operasi, luas daerah operasi, banyaknya irigasi yang dilakukan dan jenis anestesi yang digunakan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode multiple logistic regression Hasil: Faktor komorbiditas memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan komplikas i pascaodontektomi (p=0,026). Insidensi edema, trismus, dan parestesi meningkat sejalan dengan waktu operasi yang semakin panjang. Durasi operasi, luas daerah operasi, banyaknya larutan irigasi dan jenis anestesi yang digunakan tidak berpengaruh secara signifikan dengan komplikasi pascaodontektomi. Kesimpulan: Faktor ko-morbiditas berhubungan dengan insidensi komplikasi yang lebih tinggi. Penelitian ini menyarankan agar komorbiditas diantisipasi dalam merevisi dan melaksanakan standar operasional prosedur klinis untuk odontektomi. Kata kunci: kinerja klinis, komplikasi odontektomi, rumah sakit pendidikan
PENGANTAR Rumah sakit semakin dituntut untuk menerapkan tata kelola klinis (clinical governance) untuk meminimalkan kejadian yang tidak diinginkan (KTD). Pada implementasi tata kelola klinis, rumah sakit dapat mengembangkan pedoman klinis (clinical guidelines), menyusun dan menerapkan prosedur dan intervensi klinis sesuai pedoman, serta mengevaluasi penggunaan teknologi seperti obat dan peralatan medis.1 Salah satu pilar penting dalam tata kelola klinis adalah kinerja klinis (clinical performance). Di masa lalu, manajemen kinerja klinis terfokus pada keluaran klinis, yang merupakan hasil akhir pelayanan kese-
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 15, No. 3 September 2012
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
hatan. Namun demikian, fokus terhadap keluaran akan sulit ditingkatkan mutunya tanpa perbaikan terhadap variasi proses pelayanan kesehatan yang diberikan.2 Pelayanan kesehatan gigi dan mulut sebagai bagian dari pelayanan kesehatan secara umum juga tidak terlepas dari upaya peningkatan mutu. Laporan Riskesdas 20073 menunjukkan bahwa terdapat 23,5% penduduk Indonesia yang mengalami masalah gigi dan mulut. Dari berbagai permasalahan gigi dan mulut, gigi terpendam (impaksi) merupakan masalah yang sering menimbulkan keluhan pasien. Pencabutan gigi impaksi (odontektomi) merupakan tindakan operasi minor yang paling sering dilakukan oleh dokter spesialis bedah mulut. Sebagai ilustrasi, di University College Hospital, Ibadan, 79% operasi minor yang dilakukan adalah kasus gigi impaksi.4 Gigi dinyatakan impaksi apabila setelah mengalami pembentukan akar sempurna, gigi mengalami kegagalan erupsi ke bidang oklusal.5 Gigi molar ketiga merupakan gigi paling sering mengalami impaksi.6 Dari hasil penelitian sebelumnya, diketahui prevalensi impaksi molar ketiga bawah mencapai 72,7% pada usia 20-30 tahun.7 Penelitian terbaru menunjukkan bahwa erupsi gigi molar ketiga, terutama pada rahang bawah, biasanya disertai dengan berbagai macam komplikasi seperti perikoronitis yang berulang, kerusakan gigi molar kedua akibat impaksi makanan, lesi periodontal di bagian distal molar kedua, dan kista folikular pada molar ketiga.8 Komplikasi yang mungkin terjadi akibat odontektomi pada setiap individu berbeda-beda tergantung dari tingkat sensitivitas dan derajat kesulitan impaksi yang terjadi. Tingkat kejadian komplikasi akibat odontektomi menurut Bui9 berkisar antara 2,6% hingga 30,9%. Komplikasi yang paling sering terjadi adalah rasa sakit, edema, dan trismus akibat edema yang terjadi.6,7 Kejadian ini juga dapat disertai dengan terjadinya parastesi pada daerah yang dilakukan pembedahan. Hampir semua komplikasi yang terjadi bersifat sementara, akan tetapi dalam beberapa kasus, parastesi dapat menjadi permanen dan menyebabkan permasalahan fungsional lainnya.10 Faktor yang banyak diasosiasikan dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi akibat pencabutan molar ketiga antara lain: usia; jenis kelamin; pemberian obat seperti antibiotik, kortikosteroid atau kontrasepsi oral; merokok; infeksi sebelumnya; periodontitis; higiene mulut yang buruk; pengalaman operator; tingkat kesulitan impaksi; lama pencabut-
an; irigasi yang tidak adekuat; jumlah gigi yang dicabut; dan jenis anestesi yang dilakukan.5,9,10,11 Teknik pembedahan memiliki peranan yang paling besar dalam terjadinya komplikasi pasca pembedahan.10 Dengan penatalaksanaan odontektomi yang sesuai dengan standar operasional prosedur, maka diharapkan dapat meminimalkan angka kejadian komplikasi pascaodontektomi. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur hubungan antara lama waktu operasi, jenis anestesi yang digunakan, banyaknya larutan irigasi yang digunakan dan luas daerah operasi dengan komplikasi yang terjadi pascaodontektomi dan mengukur faktor-faktor yang berpengaruh terhadap komplikasi pascaodontektomi. BAHAN DAN CARA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan rancangan crosssectional survey. Penelitian ini dilakukan di RSUP Cipto Mangunkusumo, dengan kurang lebih 30 pasien odontektomi setiap bulannya. Subjek penelitian adalah seluruh pasien yang menjalani perawatan odontektomi di RSUP Cipto Mangunkusumo dari bulan Mei- Juni 2012 dengan kriteria inklusi sebagai berikut: 1) Pasien dewasa dengan impaksi molar ketiga rahang bawah; 2) Perawatan dilakukan oleh peserta Program Pendidikan Dokter Gigi Spesialis (PPDGS) bedah mulut yang sudah melewati stase bedah dasar; 3) Perawatan odontektomi dilakukan di ruang bedah minor dan bedah pusat RSUP Cipto Mangunkusumo; 4) Pasien bersedia menjadi subjek penelitian setelah mendapatkan informasi yang lengkap. Kriteria ekslusi adalah pasien yang melakukan odontektomi lebih dari 4 gigi secara bersamaan. Data yang telah diperoleh ditabulasikan ke dalam analisis deskriptif menurut jumlah pasien menurut jenis kelamin, kelompok pasien menurut usia, jenis anestesi yang digunakan, durasi operasi, banyaknya irigasi yang digunakan, luas daerah operasi, dan jenis komplikasi yang terjadi. Selanjutnya dilakukan analisis multivariat dengan multiple logistic regressión untuk mengetahui faktor yang paling berpengaruh terhadap komplikasi yang terjadi. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Subyek penelitian berjumlah 57 pasien dengan impaksi molar ketiga rahang bawah yang menjalani tindakan odontektomi di poli bedah mulut RSUP Cipto Mangunkusumo. Terdapat 25 pasien laki-laki (43.86%) dan 32 pasien perempuan (56.14%) (Tabel 1).
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 15, No. 3 September 2012
141
Andi Heryono, dkk.: Lama Waktu Operasi, Luas Daerah Operasi,
Tabel 1. Karakteristik pasien odontektomi
Variabel Jenis Kelamin - Laki-laki - Perempuan Usia Pasien - 16-25 tahun - 26-35 tahun - > 36 tahun Faktor Komorbiditas - Ada - Tidak ada Pengalaman Odontektomi sebelumnya - Ya - Tidak
N
%
25 32
43.86 56.14
23 16 18
40.35 28.07 31.58
9 48
15.79 84.22
4 53
7.02 92.98
Dari total pasien yang melakukan odontektomi, sebagian besar berusia 16-25 tahun (23 pasien, 40,35%) danlebih dari 84% dari seluruh pasien tidak pernah memiliki penyakit penyerta lain. Hampir seluruh pasien belum pernah menjalani odontektomi sebelumnya (Tabel 1). Tabel 2. Karakteristik tindakan odontektomi Variabel n % Komplikasi - Ada 22 38.60 - Tidak 35 61.40 Derajat Kesulitan Gigi Impaksi - Kelas impaksi menurut Pell dan Gregory I 30 53.63 II 19 33.33 III 8 14.03 - Posisi gigi dengan klasifikasi Winter Mesioangular 27 47.37 Distoangular 7 12.28 Horizontal 16 28.07 Vertikal 7 12.28 Durasi Operasi - < 40 menit 23 40.35 - 40-80 menit 11 19.30 - >80 menit 23 40.35 Jenis Anestesi - Umum 27 47.37 - Lokal (Indirect mandibular block) 30 52.63 Banyak Irigasi - < 40 cc 19 33.33 - 40-80 cc 15 26.32 - > 80 cc 23 40.35 Luas Daerah Operasi - < 4000 mm3 23 40.35 - 4000-8000 mm3 25 43.86 - > 8000mm3 9 15.79
Sebanyak 22 (38,60%) pasien mengalami komplikasi dari tindakan odontektomi (Tabel 2). Komplikasi yang terjadi berupa parestesi akibat cederanervus alveolaris inferior (10 kasus), edema (11 kasus) dan parestesi (1 kasus). Sejumlah 10 pasien mengalami lebih dari satu komplikasi. Hampir separuh pasien mempunyai posisi gigi mesioangular (47.36%) dan kelas impaksi I (53,63%). Pasien odontektomi yang mendapat anes-
142
tesi umum dan lokal juga berimbang (52,63% dengan anestesi lokal), sedangkan yang memperoleh antibiotik preoperatif juga hanya separuhnya (47.37%). Durasi operasi terlama yaitu 3 jam 20 menit dengan menggunakan anestesi umum dan durasi operasi tercepat yaitu 15 menit dengan menggunakan anestesi lokal. Adapun untuk luas daerah operasi yang terbesar yaitu 12100 mm3 dan luas daerah operasi terkecil yaitu sebesar 1024 mm3. Tabel 3. Analisis bivariat faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian komplikasi tindakan odontektomi dengan menggunakan uji simple logistic regression Variabel Usia Durasi Operasi Luas Daerah Operasi Banyak Irigasi
B
SE
P
OR (95% CI)
-.045 .000 .000 .003
.030 .000 .000 .002
.135 .002 .026 .105
.956 (0.90-1.01) 1.00 (1.00-1.00) 1.00 (1.00-1.00) 1.00 (0.99-1.01)
Tabel 3 menunjukkan hubungan bivariat antara variabel usia, durasi operasi, luas dareah operasi, dan banyak larutan irigasi terhadap komplikasi yang terjadi menggunakan uji simple logistic regression. Variabel-variabel tersebut tidak meningkatkan resiko terjadinya komplikasi. Tabel 4 menunjukkan hubungan langsung antara derajat keparahan impaksi gigi berdasarkan kelas impaksi dengan terjadinya komplikasi pascaodontektomi. Sebagian besar komplikasi terjadi pada derajat keparahan impaksi yang lebih tinggi. Jenis anestesi, komorbiditas dan derajat kesulitan impaksi meningkatkan risiko untuk terjadi komplikasi, namun tidak ada yang signifikan secara statistik. Posisi impaksi gigi molar ketiga terlihat cukup berpengaruh terhadap insidensi komplikasi pascaodontektomi. Angka kejadian komplikasi terjadi lebih banyak pada posisi impaksi mesioangular (19.30%) dan horizontal (12.28%) jika dibandingkan dengan posisi lain. Lebih lanjut, dari 6 kasus parestesi, 3 kasus memiliki posisi mesioangular. Faktor komorbiditas diketahui memiliki pengaruh yang signifikan secara statistik terhadap terjadinya komplikasi yang terjadi pascaodontektomi (Tabel 5). Hal tersebut menyatakan bahwa pasien dengan penyakit penyerta memiliki kemungkinan 14,6 kali lebih besar untuk mengalami komplikasi pascaodontektomi. Faktor lama waktu operasi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap terjadinya komplikasi yang terjadi pascaodontektomi. PEMBAHASAN Komplikasi pascaodontektomi yang paling sering terjadi berdasarkan literatur antara lain infeksi, edema, perdarahan, trismus dan parastesi. 5,9,11 Insi-
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 15, No. 3 September 2012
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Tabel 4. Analisis bivariat faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian komplikasi tindakan odontektomi dengan uji chi square Komplikasi Tanpa Komplikasi 2 Variabel X p OR (95% CI) n % n % Jenis Anestesi - Lokal (Indirect Mandibular Block) 9 15.79 21 36.84 - Umum 13 22.80 14 24.56 1.283 0.257 2.617 (0.731-6.419) Jenis Kelamin - Pria 11 19.30 14 24.56 - Wanita 11 19.30 21 42.10 0.218 0.641 0.667 (0.228-1.953) Faktor Komorbiditas - Tidak ada 16 28.07 32 56.14 - Ada 6 10.53 3 5.26 2.286 0.131 4.000 (0.883-18.112) Pengalaman OD sebelumnya - Tidak ada 21 42.10 32 56.14 - Ada 1 1.75 3 5.26 0.002 0.963 0.508 (0.049-5.216) Derajat Kesulitan Gigi Impaksi - Klasifikasi Pell dan Gregory (Kelas Impaksi) I 8 14.03 22 38.60 II 10 17.54 4 7.02 2.350 0.125 3.056 (0.911-10.254) III 4 7.02 9 15.79 0.695 0.405 2.750 (0.553-13.687) - Klasifikasi Winter (Posisi gigi) Vertikal 1 1.75 6 10.53 Distoangular 3 5.26 4 7.02 0.184 0.668 3.600 (0.280-46.359) Horizontal 7 12.28 9 15.79 0.990 0.320 5.250 (0.502-54.911) Mesioangular 11 19.30 16 28.07 0.742 0.389 4.125 (0.434-39.211)
Tabel 5. Analisis multivariat faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian komplikasi tindakan odontektomi B
SE
p
OR (95% CI)
Durasi Operasi Luas Daerah Operasi
Variabel
.001 .000
.000 .000
.011 .085
1.001(1.000-1.001) 1.000 (1.000-1.001)
Banyaknya Irigasi
-.005
.005
.247
.995 (0.986-1.004)
Usia
-.092
.048
.053
.912 (0.830-1.001)
Faktor Komorbiditas Kelas Impaksi
2.683 -.741
1.209 .805
.026 .357
14.623 (1.369-156.223) .477 (0.098-2.308)
densi komplikasi yang terbesar dalam penelitian ini adalah terjadinya edema, yang terkadang disertai dengan adanya trismus. Edema terjadi karena adanya trauma setempat, terutama pada saat pengangkatan tulang di sekitar gigi impaksi. Komplikasi yang terjadi pada penelitian ini cukup besar. Secara keseluruhan, total insidensi komplikasi yang terjadi dalam penelitian ini adalah 38.60% dari 57 pasien yang melakukan tindakan odontektomi. Pada studi sebelumnya, terdapat variasi kasus terjadinya komplikasi pascaodontektomi. Penelitian sebelumnya mencatat kejadian komplikasi pascaodontektomi sebesar 6,9%10dan 4,6%.9 Kejadian komplikasi pada hari keempat pascaodontektomi adalah sebesar 36,5%.5 Dengan demikian, rerata komplikasi pascaodontektomi di Indonesia masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan kejadian di luar negeri. Secara umum, faktor resiko yang berkaitan dengan komplikasi yang terjadi antara lain usia pasien, jenis kelamin, jenis anestesi yang digunakan, ba-
nyaknya cairan irigasi, adanya penyakit penyerta, dan posisi gigi M3 rahang bawah impaksi.4,5,11,12 Usia merupakan salah satu variabel yang paling banyak dikutip faktor resiko yang berkaitan dengan komplikasi pascaodontektomi.Seperti halnya hasil penelitian Dwipayanti et al.5 hasil penelitian ini menunjukkan bahwa usia bukan merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya komplikasi pascaodontektomi. Hasil tersebut bertentangan dengan penelitian Bui et al.9 yang menyatakan semakin meningkatnya usia, semakin tinggi kemungkinan terjadinya komplikasi pascaodontektomi. Usia banyak dikutip dalam berbagai literatur berkaitan dengan adanya peningkatan densitas tulang pada kelompok usia yang semakin tinggi, dimana hal tersebut, pada usia yang lebih tinggi, kepadatan tulang di sekitar gigi impaksi lebih rigid daripada usia muda dan mengharuskan dilakukannya pembuangan tulang yang lebih banyak sehingga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya komplikasi pasca pencabutan.11
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 15, No. 3 September 2012
143
Andi Heryono, dkk.: Lama Waktu Operasi, Luas Daerah Operasi,
Penelitian ini menemukan bahwa faktor penyakit penyerta mempengaruhi komplikasi secara signifikan. Adanya penyakit penyerta dapat meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya komplikasi pascaodontektomi sebesar 14.6 kali jika dibandingkan dengan pasien tanpa penyakit penyerta.Temuan ini tidak berbeda dengan penelitian Bui et al.9. Terdapatnya faktor komorbiditas akan dapat mengganggu proses penyembuhan pascaodontektomi. Perbedaan rentang jarak antara lower 95% CI dan upper 95% CI terjadi karena jumlah sampel yang diperoleh terlalu sedikit dan tidak dapat menggambarkan kejadian secara keseluruhan. Terdapatnya faktor komorbiditas akan dapat mengganggu proses penyembuhan pascaodontektomi. Pada penyakit diabetes yang tidak terkontrol, gula darah yang tinggi akan menyebabkan penurunan kecepatan penyembuhan yang terjadi. Adapun pada penyakit jantung, penggunaan bahan anestesi harus benar-benar diawasi, yaitu dengan menggunakan bahan anestesi yang tidak mengandung adrenalin. Akan tetapi dalam penelitian ini, seluruh penyakit penyerta seperti diabetes dan jantung sudah dalam keadaan terkontrol, sehingga tidak memberikan perbedaan yang signifikan pada kejadian komplikasi pascaodontektomi. Variabel durasi operasi tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan komplikasi yang terjadi pascaodontektomi. Hal ini konsisten dengan hasil penelitian sebelumnya.11 Walaupun hasil penelitian ini tidak menunjukkan hubungan yang signifikan, data penelitian menunjukkan peningkatan terjadinya komplikasi seperti rasa sakit, trismus, dan kesulitan menelan pada durasi operasi yang lebih lama. Rerata lama waktu tindakan odontektomi dalam penelitian ini, yaitu 68,17 menit, dengan rerata lama waktu odontektomi dengan anestesi umum 101 menit dan anestesi lokal 41 menit, jauh lebih lama dibanding dengan penelitian lain11yanghanya 22,63 menit pada tindakan odontektomi dengan anestesi lokal. Perbedaan durasi operasi dapat terjadi akibat banyak faktor seperti halnya definisi operasional lama waktu operasi, pengalaman dokter, ataupun terdapatnya faktor penyulit pada saat tindakan odontektomi dilakukan.Terdapat perbedaan definisi operasional antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya, dengan definisi dari lama waktu operasi adalah lama waktu yang dibutuhkan dimulai dari insisi pertama hingga flap selesai dijahit. Tindakan odontektomi dilakukan oleh seorang dokter ahli bedah mulut senior11, sedangkan dalam penelitian ini, odontektomi dilakukan oleh 10 PPDGS bedah mulut di RSUP Cipto Mangunkusumo.Hampir sebagian besar residen tersebut merupakan PPDGS tahun keempat,
144
yang sudah melewati stase bedah dasar. Sebagian besar PPDGS bedah mulut dalam penelitian ini telah melakukan odontektomi minimal 70 kali. PPDGS selaku operator memiliki kewenangan dalam menentukan tindakan perawatan yang akan dilakukan dengan pengawasan dari konsulen yang sedang bertugas saat tindakan dilakukan. Penelitian ini tidak menemukan hubungan yang signifikan antara luas daerah operasi, jenis anestesi yang digunakan, banyak larutan irigasi, dan perbedaan jenis kelamin dengan komplikasi yang terjadi pascaodontektomi. Hal ini konsisten dengan penelitian sebelumnya9 yang tidak menemukan hubungan yang signifikan antara perbedaan jenis kelamin dan jenis anestesi yang digunakan dengan terjadinya komplikasi. Perbedaan jenis kelamin banyak dikaitkan dengan lebih tingginya konsumsi obat-obatan pada wanita jika dibandingkan dengan pria.9 Pada penelitian ini, sebagian besar pasien dalam keadaan sehat dan tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan.Hanya pasien dengan penyakit penyerta (15.79%) yang diketahui sedang mengkonsumsi obat-obatan. Luas daerah operasi tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan komplikasi pascaodontektomi. Meskipun demikian, data penelitian ini menunjukkan kecenderungan bahwa semakin luas daerah operasi, semakin besar peluang pasien untuk mengalami komplikasi pascaodontektomi. Hal ini berkaitan dengan banyaknya pembuangan tulang yang dilakukan pada saat odontektomi. Semakin besar tulang yang diambil, semakin besar kerusakan jaringan yang terjadi pada daerah di sekitar gigi.4 Anestesi umum seringkali disebutkan sebagai faktor resiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi. Akan tetapi, dalam penelitian ini tidak diketemukan hubungan yang signifikan antara jenis anestesi yang digunakan dengan komplikasi yang terjadi pascaodontektomi.Selain jenis anestesi, banyaknya larutan irigasi juga ditengarai menjadi faktor resiko terjadinya komplikasi pascaodontektomi.Hasil analisis multiple logistic regression menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara banyak larutan irigasi yang digunakan dengan komplikasi yang terjadi pascaodontektomi. Banyaknya cairan irigasi sering dikaitkan dengan komplikasi yang terjadi karena apabila irigasi yang dilakukan pada saat pengambilan tulang dilakukan kurang adekuat, dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan tulang di sekitar daerah operasi akibat panas yang ditimbulkan pada saat penggunaan bur tulang. Pemberian obat pascaodontektomi pada pasien juga dapat memberikan efek pada proses penyembuhan yang terjadi. Pada penelitian ini, sebagian besar pasien dengan anestesi lokal diberi antibiotika,
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 15, No. 3 September 2012
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
anti inflamasi dan analgesik. Hanya sebagian kecil pasien yang diberi antibiotika dan analgesik saja. Antibiotika yang diberikan berasal dari golongan penicillin yaitu Co-amoxiclav dan amoxicillin.Anti inflamasi yang diberikan berasal dari golongan Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAIDs) yaitu cataflam dan nonflamin, dan analgesik yang diberikan berasal dari golongan opioid (tramadol) dan Mefenamat. Pasien yang melakukan odontektomi dengan menggunakan general anaesthesia seluruhnya diberi antibiotik golongan cephalosporine (ceftriaxone), anti inflamasi golongan NSAIDs (ketorolac), dan H2 inhibitor (ranitidin). Hampir sebagian besar pasien yang mengalami komplikasi pascaodontektomi diberi anti inflamasi berupa cataflam. Adapun hanya sebagian kecil pasien yang mengalami komplikasi yang diberi anti inflamasi berupa nonflamin. Operator menentukan seluruh obat yang diberikan pada pasien yang melakukan tindakan odontektomi. Pemberian obat tersebut ditentukan berdasarkan jenis pembayaran pasien dan jenis anestesi yang digunakan. Pada pasien dengan asuransi sosial dan pembayaran out of pocket, pasien diberi antibiotika (Co-amoxiclav), anti inflamasi (Cataflam dan Nonflamin) dan analgetik (Tramadol). Adapun pada pasien dengan jaminan kesehatan seperti Jamkesmas, Jamkesda ataupun dengan SKTM, hanya diberikan antibiotika (Amoxicillin) dan analgetik (Asam Mefenamat). Tindakan odontektomi yang dilakukan oleh operator sesuai dengan diagnosa berdasarkan klasifikasi impaksi yang diketahui menggunakan rontgen foto. Akan tetapi, setiap klasifikasi tersebut memiliki penatalaksanaan yang berbeda, walaupun perbedaan tersebut tidak terlalu besar. Perbedaan tersebut antara lain perlunya dilakukan pembelahan gigi impaksi dengan bur pada sebagian klasifikasi impaksi dan sebagian lainnya tidak memerlukan pembelahan gigi dalam proses pencabutannya. Standar prosedur operasional (SPO) yang dimiliki oleh poli Bedah Mulut RSUP Cipto Mangunkusumo masih belum dapat mengakomodasi perbedaan tersebut. Standar prosedur operasional (SPO) tersebut hanya menjabarkan cara odontektomi secara umum, tanpa penjelasan yang lebih terperinci mengenai tindakan apa yang harus dilakukan sesuai dengan diagnosa yang telah dibuat. Hal ini menyebabkan setiap operator menggunakan teknik yang berbeda-beda, dengan kemungkinan hasil yang berbeda pula meskipun untuk diagnosis yang sama. Tidak dapat dipungkiri, outcome yang diterima oleh pasien yang menjalani odontektomi dapat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor pertama yang mempengaruhi adalah kemampuan
operator, akan tetapi, di luar dari tindakan operasi yang dilakukan, terdapat pula faktor dari pasien, bahwa faktor tersebut juga memainkan peranan yang cukup penting dalam menentukan outcome yang terjadi. Faktor-faktor tersebut antara lain ambang rasa sakit, kepatuhan terhadap instruksi yang diberikan, dan faktor eksternal seperti stres, depresi, dan penyakit lain.14 Untuk dapat mengurangi kesalahan dalam pelayanan, SOP dapat diterapkan dengan memberikan langkah-langkah yang sudah diuji dan disetujui dalam pelaksanaan berbagai kegiatan. Penetapan SOP yang detail dan sesuai dengan berbagai macam tindakan yang dilakukan di poli bedah mulut akan dapat mengurangi resiko terjadinya hal yang tidak diinginkan, termasuk komplikasi pascatindakan. Pengawasan kepatuhan terhadap SOP juga dapat dilakukan untuk dapat mengurangi kesalahan penatalaksanaan yang berujung pada kerugian pasien. Pengawasan dapat dilakukan baik oleh para konsulen bedah mulut maupun kepala program studi. Dengan adaya pengawasan ini diharapkan adanya umpan balik bagi rumah sakit maupun penyelenggara pendidikan untuk dapat selalu memperbaiki pelayanan yang diberikan. Pelayanan kesehatan yang diberikan akan sangat efektif jika dilandasi dengan hubungan yang harmonis antara pasien dan praktisi klinis. Berbagai macam penyesuaian perlu dilakukan untuk memenuhi kebutuhan keinginan pasien, sebagai pengguna akhir pelayanan kesehatan. Pengambilan keputusan dan penyusunan standar pelayanan klinis berdasarkan evidence-based, keamanan pasien, arus informasi yang tanpa hambatan, keterbukaan, kerja sama antarpraktisi klinis, dan efisiensi dalam pelayanan merupakan aturan-aturan dasar dalam perbaikan mutu pelayanan klinis.15 Menyadari bahwa angka kejadian komplikasi yang cukup tinggi dan adanya variasi dalam proses pelayanan, adanya pengukuran mengenai mutu pelayanan juga perlu diintegrasikan dalam sistem monitoring mutu klinis, misalnya dengan sistem indikator klinis. Keberhasilan dalam penerapan clinical governance pada pelayanan kesehatan membutuhkan perubahan kultural yang sejalan dengan perubahan organisasi, diharapkan dengan adanya temuan ini dapat meningkatkan pelayanan yang diberikan oleh RSUPN Cipto Mangunkusumo, terutama poli bedah mulut dengan pengembangan mutu klinis berdasarkan indikator yang telah ditemukan. KESIMPULAN DAN SARAN Studi ini menyimpulkan bahwa lama waktu operasi, luas daerah operasi, banyaknya larutan irigasi
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 15, No. 3 September 2012
145
Andi Heryono, dkk.: Lama Waktu Operasi, Luas Daerah Operasi,
dan jenis anestesi yang digunakan tidak berpengaruh terhadap komplikasi pascaodontektomi. Kemungkinan terjadinya komplikasi pada pasien odontektomi meningkat 14,6 kali pada pasien dengan komorbiditas. Penelitian ini menyarankan penerapan clinical practice guidelines odontektomi untuk mengurangi variasi proses dan hasil, serta digunakan protokol odontektomi yang dapat mempersingkat waktu operasi dan mengurangi risiko dalam tindakan odontektomi. REFERENSI 1. Halligan A. & Donaldson L. Implementing clinical governance:turning vision into reality. British Medical Journal 2001;322:1413-7. 2. Goddard M. et al. Clinical performance measurement: part 1—getting the best out of it. Journal of the Royal Society of Medicine. 2002. 3. RISKESDAS. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar. 2007. 4. Obimakinde O.S. Impacted mandibular third molar surgery: An overview. Dentiscope Surgery Edition, 16(January) 2009. 5. Dwipayanti A, Adriatmoko W. & Rochim A. Komplikasi post odontektomi gigi molar ketiga rahang bawah impaksi. Jurnal PDGI.2009;58: 20-24. 6. Peterson LJ. Principles of Management of Impacted teeth. In Contemporary Oral and Maxillofacial Surgery, 4th Edition Part II. 2002:184213. 7. Faculty of Dental Surgery. National Clinical Guidelines 1997. Restorative Dentistry.1997. Available at: http://www.rcseng.ac.uk/fds/publications-clinical-guidelines/clinical_guidelines/ documents/ncg97.pdf. Diakses pada 28 Mei 2011. 8. Briguglio F, et al. Complications in surgical removal of impacted mandibular third molars in
146
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
relation to flap design: Clinical and statistical evaluations. Quintessence Intarnational. 2011; 42(6):445-53. Bui C. Types, frequencies, and risk factors for complications after third molar extraction. Journal of Oral and Maxillofacial Surgery. 2003; 61(12):1379-89. Available at: http://linkinghub. elsevier.com/retrieve/pii/S027823910300836X Diakses pada 28 Mei 2011. Blondeau, F. & Daniel, N.G. Extraction of Impacted Mandibular Third Molars?: Postoperative Complications and Their Risk Factors. JDCA. 2007; 73(4): u.325. Available at:www.cdaadc.ca/jcda/vol-73/issue-4/325.html. Bello S. a et al. Effect of age, impaction types and operative time on inflammatory tissue reactions following lower third molar surgery. Head & face medicine. 2011;7(1):8. Available at: http:/ /www.pubmedcentral.nih.gov/articlerender. fcgi?artid=3114767&tool=pmcentrez&render type=abstract Diakses pada 5 Oktober 2011. Checchi L, Bonetti GA. & Pelliccioni GA. Removing high-risk impacted mandibular third molars?: a surgical-orthodontic approach.The Journal of American Dental Association. 1996; 127:1214-17. National Dental Advisory Committee. Clinical Governance in Dental Primary Care. Clinical Governance, (July) 2001:1-29. Evans a W, Leeson RM. a & Petrie, a. Correlation between a patient-centred outcome score and surgical skill in oral surgery. The British journal of oral & maxillofacial surgery. 2005;43(6): 505-10. Available at: http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pubmed/15908083. Diakses pada 19 Agustus 2011. Kuntjoro T. Pengembangan manajemen kinerja perawat dan bidan sebagai strategi dalam peningkatan mutu klinis.The Indonesian Journal of Health Service Management. 2005;08:14854.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 15, No. 3 September 2012