Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Vol. 4 No. 1, Juni 2008
ISSN 1858-0610
Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Tumbuh Kembang Anak dengan Reaksi Sibling Rivalrydi TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta Andriyani Mustika Nurwijayanti, Atik Badi'ah, Falasifah Ani Yuniarti
1-6
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi terhadap Sikap Remaja tentang Kesehatan Reproduksi di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta Dwi Prihatiningsih, Uswatun Khasanah, Yuli Isnaeni
7-14
Pengaruh Terapi Psikospiritual terhadap Tingkat Kecemasan Klien Rehabilitasi Gangguan Jiwa di RS Grhasia Propinsi DIY Suyadi, Sri Hendarsih
15-22
Analisis Tingkat Perkembangan Posyandu dengan Pendekatan Manajemen ARRIF di Puskesmas Purwokerto Utara II Suryanto, Erna Kusuma Wati
23-28
Pengaruh Kekerasan Fisik, Psikologis, Ekonomi, dan Seksual Selama Kehamilan Terhadap Interaksi Ibu-bayi pada Periode Post Partum Tri Lestari Handayani, Yeni Rustina, Luknis Sabri
29-38
Pengaruh Penyuluhan Kesehatan tentang Kanker Leher Rahim dan Pap Smear terhadap Kesadaran Mengikuti Pap Smear pada Ibu-ibu di Mrisi Lor Tirtonirmolo Kasihan Bantul Yuni Purwati, Sri Hendarsih
39-48
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 Hal. 1-6
HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN IBU TENTANG TUMBUH KEMBANG ANAK DENGAN REAKSI SIBLING RIVALRY DI TK ABA GODEGAN TAMANTIRTO KASIHAN BANTUL YOGYAKARTA Andriyani Mustika Nurwijayanti1, Atik Badi'ah2, Falasifah Ani Yuniarti3
Abstract: To describe and examine the correlation between mother's knowledge level about child growth development and sibling rivalry reaction on preschooler children, 30 mothers were asked to complete a self-report questionnaire and to fill out the checklist of sibling rivalry reaction. The study findings revealed that there is no correlation between mother's knowledge level about child growth development and sibling rivalry reaction among preschooler children (r = -0.236; p > 0.05). Kata kunci: tumbuh kembang, reaksi sibling rivalry, pengetahuan ibu
PENDAHULUAN Anak adalah tumpuan harapan bangsa sebagai generasi penerus. Tumbuh kembang anak merupakan proses utama yang hakiki dan khas pada anak dan merupakan sesuatu yang penting bagi seorang anak. Agar anak bisa menjadi generasi penerus dan mempunyai potensi sumber daya yang tangguh maka proses tumbuh kembang anak harus dapat berjalan seo ptimal mungkin (Soetjiningsih, 1998). Ibu sebagai pengasuh yang terdekat dengan anak harus mengetahui lebih banyak proses tumbuh kembang anak dan faktor yang mempengaruhi proses itu (Dharma-
1
wanto, 1991). Pengetahuan dari ibu akan sangat berpengaruh dalam memperlakukan anak apabila sikap mereka menguntungkan hubungan ibu dan anak akan lebih baik dari pengetahuan yang kurang (Hurlock, 1998). Agar ibu dapat melaksanakan fungsinya dengan baik maka ibu perlu memahami tingkat perkembangan anak, menilai pertumbuhan dan perkembangan anak serta mempunyai motivasi yang kuat untuk memajukan pertumbuhan dan perkembangan anak (Anwar, 2000). Ketika anak masih dalam tahap tumbuh kembang, anak sangat membutuhkan perhatian ekstra dari ibu, anak mengha-
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal Dosen Jurusan Keperawatan Poltekes Depkes Yogyakarta 3 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta 2
2
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 1-6
dapi masalah yang sangat mengganggu dirinya yaitu kehadiran anggota keluarga baru (adik) atau ganggunan dari kakaknya yang juga menuntut perhatian dari ibu atau karena kesibukan dari ibu dalam mengurus pekerjaan rumah sehingga perhatiannya menjadi berkurang hal ini menimbulkan anak mencari perhatian dari ibu dengan cara bersaing. Hal ini yang menjadi penyebab pertengkaran antar saudara, bila anak merasa tidak menerima perhatian, disiplin, respon atau perlakuan yang sama seperti saudaranya maka anak akan menjadi marah dan iri terhadap saudaranya (Friedman, 1998). Banyak permasalahan yang sering timbul oleh karena ibu memberikan perhatian lebih pada anak yang lain, sehingga akan menimbulkan reaksi sibling. Perasaan yang sering ditampakkan oleh anak yang lebih kecil (adik) adalah cenderung untuk menarik diri, suka marah sedangkan kakak cenderung bertindak berlebihan. Secara fisik hal yang sering terjadi adalah ngompol, sakit kepala dan keluhan fisik lainnya, perubahan dalam penampilan sekolah, ketakutan akan sekolah, permasalahan tidur, ketakutan terluka, depresi dan menderita kegelisahan keterpisahan yang akhirnya berdampak pada perilaku negatif pada diri anak (Wong, 1999). Berdasarkan studi pendahuluan di beberapa Taman Kanak-Kanak dan dari hasil wawancara dengan orangtua dan observasi, ternyata tidak ditemukan masalah yang berarti pada anak dan ibu, namun ketika melakukan studi pendahuluan di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta yang dilakukan pada tanggal 29 Januari 2004 pada anak pra sekolah berjumlah 52 siswa, kira-kira 30% dari jumlah total orangtua siswa mengeluhkan anaknya sering bertengkar dengan kakak atau adiknya, ibu merasa resah dengan keadaan ini. Ada beberapa faktor yang menyebabkan anak sering sibling pada adik atau
kakaknya bisa disebabkan itu kurang komunikasi dalam keluarga, kesibukan ibu, pengaruh dari program acara televisi, dan salah satunya bisa karena tingkat pengetahuan ibu (Indonesia Media Online.com, 2001). Berdasarkan latar belakang di atas maka dilakukan penelitian tentang anakanak yang mengalami reaksi sibling terhadap kakak at au adiknya dan pengetahuan ibu dalam menghadapi reaksi sibling anak dan tumbuh kembang anak di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta. METODA PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode non eksperimen dengan pendekatan survey dan rancangan cross sectional. Jenis data yang dijadikan sebagai bahan dan materi dalam penelitian ini berupa data primer dan sekunder. Subjek penelitian yang peneliti ambil adalah ibu yang mempunyai anak prasekolah dengan cara Purposive Sampling sebanyak 30 orang dengan batasan kriteria : 1. Ibu yang mempunyai anak berusia antara 3-6 tahun (prasekolah) 2. Ibu yang bersedia menjadi responden 3. Ibu yang menunggu anak sekolah 4. Ibu yang mempunyai lebih satu anak Dalam penelitian ini melibatkan dua variabel yaitu : 1. Variabel pengaruh atau bebas yaitu pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak meliputi perubahan anak dari bayi sampai menjadi anak yang lebih besar, kemampuan yang dimiliki anak, perubahan fisik, penyesuaian dengan lingkungan serta tumbuk kembang anak sesuai tingkatan umur dan KMS. 2. Variabel terpengaruh atau terikat yaitu reaksi sibling rivalry. Validitas instrumen diuji dengan analisa butir menggunakan rumus Pearson
3
Andriyani M. Nurwijayanti, dkk., Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu.....
sedangkan reliabilitas dengan formula alpa dengan skor yang dibelah menjadi tiga bagian. Data diolah dengan menggunakan Analisa Statistik Uji T. (Sugiyono, 2002) Penelitian ini dilaksanakan di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta pada bulan Juli 2004. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik ibu sebagai responden meliputi umur, tingkat pendidikan dan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 1. Pada tabel 1 menunjukkan karakteristik responden berdasarkan golongan umur sebagian besar umur 31-35 tahun dan 36- 40 tahun masing-masing sebanyak 11 orang (36,67%), karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan sebagian besar pendidikan SLTA sebanyak 17 orang (56,67%) dan karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar pekerjaan ibu rumah tangga sebanyak 17 orang (56,67%).
Tabel 1. Karakteristik responden berdasarkan golongan umur, tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta, Juli 2004.
No 1. 2. 3. No 1. 2. 3. 4. No 1. 2. 3. 4.
Umur 25 – 30 Tahun 31 – 35 Tahun 36 – 40 Tahun Jumlah Tingkat Pendidikan SD SLTP SLTA Diploma/PT Jumlah Jenis Pekerjaan Ibu Rumah Tangga PNS Swasta/Karyawan Wiraswasta Jumlah
F 8 11 11 30 F
% 26,67 36,67 36,67 100 % %
6 1 17 6 30 F 17 1 11 2
20 3,33 56,67 20 100 % % 56,67 3,33 36,67 6,66
30
100 %
Sumber : Data Primer (diolah)
Analisis Korelasi Pada hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak dengan reaksi sibling rivalry telah dilakukan penelitian dan hasilnya dapat dilihat pada tabel 2. Sebagian besar tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak sedang sebanyak 16 orang (53,33%) dan rendah sebanyak 4 orang (13,33%). Dari tabel 3 didapat terjadi reaksi sibling rivalry sebanyak 15 orang (50%) dan Tidak terjadi reaksi sibling rivalry sebanyak 15 orang (50%). Pada uji signifikansi koefisiensi korelasi (uji t) menggunakan α = 0,05 atau 5% dengan uji dua sisi sehingga α = 0,05/2 = 0,025 dan df = n-2 = 30-2 = 28 diperoleh nilai t tabel sebesar ± 2,048 dan nilai t hitung
Tabel 2. Distribusi frekuensi tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta, Juli 2004 No 1. 2. 3.
Tingkat Pengetahuan Tinggi Sedang Rendah Jumlah
Sumber : Data Primer (diolah)
F
%
10 16 4 30
33,34 53,33 13,33 100 %
4
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 1-6
Tabel 3. Distribusi frekuensi reaksi sibling rivalry di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta, Juli 2004 No
Reaksi Sibling F Rivalry 1. Ya 15 2. Tidak 15 Jumlah 30 Sumber : Data Primer (diolah)
% 50 50 100 %
Tabel 5. Distribusi frekuensi hasil uji korelasi Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Tumbuh Kembang Anak dengan Reaksi Sibling Rivalry di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta, Juli 2004
Pengetahuan ibu Pearson Cor. Sig. (2-Tailed) N Reaksi Sibling Pearson Cor. Sig. (2-Tailed) N
Pengetahuan Ibu 1 30 -.236 .236 30
Reaksi Sibling -.236 .210 30 1 30
Sumber : Data Primer (diolah)
menggunakan rumus (Sugiyono, 2002) adalah -1,284 Berdasarkan uji korelasi tingkat kepercayaan 95% terlihat -1.284 berarti Ho diterima dan Ha ditolak sehingga terdapat hubungan tidak bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak dengan reaksi sibling rivalry. Pada tabel 5 hasil hitung koefisien korelasi diperoleh nilai sebesar -0,236, hal itu menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif, ini berarti apabila tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak (x) semakin meningkat maka reaksi sibling rivalry (y) akan mengalami penurunan dan begitu sebaliknya bila tingkat pengetahuan
ibu tentang tumbuh kembang anak (x) semakin menurun maka reaksi sibling rivalry akan mengalami peningkatan. Pengetahuan dari ibu akan sangat berpengaruh dalam memperlakukan anak apabila sikap mereka menguntungkan, hubungan ibu dan anak akan lebih baik dari pengetahuan yang kurang. (Hurlock, 1998) Agar ibu dapat melaksanakan fungsinya dengan baik maka ibu perlu memahami tingkatan perkembangan anak, menilai pertumbuhan dan perkembangan anak serta mempunyai motivasi yang kuat untuk memajukan pertumbuhan dan perkembangan anak. (Anwar, 2000) Pengetahuan merupakan hal yang sangat penting untuk diketahui oleh setiap orang, karena seseorang tanpa pengetahuan sangat merugi karena segala hal yang ia lakukan tanpa diketahui benar atau salahnya, manfaat atau tidak. Pengetahuan keadaan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan panca indera. (Barfflet, 1998) Hasil penelitian, reaksi sibling rivalry adalah 15 atau sebanyak 50%. Apabila dilihat dari karakteristik responden yang sebagian besar ibu rumah tangga sehingga akan lebih banyak waktu untuk bersamasama anak dirumah dan diluar rumah. Dengan demikian ibu mengetahui bagaimana reaksi sibling yang dialami anak pada kakak atau adiknya dan cara penanganannya, sebab dari beberapa konfirmasi yang ada reaksi sibling yang didapat pada anak karena kegagalan dalam penyesuaian terhadap perubahan yang ada sehingga mempengaruhi emosi anak. (Wong’s, 1999) Menurut Tanuwidjaya (2002) faktor yang mempengaruhi konflik pada anak karena tidak seimbangnya emosi pada anak dengan melihat dan merasakan perbedaan kebutuhan yang didapat kakak atau adiknya. Berdasarkan hasil analisis data tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak dengan reaksi sibling
Andriyani M. Nurwijayanti, dkk., Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu.....
5
rivalry (tabel 4) didapat hubungan yang tidak bermakna dengan uji korelasi α = 0,05 dengan nilai Sig 0,210 dan taraf signifikasi -2,048. Dalam teori Yusuf (2001) dijelaskan pengetahuan tentang tumbuh kembang anak terdapat beberapa pola dan sikap perlakuan ibu terhadap anak yang masing-masing akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak. Untuk meningkatkan pengetahuan ibu perlu memperhatikan setiap kebutuhan yang diperlukan anak. (Soetjiningsih, 1998) Reaksi sibling rivalry pada anak prasekolah membutuhkan perhatian yang sangat khusus mengenai perkembangan emosi anak akan sangat terkait dengan tumbuh kembangnya dimasa yang akan datang. (Wong’s, 1999) Reaksi sibling pada anak akan dapat berkurang jika hubungan pendekatan ibu dan anak baik sehingga ibu akan lebih memperhatikan setiap tahapan tumbuh kembang anak. (Friedman, 1998)
Saran Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh lainnya terhadap reaksi sibling rivalry selain tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak seperti komunikasi dalam keluarga atau factor lain seperti pola asuh dalam keluarga sehingga akan diperoleh hasil yang bermakna dan berhubungan. Diharapkan pihak sekolah bisa memfungsikan menjadi pendidik selain ibu dalam menangani anak yang mengalami sibling sehingga anak tidak mengalami sibling.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data analisis maka dapat diambil kesimpulan : 1. Tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta adalah sedang (53,33%) 2. Reaksi sibling rivalry di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihan Bantul Yogyakarta adalah 15 anak (50%) 3. Terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan ibu tentang tumbuh kembang anak dengan reaksi sibling rivalry di TK ABA Godegan Tamantirto Kasihal Bantul Yogyakarta dengan nilai kemaknaan α = 0,005 t = -1,284
Dharmawanto, R, 1991. Peran Gizi pada Tumbuh Kembang Balita, Majalah Kedokteran Indonesia, 41 (11): 655-659.
DAFTAR RUJUKAN Anwar, H.M, 2000. Peran Gizi dan Pola Asuh dalam Meningkatkan Kualitas Tumbuh Kembang Anak, Medika 2 (26) : 104-111. Arikunto, S, 1998. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan Praktek, Edisi IV, Rineke Cipta, Jakarta.
Friedman. M, 1998. Keperawatan Keluarga Teori dan Praktik, Edisi 3, EGC, Jakarta. Hurlock. E. B, 1998. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Edisi Kelima, Erlangga, Jakarta. Anonim, 2001. http://www.Indonesia MediaOnlineFamilyParenting.com/ cetak/10/06/03/Konflik Antar Anak. Hmt. Soetjiningsih, 1998. Tumbuh Kembang Anak, EGC, Jakarta.
6
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 1-6
Tanuwidjaya. S. 2002. Buku Ajar I Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Edisi Pertama, CV. Sagung Seto, Jakarta. Sugiyono, 2002. Statistika untuk Penelitian, cetakan keempat, Cv. ALFABETA, Bandung. Suria S & S Jujun 1996. Filsafat Ilmu, Pusaka Sinar Harapan, Jakarta Wong’s dan Whaley, 1999. Nursing Care Of Infants and Children, Mosby Inc. Yusuf. S.LN, 2001. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 Hal. 7-14
PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN REPRODUKSI TERHADAP SIKAP REMAJA TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI DI SMA MUHAMMADIYAH 3 YOGYAKARTA Dwi Prihatiningsih1, Uswatun Khasanah2, Yuli Isnaeni3
Abstract: To investigate the effect of reproductive health education on the teenager’s attitude toward reproductive health, 16 students of Senior High School Muhammadiyah III were recruited as participants of the study. Using quasi experiment design, data were collected from teenager student using questionnaire. The results of the study indicate that the reproductive health education influences the teenager’s attitude toward reproductive health ( χ2 = ….; p < 0.01). Kata kunci: Pendidikan Kesehatan Reproduksi, Seks pranikah, Remaja
PENDAHULUAN Berdasarkan rekomendasi dari hasil International Conference on Population and Development (ICPD) tahun 1994, banyak organisasi diberbagai negara telah menciptakan berbagai program agar dapat lebih memenuhi kebutuhan para remaja di bidang kesehatan reproduksi (Brook, et.,al., 2000). Di Indonesia, BKKBN telah mencanangkan program kesehatan reproduksi remaja sebagai salah satu program untuk terwujudnya visi “Keluarga Berkualitas 2015”. Program kesehatan reproduksi remaja ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku positif remaja tentang kesehatan reproduksi (Noerdin, 2003).
1
Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia tahun 2000, jumlah dan prosentase penduduk Indonesia golongan usia 10-24 tahun (definisi WHO untuk young people) adalah 64 juta atau sekitar 31 % dari total seluruh populasi, sedangkan khusus untuk remaja usia 10-19 tahun (definisi WHO untuk Adolecence) berjumlah 44 juta atau 21 % (Sudradjat, 2002). Penyebab t erjadinya masalah seksualitas pada remaja timbul karena berbagai faktor seperti perubahan hormonal yang meningkatkan libido seksualitas remaja akan tetapi penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum maupun norma sosial. Sementara usia kawin ditunda,
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK UMY 3 Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES 'Aisyiyah Yogyakarta 2
8
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 7-14
norma-norma agama tetap berlaku dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah, seperti firman Allah dalam surat Al Israa’; 32.
Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat kecenderungan untuk melanggar larangan-larangan tersebut. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuan maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, tidak terbuka dengan anak. Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat dan juga ditambah lagi dengan kurangnya informasi tentang seks (Sarwono, 2004). Di tengah arus globalisasi yang tidak mungkin dibendung, jika informasi Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) tidak diberikan secara tepat akan berdampak merugikan pada remaja itu sendiri. Remaja akan dihadapkan pada permasalahan reproduksi tidak sehat seperti hubungan seks pranikah yang bisa berarti berganti pasangan, menambah remaja putus sekolah, meningkatnya jumlah kehamilan remaja, perkawinan usia muda dan penyebaran PMS dan HIV/AIDS. Dan tak bisa terhindarkan, dampak paling serius adalah pada kehamilan tidak dikehendaki dan juga abortus ilegal (Kedaulatan rakyat, 17 Oktober 2004). Dalam penelitian Baseline Survey Of Young Adult Reproductive Welfare In
Indonesia 1998/1999, remaja yang pernah berhubungan seksual adalah 2,9 % yaitu pria sebanyak 3,4 % dan wanita 2,3 % (BKKBN, 1999). Beberapa penelitian SKRRI, BPS (2004) menemukan 21-30 % remaja Indonesia di kota besar seperti Bandung, Jakarta, Yogyakarta telah melakukan hubungan seks pra-nikah. Ini adalah data yang terungkap. Beberapa pakar berpendapat bahwa angka yang diperoleh melalui penelitian itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es, yang kakinya masih terbenam dalam samudera (BKKBN, 2004). Hubungan seks di luar nikah yang dilakukan secara tidak aman juga terbukti telah menyebabkan PMS termasuk HIV/ AIDS. Menurut sumber Depkes RI, sampai akhir Maret 2003, jumlah orang dengan HIV/ AIDS (ODHA) di Indonesia adalah 3.614 orang, diantaranya remaja berusia 15-19 tahun berjumlah 147 Orang (BKKBN, 2003). Didapatkan juga bahwa data aborsi di Indonesia adalah sekitar 2,4 jiwa pertahun dan sekitar 700 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja (Hasmi, 2001). Tingkat pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi nampaknya juga cukup memprihatinkan. Ada 86% remaja, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak mengerti tentang kapan terjadinya masa subur. Disamping itu, hanya satu diantara 2 remaja kita yang mengetahui adanya kemungkinan hamil apabila melakukan hubungan seks meskipun cuma sekali (BKKBN, 2004). Gambaran di atas mengindikasikan bahwa pemahaman remaja terhadap Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR) masih rendah. Selayaknya para remaja itu memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi. Pendekatan yang bisa dilakukan diantaranya melalui institusi keluarga, teman sebaya (peer group), institusi sekolah, Kelompok Kegiatan Remaja, LSM peduli remaja dan tempat
Dwi P., Uswatun Kh., Yuli I., Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi.....
kerja (BKKBN, 2003). Walaupun pemerintah telah mencanangkan program kesehatan reproduksi remaja, namun dampaknya belum dapat dirasakan sepenuhnya oleh semua remaja di Indonesia. Oleh karena itu diharapkan pada penelitian ini, siswa-siswi SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta lebih mengetahui tentang apa yang dimaksud dengan kesehatan reproduksi itu sendiri yang akhirnya akan memberikan dampak pada sikap yang positif terhadap kesehatan reproduksinya. Secara garis besar masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan dengan sebuah pertanyaan “Bagaimana pengaruh pendidikan kesehatan reproduksi terhadap sikap renaja tentang kesehatan reproduksi di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta?” Tujuan dari penelitian ini adalah: diketahuinya sikap remaja tentang aspek fisik, mental dan sosial kultural kesehatan reproduksi sebelum dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan reprodusi di SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian “quasi eksperimen” dengan menggunakan desain One Group Pretest Postest Designs. Bentuk rancangan ini adalah sebagai berikut:
01
x
01’
Keterangan: O1 = Observasi terhadap sikap sebelum dilakukan perlakuan (Pendidikan Kesehatan). O1’= Observasi terhadap sikap setelah dilakukan perlakuan (Pendidikan Kesehatan. X = Perlakuan (Pendidikan Kesehatan)
9
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa dan siswi SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta yang berumur 16-19 tahun. Sampel penelitian ini diambil secara cluster sampling. Karena responden yang hadir pada saat dilakukan pendidikan kesehatan reproduksi hanya 16 siswa, maka responden pada penelitian ini menjadi 16 orang saja sesuai dengan peserta yang hadir. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner tentang sikap remaja meliputi aspek fisik, mental dan sosial kultural dari kesehatan reproduksi. Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah pendidikan kesehatan reproduksi yang diukur dengan skala nominal, sedangkan variabel dependen (terikat) adalah sikap remaja tentang kesehatan reproduksi yang diukur dengan skala nominal. Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan uji statistik non-parametrik, yaitu rumus Chi-Square. HASIL DAN PEMBAHASAN Dari tabel dibawah, dapat dilihat bahwa jumlah responden 16 siswa dimana jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki (56,25 %), umur reponden terbanyak adalah 16 dan 17 tahun sebanyak 37,5 %. Menurut kelasnya, jumlah responden kelas X dan XI berjumlah sama yaitu 50 %, sedangkan menurut latar belakang budayanya, sebanyak 87,5 % berlatar belakang budaya Jawa dan semua responden menyatakan pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi. Informasi ini diperoleh responden sebagian besar berasal dari media massa yaitu 93,75 %, guru 75 %, teman 62,5 %, orang tua sebanyak 43,75 % dan dari petugas kesehatan sebanyak 37,5%.
10
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 7-14
Tabel 1. Karakteristik Responden Kategori Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Umur (tahun) 15 16 17 18 Jumlah Kelas X XI Jumlah Latar belakang budaya Jawa Lainnya Jumlah Pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi Pernah Tidak pernah Jumlah Sumber informasi Media massa Guru Teman Orang tua Petugas kesehatan
Frekuensi (f)
Persentase (%)
9 7 16
56,25 43,75 100
2 6 6 2 16
12,5 37,5 37,5 12,5 100
8 8 16
50 50 100
14 2 16
87,5 12,5 100
16 0 16
100 0 100
15 12 10 7 6
93,25 75 62,5 43,75 37,5
Tabel 2. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Sikap Remaja Tentang Aspek Fisik Kesehatan Reproduksi
Pendidikan Kesehatan
Mendukung Tidak Mendukung Total
Sikap Remaja Tentang Aspek Fisik Kesehatan Reproduksi Sebelum f % 10 62,5 6 37,5
Sesudah f % 10 62,5 6 37,5
16
16
100
100
Sikap Remaja Tentang Kesehatan Reproduksi Aspek Fisik Kesehatan Reproduksi Sikap remaja tentang aspek fisik kesehatan reproduksi meliputi sikap remaja tentang kematangan seksual remaja, kebersihan alat reproduksi, kehamilan pada remaja, dampak PMS dan HIV/AIDS bagi kesehatan reproduksi, dampak narkoba pada kesehatan reproduksi serta anemia pada remaja. Dari tabel 2 dapat diketahui, sikap remaja tentang aspek fisik kesehatan reproduksi setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi tidak berubah dari 62,5 % tetap menjadi 62,5 %. Berdasarkan uji Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95 % didapatkan nilai probabilitas tabel (0,062) lebih besar dari nilai a (0,05) dan p > α , maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan kesehatan reproduksi terhadap sikap remaja tentang aspek fisik kesehatan reproduksi. Walaupun tidak ada peningkatan sikap yang signifikan namun dari keseluruhan sikap remaja sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan reproduksi dapat dikatakan sudah cukup baik. Hal ini mungkin disebabkan karena siswa sudah mendapatkan materi tersebut baik dari guru melalui pelajaran maupun dari media massa. Hal ini terbukti dengan sumber informasi yang didapatkan oleh responden mengenai kesehatan reproduksi yaitu hampir seluruh responden yaitu 93,75 % (15 siswa) berasal dari media massa dan yang berasal dari guru sebanyak 75 % (12 siswa). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Alubo di Nigeria yang menunjukkan bahwa sumber informasi terbesar tentang kesehatan reproduksi berasal dari media massa (91 %). Penemuan ini memberikan kesan bahwa media massa mempunyai
Dwi P., Uswatun Kh., Yuli I., Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi.....
pengaruh yang lebih besar dalam kehidupan remaja dari pada sumber yang lain (Alubo,et.,al., 2002). Aspek Mental Kesehatan Reproduksi Sikap remaja tentang aspek mental kesehatan reproduksi meliputi sikap tentang ketertarikan dengan lawan jenis, pacaran, ungkapan cinta dan hubungan seksual, dorongan seksual, orientasi seksual, persiapan kehamilan, narko ba dan pelecehan seksual. Table 3. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Sikap Remaja Tentang Aspek Mental Kesehatan Reproduksi
Pendidikan Kesehatan Mendukung Tidak Mendukung Total
Sikap Remaja Tentang Aspek Mental Kesehatan Reproduksi Sebelum Sesudah f % f % 7 43,8 11 68,8 9
56,3
5
31,2
16
100
16
100
Dari tabel 3 dapat diketahui, sikap remaja setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi meningkat dari 43,8 % menjadi 68,8 %. Berdasarkan uji Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95% didapatkan nilai probabilitas tabel (0,439) lebih besar dari nilai α (0,05) dan p < α , maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan kesehatan reproduksi terhadap sikap remaja tentang aspek mental kesehatan reproduksi. Walaupun tidak ada peningkatan yang signifikan, namun jika dilihat persentasenya, terjadi peningkatan sebesar 25 %. Mungkin hal ini disebabkan karena topik-topik aspek mental dari kesehatan reproduksi yang sangat menarik bagi remaja terutama tentang cinta, pacaran dan cara mengungkapkannya.
11
Hal ini sesuai dengan salah satu ciri perubahan psikologis yang terjadi pada remaja yaitu tumbuhnya ketertarikan dengan lawan jenis dan keinginan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan lawan jenisnya (Hasmi, 2001). Peningkatan persentase tidak signifikan dalam mempengaruhi sikap tentang kesehatan reproduksi. Hal tersebut disebabkan karena remaja masih malu untuk bertanya tentang masalah hubungan seksual, dorongan seksual, orientasi seksual dan pelecehan seksual kepada kedua orang tuanya. Begitu pula dengan orang tua yang masih mengganggap hal tersebut tabu untuk dibicarakan dengan anak-anaknya. Orang tua yang tabu membicarakan seks dengan anaknya dan hubungan anak dan orang tua jauh menyebabkan anak berpaling ke sumber yang tidak akurat khususnya teman. Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa pengaruh teman sebaya berperan banyak dalam menyampaikan informasi mengenai kesehatan reproduksi yaitu sebanyak 62,5 %. Hal ini juga disebabkan karena pada saat remaja, ia juga menaruh sebagian besar kepercayaannya pada teman sebayanya (Indrasari, 2004). Aspek sosial Kultural Kesehatan Reproduksi Sikap remaja tentang aspek sosial kultural kesehatan reproduksi meliputi budaya, norma dan pandangan masyarakat mengenai seks bebas dan keperawanan, KTD (Kehamilan Tak Diinginkan), aborsi, pornografi, gender dan komunikasi dengan orang tua.
12
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 7-14
Table 4. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Sikap Remaja Tentang aspek Sosial Kultural Kesehatan Reproduksi
Pendidikan Kesehatan Mendukung Tidak Mendukung Total
Sikap Remaja Tentang Aspek Sosial Kultural Kesehatan Reproduksi Sebelum Sesudah f % f % 8 50 8 50 8
50
8
50
16
100
16
100
Dari tabel 4 dapat diketahui, sikap remaja setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi tidak meningkat dari 50 % tetap menjadi 50 %. Berdasarkan uji Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95 % didapatkan nilai probabilitas tabel (0,086) lebih besar dari nilai a (0,05) dan p > a, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan kesehatan reproduksi terhadap sikap remaja tentang aspek sosial kultural kesehatan reproduksi. Walaupun tidak ada peningkatan yang signifikan, namun jika dilihat dari persentase sikapnya, sikap remaja tentang kesehatan reproduksi secara fisik sebelum dan sesudah diberikan pendidikan kesehatan reproduksi cukup baik, hal ini dikarenakan latar balakang budaya, norma dan agama yang dimiliki oleh responden sangat mempengaruhi sikap remaja t entang seks bebas, keperawanan, Kehamilan Tak Diinginkan, aborsi, pornografi, gender dan komunikasi dengan orang tua (Azwar, 1995). Hal ini terbukti dengan melihat latar belakang budaya responden sebagian besar adalah jawa yaitu 14 siswa (87,5 %) begitu pula dengan budaya lain di Indonesia yang masih mentabukan seks dan sangat menjunjung tinggi nilai keperawanan. Begitu pula dengan latar belakang agama Islam
dimana responden belajar, tentu akan berdampak besar dalam sikap remaja karena dalam Islam aborsi dan seks bebas sangat dilarang. Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Tanpa kita sadari, kebudayaan telah menanamkan garis pengarah sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat, karena kebudayaan pulalah yang memberi corak pengalaman individu-individu yang menjadi anggota kelompok masyarakat asuhannya (Azwar, 1995). Aspek Fisik, Mental dan Sosial Kultural Kesehatan Reproduksi Tabel 6. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi Terhadap Sikap Remaja Tentang Aspek Fisik, Mental dan Sosial Kultural Kesehatan Reproduksi
Pendidikan Kesehatan
Mendukung Tidak Mendukung Total
Sikap Remaja Tentang Aspek Fisik, Mental dan Sosial Kultural Kesehatan Reproduksi Sebelum Sesudah f % f % 8 50 8 50 8
50
8
50
16
100
16
100
Dari tabel 6 dapat diketahui, sikap remaja setelah mendapatkan pendidikan kesehatan reproduksi tidak meningkat dari 50 % tetap menjadi 50 %. Berdasarkan uji Wilcoxon dengan tingkat kepercayaan 95 % didapatkan nilai probabilitas tabel (0,107) lebih besar dari nilai a (0,05) dan p < a, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan kesehatan reproduksi terhadap
Dwi P., Uswatun Kh., Yuli I., Pengaruh Pendidikan Kesehatan Reproduksi.....
sikap remaja tentang kesehatan reproduksi. Pendidikan seksual di sekolah dapat menjadi suatu cara yang efisien untuk mencapai remaja dan keluarganya. Program pendidikan seksual berbasis sekolah yang berkurikulum, dengan waktu yang baik dan dengan instruktur yang terlatih dan suportif dapat mempengaruhi sikap remaja serta membantu mencegah terjadinya kehamilan dini, HIV/AIDS dan PMS (Reproductive Health Outlook, 2004). Menurut Not oatmodjo (2002) keberhasilan suatu pendidikan dipengaruhi oleh strategi, metode dan alat bantu pengajaran. Dalam penelitian ini metode yang digunakan dalam pendidikan kesehatan reproduksi bermacam-macam, namun kebanyakan metode yang digunakan adalah metode ceramah yang memang tidak begitu efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap peserta didik. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Riyatno (2003) bahwa metode ceramah kurang begitu efektif digunakan untuk meningkatkan sikap remaja mengenai kesehatan reproduksi. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa metode diskusi kelompok lebih efektif meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi dari pada metode ceramah. KESIMP ULAN DAN SARAN Kesimpulan Sikap remaja tentang aspek fisik, mental dan sosial-kultural kesehatan reproduksi sebelum dan sesudah diberikan pendidikan tidak menunjukkan peningkatan. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara pendidikan kesehatan reproduksi terhadap sikap remaja tentang aspek fisik, mental dan sosial-kultural kesehatan reproduksi. Saran Bagi SMA Muhammadiyah 3 Yogyakarta untuk mengembangkan suatu
13
kurikulum kesehatan reproduksi agar diberikan secara terstruktur dikelas, sehingga diharapkan dapat mempengaruhi sikap dan perilaku siswa yang positif terhadap kesehatan reproduksi serta mencegah seks pranikah dan masalahmasalah kesehatan reproduksi yang lain. Bagi peneliti yang lain agar dapat melakukan penelitian dengan sampel yang benar-benar representatif dan dengan metode diskusi.
DAFTAR RUJUKAN Al-Qur’an surat Al-Israa’: 32. Alubo. O., Oyediran. K., Odiachi. A., 2002. Adolescent Sexuality and Reproductive Health in Benue State, Nigeria. CEDPA Nigeria. Diakses tanggal 20 Mei 2005 http:/ /www.cedpa.org/publications/pdf/ nigeria_adolescentsexuality.pdf Kedaulatan Rakyat, 2004. Informasi KRR dan Kualitas Remaja Indonesia, 17 Oktober 2004, halaman 8. Anonim, 2004. Siapa Peduli, Terhadap Remaja, BKKBN Diakses 7 April 2005 dari http://pikas.bkkbn.go.id/ article_detail.php?aid=246. Anonim, 2003. Tanya Jawab Kesehatan Reproduksi Remaja, BKKN yayasan Mitra Inti. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2004 Http:// www.bkkbn.go.id/hqweb01/ceria/ b2krr.zip Anonim, 2004. Adolescent Reproductive Health Key Issues, Reproductive Health Outlook. Diakses 14 Februari 2005 dari ht tp:// www.rho.org/html/ adol_key issues.htm. Azwar. S., 1995. Sikap Manusia Teori dan Pengukuran, Pustaka Pelajar Yogyakarta, edisi 2.
14
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 7-14
Brook. M.K, Mc Kay. P, Swan. D, 2000. Kesehatan Reproduksi Remaja: Membangun Perubahan yang Out Look. Seattle. Washington. USA. Diakses 19 Oktober 2004 dari ht tp:// www.path.org/files /Indonesian_163.pdf Hasmi. E., 2001. Membantu Remaja Memahami Dirinya, BKKBN Jakarta. Diakses pada 19 Oktober 2004 dari Http://www.bkkbn.go.id/ hqweb01/ceria/mb7.zip Noerdin., 2003. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat Melalui Program Keluarga Berencana Nasional (ringkasan). BKKBN. Riyatno. P., 1999. Efektifitas metode ceramah dan diskusi kelompok dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap remaja tentang kesehatan reproduksi. Tesis UGM. Sudradjat. I.A., 2002. Hak Remaja Atas Kesehatan Reproduksi, Kompas 21 Oktober 2002. Sarwono. S.A., 2004. Psikologi Remaja. Jakart a PT Raja Grafindo persada,edisi revisi, cetakan 8. Tanjung. A., et.al., 2001. Kebutuhan Akan Informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi Remaja, PKBI, UNFPA, BKKBN. B
e
r m
a
k
n
a
,
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 Hal. 15-22
PENGARUH TERAPI PSIKOSPIRITUAL TERHADAP TINGKAT KECEMASAN KLIEN REHABILITASI GANGGUAN JIWA DI RS GRHASIA PROPINSI DIY Suyadi1, Sri Hendarsih2 Abstract: This quasi experimental research was conducted to examine the effects of psychosopiritual therapy on anxiety level of mental disorder patients with rehabilitation program in Grhasia Hospital of Yogyakarta. Employing purposive sampling, this study involved 30 patients, divided into experimental group and control group. Data were collected by TMAS questionnaire and observation. The result of Wilcoxon Signed Rank Test reveals that psychospiritual therapy effectively reduces anxiety level of mental disorder patients. Kata kunci: terapi psikospiritual, tingkat kecemasan, RS Ghrasia Yogyakarta
PENDAHULUAN Dunia modern yang ditandai kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan membawa dampak bagi kehidupan manusia, tak terkecuali bagi kesehatan dan khususnya kesehatan jiwa. Banyak orang yang tenggelam dalam lajunya arus globalisasi hingga menjadi stress dalam menghadapi persaingan hidup dalam rangka mencapai kesejahteraan (Hawari, 2001). Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai penyokong globalisasi dan industrialisasi, banyak terjadi penyimpangan sehingga mengakibatkan dampak negatif berupa kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan hidup disini tidak semata-mata lingkungan hidup yang berarti fisik misalnya polusi atau kerusakan alam lainnya, tetapi
1 2
juga lingkungan dalam arti tata kehidupan manusia, sosial dan moralitas tingkah laku manusia. Menjawab fenomena tersebut ternyata peran spiritual sangat diperlukan, sebagaimana pernyataan seorang ilmuan Albert Einstein menyatakan bahwa ilmu pengetahuan tanpa agama bagaikan orang buta , tetapi agama tanpa ilmu pengetahuan bagaikan orang lumpuh (Hawari, 2001). Kerusakan dimuka bumi ini akibat ulah tangan manusia itu sendiri, seperti firman Allah dalam Al Quran surat Ar Ruum ayat 41:
Staff Keperawatan RS Grhasia Propinsi DIY Dosen Keperawatan Poltekkes Depkes Yogyakarta.
16
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 15-22
Artinya: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan-tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada meraka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar meraka kembali (ke jalan yang benar)”. Manusia sebagai pelaku kerusakan tersebut tidak terlepas dari moralitas yang tercermin dari kualitas spiritualnya. Ditinjau dari sudut kesehatan, moralitas manusia bisa diamati dari tingkah laku dan perbuatannya, dan erat hubungannya dengan kesehatan jiwa (mental health). Dari semua cabang ilmu kedokteran, ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) dan kesehatan jiwa adalah yang paling dekat dengan agama. Dalam diri manusia tingkat kesehatan dan kesejahteraan optimal (well being), terdapat keterpaduan dari kesehatan jiwa dan nilainilai religius keagamaan (Hawari, 2001). Kesehatan dalam pendekatan holistik meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual, memandang manusia seutuhnya dalam mencapai tingkat kesehatan dan kesejahteraannya. Pengertian kesehatan jiwa menurut paham ilmu kedokteran adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain. Juga bisa diartikan sesuat u yang harmo nis/serasi dan memperhatikan semua segi-segi dalam penghidupan manusia dalam hubungannya dengan manusia lainnya. Jika terjadi ketidakseimbangan akan nampak sebagai perubahan dalam fungsi jiwa seseorang, dan itu merupakan gangguan di bidang kejiwaan ( Hawari, 1999) Pada saat ini terjadi peningkatan angka gangguan jiwa pada masyarakat, menurut studi WHO (2004) pada populasi ditemukan prosentase 20% sehat jiwa
(mental health), 20% gangguan jiwa (mental disorder), dan 60% diantara (in between) sehat jiwa dan gangguan jiwa. Pasien dan keluarganya seringkali diliputi kecemasan dan ketakutan, rasa putus asa dan depresi (Hawari, 1999) Kondisi kejiwaan yang demikian ini dapat diatasi tidak hanya dengan obat-obat penenang anti cemas atau anti depresi saja, tetapi pendekatan spiritual dengan senantiasa mengingat Allah, seperti firman-Nya dalam surat Ar Rad ayat 28 :
Artinya : “Yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tentram”. Cancellaro, Larson, dan Wilson (cit Hawari, 1999) telah melakukan penelitian hubungan antara agama (spiritual) dan kesehatan jiwa pada tiga kelompok, yaitu : kelompok alkoholik kronis, kelompok ketergantungan obat kronis, dan kelompok Skizofrenia. Ketiga kelompok tadi dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari ketiga kelompok gangguan jiwa dan kelompok kontrol ini yang diteliti adalah riwayat keagamaan mereka. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada kelompok kontrol lebih konsisten dalam keyakinan agama dan pengamalannya, bila dibandingkan dengan ketiga kelompok tersebut. Temuan ini menunjukkan bahwa agama dapat berperan sebagai pelindung daripada sebagai penyebab masalah (religion may have actually been protective than problem producing). Salah satu contoh hasil penelitian tersebut diketahui bahwa dibandingkan dengan kelompok kontrol, kelompok skizofrenia tidak menjalankan agamanya
Suyadi, Sri Hendarsih, Pengaruh Terapi Psikospiritual...
dan tidak sama rajin dengan kelompok kontrol. Hasil temuan ini sebagai akibat ketidakharmonisan keluarga. Sebagai contoh misalnya pengajaran agama pada keluarga-keluarga penderita skizofrenia, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang suka menghukum dan bertindak kasar (73 %); sedangkan pada keluarga kelompok kontrol, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan baik hati (70%), (Wilson, Larson, & Meier 1983 cit Mukri & Mutttaqin, 2002). Terapi holistik yang merupakan perpaduan empat dimensi bio, psiko, sosial, dan spiritual menurut WHO (cit Nurjana, 2005), yaitu: terapi psikofarmaka, psikoterapi, terapi psikososial, dan terapi psikospirit ual (pendekatan terapi keagamaan). Terapi psikospiritual dalam praktik kedokteran (khususnya psikiatri), bukan untuk tujuan mengubah keyakinan klien terhadap agama yang dianutnya, melainkan untuk membangkitkan kekuatan kerohanian/ spiritualnya dalam menghadapi penderitaan penyakit/gangguan kesehatannya. Terapi agama tidak dapat dilakukan pada klien psikotik oleh karena telah kehilangan penilaian terhadap realita. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: “Diangkat kalam (dibebaskan dari ketentuan hukum ) dari tiga golongan: orang yang sedang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia bermimpi (dewasa), dan dari orang sakit ingatan (hilang akal) sampai dengan ia berakal (sembuh)”(H.R. Muslim dari Anas bin Malik). Bagi klien gangguan jiwa yang telah mulai menjalani rehabilitasi mental, penilaian terhadap realita mulai timbul sehingga terapi psikospiritual dapat dilakukan sesuai agama yang dianutnya Pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia diharapkan lebih berkualitas dalam rangka
17
meningkatkan status kesehatan jiwa klien khususnya dan masyarakat pada umumnya, melalui pendekatan empat dimensi biopsiko-sosio-spiritual (Soewadi, 2005). Rumah Sakit Grhasia Propinsi DIY, sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan jiwa di Yogyakarta, merupakan rumah sakit jiwa milik pemerintah yang memberi pelayanan jiwa secara menyeluruh (holistik). Terapi psikospiritual pada klien rehabilitasi gangguan jiwa belum dapat dilakukan secara terstruktur dan terprogam. Hal ini disebabkan belum adanya unit khusus serta petugas khusus yang menangani masalah kerohanian/spiritual pasien. Terapi psikospiritual dapat dilakukan oleh dokter, perawat, psikolog, petugas rehabilitasi maupun ahli agama. Berdasarkan observasi dan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti di Rumah Sakit Grhasia ditemukan data sebagai berikut : 1. Tidak ada petugas khusus di unit Rehabilitasi yang memberi bimbingan keagamaan kepada klien (seperti guru agama, ustad, pendeta, dan sebagainya). 2. Belum ada ruangan khusus di bangsal perawatan yang diperuntukkan kegiatan keagamaan/ibadah. 3. Tidak adanya kegiatan keagamaan pada hari besar keagamaan yang mengikutsertakan pasien. 4. Masih adanya stigma bahwa pasien gangguan jiwa berarti lupa ingatan/hilang akal, dan karenanya bebas dari hukum atau bebas dari kewajiban menjalankan agamanya. Data tersebut kemungkinan yang menyebabkan terapi psikospiritual dirasakan kurang ada manfaatnya. Klien rawat inap dengan kondisi tenang, emosinya mulai stabil, dan mulai pulih ingatannya, mengenal realita serta menyadari akan sakitnya. Mereka menyadari permasalahan hidupnya dan menyadari pula bahwa cara penyelesaian
18
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 15-22
masalah yang digunakan seperti mengamuk, minum alkohol, obat-obatan terlarang dan hal-hal negatif lainnya merupakan hal yang tidak benar. Pada kondisi yang demikian sangat baik jika diarahkan ke aspek religius dengan menanamkan nilai-nilai agama berupa kesabaran, kepasrahan dan mengharap pertolongan dari Tuhannya. Banyak ditemukan pasien dengan permasalahan gangguan proses pikir waham keagamaan yang timbul akibat salah mempersepsikan nilai-nilai keagamaan. Meskipun waham itu sendiri diyakini kebenarannya oleh klien dan sulit untuk diubah, tetapi pada kondisi tenang dan tahap pemulihan sebaiknya diberi terapi psikospiritual berupa bimbingan yang benar tentang agamanya. Apabila terapi psikospirit ual dilaksanakan secara terstruktur dan terprogram dengan baik maka kesembuhan pasien lebih cepat tercapai.
Sampel penelitian ini adalah klien gangguan jiwa yang beragama Islam, lakilaki dan dirawat di kelas III RS Grhasia yang dalam kondisi tenang (maintenance), dan menjalani program rehabilitasi. Jumlah sampel adalah 30 pasien, terdiri dari 15 orang kelompok eksperimen dan 15 orang kelompok kontrol. Teknik sampling menggunakan purposive sampling. Pengukuran kecemasan menggunakan kuesioner T-MAS yang merupakan tes kecemasan yang standar dan dapat diterima secara internasional. Instrumen pengumpulan data perilaku spiritual dan persepsi klien terhadap gangguan jiwa menggunakan lembar observasi. Analisis statistik untuk menguji hipotesis menggunakan uji statistik nonparametrik dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test dengan bantuan program komputer, dengan taraf signifikan 0,05
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain Quasi Experimental dengan pendekatan Non Equivalent Control Group. Rancangan ini berupaya unt uk mengungkapkan sebab akibat antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dan tidak menggunakan teknik acak (Nursalam, 2001). Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa terapi psikospiritual dan kelompok kontrol tidak diberi terapi psikospiritual. Pada kedua kelompok diawali dengan tes awal dan setelah diberi terapi psikospiritual dilakukan tes akhir. Perilaku spiritual dan persepsi klien terhadap gangguan jiwa sebelum dan sesudah diberi terapi psikospiritual dilakukan observasi. Terapi psikospiritual yang diberikan berupa ceramah keagamaan tentang konsep sehat sakit/gangguan jiwa, bimbingan berdo'a, bimbingan shalat dan dzikir yang dilakukan terus menerus selama 20 hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN Rumah Sakit Grhasia Propinsi DI Yogyakarta terletak di Jalan Kaliurang Km. 17,5 Pakem, Yogyakarta, tepatnya di Dusun Tegalsari, Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Propinsi DI Yogyakarta, yang berdiri sejak tahun 1938 diatas tanah seluas 104.250 M2. Rumah Sakit Grhasia merupakan rumah sakit jiwa milik pemerintah Propinsi DI Yogyakarta, yang mempunyai visi “Menuju Rumah Sakit Unggulan Khususnya Untuk Pelayanan Psikiatri dan Napza di DIY dan Jawa Tengah Tahun 2008. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli sampai dengan September 2006. Gambaran karakteristik responden penelitian: (1) tingkat pendidikan responden terbanyak SLTA sejumlah 16 orang (53,3 %), dan paling sedikit berpendidikan Perguruan Tinggi sejumlah 1 orang (6,7 %). (2) usia terbanyak 20-30 tahun sejumlah 17 orang
( S
u
g
i y
o
n
o
,
2
0
0
2
)
.
Suyadi, Sri Hendarsih, Pengaruh Terapi Psikospiritual...
(56,67 %), dan paling sedikit 1 orang (3,33%) berusia < 20 tahun. Hasil pengukuran tingkat kecemasan pada kedua kelompok adalah: pada kelompok eksperimen, pada tes awal dan tes akhir mengalami perbedaan dengan nilai z hitung = -3,246 dan nilai z tabel = 1,64, taraf signifikan 0, 05 dan mengabaikan nilai negatif. Hasil ini menunjukkan ada pengaruh yang bermakna pemberian terapi psikospiritual terhadap tingkat kecemasan klien. Nilai Negative Ranks: 13 ( pos tes < pre tes ) dan Positive Ranks 2 (pos tes > pre tes), menunjukkan bahwa pengaruh dari pemberian terapi psikospiritual terjadi penurunan tingkat kecemasan. Dibandingkan kelompok kontrol yang tidak diberi terapi psikospiritual didapatkan data nilai z hitung = -1,164 dengan taraf signifikan yang sama yaitu 0,05 nilai z table (1,164 < 1,64) yang berarti tidak ada pengaruh yang bararti antara nilai pre tes dan nilai pos tes pada kelompok kontrol. Pada penelitian ini tingkat kecemasan yang terbanyak adalah tingkat cemas berat sejumlah 23 orang (76,6 %) pada pre tes, dan 21 orang (70 %) pada pos tes. Kecemasan berat ditandai dengan lapang persepsi sangat kurang, fokusnya hanya pada satu kegiatan khusus/perhatian terpencar-pencar asyik dengan dirinya sendiri, tidak dapat mengikuti kejadiankejadian yang terjadi di sekitarnya, ketidakmampuan melihat hubungan antar peristiwa dan perinciannya. Gejala fisik yang muncul pada tingkat ini adalah peningkatan gejala somatik (sakit kepala, muntah, insomnia, berdebar-debar, hiperventilasi) dan menarik diri (Depkes, 2004). Tingkat kecemasan responden mengalami cemas berat, sejumlah 23 orang (73,3%) dan berpendidikan SLTA. Hal ini menunjukkan tingkat pendidikan yang lebih tinggi mempunyai kecenderungan mengalami kecemasan dan tingkat stress yang lebih
19
berat dibandingkan tingkat pendidikan yang rendah. Seseorang dengan t ingkat pendidikan tinggi akan lebih banyak kebutuhan, tuntutan gaya hidup dan persaingan hidup sehingga lebih mudah mengalami stress dan kecemasan (Hawari, 2001). Menurut Soewadi (1987) tingkat pendidikan bagi individu merupakan pengaruh dinamis dalam perkembangan jiwa, jasmani, dan susila. Tingkat pendidikan yang berbeda akan memberikan jenis pengalaman serta nilai hidup yang berbeda pula. Masalah ini dianggap sebagai tekanan yang dapat meningkatkan krisis dan seseorang yang terkena krisis akan mengalami kecemasan. Berdasarkan data rekapitulasi hasil penelitian pada kelompok eksperimen terdapat 2 orang dengan tingkat pendidikan SD yang mengalami kenaikan nilai pada tes akhir (pada kuesioner T-MAS semakin tinggi skor semakin berat tingkat kecemasannya). Hal ini kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat kecemasan seseorang antara lain kematangan kepribadian, sosial ekonomi, dan kondisi fisik dan mental seseorang. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih mudah menransformasi masukan (terapi psikospiritual) yang diberikan sehingga lebih dapat menurunkan tingkat kecemasannya (Neisser cit. Notoatmodjo, 2003). Pada kelompok eksperimen diberikan terapi psikospiritual berupa ceramah keagamaan tentang konsep sehat-sakit (gangguan jiwa), bimbingan berdo’a, bimbingan shalat dan dzikir, akan memperbaiki proses pikir klien dan diharapkan memiliki kecerdasan spiritual yang mampu memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, menuju manusia yang seutuhnya. Pendekatan agama dalam usaha penyembuhan mempunyai tujuan yaitu: untuk menghilangkan atau mengurangi gejala
20
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 15-22
penyakit, memperbaiki proses pikir, alam perasaan, emosi, sikap, dan tingkah laku, memperbaiki penghayatan diri, memperbaiki judgement, meredam kecemasan dan ketegangan, meningkatkan percaya diri dan berpikir positif, mampu berpikir obyektif dan menerima realita, dan mampu menerima musibah dengan ikhlas. Berdasarkan data observasi perilaku spiritual klien berupa pandangan klien terhadap gangguan jiwa menurut nilai dan keyakinannya, kegiatan do’a, shalat dan dzikir yang dilakukan sebelum dan sesudah diberi terapi keagamaan terdapat peningkatan yang bermakna. Pada observasi setelah diberi terapi psikospiritual pandangan klien terhadap gangguan jiwa sebagian besar menjawab sakit/gangguan jiwa sebagai cobaan sejumlah 12 orang (80 %). Kegiatan berdo’a sesudah diberi terapi terbanyak mengerjakan dengan mandiri, kurang sempurna sejumlah 12 orang (80 %) dan paling sedikit mengerjakan mandiri dengan sempurna sejumlah 3 orang (20 %). Kegiatan shalat dan dzikir setelah diberi terapi psikospiritual mengalami peningkatan ketaatan menjalankan shalat dan dzikir dengan terbanyak 7 orang (46,7 %) mengerjakan dengan mandiri dan sempurna, dan paling sedikit sejumlah 3 orang (20 %) mengerjakan jika disuruh. Kegiatan bimbingan spiritual yang diberikan kepada klien sesuai pelatihan prinsip kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ: Emotional Spiritual Question), bahwa shalat merupakan kunci dari pembangunan dan pelatihan prinsip, yaitu beriman dan tunduk kepada Allah Yang Maha Esa. Shalat juga bertujuan untuk membuka kembali sumbersumber suara hati, agar terus memberikan dan membimbing hidup seseorang, di samping juga melatih pendengaran hati agar peka dan mampu mendengar bisikan bawah sadar yang merupakan sumber ESQ seseorang (Agustian, 2002). Kegiatan terapi
ini dilakukan secara rutin dan terus menerus selama 20 hari dan tiga hari sesudahnya dilakukan observasi. Hal ini sesuai teori yang menyebutkan bahwa belajar adalah mengambil tanggapan-tanggapan dari stimulus yang diulang-ulang. Makin banyak dan sering stimulus diberikan, maka makin memperkaya tanggapan pada subyek belajar, dan perilaku seseorang merupakan respons atau reaksi terhadap rangsangan dari luar (Skinner cit. Notoatmodjo, 2003). Kesehatan dalam pendekatan holistik meliputi aspek bio-psiko-sosio-spiritual, memandang manusia seutuhnya dalam mencapai tingkat kesehatan dan kesejahteraannya. Pendekatan agama penting untuk upaya pencegahan, penyembuhan dan rehabilitasi mental pasien gangguan jiwa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terapi psikospiritual mempengaruhi penurunan tingkat kecemasan klien. Pada kelompok eksperimen yang diberi terapi psikospiritual, dari 13 orang yang mengalami kecemasan berat turun menjadi 10 orang. Tingkat cemas sedang dari 2 orang meningkat menjadi 4 orang dan seorang menjadi cemas ringan. Sesuai pendapat Soewadi (2005), bahwa dengan agama hidup menjadi lebih pasrah, sehingga tercipta kondisi homeostasis (keseimbangan). Ketaatan beribadah, lebih mendekatkan diri kepada Tuhannya dan pandai bersyukur, akan membuat semua protektor yang ada dalam tubuh manusia bekerja sehingga tercipta keseimbangan neurotransmitter dalam otak yang dapat mencegah timbulnya gangguan jiwa. Menurut Hawari (1999) do’a dan dzikir mengandung unsur psikoterapeutik, tidak hanya pada sudut pandang kesehatan jiwa tapi kesehatan pada umumnya dan setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa, karena do’a dan dzikir mengandung unsur spiritual kerohanian/keagamaan/ keTuhanan yang dapat membangkitkan
Suyadi, Sri Hendarsih, Pengaruh Terapi Psikospiritual...
harapan (hope), rasa percaya diri (self confidence), ketenangan pada diri seseorang yang sakit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian pada klien gangguan jiwa pada kelompok eksperimen yang diberi terapi psikospiritual, tingkat kecemasannya lebih menurun dibandingkan kelompok ko ntro l yang t idak diberi terapi psikospiritual. Berdasarkan dat a uji st atistik disimpulkan bahwa ada pengaruh yang bermakna pemberian terapi psikospiritual terhadap penurunan tingkat kecemasan klien. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Hawari (1999) bahwa kejiwaan, saraf (neuron) dan kelenjar hormon (endokrin) saling berhubungan atau yang disebut sebagai cabang ilmu “psiko-neuron-endokrinologi”. Orang yang sedang melahirkan mengalami ketegangan (st ress) karena cemas menghadapi proses melahirkan diteruskan ke susunan syaraf pusat otak diteruskan ke hypothalamus posterior. Apabila cemas berkelanjutan terjadi penekanan pada hypothalamus sehingga tidak dapat merangsang pengeluaran hormon oksitosin, dan tidak terjadi kontraksi pada uterus sehingga dapat terjadi gangguan pada persalinan berupa partus macet dan atau partus lama. Penelitian yang dilakukan Widiatmoko (2005) mengenai pengaruh bimbingan dzikir terhadap lama persalinan kala I mendapatkan hasil bahwa ibu primigravida yang diberi bimbingan dzikir ternyata lama persalinan kala I lebih cepat dan lancar dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberi bimbingan dzikir. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian ini bahwa terapi psikospiritual berupa ceramah keagamaan, bimbingan shalat, do’a dan dzikir berpengaruh terhadap penurunan tingkat kecemasan klien rehabilitasi gangguan jiwa.
21
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Perilaku spiritual klien dan pandangan klien terhadap gangguan jiwa, menurut nilai dan keyakinannya pada kelompok eksperimen setelah diberi terapi psikospiritual mengalami peningkatan lebih taat dalam menjalankan ibadah dan lebih dapat menerima kondisi sakit (gangguan jiwa) sabagai suatu ujian keimanannya. Tingkat kecemasan klien setelah dilakukan terapi psikospiritual menurun secara signifikan. Saran Berdasarkan hasil kesimpulan disarankan kepada: Pimpinan RS Grhasia Propinsi DIY, agar meningkatkan pelayanan yang lebih komprehensif kepada pasien baik dari segi biologis, psikologis, sosial dan spiritual dengan cara menerapkan terapi psikospiritual sebagai standar pelayanan kesehatan jiwa dan sebagai dasar dalam mengambil kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan jiwa di RS Grhasia. Di samping itu perlu dilakukan pendekatan keagamaan, misalnya membentuk tim kerohanian yang bertugas khusus memberikan bimbingan ro hani dan keagamaan sesuai agama yang dianut klien, menyediakan sarana dan fasilitas untuk beribadah di unit rawat inap sebagai terapi psikospiritual terhadap klien. Perawat RS Grhasia, yang berhubungan langsung dengan pasien diharapkan dalam memberi pelayanan kepada klien agar memperhatikan nilai keagamaan yang dianut klien, memberi bimbingan, pendampingan dan motivasi agar klien melakukan kegiatan spiritual dan beribadah dengan baik. Kegiatan yang dapat dilakukan yaitu mengkaji status spiritual klien, menjelaskan konsep sehat-
22
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 15-22
sakit/gangguan jiwa sebagai ujian keimanan, membimbing perilaku spiritual seperti berdo’a, shalat dan dzikir, dan membimbing agar lebih sabar, mendekatkan diri dengan Tuhan serta tetap berupaya mencari kesembuhan. Bagi keluarga agar lebih dapat menerima dengan ikhlas terhadap klien bukan sebagai beban, tetapi sebagai ujian dari Tuhan. Keluarga senantiasa berdo’a dan berusaha agar klien cepat sembuh, mengingatkan dan mendorong agar klien menjalankan kegiatan spiritual keagamaan dengan benar dan penuh ketaatan.
DAFTAR RUJUKAN Al Quran surat Ar Ruum ayat : 41, surat Ar Rad ayat : 28 Agustian AG, 2002, Emotional Spiritual Question (ESQ), Arga, Jakarta. Depkes RI, Paradigma Sehat, Maret 15, 2004, http://www.Hakli.or.id. php.op. Hawari D, 1999, Al Qur’an Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatam Jiwa, Dana Bhakti Prima Yasa, Jakarta. Hawari D, 1999, Do’a dan Dzikir Sebagai Pelengkap Terapi Medis, Dana Bhakti, Prima Yasa, Jakarta. Hawari D, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa, Edisi II, FKUI, Jakarta. H.R. Muslim dari Anas bin Malik Nurjana. I, 2005, Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa, Cetakan II, Moko Media, Yogyakarta. Mukri G, dan Muttaqin Z, 2002, Do’a dan Dzikir, Mitra Pustaka, Yogyakarta. Notoatmodjo, 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
Nursalam, 2001, Metodologi Riset Keperawatan, CV. Sagung Seto, Jakarta. Soewadi, 1987, Stres Dalam Kerja, FK UGM, Yogyakarta. Soewadi, 2005, Trend Pengobatan Gangguan Jiwa Masa Kini, Makalah Pelatihan Terapi Modalitas Keperawatan, Poltekkes Yogyakarta. Soegiyo no, 2002, Statistik Dalam Penelitian, Cetakan IV, Alfa Beta, Bandung. Widiatmoko, 2005, Rehabilitasi Pasien Mental di Rumah Sakit, Makalah Pelatihan Terapi Mo dalitas Keperawatan Jiwa, Poltekkes Yogyakarta.
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 Hal. 23-28
ANALISIS TINGKAT PERKEMBANGAN POSYANDU DENGAN PENDEKATAN MANAJEMEN ARRIF DI PUSKESMAS PURWOKERTO UTARA II Suryanto1, Erna Kusuma Wati2
Abstract: This descriptive study aims at evaluate the developmental level of posyandu with ARRIF management approach. Sixty four posyandu at North Purwokerto Community Health Center II were recruited as sample of this study. Data were collected by interview to health cadre and health care personnels in Community Health Center. The result of study reveals that 7,81% of posyandus are in pratama level (red), 35,94% of posyandus are in madya level (yellow), 34,38% of posyandus are in purnama level (green) and 21,87% of posyandus are in mandiri level (blue). Interventions are needed for posyandu with pratama level by recruiting new health cadre, retraining health cadre, encouraging and briefing for posyandu members and improving support facilities of posyandu activities. Kata kunci: manajemen, partisipasi, kemitraan.
PENDAHULUAN Tujuan pembangunan bidang kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Keberhasilan pembangunan kesehatan berperan penting dalam meningkatkan mutu dan daya saing sumberdaya manusia Indonesia (Depkes. RI, 2004). Salah satu kegiatan pembangunan kesehatan yang mencerminkan adanya partisipasi dari masyarakat adalah posyandu. Posyandu merupakan wujud partisipasi masyarakat di
1
2
bidang kesehatan. Posyandu yang sudah melakukan kegiatan secara rutin dapat mengembangkan kemandiriannya dengan pendekatan model manajemen ARRIF. Model ini merupakan suatu rangkaian kegiatan yang meliputi kegiatan Analisis, Rumusan, Rencana, Intervensi dan Forum Komunikasi ( Depkes RI, 2006) Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) berupa posyandu di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II sampai bulan September 2006 terdapat 64 Posyandu. Posyandu-posyandu tersebut tersebar di empat kelurahan yaitu Kelurahan
Staf dosen tetap Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Jurusan Kesehatan Masyarakat Unsoed Purwokerto Staf dosen tetap FKIK Jurusan Kesehatan Masyarakat Unsoed Purwokerto.
24
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 23-28
Grendeng, Karangwangkal, Sumampir dan Pabuaran. Macam kegiatan sudah ada yang bervariasi dan ada juga yang belum bervariasi, keaktifan dari kader bervariasi, ada yang sudah aktif dan ada juga yang belum aktif, peran petugas kesehatan dari puskesmas sudah dilaksanakan dan keberadaan peralatan pendukung kegiatan posyandu seperti timbangan bayi atau dacin, alat ukur tinggi badan dan lain-lain di beberapa posyandu masih ada yang belum punya. Hal ini yang mendorong bagi peneliti untuk mengadakan penelitian tentang tingkat perkembangan posyandu dengan pendekatan manajemen ARRIF. METODE PENELITIAN Metode penelitian ini adalah deskriiptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif yaitu Evaluation Study secara cross sectional (Notoatmodjo, 2002) Penelitian ini dilakukan di Posyandu yang berada di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II pada bulan AgustusNovember 2006. Populasinya adalah posyandu di empat kelurahan (Kelurahan Grendeng, Karangwangkal, Sumampir dan Pabuaran). Jumlah seluruh populasi adalah 64 posyandu. Pengumpulan data primer dengan wawancara pada kader kesehatan dan pet ugas kesehat an di Puskesmas menggunakan kuesioner dan data sekunder dengan studi dokumen laporan kegiatan di Puskesmas dan posyandu. Analisa data dilakukan dengan metode deskriptif dengan bantuan komputer. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisa situasi, sumberdaya, tingkat perkembangan dan kasus didapatkan bahwa Puskesmas Purwokerto Utara II merupakan salah satu Puskesmas yang ada
di Kecamatan Purwokerto Utara. Wilayah kerjanya meliputi 4 kelurahan yaitu: Kelurahan Grendeng, Karangwangkal, Sumampir dan Pabuaran. Luas wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II adalah 460,78 Ha. Jumlah penduduknya adalah 20.340 jiwa (laki-laki 10.217 jiwa dan wanita 10.123 jiwa). Jumlah penduduk tertinggi di Kelurahan Sumampir yaitu 7.334 jiwa dan terendah di Kelurahan Karangwangkal yaitu 2.585 jiwa. Dalam menjalankan tugasnya sehari-hari Puskesmas Purwokerto Utara II mempunyai sumber daya manusia 14 orang pegawai berstatus PNS dan 3 orang berstatus wiyatabakti. Jumlah Balita dan Posyandu Jumlah seluruh balita di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II adalah 1.860 jiwa dengan jumlah tertinggi di Kel. Sumampir sejumlah 757 jiwa (40,69 %) dan terendah di Karangwangkal sejumlah 226 jiwa (12,16 %). Jumlah posyandu di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II adalah 64 buah dengan jumlah tertinggi di Kel. Grendeng sejumlah 24 buah (37,50 %) dan terendah di Kel. Pabuaran sejumlah 6 buah (9,38 %). Distribusi jumlah posyandu seperti tampak pada tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Jumlah posyandu di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II No. 1 2 3
Kelurahan
Jumlah Posyandu n % 22 34,37 24 37,50 12 18,75
Sumampir Grendeng Karangwa ngkal 4 Pabuaran 6 Jumlah 64 Sumber : Data Primer terolah
9,38 100,00
Jumlah Posyandu dengan Kader Aktif Jumlah posyandu dengan kader yang aktif 5 orang atau lebih di wilayah Puskesmas
Suryanto, Erna Kusuma Wati, Analisis Tingkat Perkembangan Posyandu...
Purwokerto Utara II sejumlah 39 posyandu (60,95%), Namun masih ada 3 posyandu (4,68%) yang hanya mempunyai 1–2 orang kader yang aktif setiap kegiatan tiap bulannya. Ketiga posyandu tersebut adalah posyandu Ragil Balita, Tempuyung dan Temugiring 2 Distribusi posyandu dengan kader aktif seperti tampak pada tabel 2. Tabel 2. Jumlah posyandu dengan kader aktif di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II Kader Aktif Sedikit (1 – 2 Orang) Cukup (3 – 4 Orang) Banyak (> 5 Orang) Total
Jumlah Posyandu 3
4,68
22
34,37
39
60,95
64
100,00
%
Sumber : Data Primer terolah
Frekwensi Penimbangan Dari 64 po syandu di wilayah Puskesmas Purwokerto Utara II terdapat 59 posyandu (92,19 %) yang termasuk kategori frekwensi kegiatan penimbangannya tinggi. Namun masih ada 3 posyandu (4,69 %) yang hanya melakukan kegiatan kurang dari 8 kali dalam satu tahun yaitu posyandu Ragil Balita, Tempuyung dan Temugiring 2. Hal ini dikarenakan jumlah kader aktif di posyandu yang aktif hanya satu orang. Cakupan Pasien Datang/Pasien Seluruhnya Dari 64 posyandu terdapat 33 posyandu (51,57 %) yang cakupan D/S termasuk kategori cukup. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat yang mempunyai bayi dan/atau balita dalam kegiatan posyandu cukup baik, meskipun orang yang datang mengantar/ membawa anak balita bukan ibu kandung tetapi diwakilkan pada pengasuh, nenek atau kakak balita tersebut. Berdasarkan
25
hasil wawancara kegiatan yang ada di posyandu masih hanya berupa penimbangan bayi dan balita sedangkan untuk pelayanan ibu hamil dan menyusui masih terpusat di Puskesmas II dan Puskesmas Keliling. Cakupan KB Dari 64 posyandu terdapat 30 posyandu (46,87 %) dengan cakupan KB termasuk kategori tinggi. Hal ini dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi seluruh masyarakat terhadap program KB tinggi. Sebagian besar masyarakat secara aktif datang ke bidan, Puskemas, dokter praktek dan rumah sakit baik negeri maupun swasta. Kegiatan pelayanan KB tidak dilakukan di masing-masing posyandu tetapi dilakukan di Puskesmas. Cakupan Imunisasi Dari 64 posyandu di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II 63 posyandu (98,46 %) tercapai cakupan kegiatan imunisasinya dan satu posyandu (1,66 %) tidak tercapai yaitu posyandu Ragil Balita karena tidak melakukan penimbangan lagi. Kegiatan imunisasi dilaksanakan di Puskesmas Purwokerto Utara II. Cakupan Gizi Dari 64 posyandu terdapat 51 posyandu (79,69 %) yang mempunyai cakupan gizi termasuk kategori tinggi. Hal ini dapat dikatakan tingkat partisipasi seluruh masyarakat berupa penyelenggaraan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) kepada bayi dan/ balita pada setiap pelaksanaan kegiatan posyandu sudah tinggi. Bentuk partisipasi dari warga berupa adanya iuran rutin setiap bulan (diambil dari arisan PKK), iuran dasawisma dan iuran rutin setiap bulan dari ibu yang mempunyai bayi/ balita serta dari beberapa donatur dari PKK kelurahan, dana kegiatan PIN dan lain-lain. Jenis PMT masih kurang bervariasi (berupa bubur kacang hijau, bubur sumsum, telur, jajanan). Hal ini dikarenakan keterbatasan dana dan biasanya pelaksanaan pengadaan
26
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 23-28
PMT diserahkan kepada kader dan ibu bayi/balita saja. Kegiatan Tambahan Dari 64 posyandu terdapat 22 posyandu (34,37%) yang sudah terdapat kegiatan tambahan pada setiap pelaksanaan kegiatan posyandu dengan kategori sedikit atau kurang dari 3 macam kegiatan. Sebagian besar kegiatan yang biasa dilakukan di posyandu adalah penimbangan (KIA), Pemberian Makanan Tambahan (PMT), arisan ibu bayi/balita. Namun di beberapa posyandu sudah melakukan kegiatan tambahan berupa penyuluhan kesehatan dan apotik hidup. Untuk penyuluhan kesehatan secara rutin setiap bulan belum bisa dilaksanakan karena petugas Puskesmas tidak selalu datang setiap bulan dan hanya datang pada waktuwaktu tertentu. Penyuluhan kadang-kadang dilakukan oleh Petugas KB (PLKB) dan tokoh masyarakat (pensiunan bidan, kader). Kegiatan Dana Sehat Dari 64 posyandu terdapat 32 posyandu (50,00%) yang sudah melakukan kegiatan dana sehat. Kegiatan dana sehat dilaksanakan dengan digabungkan pada kegiatan RT atau PKK. Kegiatan dana sehat di masyarakat masih kurang mendapat perhat ian, karena sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa kegiatan Po syandu hanya unt uk penimbangan dan pemberian makanan tambahan untuk balita saja. Setelah dilakukan analisa terhadap 64 posyandu di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II didapatkan bahwa tingkat perkembangan Posyandu sebagai berikut terdapat 5 Posyandu (7,81 %) yang termasuk tingkat pratama (warna merah), 23 posyandu (35,94%) kategori tingkat madya (warna kuning), 22 posyandu (34,38%) tingkat purnama (warna hijau) dan 14 posyandu (21,87%) tingkat mandiri (warna biru). Distribusi tingkat perkembangan
posyandu seperti pada tabel 3. Tabel 3.
Tingkat Perkembangan Posyandu di wilayah kerja Puskesmas Purwokerto Utara II.
Tingkat n Perkembangan Pratama 5 Madya 23 Purnama 22 Mandiri 14 Total 64 Sumber : Data Primer terolah
% 7,81 35,94 34,38 21,87 100,00
Menurut Depkes RI (1996) manajemen peran serta masyarakat mengutamakan intervensi kegiatan yang ditujukan pada posyandu pratama (warna merah) karena termasuk dalam kondisi gawat. Hal ini dilakukan karena apabila tidak mendapatkan perhatian maka aktifitas kegiatan Posyandu lambat laut akan mati. Rumusan masalah utama pada posyandu pratama adalah masih sedikit jumlah kader yang aktif dan frekwensi kegiatan masih rendah (kurang dari 8 kali per tahun). Berdasarkan masalah yang dihadapi oleh Posyandu pratama maka rumusan tujuannya adalah meningkatkan jumlah kader, meningkatkan keaktifan kader dalam mengelola kegiatan Po syandu dan meningkatkan frekwensi kegiatan lebih dari 8 kali per tahun. Untuk mencapai tujuan diatas maka intervensi utama yang dilakukan untuk mengatasi masalah antara lain dengan perekrutan kader baru lagi dan mengadakan pelatihan kader ulang. Puskesmas dapat melakukan pelatihan dasar tentang Posyandu yang merupakan wujud nyata dari azas pemberdayaan masyarakat (Depkes RI, 2004). Dengan mengundang para kader kesehatan berarti sudah memberdayakan masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dalam bidang kesehatan khususnya pengelolaan kegiatan Posyandu.
Suryanto, Erna Kusuma Wati, Analisis Tingkat Perkembangan Posyandu...
Pelatihan tentang Posyandu perlu dirancang materinya secara sequen (bertahap) dan berkesinambungan. Hal ini supaya kegiatan pelatihan tidak mononton (membosankan) dan sasaran pelatihan (audien) dapat menerima materi sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya (Depkes RI, 1996). Menurut Azwar (1998) materi pelatihan yang akan diberikan juga harus memperhatikan capability of the audience. Narasumber dalam pelatihan perlu menyadari bahwa kemampuan dari para kader kesehatan (ibu-ibu rumah tangga) yang umumnya tingkat pendidikannya masih rendah sehingga pengetahuan dan pemahaman terhadap kesehatan juga masih rendah. Kebijakan dasar Depkes RI (1996) tentang Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) adalah penanggung jawab penyelenggaraan upaya kesehatan untuk jenjang tingkat pertama. Rencana usulan kegiatan secara rutin tiap tahun disusun dan diajukan ke Dinas Kesehatan yang selanjutnya dijadikan dasar sebagai daftar usulan kegiatan. Puskesmas Purwokerto Utara II yang merupakan unit teknis dari Dinas Kesehatan Banyumas sudah memiliki 64 Posyandu adalah merupakan suatu aset yang dapat terus dibina dan tingkatkan perannya dalam bidang kesehatan di wilayah kerjanya untuk mencapai suatu kondisi Kecamatan Purwokerto Utara yang sehat. Depkes RI (2004) menetapkan indikator Kecamatan Sehat mencakup 4 indikator yaitu : 1. Lingkungan yang sehat, 2. Perilaku yang sehat, 3. Cakupan pelayanan kesehatan yang bermutu, 4. Derajat kesehatan penduduk kecamatan yang optimal. Dengan mengadakan pembinaan kontinu dan berkesinambungan berarti Puskesmas telah membantu meningkatkan kemampuan (pemberdayaan) Dinas Kesehatan dalam menyelenggarakan urusan
27
kesehatan yang telah diserahkan (desentralisasi/otonomi) untuk meningkatkan mutu penampilan pelayanan kesehatan masyarakat (Wijono, 1999). Intervensi dilaksanakan oleh Puskesmas Purwokerto Utara II dengan memperhatikan situasi dan kondisi sumberdaya yang ada di Puskesmas dan masyarakat serta adanya dukungan anggaran yang telah diusulkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Banyumas. Forum komunikasi dilakukan oleh Puskesmas terhadap Posyandu setiap bulannya sebagai sarana pembinaan dan evaluasi kegiatan yang telah dilakukan. Teknis pelaksanaannya dengan mengadakan pertemuan para kader kesehatan di seluruh Posyandu tiap-tiap kelurahan secara terjadwal di bawah pembinaan koordinator Posyandu kelurahan yaitu bidan Puskesmas (Suryanto & Arih, 2006) KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Puskesmas Purwokerto Utara II sebagai unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kabupaten Bamyumas telah mempunyai Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) berupa Posyandu sejumlah 64 buah. Setelah dilakukan analisa terbagi dalam tingkat perkembangan sebagai berikut 5 posyandu (7,81 %) termasuk tingkat pratama (warna merah), 23 posyandu (35,94%) tingkat madya (warna kuning), 22 posyandu (34,38%) tingkat purnama (warna hijau) dan 14 posyandu (21,87%) tingkat mandiri (warna biru). Posyandu yang termasuk tingkat pratama yaitu posyandu Ragil Balita, Tempuyung, Temugiring 2, Manggis dan Blueberi. Kelanggengan kegiatan Posyandu merupakan hasil kerjasama beberapa komponen yang saling terkait yaitu keaktifan dari kader kesehatan dalam mengelola Po syandu, pembinaan o leh tenaga
28
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 23-28
kesehatan Puskesmas, partisipasi anggota Po syandu dan pihak do natur yang memberikan dana untuk kegiatan posyandu setiap bulannya. Saran Posyandu yang berjumlah 64 buah merupakan aset dan investasi di bidang kesehatan bagi masyarakat harus senantiasa dikembangkan kegiatannya dan terus dibina secara kontinu oleh pihak Puskesmas selaku Pembina UKBM dengan program kemitraan bersama pihak swasta atau LSM (Rotary) unt uk mencapai ko ndisi Kecamatan Purwokerto Utara yang Sehat. Pembinaan secara kontinu dan berkesinambungan terutama harus difokuskan pada 5 Posyandu yang termasuk dalam kategori tingkat perkembangan pratama. Pembinaan dapat dilakukan dengan kegiatan perekrutan kader baru, pelatihan dasar Posyandu bagi kader baru dan pembinaan motivasi kader kesehatan serta melengkapi sarana pendukung kegiatan Posyandu. Posyandu adalah kegiatan dari, oleh dan untuk masyarakat, oleh karena itu hendaknya kegiatan posyandu tersentral di tempat posyandu bukan di Puskesmas. Masyarakat diharapkan berpartisipasi secara aktif dengan selalu berusaha hadir membawa bayi dan/atau balita dalam setiap kegiatan posyandu untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal.
DAFTAR RUJUKAN Azwar, Azrul. 1998. Dasar-dasar Administrasi Kebijakan Kesehatan. Penerbit Airlangga University Press. Surabaya Depkes RI, 1996, ARRIF Pedoman Manajemen Peranserta Masyarakat. Depkes RI. Jakarta ________. 2004, Kebijakan Dasar Pusat Kesehatan Masyarakat, Depkes RI, Jakarta ________. 2004, Sistem Kesehatan Nasional, Depkes RI, Jakarta Wijono.D, 1999, Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Vol.1, Penerbit Airlangga University Press, Surabaya Notoatmodjo, S. 2002, Metodologi Penelitian Kesehatan, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta Suryanto, Arih. 2006. Peranserta Posyandu dalam Upaya Mengatasi Masalah Kesehatan Masyarakat. Publicity, Jurnal Ilmiah Ilmu Kesehatan Masyarakat. Vol. I No.1 Januari 2006: 25-36.
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 Hal. 29-38
PENGARUH KEKERASAN FISIK, PSIKOLOGIS, EKONOMI, DAN SEKSUAL SELAMA KEHAMILAN TERHADAP INTERAKSI IBU-BAYI PADA PERIODE POST PARTUM Tri Lestari Handayani1, Yeni Rustina2, Luknis Sabri3
Abstract: The purposes of the study are to investigate the influence of physical, psychological, economical, and sexual violence during pregnancy on the mother-baby interaction in the early post post partum period. A hundred post partum mothers were divided into two groups. Case group is 50 mothers whose have inadequacy interaction and the control group is 50 mothers whose have adequacy interaction. Data were collected by using observation sheet. The results of this study indicate that there are no influences of physical, psychological, economical, and sexual violence experienced during pregnancy on the mother-baby interaction in the early post partum period. Kata kunci: Kekerasan selama kehamilan, interaksi ibu-bayi, post partum.
PENDAHULUAN Data Komnas Perempuan, 2005 kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat. Sejak tahun 2001–2005 terdapat peningkatan kasus kekerasan dengan data sebagai berikut; tahun 2001 sebanyak 3.165 kasus, tahun 2002 sebanyak 5.163 kasus, tahun 2003 sebanyak 7.787 kasus, tahun 2004 sebanyak 13.968 kasus dan tahun 2005 tercatat 20.391 kekerasan terhadap perempuan (LBH APIK, 2006). Kekerasan tidak hanya dialami oleh perempuan dalam kondisi normal tetapi juga sering dialami oleh ibu hamil. Menurut
1
Barirrier (1998 cit Lowdermilk 2000) sekitar 30%-40% wanita dibunuh dan mati oleh pasangan intimnya atau oleh mantan pasangannya. Sekitar 25%-45% wanita korban kekerasan ini berada dalam kondisi hamil. Data penelitian yang dilakukan di Jawa Tengah menunjukkan bahwa dari seluruh kasus kekerasan, kekerasan pada Ibu hamil memang tampak sedikit yaitu kekerasan fisik selama hamil 1%, kekerasan seksual selama hamil 7% dan kekerasan emosional selama hamil 10% (Hakimi, et al, 2001). Kekerasan selama kehamilan ini cenderung meningkat disebabkan oleh : (1)
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Malang Dosen Program Pascasarjana FIK-UI Jurusan Keperawatan Maternitas 3 Dosen Program Pascasarjana FIK-UI Jurusan Keperawatan Maternitas. 2
30
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 29-38
stres biopsikososial selama kehamilan mengganggu hubungan dan kemampuan koping, frustasi dan akhirnya melakukan kekerasan, (2) suami cemburu dengan janin yang dikandung pasangannya, dan menjadikan pasangan sebagai sasaran kemarahannya, (3) marah pada janin yang belum lahir atau pada pasangannya, (4) kekerasan dilakukan suami karena bingung dan ingin mengakhiri kehamilan pasangannya (Lowdermilk, et al., 2000). Ibu korban kekerasan selama hamil biasanya juga melakukan tindakan yang merusak dirinya dan kandungannya misalnya dengan merokok dan minum alkohol, sebagai salah satu cara (koping) yang dipilih untuk mengurangi tekanan psikologis yang dialaminya (Curry, 1998). Distres emosi ini jika terus menerus terjadi akan menyebabkan risiko bunuh diri, tidak menginginkan kehamilan dan melakukan kekerasan kepada anak (Hakimi et al., 2001). Kekerasan pada anak ini dapat diawali pada masa bayi, yaitu pada saat bayi lahir, ibu mengalami perubahan fisik dan emosional. Hal ini dapat mengakibatkan ibu mengalami kesulitan menjalin hubungan/ interaksi dengan bayinya. Kekerasan pada anak juga akan terjadi apabila ibu tidak dapat memperbaiki hubungan dengan suaminya (Lowdermilk et al., 2000). Dampak dari perilaku maladaptif ibu post partum akan mempengaruhi interaksi ibu-bayi. Hal tersebut dapat menyebabkan kurangnya pemenuhan ASI karena ibu tidak mau menyusui bayinya, bayi tidak terawat, diterlantarkan, dibuang bahkan ada yang secara sengaja dibunuh oleh ibunya sendiri. Melalaikan bayi dan keengganan ibu dalam memberikan asuhan kepada bayi berkaitan erat dengan adanya kegelisahan, kecemasan dan penolakan ibu untuk dekat dengan bayinya (Affonso, 1976). Kekerasan dan penelantaran pada bayi dapat berdampak
pada gangguan pertumbuhan dan perkembangan antara lain kondisi gagal tumbuh tanpa penyakit organik, mudah terserang penyakit, atau muncul masalah emosional (Bobak & Jensen, 1985). Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan seksual selama kehamilan terhadap interaksi ibu-bayi selama periode post partum awal. METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah non eksperimen: komparatif, menggunakan meto de case control dengan cara mengidentifikasi interaksi ibu dan bayi selama periode post partum, kemudian secara retrospektif mengidentifikasi adanya prilaku kekerasan selama kehamilan. Adapun populasi dalam penelitian ini adalah ibu-ibu post partum awal (24 – 46 jam post partum) dengan persalinan spontan pervaginam tanpa komplikasi dan bayinya sehat yang dirawat di RSUD Koja Jakarta dan RSUP Fatmawati. Populasi dalam penelitian ini terdiri dari dua kelompok; (1) kelompok kasus yang terdiri dari semua Ibu post partum awal yang mengalami gangguan interaksi dengan bayinya atau interaksi dengan bayinya tidak adekuat, (2) kelompok kontrol yaitu Ibu post partum awal yang tidak mengalami gangguan interaksi atau interaksi dengan bayinya adekuat yang dijumpai selama dilakukan penelitian yaitu berkisar pada bulan Mei Juni 2006. Jumlah sampel untuk masingmasing kelompok berjumlah 50 orang. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian disajikan dengan menggunakan analisis univariat, dan bivariat Karakteristik Responden Karakteristik responden digambarkan berdasarkan tempat dirawat, pendidikan, jenis pekerjaan, lama perkawinan, paritas
Tri Lestari Handayani, dkk., Pengaruh Kekerasan Fisik, Psikologis...
dan perencanaan kehamilan tersebut dapat dilihat pada tabel 3.1. Tabel 1 menunjukkan bahwa responden dari RSUD Koja terbanyak pada kelompok kasus 29(55,8%) merupakan kelompok yang paling banyak mengalami gangguan interaksi ibu-bayi selama periode post partum awal. Sebagian besar responden berpendidikan
31
SMA pada kelompok kasus berjumlah 19 (38%), pada kelompok kontrol berjumlah 17 (34%). Jenis pekerjaan responden sebagian besar ibu rumah tangga baik pada kelompok kontrol maupun kasus, pada kelompok kasus 34 (68%) dan kelompok kontrol 41 (82%). Lama perkawinan responden dari kategori perkawinan baru dan perkawinan lama
Tabel 3.1.Distribusi Responden Kasus dan Kontrol Berdasarkan Tempat Dirawat, Pendidikan, Jenis Pekerjaan, Lama Perkawinan, Paritas dan Perencanaan Kehamilan. ( n = 100, kasus = 50, kontrol = 50)
Karakteristik Tempat dirawat: RSUP Fatmawati RSUD Koja Pendidikan: Tidak Sekolah SD SMP SMA PT Jenis Pekerjaan: Ibu Rumah Tangga Karyawati PNS Wiraswasta Buruh Mahasiswa Petani PRT Lama Perkawinan: Lama Baru Paritas: Multipara Primipara Perencanaan kehamilan: Direncanakan Tidak direncanakan
Kelompok Kasus (Interaksi tidak adekuat) Frek %
Kelompok Kontrol (Interksi adekuat) Frek %
21 29
43,8 55,8
27 23
2 14 10 19 5
4,0 28,0 20,0 38,0 10,0
1 14 13 17 5
2,0 28,0 26,0 34,0 10,0
34 7 1 4 1 1 1 1
68,0 14,0 2,0 8,0 2,0 2,0 2,0 2,0
41 5 1 2 1 -
82,0 10,0 2,0 4,0 2,0 -
21 29
42,0 58,0
25 25
50,0 50,0
35 15
70,0 30,
30 20
60,0 40,0
30 20
60,0 40,0
32 18
64,0 36,0
56,3 44,2
32
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 29-38
Tabel 3.2.Hasil Analisis Umur Kelompok Kontrol dan Kasus ( n = 100, kasus = 50, kontrol = 50) Umur (th) Kelompok Kasus Kelompok Kontrol
Mean Median 30,48 31,00 29,28 29,00
Minimum Maksimum 18 42 18 43
SD 6,421 5,817
95% CI 28,66-32,30 27,63-30,93
Tabel 3.3.Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kekerasan yang dialami Selama Kehamilan ( n = 100, Kasus : 50, Kontrol : 50) Jenis Kekerasan Kekerasan Fisik: Pernah Tidak pernah Kekerasan Ekonomi: Pernah Tidak pernah Kekerasan Emosi: Pernah Tidak pernah Kekerasan Seksual: Pernah Tidak pernah Kekerasan Fisik, Emosi, Ekonomi, dan Seksual: Pernah Tidak pernah Kekerasan Secara Keseluruhan: Pernah Tidak pernah
Kelompok Kasus Frek %
Kelompok Kontrol Frek %
5 45
10 90
3 47
6 94
14 36
28 72
10 40
20 80
22 28
44 56
16 34
32 68
13 37
26 74
8 42
16 84
4 46
8 92
1 49
2 98
26 24
52 48
20 30
40 60
Tri Lestari Handayani, dkk., Pengaruh Kekerasan Fisik, Psikologis...
33
Tabel 3.4.Pengaruh Kekerasan Selama Kehamilan Terhadap Interaksi Ibu-Bayi Selama Periode Post Partum Awal.( n = 100)
Variabel
Interaksi Ibu-Bayi Post Partum Tidak Adekuat Adekuat
Jumlah
X2
p
OR (95% CI)
-
0,715
1,741(0,393-7,713)
1,06 1
0,303
1,670(0,739-3,774)
0,49 3
0,482
0,96 4
0,326
Kekerasan Fisik 47 (94%) 3 (6%)
45 (90%) 5 (10%)
50(100%)
50(100%)
Tidak Pernah
34 (68%)
28 (56%)
62 (62%)
Pernah
16 (32%)
22 (44%)
38 (38%)
Jumlah
50(100%)
50(100%)
100 (100%)
40 (80%) 10 (20%)
36 (72%) 14 (28%)
50(100%)
50(100%)
42 (84%) 8 (16%)
37 (74%) 13 (26%)
50(100%)
50(100%)
49 (98%) 1 (2%)
46 (92%) 4 (8%)
50(100%)
50(100%)
30 (60%) 20 (40%)
24 (48%) 26 (52%)
50(100%)
50(100%)
Tidak Pernah Pernah Jumlah
92 (92%) 8 (8%) 100 (100%)
Kekerasan Emosi
Kekerasan Ekonomi Tidak Pernah Pernah Jumlah
76 76% 24 (24%) 100 (100%)
1,556(0,615-3,935)
Kekerasan Seksual Tidak Pernah Pernah Jumlah
79 (79%) 21 (21%) 100 (100%)
1,845(0,689-4,941)
Kekerasan Fisik, Emosi, Ekonomi dan Seksual Tidak Pernah Pernah Jumlah
95 (95%) 5 (5%) 100 (100%)
0,362
4,261 (0,459-39,544)
0,316
1,625(0,736-3,500)
Kekerasan Total/Gabungan Tidak Pernah Pernah Jumlah
54 (54%) 46 (46%) 100 (100%)
1,00 6
34
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 29-38
Tabel 3.5. Distribusi Responden pada Kelompok Kontrol (Interaksi Adekuat) dan Kasus (Interaksi Tidak Adekuat) BerdasarkanLama Perkawinan, Paritas dan Perencanaan Kehamilan ( n = 100, kasus=50, kontrol 50)
Variabel Counfonding
Interaksi Ibu-Bayi Post Partum Tidak Adekuat Adekuat
Jumlah
X2
p
OR (95% CI)
0,362
0,547
1,381(0,627-3,040)
0,703
0,402
0,042
0,837
Lama Perkawinan Lama Baru Jumlah
25 50% 25 50%
21 42% 29 58%
50(100%)
50(100%)
30 60% 20 40%
35 70% 15 30%
50(100%)
50(100%)
18 32% 32 64%
20 40% 30 60%
50(100%)
50(100%)
46 46% 54 54% 100 (100%)
Paritas Multipara Primipara Jumlah
65 65% 35 35% 100 (100%)
0,643(0,281-1,472)
Perencanaan Kehamilan Tidak direncanakan Direncanakan Jumlah
hampir sama jumlahnya, baik pada kelompok kontrol maupun kasus, perkawinan lama 21 (46%) dan perkawinan baru 25 (54%). Hasil analisis pada tabel 2 menunjukkan rata-rata umur ibu post partum kelompok kasus adalah 30,48; umur termuda 18 tahun dan umur tertua 42 tahun, sedangkan pada kelompok kontrol rata-rata umur ibu post partum adalah 29,28; umur termuda 18 tahun dan umur tertua 43 tahun.
Gambaran Kekerasan yang Dialami Ibu Post Partum Selama Kehamilan Kekerasan selama kehamilan yang di alami oleh ibu post partum terdiri atas empat jenis yang meliputi kekesan fisik,
38 38% 62 62% 100 (100%)
0,844(0,376-1,894)
ekonomi, psikologis/emosi, dan seksual. Kekerasan yang dialami oleh ibu post partum dapat juga merupakan gabungan dari empat jenis kekerasan tersebut. Adapun gambaran jenis kekerasan yang di alami oleh ibu post partum dapat dilihat pada tabel 3.3. Tabel 3.3 menunjukkan bahwa jenis kekerasan yang paling banyak dialami ibu post partum selama kehamilan baik pada kelompok kontrol maupun kelompok kasus adalah kekerasan emosi, pada kelompok kasus ibu yang mengalami kekerasan emosi 22 orang (44%) dan pada kelompok kontrol 16 (32%).
Tri Lestari Handayani, dkk., Pengaruh Kekerasan Fisik, Psikologis...
Identifikasi Interaksi Ibu-Bayi Selama Periode Post Partum Awal Hasil observasi interaksi ibu-bayi pada periode post partum awal selama hari I, hari II, dan hari III dengan menggunakan lembar observasi didapatkan hasil 50 orang ibu interaksi dengan bayinya tidak adekuat dan 50 orang ibu interaksinya adekuat. Pengaruh kekerasan selama kehamilan terhadap interaksi ibu-bayi Pengaruh kekerasan selama kehamilan tergambar pada tabel 4. Hasil analisis pada tabel 4 menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh kekerasan selama kehamilan terhadap interaksi ibu-bayi selama periode post partum dimana nilai p >0,05. Pada subvariabel kekerasan, seluruhnya tidak mempengaruhi interaksi ibu-bayi selama periode post partum, dengan nilai p >0,05. Pengaruh variabel confounding (Lama Perkawinan, Paritas dan Perencanaan Kehamilan) terhadap interaksi Ibu-Bayi Periode Post Partum Awal. Hubungan lama perkawinan, paritas dan perencanaan kehamilan terhadap interaksi ibu-bayi dapat dilihat dari tabel 5. Hasil analisis pada tabel 5 menunjukkan bahwa seluruh variabel confounding (lama perkawinan, paritas, dan perencanaan kehamilan) tidak yang mempengaruhi interaksi ibu-bayi selama periode post partum dimana nilai p >0,05. Pada subvariabel kekerasan lainnya juga tidak berpengaruh terhadap interaksi ibu-bayi selama periode post partum, dengan nilai p >0,05. Pengaruh Kekerasan Selama Kehamilan Terhadap Interaksi Ibu-Bayi Kekerasan Fisik Hasil penelitian ini menunjukkan persentase kekerasan fisik pada ibu lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian
35
Hakimi (2001) di Jawa Tengah, sejumlah 3,8%. Kekerasan fisik selama kehamilan sangat bervariasi persentasenya dan sangat tergantung pada letak daerah, budaya, agama dan nilai-nilai yang dianut. Hal ini menyangkal anggapan bahwa selama kehamilan wanita terhindar dari ancaman kekerasan oleh suaminya. Persentase kekerasan fisik lebih banyak terjadi pada ibu yang mengalami gangguan interaksi atau interaksinya tidak adekuat, walaupun setelah diuji statistik hasilnya tidak ada pengaruh terhadap kekerasan fisik dengan interaksi ibu – bayi (p = 0,715). Kekerasan Emosi/Psikologis Kekerasan emosi/psikologis merupakan bentuk kekerasan yang terbanyak dialami oleh ibu hamil (38%), Jumlah ini hampir sama dengan data hasil penelitian di Jawa Tengah bahwa prosentase kekerasan psikologis selama kehamilan sebesar (38,4%). Hal ini sesuai dengan pendapat beberapa ahli bahwa kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang paling banyak dialami selama hamil (Buzawa & Carl 1990; Ammerman, 1992). Persentase yang besar ini mungkin disebabkan oleh kondisi ibu hamil yang biasanya cenderung lebih sensitif, dan mudah tersinggung serta cenderung ingin dimanja. Ibu berharap suami dapat memberikan perhatian yang lebih saat istri hamil, padahal suami kadang justru merasa stress karena tidak siap menghadapi beban yang meningkat akibat kehadiran bayi. Ketidakmampuan beradaptasi suami ini, sering dilampiaskan dengan menggunakan kata-kata kasar yang menyakiti perasaan ibu hamil yang sensitif. Namun demikian “sifat khusus” ibu yang sensitif ini memiliki dampak positif bagi ibu dalam menunaikan tugas pentingnya yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui, serta mengasuh anak.( Syuqqoh, 1999). Kekerasan Ekonomi Hasil penelitian menunjukkan bahwa
36
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 29-38
kekerasan ekonomi yang terjadi selama kehamilan berjumlah 24%. Ini merupakan angka persentase kedua terbesar setelah kekerasan emosi/psikologis. Kekerasan ekonomi sering dianggap sebagai pendorong timbulnya kekerasan domestik yang lain, meliputi kekerasan fisik, mental dan seksual (Mardiana & Hartiningsih, 2000). Kekerasan ekonomi pada ibu hamil dan menyusui menyebabkan ibu dan bayinya kurang gizi yang berdampak pada gangguan kesehat an. Kekerasan ekono mi menyebabkan ibu harus bekerja walaupun baru saja melahirkan yang dapat berdampak pada gangguan menyusui serta gangguan interaksi. Pengaruh kekerasan ekonomi terhadap interaksi ibu-bayi dari hasil penelitian ini tidak terbukti secara statistik (p = 0,482). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh jumlah sampel yang sangat terbat as. Menurut Humphreys dan Campbell (2004), bahwa angka kekerasan di Indonesia jauh lebih tinggi dari data yang tercatat, karena kekerasan masih dianggap aib keluarga, yang tidak layak diceritakan kepada orang lain. Kekerasan Seksual Hasil analisis menunjukkan bahwa 21% ibu hamil mengalami kekerasan seksual. Data ini hampir sama hasilnya dengan penelitian yang dilakukan Hakimi et al. (2001), dalam face-to-face interviews, satu di antara 5 wanita (20%) mengalami kekerasan seksual. Perasaan terpaksa melakukan hubungan seksual selama kehamilan ini mungkin disebabkan gairah seksual istri yang menurun saat hamil atau disebabkan karena ket akut an dan kurangnya pengetahuan istri yang khawatir hubungan seksual akan mengganggu kehamilannya. Kurangnya pendidikan seksual yang benar dan bertanggung jawab dapat menyebabkan timbulnya persepsi yang salah tentang pemenuhan kebutuhan
seksual selama kehamilan (Pangkahila, 1997). Pengaruh hubungan seksual terhadap interaksi ibu-bayi tidak terbukti secara statistik (p = 0,326), ibu yang interaksinya tidak adekuat lebih banyak mengalami kekerasan seksual (26%) dibandingkan ibu yang interaksinya adekuat (16%). Kekerasan Fisik, Emosi, Ekonomi dan Seksual Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan fisik, emosi, ekonomi dan seksual lebih banyak terjadi pada ibu yang interaksinya tidak adekuat (8%), sedangkan pada ibu yang interaksinya adekuat, kekerasan fisik, emosi, ekonomi dan seksual hanya terjadi sebanyak 2%. Walaupun persentasenya kecil sering terjadi kekerasan pada ibu dengan interaksi yang tidak adekuat. Hasil analisis hubungan dua variabel menunjukkan tidak ada pengaruh kekerasan fisik, emosi, ekonomi dan seksual terhadap interaksi ibu-bayi (p Fisher Exact = 0,362). Hal ini disebabkan karena sedikitnya sampel ibu dengan riwayat kekerasan fisik, emosi, ekonomi, dan seksual sehingga walaupun persentase riwayat kekerasan pada ibu yang interaksinya tidak adekuat lebih besar, namun hasil analisis tidak memberikan hasil yang memuaskan atau tidak menunjukkan pengaruh keempat kekerasan yang dialami ibu pada masa kehamilan terhadap interaksi ibu-bayi selama periode post partum awal. Hasil tersebut disebabkan oleh kurang keterbukaan ibu dalam memberikan informasi yang dibutuhkan peneliti pada saat proses pengumpulan data, kurang siapnya istri terhadap efek yang ditimbulkan dari informasi yang diberikan kepada pihak lain, ketergantungan istri yang besar kepada suaminya dan sistem sosial atau budaya di Indonesia yang memandang istri yang bercerai atau status janda adalah sesuatu hal yang buruk. Pendapat tersebut didukung Kalibonso (2002) yang menyatakan bahwa
Tri Lestari Handayani, dkk., Pengaruh Kekerasan Fisik, Psikologis...
istri kurang terbuka dalam memberikan informasi tent ang kekerasan yang dialaminya karena ingin melindungi suaminya, berharap suaminya kelak akan berubah, dan merasa tidak dapat hidup tanpa suami karena mempunyai ketergantungan finansial, sosial, emosial dan fisik. Konsekuensi hukum yang dapat diterima juga merupakan alasan lainnya yang menyebabkan ibu korban kekerasan tidak mau mengakui kekerasan yang mereka alami (Kalibonso, 2002). Kekerasan Secara Keseluruhan Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekerasan dialami ibu, minimal satu di antara keempat kekerasan yaitu : fisik, emosi, ekonomi dan seksual. Kekerasan lebih banyak terjadi pada ibu yang int eraksinya tidak adekuat (52%), sedangkan pada ibu yang interaksinya adekuat, kekerasan keseluruhan terjadi sebanyak 40%. Hasil analisis hubungan dua variabel menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh kekerasan secara keseluruhan terhadap interaksi ibu-bayi (p = 0,316). Walaupun tidak ada pengaruh kekerasan keseluruhan terhadap interaksi ibu-bayi, namun hasil analisis juga menunjukkan bahwa riwayat kekerasan tersebut memang sering terjadi pada ibu dengan interaksi yang tidak adekuat. Hasil ini mengindikasikan pentingnya petugas kesehatan untuk tetap memberikan konseling, dan pendidikan kesehatan tentang koping, dan stress adaptasi selama kehamilan pada pasangan suami istri yang memeriksakan kehamilannya, agar keluarga t idak menggunakan cara-cara kekerasan dalam menyelesaikan permasalahannya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Tidak ada pengaruh kekerasan fisik selama kehamilan terhadap interaksi ibu-
37
bayi selama periode post partum awal. Demikian juga kekerasan emosi/psikologis, ekonomi dan seksual tidak mempengaruhi interaksi ibu-bayi selama periode post partum awal. Sementara itu seluruh faktor confounding (paritas, lama perkawinan dan perencanaan kehamilan) juga tidak ada yang mempengaruhi interaksi ibu-bayi selama periode post partum awal. Saran Berdasarkan hasil penelitian disarankan: a. Perawat khususnya di ruang maternitas, sebaiknya mengikuti pelatihan khusus tentang cara melakukan pengkajian dan pendekatan kepada ibu post partum korban kekerasan. b. Direktur rumah sakit membuat pusat pelayanan terpadu untuk menolong ibu hamil korban kekerasan. c. Peneliti selanjutnya sebaiknya melakukan penelitian dengan desain kohort, dipadukan dengan penelitian kualitatif. d. Ibu yang mengalami kekerasan disarankan cepat mencari pertolongan dan perlindungan. e. Masyarakat disarankan tetap peduli, memberikan bantuan dan perlindungan jika mengetahui ada ibu yang menjadi korban kekerasan terutama saat hamil.
DAFTAR RUJUKAN Affonso, D. 1976. The newborn’s potential for interaction. Jurnal of Obstetric, Gynecologic ,& Neonatal Nursing, 5(6) 9-14 Ammerman, Robert, T. & Herse,M. 1992. Assesment of Family Violence: A clinical and legal sourcebook. New York: A Weley Intercience Publication. Bobak, I.M., Lowdermilk, D.T., & Jensen, M.C. 1995. Maternity nursing.
38
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 29-38
(4th ed). St. Louis: Mosby-Year Book, Inc. Bobak, I.M. & Jensen, M.C. 1985. Maternity & gynecologic care: The nurse and the family. (3th ed). St. Louis: Mosby-Year Book, Inc. Bobak, I.M. & Jensen, M.C. 1984. Esentials of maternity nursing. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc. Buzawa, A.S & Carl, G. 1990. Domestic Violence the Criminal Justice Response, Studies in Crime Law and Justice. California: Sage Publications. Curry, M.A. 1998. The interrelationships between abuse, substance use, and psychosocial st ress during pregnancy. Jurnal of Obstetric, Ginecologic, and Neonatal Nursing: Clinical Issues, 27(6), 692-698. Hakimi, M., Hayati, E.N., Marlinawati, U., Winkvist, A. & Ellsberg, M.C.l. 2001. Silence for the take harmony: Domestic violence and health in Central Java, Indonesia. Yogyakarta: CHN – RL GMU. Humphreys, J. & Campbell, J.C. 2004. Family violence and nursing practice. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Kalibonso, R.S, 2002. Kejahatan itu bernama kekerasan dalam rumah tangga. Jurnal Perempuan: Untuk pencerahan dan kesetaraan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 26 (2) 7- 19. LBH APIK, Jumlah Kasus Kekerasan, di LBH APIK Jakarta, 2002, http: www.lbh-apik.or.id/kdrt%209802%20data.html, diperoleh 1 juni 2005.
Lowdermilk, D. L., Perry, S.E. , Bobak, I.M. 2000. Matermity & woman health care. (7th ed.), St. Louis: Mosby Inc. Pangkahila, W. 1997. Aktifitas Seksual dalam Kehamilan, Makalah seminar Mutiara Perkawinan, Denpasar. Syuqqoh, A.A.H. 1999. Kekerasan Wanita. Jilid 5. Jakarta: Gempa Insani Press.
JURNAL KEBIDANAN DAN KEPERAWATAN Volume 4, Nomor 1, Juni 2008 Hal. 39-48
PENGARUH PENYULUHAN KESEHATAN TENTANG KANKER LEHER RAHIM DAN PAP SMEAR TERHADAP KESADARAN MENGIKUTI PAP SMEAR PADA IBU-IBU DI MRISI LOR TIRTONIRMOLO KASIHAN BANTUL Yuni Purwati1, Sri Hendarsih2 Abstract: This true experimental study was conducted to investigate the effect of health education about cervix cancer and pap smear on awareness to undergo pap smear treatment in women. Twenty three women aged 30 - 50 years old who participated in this study were asked to fill out a questionnaire. The result reveals that health education about cervix cancer significantly influences on the awareness to undergo pap smear treatment in the women (t = -5,238; p < 0,05).
Kata kunci: Penyuluhan kesehatan, Pap Smear, Kanker leher rahim.
PENDAHULUAN Kanker leher rahim merupakan ancaman penyakit yang menakutkan bagi wanita. Penyakit ini disebabkan oleh Human Papilloma Virus yang menginfeksi sekitar 70 persen orang dewasa yang aktif secara seksual. Jenis penyakit kanker ini paling sering ditemukan di antara penyakit ginekologik dan menjadi penyebab kematian utama wanita penderita kanker di negara berkembang, termasuk Indonesia (Depkes RI, 2005). Pasien kanker leher rahim di seluruh dunia diperkirakan terjadi sekitar 500 ribu kasus baru, 270 ribu diantaranya meninggal setiap tahunnya dan 80 persen terjadi di negara-negara berkembang termasuk
1 2
Indonesia. Pasien kanker leher rahim di Indonesia sekitar 100 kasus per 100 ribu penduduk atau 200 ribu kasus setiap tahunnya, 70 persen kasus di antaranya datang ke rumah sakit sudah dalam stadium lanjut (Depkes RI, 2005). Berdasarkan data dari Rumah Sakit Kanker Dharmais, pasien yang menderita kanker leher rahim pada tahun 1999 sampai 2002 sebanyak 710 kasus baru dan belum pernah melakukan pemeriksaan deteksi dini sama sekali. Sebesar 65 persen pasien datang sudah pada stadium lanjut. Angka ketahanan hidup dalam dua tahun stadium lanjut tersebut sekitar 53,2 persen dan untuk stadium awal sekitar 90 persen (Hilmansyah, 2003).
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan 'Aisyiyah Yogyakarta. Dosen Jurusan Keperawatan Poltekes Depkes Yogyakarta.
40
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 39-48
Di Yogyakarta, berdasarkan data dari Rumah Sakit Umum Sardjito pada lima tahun terakhir ditemukan 179 kasus kanker leher rahim yang sebelumnya juga belum pernah melakukan pemeriksaan deteksi dini, 48 persen di antaranya meninggal (Wiknjosastro, 2005). Pap smear merupakan upaya pengambilan cairan dari mulut rahim untuk di teliti adanya kelainan sel-sel di sekitar leher rahim. Deteksi dini dengan tes pap smear secara luas dapat terbukti mampu menurunkan angka kejadian kanker leher rahim hingga 90 persen dan menurunkan mortalitas hingga 70-100 persen. Keberhasilan ini karena kemampuan pemeriksaan screening tes pap smear yang mengenali adanya lesi pra kanker leher rahim (Aziz, dkk, 2006). Pasien kanker leher rahim yang datang terlambat ke pelayanan kesehatan masih bisa ditangani, tetapi hanya untuk peningkatan kualitas hidupnya. Hal yang menyebabkan penderita datang terlambat karena kurangnya pengetahuan serta minimnya informasi yang di peroleh mengenai penyakit kanker leher rahim. Pasien sering merasa takut dan kehilangan semangat hidup ketika mengetahui dirinya menderita penyakit kanker karena pendapat umum bahwa kanker tidak bisa diobati dan selalu dihubungkan dengan kematian (Evennet, 2003). Menyadari kondisi tersebut, pemerintah dan kalangan swasta telah medirikan pusatpusat kesehatan untuk mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat. Pemerintah juga telah membuat suatu program dalam mendeteksi dini adanya radang maupun kanker leher rahim dengan pemeriksaan pap smear berkala 6 bulan sekali, kepada ibuibu yang berusia 25-65 tahun atau yang sudah pernah melakukan hubungan seksual (Astuti, 2004). Selain itu pemerintah bekerjasama dengan WHO merencanakan pemberian vaksin Human Papilloma Virus untuk menanggulangan kanker leher rahim sehingga
kejadian penyakit ini dapat diminimalkan di masyarakat (Depkes RI, 2005). Permasalahan yang muncul di masyarakat disebabkan masih kurangnya kesadaran wanita untuk melakukan deteksi dini terhadap bahaya penyakit kanker leher rahim. Rendahnya tingkat pengetahuan serta minimnya akses informasi kesehatan mengenai pemeriksaan pap smear, membuat masyarakat tidak mengetahui informasi yang tepat berkenaan dengan kanker leher rahim dan pencegahannya. Hal ini menjadikan wanita tidak menyadari kemungkinan penyakit kanker leher rahim pada dirinya yang dapat mengancam jiwanya. Prevalensi wanita terhadap penyakit kanker leher rahim menjadi besar karena kecenderungan wanita menikah pada usia yang lebih muda dan keterbatasan kemampuan ekonomi yang membuat akses mereka terhadap informasi dan pelayanan reproduksi menjadi terbatas. Apabila ibu-ibu cukup mengetahui bahaya kanker leher rahim dan manfaat pemeriksaan pap smear maka mereka akan menyadari pentingnya melakukan deteksi dini untuk mengetahui ada tidaknya kanker leher rahim pada dirinya. Mereka juga akan lebih mampu memberikan informasi kepada orang lain sehingga permasalahan kanker leher rahim dapat menurun seiring dengan kesadaran untuk melakukan pemeriksaan pap smear (Nugraha, 2006). Dalam hal ini, peran ners sebagai salah satu t enaga kesehatan mempunyai kewajiban untuk menyampaikan informasi tentang kanker leher rahim dan pap smear kepada masyarakat. Pemeriksaan pap smear secara berkala merupakan cara yang paling efektif dan efisien dalam upaya pencegahan kanker leher rahim. Pemeriksaan ini merupakan screening dan deteksi kanker yang akurat dan memenuhi syarat pemeriksaan, dilakukan secara sederhana, tidak sakit dan dengan proses pemeriksaan laboratorium yang cepat
Yuni Purwanti, Sri Hendarsih, Pengaruh Penyuluhan Kesehatan ...
(Soehartono, 2002). Data yang di peroleh dari pendekatan secara langsung pada tokoh masyarakat dusun Mrisi Lor, dalam 5 bulan terakhir ada satu orang ibu yang pernah meninggal berusia 45 tahun karena menderita kanker leher rahim stadium lanjut. Sedangkan berdasarkan pendekatan langsung pada 36 orang ibu usia 30 -65 tahun di dusun Mrisi Lor belum pernah ada yang melakukan pemeriksaan pap smear karena mereka merasa cukup sehat. Pada bulan November 2006 pernah diadakan pemeriksaan pap smear massal oleh Puskesmas Kasihan II Bantul dan Rumah Sakit Dr. Sadjito Yogyakarta di dusun Mrisi, namun dari 670 orang wanita usia produktif hanya 6 orang yang mendaftar untuk mengikuti pemeriksaan pap smear. Hal ini menjadi masalah karena kemungkinan di antara wanita berusia 30-65 tahun beresiko terserang kanker leher rahim, namun belum pernah terdeteksi. Sehingga kemungkinan apabila terdeteksi di rumah sakit sudah dalam stadium lanjut. Salah satu upaya untuk mencegah resiko terserang kanker leher rahim pada masyarakat dusun Mrisi lor selanjutnya adalah dengan memberikan penyuluhan tentang kanker leher rahim dan pap smear. Berdasarkan informasi dari tokoh masyarakat, penyuluhan tentang kanker leher rahim dan pap smear ini belum pernah di dapatkan oleh masyarakat Dusun Mrisi Lor. Oleh karena itu dari petugas kesehatan Puskesmas Kasihan II Bantul sangat setuju dan memberikan dukungan unt uk memberikan penyuluhan tentang kanker leher rahim dan pap smear. Berdasarkan fenomena tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pap smear terhadap kesadaran mengikuti pemeriksaan pap smear di Dusun Mrisi Lor Tirtonirmolo
41
Kasihan Bantul bulan Juli-Agustus tahun 2007. Tujuan penelit ian ini adalah diketahuinya pengaruh penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pap smear dengan kesadaran mengikuti pemeriksaan pap smear di Dusun Mrisi Lor Tirtonirmolo Kasihan Bantul bulan JuliAgustus tahun 2007. . METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen dengan menggunakan “True Experimental Design” dengan rancangan “post test only control group design” yaitu penelitian eksperimen murni yang paling sederhana. Subyek penelitian dibagi menjadi dua kelompok secara random, perlakuan diberikan pada kelompok eksperimen dan tidak diberikan perlakuan pada kelompok kontrol. Setelah jangka waktu yang ditentukan diobservasi pada kedua kelompok. Perbedaan hasil kedua kelompok menunjukkan efek perlakuan (Pratiknya, 2001). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu yang berusia 30-50 tahun dan yang telah melakukan hubungan seksual, lulus Sekolah Dasar, penghasilan keluarga minimal Rp.500.000,00 dan berdomisili di Mrisi Lor Tirtonirmolo Kasihan Bantul. Jumlah populasi seluruhnya adalah 158 orang. Sampel diambil dengan tehnik simple random sampling yaitu tehnik pengambilan sampel dengan cara diundi. Penghitungan besar sampel dengan menggunakan rumus Lemeshow cit Pratiknya (2001), diperoleh besar sampel 23 orang untuk kelompok eksperimen dan 23 orang untuk kelompok kontrol. Alat yang digunakan unt uk mengumpulkan data variabel terikat yaitu angket/kuesioner. Kuesioner disusun oleh peneliti yang telah dilakukan uji validitas dengan hasil gugur pada item ke-20, dengan
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 39-48
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambar 1. Karakteristik responden berdasarkan umur 45%
44%
40%
39%
35% 30% persen
t hitung 0,241 dan taraf signifikansi 0,502 > 0,05 dan uji realibilitas dengan rumus Cronbach Alpha 0,9621 > 0,80 (standart minimum koefisien reabilitas) dinyatakan reliabel. Sehingga kuesioner terdiri dari 19 item pertanyaan tertutup (closed ended questionnaires). Variasi jawaban sudah ditentukan dan disusun terlebih dahulu sehingga responden tidak mempunyai kebebasan untuk memilih jawaban kecuali yang telah ditentukan oleh peneliti (Notoatmodjo, 2002). Kuesioner diberikan dan dikumpulkan oleh peneliti sendiri pada responden kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol, yang sebelumnya telah menandatangani informed consent penelitian. Sebelum dilakukan uji statistik, dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas data berdistribusi normal dengan hasil signifikansi kelompok kontrol 0,227 dan kelompok eksperimen 0,582 sehingga masing-masing > dari taraf signifikansinya yaitu 0,05. Setelah diketahui data yang didapatkan terdistribusi normal, maka analisis statistik yang digunakan adalah dengan uji t sampel independen dengan hasil t hitung – 5,238 dengan signifikansi 0,000 < 0,05 sehingga disimpulkan Ha diterima dan Ho ditolak.
25% 20% 15%
26% 22%
22% 17%17%
13%
Kontrol Eksperimen
10% 5% 0% 30- 35- 40- 4534th 39th 44th 50th Um ur
Gambar 1 menunjukkan mayoritas responden pada kelompok kontrol berusia 45-50 tahun yaitu 44% dan sebagian kecil 13% berusia 30-34 tahun. Kelompok eksperimen mayoritas berusia 45-50 tahun yaitu 39% dan sebagian kecil 17% berusia 35-39 tahun. Gambar 2. Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan
persen
42
70% 65% 60% 57% 50% 40% 30% 26% 20% 22% 13% 13% 10% 4% 0% 0% Dagang PNS
Kontrol Eksperim en
Pekerj aan
Berdasarkan pekerjaan responden pada kelompok kontrol, sebagian besar sebagai ibu rumah tangga yaitu 57%, sedangkan sebagian kecil sebagai PNS yaitu 4%. Kelompok eksperimen, sebagian besar (65%) merupakan ibu rumah tangga, sedangkan sebagian kecil (13%) merupakan swasta.
Yuni Purwanti, Sri Hendarsih, Pengaruh Penyuluhan Kesehatan ...
100% 96% 90% 87% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 13% 10% 4% 0% Menikah
Kontrol Eksperimen
Status
Berdasarkan status perkawinan responden pada kelompok kontrol, mayoritas menikah yaitu 87%, begitu pula kelompok eksperimen mayoritas menikah yaitu 96%. Gambar 4. Karakteristik responden berdasarkan pendidikan 60%
persen
50%
53% 53% 43%
40%
30%
30%
Kontrol
20% 13%
10% 0% SD
Eksperim en
4% 4% 0% SLTA
Gambar 5. Karakteristik responden berdasarkan penghasilan keluarga 45% 43% 39% 40% 35% 30% 26% 26% 26% 25% 22% 20% 15% 9% 9% 10% 5% 0% 500rb- 750rb-1jt 1jt-1,25jt 1,25jt750rb 1,5jt
p e rs e n
persen
Gambar 3. Karakteristik responden berdasarkan status perkawinan
43
Kontrol Eksperimen
Penghasilan Keluarga
Gambar 5 menunjukkan sebagian besar responden kelompok kontrol penghasilan keluarga berjumlah 750 ribu 1 juta rupiah yaitu 43% dan sebagian kecil berpenghasilan 1,25 juta-1,5 juta yaitu 9%. Mayoritas responden kelompok eksperimen penghasilan keluarga berjumlah 750 ribu-1 juta rupiah yaitu 39% dan sebagian kecil berpenghasilan 500 ribu-750 ribu rupiah yaitu 9% Gambar 6. Kesadaran Mengikuti Pemeriksaan Pap Smear Pada kelompok Kontrol.
Pendidikan
Gambar 4. menunjukkan bahwa sebagian besar responden (53%) pada kelompok kontrol berlatar belakang pendidikan SD. Sebagian kecil tamatan perguruan tinggi yaitu 4%. Pada kelompok eksperimen sebagian besar berlatar belakang pendidikan SD yaitu 53%, sedangkan sebagian kecil berpendidikan SLTA yaitu 4%.
0, 0% 2, 9%
21, 91%
Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan gambar 6, pada reponden tanpa diberikan penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pap smear, sebagian besar responden mempunyai kesadaran mengikuti pemeriksaan pap smear dalam
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 39-48
44
tingkat sedang yaitu 91% dan sebagian kecil kesadaran rendah yaitu 9%. Gambar7. Kesadaran mengikuti pemeriksaan pap smear pada kelompok kontrol 0, 0%
6, 26%
Rendah Sedang Tinggi
17, 74%
Pada gambar 7 menunjukkan dengan diberikan penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pap smear pada kelompok eksperimen, kesadaran responden mengikuti pemeriksaan pap smear mayoritas sedang yaitu 74% dan sebagian kecil 26% kesadaran tinggi. Gambar 8. Kesadaran Mengikuti Pemeriksaan Pap Smear pada Kelompok Kontrol dan Eksperimen. 100%
91%
persen
80%
74%
60% 40% 26%
20% 9% 0% 0% Rendah
0% Tinggi
Kontrol Eksperimen
Tingkat Kesadaran
Gambar 8 menunjukkan dari 23 responden kelompok kontrol mayoritas tingkat kesadaran sedang yaitu 74% dan pada 23 responden kelompok eksperimen mayoritas tingkat kesadaran juga sedang yaitu 91%. Sedangkan sebagian kecil dari 23 responden kelompok kontrol tingkat kesadaran rendah 9% dan pada 23 responden kelompok eksperimen sebagian kecil tingkat kesadaran tinggi: 26%.
Hasil penelitian ini menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan adanya penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pap smear terhadap tingkat kesadaran ibu-ibu usia 30–50 tahun. Hasil ini ditunjukkan dengan uji statistik t-test independen yang sebelumnya telah diketahui bahwa data terdistribusi normal. Di dapatkan hasil t hitung -5,238 dengan besarnya signifikansi 0,000 < 0,05 sehingga disimpulkan Ha diterima dan Ho ditolak. Hal ini terjadi karena kesadaran dapat dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimiliki. Pengetahuan yang tinggi akan membuat seseorang lebih paham sehingga akan lebih sadar untuk melakukan sesuatu yang menguntungkan. Pengetahuan akan mempengaruhi perilaku seseorang, di buktikan dari penelitian beberapa ahli yaitu perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada pengetahuan yang tidak didasari oleh pengetahuan yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoadmojo, 2003). Selain itu dalam penelitian ini terdapat empat variabel pengganggu yaitu tingkat pengetahuan, tingkat pendidikan, sosial ekonomi, informasi tidak langsung yang telah dikendalikan dan pengendalian yang dilakukan dapat berfungsi dengan baik. Tingkat pengetahuan tidak dilakukan pengendalian karena adanya variasi tingkat pengetahuan individu akan menentukan tingkat kesadaran individu tersebut melakukan perbuatan, dalam ini kesadaran mengikuti pemeriksaan pap smear. Variabel pengganggu tingkat pendidikan dikendalikan dengan memilih responden dengan tingkat pendidikan minimal SMP, dengan asumsi dengan tingkat pendidikan SMP sampai Perguruan Tinggi kemampuan untuk mengerti dan memahami informasi yang diterima akan lebih baik. Pada variabel pengganggu sosial ekonomi dikendalikan dengan memilih responden dengan
Yuni Purwanti, Sri Hendarsih, Pengaruh Penyuluhan Kesehatan ...
penghasilan keluarga minimal Rp 500.000,00 dengan maksud keluarga yang mempunyai penghasilan dalam kategori tersebut, secara ekonomi mampu mengikuti pemeriksaan pap smear setelah menyadari pentingnya pemeriksaan pap smear. Informasi tidak langsung tidak dikendalikan karena informasi yang didapatkan dari sarana yang akurat dapat mempengaruhi kesadaran seseorang dan dapat di akses lebih mudah dari berbagai media. Penyuluhan kesehatan merupakan salah satu upaya untuk dapat meningkatkan pengetahuan individu. Penyuluhan kesehatan secara langsung akan melibatkan proses pendengaran, penglihatan dan ingatan yang akan mempengaruhi kemauan untuk menanggapi melalui proses pikir. Penyuluhan dan bimbingan merupakan bagian dari pendidikan kesehatan dalam meningkatkan perilakunya untuk mencapai kesehatan optimal (Effendy, 1998). Sehingga dalam penelitian ini memilih penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pemeriksaan pap smear untuk meningkatkan pengetahuan ibu-ibu usia 30-50 tahun sehingga mau menyadari pentingnya pemeriksaan pap smear dan berkeinginan unt uk melaksanakan pemeriksaan pap smear. Melalui penglihatan seseorang menangkap sebuah obyek yang bisa berupa benda, lambang atau bisa juga sebuah pengetahuan baru. Dalam proses ini setiap orang akan memperoleh kesan yang berbeda. Sedangkan proses pendengaran merupakan proses menangkap atau menerima suara melalui proses pendengaran. Hasil pendengaran dari sesuatu tidak akan segera hilang melainkan masih akan teringat dan masih turut bekerja sesuai apa yang di dengar pada saat berikutnya. Tanggapan merupakan bayangan yang ada di ingatan set elah melakukan pengamatan atau bayangan yang menjadi
45
kesan yang dihasilkan oleh pengamatan. Kesan tersebut selanjutnya menjadi isi kesadaran yang dapat dikembangkan dalam hubungannya dengan konteks pengalaman waktu sekarang. Mengingat berarti menyerap pengetahuan dengan tiga aktivitas yaitu mencamkan, merespon dan mereproduksi kesan-kesan. Dalam mengingat seseorang dapat dikategorikan ingatan cepat, ingatan kuat dan ingatan setia. Setiap orang akan mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam mengingat sesuatu. Po la pikir terjadi karena pengetahuan yang telah ada dalam diri yang dikontrol oleh akal, sedangkan berfikir merupakan proses dinamis melalui proses mendiskripsikan ciri-ciri obyek yang sama, selanjutnya pembentukan pendapat dan keputusan melalui proses penarikan kesimpulan (Rita, 2003). Dalam hal ini pengambilan keputusan dan berkeinginan dalam hati untuk melakukan pemeriksaan pap smear. Not oadmojo (2003) juga menyebutkan bahwa kesadaran merupakan hasil pengumpulan perilaku, pengukuran fungsi dan observasi. Persepsi, pikiran dan perasaan seseorang pada suatu saat akan membentuk kesadaran. Selain itu pemrosesan informasi dari lingkungan merupakan fungsi utama sistem sensorik tubuh yang menyebabkan kesadaran tentang apa yang terjadi di sekitar kita dan dalam tubuh kita. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran akan timbul dari proses pengamatan atau disebut juga proses belajar. Selain itu pengetahuan merupakan faktor yang penting bagi terbentuknya tindakan seseorang. Tingkat pengetahuan yang tinggi pada ibu-ibu akan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi, salah satunya dengan pemeriksaan pap smear. Berdasarkan proses tersebut akan di peroleh pengetahuan, pengetahuan tentang kanker
46
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 39-48
leher rahim dan pemeriksaan pap smear akan membuat ibu-ibu menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan pap smear secara teratur. Pengetahuan yang benar tentang tanda gejala dan bahaya kanker leher rahim akan membuat ibu-ibu menyadari untuk segera memeriksakan diri apabila mengalami salah satu gejala yang mengindikasikan terjadinya kanker leher rahim. Tingginya tingkat kesadaran terjadi karena ibu-ibu telah mengetahui secara mendalam tentang pemeriksaan pap smear melalui penyuluhan kesehatan yang diberikan. Pengetahuan yang mendalam berarti ibu-ibu mengetahui tentang manfaat melakukan pemeriksaan pap smear dan akibat yang terjadi apabila tidak melakukan pemeriksaan pap smear, maka bila terjadi kanker leher rahim tidak terdeteksi secara dini. Berdasarkan pengetahuan tersebut maka seseorang akan menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan pap smear. Kelompok kontrol 91% kesadaran mengikuti pemeriksaan Pap Smear sedang, hal ini karena ibu-ibu sebagian besar belum mengetahui informasi secara jelas pentingnya pengetahuan tentang kanker leher rahim dan pemeriksaan pap smear. Ibu-Ibu menyatakan bahwa belum pernah mendapatkan informasi secara langsung melalui penyuluhan kesehatan, bahkan banyak diantara ibu-ibu yang belum membaca liflet. Informasi yang sering di dapatkan hanya dari tetanggatetangga dari mulut ke mulut saja. Hasil penelitian yang bermakna ini di dukung oleh hasil penelitian dari Wagiria (2003) dengan judul hubungan perilaku pencegahan dengan kejadian radang pada leher rahim di RSUD Wonosari Gunungkidul tahun 2003. Hasil penelitian menunjukkan hubungan yang bermakna perilaku pencegahan dengan kejadian radang pada leher rahim. Hasil yang ditunjukkan bahwa pada 40 % responden yang melakukan
perilaku pencegahan secara rutin dengan pemeriksaan pap smear tidak terjadi radang pada leher rahim. Hal ini terjadi karena pemeriksaan pap smear merupakan alat screening kanker leher rahim yang digunakan untuk memantau perubahan sel epitel serviks uteri, displasia berat dan karsinoma insitu. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendeteksi kelainan-kelainan yang ada di leher rahim atau untuk menilai kondisi sel-sel leher rahim. Keadaan sel-sel leher rahim selalu berubah sesuai siklus. Awalnya perubahan sel-sel dipermukaan leher rahim yang disebut sel abnormal prakanker yang semakin lama akan berubah menjadi kanker. Ketidaknormalan itu kadangkadang bisa hilang dengan sendirinya dan apabila berkembang segera dilakukan terapi sehingga tidak sampai terjadi kanker. Hal yang kontras dari penelitian ini tidak terlalu signifikan, ditunjukkan pada kelompok kontrol tingkat pengetahuan yang sedang adalah 91% dan pada kelompok eksperimen adalah 74%. Hal yang sama terjadi pada penelitian Astuti (2004) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan tentang pap smear dan kanker leher rahim dan sikap terhadap pap smear di Dusun Sejiwen Trirejo Loano Purworejo. Kondisi ini karena pengendalian variabel pengganggu yang tidak dilakukan. Tingkat pendidikan tidak dibatasi dari yang tidak sekolah sampai perguruan tinggi. Penghasilan keluarga yang variasinya juga tidak ada pembatasan. Sehingga karakteristik responden yang digunakan untuk penelitian dengan variasi yang sangat bebas. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di masyarakat melalui penyuluhan kesehatan langsung kepada masyarakat yang belum pernah atau kurang mendapatkan informasi tentang pemeriksaan pap smear. Penyuluhan dapat dilakukan
Yuni Purwanti, Sri Hendarsih, Pengaruh Penyuluhan Kesehatan ...
secara rutin oleh perawat komunitas atau petugas Puskesmas. Adanya kebijakan pemerintah terkait pemeriksaan Pap Smear, Petugas Puskesmas dapat secara berkala mengadakan pemeriksaan pap smear yang diperuntukkan pada masyarakat daerah binaan masing-masing. Faktor-faktor yang mendukung keberhasilan penelitian ini, diperoleh pada saat pelaksanaan penelitian yaitu saat mengumpulkan data dari responden. Adanya kerjasama dengan tokoh-tokoh masyarakat sehingga peneliti dapat lebih mudah mendapatkan data tentang ibu-ibu usia 30-50 tahun yang telah melakukan hubungan seksual. Pada saat melakukan penyuluhan kesehatan, 23 responden yang diundang semua bisa menghadiri, aktif melakukan tanya jawab dan dapat selesai tepat waktu. Selain faktor-faktor yang mendukung tersebut, peneliti juga menemui hambatan-hambatan kecil yaitu pada saat mengumpulkan data melalui kuesioner yang diisi oleh responden, mayoritas responden pada kelompok kontrol belum mengisi kuesioner dengan alasan belum sempat. Sehingga peneliti harus datang ke rumah responden 2 sampai 3 kali. Keterbatasan pada penelitian ini yaitu pengumpulan data hanya dilakukan melalui pengisian kuesioner oleh responden tanpa dilakukan wawancara karena keterbatas waktu dari peneliti. Sehingga belum bisa diungkap lebih mendalam tentang hal-hal yang terkait dengan kesadaran mengikuti pemeriksaan pap smear. Keterbatasan lainnya adalah instrumen kuesioner yang digunakan masih ada kekurangan sehingga satu item pertanyaan yang tidak valid harus didropkan tanpa dilakukan revisi sebelumnya. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat
47
disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dengan adanya penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pap smear terhadap tingkat kesadaran ibuibu usia 30-50 tahun. Ditunjukkan adanya perbedaan hasil pada kelompok kontrol tanpa diberikan penyuluhan kesehatan, 9% tingkat kesadaran rendah dan 91% tingkat kesadaran sedang. Pada kelompok eksperimen dengan diberikan penyuluhan kesehatan menunjukkan perubahan yang signifikan, 74% tingkat kesadaran sedang dan 16% tingkat kesadaran tinggi untuk mengikuti pemeriksaan Pap Smear.
Saran Bagi Profesi Keperawatan, khususnya perawat maternitas di komunitas dengan mengikuti kebijakan Puskesmas untuk melakukan penyuluhan kesehatan tentang kanker leher rahim dan pentingnya pemeriksaan pap smear pada masyarakat daerah yang masih kurang mendapat informasi secara benar. Bagi Stikes ‘Aisyiyah Yogyakarta, khususnya Bidang Penelitian Pengembangan Ilmu dan Pengabdian Masyarakat dapat menindaklanjuti hasil penelitian ini dalam bentuk pengabdian masyarakat, bekerjasama dengan Puskesmas Kasihan II Bantul atau badan t erkait lainnya, mengadakan Pemeriksaan Massal di Wilayah penelitian dengan biaya terjangkau. Sedangkan bagi mahasiswa STIKES ‘Aisyiyah yang melakukan praktek lapangan khususnya perawatan maternitas di komunitas dapat mengumpulkan data tentang masalah kesehatan reproduksi yang terjadi di masyarakat dan dapat memberikan penyuluhan kesehatan dengan masalah terkait melalui kerjasama dengan Puskesmas setempat. Bagi Puskesmas Kasihan II Bantul,
48
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan, Vol. 4, No. 1, Juni 2008: 39-48
Petugas Puskesmas dapat meningkatkan pelaksanaan penyuluhan kesehatan secara langsung khususnya tentang kanker leher rahim dan pemeriksaan pap smear pada masyarakat wilayah kerjanya, terutama pada masyarakat yang minim mengenai informasi tersebut. Bagi peneliti selanjutnya, dapat lebih ko mprehensif dalam melakukan pengumpulan data responden, dengan melakukan wawancara secara mendalam terhadap dimensi kesadaran responden untuk mengikuti pemeriksaan pap smear.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. PT Rineka Cipta. Jakarta. Astuti, Y. 2004. Hubungan Tingkat pengetahuan Dengan Perilaku Pada Ibu Usia 30-50 Tahun Terhadap Pemeriksaan Pap Smear di Dusun Sejiwen Trirejo Loano Purworejo Tahun 2004. Tidak dipublikasikan. Aziz, F. 2006. Buku Acuan Nasional Onkologi Ginekologi. Tridasa Printer. Jakarta. Dep Kes RI. 2005. Penanggulangan Kanker Serviks dengan Vaksin HPV. di akses 12 Maret 2007. http:/ /www.depkes.go.id/index.php. Effendy, N. 1998. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Evennet, K. 2003. Pap Smear : Apa Yang perlu Anda Ketahui ?. Arcan. Jakarta. Hilmansyah, H. 2003. Bahaya kanker Serviks bagi Wanita. di akses 3
Maret 2007. ht tp:// situs.kesrepro.info. Notoatmo jo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta. Noto atmodjo, S. 2003. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Andi Offset. Jakarta. Pratiknya, A.W. 2001. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Rita, A. 2003, Buku Pengantar Psikologi, Edisi 4, Interakaaksara, Batam. Soehartono, S. 2002. Sitologi Vagina. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Wagiria, 2003. Hubungan Perilaku Pencegahan dengan Kejadian Radang pada leher Rahim di RSUD Wonosari Gunungkidul Tahun 2003. Tidak dipublikasikan. Wiknjosastro, H. 2005. Ilmu Kandungan. Tridasa Printer. Jakarta.