JURNAL MANAJEMEN PELAYANAN KESEHATAN VOLUME 16
No. 01 Maret 2013 Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
Halaman 15 - 19 Artikel Penelitian
KOORDINASI PELAYANAN KESEHATAN PENGUNGSI BENCANA GUNUNG MERAPI HEALTH CARE COORDINATION FOR REFUGEES OF MOUNT MERAPI DISASTER Enik Listyaningsih1, Fransiska Meyanti Sitorus2, Yodi Mahendradhata2,3 1 STIKES Bethesda Yakkum Yogyakarta 2 Pusat Kajian Kedokteran Tropis, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 3 Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
ABSTRACT Background: The eruption of Mount Merapi in Yogyakarta has caused dangerous impact to the people’s health. It is important to provide a good health care services during emergency response. Maguwoharjo is a shelter with the largest number of refugees, but health care staff are not well distributed. The coordination on health care service is important to overcome the health problems during emergency response. Aim: To describe effetiveness of coordination of care provided for the refugees. Methods: This was a qualitative study using in-depth interviews method to collect data. The informants were representatives from Yogyakarta provincial health office, Sleman district health office, primary health care center of Depok, Non Government Office/NGO, and former refugees. To ensure the validity of data, triangulation was carried out. Results: The coordination of health care service to refugees is studied from its communication and organization. The communication was done by regular meetings in the morning and in the afternoon involving shelter’s coordinator, volunteer’s coordinator, and representative from both provincial and district health office. Not only by the regular meeting, but also by using SMS gateway and skype (internet-based). There was also a hierarchial structure to organize all health care staff and their responsibilities during emergency response. Until end of the evacuation, there was no outbreaks, incidence of disease was decreased, and infectious diseases were controlled. However, health care personels and adequate facilities were lacking, and standard operating procedure to provide good health services to refugees was not available. Conclusion: The coordination of health services for refugees during the emergency was effective but still needs to improve information and use of SOP. Keywords: effectiveness, coordination, health care, refugees
ABSTRAK Latar Belakang: Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta memiliki dampak yang sangat berbahaya bagi kesehatan penduduk. Penyediaan pelayanan kesehatan sangat penting terutama pada masa tanggap darurat. Pos pengungsian Maguwoharjo menampung jumlah pengungsi terbanyak. Mengingat distribusi tenaga kesehatan yang tidak merata, koordinasi pelayanan kesehatan sangat penting untuk mengatasi masalah kesehatan yang timbul. Tujuan: Mendeskripsikan efektivitas koordinasi pelayanan kesehatan bagi pengungsi di pos Maguwoharjo.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam. Informan penelitian adalah perwakilan dari Dinas Kesehatan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Puskesmas Depok 1, LSM, dan mantan pengungsi. Validitas data menggunakan triangulasi sumber. Hasil: Koordinasi pelayanan kesehatan dikaji dari aspek komunikasi dan pengorganisasian. Komunikasi dilakukan dengan pertemuan setiap pagi dan sore yang melibatkan koordinator pos pengungsian, koordinator relawan, dan Dinas Kesehatan. Selain pertemuan, komunikasi juga dilakukan dengan cara short massage system (SMS) gateway dan skype. Pengorganisasian dilakukan dengan membuat struktur organisasi yang menggambarkan susunan personalia dan wewenangnya. Sampai akhir masa pengungsian, diketahui bahwa kejadian luar biasa (KLB) tidak terjadi, angka kejadian penyakit menurun, dan infeksi penyakit terkendali. Namun, masih ditemukan keterbatasan sumber daya manusia, sarana, dan tidak adanya prosedur standar pelayanan kesehatan pengungsi. Kesimpulan: Koordinasi pelayanan kesehatan pengungsi pada masa tanggap darurat efektif, tetapi masih harus meningkatkan informasi kepada pengungsi dan relawan menggunakan standar operation procedure (SOP). Kata kunci: efektivitas, koordinasi, pelayanan kesehatan, pengungsi
PENGANTAR Bencana gunung berapi di Indonesia merupakan bencana yang sering terjadi karena posisi geografis Indonesia. Bencana muncul ketika ancaman alam bertemu dengan masyarakat yang rentan, misalnya perkampungan di lereng gunung api yang masyarakatnya kurang memiliki kemampuan menanggapi ancaman gunung meletus. Hal ini karena masyarakat tersebut tidak pernah mendapat pelatihan agar siap siaga menghadapi letusan gunung api. Berdasarkan sejarah, gunung Merapi mulai tampil sebagai gunung api sejak tahun 1006, ketika itu tercatat sebagai letusannya yang pertama.1 Pada tanggal 26 Oktober sampai dengan November 2010 gunung Merapi meletus. Letusan pertama tanggal 26 Oktober 2010, awan panas meluncur dengan jarak
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 16, No. 1 Maret 2013
15
Enik Listyaningsih, dkk.: Koordinasi Pelayanan Kesehatan Pengungsi
10 km dan disusul yang terbesar, yaitu pada tanggal 5 November 2010. Jarak luncuran lava dan awan panas semakin jauh dari puncak gunung dan radius bahaya awan panas ditetapkan menjadi 20 km.Selain kerugian materi berupa bangunan, hewan ternak, dan tanaman, juga terjadi korban jiwa sebesar 223 jiwa meninggal. Sebanyak 182 jiwa meninggal karena luka bakar dan 41 jiwa meninggal non luka bakar. Jumlah korban selamat yang dirawat di beberapa rumah sakit di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) berjumlah 236 orang. Jumlah pengungsi 121.441 orang dengan jumlah titik pengungsian sebanyak 314 pos yang salah satunya adalah stadion Maguwoharjo.2 Kebutuhan pengungsi terhadap masalah kesehatan bermacam-macam, yaitu masalah penyakit pada balita, anak, dewasa, dan lansia. Kondisi yang serba darurat menyebabkan pelayanan kesehatan kurang tertata dengan baik. Jumlah tenaga kesehatan yang kurang terdistribusi dan antrian pengobatan balita, dewasa, dan lansia yang menjadi satu, menyebabkan penanganan yang lama, sehingga pasien menjadi kelelahan, bahkan dapat menyebabkan pasien tidak terlayani. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis efektivitas koordinasi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pengungsi di pos pengungsian Maguwoharjo.
Komunikasi dalam organisasi secara formal maupun informal dilakukan untuk memberikan informasi yang jelas dan rinci apa yang dibutuhkan dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pengungsi. Petikan wawancara di bawah ini menunjukkan bagaimana pola komunikasi yang terjadi dengan lembaga terkait.
BAHAN DAN CARA Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam. Informan penelitian adalah pihak Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, Puskesmas Depok 1, LSM, dan orang yang pernah mengungsi. Validitas data menggunakan triangulasi sumber dan data.
“…waktu itu kita juga membuat media komunikasi dengan SMS gateway dan skype… mbak” (Responden 4)
HASIL DAN PEMBAHASAN Komunikasi Koordinasi pelayanan kesehatan telah dilaksanakan sejak hari pertama tetapi terdapat komunikasi yang kurang baik antara Dinas Kesehatan dan relawan:
”Satu hal yang susah, untuk mengkoordinir... saat mereka datang karena tidak melewati dinkes dulu…tiba-tiba mereka sudah ada di lokasi nah itu yang pertama, yang kedua kadang kita memutuskan kan itu dari kementerian kesehatan..misalnya LSM harus berada pada titik tertentu…itu mereka tidak mau, tapi mengumpul pada satu tempat. Ketiga, kadang dia tidak melaporkan apa yang dilakukan apa hasilnya, terus pulang tiba-tiba…” (Responden 4).
“Rapat... tiap hari pagi dan sore, terus diseminasi hasil informasinya apa, kira-kira kebutuhan apa sarana maupun kondisi kesehatan akan bisa diketahui setiap harinya. Termasuk ada koordinasi dengan Jawa Tengah, yang waktu itu kita memang harus koordinasi dengan wilayah Jawa Tengah khususnya pelayanan-pelayanan yang ada di perbatasan...” (Responden 4) “… juga melalui telepon meminta data ke pos pengungsian dulu untuk bahan koordinasi ke dinas ..kalau dak salah malah di PM PK to mbak?“ (Responden 4)
Pengorganisasian Pengorganisasian di pos pengungsian sangat dibutuhkan untuk menentukan pelayanan yang akan diberikan kepada pengungsi, agar pelayanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan dan tidak terjadi penumpukan tenaga kesehatan. Untuk itu, disusun struktur organisasi seperti diungkapkan dalam kutipan wawancara di bawah ini:
“Koordinasinya memang belum baik…saat itu kan pengungsi datang..trus bruk bruk, relawan juga langsung datang dan mereka mendirikan tenda masing-masing tanpa laporan. Kita sudah ada tempati pos utamanya… tapi mereka tidak lapor dan nempati diri sendiri-sendiri..begitu juga di lantai dua langsung buka pasar…sehingga kita sempat bingung…dari kita cuma keliling pemetaan dulu terus mulai menanyai satu-satu, dokternya siapa (umum apa spesialis), berapa bany ak memang dokternya, agak lama prosesnya…” (Responden 6).
16
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 16, No. 1 Maret 2013
“Ya waktu itu yang bertanggung jawab dalam koordinasi Puskesmas Depok mbak… setiap siang kita LSM dikumpulkan untuk membahas masalah y ang muncul di pos…” (Responden 1) “Penempatan relawan harus tegas, supaya tidak terjadi penumpukan atau kekurang relawan di pos…” (Responden 4) “Waktu itu saya berperan membantu Puskesmas dalam mendistribusikan tenaga mbak…” (Responden 2)
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
“Saya waktu itu sebagai sekretaris di seksi pelayanan kesehatan, ada beberapa bidang… nah… saya sekretaris jadi kerjaannya setiap hari koordinasi pagi dan sore untuk memonitor masalah-masalah apa yang muncul di lapangan dan mencarikan solusi…” (Responden 4)
“M enurut saya sudah bagus bu… karena saya sakit gula, juga di beri obat seperti yang saya minum setiap hari…” (Responden 11)
Dinas Kesehatan Provinsi DIY dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman juga melakukan rapat koordinasi pagi dan sore hari untuk memonitor pelayanan yang diberikan di pos pengungsian Maguwoharjo. Koordinasi adalah upaya memadukan berbagai sumber daya dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis agar dapat melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat kedaruratan. Koordinasi dilakukan secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien secara harmonis.3 Salah satu tujuan dari koordinasi adalah mengurangi tumpang tindih dan inefisiensi bantuan kesehatan. Pada penelitian ini, tampak jelas bahwa terjadi tumpang tindih dalam pelayanan kesehatan. Beberapa LSM maupun pihak luar seperti relawan tidak memberikan laporan ke dinas penyebab pengungsi mencari pelayanan kesehatan dari tempat satu ke tempat yang lain. Pendekatan sistem memandang koordinasi sebagai bentuk pengintegrasian, penyinkronisasian, dan penyederhanaan pelaksanaan tugas secara terus menerus oleh sejumlah individu atau unit sehingga menyatu dalam jumlah, mutu, tempat, dan waktu yang tepat dalam mencapai tujuan secara efektif dan efisien.4 Jika sistem tidak ada, maka koordinasi tidak dapat berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan penelitian ini, tidak adanya sistem yang jelas pada minggu pertama, mengakibatkan koordinasi kurang berjalan dengan baik.
KLB tidak terjadi di pengungsian Maguwoharjo, sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan yang telah dilakukan berjalan efektif. Sesuai dengan Zutphen and Damerell5 bahwa efektivitas tercapai jika telah terbukti menurunnya tren penyakit yang berkembang, kejadian infeksi yang terkendali, dan tidak terjadi KLB selama pengungsian. Provinsi DIY dan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman belum mempunyai standar minimal pelayanan kesehatan, namun sudah sesuai dengan standar minimal pelayanan kesehatan Zutphen dan Damerell5 misalnya ketersediaan obat antibiotik dan antipiretik selama satu minggu di Pos Pengungsian Maguwoharjo, informasi laporan secara berkala setiap pagi dan sore, dan laporan berkala setiap 48 jam.
Efektivitas Pelayanan Kesehatan Pelayanan kesehatan dikatakan efektif jika tidak terjadi kejadian luar biasa (KLB).
Kendala yang lain adalah keterbatasan sumber daya manusia, sarana, pengurusan jenazah, kurangnya koordinasi pada minggu pertama, serta ketidaktahuan pengungsi tentang ketersediaan dokter, berikut petikan wawancaranya:
“Saya rasa belum efektif ya… karena ada kejadian penyakit yang tinggi seperti diare, batuk, pilek, sesak napas itu lho mbak, karena tidak ada standar yang jelas kita tidak bisa mengukur efektivitasnya, ya hanya berdasar pada kejadian” (Responden 5) “Ya… memang kalau mbak..tetapikan banyak resiko seperti diare, kurang...” (Responden
terjadi KLB belum penyakit yang punya batuk, flu, jadi ya 3)
“Semua bagus y a… karena beberapa relawan yang ada dokter spesialisny a…” (Responden 9)
Kendala Pelayanan Kesehatan Bentuk koordinasi yang telah diupayakan Dinas Kesehatan menemukan hambatan karena banyaknya LSM yang hendak membantu pengungsi. Banyaknya LSM tersebut ada yang tidak melapor kepada Dinas Kesehatan, sehingga menyulitkan Dinas Kesehatan memperoleh data-data yang jelas. Berikut petikan wawancaranya: “Sebenarnya kalau para pemberi bantuan itu manut, itu gak masalah… Sebenernya itu ada yang manut, ada yang tidak dalam artian kalau masuk, laporkan kepada kita... tetapi ada yang tidak melapor. Ketika dikoordinasikan harusny a manut, ya sekitar 22 bantuan institusi pemerintah itu di bawah koordinasi kita.” (Responden 3)
“Kendalanya terus terang sarana transportasi ke lapangan, nah itu satu. Yang kedua… pelayan untuk perawatan jenasah itu justru jadi masalah karena banyak, dikumpulkan di Sardjito dilakukan otopsi… mau dimakamkan… butuh ambulans pernah ini, jumlahnya 70 ambulans jenazah. Akhirnya kita kumpulkan termasuk Bethesda waktu itu, semua kalau tidak keliru sekitar 24-25 ambulans... terus pinjam lagi dari Jawa Tengah nah
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 16, No. 1 Maret 2013
17
Enik Listyaningsih, dkk.: Koordinasi Pelayanan Kesehatan Pengungsi
seperti itu... karena apa? karena kita menjaga agar jangan sampai membawa jenazah menggunakan satu ambulans lebih dari dua atau tiga jenazah. Nanti muncul masalah… tapi alhamdulilah bisa selesai.” (Responden 5) “Kalau kendalanya, kita kekurangan tenaga, karena kalau dasar kita ada semua. Misalnya kalau spesialis kita rujuk ke spesialis kalau rujuk ke rumah sakit, kita rujuk ke rumah sakit, dan penanganan obat juga tidak masalah, juga masalah obat, kita juga dapat banyak. Kita irit-irit karena kita kan tidak tau kapan ada lagi… ga taunya sampai akhir betul tidak ada stok lagi... jadi bener-bener irit… bahkan obat Puskesmas kita ambil dulu untuk Maguwo. Tapi yang kita repot, untuk petugasnya, terutama di posko utama. Kita kan kerja sama dengan yang luar dan beberapa Puskesmas nah itu kan ada tiga shift nah kadang ada bolong tidak ada dokter tidak ada perawat… sehingga di-calling ini bagaimana ini bagaimana...” (Responden 4)
Komunikasi yang kurang menyebabkan pengungsi tidak mengetahui jika di pos kesehatan terdapat dokter spesialis dan tempat periksa untuk balita. “Kok mboten wonten dokter anake ta… padahal ada dan yang melakukan pemeriksaan itu dokternya… juga memberikan imunisasi, tetapi mereka sering bilang kalau dak ada dokter spesialisnya.” (Responden 8) “Mbok tempat periksanya dipisah-pisah tua dan anak-anak itu disendirikan biar tidak suksukan…” (Responden 10)
Beberapa kendala yang dirasakan adalah sarana prasana yang kurang, seperti tempat tidur dan air bersih. Hal ini dapat dilihat pada petikan wawancara berikut ini: “Tempat tidur itu yang sangat ruwet bu soalnya campur dengan tua-muda laki-perempuan bahkan di tempat saya itu yang bapakbapak pada merokok di tempat itu, nek ajeng menegur juga dak enak. jadi baunya waduh… waduh… kalau ke wc sampai dak tahan dan dalam kotor sekali tanah-tanah di dalam wc.” (Responden 8) “Toyo cekap (cukup) bu, naming wc bu yang jadi masalah kotor terus ambune pun ra ilok ilok tekan pundi-pundi (di mana-mana), dilalahe (kebetulan) kulo le tilem (tidur) celak (dekat) kaleh kamar mandi pun ngantos mumet tambah sesek” (Responden 9)
Jumlah makanan yang diterima pengungsi justru berlebihan. Banyak makanan yang terbuang karena sudah tidak layak dikonsumsi. Berikut ini petikan wawancaranya:
18
“M akanan itu malah berlebih lha wong sisa yang di buang-buang itu banyak kok bu, kula niku malah sok nyebut panganan kok dibuang buang, wong tirah, padahal lauke niku nggeh sae lho bu wong nggeh onten tigan, oseng tempe oseng janggel, naming geh namine tiyang kathah werna werna panjaluke. ” (Responden 9) “Kalau makanan turah-turah dan menurut saya sih sudah cukup wong ya lauknya kadang telur, pernah ayam, tahu, tempe Bu sampai dibuang-buang jadi makanan tikus, coro, sarang nyamuk, padahal namanya di pengungsian ya dak ada obat tikus dan coro, apalagi obat nyamuk.” (Responden 10)
Problematika dalam penanganan bencana adalah lemahnya koordinasi, baik antar relawan maupun relawan dengan petugas kesehatan lokal. Lee dan Low6 mengatakan bahwa koordinasi antara petugas lokal dengan tim relawan sangat dibutuhkan untuk optimalisasi bantuan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian bahwa koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan LSM/relawan pada minggu pertama belum berjalan dengan baik karena masingmasing punya prinsip, tetapi setelah minggu kedua koordinasi berjalan dengan baik KESIMPULAN Koordinasi dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pengungsi di Pos Pengungsian Maguwoharjo pada masa tanggap darurat telah dilaksanakan dengan melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak yang terkait, dengan melakukan pendataan dan pendistribusian relawan, serta konsolidasi dengan lintas sektoral maupun Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dan juga relawan untuk memberikan pelayanan kesehatan secara cepat dan tepat. Komunikasi dalam pemberian pelayanan kesehatan pada pengungsi di Pos Pengungsian Maguwoharjo pada masa tanggap darurat dilakukan dengan melakukan komunikasi secara formal dan komunikasi non-formal melalui SMS dan skype. Pengorganisasian dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pengungsi di Pos Pengungsian Maguwoharjo pada masa tanggap darurat menggunakan birokrasi yang bersifat fleksibel efektivitas dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pengungsi di Pos Pengungsian Maguwoharjo sudah efektif karena sudah sesuai dengan standar minimal pelayanan kesehatan pengungsi yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kendala dalam memberikan pelayanan kesehatan pada pengungsi di Pos Pengungsian Maguwoharjo antara lain: sumber daya manusia,
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 16, No. 1 Maret 2013
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan
sarana, dan standar operasional prosedur yang belum ada baik di Dinas Kesehatan Provinsi DIY maupun Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, serta pendistribusian relawan yang tidak merata. Standar minimal pelayanan (SPM) kesehatan perlu dibuat untuk pengungsi yang juga mencakup: penanggulangan penderita stres pascatrauma, psikolog, pelayanan ibu hamil dan bayi baru lahir, dan prosedur tetap koordinasi pelayanan kesehatan pengungsi yang melibatkan Dinas Kesehatan Provinsi DIY, Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman, dan Puskesmas sebagai institusi kesehatan yang bertanggungjawab terhadap wilayah tersebut.
2.
REFERENSI 1. Agusni F. Erupsi Merapi. Kompasiana. 10 November 2010: 36.
6.
3.
4.
5.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Laporan Harian. Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta. 2010. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana. United Nations Development Programme, Jakarta. 2006. Departemen Kesehatan Standar Minimal Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Bencana dan Penanganan Pengungsi. 2001. Zutphen TV and Damarell J. Humanitarian Charter and Minimum Standards and Humanitarian Response. Third Edition, United Kingdom. 2011. Lee VJ and Low E. Coordination and Resource Maximization During Disaster Relief Efforts. Prehosp Disaster Med, 2006;21(1) Jan-Feb: S812.
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 16, No. 1 Maret 2013
19