Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
JIAP Vol. 2, No. 1, pp 46-56, 2016 © 2016 FIA UB. All right reserved ISSN 2302-2698 e-ISSN 2503-2887
Jurnal Ilmiah Administrasi Publik (JIAP) U R L : h t t p : / / e j o u r n a l f i a . u b . a c . i d / i n d e x. p h p / j i a p
Strategi perencanaan jaminan kesehatan semesta Kabupaten Banyuwangi Haspilu Litawati a a
Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia
I N F O R M A S I A R T IK E L
ABSTRACT
Article history: Dikirim tanggal: 1 Februari 2016 Revisi pertama tanggal: 11 Pebruari 2016 Diterima tanggal: 31 Mei 2016 Tersedia online tanggal 11 Juni 2016
This study aims to analyze the opportunities and threats in the implementation of health insurance which is currently implemented in Banyuwangi by describing and understanding the conditions of health insurance that is currently implemented. After knowing the current conditions as well as the opportunities and threatss in the implementation, then compiled a scenario along with strategies in order to achieve universal health insurance in Banyuwangi appropriate national targets in 2019. The method used in the form of qualitative descriptive method as a tool for the preparation TAIDA scenario and strategies to deal with any possible scenarios. Based on this analysis, it was found that the most influential aspect modifier and must have come from political and social categories. Obtained four scenarios, the scenario A, scenario B, scenario C , and scenario D. In order to achieve universal health insurance purposes in 2019, required the implementation of appropriate strategies according to the conditions that may occur by the depiction of scenarios have been prepared.
Keywords: universal health insurance, scenario planning, social security
INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peluang dan tantangan dalam pelaksanaan jaminan kesehatan yang saat ini dilaksanakan di Kabupaten Banyuwangi dengan cara mendeskripsikan dan memahami kondisi jaminan kesehatan yang saat ini dilaksanakan. Setelah mengetahui kondisi saat ini beserta peluang dan tantangan dalam pelaksanaannya, kemudian disusun suatu scenario beserta strategi agar dapat tercapai jaminan kesehatan semesta di Kabupaten Banyuwangi sesuai target nasional pada tahun 2019. Metode penelitian yang digunakan berupa deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode TAIDA sebagai alat bantu penyusunnan scenario dan strategi untuk menghadapi tiap skenario yang mungkin terjadi. Berdasarkan analisis tersebut, didapatkan aspek pengubah yang paling berpengaruh dan tidak pasti berasal dari kategori politik (politic) dan kemasyarakatan (societal). Didapatkan empat skenario, yaitu skenario A, skenario B, skenario C, dan skenario D. Agar tercapai tujuan jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019, diperlukan penerapan strategi yang tepat sesuai kondisi yang mungkin terjadi berdasarkan penggambaran skenario yang telah disusun.
2016 FIA UB. All rights reserved .
——— Corresponding author. Tel.: +62-821-43858306; e-mail:
[email protected]
46
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
yang belum terlindungi oleh jaminan kesehatan mengakibatkan rendahnya akses masyarakat dan risiko pembiayaan kesehatan yang berakibat pada timbulnya kemiskinan (Kemenkes RI, 2010)
1. Pendahuluan Kesehatan merupakan hak dasar yang harus terpenuhi agar setiap individu dapat melakukan aktivitas dan produktif dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kesehatan bersama-sama dengan pendidikan dan tingkat kesejahteraan merupakan indikator yang sejak tahun 1990 digunakan UNDP dalam menentukan Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development Index (HDI) yang menggambarkan tingkat kualitas hidup sekaligus kemampuan manusia. Indikator kesehatan diwakili oleh umur harapan hidup sejak lahir, indikator pendidikan diwakili oleh angka melek huruf sedangkan indikator kesejahteraan diwakili oleh kemampuan daya beli. Pada tahun 2012 Majelis Umum PBB menegaskan tujuan global untuk memberikan kepastian akses pada pelayanan kesehatan dan perlindungan risiko finansial dengan mengeluarkan resolusi yang menganjurkan penyelenggaraan Universal Health Coverage (UHC) termasuk di dalamnya perlindungan sosial dan pembiayaan yang berkelanjutan. Resolusi ini menggarisbawahi pentingnya Universal Health Coverage untuk pencapaian MDGs, mengurangi kemiskinan, dan pembangunan yang berkelanjutan. Faktanya perlindungan terhadap risiko finansial pada masyarakat yang mempunyai jaminan sosial, lebih berdampak positif daripada mereka yang tidak mempunyai jaminan sosial. Indonesia kemudian juga mengadopsi konsep UHC melalui jaminan sosial yang diwujudkan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mengamanatkan pelaksanaan jaminan sosial yang pertama kali harus dilaksanakan adalah jaminan kesehatan yang dimulai sejak 1 Januari 2014. Setahun sebelum pelaksanaan JKN, melalui Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan yang dirubah dengan Perpres No. 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Perpres No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan pasal 6 ayat (1) bahwa kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh penduduk Indonesia dengan target semua penduduk selambat-lambatnya pada 1 Januari 2019. Kabupaten Banyuwangi merupakan salah satu Kabupaten dengan penduduk berjumlah 1.588.082 jiwa (2014). Sampai saat ini, baru 47,06% penduduk Banyuwangi yang telah terjamin kesehatannya atau menjadi peserta penjaminan kesehatan. Berarti lebih dari separuh penduduk Banyuwangi yang belum terjamin kesehatannya. Dari penduduk yang telah terjamin kesehatannya tersebut, mayoritas adalah penduduk yang miskin yang didaftarkan oleh pemerintah dan premi atau jaminan kesehatannya ditanggung pemerintah (terdaftar sebagai PBI JKN) atau pemerintah daerah (sebagai peserta Jamkesda). Tingginya presentase masyarakat
Tabel 1 Penduduk yang mempunyai jaminan kesehatan komprehensif di Kabupaten Banyuwangi sampai dengan Bulan Oktober 2015 Persen dari Jumlah No. Uraian Jumlah (jiwa) Penduduk 1. Jumlah Penduduk 1.588.082 2. Peserta JKN 716.801 45,14% a. PBI 552.737 34,81% b. Non PBI 164.064 10,33% 3. Peserta Jamkesda 30.601 1,93% 4. Total Penduduk 747.402 47,06% Mempunyai Jaminan Kesehatan Sumber: Kemenkes, 2010 Tidaklah mengherankan dengan jumlah penduduk besar dan belum separuh yang terjamin kesehatannya, pembangunan kesehatan di Kabupaten Banyuwangi dapat dikatakan tertinggal jika dibandingkan kabupaten/ kota lain di Provinsi Jawa Timur yang sudah menerapkan jaminan kesehatan semesta bagi seluruh penduduknya, misalnya Kota Madiun dan Kota Mojokerto (Tabel 1). Berdasarkan data Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur Tahun 2012, Angka Harapan Hidup (AHH) rata-rata kabupaten/kota di Jawa Timur adalah sebesar 70,09 tahun. Sedangkan Angka Harapan Hidup penduduk Banyuwangi masih jauh berada di bawah AHH Jawa Timur, yaitu sebesar 68,12 tahun. Jika dibandingkan dengan Kota Mojokerto dengan AHH 71,85 tahun dan Kota Madiun dengan AHH 71,36 tahun, AHH di Kabupaten Banyuwangi tentu sangat jauh tertinggal. Tingginya estimasi Angka Kematian Bayi dan Rendahnya Angka Harapan Hidup ini berpengaruh pada IPM. Data IPM kabupaten dan kota yang dipublikasikan BPS jelas menggambarkan kondisi IPM penduduk Banyuwangi antara tahun 2004 – 2013 tidak pernah beranjak dari peringkat 25 atau 26 dari seluruh kabupaten dan kota di Jawa Timur, dan selalu berada di bawah rata-rata IPM Jawa Timur. Hal ini menggambarkan bahwa dari segi kualitas, pembangunan manusia yang dilakukan di Banyuwangi masih tertinggal dibandingkan rata-rata kabupaten dan kota di Jawa Timur. Apalagi jika dibandingkan dengan Kota Mojokerto dan Kota Madiun yang sudah menerapkan jaminan kesehatan semesta, IPM Kabupaten Banyuwangi sangat jauh tertinggal. Sejak tahun 2005 Pemerintah Kabupaten Banyuwangi meluncurkan program Jaminan Pelayanan 47
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
Kesehatan Masyarakat Miskin Banyuwangi (JPKMB). JPKMB merupakan pijakan awal bagi Jaminan Kesehatan Semesta (UHC) di Banyuwangi. Inovasi program JPKMB bermula dari dikeluarkannya Instruksi Bupati Banyuwangi Nomor 2 tahun 2005 tentang Penghentian Pungutan Retribusi Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas dan Jaringannya di Kabupaten Banyuwangi yang selanjutnya menjadi landasan hukum pelaksanaan program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Banyuwangi (JPKMB). Sama dengan Program Jamkesda. Tetapi masalahnya, program JPKMB hanya membebaskan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas saja dan tidak menjamin pelayanan rawat inap di puskesmas ataupun pelayanan kesehatan lanjutan di rumah sakit. Padahal, biaya yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan pelayanan tingkat lanjutan jauh lebih besar yang dapat mengakibatkan pengeluaran katastropik. Menurut WHO (2005) dalam Rohadanti, dkk (2012) pengeluaran katastrofik terjadi ketika sebuah rumah tangga harus mengurangi biaya kebutuhan dasar selama periode tertentu, menjual aset atau menghutang dalam rangka untuk memenuhi biaya pelayanan kesehatan anggota rumah tangganya. Pengeluaran katastrofik didefinisikan sebagai pengeluaran yang melebihi 40% dari pendapatan setelah dikeluarkan kebutuhan pokok. Dampak katastrofik adalah masalah yang timbul akibat terganggunya keuangan rumah tangga. Tingginya angka kunjungan rawat jalan di puskesmas dengan adanya program JPKMB ternyata belum mampu mendongkrak IPM Kabupaten Banyuwangi. Jika memperhatikan perbandingan IPM Kabupaten Banyuwangi antara sebelum pelaksanaan JPKMB dan setelah pelaksanaan JPKMB, memang terjadi peningkatan IPM. Tetapi peningkatan IPM tersebut tetap belum mampu menaikkan peringkat IPM Kabupaten Banyuwangi di antara kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Setelah dilaksanakannya program JKN sejak tanggal 1 Januari 2014, masyarakat mulai memanfaatkan program ini dengan cara mendaftar secara mandiri sebagai peserta JKN. Tetapi masalahnya, masyarakat yang mendaftar secara mandiri tersebut merupakan masyarakat yang sudah menderita sakit atau akan melahirkan. Mereka hanya membayar premi sebagai peserta JKN pada saat mendaftar saja, kemudian memanfaatkan kepesertaan JKN untuk mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan, tetapi ketika sudah sembuh, tidak melanjutkan kewajiban untuk membayar premi setiap bulan. Sebagaimana dimuat dalam Tempo Nasional (2014), Surya Online (2014), serta Jamkes Indonesia (2015), bahwa sekitar 45% peserta mandiri JKN yang terdaftar dalam BPJS menunggak pembayaran premi. Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan prinsip gotong royong dalam pelaksanaan JKN,
dimana terjadi subsidi terbalik, golongan miskin yang preminya dibayar oleh pemerintah mensubsidi golongan mampu yang terdaftar sebagai peserta mandiri JKN. Idealnya, penduduk miskin dan hampir miskin sesuai dengan amanat undang-undang, premi kepesertaan JKN ditanggung oleh pemerintah dan pemerintah daerah, dan penduduk yang tergolong mampu, agar tetap terjamin kesehatannya, juga terjamin kesehatannya dengan menjadi peserta JKN yang membayar sendiri premi kepesertaannya. Kurangnya pemahaman masyarakat akan pentingnya JKN, rumitnya pendaftaran menjadi peserta BPJS Kesehatan, kendala jarak untuk pengurusan administrasi yang dilakukan di kantor BPJS Kesehatan merupakan beberapa kendala yang dirasakan oleh peserta. Belum lagi sulitnya akses untuk pembayaran premi secara rutin, juga merupakan kendala yang dirasakan masyarakat sehingga ketertarikan akan program JKN kurang begitu mengena. Agar UHC di Kabupaten Banyuwangi dapat tercapai, diperlukan beberapa strategi atas kondisi yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Tetapi masalahnya berbagai teori perencanaan sering gagal memperkirakan masa depan. Salah satu penyebab kegagalan adalah asumsi bahwa perkembangan ke masa depan adalah sesuatu yang linier. Sementara itu kenyataan menunjukkan bahwa masa depan dapat bervariasi akibat berbagai aspek. Dalam hal ini dibutuhkan perencanaan yang bersifat skenario. Perencanaan berdasar skenario (scenario planning) bukan merupakan kegiatan untuk memilih alternatif, akan tetapi lebih untuk pemahaman bagaimana tiap kemungkinan akan berjalan. Skenario merupakan perwujudan pandangan atau persepsi yang paling masuk akal pada beberapa tahun yang akan datang dihubungkan dengan kondisi saat ini berdasarkan urutan peristiwa yang terjadi secara terus menerus (Blyth, 2005) Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menganalisis peluang dan tantangan dalam pelaksanaan jaminan kesehatan di Kabupaten Banyuwangi untuk kemudian merumuskan strategi berdasarkan kemungkinan skenario yang terjadi agar jaminan kesehatan semesta (UHC) di Kabupaten Banyuwangi dapat tercapai pada tahun 2019 2. Teori Strategi dan perencanaan Allison dan Kaye (2005: 3) mengartikan strategi sebagai prioritas atau arah keseluruhan yang luas yang diambil oleh organisasi berupa pilihan-pilihan tentang bagaimana cara terbaik untuk mencapai misi organisasi. Konsep-konsep strategi memberi perhatian serius pada perumusan tujuan dan sasaran organisasi, aspek kekuatan kelemahan serta peluang dan tantangan yang dihadapi organisasi. Konsep-konsep strategi ini menjadi 48
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
tulang punggung bagi manajemen strategi, keputusan strategi, serta perencanaan strategi (Salusu, 2015: 2). Terkait dengan perencanaan, menurut Allison dan Kaye (2005: 5), perencanaan strategis menekankan pentingnya membuat keputusan-keputusan yang menempatkan organisasi untuk berhasil menanggapi perubahan lingkungan. Dimana dalam perencanaan strategis ini, penekanannya terdapat pada arah keseluruhan bukan meramalkan sasaran konkrit, tahun demi tahun, secara terperinci. Rencana strategis hanya membahas tujuan prioritas tidak lebih dari lima tahun dengan sasaran operasional yang teridentifikasi untuk tahun pertama saja. Strategi bukanlah suatu rencana (Mintzberg, 1978 dalam Salusu 2015), tetapi lebih pada perumusan strategi. Dengan kata lain, merupakan proses formulasi strategi (Saunders, 1973 dalam Salusu, 2015). Suatu rencana atau rencana strategis sekalipun tidak akan ada gunanya jika tidak diimplementasikan. Implementasi merupakan tahap merealisasi tujuantujuan program. Di sinilah letak pentingnya strategi, utamanya dalam persiapan implementasi, yaitu memikirkan dan menghitung secara matang berbagai kemungkinan keberhasilan dan kegagalan, termasuk hambatan atau peluang-peluang yang ada dan kemampuan organisasi yang diserahi tugas untuk melaksanakan program sebagaimana pendapat Gordon (1986) dalam Keban (2008). Strategi tidak menjamin keberhasilan tujuan organisasi. Grand (1997) menguraikan faktor yang menunjang tercapainya suatu kesuksesan/keberhasilan organisasi, yaitu (i) tujuan yang sederhana, konsisten, dan jangka panjang; (ii) pemahaman yang baik mengenai lingkungan persaingan; (iii) penilaian yang baik mengenai sumber daya yang dimiliki; dan (iv) pelaksanaan yang efektif. Ada kalanya dalam proses pelaksanaan atau implementasi, strategi tidak dilaksanakan secara efektif karena adanya hambatan-hambatan. Jika mengutip pendapat Gow dan Mors dalam Keban (2004), dalam implementasi terdapat beberapa hambatan yang berasal dari dalam maupun dari luar organisasi. Hambatan dari dalam organisasi dapat dilihat dari ketersediaan dan kualitas input yang digunakan seperti SDM, dana, struktur organisasi, informasi, sarana dan fasilitas, aturan, serta sistem dan prosedur. Sedangkan hambatan dari luar dapat dibedakan atas semua kekuatan yang berpengaruh langsung ataupun tidak langsung kepada proses implementasi, seperti peraturan atau kebijakan pemerintah, kelompok sasaran, kecendrungan ekonomi, politik, kondisi sosial budaya.
kenyataan menunjukkan bahwa masa depan dapat bervariasi akibat berbagai aspek. Dalam hal ini dibutuhkan perencanaan yang bersifat skenario. Perencanaan berdasar skenario (scenario planning) bukan merupakan kegiatan untuk memilih alternatif, akan tetapi lebih untuk pemahaman bagaimana tiap kemungkinan akan berjalan. Menganalisis scenario planning menyangkut memformulasikan rencanarencana berdasarkan skenario “bilamana tidak” pada masa datang. Artinya, bilamana lingkungan tidak itu tidak sesuai dengan rencana, apa yang harus dilakukan organisasi (Udaya, dkk 2013). Dengan pemahaman ini organisasi dapat mempersiapkan diri dalam membuat berbagai keputusan strategis untuk menghadapi berbagai kemungkinan di masa mendatang. Menurut Lindgren dan Bandhold (2003) perencanaan skenario merupakan alat perencanaan strategis yang efektif untuk diterapkan dalam perencanaan jangka menengah maupun jangka panjang pada kondisi yang tidak dapat dipastikan. Ada berbagai macam teori terkait langkah-langkah dalam penyusunan scenario planning. Lindgren dan Bandhold merumuskan proses penyusunan scenario planning dalam 5 langkah: a. Tracking atau pelacakan. Langkah awal dalam proses TAIDA adalah tracking. Tujuan utamanya adalah untuk melacak dan menggambarkan perubahan yang ada di seluruh dunia yang mungkin berdampak pada masalah atau pertanyaan yang menjadi fokus atau inti permasalahan b. Analysing atau menganalisis. Setelah melakukan pelacakan, langkah selanjutnya adalah menganalisa perubahan dan menyusun skenario c. Imaging atau penggambaran. Setelah mendapatkan wawasan atau pandangan mengenai hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan, selanjutnya membuat gambaran tentang apa yang diharapkan, yaitu visi d. Deciding atau memutuskan. Pada tahap ini dilakukan pengenalan area pengembangan dan strategi dalam menghadapi ancaman dan mencapai visi dan tujuan e. Acting atau bertindak. Akting adalah tentang mengambil tindakan dan menindaklanjutinya. Di sini akan ditunjukkan bagaimana suatu perencanaan skenario dapat dilaksanakan. 3. Metode Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Karena penelitian ini merupakan penelitian untuk mengetahui kemungkinan skenario yang terjadi, maka penelitian ini menggunakan metode TAIDA (Lindgren dan Bandhold, 2003) Data penelitian ini dibedakan menjadi data primer yang diperoleh dari wawancara langsung dengan narasumber dan berupa data hasil observasi atau
Scenario planning Berbagai teori perencanaan sering gagal memperkirakan masa depan. Salah satu penyebab kegagalan adalah asumsi bahwa perkembangan ke masa depan adalah sesuatu yang linier. Sementara itu 49
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
pengamatan, serta data sekunder berupa dokumendokumen yang mendukung penelitian. Narasumber penelitian ini berasal dari Dinas Kesehatan yang meliputi Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Seksi Pembiayaan Kesehatan, Staf Sub Bagian Penyusunan Program, Staf Seksi Pembiayaan Kesehatan, Staf Seksi Pelayanan Kesehatan yang menangani legislasi peserta SPM, serta narasumber dari BPJS Kesehatan Kantor Cabang Banyuwangi yaitu Kepala Unit yang membidangi pemasaran serta Kepala Unit yang membidangi tata usaha. Selain itu, terdapat pula narasumber yang berasal dari masyarakat pemanfaat jaminan kesehatan. Dokumen pendukung yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen RPJMD Kabupaten Banyuwangi, Peraturan Daerah (Perda), Renstra Dinas Kesehatan, Banyuwangi Dalam Angka Tahun 2012, 2013, 2014, Profil Kesehatan Kabupaten Banyuwangi dan laporan-laporan kegiatan pada Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi, literatur, hasil penelitian, dan dokumen-dokumen lain yang terkait dan mempunyai relevansi dengan fokus penelitian serta memanfaatkan hasil FGD pada saat monitoring dan evaluasi pelaksanaan JKN oleh perwakilan dari Pusat Pembiayaan Jaminan Kesehatan (P2JK) Kementerian Kesehatan dengan BPJS Kesehatan Kantor Cabang Banyuwangi, Dinas Kesehatan, Tim Monitoring dan Evaluasi Program JKN Kabupaten Banyuwangi.
Selain sudah tersebarnya puskesmas dan jaringannya secara merata di tiap kecamatan, untuk menunjang pelayanan kesehatan tingkat lanjut, di Kabupaten Banyuwangi terdapat 2 (dua) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang sudah merupakan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), serta 10 rumah sakit swasta (8 rumah sakit umum dan 2 rumah sakit ibu dan anak) yang menerima rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama baik milik pemerintah maupun swasta. Tenaga kesehatan yang tersebar di Kabupaten Banyuwangi dibedakan menjadi 9 kelompok, yaitu tenaga medis (dokter umum, dokter spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis), keperawatan (perawat dan perawat gigi), kebidanan, farmasi, gizi, teknisi medis (radiografer, teknisi elektromedis, teknisi gigi, analis kesehatan, rekam medis dan informasi kesehatan), sanitasi, kesehatan masyarakat, serta keterapian fisik (fisioterapis, okupasi terapis, akupunktur). Tenaga medis ini tersedia dalam jumlah yang cukup dan tersebar pada fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Banyuwangi. Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat Banyuwangi (JPKMB) Merupakan program pelaksanaan bebas biaya pelayanan kesehatan rawat jalan tingkat primer di Puskesmas bagi penduduk Banyuwangi yang belum menjadi peserta jaminan kesehatan. Program JPKMB di puskesmas dan jaringannya sebenarnya hanya mengalihkan beban biaya yang selama ini ditanggung oleh masyarakat lewat retribusi Puskesmas menjadi beban Pemerintah Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Banyuwangi. Tujuan pelaksanaan program JPKMB ini adalah memberikan keringanan atau bebas biaya pengobatan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas kepada masyarakat Banyuwangi dimana apabila seluruh masyarakat Banyuwangi dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas diharapkan pelayanan kesehatan rujukan di rumah sakit dapat ditekan sekecil mungkin. Pembebasan Pelayanan Kesehatan Dasar di Puskesmas ini merupakan embrio atau tahap awal untuk menuju jaminan kesehatan di Kabupaten Banyuwangi. Adanya pembebasan biaya pelayanan rawat jalan di puskesmas, diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk secara dini memeriksakan kondisi kesehatannya, sehingga apabila penanganan terhadap gangguan kesehatan dilakukan sejak dini, dapat menurunkan jumlah rujukan ke rumah sakit, yang berdampak secara positif agar masyarakat dapat terhindar dari pembebanan atas biaya pengobatan yang lebih tinggi. Tetapi pada kenyataannya pelaksanaan JPKMB ini belum mampu menurunkan angka kunjungan rawat inap di rumah sakit yang tiap tahun hampir bisa dipastikan
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan Jaminan kesehatan di Banyuwangi Kabupaten Banyuwangi terbagi dalam 24 wilayah kecamatan dan terdiri dari 217 desa/kelurahan. Dengan penduduk yang sudah mencapai lebih dari 1,5 juta jiwa, merupakan tantangan yang tidak mudah untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakatnya yang cenderung heterogen, baik dalam hal perekonomian, maupun sosial budaya yang mempunyai pengaruh kuat terhadap derajat kesehatannya. Untuk memperkecil disparitas serta meningkatkan akses serta mutu pelayanan kesehatan secara merata dan berkeadilan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi berusaha untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, baik dari sarana dan prasarana kesehatan maupun dari segi sumber daya manusianya. Sampai dengan pertengahan tahun 2015, semua kecamatan di Kabupaten Banyuwangi telah tersedia minimal 1 (satu) puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama milik pemerintah dan didukung dengan adanya jaringan puskesmas, yaitu puskesmas pembantu dan puskesmas keliling (ambulans). Selain itu, adanya dukungan dari klinik dan praktek dokter swasta semakin memperkecil disparitas fasilitas kesehatan yang ada di semua wilayah Kabupaten Banyuwangi. 50
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
selalu mengalami peningkatan. Sebagaimana telah diketahui, pelayanan kesehatan di rumah sakit merupakan pelayanan kesehatan yang membutuhkan biaya yang jauh lebih besar (Rohadanti, dkk, 2012) (WHO, 2013). Hal ini tentu saja belum banyak berperan dalam mewujudkan target dalam RPJMN dimana minimal 95% penduduk terlindungi SJSN Kesehatan pada tahun 2019, sehingga menurunkan pengeluaran katastropik rumah tangga sebesar 2,2% pada tahun yang sama. Untuk mengatasi permasalahan terkait mahal dan ketidakpastian biaya pelayanan di rumah sakit, Thabrany (2005: 69) menyimpulkan sangat dibutuhkan pendanaan publik atau pendanaan melalui asuransi sehingga pasien yang membutuhkan pelayanan rumah sakit tidak dibebani biaya di luar kemampuannya yang dapat mengakibatkan sebuah rumah tangga menjadi miskin.
belum terdaftar sebagai peserta PBI program JKN dan Jamkesda sehingga tercapai derajat kesehatan yang optimal secara efektif dan efisien, sesuai hasil verifikasi penghitungan indikator yang telah ditetapkan. Jenis pelayanan yang diberikan bagi pemanfaat SPM sama dengan yang didapat peserta Jamkesda, karena dasar hukum pelaksanaan kedua program tersebut di Kabupaten Banyuwangi diatur dalam Perbup Banyuwangi No. 38 Tahun 2012 tentang Manlak Program Jamkesda dan Pelayanan Kesehatan Melalui Mekanisme SPM yang telah diubah, terakhir dengan Perbup Banyuwangi No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perbup Banyuwangi No. 38 Tahun 2012 tentang Manlak Program Jamkesda dan Pelayanan Kesehatan Melalui Mekanisme SPM. Sedangkan pendanaan atas klaim pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin pemanfaat SPM berasal dari APBD Kabupaten Banyuwangi. Permasalahn yang kemudian muncul dalam pelaksanaan SPM ini adalah panjangnya proses pengurusan administrasi yang harus dijalani masyarakat yang hendak mendapatkan pelayanan dengan SPM mulai dari tingkat RT hingga Sekretariat Daerah, padahal pasien yang sudah masuk ke rumah sakit lebih dari 3x24 jam tidak bisa mendapatkan jaminan melalui SPM. Selain itu, adanya inefisiensi pada APBD, dikarenakan besarnya anggaran yang harus dikeluarkan jika dibandingkan dengan pembayaran melalui mekanisme premi pada BPJS Kesehatan. Sejalan dengan Peta Jalan Kepesertaan JKN, pada tahun 2016 diharapkan terjadi integrasi Jamkesda atau SPM ke dalam JKN melalui BPJS Kesehatan. Tujuan integrasi tersebut selain efisiensi anggaran, juga untuk memberikan kemudahan proses administrasi pada masyarakat miskin yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Hal ini juga selaras dengan pendapat Mardiasmo (2005) yang mengutip dari World Bank bahwa good governance sebagai suatu sistem penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab, yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah sasaran alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi secara politik dan administrasi, menjalankan prinsip anggaran serta menciptakan kerangka hukum dan politik bagi tumbuhnya aktivitas dunia usaha.
Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan pelayanan kesehatan dengan mekanisme Surat Pernyataan Miskin (SPM) Jamkesda adalah program jaminan kesehatan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi untuk menjamin masyarakat miskin di Banyuwangi yang belum menjadi peserta PBI program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/Kartu Indonesia Sehat (KIS). Jumlah peserta Jamkesda di Kabupaten Banyuwangi yang sudah masuk dalam database kepesertaan adalah sebanyak 30.601 jiwa. Selain itu, juga terdapat peserta Jamkesda yang belum termasuk dalam database kepesertaan. Jenis kepesertaan ini diatur dalam Pergub Jatim No. 41 tahun 2015 tentang Perubahan Atas Pergub Jatim No. 86 Tahun 2014 tentang Mekanisme Pengajuan Klaim Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin Peserta Jamkesda. Pendanaan klaim atas pelayanan Jamkesda ini berasal dari dana sharing antara APBD Provinsi Jawa Timur dengan APBD Kabupaten Banyuwangi. sedangkan pelayanan kesehatan yang dijamin meliputi pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif dan rehabilitatif sampai rujukan pada pemberi pelayanan kesehatan (PPK) tingkat III pada rumah sakit rujukan di provinsi. Sedangkan pelayanan kesehatan dasarnya melekat pada program JPKMB. Selain program Jamkesda, sesuai dengan salah satu misinya untuk meningkatkan kualitas pelayanan bidang kesehatan, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat miskin yang belum menjadi peserta JKN maupun Jamkesda, dengan mekanisme Surat Pernyataan Miskin (SPM). SPM adalah surat pernyataan yang diberikan kepada masyarakat diluar kepesertaan JKN dan Jamkesda yang memenuhi kriteria miskin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maksud diterbitkannya SPM adalah untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat miskin yang
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan yang merupakan badan hukum publik milik negara. Pelayanan kesehatan yang diselenggarakan JKN meliputi pelayanan kesehatan komprehensif yang terdiri dari pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif mulai dari PPK I di puskesmas, klinik, ataupun dokter praktek swasta hingga pelayanan kesehatan rujukan pada pada rumah sakit PPK III yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. JKN berlaku 51
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
secara nasional bagi seluruh penduduk. Program JKN ini merupakan perwujudan cita-cita bangsa yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar, yaitu kesejahteraan bagi semua bangsa Indonesia. Konsep negara sejahtera menurut Suharto (2008) menekankan pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial bagi setiap orang sebagai cerminan dari adanya hak kewarganegaraan di satu pihak dan kewajiban negara di pihak yang lain, yang diwujudkan dalam suatu lembaga. Konsep kesejahteraan negara ini tidak hanya ditujukan bagi warga miskin saja, tapi bagi semua penduduk. Salah satu pilar utama pembangunan bidang kesejahteraan masyarakat adalah terselenggaranya sistem perlindungan sosial yang mampu memberikan manfaat bagi seluruh penduduk. JKN dengan prinsip asuransi sosial dan equitynya dengan asas manfaat komprehensif yang baru dilaksanakan sejak 1 Januari 2014, belum mencakup seluruh penduduk Kabupaten Banyuwangi. Dari penelitian ditemukan bahwa masih ada sebesar 52,94% penduduk Banyuwangi yang belum menjadi peserta penjaminan kesehatan. Rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya jaminan sosial untuk mengalihkan resiko ketika sakit merupakan salah satu penyebab rendahnya cakupan JKN mandiri.
pembiayaan pemerintah untuk jaminan kesehatan masyarakat miskin dalam pembiayaan PBI yang tentu saja meringankan beban pemerintah daerah. Tantangan dalam pelaksanaan jaminan kesehatan Adanya keterbatasan kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu tantangan dalam usaha untuk mencapai jaminan kesehatan semesta. Tantangan lain yang perlu dicari jalan keluarnya adalah kepastian hukum bagi rencana integrasi pemanfaat SPM ke dalam BPJS Kesehatan. Suharto (2008) menyatakan bahwa para pembuat kebijakan harus sudah mempersiapkan strategi implementasi sejak awal sebuah kebijakan dirumuskan. Hal ini senada dengan pendapat Anderson dan Zainal (2006) dalam Rewansyah (2010) yang memasukkan aspek regulasi dalam salah satu ciri yang melengkapi konsep kebijakan publik yaitu, public policy is based on law and is authoritative, kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki kewenangan untuk memaksa masyarakat untuk mematuhinya. Tidak adanya penguatan dalam aspek regulasi dalam rencana integrasi program Jamkesda dan SPM ke dalam JKN dapat berakibat pada kemunduran waktu implementasi, atau bahkan kegagalan dalam pelaksanaannya. Suatu kebijakan yang akan diambil tidak akan memberikan dampak atau akan menjadi sesuatu yang sia-sia jika tidak diimplementasikan. Senada dengan Suharto (2008) menyatakan bahwa kebijakan yang baik tidak memiliki arti apa-apa jika tidak dapat diimplementasikan. Wahab (2012) juga mengamini pentingnya implementasi, bahwa tanpa implementasi, suatu kebijakan akan berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip dan tidak memberikan makna dalam kehidupan bermasyarakat apabila tidak diimplementasikan.
Peluang dalam pelaksanaan jaminan kesehatan Adanya komitmen dari eksekutif untuk penyelenggaraan jaminan kesehatan di Kabupaten Banyuwangi yang diwujudkan dalam Visi dan Misi Bupati Banyuwangi yang tercantum dalam RPJMD Kabupaten Banyuwangi 2010 – 2015. Untuk mewujudkan visinya, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi penduduknya yang tercermin dalam misi ke 7, yaitu meningkatkan kualitas pelayanan bidang kesehatan, pendidikan dan sosial dasar lainnya dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kearifan lokal serta misi ke 8, meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana publik dengan memperhatikan kelestarian lingkungan. Dari visi dan misi kemudian diwujudkan dalam program prioritas nomor 5, yaitu peningkatan akses masyarakat terhadap kesehatan yang berkualitas. Selain itu, ketersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan yang semakin memadai menunjukkan korelasi positif dengan jangkauan pelayanan kesehatan kepada seluruh lapisan masyarakat. Adanya komitmen pemerintah daerah untuk mengembangkan jaminan kesehatan serta ketersediaan sumber daya kesehatan dalam jumlah yang cukup dan tersebar merata sudah merupakan modal untuk pencapaian tujuan jaminan kesehatan semesta 2019. Salah satu peluang besar yang mendukung UHC Tahun 2019 di Kabupaten Banyuwangi adalah besarnya
Perencanaan skenario Jaminan Kesehatan Semesta (UHC) di Banyuwangi Tracking Tracking bertujuan untuk menemukan tren, kekuatan pendorong serta ketidakpastian yang perlu dipertimbangkan dalam proses pembuatan skenario, mengetahui efek yang dihasilkan pada pertanyaan tentang masa depan. Adisasmito (2014) memaparkan bahwa salah satu permasalahan pembangunan kesehatan di Indonesia adalah terjadinya transisi epidemiologi, sehingga dalam waktu yang bersamaan Indonesia menghadapi beban ganda penyakit (double burdens), yaitu adanya penyakit infeksi menular yang diderita oleh masyarakat serta meningkatnya penyakit tidak. Hal ini senada dengan yang tertuang dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2015 – 2019, terdapat kecenderungan adanya peningkatan penyakit menular dan mulai mengancam sejak usia muda. Selain itu Selama dua dekade terakhir, telah terjadi transisi epidemiologis selama dua dekade 52
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
terakhir, adanya beban utama yang disebabkan penyakit tidak menular, meskipun penyakit menular juga masih merupakan beban berat (Kemenkes RI, 2015) Selain double burden penyakit infeksi dan penyakit tidak menular, jumlah penduduk yang besar juga merupakan tantangan tersendiri. Jumlah penduduk yang besar yang tidak didukung dengan peningkatan lapangan kerja yang memadai serta rendahnya kualitas SDM mengakibatkan tingginya jumlah pengangguran yang berdampak pada tingginya angka kemiskinan. Belum semua masyarakat terpapar informasi tentang JKN secara benar. Rendahnya cakupan kepesertaan JKN di Kabupaten Banyuwangi ini merupakan dampak dari lemahnya penerapan regulasi yang mewajibkan pemberi kerja untuk mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta JKN. Aspek-aspek pengubah tersebut kemudian dikategorikan menjadi 5, sebagaimana Tabel 2:
Gambar 1 Causal Loop Diagram UHC di Banyuwangi Setelah menggambarkan hubungan saling keterkaitan dari beberapa driving forces dalam diagram causal loop, dapat diketahui driving force yang paling berpengaruh terhadap pencapaian jaminan kesehatan semesta 2019. Berdasarkan diagram loop, driving factor yang paling memberi efek dalam keterkaitan tersebut adalah politik dan kemasyarakatan. Setelah itu, dapat digambarkan matriks skenario yang mungkin terjadi.
Tabel 2 Aspek Pengubah Scenario Planning Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Semesta 2019 Kategori Aspek Pengubah Political i. Komitmen pemda (Politik) ii. Penerapan regulasi iii. Anggaran iv. Kondisi sumber daya kesehatan Economic i. Pertumbuhan ekonomi (Ekonomi) masyarakat ii. Angka pengangguran Environtment i. Perubahan lingkungan (Lingkungan) ii. Beban ganda penyakit Societal i. Faktor demografi (Kemasyaraii. Derajat kesehatan masyarakat katan) iii. Tingkat pengetahuan masyarakat iv. Kemiskinan Technological Keterbukaan informasi (Teknologi)
Gambar 2 Skenario pencapaian UHC di Kab. Banyuwangi Skenario A merupakan kondisi dimana aspek politik dan aspek masyarakat mendukung dalam upaya pencapaian jaminan kesehatan semesta. Semua peraturan pelaksana yang mendasari program JKN untuk pencapaian jaminan kesehatan semesta di Kabupaten Banyuwangi serta pedoman pelaksanaannya sudah disahkan. Regulasi yang ada digunakan sebagai pedoman, penerapan sanksi bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya menjadi peserta JKN. Sumber daya kesehatan tersedia dalam jumlah dan kualitas yang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Ketersediaan anggaran daerah untuk pembayaran premi pada BPJS Kesehatan, terutama untuk masyarakat miskin yang belum menjadi PBI pusat, serta penyediaan anggaran untuk monitoring pelaksanaan JKN. Regulasi yang mendukung pada kemudahan investasi juga akan membuka lapangan kerja sehingga mengurangi pengangguran. Angka pengangguran yang berkurang dapat menurunkan angka kemiskinan, sehingga
Analysing Analysing merupakan tahap mengidentifikasi pengubah dan dampaknya untuk memahami bagaimana interaksi atau hubungan antar tren yang sudah dilakukan pada tahap tracking. Beberapa trend yang kita identifikasi pada tahap tracking seringkali menjadi kekuatan pendorong (driving forces) bagi trend yang lainnya. Hubungan dari beberapa trend digambarkan dalam causal loop di bawah ini. Causal loop merupakan lingkaran sebab akibat untuk mengetahui saling keterkaitan dari satu driving forces terhadap yang lainnya. Dari sini dapat diketahui besarnya keterkaitan dari masing-masing driving forces terhadap focal concern.
53
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
memberi efek positif pada peningkatan derajat kesehatan. Regulasi yang mendukung pelayanan kesehatan dan iklim investasi yang juga memberikan kontribusi positif pada penurunan angka kemiskinan mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Faktor sosial masyarakat yang mendukung, masyarakat memahami akan pentingnya jaminan kesehatan. Skenario B merupakan kondisi dimana aspek politik tidak mendukung sedangkan aspek masyarakat mendukung upaya pencapaian jaminan kesehatan semesta. Pengecualian dalam skenario ini adalah dari driving factor pelayanan kesehatan, karena dari sumber daya kesehatan di Kabupaten Banyuwangi sudah dianggap mencukupi dalam hal kuantitas dan kualitas serta penyebarannya merata di seluruh wilayah kecamatan. Selain itu, meskipun komitmen pemda diwujudkan dalam RPJPD, tetapi apabila terdapat ketidakkonsistenan dalam penyusunan RPJMD, sangat sulit bagi pemda untuk mencapai jaminan kesehatan semesta, meskipun kebijakan pemerintah pusat mewajibkan hal tersebut. Di lain pihak, pada skenario ini dukungan dari aspek kemasyarakatan, yaitu jumlah penduduk besar yang produktif dimana angka pengangguran rendah, sehingga kemiskinan bukanlah menjadi masalah sosial utama. Selain itu, tingkat pengetahuan masyarakat yang baik, yang berkontribusi pada perubahan gaya hidup yang lebih baik, dimana masyarakat memahami secara mandiri dan sadar memahami kebutuhannya sendiri di bidang kesehatan dan jaminan kesehatan karena kondisinya yang sudah berdaya. Skenario C merupakan kondisi dimana aspek politik mendukung sedangkan aspek masyarakat tidak mendukung upaya pencapaian jaminan kesehatan semesta. Komitmen pemda diwujudkan dengan adanya konsistensi peraturan pemda dengan peraturan pemerintah yang dituangkan dalam rencana pembangunan baik jangka menengah maupun pendek dengan tetap mempertimbangkan kebutuhan masyarakat lokal. Selain itu juga diwujudkan dengan penyediaan anggaran yang mencukupi bagi pembangunan kesehatan, terutama untuk pembayaran premi masyarakat miskin yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Penerapan peraturan juga dilaksanakan dengan tegas. Sanksi bagi yang melakukan pelanggaran juga merupakan alat untuk penerapan kebijakan yang efektif. Penerapan regulasi di bidang anggaran dilaksanakan, serta kejelasan dalam regulasi yang mengatur tentang penyediaan sumber daya kesehatan yang merata, berkualitas dan dalam jumlah yang mencukupi sehingga mengurangi disparitas antar wilayah dan antar golongan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang baik berkorelasi positif pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang pada akhirnya meningkatkan pula produktivitas
masyarakat. Di lain pihak, regulasi di bidang investasi yang membuka lapangan pekerjaan akan menurunkan angka pengangguran, sehingga dengan penerapan regulasi yang baik disertai dengan sanksi, dapat mendorong pemberi kerja untuk mau tidak mau mendaftarkan pekerjanya untuk menjadi peserta JKN. Pada skenario ini, didapati jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pengetahuan yang rendah. Rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat ini juga berkontribusi pada perubahan gaya hidup. Masyarakat belum dalam kondisi sejahtera yang mandiri. Hal ini tentu saja dapat berkontibusi pada meningkatnya angka kemiskinan. Skenario D merupakan kondisi dimana aspek politik dan aspek masyarakat sama-sama tidak mendukung upaya pencapaian jaminan kesehatan semesta. Skenario ini merupakan skenario paling pesimis. Tidak adanya komitmen pemda pada kesejahteraan masyarakat menyebabkan sulitnya pencapaian jaminan kesehatan semesta. Ketiadaan regulasi atau pelaksanaan kegiatan yang tidak berpedoman pada regulasi bisa berdampak pada kegagalan pencapaian tujuan jaminan kesehatan semesta. Regulasi yang tidak mendukung iklim berinvestasi atau pembukaan usaha, sedikit banyak akan berkontribusi pada peningkatan angka pengangguran. Sulitnya investasi serta kesulitan dalam membuka usaha akan meningkatkan pengangguran, yang kemudian dapat meningkatkan angka kemiskinan. Kemiskinan yang juga bisa merupakan dampak dari rendahnya tingkat pendidikan atau pengetahuan masyarakat akan semakin memperburuk kondisi pencapaian jaminan kesehatan semesta, terutama jika tidak didukung oleh aspek politik. Kurangnya atau tidak tersedianya anggaran juga dapat berdampak pada kegagalan tujuan jaminan kesehatan semesta, apalagi bila didukung dengan ketiadaan dukungan dari masyarakat. Tujuan mensejahterakan rakyat melalui jaminan kesehatan semesta akan dapat dipastikan gagal. Imaging Imaging atau penggambaran merupakan tahapan mengidentifikasi kemungkinan dan membuat visi dari apa yang ingin dicapai. Pencapaian jaminan kesehatan semesta melalui JKN, merupakan kebijakan yang sulit dilakukan meskipun bukan kebijakan yang tidak mungkin untuk pencapaiannya. Apalagi dengan target 5 (lima) tahun dari awal pelaksanaannya, bukanlah pekerjaan rumah yang mudah. Untuk mencapai jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019, diperlukan upaya maksimal dari semua stakeholder, baik dari pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Dengan adanya JKN, diharapkan tidak ada lagi permasalahan kesehatan yang dapat mengganggu kondisi sosial, terutama ekonomi masyarakat. 54
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
Deciding Deciding merupakan tahap mengidentifikasi pengembangan dan strategi menghadapi tantangan dalam mewujudkan visi dan tujuan organisasi. e. f.
Tabel 3 Strategi Menghadapi Skenario Mencapai Jaminan kesehatan semesta Kab. Banyuwangi Strategi Skenario a. Peningkatan kualitas pelayanan A kesehatan b. Intensifikasi pelaskanaan monitoring dan evaluasi pelaksanaan JKN c. Peningkatan koordinasi antar stakeholder d. Integrasi sistem kepsertaan berbasis NIK antara BPJS Kesehatan dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Skenario a. Peningkatan kualitas sumber daya B kesehatan b. Konsistensi program dan kegiatan dengan visi misi Bupati dalam peningkatan kesejahteraan, tertuang dalam dokumen perencanaan jangka menengah dan jangka pendek c. Penyusunan regulasi dengan terstruktur, jelas, dan memudahkan pelaksanaan bagi implementor d. Pengalihan anggaran JPKMB untuk pembiayaan kepesertaan JKN bagi masyarakat miskin yang belum terdaftar dalam BPJS Kesehatan (diatur dalam regulasi tersendiri) Skenario a. Intensifikasi sosialisasi program JKN C b. Mempermudah persyaratan pendaftaran bagi peserta mandiri c. Perlu adanya sanksi administratif bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam JKN d. Mensyaratkan kepesertaan JKN sebagai salah satu syarat pengurusan administrasi kependudukan atau untuk mendapatkan perijinan Skenario a. Peningkatan kualitas sumber daya D kesehatan b. Konsistensi program dan kegiatan dengan visi misi Bupati dalam peningkatan kesejahteraan, tertuang dalam dokumen perencanaan jangka menengah dan jangka pendek c. Penyusunan regulasi dengan terstruktur, jelas, dan memudahkan pelaksanaan bagi implementor d. Pengalihan anggaran JPKMB untuk pembiayaan kepesertaan JKN bagi
g.
h.
Strategi masyarakat miskin yang belum terdaftar dalam BPJS Kesehatan (diatur dalam regulasi tersendiri) Intensifikasi sosialisasi program JKN Mempermudah persyaratan pendaftaran bagi peserta mandiri Perlu adanya sanksi administratif bagi pemberi kerja yang tidak mendaftarkan pekerjanya dalam JKN Mensyaratkan kepesertaan JKN sebagai salah satu syarat pengurusan administrasi kependudukan atau untuk mendapatkan perijinan
5. Kesimpulan a. Program jaminan kesehatan yang diselenggarakan di Kabupaten Banyuwangi, terdiri dari JPKMB, Jamkesda dan SPM, serta JKN b. Peluang yang bisa dioptimalkan dalam usaha mencapai UHC di Kabupaten Banyuwangi adalah komitmen pemerintah daerah untuk pembangunan kesehatan dengan cara menjamin kesehatan masyarakatnya, besarnya penduduk yang sudah dijamin oleh pemerintah pusat melalui PBI, serta didukung oleh sumber daya kesehatan tersebar luas di seluruh wilayah Kabupaten Banyuwangi. c. Sedangkan tantangan yang harus diubah menjadi kekuatan pendorong adalah kejelasan regulasi sebagai payung hukum pelaksanaan kebijakan d. Aspek politis dan kemasyarakatan (society) merupakan driving force yang paling menentukan dan yang paling tidak pasti Daftar Pustaka Adisasmito, W. (2014). Sistem Kesehatan: Edisi Kedua. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Allison, M. & Kaye, J. (2005). Perencanaan Strategis Bagi Organisasi Nirlaba: Pedoman Praktis dan Buku Kerja. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Keban, Y.T. (2004). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep, Teori, Isu. Yogyakarta: Gava Media. Kemenkes RI. (2010). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010 – 2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Kemenkes. (2015). Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015 – 2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Lindgren, M. & Bandhold, H. (2003). Scenario Planning The Link Between Future dan Strategy. New York: Palgrave Macmillan
55
Haspilu Litawati/ JIAP Vol. 2 No. 1 (2016) 46-56
Mardiasmo. (2005). Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta: Penerbit Andi Rewansyah, A. (2010). Reformasi Birokrasi Dalam Rangka Good Governance. Jakarta: Yusaintanas Prima Rohadanti, RS. & Padmawati, RS. (2012). Evaluasi Manfaat Program Jaminan Kesehatan Daerah Bagi Masyarakat Kota Yogyakarta. Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia. Volume 01 Nomor 02. 77 – 83 Salusu, J. (2015). Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Non Profit. Jakarta: Grasindo. Suharto, E. (2008). Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik: Peran Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan (Welfare State) di Indonesia. Bandung: CV. Alfabeta Udaya, J. (2013). Manajemen Stratejik. Yogyakarta: Graha Ilmu Wahab, SA. (2012). Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penyusunan Model-Model Implementasi Kebijakan Publik. Jakarta: Bumi Aksara.
56