Jurnal Hukum Militer
Vol. 1, No. 4, Februari 2012 ISSN 1978-8797
Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer
Daftar Isi
Penanggungjawab Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer Kolonel Chk (K) Dra. Purwanti, S.H.
Sambutan Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” ...................................................... iii
Dewan Redaksi Kehormatan Direktur Hukum Angkatan Darat Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D., IISL., D.IAA., Feel.BIS., LAA., ICDH Prof. Hikmahanto Juwana, S.H, LLM., Ph.D Prof. Dr. Agusddin Aminoedin, S.H. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H, M.H. Pemimpin Redaksi Kolonel Chk Haning Satyagraha, S.H., M.H. Sekretaris Redaksi Mayor Chk Sutrisno, S.H. Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag., S.H., M.H. Anggota Redaksi Letkol Chk Agus Hari Suyanto, S.H. Letkol Chk M Ali Rindlo, S.H., M.Hum. Letkol Chk Agustinus PH, S.H., M.H. Mayor Chk Sujarwo, S.H.
Disintegrasi Negara sebagai Fenomena Baru Dalam Hukum Internasional Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, S.H., LL.M......... 1 Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.............................. 5 Filsafat Hukum Pancasila Dr. I Nengah Kastika, S.H., M.H........................... 15 Pidana Penjara Seumur Hidup, Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Letkol Chk Agustinus PH, S.H., M.H.................... 25 Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H., M.H...... 33
Desain Grafis Sertu Hendro Eko Witanto
M. Cherif Bassioni dan Marcia McCormick : Investigasi terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual sebagai Senjata Tersembunyi dalam Perang di Bekas Wilayah Yugoslavia Kapten Chk A. Fadillah, S.H., M.Hum.................. 47
Tim Editing Sertu Ikhwan Nizar Serda Ralf Hansang PNS Kusgiyanto
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Kapten Chk Ahmad Makbul S.Ag., S.H., M.H...... 55
Alamat Redaksi Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer Jl. Matraman Raya No. 126, Jakarta Timur Telepon 021-85904737 e-mail :
[email protected]
Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan ....................................... 63
Fotografer Sertu Lovi Darman
Jurnal Hukum Militer terbit setiap enam bulan
Penjelasan Undang-undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan ........................................................... 82 Berita Dalam Gambar ........................................ 93.
i
DIREKTORAT HUKUM ANGKATAN DARAT SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER
SAMBUTAN KETUA SEKOLAH TINGGI HUKUM MILITER “AHM-PTHM” Assalamu’alaikum Wr.Wb. Sekolah Tinggi Hukum Militer sebagai perguruan tinggi kedinasan di lingkungan Angkatan Darat mempunyai tugas pokok menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang ilmu pengetahuan hukum baik hukum umum maupun hukum militer untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berbasis akademisi di bidang ilmu hukum dalam rangka mendukung tugas-tugas TNI. Mengingat hal tersebut, salah satu pilar akademisi yang mendukung terselenggaranya pendidikan tinggi di bidang ilmu hukum militer yang berlanjut dan berkesinambungan serta senantiasa mengikuti perkembangan jaman, maka Pusat Studi Hukum Militer sebagai salah satu lembaga yang bernaung di bawah Sekolah Tinggi Hukum Militer berupaya menerbitkan sebuah Jurnal Hukum Militer. Langkah ini merupakan sebuah kegiatan yang positif, guna mengembangkan kemampuan dan daya pikir kritis segenap civitas akademika untuk kepentingan masyarakat umum dan secara khusus untuk kepentingan masyarakat militer. Diharapkan dengan adanya Jurnal Hukum Militer ini, keberadaan Pusat Studi Hukum Militer dan Sekolah Tinggi Hukum Militer, lebih terasa eksistensi dan manfaatnya di masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat menilai bahwa Sekolah Tinggi Hukum Militer bukanlah sebuah “Menara Gading” yang hanya bermanfaat bagi institusinya sendiri, tetapi juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat luas. Dengan lahirnya Jurnal Hukum Militer ini menunjukkan bahwa Sekolah Tinggi Hukum Militer tetap konsisten untuk mempelajari, mendalami dan mengembangkan kajian hukum militer yang menjadi ciri khusus dari Sekolah Tinggi Hukum Militer. Untuk itu, kami mengundang segenap civitas akademika dan penulis-penulis lainnya berkenan menyumbangkan ilmu pengetahuan dan karya tulis terbaik yang dimiliki baik dalam bentuk artikel hukum, hasil penelitian hukum, resume hukum maupun opini tentang perkembangan hukum militer agar jurnal ini dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam pengembangan ilmu hukum khususnya hukum militer. Saya mengucapkan terima kasih kepada segenap staf redaksi yang telah berupaya menerbitkan Jurnal Hukum Militer,Vol.1 No.4 ini. Jurnal Hukum Militer ini akan tetap terbit secara berkesinambungan dan tetap menjadi wadah bagi segenap civitas akademika Sekolah Tinggi Hukum Militer maupun civitas akademika lainnya yang memiliki perhatian khusus terhadap kemajuan dan perkembangan hukum militer di Indonesia. Akhirnya, dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Jurnal Hukum Militer Vol.1 No. 4 ini dapat diterbitkan. Sekian dan terima kasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Ketua Sekolah Tinggi Hukum Militer
Dra. Purwanti, S.H. Kolonel Chk (K) NRP 31010
iii
Disintegrasi Negara Sebagai Fenomena Baru Dalam Hukum Internasional Oleh : Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, S.H., LL.M.
I. Pendahuluan
D
isintegrasi negara merupakan terpecahpecahnya wilayah negara tersebut baik yang berupa wilayah jajahannya maupun wilayah yang sah dan kemudian membentuk negara tersendiri. Disintegrasi negara dapat digolongkan ke dalam dua katagori. Katagori pertama menyangkut wilayah-wilayah jajahan dari sesuatu negara yang belum berpemerintahan sendiri yang menurut Piagam PBB maupun prinsip-prinsip hukum internasional mempunyai hak yang sangat hakiki untuk menentukan nasib sendiri dan membentuk negara sendiri, bergabung atau bersekutu dengan negara lainnya. Dengan demikian wilayah-wilayah tersebut harus memperjuangkan haknya termasuk perjuangan senjata untuk memisahkan diri dari penjajah (administrating power). Sedangkan katagori kedua berhubungan dengan wilayah-wilayah suatu negara yang berusaha untuk memisahkan diri dari pemerintah induknya yang sah yang dilakukan karena faktorfaktor seperti ideologi, agama, etnis dan ras termasuk diskriminasi terhadap minoritas yang ada di negara tersebut, lazim disebut separatisme. Sebelum tahun 1960 di mana PBB belum menciptakan mekanisme untuk proses dekolonisasi, perjuangan wilayah-wilayah terjajah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
pada waktu itu memang dilakukan dengan perjuangan senjata seperti halnya terjadi pada wilayah-wilayah jajahan lainnya. Namun demikian sesudah tahun 1960 perjuangan bangsa/wilayah jajahan untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri menuju ke pemerintahan sendiri diatur oleh PBB melalui suatu peblisit atau referendum yang ada di bawah pengawasan PBB seperti Angola, Mozambique, Timor Timur dan banyak lagi. Perjuangan bangsa-bangsa di wilayah itu dan sampai suatu kondisi bisa mengantarkan ke pintu gerbang kemerdekaan mereka melalui suatu proses yang disebut dekolonisasi.1 Untuk memacu proses dekolonisasi dalam tahun 1960 Majelis Umum PBB telah mengeluarkan “Deklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan bagi Rakyat dan Bangsa Terjajah”. Deklarasi ini memuat prinsip-prinsip yang penting dan mendasar bagi pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri serta kondisi-kondisi yang harus dipenuhi oleh para penguasa administrasi. Satu diantaranya yang penting adalah perlunya diambil langkah-langkah di wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri, sesuai dengan kehendak dan kemauan mereka yang dinyatakan secara bebas tanpa membedakan ras, warna kulit 1. Lihat Pasal 73e Piagam PBB.
1
Disintegrasi Negara sebagai Fenomena Baru Dalam Hukum Internasional Oleh Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, S.H, LL.M.
dan kepercayaan, sehingga mereka dapat menikmati kebebasan dan kemerdekaan sepenuhnya.2 Semua bangsa yang belum mencapai tingkat pemerintahan sendiri mempunyai kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa campur tangan negara atau pihak lainnya dalam menentukan sistem ekonomi, sosial dan politiknya. Para penguasa administrasi dari wilayah yang belum berpemerintahan sendiri juga tetap berkewajiban untuk mendorong agar proses penentuan nasib sendiri suatu bangsa segera dapat terwujud sesuai dengan ketentuanketentuan Piagam PBB.3 Untuk melaksanakan prinsip-prinsip yang terkandung di dalam Deklarasi tersebut, Majelis Umum PBB kemudian membentuk satu mekanisme apa yang disebut Komite Dekolonisasi yang tugasnya untuk meneliti tentang pelaksanaan Deklarasi serta membuat saran-saran dan rekomendasi kepada Majelis Umum PBB.4 Di dalam perkembangan lebih lanjut mengenai pelaksanaan proses dekolonisasi tersebut, Majelis Umum PBB dalam tahun 1960 juga telah menetapkan prinsip-prinsip penting antara lain bahwa bagi wilayah yang belum berpemerintahan sendiri bisa memperolehnya melalui tiga pilihan5 : i. Wilayah tersebut bisa sebagai negara tersendiri yang merdeka dan berdaulat; ii. Wilayah tersebut juga bisa secara bebas mengadakan persekutuan dengan suatu negara merdeka; iii. Wilayah tersebut dapat pula bergabung dengan suatu negara merdeka. Tatkala Piagam ditandatangani di San Francisco pada tanggal 26 Juni 1945, hampir seperempat bangsa di dunia hidup dalam penjajahan oleh berbagai negara. Pada waktu itu, lebih dari 750 juta orang yang merupakan hampir sepertiga dari penduduk dunia masih tinggal di wilayah penjajahan. Melalui proses dekolonisasi PBB tersebut setelah 65 tahun PBB berdiri,
hampir semua wilayah jajahan telah dimerdekakan dan tercermin dalam keanggotaan PBB yang sekarang sudah mencapai 194 negara dibandingkan sejak berdirinya tahun 1945 anggota PBB hanya berjumlah 51 negara.
2. Resolusi MU-PBB 1514 (XV), 14 Desember 1960. 3. International Covenant on Civil and Political Rigth, Psl.1, lihat pula Resolusi MU-PBB 2200 (XXI).
4. Lihat Resolusi MU-PBB 1654 (XVI), 14 Desember 1961 5. Lihat Resolusi MU-PBB 1541 (XV) 15 Desember 1960 termasuk Resolusi 2625 (XXV).
2
II. Pemisahan Wilayah yang Sah dari suatu Negara. Usaha sesuatu wilayah dari sesuatu negara untuk memisahkan diri dan melakukan perlawanan terhadap pemerintahnya yang sah adalah bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum secara umum (general principles of law) baik dalam perspektif hukum nasional maupun internasional. Dalam kenyataannya usaha-usaha semacam itu bisa saja terjadi dan bahkan bisa berhasil. Hal ini dianggap sebagai fenomena baru dalam perkembangan kemajuan hukum internasional. Sebagai contoh dalam awal 90-an wilayah-wilayah dari Uni Soviet telah mengalami disintegrasi menjadi 15 negara, Yugoslavia menjadi 5 negara dan Cekoslovakia menjadi 2 negara. Sebaliknya yang hingga kini masih belum berhasil tercermin di beberapa wilayah seperti Irlandia Utara, Chechnya, Quebec, Armenia, Cosovo, Ossetia Selatan, Bask dan lain-lain yang hingga sekarang masih terus berlangsung. Di Indonesia misalnya perjuangan untuk memisahkan diri dari Pemerintah yang sah seperti Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS) dan Organisasi Papua Merdeka merupakan contoh serupa. Demikian juga apa yang terjadi di Filipina Selatan. Gerakan separatisme ini berbeda dengan gerakan pembebasan nasional yang dilakukan oleh sesuatu wilayah atau bangsa terjajah di bawah kolonialisme atau dominasi asing yang berjuang untuk memperoleh kemerdekaannya dalam rangka melaksanakan haknya untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsipprinsip hukum internasional dan Piagam PBB. Dalam perspektif hukum nasional gerakan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Disintegrasi Negara sebagai Fenomena Baru Dalam Hukum Internasional Oleh Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, S.H, LL.M.
separatisme semacam itu merupakan suatu perbuatan makar.6 Perlawanan untuk memisahkan diri dari Pemerintah yang sah pada hakekatnya dapat mengancam bukan saja kemerdekaan dan kedaulatan, tetapi juga keutuhan wilayah sesuatu negara. Oleh karena itu negara manapun di dalam mempertahankan keutuhan wilayahnya akan mengambil resiko apapun termasuk tindakan represif jika dianggap perlu seperti yang dilakukan oleh Inggris di Irlandia Utara, Turki terhadap Kurdi, Rusia terhadap Chechnya, Spanyol terhadap Bask, Sri Langka terhadap Tamil, Yugoslavia terhadap Cosovo atau mungkin bagi Indonesia terhadap GAM, RMS atau OPM dan Filipina terhadap Moro. Dalam perspektif hukum internasional, untuk mempertahankan keutuhan wilayah sesuatu negara dari ancaman separatisme semacam itu perlu negara bisa mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum internasional seperti : (i) Keutuhan wilayah yang tidak boleh diganggu gugat (The inviolability of territorial integrity of State).7 Negara di samping mempunyai hak kedaulatan dan kemerdekaannya juga mempunyai yurisdiksi sepenuhnya terhadap wilayah-wilayah sebagai kesatuan yang menyeluruh. Dengan demikian negara tersebut mempunyai hak sepenuhnya untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya dari segala ancaman baik dari dalam maupun dari luar. Oleh karena itu wilayah suatu negara tidak bisa diganggu gugat termasuk batasbatasnya. (ii) Hak keberadaan sesuatu negara (The right of existence of State)8 Untuk mempertahankan keutuhan wilayah sesuatu negara sangat erat hubungannya
dengan “hak keberadaan sesuatu negara” yang memang dijamin dalam hukum internasional. Hak utama dari sesuatu negara adalah keutuhan dari personalitasnya sebagai negara, karena keberadaan sesuatu negara merupakan kondisi yang sangat penting dari hak apapun yang dituntut oleh negara tersebut. Oleh karena itu suatu negara harus menggunakan hak keberadaan negara ini untuk mengatasi apapun yang mengancam keutuhan wilayahnya dari segala macam ancaman sesuai dengan situasi dan lingkungannya. (iii) Hak bela diri (The right to self defense) Negara yang mempunyai hak untuk merdeka dan berdaulat serta hak untuk mempertahankan keutuhan wilayahnya termasuk hak keberadaan negara, juga mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan tindakantindakan dalam rangka kelangsungan hidup negara tersebut. Oleh karena itu untuk mengatasi ancaman-ancaman baik internal maupun eksternal bisa menggunakan hak bela dirinya (the right to self defense) yang juga dijamin oleh ketentuan Piagam PBB9 maupun hukum kebiasaan internasional.
6. Lihat Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Pasal 106 KUHP. “Makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ketangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama 20 tahun”. (1) Barang siapa bersalah karena pemberontakan diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. (2) Para pemimpin dan pengatur pemberontakan diancam dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. 7. E.J. Osmanczyk, hlm. 798-799, lihat juga Pasal 20 Charter of the Organization of American States, Lihat juga A.A.H. Struyken, La Societe ’ des Nations et la integrite ’ Teritoire, Paris, 1923. 8. Charles G Fenwick, International Law, Forth Edition, Appleton Centry Croft, 1965, hlm.271. 9. Lihat Pasal 51 Piagam PBB.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
III. Kesimpulan Pemisahan wilayah jajahan dari sesuatu negara baik melalui perjuangan pembebasan nasional maupun proses dekolonisasi memang telah diatur dalam Piagam PBB dan telah merupakan prinsip-prinsip hukum internasional yang sudah diakui oleh semua bangsa yang beradab. Proses dekolonisasi ini merupakan misi PBB yang sangat berhasil, ini terbukti dengan keanggotaan PBB sekarang yang mencapai 194 negara dibandingkan sejak berdirinya PBB dalam
3
Disintegrasi Negara sebagai Fenomena Baru Dalam Hukum Internasional Oleh Prof. Dr. Sumaryo Suryokusumo, S.H, LL.M.
tahun 1945 yang hanya berjumlah 51 negara. Di lain pihak keberhasilan pemisahan wilayah yang sah dari sesuatu negara seperti yang terjadi di bekas Uni Soviet, Yugoslavia dan Cekoslovakia pada hakekatnya merupakan fenomena baru dalam perkembangan kemajuan hukum internasional walaupun sebelumnya merupakan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
4
hukum secara umum baik dalam perspektif hukum nasional maupun hukum internasional. Namun diantara keberhasilan tersebut tidak akan mengurangi adanya kemungkinan bahwa pemisahan wilayah melalui gerakan separatisme yang terjadi diberbagai belahan dunia masih tetap berlangsung dalam mencapai tujuan mereka.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh: Prof. Dr. FX. Adji Samekto,S.H.
Sesungguhnya kekakuan-kekakuan hukum yang memunculkan anggapan bahwa hukum di Indonesia tidak mampu menciptakan keadilan, bersumber dari dominasi paradigma positivisme dalam saintifikasi hukum modern. Doktrin-doktrin hukum yang diilhami oleh paradigma positivisme seperti misalnya “semua sama di depan hukum” (equality before the law, justice for all) menjadi ajaran yang secara teori bagus tetapi tidak di dalam faktanya. Karakter utama hukum modern adalah sifatnya yang rasional. Rasionalitas ditandai oleh sifat peraturan yang prosedural. Prosedur dengan demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan keadilan, menjaga HAM, bahkan prosedur menjadi lebih penting daripada bicara keadilan itu sendiri. Akan tetapi di dalam praktek, penggunaan paradigma positivisme dalam hukum modern ternyata menghambat pencarian kebenaran dan keadilan yang benar menurut hati nurani. Pencarian itu terhalang oleh tembok-tembok prosedur yang diciptakan oleh hukum sendiri. Jadi yang muncul dipermukaan adalah keadilan formal yang belum tentu mewakili atau memenuhi hati nurani.
Pendahuluan
H
ukum (yang diterjemahkan dari kata “law” dalam bahasa Inggris) menurut Herman J. Pietersen adalah suatu bangunan normatif. Dalam pengertian ini hukum dikonsepsikan sebagai an instrument of the state or polis concerned with justice, with rules of conduct to regulate human behaviour 1 . Jadi menurut pandangan ini hukum merupakan instrumen untuk menegakkan keadilan yang wujudnya berupa pedoman perilaku dengan fungsi utamanya mengatur perilaku manusia. Inilah 1. Herman J. Pietersen, Root Patterns of Thought in Law : A Meta Jurisprudence, 2000.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
basis berpikir ajaran hukum doktrinal. Ajaran hukum doktrinal di dalam pengajaran ilmu hukum, jauh sebelum filsafat ilmu pengetahuan modern mendominasi paradigma pengembangan ilmu pengetahuan termasuk ilmu-ilmu humaniora. Pengembangan ilmu hukum, walaupun mengalami perkembangan sangat pesat di era post-positivisme, tetapi tidak terelakkan, bahwa ajaran hukum doktrinal masih dominan dalam pengajaran ilmu hukum pada hampir sebagian besar universitas di dunia. Kajian hukum dalam pendekatan doktrinal, kalau dipelajari secara benar, sesungguhnya tidak mudah. Kajian ini memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang
5
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
dikembangkan dahulu seiring dengan kelahiran filsafat positivisme. Akan tetapi yang terjadi adalah salah kaprah : kajian hukum doktrinal seolah-olah hanya berkutat persoalan-persoalan keberlakuan dan ketidakberlakuan hukum positif saja. Salah kaprah berikutnya adalah bahwa kajian hukum doktrinal identik dengan positivisme hukum yang bersumber dari filsafat positivisme. Pendapat kedua ini tidak sepenuhnya salah, akan tetapi sesungguhnya ada kekhasan-kekhasan tersendiri dari ajaran hukum dalam pendekatan doktrinal, yang itu justru bertentangan dengan filsafat positivisme itu sendiri. Sejarah Tumbuhnya Filsafat Positivisme Surutnya pengaruh ajaran Ketuhanan dalam hukum alam telah mendorong makin mengedepannya proses-proses rasionalisasi bidang-bidang kehidupan. Inilah yang melandasi
2. Pada Abad pertengahan yang dominan adalah kajian metafisis. Pada Abad Pertengahan manusia menghadapi alam dengan ketakutan. Gejala-gejala alam seperti banjir, terjadinya halilintar, meletusnya gunung berapi, terjadinya bencana alam seperti banjir diyakini bersumber dari kekuatan-kekuatan yang menentukan kehidupan manusia. Cara berpikir ini begitu dominan dan diterima sebagai dogma, yang membuat manusia takut berpikir di luar dogma itu. Manusia menganut begitu saja dogma (atau opini?) tersebut tanpa verifikasi secara rasional dan bukti konkret berbasis fakta. Sekali lagi cara berpikir yang hidup di Era Pertengahan dan Era sebelumnya ini tumbuh sebagai akibat dominasi pemuka
6
Eropa Barat masuk pada era Rasionalisme2. Era ini disebut juga sebagai Abad Pencerahan (Enlightment) yang terjadi dari tahun 1650 hingga awal 1800-an. Terminologi “Era Pencerahan” (Enlightment) digunakan sebagai lawan dari terminologi “Era Kegelapan” (Dark Age), yang menunjukkan keadaan dimana manusia telah dicerahkan, dibebaskan pikirannya dari belenggu dominasi ajaran Ketuhanan kemudian dicerahkan sehingga mampu mendayagunakan akal budi dan rasionya untuk membentuk kehidupan sosial bersama. Sejak abad keenambelas ilmu-ilmu alam membebaskan diri dari ikatan-ikatan keagamaan melalui pengamatan, perbandingan, eksperimen dan falsifikasi empiris, dan dengan itu rahasia-rahasia alam mulai tersingkap. Alam dibuka untuk dimanfaatkan bagi tujuan-tujuan kemanusiaan. Rasionalisme telah menempatkan akal budi manusia sebagai satu-satunya tolok ukur yang sah bagi kegiatan, karya dan kehidupan manusia. Dalam pada itu yang dipandang valid sebagai ilmu adalah ilmu-ilmu pengetahuan alam, yaitu ilmu-ilmu yang disusun berdasarkan faktafakta yang dihimpun melalui observasi, dan hasil penelitiannya dapat diulangi secara tidak terbatas untuk dilihat dan diukur. Sunaryati Hartono menyebutkan, pembenaran terhadap pandangan ini dapat didasarkan pada pendapat Francis Bacon dari Inggris dan Rene Descartes dari Perancis, bahwa alam dan benda-benda alamiah lainnya tidak mempunyai jiwa seperti manusia. Untuk mengenalnya benda-benda itu harus diteliti secara impersonal artinya lepas dari nilai-nilai subjektif dan hanya didasarkan pada akal (rasio) dan pengalaman3. Oleh karena itulah maka ilmu-
agama yang bersinergi dengan kepentingan mempertahankan kekuasaan oleh Imperium Romawi di Eropa. Akan tetapi sejak manusia mampu menyingkap gejala-gejala alam dengan ilmu pengetahuan alam yang berbasis akal dan berbasis bukti, manusia tidak lagi menjadi takut menghadapi gejala-gejala alam, karena semuanya bisa dinalar. 3. Sunaryati Hartono, “Pembinaan Hukum Nasional Dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum, FH UNPAD, Bandung, 1991, hal.10
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
ilmu pengetahuan alam sebenarnya selalu didasarkan pada pengamatan fenomena alam secara bebas, pasang jarak, dan impersonal4. Hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu pengetahuan alam dirumuskan berdasarkan anggapan bahwa alam dapat diidentifikasi dan hasilnya tidak tergantung dari waktu dan tempat5. Aliran pemikiran tersebut merupakan refleksi mazhab positivisme dalam ilmu pengetahuan yang dipelopori oleh Auguste Comte (1798 – 1857). Pemikiran dalam positivisme dikembangkan dari teori Auguste Comte yang bertolak dari kepastian bahwa terdapat hukum perkembangan yang menguasai manusia dan segala gejala hidup bersama dan itu mutlak. Inilah yang oleh Comte disebutnya sebagai Hukum Tiga Tahap. Menurut Auguste Comte, dalam Hukum Tiga Tahap6 tersebut, ada tiga tahap perkembangan yang dilalui tiap-tiap masyarakat. Tahap yang pertama adalah tahap teologis. Dalam tahap ini manusia percaya pada kekuatan Illahi di belakang gejala-gejala alam. Tahap yang kedua adalah tahap metafisik. Dalam tahap ini dimulailah kritik terhadap segala pikiran, termasuk pikiran teologis. Ideide teologi diganti dengan ide-ide abstrak dari metafisika. Tahap yang ketiga adalah tahap positif. Dalam tahap ini gejala-gejala tidak diterangkan lagi oleh suatu ide alam yang abstrak, tetapi gejala diterangkan melalui gejala lain dengan mendapati hukum-hukum diantara gejalagejala yang bersangkutan. Hukum-hukum tersebut sebenarnya merupakan bentuk relasi yang konstan diantara gejala-gejala tersebut. Positivisme, dengan demikian, memuat nilainilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, dan digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa diramalkan.
Demikianlah maka dengan paradigma positivisme, ilmu-ilmu sosial telah dibentuk menurut paham rasional dan empirisisme ilmu pengetahuan alam yang sangat menonjolkan epistemologi positivistik. Donny Gahral Adian, menyatakan positivisme melembagakan pandangan objektivistiknya dalam suatu doktrin kesatuan ilmu (unified science). Doktrin ini menyatakan bahwa ilmu alam maupun ilmu sosial harus berada di bawah payung (paradigma) positivisme. Doktrin kesatuan ilmu memuat kriteria-kriteria bagi ilmu pengetahuan sebagai berikut 7: Bebas nilai ; dalam hal ini peneliti atau pengamat harus bebas dari kepentingan, nilai dan emosi dalam mengamati objeknya agar diperoleh pengetahuan yang objektif ; Ilmu pengetahuan harus menggunakan metode verifikasi empirik ; Realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati Positivisme, merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme8 yang meyakini bahwa realitas adalah segala sesuatu yang hadir melalui data sensoris. Dengan kata lain, dalam empirisme, pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi empirik, lebih lugasnya berbasis bukti terlebih dahulu. Positivisme mengembangkan paham empirik dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains yaitu ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat 9. Mazhab positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai obyek yang dapat dikontrol, digeneralisir sehingga gejala ke depan bisa diramalkan10. Mazhab positivisme berangkat dari asumsi bahwa ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid.
4. Boaventura De Sousa Santos, Toward a New Common Sense : Law,Science and Politics in the Paradigmatic Transition, Routledge, London,1995 p. 14-15. 5. Loc.cit 6. Theo Huijbers, supra, no. 3, halaman 122- 126 ; Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil : Problematika
Filsafat Hukum, Grasindo, Jakarta, 1999, hal. 83 – 84. 7. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Jalasutra, Jogjakarta, 2001, hal. 35-36. 8. Ibid, hal.30-31. 9. Loc.cit 10. Boaventura De Sousa Santos, supra, no. 3, p.14-15
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
7
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
Berdasarkan asumsi ini maka walaupun terdapat perbedaan antara fenomena alam dengan fenomena sosial, dianggap selalu memungkinkan untuk mempelajari fenomena sosial dengan pendekatan dalam ilmu alam. Adanya dominasi paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan alam yang kemudian diadopsi dalam ilmu sosial menimbulkan cara berpikir seolah-olah fenomena sosial harus dipahami dengan metode yang impersonal, netral dan objektif, dan “rumus”nya dimana-mana selalu sama tidak tergantung ruang dan waktu. Dari uraian di atas maka secara garis besar dapat dipaparkan prinsip-prinsip dalam Positivisme sebagai berikut : 1. Logika Empirik; 2. Realitas Objektif; 3. Generalisasi; 4. Reduksionis; 5. Deterministik; 6. Bebas Nilai; 7. Eksplanasi (Eklaren). Positivisme yang dikembangkan Auguste Comte menjadi dasar cara berpikir Max Weber dalam mengembangkan sosiologi. Pada awal abad XX ilmu sosiologi sangat besar pengaruhnya dan selalu disempurnakan metode ilmiahnya. Metode pendekatan di dalam sosiologi mengadopsi pendekatan-pendekatan ilmu empirik, sehingga sosiologi, walaupun ilmu ini berkaitan dengan perilaku manusia, ia tidak dapat melepaskan diri dari sikap naturalisme sebagaimana dikembangkan penganut Positivisme. Cara berpikir seperti ini tercermin pada pemikiran-pemikiran sosiolog seperti Max Weber, dan Eugen Erlich. Sosiologi, karena dinilai memiliki mutu ilmiah yang sangat tinggi (sesuai semangat Positivisme) maka dianggap dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat. Dalam pada itu, ahli-ahli sosiologi menganggap tanpa bantuan pengetahuan tentang masyarakat, ahli-ahli hukum tidak akan dapat membuat peraturan - peraturan yang dapat memenuhi tujuan hukum 11. Bagi Max Weber, hukum merupakan salah satu unsur yang hidup di dalam masyarakat. Oleh karena itulah kita bisa memahami bagaimana Max Weber mendefinisikan tentang hukum :
8
hukum adalah fakta-fakta atau kenyataan yang muncul sebagai perkembangan hubungan sebab-akibat. Dengan kata lain, hukum adalah bagian dari gejala sosial. Pandangan ini jelas berbasis landasan empirik, artinya hukum dilahirkan dari hubungan sebab-akibat. Dengan demikian basisnya adalah adanya realita terlebih dahulu, dan dari realita itu dapat diverifikasi hubungan sebab-akibat yang logis. Pengaruh Filsafat Positivisme Dalam Ajaran Sistem Hukum Modern Ajaran Auguste Comte ternyata tidak saja mempengaruhi ahli-ahli sosiologi (sehingga mereka banyak memberi bantuan makna tentang apa yang disebut hukum) tetapi juga mempengaruhi ahli-ahli hukum itu sendiri. Dengan mengadopsi cara berpikir Positivisme dari Auguste Comte, maka ahli-ahli hukum mengemukakan bahwa yang disebut hukum tidak boleh abstrak, hukum harus konkret. Konkretisasi ini ditunjukkan dengan keharusan bahwa hukum harus tertulis. Diskursus inilah yang menjadi embrio pengembangan sistem hukum modern yang dipakai di dunia hingga saat ini. Sistem hukum modern merupakan sistem hukum positif yang didasarkan pada asas-asas dan lembaga-lembaga hukum negara Barat yang untuk sebagian besar didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi. Ciri-ciri yang melekat pada sistem hukum modern adalah: 1. Merupakan sistem hukum yang berasal dari tatanan sosial (order) masyarakat Eropa Barat pada masa kelahiran dan perkembangan kapitalisme; 2. Sangat dipengaruhi oleh paradigma positivisme dalam ilmu pengetahuan alam,
11. Pada abad XX, ahli-ahli sosiologi banyak memberikan sumbangannya dalam pengembangan hukum, dengan ikut serta memikirkan makna hukum. Sistem pemikiran-pemikiran mereka ini terangkum dalam sosiologi hukum. Dalam perspektif sosiologi, hukum merupakan salah satu gejala di dalam masyarakat, dan hukum dikaji dari perspektif sosiologi. Dengan demikian tujuan sosiologi hukum secara harfiah adalah untuk menjelaskan masyarakat dengan instrumen hukum.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
sehingga sedemikian rupa, sistem hukum modern dibangun dalam tradisi pemikiran yang meyakini bahwa dalam teori maupun dalam praktek , hukum dapat dikonstruksi dan dikelola secara netral, tidak berpihak, impersonal dan objektif; 3. Bersifat rasional, telah melepaskan diri dari pengaruh Ketuhanan; 4. Dinyatakan dalam hukum tertulis; 5. Mendukung terciptanya kondisi yang stabil dan dapat diprediksikan. Realitas Objektif Di Dalam Positivisme Hukum Salah seorang pemikir hukum penganut positivisme, HLA Hart mengatakan oleh karena hukum harus konkret maka harus ada pihak yang menuliskan. Pengertian “yang menuliskan” itu menunjuk pengertian bahwa hukum harus dikeluarkan oleh suatu pribadi (subjek) yang memang mempunyai otoritas untuk menerbitkan dan menuliskannya. Otoritas tersebut adalah negara. Otoritas negara ditunjukkan dengan adanya atribut negara, berupa kedaulatan negara. Berdasarkan Kedaulatannya, secara internal negara berwenang untuk mengeluarkan dan memberlakukan apa yang disebut sebagai hukum positif. Selanjutnya HLA Hart menyatakan : (1) hukum (yang sudah dikonkretisasi dalam bentuk hukum positif) harus mengandung perintah ; (2) tidak selalu harus ada kaitan antara hukum dengan moral dan dibedakan dengan hukum yang seharusnya diciptakan (there is no necessary connection between law and morals or law as it is and law as it ought to be). Pendapat Hart seperti dipaparkan pada butir (2) mengindikasikan tolakan HLA Hart bahwa hukum harus bersumber dari sesuatu yang abstrak. Ini adalah konsekuensi logis cara berpikir dalam Positivisme, yang bersumber dari hubungan sebab-akibat suatu gejala dengan gejala yang lain secara konkret (kasat mata). Oleh karenanya pertimbangan-pertimbangan
moral tidak harus terkait dengan terbitnya hukum positif, karena pertimbangan moral bukanlah hal yang konkret. Begitu kuatnya logika Positivisme menjadi pedoman berpikir Hart, tercermin pula dari ajarannya bahwa12: “...the analysis or study of legal concepts is an important study to be distinguished from historical inquiries, sociological inquiries and the critical appraisal of law in terms or morals, socials aims..” Cara pandang senada juga dikemukakan oleh tokoh positivisme hukum John Austin (17901859) yang menyatakan bahwa norma hukum harus memuat : perintah, kewajiban dan sanksi. Terkait dengan perintah (command) harus memenuhi 2 (dua) syarat sebagaimana disampaikan John Austin13: “Commands are laws if two conditions are satisfied : first,they must be general; second they must be commanded by what exists in every political society, whatever its constitutional form, namely, a preson or a group of persons aho are in receipt of habitual obedience from most of the society...” Terkait dengan wacana realitas objektif, apakah benar kajian hukum positif bisa dipisahkan dari nilai-nilai tertentu seperti moral? Bukankah hukum positif dibuat dalam tatanan yang terikat pada ruang dan waktu, sehingga ada
12. Pendapat HLA Hart ini dikutip oleh : Teguh Prasetyo dan Abdul Hakim Barkatullah, 2007, Ilmu Hukum dan Filsafat Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, halaman 97.
13. Dikutip dari : David Dyzenhaus, Sophia Reibetanz Moreau and Arthur Ripstein(editor), 2007, Law And Morality : Readings in Legal Philosophy : 3rd edition, Toronto, University of Toronto Press, p,30-31.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
9
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
nilai-nilai tertentu yang akan mempengaruhinya? Bukankah nilai-nilai tertentu bahkan kepentingan-kepentingan tertentu dapat mengikat pembuat hukum maupun adressat hukum sehingga harus dikatakan bahwa hukum positif pun terbit sebagai produk nilai-nilai tertentu? Reduksionisme Di Dalam Positivisme Hukum Sebagai pembukan uraian sub bab ini, dipaparkan “kunci’ sebagai berikut : Salah satu ciri positivisme adalah reduksionisme, yang mengandung makna bahwa realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati. Akan tetapi sebagaimana dikatakan Santos, reduksionisme tidak mudah dilakukan dalam ilmu-ilmu berkaitan dengan manusia , karena tidak adanya teori sosial yang bersifat universal yang menerangkan realitas sosial14. Ilmu-ilmu sosial, sangat tergantung pada sistem sosial dan budaya, sehingga bisa dipahami kalau dikatakan bahwa ilmu-ilmu sosial pada dasarnya tidak bebas nilai seperti ilmu alam15. Di atas telah dikatakan bahwa salah satu ciri Positivisme adalah bersifat reduksionis. Asumsi yang dikembangkan dari reduksionisme dalam Positivisme adalah bahwa keseluruhan objek sesungguhnya adalah hasil “penjumlahan” atau integrasi dari pemahaman atas bagianbagian atau unsur-unsur. Cara pandang yang matematis dari Positivisme ini meyakini bahwa unsur-unsur bisa membentuk satu kesatuan sistem. Inilah yang di dalam sosiologi melahirkan teori struktural-fungsional sebagaimana dikemukakan oleh Talcott Parson. Pertanyaannya, apakah reduksionisme ini bisa diterapkan di dalam ajaran hukum? Sebagai konsekuensi dari diadopsinya Positivisme di dalam pengembangan hukum, maka reduksionisme juga diterima di dalam ilmu yang mengembangkan hukum positif. Oleh karena itulah kita bisa melihat upaya-upaya reduksionisme ini dilakukan di dalam ilmu hukum, sebagaimana 14. Boaventura De Sousa Santos, supra ,no.3, p. 16 15. Loc.cit
10
dilakukan oleh John Austin, HLA Hart, maupun Hans Kelsen. Bagaimana reduksionisme ini dilakukan di dalam positivisme hukum? John Austin menyatakan bahwa ilmu hukum identik dengan hukum yang berlaku (hukum positif) yang harus diterima tanpa harus memperhatikan apakah aturan hukum itu baik atau tidak secara moral. Selanjutnya ia memaparkan unsur-unsur yang harus terkandung di dalam suatu aturan hukum. Menurut pendapatnya, aturan hukum harus memuat 3 (tiga) unsur : command (perintah), sanction (sanksi) dan dikeluarkan oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu. Kewenangan itu terefleksikan dalam kedaulatan negara. Pendapat John Austin dengan demikian sangat senada dengan HLA Hart, yang mengedepankan aspek kedaulatan negara sebagai atribut negara yang berimplikasi pada kewenangan bersifat eksternal maupun internal. HLA Hart memecah hukum (dalam hal ini hukum positif) di dalam 2 (dua) bagian : pertama primary rules, yaitu aturan-aturan hukum yang secara langsung memberikan hak-hak dan kewajiban kepada orang per orang. Aturan-aturan itu meliputi aturan hukum perdata dan hukum pidana. Kedua, secondary rules, yaitu aturanaturan hukum yang memberikan hak dan kewajiban kepada penguasa negara16. Selanjutnya Hans Kelsen, memecah hukum (dalam hal ini hukum positif) menjadi 2 (dua) bagian bahasan besar : teori hukum murni dan stufenbautheorie. Kedua bahasan besar tersebut boleh dikatakan sebagai hasil reduksionis oleh Hans Kelsen atas pemahaman hukum. Terkait dengan pemikiran Hans Kelsen, beberapa ajarannya yang terangkum dalam ajaran hukum murni (the pure theory of law) dipaparkan sebagai berikut : 1. Bahwa hukum harus dilepaskan dari moral, pertimbangan-pertimbangan yang abstrak, pertimbangan politik, ekonomi dan faktor di luar hukum lainnya. Tujuan hukum adalah kepastian hukum. Begitu kuatnya prinsip ini 16. Secondary rules ini selanjutnya dipecah menjadi 3 (tiga) bagian yaitu : Pertama, rule of change ; Kedua, rule of adjudication ; Ketiga, rule of recognition.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
diajarkan oleh Hans Kelsen sehingga ia pun sampai pada pendapat bahwa ilmu hukum harus dipisahkan dari ilmu sosial. Seorang ahli hukum harus mempelajari hukum lepas dari ilmu-ilmu kemasyarakatan maupun kondisi sosial ; 2. Hukum harus benar-benar objektif tanpa prasangka. Oleh karena itu Hans Kelsen dalam hal ini berbeda dengan HLA Hart maupun John Austin. Bagi Hans Kelsen aturan hukum bukanlah hasil dari perintah penguasa karena penguasa berpotensi memiliki kepentingan subjektif dan bisa memiliki agenda politik yang bisa menyebabkan aturan yang dibuat menjadi tidak objektif ; 3. Keadilan adalah persoalan di wilayah ought to be (yang seharusnya) bukan is (yang ada). Dengan demikian bagi Hans Kelsen, keadilan bukan merupakan bagian dari kajian ilmu hukum positif. Keadilan adalah persoalan keharusan (ideal, apa yang seharusnya) tetapi bersifat metayuridis. Keadilan menurut Hans Kelsen merupakan persoalan yang bersifat tidak rasional (dalam terminologi positivisme : penulis) yang tidak jelas batas-batasnya sehingga tidak dapat menjadi konsep yang memuaskan apabila dikaji dari apa yang oleh Kelsen disebut ajaran hukum murni. Dari uraian reduksionisme di dalam ilmu hukum maka ada pertanyaan yang diulang kembali, apakah reduksionisme sesungguhnya bisa dilakukan terhadap keberadaan suatu aturan hukum? Reduksionisme di dalam filsafat Positivisme, berbasis pada keyakinan bahwa objek telaah sesungguhnya terdiri dari sub-sub objek (unsur-unsur) yang membentuk satu kesatuan yang membentuk objek tersebut. Dari uraian Hart, John Austin dan Hans Kelsen maka objek telaah kajian hukumnya adalah aturan hukum positif. Pertanyaannya, apakah ketika hasil pecahan-pecahan itu disatukan akan menghasilkan aturan hukum sebagai satu kesatuan sistem? Apakah bagian-bagian yang dipecah-pecah (sebagaimana terlihat pada pendapat Hart, Austin dan Hans Kelsen) kalau disatukan kembali akan menghasilkan pemahaman yang utuh tentang hukum? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu menda-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
patkan jawaban karena berbeda dengan ajaran filsafat positivisme, objek pengaturan hukum adalah manusia. Memang manusia adalah realitas tetapi manusia selalu terikat pada nilainilai tertentu, tatanan sosial tertentu. Hukum positif pun di dalam perkembangannya juga terikat pada nilai-nilai tertentu, bahkan kepentingan-kepentingan tertentu, karena terbitnya hukum positif sesungguhnya juga merupakan keputusan politik, yang mendasarkan pada anutan nilai-nilai tertentu. Dengan menyadari hal-hal seperti itu maka tidak sertamerta reduksionisme dapat secara mudah dilakukan dalam kajian ilmu hukum. Mungkinkah ”Bebas Nilai” Dalam Hukum Positif ? Ciri positivisme berikutnya adalah objektif atau bebas nilai. Oleh karena itulah dikatakan17, di dalam (paradigma) positivisme ada dikotomi yang tegas antara fakta dengan nilai, dan mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak terhadap realitas dengan bersikap netral. Akan tetapi perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya. Fenomena sosial secara alamiah adalah subjektif dan tidak akan dapat dipahami sebagai sesuatu yang objektif. Secara cukup jelas Santos 18 mengatakan, perilaku manusia tidak akan dapat dideskripsikan dan digambarkan berdasarkan karakteristik eksternalnya. Karakteristik manusia, tidak dapat diobjektifikasikan karena tindakan yang tampak (eksternal) sama bisa saja menimbulkan interpretasi yang beragam. Ilmuilmu sosial, dengan demikian akan selalu menjadi 17. Donny Gahral Adian, supra no.5, halaman 36. 18. Boaventura De Sousa Santos, supra, no.3, p.16-17.
11
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
pengetahuan yang subjektif dan menurut Santos, di dalamnya harus ada pemahaman sikap dan arti tindakan. Hans Kelsen menolak pendapat bahwa hukum (dalam hal ini hukum positif) adalah perintah dari penguasa karena dengan menyandarkan pada penguasa, hukum akan terkontaminasi dengan subjektifitas. Realitanya hukum positif tentu dikeluarkan oleh penguasa, dan sebagaimana disebut di atas, hukum positif muncul karena kekuasaan yang menganut nilainilai tertentu. Bahkan hukum positif pun bisa memuat hidden agenda untuk tujuan-tujuan tertentu. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan eksplorasi terus-menerus dalam mencari kebenaran ilmiah, maka positivisme yang berpijak pada realitas, objektivitas, netralitas dan menekankan pada fakta mulai dipertanyakan keabsahannya ketika cara berpikir positivisme harus diterapkan pada soal-soal kemasyarakatan. Positivisme Hukum : Sekedar Formal Justice Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa saintifikasi hukum modern sangat dipengaruhi oleh kemunculan paradigma positivisme di dalam ilmu pengetahuan modern. Modernitas bukan hanya mempengaruhi sains dan teknologi belaka, tetapi juga menjadi sumber perubahan pada kehidupan masyarakat, dan juga ilmu hukum. Ilmu hukum yang dikembangkan dalam tradisi pemikiran positivisme dalam beberapa hal bertentangan dengan tradisi pemikiran hukum doktrinal yang tumbuh pada masa prapositivisme. Dengan demikian pengkajian hukum dalam tradisi filsafat positivisme, tidak serta merta identik dengan tradisi pemikiran hukum doktrinal. Beberapa prinsip di dalam positivisme bahkan bertentangan di dalam ilmu hukum doktrinal seperti ditunjukkan dengan adanya ajaran fiksi hukum maupun kepastian hukum. Walaupun demikian dominasi saintifikasi hukum modern masih dominan hingga saat ini. Karakter utama sistem hukum modern adalah sifatnya yang rasional. Rasionalitas ini ditandai
12
oleh sifat peraturan hukum yang prosedural. Prosedur, dengan demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan apa yang disebut keadilan, bahkan prosedur menjadi lebih penting daripada bicara tentang keadilan (justice) itu sendiri. Di dalam konteks ini upaya mencari keadilan (searching for justice) bisa menjadi gagal hanya karena terbentur pelanggaran prosedur. “Semua penanganan kasus harus sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku”, demikian ungkapan yang merepresentasikan betapa pentingnya prosedur demi menjamin rasionalitas hukum. Sebaliknya segala bentuk upaya lain mencari kebenaran dalam upaya menegakkan keadilan, di luar peraturan hukum yang berlaku, tidak dapat diterima dan dianggap sebagai out of legal thought, bahkan bisa ilegal. Pada sistem hukum modern, keadilan (justice) sudah dianggap diberikan dengan membuat hukum positif. Akan tetapi di dalam praktek, penggunaan paradigma positivisme dalam hukum modern ternyata juga banyak menimbulkan kekakuan-kekakuan sedemikian rupa sehingga pencarian kebenaran (searching for the truth) dan keadilan (searching for justice) tidak tercapai karena terhalang oleh “temboktembok” prosedural. Achmad Ali dalam tulisannya yang berjudul : “Dari Formal Legalistik ke Delegalisasi” (diterbitkan tahun 2000) dalam konteks ini menuliskan: “...yang lebih memprihatinkan lagi, karena akibat penggunaan kacamata positivistik kaku dalam menginterpretasikan berbagai undangundang (di Indonesia: penulis), maka berbagai kebijakan penegak hukum maupun putusan Hakim, gagal untuk menghasilkan suatu keadilan yang substansial, melainkan hanya sekadar mampu menghasilkan keadilan yang prosedural” Pernyataan Achmad Ali di atas hendak menyatakan bahwa aplikasi paradigma positivisme dalam praktek hukum modern, karena lebih mengutamakan prosedur, maka lebih banyak membuahkan sekedar formal justice yang belum tentu merefleksikan keadilan yang sesungguhnya, karena apa yang dinamakan formal justice itu sendiri bukanlah produk yang netral dan bebas dari bias politik atau kepentingan lain.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
Pelajaran yang dapat ditarik adalah, bahwa formal justice yang ditegakkan melalui hukum positif (undang-undang) di Indonesia yang dikatakan menjunjung tinggi prinsip rule of law ternyata belum mampu mewujudkan keadilan yang substansial. Upaya mewujudkan substantial justice bisa gagal karena terbentur prosedur yang harus dipenuhi dalam memenuhi legalitas sistem hukum modern. Melalui undang-undang, pihakpihak tertentu dapat merusak hati nurani atau akal sehat yang bersifat genuine dibalik pernyataan “semua harus sesuai dengan prosedur hukum”, namun ketika prosedur hukum tersebut dijalankan, ternyata pemenuhan rasa keadilan bisa terhalang oleh prosedur ataupun formalitas yang justru diciptakan oleh hukum modern itu sendiri. Istilah supremasi hukum kemudian diidentikkan dengan supremasi undang-undang. Akibatnya persoalan hukum tereduksi menjadi sekedar persoalan ketrampilan teknis yuridis. Selanjutnya, demi kepentingan profesional terjadilah sakralisasi hukum positif. Ia harus dipertahankan demi alasan supremasi hukum, sekalipun ia telah membelenggu Indonesia dalam ketidak berdayaan mengungkap kasus-kasus yang mengantarkan Indonesia pada kemerosotan etika berbangsa. Penutup Sesungguhnya kekakuan-kekakuan hukum yang memunculkan anggapan bahwa hukum di Indonesia tidak mampu menciptakan keadilan, bersumber dari dominasi paradigma positivisme dalam saintifikasi hukum modern. Doktrin-doktrin hukum yang diilhami oleh paradigma positivisme seperti misalnya “semua sama di depan hukum” (equality before the law, justice for all) menjadi ajaran yang secara teori bagus tetapi tidak di dalam faktanya. Karakter utama hukum modern adalah sifatnya yang rasional. Rasionalitas ditandai oleh sifat peraturan yang prosedural. Prosedur dengan demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk menegakkan keadilan, menjaga HAM, bahkan prosedur menjadi lebih penting daripada bicara keadilan itu sendiri. Akan tetapi di dalam praktek, penggunaan paradigma positivisme dalam
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
hukum modern ternyata menghambat pencarian kebenaran dan keadilan yang benar menurut hati nurani. Pencarian itu terhalang oleh temboktembok prosedur yang diciptakan oleh hukum sendiri. Jadi yang muncul dipermukaan adalah keadilan formal yang belum tentu mewakili atau memenuhi hati nurani. Kritik terhadap dominasi paradigma positivisme dalam bidang hukum ini bukan bermaksud untuk menyatakan bahwa pengajaran studi ilmu hukum dalam “payung” paradigma positivisme harus dipersalahkan, tetapi bermaksud untuk membuat agar berjalannya sistem hukum modern dapat semakin memberikan manfaat dan ketenteraman yang tidak selalu terefleksikan dalam realitas yang tampak. Untuk itu harus ada penjelasan mengapa prinsip-prinsip hukum dalam sistem hukum modern seperti equality before the law, netralitas atau objektifitas hukum dalam prakteknya tidak bisa diterapkan efektif. Guna penjelasan-penjelasan itulah maka pemikiranpemikiran yang dikembangkan dalam ilmu-ilmu lain dapat digunakan untuk membantu memahami kenapa prinsip-prinsip dalam sistem hukum modern sering tidak berjalan efektif. Di dalam uraian ini memang tidak dibahas bagaimana kemudian ilmu hukum dikembangkan di era post-modernisme (post-positivisme). Semakin disadari bahwa hukum sangat sulit untuk dilepaskan dari basis sosialnya dan dengan demikian ilmu hukum juga akan menjadi kurang berkualitas apabila tidak membicarakan hukum bersama-sama dengan masyarakatnya. Oleh karena itu tidak dapat dicegah terjadinya interaksi antar disiplin dan proses saling memasuki. Inilah yang menjadi landasan penyebutan ilmu hukum yang holistik. Ilmu hukum yang holistik tidak bisa bekerja sendiri dengan memfokuskan pada peraturan (rule) melainkan juga pada perilaku. Dalam ilmu hukum holistik, hukum adalah untuk manusia, dan dari situ akan mengalir pendekatan, fokus studi, metodologi dan sebagainya. Ilmu hukum yang mengisolasikan diri dari keterkaitannya dengan disiplin ilmu lain akan memiliki penjelasan yang sangat kurang. Demikianlah orasi ini, yang saya maknai sebagai sumbangan pikiran saya kepada Sekolah
13
Keadilan Versus Prosedur Hukum : Kritik Terhadap Hukum Modern Oleh Prof. Dr. FX. Adji Samekto, S.H.
Tinggi Hukum Militer. Orasi ini merupakan kehormatan sangat tinggi bagi seorang akademisi seperti saya, dan merupakan kesempatan berharga yang tidak boleh saya sia-siakan mengingat sesungguhnya Sekolah Tinggi Hukum Militer mempunyai peran strategis. Ada beberapa alasan yang bisa dikemukakan mengapa Sekolah Tinggi Hukum Militer sesungguhnya berperan penting : Pertama, STHM adalah insititusi pendidikan hukum yang mempunyai tanggung jawab mendidik insan-insan penegak hukum yang lebih menempatkan keadilan sebagai tujuan utama, daripada sekedar aspek kepastian hukum. Kedua, STHM sebagai bagian dari TNI-AD, bertanggung jawab untuk mengedepankan Pancasila yang tidak boleh ditinggalkan sebagai ideologi negara dan dasar negara, yang harus selalu menjadi bintang pemandu perundangundangan di Republik Indonesia. Kita sadari bahwa Pancasila kini dihadapkan pada dua fundamentalisme yang berbahaya : fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar (cara berpikir liberal akibat globalisasi).
14
Perundang - undangan di Indonesia pun dalam beberapa hal telah dipengaruhi oleh sikapsikap kedua fundamentalisme itu. Fundamentalisme telah merasuk dalam perundangundangan RI dan Pancasila mulai ditinggalkan. Ini berbahaya. Oleh karena itulah STHM harus mendidik insan-insan penegak hukum yang tetap menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang harus menjiwai perundang-undangan di Indonesia. Akhir kata saya sampaikan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan Sekolah Tinggi Hukum Militer yang memberikan kesempatan ini. Saya tidak akan dapat menyumbangkan pikiran ini tanpa peran sahabat saya : Kolonel TNI-AD Wahyu Wibowo,S.H, teman di waktu mahasiwa S1 di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Tentu saya harus mengucapkan terima kasih bukan hanya kepada beliau karena orasi ini terselenggara juga karena peran staf di Sekolah Tinggi Hukum Militer yang terus-menerus berkoordinasi dengan saya. Akhir kata : Maju dan Jayalah Sekolah Tinggi Hukum Militer TNI-AD. Kami menunggu sumbanganmu pada perbaikan hukum di Indonesia!
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
FILSAFAT HUKUM PANCASILA Oleh : Dr. I Nengah Kastika, S.H.,M.H.
Pengantar
S
ejak masa kelahirannya hingga hari ini, Pancasila dibicarakan, ditulis di koran, dinyanyikan, dipidatokan, diperdebatkan dalam suasana dahi berkernyit. Demikian salah satu tulisan di Harian Kompas yang diberi judul “Kebangsaan Franky Sahilatua dan Pancasila.” 1 Memang belakangan ini banyak di diskusikan mengenai Pancasila sebagai dasar ideologi negara, dan keberadaannya sebagai perekat atau pemersatu bangsa. Berbagai gagasan, dan komentar terlontar dalam perbincangan baik di televisi maupun di media masa. Salah satunya, gagasan rencana aksi nasional untuk sosialisasi Pancasila Pandu Pemimpin Negara yang dikemukakan oleh Ketua Mahkamah Konstiusi Mahfud MD dalam jumpa pers bersama tujuh pemimpin lembaga tinggi negara lainnya. 2 Selain Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Taufiq Kiemas menyatakan keprihatinannya atas menguatnya radikalisme, terorisme, dan kekerasan horizontal, dan meminta kepada Presiden Yudhoyono untuk 1. Harian Kompas, Senen, 30 Mei 2011 2. Harian Kompas, Rabu, 25 Mei 2011 3. Ibid
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
membantu menyebarluaskan empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika.3 Tidak ketinggalan juga para rektor di Jawa Timur meminta agar Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) diajarkan kembali.4 Banyak lagi yang memberikan pendapat, gagasan maupun komentar terhadap keberadaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada dasarnya semua pihak menginginkan Pancasila dikembalikan lagi sebagi fungsinya semula, dan dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan dengan metode disesuaikan dengan kebutuhan, serta sejauh mungkin menghindari metode indoktrinasi seperti yang dilakukan pada masa orde baru. Demikian antara lain mengemuka pendapat dari berbagai kalangan, dan dari pendapat tersebut menurut hemat penulis ada pemahaman mendasar yang perlu digali kembali di dalam menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila yaitu antara lain dari sisi “FILSAFAT HUKUM PANCASILA”
4. Putu Setia, Cari Angin Pancasila, Koran Tempo, 29 Mei 2011
15
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
Pilihan Pancasila Sebagai Dasar Ideologi Negara Sebelum membahas sisi filsafat hukum Pancasila, terlebih dahulu mari kita tengok kebelakang pilihan bangsa Indonesia tentang Ideologi Pancasila diantara dua poros ideologi besar dunia. Bung Karno, pada Kongres Amerika Serikat tanggal 16 Mei-3 Juni 1956 menyampaikan pidato dengan menguraikan Pancasila dan menjelaskannya dengan sangat rinci sila demi sila. Peserta Kongres nampaknya memberikan apresiasi yang tinggi, hal ini ditandai dengan tepuk riuh dan aplaus panjang pada setiap uraian sila-sila dari Pancasila. Kemudian, kampanye tentang Pancasila disampaikan kembali kepada dunia dalam pidatonya di PBB pada tanggal 30 September 1960 yang berjudul “To Build the World Anew”. Sukarno pada saat itu menyangkal pendapat seorang filsuf Inggris Bertrand Russel yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologis yaitu Manifesto Komunis dan Declaration of Independence, dan menyatakan bahwa Indonesia tidak dipimpin oleh ke dua paham itu, tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis. Namun, berdasarkan pengalaman sendiri, dan dari sejarah bangsa Indonesia telah tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai dan cocok yaitu “Pancasila”.5 Pancasila sebagai ideologi Negara sebenarnya berasal atau bersumber dari nilai-nilai adat istiadat yang beranekaragam, nilai-nilai budaya bangsa serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia. Jadi, unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) dasar Pancasila diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia atau dengan lain perkataan unsur-unsur yang merupakan materi (bahan) Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan kausa materialis (asal bahan) 5. Yudi Latif, Mengapa Pancasila begitu penting, Harian Kompas, Jumat, 13 Mei 2011 6. Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010 7. Ibid
16
Pancasila. Unsur-unsur Pancasila tersebut dirumuskan oleh pendiri Negara, sehingga Pancasila berkedudukan sebagai dasar Negara dan ideologi bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Pancasila sebagai ideologi Negara berakar dari pandangan hidup dan budaya bangsa Indonesia, bukan mengangkat atau mengambil dari ideologi bangsa lain.6 Filsafat Hukum dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia Secara etimologis istilah “filsafat” berasal dari bahasa Yunani “philein” artinya “cinta” dan “sophos” artinya “hikmah” atau “kebijaksanaan” atau “wisdom”. Jadi secara arafiah istilah “filsafat” mengandung makna cinta kebijaksanaan.7 Hal ini sesuai dengan sejarah timbulnya pengetahuan, dan seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan maka muncul pula filsafat politik, sosial, hukum, bahasa, agama, dan bidangbidang ilmu lainnya. Menurut B. Arief Sidharta, filsafat hukum adalah pendirian atau penghayatan kefilsafatan (yang paling fundamental) yang dianut orang atau masyarakat atau Negara tentang hakikat, ciri-ciri hakiki serta landasan berlakunya hukum. 8 Selanjutnya dia mengatakan bahwa filsafat hukum yang dianut akan sangat berperan sebagai landasan kefilsafatan dan norma kritik bagi berlakunya Tata Hukum secara keseluruhan, serta merupakan bagian dari pandangan hidup yang dianut dalam masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa Filsafat Hukum adalah penerapan pandangan hidup dalam bidang hukum.9 Di dalam hukum sebenarnya yang terjadi adalah proses penilaian, dan yang dinilai perilaku manusia di dalam pergaulan hidup, perilaku di dalam jaringan berbagai hubungan sosial, dan yang melakukan penilaian adalah manusia itu sendiri. Karena itu, yang menentukan isi 8. B. Arief Sidharta, Filsafat Hukum Pancasila, Refleksi Dinamika Hukum; Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara, Jakarta 2008, hal. 15 9. Ibid
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
peraturan hukum atau ketentuan tentang keharusan cara berperilaku adalah penghayatan manusia tentang kedudukan dari tiap manusia di dalam pergaulan hidup manusia dalam alam semesta. Pandangan atau penghayatan manusia tentang tempat dirinya dalam rangka keseluruhan itu disebut pandangan hidup.10 Pandangan hidup adalah pangkal bertolak dari landasan kefilsafatan serta ukuran bagi norma kritik yang mendasari atau menjiwai tata hukum. Karena itu, pandangan hidup yang dianut akan memberi keutuhan, kesatupaduan dan pengarahan pada keseluruhan proses-proses sosial penormaan atau pengkaidahan peraturan hukum beserta dengan proses-proses penerapannya dalam kehidupan bermasyarakat. Jadi atas dasar pengarahan itu, maka keseluruhan peraturan-peraturan hukum dan pranata-pranata hukum yang berlaku dan hidup dalam masyarakat akan mewujudkan diri menjadi satu kesatuan yang berstruktur, bersistem dan dinamis.11 Tata Hukum adalah hasil perpaduan dinamis antara pandangan hidup yang dianut dan kenyataan lingkungan hidup manusia yang dipadanankan kedalam keseluruhan asas-asas hukum, kaidah-kaidah hukum dan pranatapranata hukum yang tersusun dalam suatu struktur yang bersistem. Filsafat Hukum yang merumuskan landasan kefilsafatan dan norma kritik bagi Tata Hukum yang berlaku akan diwarnai oleh Pandangan Hidup yang dianutnya. Pandangan hidup bangsa Indonesia telah dirumuskan secara padat dalam bentuk kesatuan rangkaian lima sila yang dinamakan Pancasila, dan Pancasila itu ditempatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan kefilsafatan yang mendasari dan menjiwai penyusunan ketentuan-ketentuan yang diatur. Dengan demikian, Pancasila melandasi dan menjiwai kehidupan kenegaraan di Indonesia, termasuk kegiatan menentukan dan melaksa-
nakan politik hukumnya. Penyususnan dan penerapan Tata Hukum di Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar itu tadi harus dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila.12 Pandangan hidup Pancasila berpangkal pada keyakinan bahwa alam semesta dengan segala isinya sebagai suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.13 Manusia berasal dari Tuhan dan tujuan akhir dari kehidupannya adalah untuk kembali pada sumber asalnya. Karena itu, bertaqwa dan mengabdi pada Tuhan menjadi kewajiban manusia yang wajar, yang sudah dengan sendirinya harus dilakukan. Manusia diciptakan oleh Tuhan dengan kodrat sebagai mahluk bermasyarakat yang kehadirannya dikodratkan dalam kebersamaan, dan dalam kebersamaannya itu, tiap manusia memiliki kepribadian yang unik yang membedakan yang satu dengan yang lain. Keseluruhan pribadi-pribadi dengan keunikannya masing-masing mewujudkan satu kesatuan, yakni kemanusiaan. Dalam masing-masing pribadi yang unik itu terdapat atau terjelma kemanusiaan, karena itu kehadiran manusia dalam kebersamaannya itu memperlihatkan kodrat adanya kesamaan, yakni kemanusiaan dalam pribadi-pribadi yang unik, dan pribadipribadi yang berbeda (kesatuan dalam perbedaan). Sebaliknya, kebersamaan itu memperlihatkan kodrat kepribadian tiap manusia individual yang unik, yakni perbedaan-perbedaan di dalam kesatuan kemanusiaan yang dalam lambang Negara Republik Idonesia, kodrat itu dirumuskan dalam seloka: “Bhinneka Tunggal Ika”.14 Dilihat dari jalan pikiran tadi, Bhineka Tunggal Ika itu merumuskan asas pertama dalam menetapkan pendirian tentang kedudukan tiap manusia di dalam masyarakat. Manusia adalah subyek yang memiliki kepribadian yang unik sebagai kodratnya. Kodrat berkepribadian ini
10. Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan, PT Pembangunan, Jakarta, 1965 11. Soejanto Poespowadojo, Filsafat Pancasila; Sebuah Pendekatan Sosio-Budaya, Gramedia, Jakarta, 1994. hal 30
12. Op. Cit 13. Sayidiman Suryohadiprojo, Membangun Peradaban Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 49 14. Op Cit
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
17
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
tidak dapat disangkal tanpa meniadakan juga kodrat kemanusiaannya. Karena itu, setiap manusia untuk dapat menjadi manusia harus mengakui dan menerima adanya kepribadian itu, termasuk kepribadian manusia-manusia lain. Hal ini berlaku juga bagi masyarakat, artinya untuk tetap mempertahankan eksistensinya sebagai masyarakat manusia yang berkemanusiaan, maka masyarakat harus mengakui dan memelihara serta melindungi kepribadian masing-masing anggotanya. Di dalam diri tiap manusialah, masyarakat mewujudkan kemanusiaan. Sebaliknya, hal itu tidak berarti bahwa masing-masing individu manusialah yang terpenting, dan karena itu kepentingan tiap manusia masing-masing secara bersendiri harus didahulukan dari masyarakat. Sebab, terbawa oleh kodrat kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya, manusia hanya dapat mewujudkan kemanusiaannya dalam masyarakat yang di dalamnya tiap manusia menjadi anggotanya. Terbawa oleh struktur kehadiran manusia dalam kebersamaan dengan sesamanya itu, maka sifat hubungan antar-manusia dan antara tiap manusia dengan masyarakat dilandasi dan dijiwai oleh cinta kasih. Sifat cinta kasih yang menjiwai hubungan manusiawi itu yang terbawa oleh kodrat kebersamaannya itu, juga pada akhirnya bersumber pada Sang Maha Pencipta, yakni Tuhan Yang Maha Esa. Sifat hubungan manusiawi yang demikian itu dinamakan juga kekeluargaan. Karena itu, Pandangan Hidup Pancasila dapat juga disebut Pandangan Hidup Kekeluargaan.15 Asas kekeluargaan adalah rumusan asas hidup yang didasarkan atas pemikiran yang konkret, yaitu tiada manusia yang kehadiran dan kehidupannya terlepas dari kaitan kebersamaan dengan manusia-manusia lain.16 Dalam asas ini tercakup juga kesadaran dan pengakuan bahwa hidup manusia tergantung pada lingkungannya, seperti alam, sesama manusia, dan tergantung
pada sesuatu yang ada di atas segala galanya (Tuhan Yang Maha Esa, Dunia Supranatural, Dunia Transenden). Karena itu, kebahagiaan pribadi dan upaya untuk mewujudkannya tidak dapat diisolasi dari kebahagiaan manusiamanusia lain yang bersama-sama mewujudkan kebahagiaan bersama.
15. Op Cit 16. Ibid 17. Hans Kelsen, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Empirik-
Deskriptif, Alih Bahasa oleh Somardi, RimDi PRESS, hal. 75 18. H.Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003. hal. 130
18
Cita Hukum Pancasila Hukum timbul dari rasa wajib yang tertanam dalam jiwa manusia, yakni dalam akal budi dan budi nurani manusia yang mengharuskan manusia bersikap dan berperilaku dengan cara tertentu berkenaan dengan adanya manusiamanusia lain untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat. Keharusan itu menimbulkan hak untuk menuntut agar apa yang diharuskan dilaksanakan; jadi adanya kewajiban itu sekaligus menimbulkan hak. Kewajiban bersikap dan berperilaku tertentu terhadap orang lain itu dirasakan sebagai apa yang sudah sepantasnya dan seadilnya menjadi hak orang lain itu. Manusia merasa berwajib dan dituntut untuk memberikan kepada orang lain apa yang menjadi haknya. Hak dan kewajiban itu dapat dipahami sebagai hak dan kewajiban terhadap manusia atau manusia-manusia lain. Jika hak itu adalah hak hukum, maka hak tersebut mesti merupakan hak atas perbuatan sesorang lainnya, atas perbuatan yang menurut hukum merupakan kewajiban dari seseorang lainnya itu.17 Jadi, hak dan kewajiban itu menunjuk atau mengungkapkan hubungan antar manusia, oleh karena itu hukum pada hakikatnya adalah hubungan antar manusia dalam dinamika kehidupan bermasyarakat yang masing-masing mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum.18 Hukum yang mewujudkan diri sebagai proses-proses sosial pengaturan berperilaku dalam hubungan kemasyarakatan, dan sebagai pengaturan perilaku selain untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
hukum juga dimaksudkan untuk mewujudkan asas keadilan, yang oleh Stammler disebut sebagai konsep hidup yang fundamental. 19 Karena itu, hukum diarahkan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan jasa yang telah diberikannya. Memberikan perlakuan yang sama menurut proporsinya, memberikan imbalan sesuai dengan kecakapan dan jasanya terhadap masyarakat, dan memberikan hukuman sesuai dengan kesalahannya, kesemuanya ini adalah akibat yang timbul dari kenyataan bahwa manusia dikodratkan berstruktur ada bersama dengan sesamanya. Karena manusia dikodratkan ada bersama dengan sesamanya, maka manusia tidak dapat mengelakkan diri dari keberadaan dalam pergaulan dengan sesamanya. Justru karena itu, maka ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat yang dikehendaki yang manusiawi dan tidak kaku. Yang dikehendaki adalah ketertiban dan keteraturan yang bersuasana ketentraman batin, kesenangan bergaul diantara sesamanya, keramahan dan kesejahteraan yang memungkinkan terselenggaranya interaksi antar-manusia yang sejati. Karena itu, hukum yang dijiwai oleh Pancasila adalah hukum yang berasaskan semangat kerukunan. Karena itu juga hukum secara langsung diarahkan untuk mewujudkan keadilan sosial yang memberikan kepada masyarakat sebagai kesatuan dan masingmasing warga masyarakat kesejahteraan (material dan spiritual) yang merata dalam keseimbangan yang proporsional. Terpaut pada asas kerukunan adalah asas kepatutan, juga asas tentang cara menyelenggarakan hubungan antar warga masyarakat yang di dalamnya para warga masyarakat diharapkan berperilaku dalam kepantasan sesuai dengan kenyataan-kenyataan sosial, maka dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang sah menurut hukum, para warga masyarakat diharapkan untuk memperhatikan kepantasan. Sifat lain yang memberikan ciri pada Hukum
Pancasila adalah asas keselarasan yaitu asas yang menghendaki terselenggaranya harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui asas ini, penyelesaian masalah-masalah konkret, selain harus didasarkan pada pertimbangan kebenaran dan kaidah hukum, juga harus diakomodasikan pada proses-proses kemasyarakatan sebagai keseluruhan yang utuh dengan mempertimbangkan perasaan-perasaan yang sungguh-sungguh hidup di dalam masyarakat. Karena itu, dari masyarakat dan pelaksana hukum diharapkan kepatutan dalam melaksanakan hak dan kewajiban yang dikenal dengan istilah sifat kekeluargaan. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Hukum Pancasila adalah hukum bersemangat kekeluargaan yang menunjuk pada sikap yang berdasar kepribadian setiap warga masyarakat yang diakui dan dilindungi oleh masyarakat. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Cita Hukum Pancasila itu adalah persepsi dan penghayatan bangsa Indonesia tentang hukum dan penyelenggaraan hukum yang berintikan: Ketuhanan Yang Maha Esa; penghormatan atas martabat antar sesama manusia; pengakuan dan penghormatan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia; wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara; persamaan dan kelayakan; keadilan sosial; moral dan budi pekerti yang luhur; partisipasi dan transparansi di dalam proses pengambilan keputusan.
19. W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, judul asli Legal Theory, diterjemahkan oleh Muhamd Arifin, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hal 29 20. Op Cit
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Pengayoman Sebagai Tujuan Hukum Pancasila Manusia mempunyai tujuan hidup mewujudkan kebahagiaan yang dalam bahasa filsafat dikatakan mewujudkan kehidupan yang sempurna atau setidak-tidaknya menjalani kehidupan sesempurna mungkin dengan mengembangkan semua potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara utuh.20 Tiap manusia akan berupaya untuk mewujudkan tujuan
19
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
hidupnya masing-masing. Upaya itu dilaksanakan dengan menjalankan perilaku, karena hanya dengan perilaku manusia dapat mewujudkan tujuan hidupnya itu. Manusia juga perlu mempergunakan berbagai hal lain yang ada di luar dirinya, misalnya benda mati dan binatang. Karena kodrat kebersamaan dengan sesamanya, maka segala upaya yang dilakukan manusia itu berlangsung dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan. Di lain pihak terbawa oleh kodratnya, manusia tidak dapat dijadikan obyek dan alat oleh sesamanya tanpa meniadakan kemanusiaannya. Karena setiap manusia memerlukan benda-benda dan binatang-binatang itu untuk memenuhi tujuan hidupnya, dan tidak ada seorangpun yang mau dijadikan obyek atau alat oleh orang lain. Maka dari itu, di dalam hubungan kemasyarakatan dengan sendirinya timbul pengertian hak bahwa setiap manusia sama-sama mempunyai hak untuk menggunakan benda-benda dan binatang-binatang itu serta untuk tidak dijadikan obyek atau alat oleh orang lain; dan bersamaan dengan itu timbul pengertian hukum.21 Dapat kita pahami, pelaksanaan hak untuk hidup dan mencapai tujuan hidup masing-masing tidak mungkin terjadi secara wajar bila di dalam masyarakat terdapat kekacauan. Manusia memerlukan terselenggaranya ketertiban dan ketentraman di dalam masyarakat. Ketertiban dan keteraturan itu diwujudkan dalam perilaku manusia, maka diperlukan sejumlah peraturan perilaku yang kepatuhannya tidak diserahkan sepenuhnya kepada kemauan bebas setiap manusia. Peraturan-peraturan perilaku yang demikian itu disebut hukum, yang pelaksanaannya harus dapat dipaksakan oleh otoritas publik. Jadi salah satu tujuan hukum adalah mengatur perilaku manusia di dalam hubungan-hubungan kemasyarakatan, dan apabila perlu dilaksanakan dengan paksaan (hukum sebagai perintah) 22 sehingga terwujud ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat. Ketertiban dan ketentraman itu bukanlah
tujuan akhir dari hukum, melainkan tujuan antara, sebab di dalam masyarakat dapat saja dengan menggunakan kekuatan, dipaksakan suatu ketertiban yang bersifat tiranik yang menindas nilai-nilai kemanusiaan. Adapun tujuan lebih jauh dari hukum adalah mewujudkan kedamaian sejati di dalam masyarakat. Kedamaian sejati akan terwujud, bilamana setiap warga masyarakat merasakan ketentraman dalam batinnya. Para warga masyarakat akan merasa tentram, bilamana : pertama, ia yakin betul bahwa kelangsungan hidup termasuk hal mempertahankan haknya tidak tergantung pada kekuatan; kedua, bilamana para warga masyarakat merasa yakin bahwa sepanjang tidak melanggar hak dan tidak merugikan orang lain, tanpa perasaan khawatir, secara bebas dapat menjalankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran; ketiga, secara bebas ia dapat mengembangkan bakat-bakat dan kesenangannya; dan keempat, ia akan selalu mendapat perlakuan secara wajar dan berperikemanusiaan, adil dan beradab, juga ketika ia telah melakukan suatu kesalahan.23 Dalam tujuan hukum yang digambarkan tadi, secara implisit sudah mencakup tujuan lain dari hukum, yakni mewujudkan keadilan. Kelangsungan ketertiban dan kedamaian sangat tergantung pada terlaksananya keadilan. Karena itu, terselenggaranya keadilan adalah sangat esensial dalam mewujudkan hukum. Secara umum dikatakan, bahwa keadilan berarti dengan sukarela secara tetap dan mantap terus menerus memberikan kepada setiap apa yang memang sudah menjadi bagiannya atau haknya. Berdasarkan rumusan tadi, pengertian keadilan dapat dibedakan dalam beberapa aspek berikut ini: 24 Keadilan Distributif (iustitia distributiva) adalah keadilan yang berupa kewajiban pimpinan masyarakat untuk memberikan kepada warga masyarakat beban sosial, fungsi-fungsi, balas jasa dan kehormatan secara proporsional (seimbang) dengan kecakapan dan jasa masing-masing. Keadilan Komutatif (iustitia cummutativa) adalah keadilan
21. Op Cit 22. Carl Joachim Friedrich, Filasafat Hukum; Perspektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, 2004. hal 106
23. Op Cit 24. Op Cit
20
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
yang berupa kesenilaian antara prestasi dan kontra prestasi, antara jasa dan balas jasa dalam hubungan-hubungan antar warga, atau dilihat dari sudut pemerintah memberikan kepada setiap warga secara sama tanpa menghiraukan perbedaan-perbedaan keadaan pribadi atau jasanya. Keadilan Vindikatif (iustitia vindicativa) adalah keadilan yang berupa perlindungan yang diberikan kepada setiap manusia, sehingga tak seorangpun akan mendapat perlakuan sewenang-wenang. Tujuan hukum untuk mewujudkan ketertiban dan keteraturan, kedamaian, serta keadilan dapat dirumuskan dengan satu istilah, yakni Pengayoman. Jadi, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia. Tetapi, mengayomi manusia itu tidaklah hanya melindungi manusia dalam arti pasif, yakni hanya mencegah tindakan sewenang-wenang dan pelanggaran hak saja,melainkan meliputi pengertian melindungi secara aktif, artinya meliputi upaya untuk menciptakan kondisi dan mendorong manusia untuk selalu memanusiakan diri terus menerus. Jadi, dalam alam pikiran Pancasila, tujuan hukum adalah untuk menciptakan kondisi sosial yang manusiawi sehingga memungkinkan proses sosial berlangsung secara wajar. Termasuk dalam rumusan tadi, tujuan hukum untuk memelihara dan mengembangkan budi pekerti kemanusiaan serta cita-cita moral rakyat yang luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu, hukum juga secara langsung melalui peraturan-peraturannya mendorong setiap manusia untuk memanusiakan dirinya sendiri.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa tugas dan fungsi hukum adalah mengatur hubungan-hubungan masyarakat sebagai keseluruhan (negara), sedemikian rupa sehingga terselenggara ketertiban dan keadilan dalam masyarakat. Jadi, tugas dan fungsi hukum pertama-tama adalah untuk mengabdi dan
mewujudkan ketertiban dan keadilan. Dalam mewujudkan fungsi ini, maka tugas dari hukum adalah menciptakan, menegakkan, memelihara, dan mempertahankan keamanan dan ketertiban yang adil. Ini berarti bahwa, hukum juga berfungsi sebagai sistem mekanisme pengendalian sosial untuk memelihara stabilitas sosial politik.25 Untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang dikemukakan tadi, maka tugas hukum adalah melalui peraturan-peraturannya mencoba menyelaraskan kepentingan-kepentingan para warga masyarakat dalam hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Tercakup dalam pengertian tugas hukum itu tadi adalah tugas untuk mengatur kehidupan ekonomi masyarakat sehingga setiap warga masyarakat mampu secara wajar memenuhi segala kebutuhannya. Jadi, hukum pada dasarnya bertugas untuk secara adil mendistribusi kekayaan atau pendapatan masyarakat. Dengan perkataan lain, di samping menjaga keamanan, hukum juga harus mencegah terjadinya kepincangan dan ketidak-adilan di dalam masyarakat. Secara posistif, hukum juga bertugas untuk mewujudkan keadilan sosial. Terwujudnya keadilan sosial akan menimbulkan perasaan tentram dalam batin warga masyarakat. Dengan terpeliharanya perasaan tentram itu, maka ketertiban akan mempunyai akar yang kuat. Pada uraian terdahulu sudah dikemukakan bahwa tujuan hukum itu untuk mewujudkan keadilan, dan keadilan mensyaratkan terselenggaranya ketertiban, tanpa ketertiban, praktis tidak mungkin keadilan dapat terwujud. Sebaliknya, ketertiban hanya mungkin bertahan lama jika ketertiban berakar pada ketentraman masyarakat. Karena itu, maka hukum yang bertugas untuk menciptakan peraturan-peraturan tentang prosedur proses-proses pengaturan perilaku dan cara melaksanakan serta mempertahankan peraturan-peraturan hukum, yang selain efektif juga harus memenuhi rasa keadilan masyarakat.26 Dalam kondisi masyarakat yang sedang
25. Op Cit 26. John Rawls, Teori Keadilan; Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahtraan Sosial dalam Negara;
Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo; Judul asli “ A Theory of Justice; Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1955” hal. 4
Tugas dan Fungsi Hukum Pancasila
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
21
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
berada dalam keadaan stabil, maka tugas dan fungsi hukum adalah hanya memelihara dan mempertahankan keamanan, ketertiban dan keteraturan. Tetapi, dalam masyarakat yang sedang mengalami perubahan-perubahan dan sedang melaksanakan pembangunan, maka tugas dan fungsi hukum adalah memelihara keamanan dan ketertiban saja tidak cukup, apalagi dalam masa perubahan-perubahan kemasyarakatan dan pembangunan pada masa kini. Perubahan kemasyarakatan adalah proses-proses perubahan dalam tata nilai yang menjiwai masyarakat. Perubahan tata nilai itu meliputi juga perubahan-perubahan dalam sikap dan pola perilaku. Sebelum perubahan itu mengendap dan menjadi mantap, maka terjadi situasi yang di dalamnya di samping tata nilai yang baru, masih tetap berlaku tata nilai yang lama yang jalin menjalin secara kabur. Tata nilai itu sendiri adalah hasil dari pengalaman interaksi antar warga masyarakat dalam proses kehidupan bermasyarakat. Tetapi, sekali tata nilai terbentuk dan memperoleh kemantapan, maka ia akan mempengaruhi dan membentuk sikap serta pola perilaku warga masyarakat atau membentuk pola hubungan individu-individu dalam masyarakat.27 Dengan demikian, maka antara tata nilai, hukum dan perubahan kemasyarakatan terdapat hubungan yang sangat erat. Bilamana dalam masyarakat terjadi perubahan dalam tata nilai dan sikap serta pola perilaku para warganya maka hukum bertugas untuk memberi bentuk hukum melalui perubahan dan/atau penciptaan peraturan-peraturan hukum baru pada perubahanperubahan yang sudah terjadi. Tetapi perubahan kemasyarakatan yang kini tengah berlangsung menciptakan masalahmasalah yang sangat majemuk yang hanya dapat ditanggulangi dengan pembangunan berencana. Perubahan hukum tidak dapat lagi menunggu mengendapnya hasil proses perubahan kemasyarakat itu. Sebab, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan secara langsung
27. Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Gita Karya, Djakarta, 1963
22
dihadapkan pada masalah-masalah yang majemuk sehubungan dengan berlakunya dua tata nilai baik tata nilai lama maupun tata nilai baru pada waktu yang bersamaan. Sikap dan pola perilaku para warga masyarakat, termasuk sebagian dari pimpinan masyarakat masih belum menguntungkan bagi berhasilnya upaya melaksanakan pembangunan berencana yang diinginkan. Padahal penyelesaian masalahmasalah yang dihadapi masyarakat dan para warganya sudah sangat mendesak, namun penyelesaian itu harus tetap berlangsung dengan cara yang tidak menindas martabat manusia. Ini berarti bahwa pelaksanaan pembangunan berencana itu harus tetap berdasarkan hukum. Karena itu, maka hukum selain harus tetap mengatur ketertiban dan memelihara keamanan, juga bertugas untuk membuka jalan dan saluran baru dalam sistem kehidupan bermasyarakat agar segala upaya pembangunan berlangsung dengan lancar tanpa menimbulkan kepincangan dan menimbulkan ketidak-adilan dalam masyarakat. Jadi, hukum juga berfungsi sebagai prasarana pembangunan yang bertugas membentuk peraturan-peraturan hukum yang dapat menyalurkan kegiatan masyarakat secara tertib, teratur dan membagi pendapatan masyarakat secara merata dan adil. Subungan dengan sikap serta pola perilaku yang masih terpaku pada tata nilai lama, maka hukum bertugas untuk mempercepat proses pendidikan masyarakat ke arah sikap serta pola perilaku yang paling sesuai dengan masyarakat yang dicita-citakan. Ini adalah fungsi hukum sebagai prasarana pendidikan. Tujuannya adalah untuk memungkinkan terjadinya pembangunan dengan cara yang teratur tanpa menindas martabat kemanusiaan para warga masyarakat. Wilayah Indonesia merupakan sebuah kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku yang masing-masing memiliki dan hidup dalam atau dengan adat istiadat, hukum adat dan bahasa sendiri-sendiri. Kondisi ini, selain dapat menghambat proses pembangunan, juga tidak menguntungkan bagi upaya mewujudkan dan mengembangkan cita-cita persatuan dan kesatuan sebagai suatu bangsa yang utuh.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
Kesadaran nasional adalah juga salah satu dari manifestasi tata nilai. Karena itu, menumbuhkan kesadaran nasional secara nyata berarti mengembangkan nilai-nilai sosial budaya di dalam masyarakat. Berhubung segala hal yang menyangkut hidup manusia harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara rasional, maka usaha mengembangkan nilai-nilai sosial budaya pun harus dilaksanakan berdasarkan hukum. Dengan demikian, maka hukum juga bertugas untuk meningkatkan kesadaran hukum nasional sehingga kesadaran nasional itu semakin tebal dan semakin nyata dirasakan dan dihayati oleh seluruh warganegara Republik Indonesia. Jadi hukum juga berfungsi untuk secara aktif mempengaruhi perkembangan tata nilai dan tumbuhnya nilai-nilai sosial budaya yang baru. Ini adalah fungsi sosial budaya dari hukum. Fungsi hukum sebagai prasarana pendidikan dan fungsi sosial budaya dari hukum bersama-sama mewujudkan atau berakar dalam fungsi hukum sebagai prasarana peradaban masyarakat yakni sarana untuk mengadakan dan meningkatkan keadaban para warga masyarakat.28 Fungsi sebagai prasarana pembangunan, prasarana pendidikan sosial dan prasarana pengembangan sosial budaya itu sudah barang tentu, harus dilaksanakan dengan melakukan penciptaan peraturan-peraturan hukum yang baru melalui prosedur yang sah dengan tetap berpijak pada hukum dan tata nilai yang berlaku, namun diorientasikan ke masa depan, segala sesuatu dengan memperhitungkan kenyataankenyataan sosial lainnya yang relevan untuk pembentukan dan penerapan hukum.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Kesimpulan Dari uraian di atas, dan sebagai kesimpulan dari tulisan ini dapat di sampaikan ha-hal sebagai berikut : 1. Pancasila sebagai ideologi Negara berasal atau bersumber dari nilai-nilai adat istiadat yang beranekaragam, nilai-nilai budaya bangsa serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia. Namun, keberadaannya sebagai ideologi maupun sebagai perekat bangsa, dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya sudah mulai dilupakan. Hal ini ditandai dengan adanya konflik-konflik sosial yang mengarah kepada masalah suku, ras, agama dan antar golongan serta tindakan-tindakan anarkis yang mengarah kepada pecahnya NKRI. Karena itu, pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila perlu digalakkan kembali dalam kehidupan berbangsa dan bernegara khususnya bagi para penyelenggara dan pemimpin Negara. 2. Untuk mengembalikan kejayaan Pancasila maka penghayatan Pancasila khususnya dari aspek filsafat harus secara terus menerus digali dan disebarluaskan kepada masyarakat, bangsa dan Negara. Karena, kejayaan atau kesaktian Pancasila sudah teruji dan terbukti senantiasa ampuh untuk mengatasi segala macam krisis yang pernah terjadi di Indonesia. 3. Tindakan aksi untuk menjadikan Pancasila sebagai pandu pemimpin Negara termasuk pandu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus segara dilakukan secara nasional agar kondisi bangsa yang sedang terpuruk dan memprihatinkan ini tidak menjadi bertambah dalam.
23
Filsafat Hukum Pancasila Oleh Dr. I Nengah Kastika, S.H, M.H.
Catatan Kaki : * Masa depan ke Indonesiaan. Sebagai penjabaran dari nasionalisme dan demokrasi, berbagai sistem politik telah diujicobakan sejak proklamasi. Akan tetapi, belum satupun yang berhasil mendekatkan bangsa ini kepada tujuan yang telah dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. Semestinya dengan modal filosofi Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya, Indonesia tidak perlu bingung dalam memastikan arah ke depan di tengah-tengah persaingan global yang tak kenal belas kasihan. Namun, rupanya pengalaman pahit dalam proses berbangsa dan bernegara selama ini belum juga mampu memejamkan mata batin kita agar kesadaran untuk bertanggungjawab menjadi milik kita bersama. Masa depan yang dibayangkan tidak lain adalah terciptanya sebuah Indonesia yang
adil, beradab, aman, dan nyaman di bawah kepemimpinan visioner, demokratik, dan punya hati nurani. Ke arah itulah bola kesadaran nasional itu harus digulirkan dengan sungguhsungguh. (Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum Muhammadiyah; Kompas, 20 Mei 2011) *
Pancasila Pandu Pemimpin Negara (Rencana Aksi Nasional untuk Sosialisasi)
Pancasila merupakan cita-cita luhur bangsa Indonesia tentang masyarakat yang baik dan diidealkan. Oleh karena itu, Pancasila memuat keharusan-keharusan yang bukan saja dialamatkan kepada masyarakat, tapi yang lebih utama justru ditujukan kepada penyelenggara negara, baik di pusat maupun di daerah; kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, Selasa 24 Mei 2011 di Gedung Mahkamah Konstitusi, dalam jumpa pers bersama 7 pemimpin lembaga tinggi lainnya. (Kompas, Rabu, 25 Mei 2011)
DAFTAR PUSTAKA B. Arief Sidharta, Refleksi Dinamika Hukum; Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Perum Percetakan Negara RI, Jakarta, 2008 H. Lili Rasjidi, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003 John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1955 Kaelan, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta, 2010 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni; Dasar-dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum EmpirikDeskriptif, Alih Bahasa oleh Somardi, RimDi PRESS Sayidiman Suryohadiprojo, Membangun Peradaban Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1995 Soediman Kartohadiprodjo, Kumpulan Karangan, PT. Pembangunan, Djakarta,1965 Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Gita Karya, Djakarta, 1963 Soerjanto Poespowardojo, Filsafat Pancasila, Sebuah pendekatan Sosio-Budaya, Gramedia, Jakarta, 1994 W. Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum; Idealisme Filosofis dan Problema Keadilan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994 Harian Kompas, Rabu, 25 Mei 2011 Harian Mingguan Koran Tempo, Minggu, 30 Mei 2011 Harian Kompas, Senen, 30 Mei 2011
24
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
PIDANA PENJARA SEUMUR HIDUP Teks dan Konteks dalam Sistem Pemidanaan* Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H., M.H.**
Pendahuluan
P
idana dan pemidanaan tidak pernah sepi dari perdebatan, diskusi dan kajian-kajian, baik yang bersifat akademis maupun pragmatis. Kita masih ingat, beberapa waktu belakangan ini, salah satu persoalan terkait dengan sistem pemidanaan juga diramaikan dengan munculnya gagasan yang dikemukakan oleh Menteri/Wakil Menteri Hukum dan HAM tentang remisi, khususnya remisi terhadap terpidana tindak pidana korupsi. Ramainya silang pendapat terkait dengan remisi yang merupakan rangkaian dalam proses pemidanaan menunjukkan betapa besarnya perhatian masyarakat, utamanya pemerhati hukum pidana, maupun pihak-pihak yang berkepentingan, dengan ’kebijakan’ yang digagas oleh pemerintah tersebut. Remisi atau yang juga dikenal sebagai pengurangan pidana, sudah barang tentu berhubungan dengan pidana penjara, khususnya pidana penjara sementara atau pidana penjara yang ada batasan lamanya waktu pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim /pengadilan. Menjadi persoalan, ketika suatu pidana penjara adalah seumur hidup, apakah
dalam pidana penjara seumur hidup juga dapat berlaku sistem remisi. Persoalan pidana penjara seumur hidup tidak hanya terkait dengan remisi, tetapi juga pemahanan dari segi hakikatnya, ternyata masih ada pendapat yang berbeda untuk memberikan makna dan memahaminya. Tidak kalah menarik, pidana penjara seumur hidup, jika dihadapkan dengan tujuan pemidanaan, aspekaspek sosial dan psikologis narapidana, dan sebagainya. Teks mengenai pidana penjara seumur hidup dalam sistem hukum pidana Indonesia, di dasarkan pada Buku I Aturan Umum KUHP sebagai acuan pokok, ternyata tidak ada penjelasan yang memadai, dan sangat singkat rumusannya. Pada sisi yang lain, memahami
* Tulisan ini pernah dimuat dalam majalah Advokasi, dengan penambahan-penambahan materi. ** Kabagbinwa STHM Ditkumad
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
25
Pidana Penjara Seumur Hidup Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H, M.H.
pidana penjara seumur hidup harus dalam konteks sistem pemidanaan, sehingga pidana penjara seumur hidup terkait dengan berbagai perundang-undangan, tidak hanya dengan KUHP, sebagai mana dikemukakan oleh L.H.C. Hulsman (Barda Nawawi Arief, 1996: 129) bahwa sistem pemidanaan (the sentencing system) adalah aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Berdasar pada pandangan ini, apabila pengertian pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencakup keseluruhan ketentuan perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkrit sehingga seseorang dijatuhi sanksi pidana. Dalam arti yang singkat, Andi Hamzah memberikan arti sistem pidana dan pemidanaan itu sebagai susunan pidana dan cara pemidanaan ( Andi Hamzah, 1986: 1). Dengan pemahaman menurut Hulsman ini, sistem pemidanaan berarti memiliki keterkaitan dengan beberapa perundang-undangan, yaitu semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana substansial, hukum pidana prosedural, dan hukum pelaksanaan pidana dapat dikatakan sebagai satu kesatuan sistem. Jadi, sistem pemidanaan tidak hanya didasarkan pada hukum pidana materiil yang merumuskan delik-delik dan sanksinya saja. Dalam konteks pidana penjara seumur hidup, tidak hanya KUHP saja, tetapi juga menyangkut dengan Undangundang acara pidana, dan Undang-undang pelaksanaan pidana dengan berbagai aturan di bawahnya. Hakikat Pidana Penjara Seumur Hidup Sanksi pidana merupakan hal yang sentral dalam hukum pidana, karena seringkali sanksi pidana menggambarkan nilai-nilai sosial budaya bangsa. (Sholehuddin, 2003: 55). Artinya, pidana mengandung tata nilai (value) dalam suatu masyarakat mengenai apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang bermoral dan apa yang amoral serta apa yang diperbolehkan dan apa
26
yang dilarang. Meskipun tata nilai tersebut ada yang sifatnya universal dan abadi, tetapi dari jaman ke jaman ia juga dapat bersifat dinamis. Sifat kedinamisan tata nilai berlaku pula pada sistem pemidanaan dan sistem sanksi dalam hukum pidana, termasuk di Indonesia. Pidana penjara merupakan salah satu jenis pidana yang diandalkan oleh berbagai negara untuk menanggulangi kejahatan. Meski dirasakan ada beberapa kelemahan dari sistem pidana penjara, namun nampaknya akan sangat sulit mencari bentuk atau jenis sanksi lain selain pidana penjara yang dipandang sebagai sarana yang efektif untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Dalam sistem hukum pidana nasional, khususnya merujuk pada Aturan Umum, Tekstual pidana penjara seumur hidup ditentukan dalam Pasal 10 KUHP bahwa salah satu jenis pidana adalah pidana penjara, yang berdasarkan Pasal 12 ayat (1) pidana penjara itu lamanya seumur hidup atau selama waktu tertentu. Pidana penjara, adalah pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar. (PAF. Lamintang, 1986: 58). Berkaitan dengan pidana penjara, Pasal 12 KUHP merumuskan sebagai berikut : 1. Pidana penjara adalah seumur hidup dan selama waktu tertentu. 2. Pidana selama waktu tertentu sekurangkurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut. 3. Pidana penjara untuk selama waktu tertentu
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Pidana Penjara Seumur Hidup Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H, M.H.
boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (recidiv) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52-a. 4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun. Berdasarkan teks Pasal 12 tersebut, untuk pidana penjara selama waktu tertentu, KUHP telah secara tegas memberikan batasan jangka waktunya yaitu lima belas tahun berturut-turut dan minimal satu hari. Sedangkan untuk pidana penjara seumur hidup KUHP tidak memberikan penjelasan. Tidak adanya batasan dan penjelasan mengenai pidana penjara seumur hidup, sering kali menimbulkan kerancuan penafsiran sehingga dalam memaknai dan memahami pidana penjara seumur hidup menimbulkan dua pendapat : 1. Pendapat pertama, di kalangan awam hukum, istilah “seumur hidup” sering diartikan sebagai sama dengan umur (hidup) pelaku tindak pidana pada saat melakukan tindak pidana. (Dengan asumsi demikian, maka apabila pada usia 25 tahun misalnya, seseorang melakukan tindak pidana dan atas tindak pidana yang dilakukannya itu ia dijatuhi pidana seumur hidup, maka pidana yang dijatuhkan adalah sama dengan usia/umur pelaku pada saat melakukan tindak pidana, yaitu 25 tahun (Tongat, 2004:37). 2. Pendapat kedua, termasuk pendapat penulis, bahwa meskipun KUHP tidak menjelaskan secara tegas tentang pidana penjara seumur hidup, tetapi pidana penjara seumur hidup harus dimaknai sebagai pidana selama hidup atau sepanjang hidup atau selama sisa hidup si terpidana. Pendapat kedua ini didasarkan pada : a. Secara doktrinal, berdasarkan pendapat Prof. Barda Nawawi Arief yang menyatakan : Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana (penjara)
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana penjara sepanjang hidupnya. (1995: 17). Pendapat Roslan Saleh, bahwa orang menjadi keberatan terhadap pidana seumur hidup. Sebab dengan putusan yang demikian, terpidana tidak akan mempunyai harapan lagi kembali ke dalam masyarakat. (1987: 17). Artinya, terpidana menjalani pidana penjara seumur hidup selama sisa hidupnya di dalam penjara. b. Menurut dokumen internasional, penjelasan United Nations, Crime Prevention and Justice Branch tahun 1994 tentang Life Imprisonment. Pada introduction di sebutkan: “... a life sentence mean that a person must spend the rest of his or her natural life in prison. (... Hukuman seumur hidup, seseorang harus mendekam untuk sisa hidupnya di dalam penjara). c. Secara logika hukum, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1987 tentang Pengurangan Menjalani Masa Menjalani Pidana (Remisi), bahwa bagi terpidana seumur hidup dapat diajukan permohonan untuk diberikan perubahan pidananya menjadi pidana penjara sementara. Pada Pasal 7 ayat (2) dinyatakan: “Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara dilakukan oleh Presiden.” Dengan ketentuan ini, maka pidana penjara seumur hidup untuk dapat berubah menjadi pidana penjara sementara hanya dapat dimungkinkan melalui mekanisme Grasi. Dimana grasi adalah hak Presiden sebagai Kepala Negara untuk memberikan ampun kepada seseorang tertentu yang telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Dengan adanya ketentuan ini, menunjukkan bahwa pidana penjara seumur hidup dapat menjadi pidana penjara sementara, sehingga apabila tidak ada grasi dari Prseiden yang menyatakan perubahan menjadi pidana penjara sementara waktu tertentu, berarti terpidana menjalani pidananya selama sisa hidupnya di dalam penjara/Lembaga Pemasyarakatan.
27
Pidana Penjara Seumur Hidup Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H, M.H.
Praktik Penerapan Pidana Penjara Seumur Hidup Di Beberapa Negara Pada hakikatnya, pidana penjara seumur hidup adalah pidana penjara selama sisa hidup yang harus dijalani terpidana di dalam penjara. Namun dalam praktik pelaksanaannya di beberapa negara, Terpidana tidak menjalani pidana penjaranya selama hidupnya di dalam penjara. Di beberapa negara, pelaksanaan pidana penjara seumur hidup dijalani secara bervariasi. Sebagian besar negara-negara, karena pertimbangan psikologis dan sosiologis, memberikan kelonggaran dan peringanan bagi terpidana penjara seumur hidup, sehingga dalam batas waktu tertentu terpidana seumur hidup diberikan pembebasan. Dari data yang dihimpun oleh PBB sebagaimana dipublikasikan oleh Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Kriminal PBB (United Nations, Crime Prevention and Justice Branch), bahwa penerapan hukuman/ pidana penjara seumur hidup berbeda dimanamana. PBB dalam beberapa kali kongres-nya telah memberikan perhatian yang serius terhadap pidana penjara seumur hidup. Sejak kongres ke6 PBB tentang Pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap si pelaku (Prevention of crime and the treatment of offenders) yang diselenggarakan di Caracas 25 Agustus s.d 5 September 1980, PBB telah meningkatkan perhatiannya terhadap kebijaksanaan kriminal terhadap Narapidana yang dihukum dalam jangka waktu lama dan menitikberatkan tentang problematika yang khusus dari hukuman seumur hidup. Dalam kongres itu telah dibentuk sub komite yang menyusun suatu agenda tentang “Deinstitusionalisasi dari lembaga kemasyarakatan dan implikasinya terhadap hukuman dalam jangka panjang (long-term imprisonment) khususnya hukuman seumur hidup, tidak mencapai tujuannya terkecuali ada upaya yang cukup untuk mengembalikan si narapidana ke masyarakat. Secara lebih khusus, dalam kongres PBB ke-8 tentang: “Pencegahan kejahatan dan perlakuan terhadap si pelaku” (Prevention of crime and the treatment of offenders) di Havana
28
27 Agustus sd 7 September 1990, meminta Komite Pencegahan dan Pengawasan Kejahatan untuk mengkaji kedudukan hukum atas hak-hak dan kewajiban dari Narapidana yang dihukum seumur hidup dan meninjau keabsahannya untuk dibebaskan bersyarat (conditional release). Banyak negara, pada umumnya, lamanya waktu pidana penjara seumur hidup, dalam sistem hukumnya menentukan waktu minimal hukuman seumur hidup yang akan diterapkan kepada terpidana sebelum dipertimbangkan untuk dilepas atau dibebaskan. Berapa waktu minimal yang harus dijalani tergantung pada kebijaksanaan negara-negara yang bersangkutan. Di Canada, hukum pidananya menentukan hukuman minimal yang harus dijalani oleh terpidana seumur hidup untuk dapat diberikan pembebasan, yaitu telah menjalani minimal 10 tahun penjara untuk pembunuhan dan 20 tahun untuk pembunuhan berencana sebelum pelepasan/pembebasan. Di Srilanka, narapidana yang dijatuhi pidana penjara seumur hidup dapat dilepaskan setelah menjalani hukuman 6 tahun penjara. Di Jepang, Republik Korea. Afrika Selatan, bagi terpidana penjara seumur hidup berlaku minimal telah menjalani 10 tahun sebelum dilepaskan. Di Jerman, narapidana yang menjalani
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Pidana Penjara Seumur Hidup Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H, M.H.
pidana penjara seumur hidup tidak dapat dipertimbangkan untuk dilepas, sebelum menjalani hukuman 15 tahun. Di negara-negara Eropa, pada umumnya ada kemungkinan untuk memperkirakan berapa lamanya hukuman seumur hidup dijalani di dalam penjara. Di Perancis, hukuman seumur hidup dijalani 17 sampai 18 tahun penjara. Di Italia, pidana penjara seumur hidup dijalani 21 tahun. Di Austria pidana penjara seumur hidup dijalani 18-20 tahun. Tetapi di Amerika Serikat, terpidana seumur hidup menjalani pidana penjara selama sisa hidupnya, bahkan menurut laporan ada sekitar 10 ribu narapidana menjalani hukuman seumur hidup tanpa ada kemungkinan pelepasan. Pada umumnya, negara-negara memberikan pertimbangan atau alasan tertentu untuk memberikan kemungkinan pelepasan setelah nara pidana menjalani minimum pidana penjara. Alasan untuk dapat diberikan pelepasan bagi narapidana penjara seumur hidup pada umumnya pertimbangan pada aspek resiko keberbahayaan terhadap masyarakat dari narapidana yang bersangkutan, sehingga ada jenis tindak pidana tertentu yang tidak memungkinkan diberikan pelepasan pada masa tertentu. Di Inggris misalnya, prosedur pelepasan narapidana yang dihukum seumur hidup dapat diberikan kepada mereka yang melakukan kejahatan selain pembunuhan. Bagaimana Di Indonesia Potensi penjatuhan pidana penjara seumur hidup oleh pengadilan kepada terdakwa, di Indonesia cukup besar. Besarnya peluang pidana penjara seumur hidup dijatuhkan oleh Pengadilan paling tidak karena dua hal penting (Tongat, 2004: 87) : 1. Kedudukan pidana seumur hidup dalam kebijakan perundang-undangan selama ini, dimana pidana penjara seumur hidup difungsikan sebagai pidana pengganti pidana mati. Dengan semakin kuatnya kelompok penentang pidana mati, maka semakin membuka peluang penerapan pidana selain pidana mati, dan yang paling mendekati
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
adalah pidana penjara seumur hidup. 2. Pidana penjara seumur hidup juga menjadi alternatif dari pidana penjara dua puluh tahun, sehingga juga membuka peluang besar untuk menjatuhkan pidana penjara seumur hidup. Dengan perbandingan praktik pelaksanaan pidana penjara seumur hidup, di beberapa negara ternyata diberikan kemungkinan untuk dibebaskan/dilepaskan, baik dengan syarat maupun tidak dengan syarat, yaitu setelah terpidana menjalani pidana penjara dalam waktu tertentu. Di Indonesia, sebelum berlakunya Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, narapidana penjara seumur hidup, sulit untuk mendapatkan pembebasan. Ketika itu, dengan mendasari pada Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1987 Pasal 7: (1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dapat diberi pengurangan masa menjalani pidana, hanya apabila pidana seumur hidupnya telah diubah menjadi pidana penjara sementara. (2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara dilakukan oleh Presiden. (3) Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara diajukan oleh narapidana yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman berdasarkan dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Mendasari Pasal 7 ayat (2) tersebut, bahwa, “Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara dilakukan oleh Presiden.” Maka, pidana penjara seumur hidup untuk dapat berubah menjadi pidana penjara sementara hanya dapat dimungkinkan melalui mekanisme Grasi. Dengan ketentuan ini, sesungguhnya pidana penjara seumur hidup untuk dapat menjadi pidana penjara sementara, akan sulit dan kecil peluangnya. Pengalaman menunjukkan bahwa permohonan grasi kepada Presiden untuk pidana penjara seumur hidup tidak ada satupun yang diterima atau dikabulkan. Berdasarkan data di Departemen (sekarang Kementerian) Kehakiman sejak tahun 1987
29
Pidana Penjara Seumur Hidup Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H, M.H.
sampai dengan tahun 1994 ada 34 pemohon grasi pidana penjara sumur hidup tidak diterima/ ditolak. (Tonggat, 2006: 103). Jadi, dalam konteks sistem pemidanaan, sepanjang peraturan perundang-undangan belum atau tidak diadakan perubahan, maka terpidana penjara seumur hidup akan kecil kemungkinan mendapatkan perubahan, pengurangan, pembebasan atau pelepasan baik bersyarat maupun tanpa bersyarat, sehingga terpidana seumur hidup harus menjalani pidana penjaranya selama sisa hidupnya. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka Keputusan Presiden RI Nomor 5 tahun 1987 dirubah untuk disesuaikan dengan semangat pemasyarakatan, dengan Keputusan Presiden RI Nomor 69 tahun 1999 tentang Pengurangan Masa Pidana (Remisi). Dalam Pasal 7 dirumuskan: (1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidananya paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut dan berkelakuan baik, dapat diubah dari pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, sehingga lamanya sisa pidana yang masih harus dijalaninya menjadi paling lama 15 (lima belas) tahun. (2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus. (3) Dalam hal pidana penjara seumur hidup telah diubah menjadi pidana penjara sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) maka untuk pemberian remisi berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sampai dengan Pasal 6 Keputusan Presiden ini. Pengaturan Dalam KUHP Di Masa Mendatang Berbicara tatanan pidana dan pemidanaan di masa mendatang, sudah barang tentu memasuki sebuah ranah angan-angan, rencana,
30
ius constituendum, konsep sebuah rancangan undang-undang pidana. Sudah sejak lama, bangsa Indonesia mengidam-idamkan sebuah hukum pidana produk nasional yang diharapkan menggantikan KUHP peninggalan pemerintah kolonial. Namun, keinginan itu, meski telah diupayakan lebih dari empat puluh tahun lamanya, sampai saat ini belum bisa terwujud. Lamanya penyusunan hukum pidana nasional bukannya tanpa alasan. Barangkali alasan yang paling sederhana adalah, karena hukum pidana nasional harus disusun secara menyeluruh dan didasarkan pada nilai-nilai asli bangsa Indonesia. Perlunya pembaharuan hukum pidana secara menyeluruh, pernah diingatkan oleh beberapa tokoh hukum pidana seperti Prof Oemar Senoadji, Prof Sudarto, Prof Ruslan Saleh, dll pada Tahun 1963 di Semarang: “betapa pentingnya membangun hukum pidana nasional yang tidak bersifat ad hoc, tambal sulam seperti kain perca (lappedekken), melainkan bersifat sistemik (purposive behavior, wholism, interrelatedness, openness, value transformation, and control mechanism), atas dasar ide nasional dan pandangan, sikap, persepsi, filosofi, dan nilainilai budaya (kultur) bangsa Indonesia yang terkait dengan asas-asas hukum pidana, tentu saja tanpa menyampingkan perkembangan hukum pidana yang bersifat universal.” (Muladi, 2008: 1) Bahkan, tidak saja penting untuk menggali ide nasional dan pandangan, sikap, persepsi, filosofi, dan nilai-nilai budaya (kultur) bangsa untuk merumuskan tindak pidana atau deliknya atau tindakan apa yang akan dijadikan sebagai kejahatan, lebih dari itu juga menyangkut sistem pemidanaannya, apa jenis-jenis pidana yang sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Termasuk dalam hal pidana penjara seumur hidup, kiranya, sebagai bangsa yang “pemaaf” sepatutnya merubah pola pemidanaan pidana penjara seumur hidup dengan memberikan peluang atau kesempatan untuk diberikan pembebasan setelah terpidana menjalani masa pidananya dengan batasan waktu tertentu, dengan tetap memperhatiakan dan mempertimbangkan beberapa hal. Misalnya, yang terkait dengan tujuan pemidanaan, antara
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Pidana Penjara Seumur Hidup Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H, M.H.
lain: sikap penyesalan terpidana atas tindak pidana yang dilakukan, keberbahayaannya terhadap masyarakat, dampak sosial pihak korban, psikologis terpidana, dan aspek-aspek sosial lainnya. Dalam RUU KUHP, telah dirumuskan tentang kemungkinan pembebasan bersyarat bagi terpidana penjara seumur hidup, sebagaimana yang telah diatur di dalam Keputusan Presiden RI Nomor 69 Tahun 1999, dengan rumusan yang sedikit berbeda, yaitu, “Apabila terpidana penjara seumur hidup telah menjalani pidana sekurang-kurangnya sepuluh tahun pertama dengan berkelakuan baik, maka Menteri Kehakiman, atas usul kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidananya, dapat merubah sisa pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.” Legal spirit dari Undang-undang Pemasyarakatan mengarahkan dengan sistem pemasyarakatan maka fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Maka, dengan diberikannya kemungkinan pembebasan bagi terpidana penjara seumur hidup melalui mekanisme perubahan dari penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara, ada harapan bagi terpidana untuk reintegrasi sosial kembali dalam masyarakat.
hidup setelah menjadi pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan berkelakuan baik sisa pidananya dapat dirubah menjadi pidana penjara sementara 15 (lima belas) tahun. Ketentuan ini telah dimasukkan ke dalam RUU KUHP, sehingga di masa mendatang pidana penjara seumur hidup akan sejalan dengan sistem pemasyarakatan, bahwa fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga merupakan suatu usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Dalam sistem pemidanaan militer, pidana penjara seumur hidup relatif tidak menjadi persoalan, karena pada umumnya Terpidana penjara seumur hidup juga dijatuhkan pidana tambahan pemecatan, sehingga tahap eksekusi pelaksanaan pidananya dilakukan tidak di Lembaga Pemasyarakatan Militer melainkan di Lembaga Pemasyarakatan Umum.
Penutup Pidana penjara seumur hidup, sangat menarik untuk ditengok dan dicermati, mengingat jenis pidana penjara seumur hidup ini memiliki keunikan, karena istilah pidana seumur hidup dapat menimbulkan pemahaman atau penafsiran yang berbeda. Pada hakikatnya pidana penjara seumur hidup dijalani selama hidup terpidana, namun dalam praktik di beberapa negara, pelaksanaan pidana penjara seumur hidup tidak dijalani selama hidup terpidana, tetapi diberikan pembebasan setelah terpidana menjalani pidananya dalam kurun waktu tertentu. Di Indonesia, meskipun di dalam KUHP tidak diatur, namun sejak Tahun 1999 dengan dikeluarkannya Keppres RI Nomor 69, terpidana penjara seumur
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
31
Pidana Penjara Seumur Hidup Teks dan Konteks Dalam Sistem Pemidanaan Oleh Letkol Chk Agustinus PH, S.H, M.H.
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi. Jakarta: Pradnya Paramita, 1986. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Adiyta Bhakti, 1996. __________, “Efektifitas Pidana Penjara” Makalah Seminar Nasional tentang Pemasyarakatan, Yogyakarta: FHUII 24 Juli 1995. Barda Nawawi Arief dan Muladi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana di Indonesia. Bandung: Alumni, 2005. Herbert L.Packer, The Limits of the Criminal Sanction, Stanford, California: Stanford University Press, 1968. Muladi, “Pembaharuan Hukum Pidana Materiil Indonesia” Makalah pada Kongres Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan Kriminologi (Aspehupiki) dan Seminar “Pengaruh Globalisasi Terhadap Hukum Pidana dan Kriminologi Menghadapi Kejahatan Transnasional,” Bandung 16-18 Maret 2008. Roeslan Saleh. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru, 1987. Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru, 1983. S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Jakarta: Alumni Ahaem Petehaem, 1986. Tongat. Pidana Seumur Hidup dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia. Malang: UMM Pres, 2004. United Nations, Crime Prevention and Justice Branch. Life Imprisonment. ST/CSDHA/2A. 1994.
32
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata1 Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H. 2
Pendahuluan A. Latar belakang Konflik bersenjata3 atau yang lebih dikenal dengan istilah perang selalu diasosiasikan dengan pengrusakan, pembakaran, penganiayaan, perkosaan, perampasan, pembunuhan dan tindakan kekerasan lainnya. Dan menurut pandangan dan pendapat umum, bahwa yang melakukan tindakan kekerasan itu pada umumnya adalah militer dan/atau kelompok atau gerombolan bersenjata. Teori mengenai perang tersebut dalam kehidupan politik bermula dari Carl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah lanjutan dari politik dengan menggunakan cara-cara lain.4
1. Penulis memilih menggunakan Hukum Sengketa Bersenjata, dengan istilah lain yang dikenal dengan Hukum Perang atau Hukum Humaniter Internasional. 2. Penulis bertugas di Korem 143 /HO, Kendari, dengan Jabatan Perwira Hukum. S1 Fak. Hukum USU Medan, S2 Fak. Hukum UI Jakarta, S3 Fak. Hukum USU Medan. 3. Dalam Hukum Sengketa Bersenjata dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Konflik Bersenjata Internasional (International Armed Conflict) dan 2. Konflik Bersenjata Non Internasional/ Internal (Non International Armed Conflict) 4. ASS Tambunan, UUD 1945 Sudah Melihat Jauh Ke Depan, (Jakarta : Puporis Publisher, 2000), hal. 136.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Dalilnya ini kemudian menimbulkan pendapat bahwa perang adalah yuridiksi militer dan politik adalah yuridiksi sipil. Perang tidak dapat diselesaikan berdasarkan pertimbangan yuridis tentang siapa atau pihak mana yang benar dan pihak mana yang salah. Dahulu berlaku pendapat bahwa siapa yang memenangkan peperangan, dialah yang menentukan segalanya. Kehendaknyalah yang terjadi, dan itu diterima serta diakui oleh semua. Hal ini dapat dilihat pada awal Perang Dunia II, Adolf Hitler berkata: “The victor shall not be aksed later on whether we told the truth or not. In starting and making war, not the Rights is what matters, but Victory.”5 (Yang menang tidak akan ditanya kemudian apakah kita mengatakan yang
Sebagaimana dikutip dalam On War, diedit Anatol Rapoport (London, 1974) yang dicuplik oleh Eric PJ Myjer dalam bukunya Militaire Veligheid door Afschrikking, Verdediging en het Geweldsverbod in het Handvest van de Verenigde Naties, (disertatie), (Deventer : Kluwer, 1980), hal. 11. 5. Dalam pidatonya pada tanggal 22 Agustus 1939 sebagaimana dicuplik oleh Morris Greenspan dalam bukunya The Modern Law of Land Warfare, (Berkely and Los Angeles : University of California Press, 1959), hal. 3.
33
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
benar atau tidak. Dalam memulai dan melakukan perang bukan Hukum yang menjadi masalah, tetapi Kemenangan). Namun pada Abad XVII sudah ada pendapat lain yang dikemukakan Hugo Grotius. Dia menulis dalam bukunya yang terkenal De Jure Belli ac Pacis Libri Tres (1625) bahwa dalam perang sekalipun berlaku hukum yaitu the law of nature (hukum alam) yang ia uraikan sebagai berikut : “a dictate of reason, which points out than an act, according as it is or is not in conformity with rational nature, has in it a quality of moral baseness or moral necessity, and that in consequence, such an act it is either forbidden or enjoined by the author of nature, God.” 6 (suatu perintah dari nalar, yang menunjukkan bahwa suatu tindakan, apakah sesuai atau tidak dengan nalar daripada alam, didalamnya terkandung suatu kualitas/tingkatan kehampaan moral atau keharusan moral, sehingga tindakan tersebut adalah atau dilarang atau dikehendaki oleh pencipta alam, yaitu Tuhan.) Peperangan sebagaimana yang ditelaah dalam penulisan ini adalah perang seperti yang didefinisikan oleh berbagai pakar Hukum Internasional, sebagai berikut: OPPENHEIM : War is a contetion between two or more states through their armed forces, for the purpose of overpowering each other and imposing such conditions of peace as the victor pleases.7 Sehingga menurut Oppenheim, perang memiliki ciri khas yaitu : 1. Pertikaian negara; 2. Dengan menggunakan angkatan perang; 3. Bertujuan untuk menguasai lawan. Dengan demikian sejak dulu sudah ada pendapat bahwa dalam perangpun berlaku hukum, tetapi pada umumnya orang berpendapat
6. Dietrich Schinder & Jiri Toman (eds), The Laws of Armed Conflict, A Collection of Conventions, Resolutions and Other Documents, Dordrecht, Martinus Nijhoff‘Publisher, Third & Completely Revised Edition, 198, hal. 5. 7. GPH.Haryomataram, Bunga Rampai tentang Hukum Humaniter, (Jakarta : Bumi Nusantara Jaya, 1998) hal. 19.
34
bahwa perang berada di luar jangkauan hukum dan dalam perang semua bisa terjadi. Perang atau konflik bersenjata berarti kehancuran dalam bentuk harta benda maupun jiwa manusia. Kenyataan menunjukkan bahwa selama Perang Dunia I jumlah penduduk sipil yang korban adalah 5% dari seluruh jumlah korban yang jatuh. Jumlah ini meningkat sewaktu Perang Dunia II menjadi 45% dari seluruh korban yang jatuh. Dalam Perang Korea pada tahun 1950-1953 jumlah korban di kalangan penduduk sipil adalah 84% dari seluruh korban yang jatuh. Menurut perkiraan para ahli, jika terjadi Perang Dunia III nantinya, jumlah korban sipil itu akan meningkat menjadi 95%.8 Pada tahun 1945, PBB dalam Piagamnya melarang perang, dan semua anggota PBB dilarang melakukan perang. Akan tetapi kenyataannya menunjukkan bahwa sejak larangan itu dikeluarkan, perang tidak hilang, malahan frekwensi perang semakin meningkat. Walaupun perang yang demikian itu dikatakan bersifat lokal namun bagi negara atau bangsa yang bersangkutan perang lokal itu merupakan soal hidup atau mati. Akibatnya semua negara atau bangsa mengadakan persiapan untuk mempertahankan dirinya. Demikian pula dalam peperangan (konflik/ sengketa bersenjata)
8. ASS Tambunan, Hukum Militer Indonesia, Suatu Pengantar, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Militer, STHM, 2005), hal. 102, sebagaimana dicuplik dari S.W. Couwenberg, Liberale democratie als eerste emancipatiemodel, Een inleiding in het westerse constitutionale recht, Assen, van Gorcum, 1981, hal. 289.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
Afganistan, Irak, Libanon, Palestina, Rwanda, Sudan, Checnya, separatis Moro di Philipina, separatis Macan Tamil di Sri Langka. Dugaan dan tuduhan adanya keterlibatan sipil dan memanfaatkan sipil sebagai pagar hidup dan operasi-operasi militer di atas semakin meningkat. Oleh karena itu perang sangat dibenci. Tidak mengherankan kalau semua sependapat bahwa perang harus dicegah. Kemudian perkembangan potensi konflik bersenjata atau perang memperlihatkan seperti yang dikatakan dalam Piagam UNESCO bahwa “since war begins in the mind of man” membawa konsekuensi bahwa suatu negara yang hendak menahlukkan negara lain tidak perlu lagi melakukannya dengan gaya lama melalui invasi dan bentuk penyerangan militer lain. Gaya lama itu sangat mahal, sekarang ini terdapat suatu cara yang lebih murah dan tanpa resiko kehilangan prajuritnya sendiri. Dewasa ini negara yang hendak melaksanakan kehendaknya kepada negara lain menggunakan cara seperti menimbulkan di negara itu huru-hara, pemogokan besar-besaran, pemberontakan, terorisme, atau bentuk subversi atau kekacauan-kekacauan lain yang melumpuhkan kehidupan negaranya. Malahan belakangan ini sudah menjadi model yang digunakan adalah dengan menuduh negara menjadi sasaran telah melakukan pelanggaran hak manusia yang berat. Humanitarian intervension ini merupakan bentuk military intervention yang tersamar dengan menggunakan bendera hak-hak manusia. Terhadap perang gaya baru inipun semua negara mengadakan persiapan untuk menghadapinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perang atau konflik bersenjata tidak dapat dicegah.9 Oleh karena itu perang atau konflik bersenjata berarti penderitaan yang tak terhingga bagi manusia. Hal ini untuk pertama kali menjadi perhatian dunia terutama setelah beredar buku
Henry Dunant pada tahun 1959 berjudul Un souvenir de Solferiono 10 yang melukiskan kekejaman dan penderitaan luar biasa yang dia saksikan sendiri pada pertempuran dahsyat di Solferino 11. Akibatnya terjadilah serentetan pertemuan-pertemuan internasional yang kemudian di kenal sebagai konferensi-konferensi Den Haag dan Jenewa yang melahirkan konvensi-konvensi, persetujuan-persetujuan dan deklarasi-deklarasi yang terutama bertujuan untuk mencegah serta mengurangi penderitaanpenderitaan yang diakibatkan perang. Yang kemudian mulailah ada pengaturan mengenai perang yang dikenal dengan Hukum Sengketa Bersenjata. Menurut FRANCOIS, perang adalah keadaan hukum antara negara-negara yang saling bertikai dengan menggunakan kekuatan militer. Pada situasi konflik disamping hukum sengketa bersenjata maka terdapat beberapa hukum lain yang berlaku, yaitu hukum nasional serta intisari hukum hak asasi manusia. Pada prinsipnya dalam keadaan seperti itu Hukum Sengketa Bersenjata bersifat sebagai hukum yang khusus (lex specialis) sedangkan hukum yang lainnya bersifat umum (lex generalis), yang saling melengkapi satu sama lainnya. Tujuan Hukum Sengketa Bersenjata adalah meminimalkan akibat dari suatu sengketa bersenjata. Hukum Sengketa Bersenjata dikualifikasikan dalam dua kelompok, pertama, Hukum Jenewa yang mengatur tentang perlindungan bagi korban konflik bersenjata, kedua, Hukum Den Haag yang mengatur tentang alat dan cara berperang. Dengan mengacu pada draft conventions yang disusun oleh Komite Palang Merah Internasional, maka akhirnya disetujui apa yang sekarang disebut Konvensi-Konvensi Jenewa 1949.12 Konvensi Jenewa 1949 yang bertitel Convention for the Victims of War (Perlindungan Korban Perang) dikenal juga dengan nama
9. GPH Haryomaram, Op.cit., hal.103. 10. Dietrich Schinder & Jiri Toman (eds), Op.cit, hal. 375 11. Dalam perang antara Austria melawan Sardinia yang dibantu oleh Prancis. Pertempuran itu terjadi di Italia Utara dekat kota Solferino pada tanggal 24 Juni 1859
dimana lebih dari 1.500 perwira dan 40.000 prajurit gugur dari kedua belah pihak. Mereka itu meninggal karena terlambat menerima perawatan yang diperlukan. 12. GPH Haryomaram, Op.cit, hal. 195.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
35
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
konvensi-konvensi palang merah (The ICRC Conventions). Penamaan lain konvensi tersebut sebagai konvensi-konvensi Palang Merah memang tidak terlepas dari besarnya peranan yang telah dimainkan oleh Palang Merah Internasional dalam sejarah terjadinya konvensikonvensi mengenai perlindungan korban perang, khususnya dalam hal pengimplementasian ketentuan-ketentuan konvensi tersebut.13 Konvensi Jenewa 1949 mencangkup empat buah konvensi yang masing-masing berjudul14 : 1. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit dalam Angkatan Perang di Medan Pertempuran Darat. (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of The Wounded and Sick in Armed Forces in the field,on August 12,1949) 2. Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Karam. (Geneva Convention for the Amelioration of the Condition of the Wounded, Sick and Shipwrecked Members of Armed Forces at Sea of August 12, 1949) 3. Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang (Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12,1949) 4. Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil di Waktu Perang (Geneva Convention relative to the protection of Civilian Persons in Time of War, of August 12,1949) B. Pokok Permasalahan Berpijak pada uraian-uraian latar belakang permasalahan di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah : bagaimana hukum sengketa bersenjata mengatur dan memberi perlindungan hukum terhadap penduduk sipil dalam perang atau konflik bersenjata? 13. Mochtar Kusumaatmadja, Konvensi Konvensi Palang Merah Tahun 1949, (Bandung: Binacipta, 1986), hal.6 14. Indonesia telah menjadi peserta (pihak) dari Konvensi Jenewa Tahun 1949 mengenai Perlindungan Korban Perang (International Conventions for Protection of Victims of War) dengan cara aksesi berdasarkan Undang-undang No. 59 Tahun 1958 tentang ikut sertanya Negara Republik Indonesia Dalam Ke-empat
36
Prinsip-prinsip Hukum Sengketa Bersenjata Hukum Sengketa Bersenjata merupakan bagian dari Hukum Internasional yang mengatur hubungan antar negara selama terjadinya sengketa bersenjata. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, kerugian dan kerusakan yang disebabkan oleh perang. Kemudian memberikan kepada setiap orang dalam negara, terutama para anggota angkatan bersenjata, namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi militer.15 Penting untuk diketahui bahwa Hukum Sengketa Bersenjata tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip militer yang fundamental seperti penghematan penggunaan kekuatan, kesederhanaan tindakan, pemusatan kekuatan, kesatuan tindakan dan keleluasaan untuk melakukan manuver. Pemusatan kekuatan pada sasaransasaran yang kritis dan jauh dari orang-orang atau benda yang mempunyai sedikit atau sama sekali tidak mempunyai nilai militer, mempertimbangkan kepentingan militer maupun kepentingan kemanusian. Selanjutnya diketengahkan prinsip-prinsip dasar hukum sengketa bersenjata, sebagai berikut : 1. Prinsip Kepentingan Militer (Military Necessity), bahwa semua kegiatan tempur harus berdasarkan atas dasar kepentingan militer, dan yang utama dilarang melakukan kegiatan yang tidak diperlukan untuk kepentingan militer. Sebagai contoh, tidak diperkenankan menyerang penduduk sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran atau mereka yang tidak mampu bertempur, karena tidak ada keuntungan militer yang diperoleh dengan berbuat demikian. Aturan-aturan dalam perjanjian memberikan kelonggaran hak bagi kepentingan militer.16 Kepentingan militer tidak dapat dijadikan sebagai alasan Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949. 15. Ditkumad, Bertempur Secara Benar, Jakarta, 2001, hal. 17. 16. Misalnya, Pasal 23 dari Konvensi Den Haag menentukan bahwa dilarang merusak atau merampas harta benda milik musuh kecuali perusakan dan perampasan itu diperlukan untuk kepentingan perang.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
untuk tidak menerapkan Hukum Sengketa Bersenjata. Segala tindakan menghancurkan harta benda musuh karena kepentingan militer harus sesuai dengan prinsip pembedaan dan prinsip proporsionalitas. Kepentingan militer tidak boleh digunakan sebagai alasan pemaaf bagi kesalahan, pengabaian, atau tindakan yang tidak pantas. 2. Prinsip perlakuan secara manusiawi dan tanpa diskriminasi (Humanitarion Treatment and without Discrimination Principle), bahwa semua orang harus diperlakukan secara manusiawi dan tanpa diskriminasi berdasarkan atas jenis kelamin, kebangsaan, ras, agama atau keyakinan politik. Secara khusus, mereka yang tidak mampu lagi untuk melakukan pertempuran, misalnya para kombatan yang menyerah, awak pesawat udara yang terjun dari pesawat udara yang mengalami kerusakan, orang-orang yang luka, sakit dan korban kapal karam, para tawanan perang, tawanan dan tahanan lainnya, penduduk sipil dan personil medis serta rohaniawan harus diidentifikasi, diperlakukan secara manusiawi dan dilindungi dari serangan. 3. Prinsip Pembatasan dan penderitaan yang tidak perlu (Unnecessary Suffering), bahwa persenjataan dan cara berperang yang boleh digunakan adalah terbatas. Dengan perkataan lain, dilarang menggunakan senjata yang dirancang untuk mengakibatkan penderitaan yang tidak perlu atau luka yang berlebihan. Hal ini dimaksudkan adalah untuk melarang persenjataan yang dirancang untuk menghancurkan lebih dari yang diperlukan sehingga musuh tidak mampu bertempur, misalnya senjata-senjata yang dirancang untuk menimbulkan luka-luka yang tidak mungkin untuk diobati atau menyebabkan kematian yang kejam dan mengalami keadaan sekarat yang berlangsung lama. Aturan ini tidak melarang persenjataan seperti senjata fragmen (senjata yang pecahannya menyebar) atau senjata yang dapat menembus secara rentetan (armour piercing rounds) yang sekalipun digunakan secara benar namun dapat menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
4. Prinsip Pembedaan (Distinction Principle), bahwa harus dibedakan antara kombatan dan non-kombatan. Kombatan diperbolehkan untuk terlibat secara langsung dalam pertempuran, sedangkan non-kombatan tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam pertempuran. Dengan perkataan lain, kombatan bisa diserang, sedangkan non-kombatan dilindungi dari serangan, namun mereka kehilangan perlindungan jika mereka terlibat secara langsung dalam permusuhan. Hal lain yang perlu diperhatikan harus dibedakan antara objek-objek militer, yang boleh diserang, dan objek-objek sipil yang tidak boleh diserang. Objek-objek sipil harus dihormati. Itu berarti bahwa tidak diperkenankan untuk melakukan penjarahan dan objek-objek sipil hanya boleh diambil alih untuk dipergunakan bagi kepentingan militer. 5. Prinsip Proporsionalitas (Propornationality Principle), bahwa apabila sasaran-sasaran militer diserang, maka penduduk sipil dan objek-objek sipil sejauh mungkin harus terhindar dari kerusakan insidental (atau kerusakan ikutan), kerusakan ikutan yang timbul tidak boleh berlebihan apabila dibandingkan dengan keuntungan militer nyata dan langsung yang diharapkan dari setiap serangan. 6. Prinsip Itikad Baik (Good Faith Principle), bahwa dalam setiap perundingan-perundingan antar pihak-pihak yang berperang harus dilandasi itikad baik. Pentingnya Untuk Mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata Hukum Sengketa Bersenjata harus dipatuhi karena hukum ini mengikat setiap negara dan individu-individu dalam negara-negara tersebut. Hukum kebiasaan terdiri dari norma-norma tertentu yang bersifat mengikat bagi semua negara. Hukum perjanjian mengikat negara yang merupakan pihak dalam perjanjian tersebut. Dalam kasus lainnya, hukum ini juga berlaku bagi orang-orang yang berada dalam negara tersebut. Pelanggaran-pelanggaran berat terhadap Hukum Sengketa Bersenjata merupakan keja-
37
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
hatan perang17 yang dapat diadili oleh pengadilan nasional atau pengadilan internasional. Dengan demikian menjadi penting untuk mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata, yang bertujuan untuk18 : 1. Menekankan profesionalisme para anggota angkatan bersenjata; 2. Meningkatkan moral dan disiplin yang baik; 3. Menjamin dukungan penduduk sipil di dalam negeri dan di medan operasi; 4. Menerapkan perlakuan secara timbal balik, misalnya terhadap orang yang luka dan sakit serta tawanan perang; 5. Menciptakan kemungkinan adanya perdamaian dengan tidak memperkeruh keadaan yang sedang berkembang; 6. Menjamin bahwa upaya militer hanya dikonsentrasikan untuk menaklukkan angkatan bersenjata musuh. Tanggung Jawab Untuk Mematuhi Hukum Sengketa Bersenjata Hukum Sengketa Bersenjata tidak hanya mengikat negara tetapi juga mengikat individu termasuk atasan dan para anggota angkatan bersenjata dengan tanggung jawab, sebagai berikut : 1. Tanggung jawab individu. Setiap anggota angkatan bersenjata, apapun pangkatnya, Sengketa Bersenjata, memastikan bahwa orang lain juga mematuhinya dan mengambil tindakan apabila terjadi pelanggaran. Perintah atasan tidak boleh dijadikan sebagai alasan pemaaf bagi perbuatan yang melanggar hukum. Terhadap anggota angkatan bersenjata yang melakukan, memerintahkan, gagal mencegah atau gagal memberikan laporan tentang pelanggaran berat terhadap Hukum Sengketa Bersenjata dianggap melakukan kejahatan perang yang 17. Untuk lebih jelas lihat artikel Kolonel Chk Natsri Anshari, SH, LLM, Identifikasi Kejahatan Perang, dalam Jurnal Hukum Militer, Vol : 001/PSHM-STHM/J/IX/06, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Militer STHM, 2006) hal. 67. 18. Ditkumad, Op. cit, hal. 21. 19. Lihat Pasal 36 s/d 41 UU No. 26 tentang Pengadilan HAM, dengan ancaman pidana mati, atau pidana
38
dapat diajukan ke pengadilan dan jika diputuskan bersalah, maka mereka dijatuhkan hukuman.19 2. Tanggung jawab atasan/ komandan. Setiap anggota angkatan bersenjata yang mempunyai kewenangan komando mempunyai tugas untuk: a. Memelihara disiplin yang ketat namun wajar/proporsional; b. Melatih personil di bawah komandonya menurut aturan Hukum Sengketa Bersenjata sesuai dengan pangkat dan penugasan mereka; c. Memberikan perintah secara jelas dan berdasarkan hukum ; d. Bertanggung-jawab terhadap keputusankeputusan yang sulit; e. Menjamin perintahnya dilaksanakan oleh bawahannya sesuai dengan hukum; f. Melaporkan para pelanggar kepada perwira atasan yang mempunyai kewenangan untuk menindak; g. Melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata musuh atau sekutu kepada penguasa militer yang lebih tinggi. Atasan/ komandan bertanggung jawab secara pidana20 terhadap kejahatan yang dilakukan oleh bawahannya, jika : a. Atasan/ komandan mengetahui atau patut mengetahui bahwa bawahannya akan melakukan kejahatan perang tetapi gagal untuk mencegahnya, atau b. Jika atasan/ komandan mengetahui atau patut mengetahui bahwa bawahannya sedang atau telah melakukan kejahatan perang dan gagal untuk menindak atau melaporkannya. Dengan demikian untuk menghindari tanggung jawab pidana tersebut, maka dan harus : a. Menaruh perhatian pada implikasipenjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun, atau paling singkat 5 tahun. 20. Lihat Pasal 42 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dengan ancaman pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 25 tahun, atau paling singkat 5 tahun.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
Penduduk sipil adalah mereka yang bukan anggota angkatan bersenjata dari negara pihak yang bersengketa. Penduduk sipil tidak diperbolehkan terlibat secara langsung dalam pertempuran dan mereka dilindungi dari serangan. Jika mereka terlibat secara langsung
dalam pertempuran maka mereka kehilangan perlindungan. Dengan perkataan lain penduduk sipil kehilangan kekebalan sebagai nonkombatan apabila penduduk sipil tersebut terlibat secara langsung dalam pertempuran, sehingga dia bukan penduduk sipil yang bebas. Kalau tertangkap, penduduk sipil yang terlibat secara langsung dalam konflik dapat diadili oleh pengadilan, namun mereka tetap berhak mendapat perlindungan berdasarkan Konvensi Jenewa IV dan Protokol I.23 Penduduk sipil dapat memberikan dukungan kepada angkatan bersenjata negara sekutunya tanpa terlibat secara langsung dalam konflik, sekalipun angkatan bersenjata tersebut mengambil keuntungan dari pengecualian terhadap prinsip pembedaan. Penduduk sipil yang melakukan perbuatanperbuatan, seperti mengganggu keamanan atau melakukan kerusuhan, dapat dihukum jika bertentangan dengan hukum dan perundangundangan yang dikeluarkan oleh penguasa pendudukan untuk kepentingan keamanan pasukannya. Oleh karena sebuah konflik sengketa bersenjata sering menimbulkan pecahnya situasi normal pada masa damai, pihak angkatan bersenjata mempunyai tanggung jawab sementara di daerah yang dikuasainya, baik itu yang terletak di wilayah sendiri ataupun yang terletak di luar negeri, dengan memperhatikan hal sebagai berikut : 1. Perlakuan secara manusiawi terhadap penduduk. Setiap orang harus diperlakukan secara manusiawi. Kekerasan pembunuhan, siksaan, hukuman fisik, pemotongan anggota tubuh, penghinaan martabat individu, penyanderaan, pemberian hukuman kolektif dan ancaman untuk melakukan salah satu dari hal tersebut di atas adalah tidak diperbolehkan. 24
21. Lihat Surat Keputusan Kasad Nomor Skep : 225 / VII / 2002 pada tanggal 29 Juli 2002 tentang Buku Petunjuk Lapangan tentang Dukungan Hukum. 22. Keberadaan Perwira Hukum dalam operasi militer harus mampu menilai ada tidaknya jaminan perlindungan HAM di daerah operasi, dengan menjawab 5 (lima) aspek penting yaitu : 1. Prosedur, 2. Kewenangan, 3.
Sasaran, 4. Alat, 5. Cara, di dalam Peranan Perwira Hukum TNI AD dalam Operasi Militer, Makalah Seminar Sekolah Selapakum, Jakarta, 23 Juni 2003, hal. 9. 23. Lihat Pembatasan dalam Konvensi Jenewa IV, Pasal 3, 5, 35, 42, dan Pasal 78 dan standart minimum yang terdapat dalam Protokol I, Pasal 75. 24. Protokol I Pasal 72 Paragraf 2.
implikasi Hukum Sengketa Bersenjata; b. Mempertimbangkan (meminta nasehat para ahli bilamana perlu) ketika mengeluarkan perintah-perintah atau instruksi-instruksi atau menetapkan prosedur-prosedur atau melatih program-program; c. Mengambil langkah-langkah pencegahan atau melaporkan pelanggaran yang diketahuinya, dan mengambil tindakan disiplin dimana perlu. Apabila prajurit belum dibekali dengan aturan pelibatan (Rules of Engagement), maka atasan/ komandan bertanggung jawab untuk menertibkan aturan pelibatan bagi prajurit dan satuan yang berada di bawah komandonya untuk menjamin bahwa operasi-operasi yang dilaksanakan sesuai dengan Hukum Sengketa Bersenjata. Dukungan dari perwira hukum seharusnya didapatkan.21 Para perwira staf, khususnya perwira hukum22, walaupun mereka tidak mempunyai kewenangan komando dan bertindak hanya atas nama komandan, bertanggung jawab secara pidana jika mereka berdinas pada markas besar, mengetahui adanya kejahatan perang yang sedang atau akan berlangsung ditingkat bawahan tetapi tidak menyampaikan hal tersebut kepada komandan atau kepada pihak yang berkompoten lainnya untuk mengadakan penyelidikan. Pengaturan Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Hukum Sengketa Bersenjata
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
39
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
Penjarahan, balas dendam dan penggunaan penduduk sipil untuk dijadikan tameng militer adalah dilarang.25 Kekerasan termasuk kekerasan terhadap kesehatan, kekerasan gangguan fisik dan mental seseorang, sudah cukup dikatakan sebagai siksaan jika kekerasan tersebut menimbulkan salah satu efek di atas. 2. Penahanan, pengadilan dan hukuman. Setiap orang yang ditahan harus segera diinformasikan kepada keluarganya dan diberitahukan alasan penahanannya dalam bahasa yang dia mengerti. Dan apabila ada orang yang ditangkap kemudian dalam pemeriksaan tidak terlibat melakukan kejahatan/ pelanggaran, maka harus segera dibebaskan. Sementara orang yang dituduh melakukan kejahatan/pelanggaran harus diberikan 26 : a. Keterangan lengkap tentang tuntutan; b. Hak untuk membela diri; c. Hak untuk hadir dipersidangan; d. Hak untuk bertanya dan memanggil saksisaksi; e. Hak untuk mendapatkan pengadilan umum yang independen; f. Keterangan rinci tentang hak-hak naik banding. Penting untuk diperhatikan bahwa tersangka tidak boleh dipaksa untuk memberikan kesaksian atau untuk mengaku, tidak boleh diadili terhadap suatu pelanggaran yang mana telah dituduhkan sebelumnya atau telah disidangkan yang mana bukan merupakan pelanggaran menurut hukum nasional atau internasional pada saat yang bersangkutan melakukan pelanggaran tersebut. Di samping itu, pengadilan harus diselenggarakan dengan tidak memihak dan berdasarkan aturan yang sudah ditetapkan, menerapkan, anggapan bahwa si tertuduh
tidak bersalah sampai dengan terbukti bersalah (asas praduga tak bersalah). Maka tidak mungkin untuk menghukum si tertuduh atas dasar tanggung jawab kelompok, tanggung jawab dari setiap tuduhan harus berdasarkan pembuktian. Hal lain hukuman yang dijatuhkan dipilih yang lebih ringan, diantara hukuman berlaku saat pelanggaran dilakukan atau pada saat pernyataan tersebut diumumkan. Seseorang dapat diadili atau dihukum lagi terhadap pelanggaran yang sudah diadili atau pernah dihukumkan kepadanya. 3. Perlakuan terhadap wanita. Wanita harus diperlakukan dengan hormat. Mereka tidak boleh dijadikan subyek dari ketidaksenonohan.27 Sedangkan kepada wanita hamil dan ibu menyusui yang disidangkan harus diberi prioritas utama dan dilarang menjatuhkan hukuman mati pada mereka.28 Sementara dalam penahanan dan penginterniran, keluarga harus dijadikan satu. Atau wanita dipisahkan dari pria.29 Perkosaan dan pelecehan terhadap wanita, perlakuan tidak senonoh selama kekacauan dan kerusuhan dan tidak berfungsinya hukum pada saat perang adalah merupakan fenomena umum. Jika hal itu dilakukan oleh prajurit maka merupakan indikasi bahwa disiplin telah menurun dan oleh karena itu harus segera mendapatkan perhatian penuh dari komandan militer. Perkosaan dan pelecehan adalah pelanggaran serius. Dengan demikian setiap atasan/ komandan harus mengeluarkan perintah yang jelas kepada seluruh pasukan, mereka yang melanggar harus segera berurusan dengan penguasa sipil dan militer. 4. Perlindungan terhadap anak-anak. Anak-anak berusia di bawah 15 tahun tidak boleh direkrut menjadi anggota angkatan bersenjata. Dalam hal perekrutan anak-anak
25. Konvensi Den Haag Pasal 28, Protokol I Pasal 51 Paragraf 3 dan 7. 26. Protokol I Pasal 75 Paragraf 3 dan 4. 27. Protokol I Pasal 76 Paragraf 1. Lihat juga doktrin
Delapan Wajib TNI, Angka 3 yang berbunyi : Menjunjung tinggi kehormatan wanita. 28. Protokol I Pasal 76 Paragraf 2,3. 29. Protokol I Pasal 75 Paragraf 5.
40
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
berusia di atas 14 tahun maka pengutamaan pilihan harus diberikan kepada yang tertua. Dan apabila ada keluarga yang ditahan diupayakan untuk ditahan secara bersama -sama atau disatukan kembali. Di lain pihak anak-anak yang ditahan atau diintenir harus dipisahkan dengan orang dewasa. Hal lain bahwa tidak ada hukuman mati yang boleh dijatuhkan terhadap anak-anak di bawah usia 18 tahun pada saat anak tersebut melakukan kejahatan/pelanggaran. 30 Untuk jelasnya terdapat aturan-aturan khusus mengenai pengevakuasian anak-anak31 dan pendidikan serta identifikasi anak-anak di bawah usia 12 tahun.32 Fungsi dan Tugas Pokok TNI Reformasi nasional Indonesia yang didorong semangat bangsa Indonesia untuk menata kehidupan dan masa depan bangsa yang lebih baik telah menghasilkan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan dan kenegaraan. Salah satu perubahan tersebut adalah penataan peran dan fungsi TNI. Peran TNI33 sebagai alat pertahanan negara, berfungsi sebagai34 : 1. Penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalam terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa; 2. Penindak terhadap setiap bentuk ancaman; 3. Pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan. Sedangkan tugas-tugas TNI di dalam UU tersebut secara tegas menyatakan bahwa35 : 1. Tugas pokok TNI adalah : a. menegakkan kedaulatan negara; b. mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, c. serta melindungi segenap bangsa dan
30. Protokol I Pasal 77. 31. Protokol I Pasal 78. 32. Konvensi Jenewa IV Pasal 24.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. 2. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan : a. Operasi militer untuk perang. b. Operasi militer selain perang, yaitu untuk : 1) mengatasi gerakan separatisme bersenjata; 2) mengatasi pemberontakan bersenjata; 3) mengatasi aksi terorisme; 4) mengamankan wilayah perbatasan; 5) mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis; 6) melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri; 7) mengamankan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya; 8) memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta; 9) membantu tugas pemerintahan di daerah; 10) membantu Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang; 11) membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia; 12) membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan; 13) membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta 14) membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan
33. Pasal 10 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. 34. Pasal 6 ayat (1) UU No. 34 Tahun 2009 tentang TNI 35. Pasal 7 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
41
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
Di lingkungan Angkatan Darat, perlakuan perlindungan korban perang dan penduduk sipil telah diatur dalam Buku Petunjuk Teknik tentang Penerapan HAM di lingkungan TNI AD.38 Didalam Buku tersebut telah diatur apa yang harus dilakukan oleh prajurit apabila menghadapi musuh yang menjadi korban perang yaitu musuh yang tertangkap, musuh yang luka dan musuh yang meninggal dunia termasuk bagaimana
memberikan perlindungan terhadap penduduk sipil. Berikut ini akan diuraikan bagaimana tindakan prajurit apabila menghadapi keadaankeadaan musuh sebagaimana diuraikan diatas. Pertama-tama seorang komandan harus paham bahwa dia bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengendalikan pasukannya berkaitan dengan sikap dan tindakan anggotanya terhadap korban operasi termasuk terhadap musuh yang menyerah, luka-luka dan sakit dan meninggal dunia. Prosedur tindakan ini harus dilatihkan kepada prajurit sehingga dapat segera bertindak apabila menghadapi situasi konkrit di lapangan. Adapun perlakuan-perlakuan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Penggunaan tembakan, perusakan dan penghacuran harus proporsional. a. Tidak dilakukan secara sadis atau melampaui batas. b. Tidak boleh melakukan pemotongan terhadap organ tubuh mayat. c. Tidak boleh melakukan tembakan yang bertubi-tubi terhadap musuh yang menyerah, luka dan sakit, dan meninggal dunia atas alasan apapun juga. d. Mencatat identitas mayat dan menguburkannya sesuai dengan tata cara agama yang dianut korban. e. Tidak dibenarkan merusak atau membumihanguskan rumah, kampung atau perkotaan. f. Melakukan pertempuran hanya dengan pasukan bersenjata musuh. g. Tidak melakukan tindakan yang berbahaya terhadap nyawa dan fisik dari musuh yang sudah menyerah. h. Memperlakukan musuh yang menyerah dengan tindakan sebagai berikut :
36. Lihat Pasal 10, Pasal 30 UUD 1945 dan Pasal 2 s/d 9 UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Oleh karena tiap negara mengadakan persiapan untuk mempertahan diri. Hal ini terutama berlaku bagi negaranegara yang cinta damai seperti Swedia, Denmark, Swiss, Yugoslavia, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Sama dengan Indonesia yang penduduknya bersifat heterogen, tetapi dilihat dari segi geo-politis tidak ada seperti Indonesia. Dari segi pengalaman hanya
Yugoslavia dan Vietnam yang seperti Indonesia yang telah teruji sistem pertahanannya yang menganut total national defence system (sistem pertahanan semesta). Dilihat dari segi doktrin militer sistem itu dinamakan territorial defence 37. ASS Tambunan, SH, Op.cit. hal. 146. 38. Surat Keputusan Kasad Nomor Skep : 230 / VII / 2002 pada tanggal 29 Juli 2002.
Dari rumusan tugas pokok TNI tersebut bahwa TNI berkewajiban melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. Namun perlu diingat juga bahwa sistem pertahanan Indonesia36 merupakan implementasi dari prinsip-prinsip yang disadur dari falsafah dan pandangan hidup bangsa yang terkandung, sebagai berikut37 : 1. Bangsa Indonesia cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan; 2. Hal itu berarti bahwa bangsa Indonesia tidak agresif dan tidak bersifat ekspansionis; 3. Dengan begitu bagi bangsa Indonesia perang adalah jalan terakhir dan hanya apabila dipaksakan kepadanya; 4. Bagi bangsa Indonesia perang bersifat semesta artinya perlawanan yang dilakukan setiap komponen bangsa Indonesia; 5. Bagi bangsa Indonesia akan mempertaruhkan segala-galanya untuk mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan nasional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945; 6. Dengan demikian bagi bangsa Indonesia tidak ada kata menyerah. Penerapan Perlindungan Korban Perang dan Penduduk Sipil Dalam Operasi Militer Di Lingkungan TNI Angkatan Darat
42
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
1) 2) 3) 4)
Lucuti senjata mereka. Evakuasi ke kamp tawanan. Perlakukan mereka secara manusiawi. Serahkan musuh yang menyerah kepada atasan. i. Jangan membunuh atau melakukan penganiayaan terhadap tawanan perang atau tahanan operasi. j. Memberikan perawatan terhadap kawan atau musuh yang terluka berdasarkan pertimbangan medis. k. Memperlakukan musuh yang terluka dengan tindakan sebagai berikut : 1) Kumpulkan orang-orang yang terluka. 2) Berikan perawatan yang diperlukan. 3) Serahkan kepada atasan atau petugas kesehatan yang terdekat. l. Orang-orang yang tidak terlibat dalam sengketa, termasuk orang yang telah menyerah dan orang yang tidak mampu lagi bertempur karena sakit, luka, ditawan, atau karena sebab lain, dalam segala keadaan, harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa perbedaan berdasarkan ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, kelahiran, kekayaan atau kriteria lain yang menyerupai itu. m. Tindakan-tindakan tersebut di bawah ini dilarang dilakukan terhadap orang-orang tersebut di atas : a. Segala bentuk pembunuhan, pemotongan organ-organ tubuh, perlakuan kejam dan penyiksaan. b. Penyanderaan. c. Tindakan menghinakan dan merendahkan martabat manusia. d. Penjatuhan hukuman dan pelaksanaan eksekusi tanpa berdasarkan putusan pengadilan yang bebas dan tidak memihak. 2. Perlakuan terhadap penduduk sipil Selama melaksanakan Operasi Tempur, Komandan bertanggung jawab untuk mengawasi dan mengendalikan pasukannya berkaitan dengan sikap dan tindakan anggotanya terhadap penduduk sipil termasuk harta bendanya, dengan memperhatikan ketentuan berikut ini :
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
a. Memperlakukan semua orang sipil secara manusiawi. b. Menghormati orang-orang sipil yang tidak terlibat dalam peperangan. c. Memperlakukan secara manusiawi orang yang berada dalam kekuasaan anda. d. Melindungi orang-orang sipil dari perlakuan buruk. e. Tidak melakukan tindakan balas dendam dan penyanderaan terhadap orang sipil. f. Menghormati harta benda milik orang sipil, jangan merusak dan mencuri harta benda tersebut . g. Tidak melakukan pencurian dan menghormati harta benda milik pribadi. h. Menghormati dan melindungi serta tidak melakukan serangan terhadap orang, benda atau bangunan yang menggunakan tanda-tanda perlindungan secara sah. i. Melakukan tindakan terbaik untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hukum perang dan laporkan semua pelanggaran yang terjadi kepada atasan anda. 3. Tindakan-tindakan penting yang dilakukan setelah melakukan operasi tempur: a. Melakukan klarifikasi terhadap laporan dari masyarakat mengenai pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama operasi berlangsung. b. Memproses penyelesaian pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya sesuai prosedur hukum yang berlaku.
43
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
c. Menginventarisir korban maupun kerugian yang dialami rakyat. d. Menginventarisir korban dan kerugian yang dialami pihak satuan. e. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas kepada komando atas dengan sebenarnya. Kesimpulan Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan berkaitan dengan pengaturan Hukum Sengketa Bersenjata terhadap perlindungan penduduk sipil dalam perang atau konflik bersenjata, sebagai berikut: 1. Bahwa Hukum Sengketa Bersenjata telah mengatur perlindungan terhadap perlindungan penduduk sipil dalam perang atau konflik bersenjata. Pengaturan tersebut diawali dengan penyusunan Konvensi-konvensi Den Haag Tahun 1899 dan1907. Kemudian diatur lebih lanjut dalam Konvensi Jenewa Tahun
44
1929 yang selanjutnya disempurnakan dalam Konvensi Jenewa 1949 serta Protokol Tambahan I dan II Tahun 1977. 2. Secara spesifik ketentuan mengenai perlindungan penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata diatur dalam Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Orang-orang Sipil di Waktu Perang (Geneva Convention relative to the protection of Civilian Persons in Time of War, of August 12,1949). 3. Pengaturan dan penerapan yang lebih spesifik dan mendetail di lingkungan TNI AD tentang perlindungan dan perlakuan terhadap penduduk sipil pada waktu perang atau konflik bersenjata (selama melaksanakan operasi) diatur dalam Surat Keputusan Kasad Nomor : Skep/230/VII/2002 tanggal 29 Juli 2002 tentang Buku Petunjuk Teknik tentang Penerapan Hukum HAM di Lingkungan Angkatan Darat.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU, JURNAL, MAKALAH
Dietrich Schinder & Jiri Toman (eds), The Laws of Armed Conflict, A Collection of Conventions, Resolutions and Other Documents, Dordrecht, Martinus Nijhoff Publisher, Third & Completely Revised Edition, 1988. Dirjen Hukum dan Perundang-undangan Departemen Kehakiman, Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949. Dirjen Administrasi Hukum Umum Departemen Hukum dan HAM, Terjemahan Protokol Tambahan Pada Konvensi-Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang Berhubungan dengan Perlindungan Korban-Korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional II (Protokol II) Ditkumad, Bertempur Secara Benar, Jakarta, 2001. Haryomataram, GPH. Bunga Rampai Hukum Humaniter. Jakarta: Bumi Nusantara Jaya.1988 ———, Hukum Humaniter. Jakarta: CV.Rajawali.1984 ———, Sekelumit tentang Hukum Humaniter. Solo : Sebelas Maret University Press. 1994. Kusumaatmadja, Mochtar. Konvensi Konvensi Palang Merah Tahun 1949. Bandung : Binacipta, 1986. ———, Pengantar Hukum Internasional. Bandung : Binacipta, 1987. Morris Greenspan. The Modern Law of Land Warfare, (Berkely and Los Angeles : University of California Press, 1959. Natsri Anshari, Identifikasi Kejahatan Perang, dalam Jurnal Hukum Militer, Vol : 001/PSHM-STHM/J/IX/ 06, Jakarta : Pusat Studi Hukum Militer STHM, Jurnal Hukum Militer, Tahun 2006. Selapakum Tahun 2003, Peranan Perwira Hukum TNI AD dalam Operasi Militer, Makalah Seminar Sekolah Selapakum, Jakarta, 23 Juni 2003. Tambunan, ASS. UUD 1945 Sudah Melihat Jauh Ke Depan. Jakarta : Puporis Publisher, 2000. ——————————. Hukum Militer Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta : Pusat Studi Hukum Militer, STHM, 2005. ——————————. Hukum Disiplin Militer, Suatu kerangka Teori. Jakarta : Pusat Studi Hukum Militer, STHM, 2005.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KONVENSI
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia, Undang-undang No. 59 Tahun 1958 tentang ikut sertanya Negara Republik Indonesia Dalam Ke-empat Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
45
Ketentuan Hukum Sengketa Bersenjata Tentang Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Konflik Bersenjata Oleh : Mayor Chk Dr. Parluhutan Sagala, S.H.,M.H.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12lh August 1949, and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conftits of 8 June 1977 Surat Keputusan Kasad Nomor Skep : 230 / VII / 2002 pada tanggal 29 Juli 2002 tentang Buku Petunjuk Teknik tentang Penerapan Hukum HAM di Lingkungan Angkatan Darat. Surat Keputusan Kasad Nomor Skep : 225 / VII / 2002 pada tanggal 29 Juli 2002 tentang Buku Petunjuk Lapangan tentang Dukungan Hukum.
46
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
M. Cherif Bassioni dan Marcia McCormick1:
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang di Bekas Wilayah Yugoslavia2 Direview oleh: Kapten Chk Achmad Fadilah,S.H., M.Hum.3
T
anggal 6 Oktober 1992, respon terhadap laporan tentang berbagai kejadian yang terjadi di wilayah bekas Yugoslavia mulai meluas. Pertentangan berbagai faksi yang ada di sana telah menjurus pada bentuk pelanggaran hukum humaniter internasional. Untuk itulah, Perserikatan Bangsa-bangsa mengeluarkan Resolusi PBB nomor 780 membentuk Komisi Ahli untuk melakukan Investigasi terhadap dugaan-
dugaan terjadinya pelanggaran hukum humaniter Internasional yang muncul. Tindakan ini merupakan sebuah kebijakan yang pertama kali dilakukan oleh masyarakat internasional sejak Perang Dunia Ke II untuk melakukan aksi kepedulian kolektif, manakala konflik tersebut tidak kunjung berkesudahan juga. Pada awalnya tindakan tersebut mendapatkan perhatian yang besar, mereka
1. M Cherif Bassiouni adalah seorang Profesor di bidang hukum dan Presiden Institut Hukum dan Hak Asasi Manusia Internasional di Universitas De Paul, Mantan Ketua komisi ahli pencari fakta Resolusi PBB 780 (1992) tentang Investigasi Kekerasan dalam Hukum Humaniter Internasional di bekas wilayah Yugoslavia. Marcia McCormick adalah seorang asisten Jaksa Agung negara Bagian Illinois, Mantan staf Kejaksaan, Staf Pengajar di Institut Hukum dan Hak Asasi Manusia Internasional di Universitas De Paul. 2. Naskah ini merupakah naskah kedua dari lima naskah “Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi dalam Perang di Bekas Wilayah Yugoslavia”. Direview dari ‘The Counter Weapon: A Fokus Investigation’ dalam buku yang ditulis oleh M. Cherif Bassioni dan Marcia McCormick, dengan judul ‘Sexual Violence: An Invisible Weapon of War in The Former Yugoslavia’, diterbitkan oleh International Human Rights Law Institute, De Paul University College of Law, Published with support from The John D and Catherine T. MacArthur Foundation, 1996, hal. 7-14. Segala informasi yang ada dalam naskah ini
mendasarkan pada “Final Report of the Commission of Experts and its Annexes” yang dipublikasikan oleh Dewan Keamanan PBB. Tidak ada sesuatu yang rahasia dalam naskah ini, sebab dalam naskah ini tidak menyebutkan nama atau identitas yang detail dari korban-korban, saksi-saksi atau pelaku sekalipun. Informasi yang ada dalam naskah ini telah dipublikasikan secara umum dan telah melalui berbagai diskusi sebagaimana yang nanti akan disampaikan dalam naskah di dalam ini. 3. Kapten Chk Achmad Fadilah S.H., M.Hum. menyelesaikan program Sarjana Hukum di Fakultas Hukum UNSOED, Purwokerto; Magister Humaniora di Pascasarjana UNDIP, Semarang dan sempat mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum di UNDIP, namun tidak selesai. Beranjak dari konsentrasi Hukum Pidana dan Kriminologi, kini concern di Hukum Humaniter dan HAM, khususnya “Humanitarian and Human Rights Law in Peacekeeping Operation”. Kini menjabat sebagai Kaur Jiankum Hum dan HAM Subditbinundang Ditkumad, serta Asisten Dosen Kriminologi dan Metodologi Penelitian Hukum di Sekolah Tinggi Hukum Militer.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
47
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview Oleh : Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M. Hum.
dijanjikan akan mendapakan dukungan financial dan dukungan politik dari PBB. Lima orang ditunjuk dan dipilih untuk duduk dalam komisi, tetapi hanya ketuanya saja yang didukung dana untuk bekerja full time. Anggota komisi lainnya tidak mendapatkan dukungan dana untuk melakukan investigasi, melakukan pengumpulan data dan melakukan berbagai macam bentuk analisis. Mereka juga tidak ditunjang oleh fasilitas yang memadai untuk mengumpulkan data, tidak ditunjang dengan perlengkapan untuk berproses dan tidak adanya kelompok investigator. Mereka hanya terdiri dari sekelompok kecil staf dari tiga Jaksa PBB dan tiga pekerja penulis/juru catat. Melihat realita ini, komisi kembali mengajukan dukungan kepada beberapa pemerintahan, agar dapat segera dibantu secara sukarela. Mereka mengajukan staf sukarela termasuk didalamnya jaksa, ahli kesehatan mental, mahasiswa hukum dan beberapa asisten dari berbagai LSM di dunia.4 Ketika komisi mulai mendapatkan kesulitan, mereka melaporkan hambatan-hambatan tersebut kepada PBB dengan berang, termasuk kesulitan mereka karena tidak dipenuhinya permohonan anggaran dan penundaan untuk merekrut investigator sukarela, serta ketidakpastian kapan mereka akan bergabung dengan tim atau tidak. Penundaan dan pengurangan sumber daya membuat Morris Abram, mantan Duta besar USA untuk PBB ini menjadi berang dan frustrasi. “Mereka tidak memiliki staf untuk mengolah apapun. Mereka tidak memiliki sumber daya yang memadai. Mereka tidak memiliki hak untuk melakukan wawancara kepada para saksi yang akan menceritakan kepada anda tentang kamp, penjagaan dan lain sebagainya…. Jika memang tindakan yang akan kita lakukan ini merupakan sebuah kebijakan yang serius, maka kita harus sesegera mungkin memenuhi apa yang komisi
4. Beberapa orang dan kelompok yang telah memberikan bantuan kepada Komisi, sehingga kerja komisi dapat berjalan dengan lancar yaitu: Vladimir Kotliar, Bruna Molina Abrams, Julio Baez, Anton Kempanaars, Karen Kenny, Maja Drajenovic, Thomas Osario, Nancy Paterson, dll.
48
butuhkan, kita harus memulai dari sekarang, menyusun permasalahan yang muncul, sebelum jejak penunjuk yang menuntun kita ke arah peristiwa itu menjadi dingin dan tak jelas” ujar Morris Abram. Dengan berbagai hambatan yang ada, akhirnya komisi dapat juga melakukan pekerjaan utamanya. Kurang lebih delapan bulan mereka melakukan investigasi terhadap berbagai pelanggaran hukum humaniter internasional. Beberapa bulan sebelum data yang lengkap dikemukakan, PBB sudah mendahului komisi untuk membuat sebuah pernyataan besar. Salah satu pernyataan yang sangat menggegerkan itu ialah tentang dikemukakannya hasil investigasi terjadinya kekerasan seksual. Ketika PBB membentuk Komisi Ahli, PBB telah menghimbau kepada segenap lembaga pemerintahan, lembaga non pemerintahan, segenap organisasi kemanusian internasional dan organisasi sejenis lainnya untuk mengirimkan berbagai informasi yang berhubungan dengan pelanggaran hukum humaniter internasional di daerah bekas Yugoslavia kepada komisi ahli. Tanggapan atas himbauan tersebut muncul dari 38 lembaga pemerintahan dan 151 organisasi dari berbagai negara. Setelah informasi itu terkumpul dan ditelaah oleh komisi ahli, hasil penelitian itu terfokus pada embrio bentuk kejahatan “pemusnahan etnis” dalam sebuah konflik, khususnya penggunaan kekerasan seksual sebagai sarana untuk memaksa penduduk sipil keluar dari wilayah-wilayah tertentu. Dari dokumen yang berhasil diperoleh, komisi mulai melanjutkan investigasi dengan menyediakan catatan publik sejumlah orangorang yang berhasil selamat dari kejadian tersebut. Tindakan ini merupakan sebuah prestasi yang cukup baik, akan tetapi masih harus diikuti dengan tindakan lainnya. Selanjutnya Komisi tidak hanya melakukan identifikasi terhadap kasus yang terjadi atas orang-perorang, tetapi mulai beralih kepada bentuk invenstigasi yang lebih luas yaitu menganalisis pola atau metode penggunaan kekerasan seksual dalam peperangan. Hal ini didasarkan pada volume data yang terkumpul, dimana data tentang kekerasan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview Oleh : Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M. Hum.
seksual sangatlah menonjol. Ada petunjuk bahwa perbuatan kekerasan seksual tersebut dilakukan dengan sengaja dan sudah diperhitungkan secara politik, serta perbuatan tersebut memang dilakukan secara sistematis sebagai alat dalam perang. Data inilah yang dijadikan pijakan konkret untuk memeriksa orang-perorang, yang diduga melakukan kejahatan tersebut. Baik terhadap para komandan maupun orang lain yang dianggap bertanggungjawab untuk mengambil keputusan dalam memformulasikan kebijakan dilakukannya “pembersihan etnis” dan praktek terjadinya pemerkosaan secara sistematis. Di bulan Februari 1993, Komisi mulai mempublikasikan laporan pertamanya. Laporan itu menggambarkan kecenderungan terjadinya “pembersihan etnis” dan pemerkosaan secara sistematis. Dalam laporannya Komisi menyarankan dibentuknya International Criminal Tribunal (Mahkamah Kejahatan Internasional) dalam rangka mempersiapan pemeriksaan dan pengusutan berbagai bentuk kejahatan lainnya. Tiga bulan setelah itu, Dewan Keamanan PBB membentuk International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (Mahkamah kejahatan Internasional untuk wilayah bekas Yugoslavia– ICTY) yang didasarkan pada Konvensi Den Haag, dengan dukungan yang kuat dari pemerintahan Belanda. Walau sudah dibentuk ICTY oleh Dewan Keamanan PBB, namun hingga bulan Agustus 1994 Dewan Keamanan belum dapat menentukan siapa yang akan duduk dan berperan dalam Mahkamah tersebut. Untungnya dengan bantuan materi yang disediakan oleh Komisi, segenap tim Mahkamah dan stafnya dapat bergerak secara cepat dan efektif. Dakwaan pertama dilontarkan di bulan November 1994. Walaupun kasus utamanya belum juga dibangun, beberapa orang telah diketahui dan terindikasi melakukan kekerasan seksual. Selanjutnya di tahun 1995 The Dayton Peace Accords mulai melanjutkannya ke proses berikutnya sebab mereka telah mengumpulkan semua pihak yang terkait untuk mendukung terselengaranya Mahkamah Peradilan. Tujuan dari terselenggarannya Mahkamah Peradilan ini adalah untuk memeriksa secara
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
individual para pelaku dari kejahatan perang, genoside dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dimana ketiga kategori tersebut merupakan bentuk kejahatan internasional. Mahkamah ini merupakan lembaga pertama yang dibentuk oleh masyarakat internasional untuk memeriksa kejahatan dalam konflik, manakala konflik itu masih berlangsung. Mahkamah ini pula merupakan mahkamah internasional pertama yang memiliki otoritas khusus untuk memeriksa kejahatan kekerasan seksual yang melanggar ketentuan hukum internasional. Pengumpulan Bukti Komisi Ahli mulai melakukan beberapa pendekatan untuk mengumpulkan bukti. Mereka meminta berbagai macam dokumen dari lembaga pemerintah, organisasi dan orang-perorang. Selanjutnya mereka juga melakukan wawancara lebih dari 700 pengungsi di Austria, Jerman dan Swedia. Untuk menguji validitas data yang diperoleh, mereka juga melakukan investigasi lapangan sendiri, termasuk didalamnya melakukan wawancara terhadap 226 orang di Bosnia–Herzegovina, Croatia dan Slovenia. Komisi Ahli menerima informasi yang luas dari berbagai macam sumber, diantaranya adalah lembaga pemerintah, organisasi antar pemerintah, LSM, kelompok-kelompok keagamaan, kelompok wanita, orang-perorang dan media informasi lainnya. Beberapa kelompok ini secara parsial telah melakukan sendiri misi pencarian bukti di wilayah bekas Yugoslavia dan di daerahdaerah dimana para pengungsi ditempatkan/ ditampung. Sayangnya hanya sedikit informasi yang dapat diterima secara langsung dari sumber Serbia, diluar dari pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh PBB yang merujuk pada pernyataan Republik Federal Yugoslavia. Dukungan yang bersifat kemanusiaan terhadap Komisi ini sungguh luar biasa, dengan tingkat intensitas yang serius. Sebagai contoh, beberapa kelompok wanita dan LSM-LSM mengajukan rekomendasi untuk ikut membantu korban-korban dari kekerasan seksual serta memberikan tindakan dan saran untuk melindungi para korban tersebut dari tindakan
49
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview Oleh : Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M. Hum.
negatif lainnya, serta ikut pula membantu memberikan konseling agar kestabilan jiwa para korban dapat berangsur pulih. Selanjutnya para ahli hukum yang terlibat dalam proses invenstigasi ini melakukan tugasnya dengan sungguh-sungguh dengan memberikan saran dan pendapat agar para pelaku kejahatan tersebut benar-benar mendapatkan hukuman yang setimpal atas kejahatannya. Bantuan lainnya juga muncul dari sekelompok wartawan yang juga memberikan informasi kepada Komisi, karena sebenarnyalah para wartawan itulah yang memiliki akses langsung kepada para korban dan saksi yang benar-benar mengalami kejadian yang brutal selama perang. Pada akhirnya, dengan bantuan mereka semua itu, Komisi berhasil mengumpulkan dan menyusun sekitar 65.000 halaman dokumen, lebih dari 300 jam liputan video, sekumpulan petapeta lokasi kejadian, dan beberapa ribu halaman laporan yang menceritakan tentang perang dan kejahatan yang terjadi di dalamnya. Sayangnya data ini tidak dapat dianalisis saat Komisi masih berada di Geneva. Namun demikian selanjutnya Komisi setuju untuk menempatkan data ini di De Paul University’s International Human Rights Law Institute di Chicago, dibawah kendali M. Cherif Bassiouni, selaku orang yang pernah duduk dalam Commission’s Rapporteur on the Gathering and Analysis of Facts5 (Komisi Pelapor pengumpulan dan analisis fakta). Data yang telah terkumpul digunakan oleh Komisi untuk membangun analisis dan pembanding secara tajam tentang informasi terjadinya pelanggaran hukum humaniter.6 Lebih dari 4.500 laporan tentang pemerkosaan dan penyerangan seksual yang masuk. Melipuli berbagai macam jenis pelaku dan korban. Kurang lebih 1.800 laporan yang masuk dirasakan cukup
5. Manakala kerja Komisi berakhir di bulan April 1994, seluruh data dilimpahkan ke kantor Penuntut di Tribunal (Mahkamah Internasional). 6. Komisi ini berhasil membuat sebuah analisis yang termuat dalam laporan akhir setebal 87 halaman dan 3.300 halaman tambahan, termasuk 123 halaman tambahan yang bertutur tentang pemerkosaan dan penyerangan seksual.
50
lengkap, dan 1.100 laporan tersebut jauh lebih lengkap karena disertai dengan bentuk kesaksian tertulis dari para korban. Tetapi ada juga beberapa laporan yang dirasakan agak bias dan kurang lengkap atau meragukan, sehingga kurang dapat diangkat dan dipertimbangkan sebagai sebuah kasus. Sebagai contoh ada beberapa laporan yang menyebutkan “telah terjadi pemerkosaan terhadap 100 orang wanita” di beberapa kamp dan desa secara terpisah, tanpa dapat menyebutkan identitas si pemerkosa, tetapi hanya menyebutkan pemerkosa adalah militer atau sebuah kelompok etnis tertentu. Dari seluruh korban, hanya sekitar 800 korban dari kekerasan seksual yang telah dapat diidentifikasikan, baik melalui nama atau diberikan sebuah kode nama untuk melindungi identitas pribadinya. Mereka berusia rata-rata dari 5 sampai 81 tahun. Perhitungan jumlah korban yang dihasilkan dari laporan yang ada, dinyatakan bahwa jumlah korban kekerasan seksual dan penyerangan seksual itu mencapai lebih dari 12.000. Dengan demikian gambaran jumlah korban yang dikemukakan oleh Komisi Investigasi Eropa (European Commission Investigatory), yaitu sekitar 20.000 orang adalah masuk akal, walaupun hal tersebut dikemukakan tanpa adanya fakta yang lengkap dari data yang yang berhasil dikumpulkan oleh Komisi. Sekitar 700 orang yang diperkirakan menjadi pelaku telah dapat diidentifikasikan berdasarkan nama atau nama kecil, sedangkan 750 orang lainnya dinyatakan tidak dapat dikenali sehingga tidak dapat diidentifikasikan. Dari data yang terkumpul diperkirakan 600 dari 1.100 dokumen, kejadian-kejadian yang menimpa korban terjadi saat korban berada dalam tahanan di kamp tawanan, atau tempattempat lainnya yang digunakan untuk menahan seperti stadion olah raga, pabrik-pabrik atau sekolah-sekolah. Lebih dari 890 orang ditahan di lokasi-lokasi tertentu yang tersebar di seluruh wilayah bekas Yugoslavia. Dari jumlah tersebut diperkirakan pula 160 orang telah disiksa dan dianiaya, dilakukan penyerangan seksual dan akhirnya dibunuh. Laporan ini didasarkan pada seluruh kejadian yang terjadi dalam konflik yang melibatkan semua faksi, termasuk didalamnya
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview Oleh : Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M. Hum.
88 dilakukan oleh Serbia, 17 oleh Croatia, 8 oleh kelompok muslim, 14 oleh pasukan gabungan Muslim dan Croatia, dan 35 oleh Pasukan tidak dikenal. Tidak satu faksipun yang tidak bersalah. Selanjutnya sebagaimana yang kita ketahui, bahwa titik berat dari laporan ini adalah, tindakan mempersalahkan saja tidak akan memperbaiki keadaan atau mengembalikan keadaan seperti sedia kala, dan tidak ada seorangpun yang dapat membebaskan dirinya dari pertanggungjawaban atas kesalahan yang telah ia lakukan. Berdasarkan hasil informasi yang telah dikemukakan, maka dapat diperkirakan bahwa sebagian besar korban adalah warga Muslim Bosnia. Kelompok kedua terbesar yang menjadi korban adalah kelompok yang tidak dapat diidentifikasikan latar belakang etnisnya. Ketiga adalah kelompok korban warga Bosnia Serbia disusul oleh warga Kroatia. Sedangkan orang yang diduga melakukan kejahatan tersebut, diperkirakan lebih dari setengahnya adalah warga Bosnia Serbia, dilanjutkan dengan kelompok besar pelaku lainnya yang tidak dapat diidentifikasikan latar belakang etnisnya. Saat lembaga yang berwenang serta LSMLSM di Bosnia dan Kroatia telah berupaya menyediakan berbagai laporan dan informasi yang detil tentang berbagai peristiwa yang sudah dan tengah terjadi, disisi lain lembaga yang berwenang di Serbia kurang menunjukan keseriusan dalam mengumpulkan berbagai laporan dan informasi, meski setelah Komisi Ahli berkunjung ke Belgrade di bulan April 1993. Pemerintah Serbia rupanya tidak memiliki jaringan akses dengan LSM-LSM yang telah mengumpulkan dan menyuplai data. Namun demikian hal ini tidak menghalangi pihak Bosnia dan Kroatia serta LSM-LSM yang pro kepada mereka untuk mempublikasikan permasalahan tentang terjadinya kekerasan seksual, bahkan kondisi ketidakpedulian pihak Serbia ini justru lebih memicu propaganda terjadinya kekerasan seksual di Bosnia dan Kroatia. Dengan adanya publikasi hasil investigasi seperti ini maka akan lebih memungkinkan kita untuk memilah informasi, apakah informasi itu benar, setengah benar atau bohong sama sekali.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Investigasi lapangan Dalam proses pengumpulan bukti-bukti tentang berbagai peristiwa yang terjadi, komisi investigasi lapanganlah yang memainkan peran utama. Kelompok lainnya, termasuk didalamnya organisasi hukum humaniter internasional dan LSM-LSM yang ada, juga mengirimkan timnya untuk ikut melakukan investigasi yang terfokus pada indikasi terjadi kekerasan seksual di wilayah bekas Yugoslavia. Demikian pula dengan PBB, yang juga mengirimkan tim investigasinya dibawah pimpinan The Special Rapporteur of The Human Rights Commission, Tadeusz Mazowiecki. Setelah bekerja dalam waktu yang cukup lama, kelompok investigasi ini telah berhasil mengumpulkan data yang luar biasa. Mereka berusaha mencapai tujuan utamanya yaitu menginformasikan ke dunia tentang kekerasan yang terjadi, dan berupaya membentuk opini publik untuk menekan dan mengakhiri kekerasan yang terjadi. Investigasi lapangan yang dilakukan oleh Komisi Ahli ini secara khusus berupaya mencari jawaban dari dua peertanyaan yang muncul. Pertanyaan pertama ialah, apakah kekerasan seksual yang terpola secara sistematis itu merupakan sebuah tahap lanjutan dari kebijakan “pembersihan etnis”? jika ya, maka muncul pertanyaan yang kedua yaitu, siapakah yang harus memikul tanggungjawab atas kebijakan tersebut? Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut sangat dimungkinkan dapat menghukum orang-orang yang memang harus bertanggungjawab atas segenap kejahatan yang dituduhkan oleh hukum internasional. Setelah melakukan konsultasi dan melalui berbagai pertimbangan, maka Komisi menyimpulkan bahwa investigasi lapangan ini harus segera ditindaklanjuti dengan membentuk sebuah tim khusus yang terdiri dari beberapa sukarelawan wanita, termasuk didalamnya ada praktisi hukum (khususnya penuntut), ahli kesehatan jiwa (khususnya psikiater) dan tenaga penterjemah. Berkaitan dengan pelaksanaan wawancara yang berhubungan dengan kekerasan seksual, dibutuhkan seorang penuntut
51
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview Oleh : Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M. Hum.
yang memiliki latar belakang pengalaman yang cukup dalam memeriksa dan menuntut kejahatan kekerasan. Ini adalah pertama kalinya ahli hukum dan psikiater bekerja sama dalam satu tim dengan satu tujuan yang sama, dan ini juga moment pertama kalinya sejak PBB membentuk badan internasional untuk melakukan investigasi terjadinya kekerasan seksual dalam skala yang luas. Ini merupakan sebuah hambatan baru bagi Tim Investigasi. Manakala perang masih berkecamuk, korban masih terus berjatuhan, pemerintahan Bosnia Serbia menolak memberikan ijin untuk melakukan investigasi di wilayah yang berada dalam pengawasan mereka. PBB memperoleh mosi ketidakpercayaan dari semua pihak yang bertikai. Korban dan saksi-saksi mengalami ketakutan untuk maju, mendekat dan memberikan keterangan. Kelompok-kelompok perempuan menjadi skeptis. Beberapa pihak pengambil kebijakan politik tingkat tinggi yang menjadi subjek investigasi cenderung resistan dan beberapa birokrat dari PBB yang apatis terus berusaha menghambat kegiatan investigasi yang dilakukan. Kesulitan demi kesulitan terus menghantui kerja Tim Investigasi dalam mencari dan mengumpulkan berbagai fakta dan keterangan dilapangan. Kesulitan mengumpulkan data dan fakta inilah yang menyebabkan laporan atas kejadian terjadinya kekerasan seksual menjadi lambat dan baru diterima setelah kejadiannya berlangsung sekian lama. Beberapa saksi potensial telah berhasil dimintai keterangan berulangkali. Walaupun hal ini dilakukan dengan berbagai alasan, namun tak urung kegiatan pengumpulan keterangan ini membuat orang frustrasi dan jenuh. Pengumpulan keterangan ini berlangsung bukannya tanpa risiko, sehingga perlu dilakukan secara hatihati dan memperhatikan segi keamanan korban dan saksi. Hambatan yang paling berat adalah manakala Tim Investigasi harus tetap memberikan perlindungan dengan cara merahasiakan terhadap keberadaan dan identitas korban atau saksi. Karena berbagai ketakutan,
52
tidak sedikit para saksi dan korban, menarik diri untuk tidak jadi memberikan keterangan atau kesaksian. Hal ini terjadi karena ada berbagai ancaman yang mengancam keselamatan diri mereka, keluarga atau kelompok etnis mereka. Atas alasan ini maka, Tim Investigasi merasa perlu untuk tetap merahasiakan identitas para korban dan saksi. Banyak dari para saksi dan korban yang mengalami trauma pasca kejadian. Walaupun mereka telah menerima terapi serta perlindungan untuk tetap kuat dan bertahan, namun tidak dapat dipungkiri bila trauma ketakutan itu masih terbayang dan terpancar dari wajah mereka. Mereka adalah pengungsi lokal yang telah kehilangan rumah serta orang-orang yang mereka cintai. Walaupun banyak dari mereka yang mencoba bertahan untuk survive, namun tidak sedikit yang mengalami post traumatic sindrom, kegagalan mengenali diri mereka sendiri. Bahkan ada juga yang mencoba untuk melakukan bunuh diri. Oleh karenanya proses pengumpulan keterangan dan kesaksian dilakukan secara hatihati, karena keberadaan korban sangat sensitif, jangan sampai proses investigasi ini justru memunculkan kembali kenangan buruk yang menyebabkan mereka kembali menjadi trauma dan kehilangan kendali. Dengan perencanaan dan persiapan yang sangat hati-hati, Tim Investigasi berusaha untuk mengatasi semua hambatan yang ada. Sebagai contoh, dalam rangka memberikan perlindungan dan keadaan khusus bagi para saksi, Tim Investigasi selalu menggunakan pihak ketiga untuk melakukan pendekatan. Penggunaan perantara atau pihak ketiga sangat membantu Komisi dan Tim Investigasi untuk melakukan proses pemilihan para saksi sehingga dapat diperoleh para saksi yang memang benar-benar memiliki kesaksian dengan kualitas yang baik, dengan tanpa melakukan penolakan terhadap setiap orang yang mau bersuara untuk memberikan keterangan. Setiap orang diberikan keleluasaan untuk berbicara dan memberikan keterangan. Jika dari keterangan tersebut dapat dikembangkan, maka Tim Investigasi akan terus melakukan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview Oleh : Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M. Hum.
penelusuran terhadap saksi-saksi berikutnya. Penulusuran lebih lanjut inipun terbuka jika jaksa penuntut hendak melakukannya sendiri, namun dengan tetap merahasiakan keberadaan dan identitas para saksi atau korban. Dalam melakukan investigasi, Komisi bekerja keras untuk mempersiapkan diri secara psikologis dan hukum guna menuntaskan misi mereka. Latihan untuk melakukan wawancara secara intensif, cara mengendalikan emosi diri dan para saksi agar dapat mengumpulkan informasi terus menerus dilatihkan. Para saksi tidak pernah ditempatkan dalam posisi tertekan dan terpaksa untuk bersaksi. Bahkan mereka diperbolehkan untuk tidak mencantumkan identitas mereka. Para saksi yang menolak untuk memberikan identitasnya, diberikan kode-kode penomoran tersendiri. Wawancara tidak direkam dan semua catatan dijaga dengan tingkat keamanan maksimum. Hingga hari ini tidak ada satu catatan pun yang berasal dari data base yang terkumpul ini bocor dan jatuh ke pihak yang tidak berwenang. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya laporan aksi balas dendam atas semua kesaksian tersebut. Tim juga menyediakan ahli terapi psikis dari masyarakat setempat bagi para korban dan saksi. Bagaimanapun juga jika ahli terapi psikis berasal dari etnis yang sama, maka para saksi dan korban akan menjadi lebih terbuka, nyaman dan terlindungi. Kerja ahli terapi psikis ini bukan hanya untuk konsultasi sesaat tetapi juga untuk berkelanjutan. Kerjasama yang terjalin antara tim dari luar dan tim ahli dari masyarakat setempat, membuah hasil yang luar biasa. Tidak ada satupun korban maupun saksi yang merasa trauma kembali setelah dilakukan wawancara. Mereka menjadi lebih terbuka dan lebih kooperatif ketika dilakukan wawancara. Mereka tidak malu-malu lagi untuk mengungkapkan apa yang mereka alami dan mengemukakannya dengan penuh perasaan. Pengalaman memperlihatkan bahwa Tim gabungan yang dibentuk oleh PBB tersebut tidak mengalami penolakan dari mereka. Dengan adaya kerjasama yang baik antara tim gabungan dengan para saksi dan korban, dunia mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, dan berusaha
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
memberikan bantuan terhadap tragedi tersebut. Dari hasil kerja tim tersebut, PBB mendapatkan penghargaan dan pujian. Dengan waktu dan sumberdaya yang sangat terbatas, Komisi Investigasi melakukan banyak wawancara selama memungkinkan. Untuk menggapai berbagai kelompok yang berbeda, guna mencari informasi yang berbeda, Tim melakukan melakukan wawancara di 11 kota yang berbeda di luar Croatia dan Slovania, serta beberapa kota di Bosnia dan Herzegovina. Anggota tim berbicara dengan para korban dan saksi kekerasan seksual, termasuk beberapa diatarannya adalah laki-laki. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka mengumpulkan alat bukti dan menentukan tempat terjadinya kekerasan seksual dalam konteks kekejaman yang ada. Proses ini dimulai di bulan April 1993, walaupun proses wawancara lebih banyak dilakukan di pertengahan tahun 1994. Ketika proses investigasi akan dihentikan oleh Biro Hukum PBB pada tanggal 30 April 1994, tiga bulan lebih cepat dari yang direncanakan, di akhir bulan Maret 1994, Komisi Investigasi dalam satu hari rata-rata masih menerima 15 telepon dari para saksi yang berkeinginan untuk menceritakan kesaksian dan pengalamannya. Keadaan ini bertolak belakang dengan keadaan sebelumnya, dimana saat pertama kali dilaksanakan investigasi, rasa takut dan ketidakpercayaan terhadap Tim Investigasi sangat kental. Namun ketika tim ini akan mengakhiri masa tugasnya, kepercayaan itu sudah menebal, bahkan para korban dan saksi menumpukan harapan mereka pada Tim Investigasi ini. Jika dapat ditarik mundur kebelakang, sebenarnya begitu banyak pernyataan yang tidak sempat dikemukakan, dan banyak kesepakatankesepakatan yang belum dilaksanakan. Hal ini terjadi karena keterbatasan waktu dan sumberdaya yang ada pada Komisi Investigasi. Komisi Investigasi, bukan hanya bekerja di wilayah Bosnia dan Herzegovina, tetapi juga di wilayah Republik Federal Yugoslavia serta negara-negara lain yang mengurus permasalahan pengungsi dari bekas negara Yugoslavia. Sebagai contoh di Negara Turki. Karena
53
Investigasi Terhadap Penggunaan Kekerasan Seksual Sebagai Senjata Tersembunyi Dalam Perang Di Bekas Wilayah Yugoslavia Direview Oleh : Kapten Chk Achmad Fadilah, S.H., M. Hum.
keterbatasan waktu dan sumberdaya, maka tugas Komisi Investigasi di Turki di bantu oleh negara Turki. Negara ini juga ikut serta membantu kerja Komisi dalam mewawancarai sekurangkurangnya 18.000 korban dan saksi pengungsi Bosnia. Komisi Investigasi berulangkali menerima beberapa permohonan untuk melakukan wawancara terhadap para korban dan saksi diluar wilayah mereka, namun permohonan ini selalu ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan, sehingga akhirnya lupa dan tidak jadi dilaksanakan. Sebagai langkah terakhir terhadap kondisi seperti ini, Ketua Komisi dan Menteri Kehakiman Republik Federal Yugoslavia, bersedia untuk mengadakan pertemuan di Jenewa pada bulan Maret 1994 dengan membawa seluruh data yang ada sampai dengan sebelum tanggal 30 April. Namun demikian laporan yang berasal dari Pemerintah Yugoslavia di isi oleh lembaga PBB di bulan Mei 1994, setelah kerja Komisi Investigasi secara formal diakhiri. Pada bulan April 1994, Komisi Investigasi dipaksa untuk mengakhiri proses kerjanya, Dewan Keamanan PBB tidak sependapat dengan Jaksa penuntut di Tribunal, dan tidak ada badan
investigasi lainnya yang menggantikan kerja Komisi. Lalu mengapa kerja Komisi di akhiri secara prematur, dengan begitu banyak suara yang menunggu untuk berbicara? Pertanyaan tersebut tak kunjung berjawab. Diperkirakan tindakan tersebut lebih merupakan kebijakan politik untuk mencegah keterlibatan banyak pihak, walaupun diketahui juga bahwa kebijakan tersebut merupakan sebuah keputusan administrasi yang tidak bijaksana. Kebijakan mencegah perluasan konsekuensi politik tersebut mencerminkan komposisi PBB sebagai lembaga politik yang terkotak-kotak berdasarkan kepentingan politik tertentu, sebagian berdasarkan kotak kepentingan politik, dan sebagian lagi dalam kotak kepentingan birokrasi. Selanjutnya di awal 1994 nasib keadilan atas kasus ini makin tidak menentu. Dalam berbagai kasus, Komisi Investigasi percaya bahwa keputusan yang diambil seringkali kurang pas, karena keputusan tersebut tidak mendasarkan serta memperhatikan atas penemuan fakta-fakta yang substansial dan signifikan.
Referensi Utama : M. Cherif Bassioni; Marcia McCormick, ‘Sexual Violence: An Invisible Weapon of War in The Former Yugoslavia’, International Human Rights Law Institute, De Paul University College of Law, Published with support from The John D and Catherine T. MacArthur Foundation, 1996. Referensi Pendukung : Final Report of the Commission of Experts Established Pursuant to Security Resolution 780, U.N. SCOR, Annex, U.N. Doc. S/1994/674 (May 27, 1994) The Commission’s final report includes a set of twelve detailed annexes setting out on the factual and legal support for its finding. Annex IX to the final report is a study based on report of sexual violence committed in the former Yugoslavia. Rape and Sexual Assault, U.N.SCOR, Annex IX, U.N. Doc S/1994/674/Add.2 (Vol.V) (Dec 28,1994). Annex II is a legal analisys of rape and sexual assault in international law. Rape and Sexual Assault: A Legal Study, U.N.SCOR, Annex II, U.N.Doc S/1994/674/Add.2 (Vol.I) (May 31, 1995) The Annexes and the final report can be accessed via the internet at the following addresses: http://www.cij.org/cij/commission.html http://www.cij.org/cij/
54
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag., S.H., M.H. Dansatsis 3 STHM Ditkumad
PENDAHULUAN A. Latar Belakang orporasi merupakan suatu perserikatan yang bercorak khusus mengenai tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomis. Dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengatur adanya ketentuan pidana yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 46 yang menentukan korporasi dapat dijadikan sebagai subyek hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya apabila melakukan tindak pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan hidup dewasa ini menjadi hal yang serius dan semakin membutuhkan perhatian yang lebih serius dari pemerintah. Di Indonesia kesadaran untuk memelihara kebersihan lingkungan hidup masih kurang, padahal keteledoran ini dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan bagi kehidupan manusia. Manusia dan lingkungan hidup pada hakekatnya dua komponen dalam satu bangunan yang saling menguatkan karena sejak lahir dan sampai akhir hayatnya manusia terlibat dalam dengan lingkungannya. Dengan arti kata bahwa manusia itu tidak akan pernah dapat memisahkan
K
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
diri dari lingkungannya dan akan selalu membutuhkan. Manusia saling bergantung pada lingkungannya, seperti mengambil makanan dari apa yang tumbuh dan hidup di darat dan di air, manusia menghirup oksigen dari udara, menggunakan batu bara, minyak bumi, dan bahan lainnya untuk menghasilkan energi ataupun untuk menjalankan industri demi menghasilkan barang-barang yang berguna untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan hidupnya. Jadi kehadiran lingkungan hidup itu sebenarnya amat penting dan menentukan bagi kehadiran dan kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu seberapa pun kita memandang benda-benda lingkungan dalam kelangsungan hidup kita, benda-benda lingkungan itu sangat penting artinya. Namun manusia terkadang tidak begitu menghargai benda-benda lingkungan dengan sungguh-sungguh. Misalnya memandang udara begitu sepele, karena benda tersebut tidak memiliki nilai ekonomis, justru benda lingkungan inilah yang paling berharga dan menentukan bagi hidup manusia. Bayangkan tanpa udara apakah manusia dan makhluk hidup lainnya dapat hidup. Bayangkan pula bila sistem lapisan udara sudah tercemar karena ulah manusia dipermukaan bumi (industri dan limbah karbon) dan kemudian
55
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh : Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H, M.H.
merusak lapisan udara tersebut, apakah tidak akan merusak kehidupan di bumi. Oleh karena itu dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya, manusia melakukan pengelolaan lingkungan hidup yang diawali dengan cara memanfaatkan berbagai sumber daya alam yang ada di lingkungannya untuk hidup1. Hal tersebut berkembang pesat sesuai dengan perkembangan kebutuhan manusia di bumi, sampai ketika manusia masuk pada tahap perkembangan baru dalam sejarah. Namun bagaimana mungkin lingkungan hidup itu mampu menunjang pembangunan, jika lingkungan hidup tercemar oleh hasil sampingan dari kegiatan produksi sedangkan pada hakekatnya pembangunan merupakan upaya sadar yang diambil untuk mengubah keadaan di masa depan. Di sisi lain kegiatan yang menunjang ekonomi seperti konsumsi untuk memenuhi kebutuhan hidup dan transportasi sebagai tulang punggung aktifitas ekonomi justru merupakan masalah yang serius bagi ekologi, yaitu menyebabkan timbulnya pencemaran. Dalam Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain kedalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya 2 . Oleh karenanya bagaimanapun juga pencemaran lingkungan akan sangat merugikan manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Wisnu Arya Wardana menyebutkan bahwa kerugian secara langsung apabila pencemaran lingkungan tersebut secara cepat dan langsung dapat dirasakan akibatnya oleh manusia, sedangkan kerugian secara tidak langsung adalah apabila akibat pencemaran tersebut lingkungan menjadi rusak sehingga daya dukung alam terhadap lingkungan manusia menjadi berkurang.
Keadaan akan menjadi lebih parah lagi kalau daya dukung alam sudah tidak ada lagi bagi kelangsungan hidup manusia. Bila hal itu terjadi maka hal itu berarti malapetaka bagi umat manusia.3 Korporasi yang bergerak di bidang usaha sangatlah rentan dengan persoalan pencemaran lingkungan, karena kegiatan industri yang dilakukan korporasi tidak saja membawa dampak yang positif bagi perekonomian tetapi juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Bagi korporasi yang usahanya melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan sulit untuk diterapkan hukum pidana terkait pertanggungjawaban pidananya. Salah satunya adalah saat permasalahan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT. Newmont di Sulawesi Utara. Sementara banyak aparat penegak hukum dalam prakteknya di lapangan masih mengalami kendala dalam hal menerapkan Undang-undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, khususnya masalah pertanggungjawaban pidana korporasi terhadap tindak pidana lingkungan hidup merupakan masalah baru dalam hukum pidana. Bertitik tolak dari hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam bentuk makalah dengan judul “TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP”.
1. Andi Hamza , Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta : Sapta Arta Jaya, 1997), hal.3. 2. Indonesia, Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, L.N. No. 68
Tahun 1997, T.L.N. 3699, pasal 1 butir 12. 3. Wisnu Arya Wardhana, Dampak pencemaran Lingkungan, (Yogyakarta : Andi Offset, 1995), hal 159160.
56
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka permasalahan yang timbul adalah : 1. Apa yang dimaksud dengan pertanggungjawaban pidana korporasi? 2. Bagaimana sistematika pertanggungjawaban pidana terhadap tindak pidana pencemaran lingkungan hidup? C. Kerangka Teoritis Dalam perkembangan hukum pidana kini,
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh : Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H, M.H.
subyek pidana dikaitkan dengan delik korporasi. Delik korporasi di dalam terminologi Inggris disebut corporate crime. Dalam bahasa Indonesia disebut secara beragam berupa kejahatan korporasi, delik korporasi, pidana korporasi4. Delik korporasi merupakan suatu delik lain dari delik individual, yang secara konvensional telah lama dikenal dalam hukum pidana, dimana sebagai pelakunya adalah korporasi. Sebelum membicarakan masalah delik lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, perlu dibahas lebih dahulu tentang apa yang dimaksudkan dengan korporasi, apakah setiap kegiatan yang dijalankan secara usaha bisnis dapat dikaitkan sebagai korporasi atau perusahaan? Selanjutnya bagaimana jika perusahaan terlibat langsung melakukan kejahatan, dapatkah perusahaan tersebut dipertanggungjawabkan, sama halnya dengan individu/person yang bisa dipidana. Menurut Nygh dan Butt korporasi diartikan sebagai berikut : “a legal creted by charter, prescription, or legislation. The fundamental difference between a corporation and other business entities is that the law treats a corporation as a separate legal person.5 Dengan demikian, ada suatu ketentuan peraturan atau anggaran dasar, piagam dan semacamnya dalam bentuk akta (tertulis) yang mendasari berdirinya suatu perusahaan. Perbedaan pokok dengan badan usaha lainnya, adalah bahwa hukum memberlakukan suatu korporasi sebagai sebuah badan hukum yang terpisah. Masih berkaitan dengan pengertian diatas, secara hukum dikenal pula dengan korporasi. Berbagai literatur menghubungkan keberadaan korporasi dengan suatu status hukum tertentu. Gerry Bates dan Zada Lipman mengartikan hal itu, sebagaimana dikatakan bahwa Suatu usaha yang disebut dengan korporasi, dibentuk dengan pendaftaran di bawah Undang-undang korporasi. Jelaslah korporasi dikualifikasikan sebagai subjek tindak pidana, dan dapat dipertanggungjawabkan di samping orang (pengurus). Dengan
4. N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, (Jakarta : Pancuran Alam, 2008) hal 376. 5. Ibid
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
demikian criminal liability dapat dibebankan baik kepada direksi, pengurus, atau pemimpin suatu perusahaan maupun juga terhadap person pemberi perintah dari perusahaan itu. Pencemaran ini berangkat dari kemampuan korporasi melakukan tindak pidana dan kemampuan korporasi untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. Dari uraian tersebut dapat dikatakan, bahwa delik korporasi adalah delik dimana perusahaan dipandang sebagai satu kesatuan (entity) yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai pelaku tindak pidana. D. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : BAB I Pendahuluan. Terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, kerangka teoritis dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka tentang pertanggungjawaban pidana korporasi. Terdiri dari pengertian pertanggungjawaban pidana dan peraturan yang mengatur lingkungan hidup. BAB III Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Bab ini akan dibahas tentang sistematika pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup dan Analisis yuridis penerapan pasal 46 Undang-Undang nomor 23 tahun 1997. BAB IV Penutup. Terdiri dari kesimpulan dan saran. TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI A. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana atau toerekenbaarheid atau criminal responsibility atau criminal liability, pada hakikatnya adalah pertanggungjawaban dalam hukum pidana untuk menentukan apakah seorang tersangka/terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi. Berbicara masalah pertanggung-
57
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh : Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H, M.H.
jawaban pidana, ternyata sampai saat ini dalam kajian teori hukum pidana, masih terdapat dua pandangan atau aliran, yaitu aliran monoistis dan dualistis. Pandangan atau aliran monoistis antara lain diikuti oleh Prof Simons, yang merumuskan: strafbaar feit sebagai eene strafbaar gestelde onrechtmatige, met schuld in verband staande handeling van een torekeningvatbaar persoon (suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukum, dialakukan oleh seseorang yang bersalah dan orang itu dianggap bertanggungjawab atas perbuatannya).6 Menurut aliran monoistis unsur-unsur Strafbaar Feit itu berupa tindakan yang dilarang/ diharuskan, akibat keadaan/masalah tertentu, yang lazim disebut unsur obyektif maupun yang berupa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari petindak yang lazim dinamakan unsur subyektif. Oleh karena dicampurnya unsur tindakan dan unsur petindaknya, maka dapatlah disimpulkan Strafbaar Fiet ini adalah sama dengan syarat-syarat penjatuhan pidana, sehingga seolah-olah dianggap bahwa kalau terjadi Strafbaar Feit, maka pasti pelakunya dapat dipidana. 7 Oleh karena itu penganut aliran monoistis berpendapat bahwa unsur-unsur kesalahan yang menyangkut perbuatan pidana meliputi : 1. Kemampuan bertanggungjawab; 2. Kesalahan dalam arti luas, sengaja dan/atau kealpaan 3. Tidak adanya alasan pemaaf.8 Sedangkan pandangan dualistis dianut pertama kali oleh Hermann Kantorowicz. Pandangan ini menentang kebenaran pendirian mengenai kesalahan yang ketika itu berkuasa, yang beliau namakan Obyektif Schuld. Yaitu untuk adanya syarat-syarat penjatuhan pidana terhadap pembuat, diperlukan lebih dahulu pembuktian adanya perbuatan pidana lalu sesudah itu dibuktikan kesalahan subyektif pembuat. Karena kesalahan subyektif pembuat
baru ada setelah dibuktikan adanya perbuatan pidana atau sifat melawan hukumnya perbuatan dan tidak mungkin adanya unsur kesalahan tanpa adanya sifat melawan hukumnya perbuatan. Pandangan tersebut kemudian dianut oleh Prof. Moeljatno, beliau merumuskan oleh karena itu, syarat-syarat untuk adanya pidana yang umumnya tanpa dipikirkan dengan jelas dan sistematis. Istilah pertanggungjawaban berasal dari kata majemuk tanggung jawab yang artinya adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu hal, boleh dituntut, dipermasalahkan, diperkarakan dan sebagainya.9 Kemampuan bertanggungjawab didasarkan pada keadaan dan kemampuan jiwa, bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikir dari seseorang. Mengenai rumusan kemampuan bertanggungjawab dalam memori penjelasannya menyebutkan mengenai pengertian kemampuan bertanggugjawab itu sebagai berikut : 1. Dalam hal pembuat tidak diberi kemerdekaan memilih antara berbuat atau tidak berbuat apa yang oleh Undang-undang dilarang atau diperintah dengan kata lain dalam hal perbuatan yang dipaksa. 2. Dalam hal pembuat ada didalam suatu keadaan tertentu sehingga ia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum dan ia tidak mengerti akibat perbuatannya itu karena gila, pikiran tersesat dan sebagainya. Dalam KUHP ketentuan yang menunjukan kearah kemampuan bertanggungjawab ialah dalam buku I Bab III, Vide pasal 44 ayat 1 KUHP.10
6. Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. (Bandung : STHB, 1991), Hal 50. 7. SR. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta : Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1996), Hal 202.
8. A.Z Abidin, Bunga Rampai Hukum Pidana, (Jakarta : Pradya Paramita, 1983), hal 46. 9. Muladi dan Dwijaprianto, Op.cit. Hal 50 10. E. Utrecht, Hukum Pidana I, CET 1 (Surabaya : Pustaka Tinta Mas, 1986), hal 292.
58
B. Peraturan Mengenai Tindak Pidana Lingkungan Hidup Di dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, mengenai tindak pidana pencemaran diatur dalam beberapa pasal yaitu pasal 41-44, jo pasal 1 ke 12 dan 14 serta pasal 48. Dari rumusan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh : Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H, M.H.
pasal-pasal tersebut maka perbuatan yang dianggap sebagai tindak pidana dalam Undangundang Pengelolaan Lingkungan Hidup ini adalah: 1. Perbuatan pencemaran lingkungan hidup 2. Perbuatan perusakan lingkungan hidup 3. Perbuatan lain yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya berkaitan dengan perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, menurut pasal 50 Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan, pada saat berlakunya Undang-Undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan undangundang ini. Dengan demikian berdasarkan pasal 50 Undang-Undang tentang Pengeloalaan Lingkungan Hidup ini, maka peraturan perundangundangan lain yang mengatur mengenai lingkungan hidup meliputi peraturan perundangundangan yang ada sebelum kemerdekaan dan peraturan yang ada setelah kemerdekaan, masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Undang-undang ini. Adapun yang mengatur mengenai tindak pidana korporasi dalam lingkungan hidup diatur dalam pasal 46. Dalam pasal 46 ayat 1 menentukan bahwa jika tindak pidana dilakukan atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, dan atau organisasi lain, tuntutan, sanksi pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan kepada badan hukum, perseroan, yayasan dan seterusnya. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 1997 A. Sistematika Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Ada sementara pihak yang menafsirkan bahwa jika suatu perbuatan dilakukan oleh atau atas nama perusahaan, maka sanksi pidana yang
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
dijatuhkan adalah denda yang diperberat dengan sepertiga (pasal 45 UUPLH 1997) dan tidak lagi dikenakan sanksi lainnya (pasal 41 hingga pasal 44) dapat dijatuhkan, baik kepada perusahaan maupun terhadap mereka yang memberi perintah. Perusahaan dikenakan hukuman dengan denda yang diperberat sepertiga (pasal 45) akan tetapi subyek, yakni orang yang memberi perintah dikenakan sanksi pidana sesuai yang ditentukan pasal 41 hingga pasal 44. Disini sepertinya memang berlaku double sanctioning, namun hal tersebut dapat ditempuh sebagai langkah detterent untuk mengantisipasi ancaman kerusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan. Konsekuensi penerapan ketentuan tentang tanggungjawab korporasi ini harus benar-benar dipahami oleh para pengusaha, sehingga harus berhati-hati dalam mengelola perusahaannya agar tidak melakukan perbuatan yang mengakibatkan pengusaha dikenakan pidana penjara, di samping perusahaannya dikenakan denda, karena telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan lainnya. Akan tetapi kendalanya adalah bahwa pertanggungjawaban pidana korporasi dalam lingkungan hidup ini sulit diterapkan dalam prakteknya karena dalam hal kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan pasal 183 dan pasal 184 KUHAP. Disamping itu pembuktian unsur hubungan kausal merupakan kendala tersendiri. Pencemaran lingkungan sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber pencemaran, terutama yang sifatnya kimiawi. Sehubungan dengan kasus lingkungan mengenai pencemaran lingkungan misalnya, dalam hal penyidik atau penyelidik menerima laporan dari masyarakat atau dari seseorang tentang adanya suatu perbuatan tindak pidana yang terjadi dengan adanya tanda-tanda pencemaran air sungai misalnya, penyelidik wajib melakukan pemeriksaan terhadap sumber air yang diduga telah tercemar akibat perbuatan
59
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh : Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H, M.H.
seseorang. Dalam hal telah ditemukan bukti awal adanya kecenderungan telah terjadi tindak pidana pencemaran lingkungan hal tersebut perlu ditindak lanjuti. Hukum lingkungan yang relatif masih baru dan muda di Indonesia, sehingga terdapat kecenderungan masih belum dapat dipahami dengan baik sehingga menimbulkan berbagai masalah dan kendala dalam penegakannya. Kesiapan penyidik dalam melakukan penyidikan juga ditentukan oleh seberapa banyak atau seberapa jauh pengertian dan pemahaman terhadap materi hukum terutama hukum lingkungan. Pengertian dan pemahaman relatif baik akan mempengaruhi kemampuan penyidik dalam menangani kasus lingkungan hidup. Sehingga dapat menentukan apakah suatu kasus yang terjadi merupakan kasus pidana atau bukan sehingga dapat bertindak efisien dan tidak membuang-buang energi, tenaga dan biaya karena pada akhirnya yang ditangani itu merupakan pelanggaran administrasif belaka. Dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan lingkungan hidup, mengatur adanya ketentuan pidana yang berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana orang atau manusia dan korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan 46, yang menentukan bahwa korporasi dapat dijadikan subyek hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya apabila melakukan tindak pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Dengan demikian jelaslah bahwa korporasi adalah salah satu subyek hukum di samping orang atau manusia, oleh karenanya korporasi dapat dituntut dan dijatuhi sanksi pidana apabila melakukan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Pembenaran pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat didasarkan atas hal-hal sebagai berikut : 1. Atas dasar falsafah integralistik yakni sebagai sesuatu hendaknya diukur atas dasar keseimbangan, keselarasan dan keserasian, antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. 2. Atas dasar kekeluargaan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945
60
3. Untuk memberantas sukses tanpa aturan 4. Untuk perlindungan konsumen 5. Untuk kemajuan teknologi.11 Selanjutnya konsep pertanggungjawaban pidana dari suatu korporasi dikonstruksikan melalui pengurus korporasi sehingga unsur kesalahan sebagai asas dalam pemidanaan berlaku pula dalam mempertanggungjawabkan korporasi. Syarat harus adanya kesalahan bagi sebuah korporasi agar dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya adalah hal yang sulit dalam pembuktian unsur kesalahan dalam mempertanggungjawabkan korporasi. Begitu juga halnya dengan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam tindak pidana lingkungan hidup. B. Analisis Yuridis Penerapan Pasal 46 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Perjalanan Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaannya tidaklah mudah, sebab pencemaran yang dilakukan oleh korporasi tetap saja terjadi. Oleh karena itu, menjadi suatu masalah yang dilematis bagi pemerintah dalam penegakan hukum lingkungan yang berkaitan dengan korporasi ini, di mana korporasi sulit sekali untuk dimintai pertanggungjawaban pidana. Sangat disadari bahwa terkadang teori dan praktek tidaklah sama seperti yang diharapkan, karena masih banyak pelaku usaha yang tidak mengindahkan aturan-aturan hukum yang ada. Hal ini terbukti pada makin maraknya permasalahan yang timbul karena masalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, khususnya yang diakibatkan oleh efek samping dari kegiatan korporasi. Karena dewasa ini korporasi yang bergerak dibidang usaha sangatlah rentan dengan persoalan pencemaran lingkungan, sebab kegiatan usaha yang dilakukan oleh korporasi tidak saja membawa dampak yang positif bagi perekonomian tetapi juga dapat memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Sampai saat ini dalam prakteknya, aparat
11. Hamza Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Cet 1 (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hal 36
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh : Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H, M.H.
penegak hukum masih mengalami kendala dalam hal menerapkan Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 khususnya masalah pertanggungjawaban pidana korporasi, yang termasuk hal baru dalam hukum pidana. Kebanyakan pelanggaran hukum lingkungan yang merugikan masyarakat hanya ditindak secara administarasi melalui pencabutan izin usaha oleh pihak yang mengeluarkan izin, sedangkan pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi belum membuahkan hasil hasil yang maksimal, kalaupun ada hanya sebatas individu saja yang dimintai pertanggungjawaban pidananya. Selanjutnya ketentuan pasal 46 ayat 1 Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 menyatakan bahwa : “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya”. Berdasarkan uraian tersebut, Satjipto Raharjo berpendapat bahwa, korporasi adalah suatu badan hasil ciptaan hukum. Badan yang diciptakan itu terdiri dari Corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalam hukum memasukan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai kepribadian.12 Sementara itu rumusan korporasi menurut Van Bemmelen bahwa korporasi didefinisikan termasuk semua badan hukum khusus dan umum (maksudnya badan hukum privat dan badan hukum publik), perkumpulan, yayasan, pendeknya semua perseorangan yang tidak bersifat alamiah.13 Selanjutnya Sukardono berpendapat bahwa, Korporasi adalah suatu perserikatan yang bercorak khusus mengenai tujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomis.14
Dengan demikian, pengertian mengenai korporasi dari ketentuan perundang-undangan khususnya diluar KUHP lebih luas pengertiannya bila dibandingkan dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata yang hanya mendefinisikan korporasi adalah badan hukum. Sedangkan korporasi dalam hukum pidana bisa berbentuk badan hukum atau non badan hukum. Dalam hukum pidana disebutkan bahwa apabila suatu korporasi melakukan tindak pidana ada tiga kemungkinan yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya yaitu : 1. Pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab. 2. Korporasi sebagai pembuat dan pengurus bertanggung jawab 3. Korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggung jawab. Mengenai kapan korporasi itu dapat dikatakan melakukan tindak pidana menurut pasal 46 ayat 2 disebutkan : “Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orangorang, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasar hubungan kerja maupun berdasar hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama”. Dari bunyi pasal ini dapat diartikan, bahwa korporasi dapat melakukan tindak pidana, bila ada orang yang berdasarkan hubungan kerja dilingkungan korporasi itu melakukan tindak pidana. Jika pengurus melakukan tindakan baik kesengajaan ataupun karena kelalaiannya menyebabkan tercemarnya lingkungan, sedangkan tindakannya tersebut sesuai
12. Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, (bandung : Alumni, 1986), hal 111 13. Muladi dan Dwidja Priyatno, Op. Cit., hal 20.
14. C.S.T Kansil Pokok-pokok Pengatahuan Hukum Dagang Indonesia, Cet .1,(Jakarta :Aksara Baru. 1979), hal 74
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
61
Tinjauan Yuridis Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup Oleh : Kapten Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H, M.H.
kebijakan usaha korporasi, maka bagi pengurus tetap dapat dipertanggungjawabkan, karena telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Oleh karena itu Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup ini diharapkan dapat menanggulangi masalah khususnya berkaitan dengan pertanggung jawaban pidana korporasi terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian tersebut diatas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Pertanggungjawaban pidana korporasi sebagaimana diatur dalam pasal 45 dan pasal 46 Undang–Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengeloalaan Lingkungan Hidup menentukan bahwa korporasi dapat dijadikan subyek hukum yang dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya apabila melakukan tindak pidana pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup. 2. Sistematika pertanggungjawaban orang pribadi dalam hukum pidana berdasarkan ketentuan pasal 55 KUHP, adalah orang yang melakukan; orang yang menyuruh melakukan; orang yang turut serta melakukan dan orang yang membujuk melakukan. Sedangkan diluar KUHP ada korporasi yang juga dapat dipertanggungjawabkan apabila melakukan tindak pidana. Dalam Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 pasal 46 disebutkan bahwa penguruslah yang harus bertanggungjawab apabila korporasi tersebut melakukan tindak pidana.
tegas dan jelas konsep pertanggungjawaban pidana korporasi. Meskipun pertanggungjawaban pidana korporasi termasuk hal yang baru dalam hukum pidana, sebaiknya aparat penegak hukum untuk menentukan siapa saja yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh korporasi berpedoman dengan peraturan perundangundangan yang ada. Hal ini untuk menghindarkan tindakan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dan memberikan kepastian hukum. 2. Perlu dibuat suatu pelatihan khusus dalam penegakan hukum lingkungan bagi aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan minimnya pemahaman hukum dan kemampuan untuk melaksanakan Undang-Undang nomor 23 tahun 1997.
B. Saran 1. Demi memberikan kepastian hukum khususnya berkaitan dengan masalah tindak pidana pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi, sebaiknya aparat penegak hukum berpedoman pada Undang-Undang nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, karena di dalamnya telah diatur secara
62
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa Presiden Republik Indonesia, Menimbang : a. bahwa untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum, negara berkewajiban melaksanakan pembangunan hukum nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin pelindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan; c. bahwa dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik sehingga perlu diganti; d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
63
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
MEMUTUSKAN : Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN.
9.
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 10. Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Pembentukan Peraturan Perundangundangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. 2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. 3. Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. 4. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang adalah Peraturan Perundangundangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. 5. Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya. 6. Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. 7. Peraturan Daerah Provinsi adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur. 8. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota adalah
64
11.
12.
13.
14.
15.
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dengan persetujuan bersama Bupati/Walikota. Program Legislasi Nasional yang selanjutnya disebut Prolegnas adalah instrumen perencanaan program pembentukan UndangUndang yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan UndangUndang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat. Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, atau Berita Daerah. Materi Muatan Peraturan Perundangundangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dewan Perwakilan Daerah yang selanjutnya disingkat DPD adalah Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Indonesia Tahun 1945. 16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 2 Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Pasal 3 (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam Peraturan Perundangundangan. (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (3) Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya. Pasal 4 Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi UndangUndang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya. BAB II ASAS PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 5 Dalam membentuk Peraturan Perundangundangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan; e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Pasal 6 (1) Materi muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan asas : a. pengayoman; b. kemanusiaan; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. (2) Selain mencerminkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. BAB III JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 7 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundangundangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. (2) Kekuatan hukum Peraturan Perundangundangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
65
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Pasal 9 (1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. (2) Dalam hal suatu Peraturan Perundangundangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Pasal 10 (1) Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh DPR atau Presiden.
66
Pasal 11 Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-Undang. Pasal 12 Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya. Pasal 13 Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Pasal 14 Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 15 (1) Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam: a. Undang-Undang; b. Peraturan Daerah Provinsi; atau c. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota. (2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c berupa ancaman pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). (3) Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dapat memuat ancaman pidana kurungan atau pidana denda selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan lainnya.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
BAB IV PERENCANAAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN Bagian Kesatu Perencanaan Undang-Undang Pasal 16 Perencanaan penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam Prolegnas. Pasal 17 Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 merupakan skala prioritas program pembentukan Undang-Undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Pasal 18 Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang-Undang didasarkan atas: a. perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. perintah Undang-Undang lainnya; d. sistem perencanaan pembangunan nasional; e. rencana pembangunan jangka panjang nasional; f. rencana pembangunan jangka menengah; g. rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR; dan h. aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Pasal 19 (1) Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 memuat program pembentukan Undang-Undang dengan judul Rancangan Undang-Undang, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundangundangan lainnya. (2) Materi yang diatur dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Undang-Undang yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; dan c. jangkauan dan arah pengaturan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
(3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.
(1) (2)
(3)
(4)
(5)
Pasal 20 Penyusunan Prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan UndangUndang. Penyusunan dan penetapan Prolegnas jangka menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR sebagai Prolegnas untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Prolegnas jangka menengah dapat dievaluasi setiap akhir tahun bersamaan dengan penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan. Penyusunan dan penetapan Prolegnas prioritas tahunan sebagai pelaksanaan Prolegnas jangka menengah dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 21 (1) Penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat. (4) Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan DPR.
67
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 22 (1) Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) disepakati menjadi Prolegnas dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR. (2) Prolegnas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPR. Pasal 23 (1) Dalam Prolegnas dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas: a. pengesahan perjanjian internasional tertentu; b. akibat putusan Mahkamah Konstitusi; c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; d. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota; dan e. penetapan/pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (2) Dalam keadaan tertentu, DPR atau Presiden dapat mengajukan Rancangan UndangUndang di luar Prolegnas mencakup: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; dan b. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Bagian Kedua Perencanaan Peraturan Pemerintah
Pasal 25 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 memuat daftar judul dan pokok materi muatan Rancangan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Pasal 26 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (2) Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Pasal 27 Rancangan Peraturan Pemerintah berasal dari kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian sesuai dengan bidang tugasnya. Pasal 28 (1) Dalam keadaan tertentu, kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengajukan Rancangan Peraturan Pemerintah di luar perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah. (2) Rancangan Peraturan Pemerintah dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat berdasarkan kebutuhan Undang-Undang atau putusan Mahkamah Agung. Pasal 29 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 24 Perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Pemerintah.
68
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Bagian Ketiga Perencanaan Peraturan Presiden Pasal 30 Perencanaan penyusunan Peraturan Presiden dilakukan dalam suatu program penyusunan Peraturan Presiden. Pasal 31 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Perencanaan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 32 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam Prolegda Provinsi. Pasal 33 (1) Prolegda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. (2) Materi yang diatur serta keterkaitannya dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi: a. latar belakang dan tujuan penyusunan; b. sasaran yang ingin diwujudkan; c. pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan d. jangkauan dan arah pengaturan. (3) Materi yang diatur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik. Pasal 34 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi dilaksanakan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
oleh DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi. (2) Prolegda Provinsi ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) tahun berdasarkan skala prioritas pembentukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi. (3) Penyusunan dan penetapan Prolegda Provinsi dilakukan setiap tahun sebelum penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. Pasal 35 Dalam penyusunan Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), penyusunan daftar rancangan peraturan daerah provinsi didasarkan atas: a. perintah Peraturan Perundang-undangan lebih tinggi; b. rencana pembangunan daerah; c. penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan; dan d. aspirasi masyarakat daerah. Pasal 36 (1) Penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh DPRD Provinsi melalui alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal terkait. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan DPRD Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Prolegda Provinsi di lingkungan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.
69
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 37 (1) Hasil penyusunan Prolegda Provinsi antara DPRD Provinsi dan Pemerintah Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) disepakati menjadi Prolegda Provinsi dan ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPRD Provinsi. (2) Prolegda Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan DPRD Provinsi.
Pasal 41 Dalam Prolegda Kabupaten/Kota dapat dimuat daftar kumulatif terbuka mengenai pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Kecamatan atau nama lainnya dan/atau pembentukan, pemekaran, dan penggabungan Desa atau nama lainnya.
Pasal 38 (1) Dalam Prolegda Provinsi dapat dimuat daftar kumulatif terbuka yang terdiri atas : a. akibat putusan Mahkamah Agung; dan b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi. (2) Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi: a. untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; b. akibat kerja sama dengan pihak lain; dan c. keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.
Pasal 42 (1) Perencanaan penyusunan Peraturan Perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) merupakan kewenangan dan disesuaikan dengan kebutuhan lembaga, komisi, atau instansi masing-masing. (2) Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga, komisi, atau instansi masing-masing untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Bagian Kelima Perencanaan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota Pasal 39 Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dilakukan dalam Prolegda Kabupaten/Kota. Pasal 40 Ketentuan mengenai perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 38 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perencanaan penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
70
Bagian Keenam Perencanaan Peraturan Perundangundangan Lainnya
BAB V PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN Bagian Kesatu Penyusunan Undang-Undang Pasal 43 (1) Rancangan Undang-Undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berasal dari DPD. (3) Rancangan Undang-Undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD harus disertai Naskah Akademik. (4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak berlaku bagi Rancangan UndangUndang mengenai : a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; b. penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi UndangUndang; atau c. pencabutan Undang-Undang atau pen-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
cabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. (5) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Pasal 44 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 45 (1) Rancangan Undang-Undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta Rancangan Undang-Undang yang diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. (2) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 46 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan UndangUndang yang berasal dari DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Undang-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan DPR. Pasal 47 (1) Rancangan Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non kementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. (2) Dalam penyusunan Rancangan UndangUndang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian terkait membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. (3) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan UndangUndang yang berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan UndangUndang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 48 Rancangan Undang-Undang dari DPD disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR dan harus disertai Naskah Akademik. Usul Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi untuk dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang. Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang dapat mengundang pimpinan alat kelengkapan DPD yang mempunyai tugas di bidang perancangan Undang-Undang untuk membahas usul Rancangan UndangUndang. Alat kelengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menyampaikan laporan tertulis
71
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mengenai hasil pengharmonisasian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pimpinan DPR untuk selanjutnya diumumkan dalam rapat paripurna. Pasal 49 (1) Rancangan Undang-Undang dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. (2) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas Rancangan UndangUndang bersama DPR dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima. (3) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengoordinasikan persiapan pembahasan dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 50 (1) Rancangan Undang-Undang dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. (2) Surat Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang bersama DPR. (3) DPR mulai membahas Rancangan UndangUndang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak surat Presiden diterima. (4) Untuk keperluan pembahasan Rancangan Undang-Undang di DPR, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa memperbanyak naskah Rancangan Undang-Undang tersebut dalam jumlah yang diperlukan.
Bagian Kedua Penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7) Pasal 51 Apabila dalam satu masa sidang DPR dan Presiden menyampaikan Rancangan UndangUndang mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Undang-Undang yang disampaikan oleh DPR dan Rancangan Undang-Undang yang disampaikan Presiden digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan.
72
(8)
Pasal 52 Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut. Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi UndangUndang. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), DPR atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) mengatur segala akibat hukum dari pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan menjadi Undang-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dalam rapat paripurna yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (5). Pasal 53 Ketentuan mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Ketiga Penyusunan Peraturan Pemerintah Pasal 54 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau lembaga pemerintah non-kementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Pemerintah dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/ atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah diatur dengan Peraturan Presiden. Bagian Keempat Penyusunan Peraturan Presiden Pasal 55 (1) Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, pemrakarsa membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan panitia antarkementerian dan/ atau antarnonkementerian, pengharmonisasian, penyusunan, dan penyampaian
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Rancangan Peraturan Presiden diatur dalam Peraturan Presiden. Bagian Kelima Penyusunan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 56 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat berasal dari DPRD Provinsi atau Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah Akademik. (3) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; b. pencabutan Peraturan Daerah Provinsi; atau c. perubahan Peraturan Daerah Provinsi yang hanya terbatas mengubah beberapa materi, disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur. Pasal 57 (1) Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Naskah Akademik. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Naskah Akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. Pasal 58 (1) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari DPRD Provinsi dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur dikoordinasikan oleh biro hukum dan dapat mengikutsertakan instansi vertikal dari
73
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 59 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang berasal dari Gubernur diatur dengan Peraturan Presiden. Pasal 60 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi, atau alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan DPRD Provinsi. Pasal 61 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disiapkan oleh DPRD Provinsi disampaikan dengan surat pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah yang telah disiapkan oleh Gubernur disampaikan dengan surat pengantar Gubernur kepada pimpinan DPRD Provinsi. Pasal 62 Apabila dalam satu masa sidang DPRD Provinsi dan Gubernur menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi mengenai materi yang sama, yang dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh DPRD Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang disampaikan oleh Gubernur digunakan sebagai bahan untuk dipersandingkan. Bagian Keenam Penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota Pasal 63 Ketentuan mengenai penyusunan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam
74
Pasal 56 sampai dengan Pasal 62 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. BAB VI TEKNIK PENYUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Pasal 64 (1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundangundangan. (2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini. (3) Ketentuan mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundangundangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. BAB VII PEMBAHASAN DAN PENGESAHAN RANCANGAN UNDANG-UNDANG Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Undang-Undang Pasal 65 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah; c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d. pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD. (3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
pada pembicaraan tingkat I. (4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan Undang-Undang yang dibahas. (5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
(3)
Pasal 66 Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan. (4) Pasal 67 Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 terdiri atas: a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. (5) Pasal 68 (1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: a. pengantar musyawarah; b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan c. penyampaian pendapat mini. (2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a: a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan UndangUndang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari DPR; c. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
(6)
Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden; atau d. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika Rancangan Undang-Undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) berasal dari Presiden. Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh: a. Presiden jika Rancangan Undang-Undang berasal dari DPR; atau b. DPR jika Rancangan Undang-Undang berasal dari Presiden dengan mempertimbangkan usul dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2). Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh: a. fraksi; b. DPD, jika Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2); dan c. Presiden. Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf d dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan. Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi Rancangan Undang-Undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
Pasal 69 (1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna dengan kegiatan: a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I; b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap- tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat
75
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
paripurna; dan c. penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi. (2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. (3) Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, Rancangan Undang-Undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Pasal 70 (1) Rancangan Undang-Undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR dan Presiden. (2) Rancangan Undang-Undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan UndangUndang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan DPR. Pasal 71 (1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang. (2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dilaksanakan melalui mekanisme khusus yang dikecualikan dari mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang. (3) Ketentuan mengenai mekanisme khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan tata cara sebagai berikut: a. Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diajukan oleh DPR atau Presiden; b. Rancangan Undang-Undang tentang
76
Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf a diajukan pada saat Rapat Paripurna DPR tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang yang diajukan oleh Presiden; dan c. Pengambilan keputusan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan sebagaimana dimaksud dalam huruf b dilaksanakan dalam Rapat Paripurna DPR yang sama dengan rapat paripurna penetapan tidak memberikan persetujuan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut. Bagian Kedua Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pasal 72 (1) Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UndangUndang. (2) Penyampaian Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 73 (1) Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 disahkan oleh Presiden dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden. (2) Dalam hal Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui bersama, Rancangan UndangUndang tersebut sah menjadi UndangUndang dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Rancangan Undang-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Undang-Undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir UndangUndang sebelum pengundangan naskah Undang-Undang ke dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pasal 74 (1) Dalam setiap Undang-Undang harus dicantumkan batas waktu penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut. (2) Penetapan Peraturan Pemerintah dan peraturan lainnya yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak atas perintah suatu Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB VIII PEMBAHASAN DAN PENETAPAN RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA Bagian Kesatu Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi
(1)
(2)
(3)
(4)
Pasal 75 Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama Gubernur. Pembahasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. Pasal 76 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penarikan kembali Rancangan Peraturan Daerah Provinsi diatur dengan Peraturan DPRD Provinsi. Bagian Kedua Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 77 Ketentuan mengenai pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dan Pasal 76 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembahasan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Bagian Ketiga Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi Pasal 78 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi. (2) Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama. Pasal 79 (1) Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78
77
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur. (2) Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditandatangani oleh Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan. (3) Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah. (4) Kalimat pengesahan yang berbunyi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam Lembaran Daerah. Bagian Keempat Penetapan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 80 Ketentuan mengenai penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penetapan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. BAB IX PENGUNDANGAN Pasal 81 Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam: a. Lembaran Negara Republik Indonesia; b. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia;
78
c. d. e. f. g.
Berita Negara Republik Indonesia; Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; Lembaran Daerah; Tambahan Lembaran Daerah; atau Berita Daerah.
Pasal 82 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi: a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b. Peraturan Pemerintah; c. Peraturan Presiden; dan d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Pasal 83 Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia meliputi Peraturan Perundang-undangan yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 84 (1) Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (2) Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundangundangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia. Pasal 85 Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dan Pasal 83 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Pasal 86 (1) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (2) Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati/ Walikota diundangkan dalam Berita Daerah. (3) Pengundangan Peraturan Perundangundangan dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Pasal 87 Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. BAB X PENYEBARLUASAN Bagian Kesatu Penyebarluasan Prolegnas, Rancangan Undang-Undang, dan Undang-Undang Pasal 88 (1) Penyebarluasan dilakukan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan Rancangan Undang-Undang, pembahasan Rancangan Undang-Undang, hingga Pengundangan Undang-Undang. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat serta para pemangku kepentingan. Pasal 89 (1) Penyebarluasan Prolegnas dilakukan bersama oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan Rancangan UndangUndang yang berasal dari DPR dilaksanakan oleh komisi/panitia/badan/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. (3) Penyebarluasan Rancangan Undang-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang yang berasal dari Presiden dilaksanakan oleh instansi pemrakarsa. Pasal 90 (1) Penyebarluasan Undang-Undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama-sama oleh DPR dan Pemerintah. (2) Penyebarluasan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh DPD sepanjang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pasal 91 (1) Dalam hal Peraturan Perundang-undangan perlu diterjemahkan ke dalam bahasa asing, penerjemahannya dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. (2) Terjemahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan terjemahan resmi. Bagian Kedua Penyebarluasan Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Pasal 92 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan oleh DPRD dan Pemerintah Daerah sejak penyusunan Prolegda, penyusunan Rancangan Peraturan Daerah, pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, hingga Pengundangan Peraturan Daerah. (2) Penyebarluasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk dapat memberikan informasi dan/atau memperoleh masukan masyarakat dan para pemangku kepentingan.
79
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 93 (1) Penyebarluasan Prolegda dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota yang dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPRD yang khusus menangani bidang legislasi. (2) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari DPRD dilaksanakan oleh alat kelengkapan DPRD. (3) Penyebarluasan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah. Pasal 94 Penyebarluasan Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan dalam Lembaran Daerah dilakukan bersama oleh DPRD dan Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Bagian Ketiga Naskah yang Disebarluaskan Pasal 95 Naskah Peraturan Perundang-undangan yang disebarluaskan harus merupakan salinan naskah yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, Tambahan Lembaran Daerah, dan Berita Daerah. BAB XI PARTISIPASI MASYARAKAT Pasal 96 (1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan. (2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui: a. rapat dengar pendapat umum; b. kunjungan kerja; c. sosialisasi; dan/atau
80
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. (3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. (4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundangundangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 97 Teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini berlaku secara mutatis mutandis bagi teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Keputusan Pimpinan DPR, Keputusan Pimpinan DPD, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Ketua Komisi Yudisial, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, Keputusan Kepala Badan, Keputusan Kepala Lembaga, atau Keputusan Ketua Komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan DPRD Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan DPRD Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/ Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat. Pasal 98 (1) Setiap tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengikutsertakan Perancang Peraturan Perundang-undangan. (2) Ketentuan mengenai keikutsertaan dan pembinaan Perancang Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 99 Selain Perancang Peraturan Perundang-
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1), tahapan pembentukan UndangUndang, Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota mengikutsertakan peneliti dan tenaga ahli. BAB XIII KETENTUAN PENUTUP
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Pasal 100 Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/ Walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini. Pasal 101 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UndangUndang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
ttd DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 12 Agustus 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd PATRIALIS AKBAR
Pasal 102 Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 103 Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. Pasal 104 Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
81
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan I. UMUM Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan pelaksanaan dari perintah Pasal 22A UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan undangundang diatur lebih lanjut dengan undangundang.” Namun, ruang lingkup materi muatan Undang-Undang ini diperluas tidak saja UndangUndang tetapi mencakup pula Peraturan Perundang-undangan lainnya, selain UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan didasarkan pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum yang sesuai dengan sistem hukum nasional. Sistem hukum nasional merupakan hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya yang saling menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan
82
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan terhadap kelemahan-kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, yaitu antara lain: a. materi dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 banyak yang kerancuan atau multitafsir sehingga tidak memberikan suatu kepastian hukum; b. teknik penulisan rumusan banyak yang tidak konsisten; c. terdapat materi baru yang perlu diatur sesuai dengan perkembangan atau kebutuhan hukum dalam Pembentukan Peraturan Perundangundangan; dan d. penguraian materi sesuai dengan yang diatur dalam tiap bab sesuai dengan sistematika. Sebagai penyempurnaan terhadap Undang-Undang sebelumnya, terdapat materi muatan baru yang ditambahkan dalam UndangUndang ini, yaitu antara lain: a. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
b. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundangundangan lainnya; c. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; e. pengaturan mengenai keikut-sertaan Perancang Peraturan Perundangundangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan f. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini. Secara umum Undang-Undang ini memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan Peraturan Perundangundangan; perencanaan Peraturan Perundangundangan; penyusunan Peraturan Perundangundangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota; pengundangan Peraturan Perundang-Pundangan; penyebarluasan; partisipasi masyarakat dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan ketentuan lain-lain yang memuat mengenai pembentukan Keputusan Presiden dan lembaga negara serta pemerintah lainnya. Tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan dan penetapan, serta pengundangan merupakan Langkah-langkah yang pada dasarnya harus ditempuh dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, tahapan tersebut tentu dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan atau kondisi serta jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
tertentu yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-Undang ini, seperti pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, atau pembahasan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1). Selain materi baru tersebut, juga diadakan penyempurnaan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan beserta contohnya yang ditempatkan dalam Lampiran II. Penyempurnaan terhadap teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan dimaksudkan untuk semakin memperjelas dan memberikan pedoman yang lebih jelas dan pasti yang disertai dengan contoh bagi penyusunan Peraturan Perundangundangan, termasuk Peraturan Perundang-undangan di daerah. II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Penempatan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum negara adalah sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pasal 3 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “hukum dasar” adalah norma dasar bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang merupakan sumber hukum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
83
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 4 Cukup jelas. Pasal 5 Huruf a Yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundangundangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundangundangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundangundangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
84
Huruf f Yang dimaksud dengan “asas kejelasan rumusan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundangundangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 6 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberi-kan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Huruf b Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan pelindungan dan Penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Huruf c Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Huruf d Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan. Huruf e Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Huruf f Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Huruf g Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Huruf h Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Huruf i Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum. Huruf j Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundangundangan harus mencerminkan
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundangundangan yang bersangkutan”, antara lain : a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik. Pasal 7 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Termasuk dalam Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Provinsi Aceh dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) serta Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang berlaku di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.
85
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Huruf g Termasuk dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota adalah Qanun yang Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh. Ayat (2) Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “hierarki” adalah penjenjangan setiap jenis Peraturan Perundang-undangan yang didasarkan pada asas Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 8 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Peraturan Menteri” adalah peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaraan urusan tertentu dalam pemerintahan. Ayat (2) Yang dimaksud dengan “berdasarkan kewenangan” adalah penyelenggaraan urusan tertentu pemerintahan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan UndangUndang dengan persetujuan DPR. Huruf d Yang dimaksud dengan “tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi” terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi mengenai
86
pengujian Undang-Undang terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Materi muatan yang dibuat, terkait dengan ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang yang secara tegas dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum. Pasal 11 Cukup jelas. Pasal 12 Yang dimaksud dengan “menjalankan UndangUndang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan. Pasal 13 Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut perintah UndangUndang atau Peraturan Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Yang dimaksud dengan “sistem hukum nasional” adalah suatu sistem hukum yang berlaku di Indonesia dengan semua elemennya serta saling
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
menunjang satu dengan yang lain dalam rangka mengantisipasi dan mengatasi permasalahan yang timbul dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 18 Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan “Perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Pasal 19 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya yang vertical atau horizontal sehingga dapat
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan “menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum” adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Ayat (1) Huruf a Yang dimaksud dengan “perjanjian internasional tertentu” adalah perjanjian internasional yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau perjanjian tersebut mengharuskan perubahan atau pembentukan UndangUndang dengan persetujuan DPR. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas.
87
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 36 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “instansi vertikal terkait” antara lain instansi vertikal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 32 Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga agar produk Peraturan Daerah Provinsi tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional.
Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan “pengkajian dan penyelarasan” adalah proses untuk mengetahui keterkaitan materi yang akan diatur dengan Peraturan Perundangundangan lainnya yang vertical atau horizontal sehingga dapat mencegah tumpang tindih pengaturan atau kewenangan.
Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 45 Cukup jelas. Pasal 46
Pasal 34
Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 47 Pasal 35
Cukup jelas.
Cukup jelas.
88
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Penugasan menteri disertai penyampaian Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang telah disusun dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut. Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 50 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari tersebut, DPR telah menyelesaikan penyusunan DIM. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 52 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “persidangan yang berikut” adalah masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Pasal 62 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas.
89
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 76 Pasal 70 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyederhanakan mekanisme penarikan kembali Rancangan Undang-Undang.
Cukup jelas. Pasal 77 Cukup jelas. Pasal 78 Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas.
Pasal 71 Cukup jelas.
Pasal 80 Cukup jelas.
Pasal 72 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Tenggang waktu 7 (tujuh) hari dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden sampai dengan penandatanganan pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan penandatanganan sekaligus Pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Pasal 81 Dengan diundangkannya Peraturan Perundangundangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini, setiap orang dianggap telah mengetahuinya. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas. Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 75
Ayat (1) Dalam pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi di DPRD Provinsi, Gubernur dapat diwakilkan, kecuali dalam pengajuan dan pengambilan keputusan. Ayat (2) Cukup jelas.
90
Pasal 87 Berlakunya Peraturan Perundang-undangan yang tidak sama dengan tanggal Pengundangan dimungkinkan untuk persiapan sarana dan prasarana serta kesiapan aparatur pelaksana Peraturan Perundang-undangan tersebut.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 88 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegnas, Rancangan Undang-Undang yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Undang-Undang tersebut atau memahami Undang-Undang yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 89
Pasal 96 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Termasuk dalam kelompok orang antara lain, kelompok/organisasi masyarakat, kelompok profesi, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat adat. Ayat (4) Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “penyebarluasan” adalah kegiatan menyampaikan informasi kepada masyarakat mengenai Prolegda, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang sedang disusun, dibahas, dan yang telah diundangkan agar masyarakat dapat memberikan masukan atau tanggapan terhadap Peraturan Daerah tersebut atau memahami Peraturan Daerah Provinsi atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang telah diundangkan. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik dan/atau media cetak. Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 98 Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perancang Peraturan Perundang-undangan” adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak, secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan menyusun Rancangan Peraturan Perundangundangan dan/atau instrumen hukum lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102
Pasal 93
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
91
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5234
92
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Jurnal Hukum Militer
Berita Dalam Gambar
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
93
Berita Dalam Gambar
Pembukaan Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus STHM XVII
Jam Ketua STHM pada Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus
94
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Berita Dalam Gambar
Kegiatan Orientasi Program Studi dan Pengenalan Kampus STHM XVII
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
95
Berita Dalam Gambar
Kegiatan kunjungan ke PT. PINDAD (Persero) Bandung
96
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
Berita Dalam Gambar
STHM bekerjasama dengan UPN Veteran Jakarta mengadakan diskusi “Efektifitas dan Relevansi Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya”
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012
97
Berita Dalam Gambar
STHM bekerjasama dengan UPN Veteran Jakarta mengadakan diskusi “Efektifitas dan Relevansi Undang-Undang No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya”
98
Jurnal Hukum Militer/STHM/Vol.1/No.4/Februari 2012