PENDAHULUAN Serbia memiliki sejarah yang panjang, Serbia kala itu adalah kerajaan yang berdiri di bawah pengaruh Byzantium. Serbia dikenal sebagai bangsa yang berani memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan kegigihannya dalam melawan pihak-pihak asing terutama Turki Ottoman yang telah berabad-abad menguasai Serbia hingga berhasil merdeka pada tahun 1878 di bawah jamina Kongres Berlin1, selain itu dibuktikan pula keterlibatannya dalam beberapa peperangan besar seperti Perang Krim, Perang Balkan, Perang Dunia I, Perang Dunia II, bahkan perang saudara ketika terjadi disintegrasi Yugoslavia. Berdirinya Yugoslavia berawal dari inisiatif bangsa Serbia yang memiliki gagasan bertekad untuk mempersatukan seluruh bangsa Slavia Selatan ke dalam kerajaan besar yang dipimpin Serbia. Gagasan tersebut merupakan salah satu cita-cita nasional Serbia yang disebut gerakan “Serbia raya”. Hal ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap perjalanan sejarah Yugoslavia, karena Serbia menjadi pemimpin kerajaan Yugoslavia 1929-1941.2 Tentunya sangat berengaruh juga ketika terjadi disintegrasi Yugoslavia, Serbia berusaha keras agar Yugoslavia tetap utuh meskipun persatuannya harus diubah menjadi nasionalisme etnik Serbia. Periode 1943-1980 Josep Broz Tito berhasil menyatukan Yugoslavia dalam satu persatuan atas dasar bangsa Slavia Selatan dan mengubah bentuk pemerintahan menjadi republik berhaluan komunis dengan nama resmi Republik Federal Sosialis Yugoslavia yang wilayahnya Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Macedonia, Montenegro, dan provinsi otonomi di Serbia Kosovo dan Vojvodina. Masa Tito ini, Yugoslavia telah mencapai puncak keemasan yang ditandai dengan kestabilan politik, ekonomi da sosial. Terjadinya disintegrasi Yugoslavia merupakan hasil dari rangkaian yang panjang, republik-republik yang melakukan disintegrasi bukan semata hanya karena ingin lepas, namun dibalik semua itu ada keterkaitan antara sejarahnya baik berupa identitas masing-masing republik, maupun karena faktor internal Yugoslavia di periode 1980. Faktor tersebut diantaranya pasca Tito tidak ada lagi pengganti pemimpin yang dapat menyatukan integrasi bangsa, adanya krisis politik, ekonomi, dan krisis nasionalisme seiring dengan runtuhnya komunis. Pasca Tito Serbia juga banyak mendominasi urusan politik dan pemerintahan, ditambah lagi kemunculan Slobodan Milosevic telah memperkeruh situasi, karena ia memiliki ambisi politik. Ambisi tersebut adalah Milosevic ingin menggantikan Tito, membangun kembali Serbia Raya, mengubah sistem politik menjadi sentralisme demokratis, sehingga pada dasarnya prinsip tersebut adalah (sosialisme nasional, satu orang, satu negara, satu partai, satu pemimpin).3 Hal ini tentu menimbulkan protes hingga aksi pemisahan diri dari federasi Yugoslavia dimulai dari republik Slovenia, Kroasia dan BosniaHerzegovina di periode 1991-1992. Hal tersebut sangat ditentang oleh Serbia di bawah presiden Milosevic, dalam menghadapi hal ini Milosevic kemudian melakukan aksi politik agresif, ekspansif, dan genosida terhadap negara yang melakukan disintegrasi. Disintegrasi Yugoslavia banyak menelan korban, disintegrasi Yugoslavia berakhir pada perjanjian Dayton pada tahun 1995. Atas aksi kejam yang dilakukan Serbia akhirnya Serbia diberikan sanksi embargo ekonomi dan militer oleh dunia internasional. Tulisan ini akan berusaha menelaah mengenai aksi politik yang dilakukan Serbia terhadap republik yang melakukan disintegrasi seperti Slovenia, Kroasia dan Bosnia-Herzegovina. Tulisan ini juga berusaha mengungkap adanya keterkaitan sejarah masa lalau Serbia dengan ketiga negara tersebut, karena hal itu akan sangat berpengaruh pada perjalanan kehidupan Yugoslavia hingga terjadi disintegrasi Yugoslavia. 1 Julius Siboro, Sejarah Eropa: Dari Masa Menjelang Perang Dunia Sampai Masa Antar Belum. Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 20. 2 Nevill Forbes and Arnold J. Toynbee, The Balkans: A History of Bulgaria, Serbia, Greece, Rumania, Turkey. hlm. 68. 3 Bozidar Jakšic, “Democratic Deficits in Political Change in Serbia”, Ivana Spasic, Revolution and order : Serbia after October 2000 proceedings of the International conference Belgrade, 2-3 March 2001 Yugoslavia - Prospects and Limitations. Belgrade: Institute for Philosophy and Social Theory, 2001, hlm. 229.
1
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah kritis. Pemilihan topik terlebih dahulu dilakukan sebelum menerapkan metode sejarah. Menurut Louis Gottschalk metode penelitian sejarah kritis terdiri dari empat langkah yaitu (1) heuristik merupakan tahap penulis mengumpulkan sumber, (2) kritik sumber merupakan langkah melakukan kritik terhadap sumber yang telah didapat, baik secara ekstern maupun intern guna menemukan fakta sejarah, (3) interpretasi merupakan langkah penulis dalam menafsirkan fakta-fakta yang telah diperoleh, (4) penulisan merupakan tahap akhir dalam penelitian sejarah, hasil penelitian tersebut kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan. PEMBAHASAN Serbia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah keturunan dari bangsa Slavia Selatan yang terbesar di wilayah Balkan. Serbia pada awalnya merupakan kerajaan resminya Great Serbia yang didirikan oleh Stefan Nemanja (1166-1196) sekaligus mengepalai sebuah kerajaan Serbia.4 Kerajaan Serbia kala itu berada di bawah pengaruh Byzantium (Romawi Timur), sehingga Serbia dijadikan pusat penyebaran agama Kristen Ortodoks, yang secara otomatis masyarakat Serbia mayoritas menganut agama Kristen Ortodoks bahkan sosial budaya Serbia juga sangat erat dengan ajaran Kristen Ortodoks. Abad ke-14, kerajaan Serbia di bawah pemerintahan Stefan Dusan (1331-1346) telah mencapai masa kejayaan sekaligus kerajaan terkuat di semenanjung Balkan. Wilayah kekuasaannya meliputi wilayah Republik Serbia sekarang, Montenegro, Bosnia-Herzegovina, Dalmatia, Macedonia, Albania, Kosovo dan sebagian wilayah Yunani sekarang.5 Hal di atas selanjutnya menjadi dasar leluhur bangsa Serbia yang harus dihormati, karena kerajaan Serbia pernah berkuasa penuh di Balkan meliputi bangsa Slavia Selatan. Dasar tersebut juga yang akan menjadi suatu kekuatan nasionalisme bangsa Serbia, untuk memberontak kekuatan asing di Balkan. Serbia tak ingin jika Balkan diambil alih oleh kekuatan asing, karena hal itu akan menghambat perwujudan kembali kejayaan kerajaan Serbia, yaitu mempersatukan kembali bangsa Slavia Selatan dalam suatu kerajaan besar di bawah perintah Serbia yang disebut gerakan “Serbia Raya”. Berpedoman atas dasar tersebut pula kemudian menjadi ambisi Slobodan Milosevic presiden Serbia, untuk menguasai Yugoslavia terutama ketika terjadi disintegrasi Yugoslavia. Wilayah Balkan memiliki letak geografis yang strategis, sehingga Balkan menjadi kontak pertemuan dari berbagai peradaban dunia dan terjadi benturan antara kepentingan bagi pihak dominan seperti Turki Ottoman, Austria-Hongaria, Rusia, dan lainnya untuk berebut pengaruh politik di wilayah ini. Tak heran jika hal tersebut juga, menjadikan kawasan Balkan sensitif akan konflik dan peperangan besar. Abad ke-14, kerajaan Serbia yang saat itu sedang mengalami masa kejayaan akhirnya dapat dikalahkan oleh kekuatan Turki Ottoman dalam pertempuran Kosovo pada tanggal 28 Juni 1389.6 Sejak itulah Turki langsung menancapkan kekuasaanya di Serbia. Selama kurang lebih lima ratus tahun dikuasai Turki Ottoman (1371-1878)7, masyarakat Serbia merasa tertindas sehingga memunculkan kebencian terhadap Turki Ottoman. Kebencian tersebut bertambah karena Turki telah berhasil meng-Islamkan sebagian masyarakat Bosnia-Herzegovina yang masyarakatnya masih satu keturunan dari bangsa Slavia Selatan asal Serbia. Pemerintah Turki banyak memberikan hak istimewa kepada masyarakat Bosnia-Herzegovina dari pada masyarakat Serbia, sehingga kebencian Serbia bukan hanya pada Turki melainkan kepada Bosnia-Herzegovina juga yang telah dianggap menghianati dan menjadi antek Turki. Memori masa lalu tersebut kemudian hadir dalam 4 Serbian Cultural Profil: Handbook For Aged Care Providers Working With Serbian Resident. Dandenong: Serbian Community Association of Australia Inc, 2010, hlm. 5 Syamsul Hadi, Politik Standar Ganda Amerika terhadap Bosnia, Jakarta: FoDIS, 1997, hlm. 13. 6 Lord Eversley, The Turkish Empire. Pakistan: Kashmiri Barar Lahore, 1958, hlm. 21. 7 R.G.D. Laffan, The Serbs: The Guardians Of The Gate. New York: Dorset Press, 1989, hlm. 21.
2
folklore , sastra lisan, anekdot dan sebagainya yang diwariskan dari generasi ke generasi bangsa Serbia. Kebencian Serbia inilah yang pada akhirnya akan berpengaruh ketika terjadi perang kemerdekaan Bosnia-Herzegovina, yaitu etnik Serbia banyak melakukan aksi kekerasan hingga pembersihan etnik terhadap Muslim Bosnia-Herzegovina. Peristiwa tersebut telah menggambarkan jelas, bawa Serbia masih menyimpan rasa dendam terhadap Bosnia-Herzegovina yang pada akhirnya hubungan antara masa lalu Serbia dengan Bosnia-Herzegovina sangat erat ketika terjadi disintegrasi Yugoslavia. Sesuai dengan karakter bangsa Serbia yang memiliki jiwa patriotisme dan nasionalisme yang tinggi, Serbia terus berusaha memberontak untuk lepas dari Turki. Pasca melakukan perlawanan, Serbia berhasil merdeka pada tahun 1878 di bawah jaminan Kongres Berlin, selanjutnya Serbia secara resmi menjadi kerajaan pada tanggal 6 Maret 1882.8 Pasca kemerdekaan Serbia mulai aktif melakukan perlawanan terhadap siapa saja yang mengusik wilayah Balkan, hingga akhirnya Serbia banyak terlibat dalam perang besar seperti Perang Balkan, Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Perlawanan Serbia terhadap pihak asing tak lain adalah karena Serbia ingin melanjutkan cita-cita nasionalnya yaitu gerakan Serbia Raya, maka pada dasarnya terbentuknya Kingdom Yugoslavia yang terdiri dari Serbia, Kroasia, Slovenia, Bosnia-Herzegovina, Macedonia dan Montenegro adalah ide dari inisiatif Serbia yang ingin menyatukan bangsa Slavia Selatan ke dalam kerajaan besar yang dipimpin Serbia. Keadaan ini tentunya Serbia akan berpengaruh dikehidupan Yugoslavia, karena Serbia merasa bahwa Yugoslavia adalah tanggung jawabnya jadi Serbia-lah yang lebih berhak mengurusi segala kepentingan Yugoslavia. Maka pemikiran tersebut sebenarnya tidak disukai oleh Slovenia dan Kroasia, ditambah mereka tidak pernah satu visi politik dengan Serbia. Keadaan tersebut juga menjadikan hubungan Serbia dengan Kroasia dan Slovenia kurang baik. Berakhirnya Perang Dunia II Josep Broz Tito dengan kekuatan komunis Partisan berhasil membawa Yugoslavia dalam satu persatuan atas dasar bangsa Slavia Selatan. Tito juga berhasil memproklamirkan Republik Federasi Rakyat Yugoslavia pada tanggal 29 November 1945 dan mengubah bentuk pemerintahan Yugoslavia yang tadinya kerajaan menjadi republik yang berhaluan komunis. Setelah hubungan Yugoslavia dan Uni Sovit memburuk, Tito mengganti nama Yugoslavia menjadi Negara Republik Federal Sosialis Yugoslavia pada tanggal 7 April 1963, Tito kemudian diangkat menjadi presiden seumur hidup.9 Yugoslavia adalah negara yang multi etnik, multi budaya dan multi agama, namun selama Tito menjadi pemimpin Yugoslavia, keadaan dalam negeri berlangsung stabil baik dibidang politik, ekonomi maupun sosialnya. Seluruh etnik di Yugoslavia mampu hidup harmonis, perekonomian di Yugoslavia juga sangat stabil, tidak ada pertentangan etnik. Sekalipun ada gerakan yang mengarah pada ancaman disintegrasi bangsa, Tito berhasil memadamkan gerakan tersebut dengan kekuatan militer Tito, maka Yugoslavia era Tito adalah negara yang tingkat keamanan dan kesejahteraannya sangat terjaga dengan baik. Pasca Tito tepatnya pada tanggal 4 Mei 198010, Yugoslavia dinyatakan tidak lagi memiliki pemimpin, karena Tito sebagai presiden tunggal di Yugoslavia telah gagal menyiapkan pengganti dirinya untuk meneruskan mandatnya. Yugoslavia selanjutnya dipimpin oleh kepemimpinan kolektif yang juga disebut Dewan Presidium atau Dewan Kepresidenan Federal (DKF). DKF terdiri dari wakil-wakil dari setiap negara bagian. Anggota dewan dipilih oleh parlemen republik dari masing-masing republik untuk masa kerja lima tahun. Dewan dipimpin oleh seorang ketua dan wakil ketua yang dipilih setiap tahun secara bergilir atau rotasi. Ketua DKF disebut juga Presiden Yugoslavia yang merangkap jabatan Panglima Tertinggi Angkatan Perang. Kinerja DKF ini pada awalnya berjalan dengan baik, namun disadari atau tidaknya tanpa seorang arbiter seperti Tito kinerja DKF semakin lama kian memburuk. Kegagalan DKF dalam menjalankan 8
Tjipta Lesmana, Runtuhnya Kekuasaan Komunis. Jakarta: Erwin-Rika Press, 1992, hlm. 192. Solelistyati Ismail Gani, Disintegrasi di Yugoslavia dan Faktor Penyebabnya. Yogyakarta: FISIPOL UGM, 1993, hlm. 8. 10 Ready Susanto, 100 Tokoh Abad Ke-20 Paling Berpengaruh. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia, 2004, hlm. 317. 9
3
mekanisme perputaran kepemimpinan nasional Yugoslavia, mengakibatkan semakin memburuknya kestabilan politik di Yugoslavia dan menjadi konflik yang berkepanjangan. Serbia pasca Tito mulai mendominasi dalam bidang pemerintahan, hingga pada suatu ketika jabatan Borisav Jovic dari Serbia sebagai ketua DKF harus digantikan Stive Mesic dari Kroasia, pimpinan Serbia enggan untuk menyerahkan jabatannya. Hal itu membuat republik lain terutama Kroasia marah, dari situlah kemudian terjadi berbagai hasutan, kecurigaan, saling tuduh antar republik yang bersangkutan. Slovenia dan Kroasia mengancam akan keluar dari federasi Yugoslavia jika Serbia tak mau merubah sikapnya. Sebenarnya bukan hanya krisis politik saja yang memperburuk keadaan dalam ngeri Yugoslavia, namun faktor ekonomi dan konflik etnik juga merupkan penyebab dari segala konflik yang ada di Yugoslavia. Perlu diketahui bahwa sistem ekonomi swa-kelola ciptaan Tito ternyata berdampak buruk dikemudian hari, hingga tiba pada saat kematiannya, Tito telah meninggalkan beban hutang yang terus meningkat pertahunnya dan rakyat menghadapi kehidupan yang amat sulit hingga pemogokan buruh terjadi di mana-mana, tingkat inflasi yang tinggi juga terus naik tiap tahunnya. Tentunya masalah ini harus dihadapi oleh Yugolsavia tanpa seorang Tito. Sejak tahun 1981, hampir semua pihak menyadari buruknya perekonomian nasional. Banyak pihak yang menuntut adanya pembaruan sistem ekonomi radikal untuk mengatasinya, namun pembaruan tersebut tak pernah dilakukan secara serius, yang akhirnya bangsa Yugoslavia semakin terbawa krisis ekonomi yang mendalam.11 Sementara terdapat dugaan bahwa Liga Komunis Yugoslavia rupanya diam-diam menentang pembaruan ekonomi radikal tersebut, alasannya pembaruan semacam itu akan melenyapkan segala hak istimewa yang dinikmatinya selama ini. Adanya sistem perekonomian tersebut juga menyebabkan ketimpangan sosial yang akhirnya menimbulkan kecemburuan sosial yang mengarah pada konflik etnik. Masalah krisis politik dan ekonomi yang melanda Yugoslavia, kemudian dapat dimanfaatkan Slobodan Milosevic untuk meraih puncak kekuasaan di Yugoslavia. Demi meraih kekuasaan, Slobodan Milosevic menggunakan cara membangkitkan nasionalisme etnik Serbia melalui berbagai macam pembelaan terhadap Serbia. Milosevic juga sering mengatakan bahwa selama berada dalam Yugoslavia, etnik Serbia selalu disisihkan perlindungannya dan diperlakukan secara tidak adil, etnik Serbia tidak memiliki status lebih dominan dibandingkan dengan etnik lainnya, padahal jika ditinjau dari segi populasi etnik Serbia adalah mayoritas. Milosevic juga terus berusaha agar sistem politik Yugoslavia diganti menjadi sentralisme demokratis. Propaganda yang di lontarkan Milosevic di atas, jelas tidak dapat diterima oleh republik lain terutama Slovenia dan Kroasia yang sepakat ingin hidup dalam konfederasi Yugoslavia yang longgar, akan tetapi pihak Serbia menolak usulan tersebut karena bentuk negara tersebut sama juga akan membubarkan federasi Yugoslavia. Begitu juga dengan Macedonia dan Bosnia-Herzegovina, mereka berusaha menjadi penengah konflik dengan mengusulkan bahwa Yugoslavia sebaiknya menjadi masyarakat republik-republik Yugoslavia (Uni Republik Yugoslavia atau Uni Negara-negara Yugoslavia).12 Usulan atas pandangan kedua negara tersebut juga sebenarnya tidak berbeda dengan pandangan pertama, hanya namanya saja yang berbeda. Saling curiga antar pemimpin republik lain terjadi, bahwa munculnya Slobodan Milosevic yakni untuk menggantikan Tito, selain itu Slobodan Milosevic memiliki ambisi untuk mewujudkan kembali citacita Serbia yang pernah tertunda yaitu gerakan “Serbia Raya”, sehingga Milosevic ingin jika Yugoslavia tetap berdiri namun atas dasar nasionalisme etnik Serbia dan di pimpin oleh Serbia. Akibat dari semua itu, republik lain semakin tidak menyukai atas apa yang dilakukan Serbia, dan lebih memilih untuk melepaskan diri dari federasi Yugoslavia daripada harus tunduk terhadap Serbia yang nantinya justru akan mengeksploitasi mereka. 11 12
Tjipta Lesmana, op.cit., hlm. 217. Ibid., hlm. 235.
4
Kekuasaan dan kebijakan yang ada di Yugoslavia, banyak disalahgunakan dengan kedok melakukan tawaran “perubahan” untuk kesejahteraan bangsa. Tawaran tersebut diaplikasikan secara memaksa tanpa melihat dan mendengar aspirasi masyarakatnya, karenanya semua itu kemudian menjadi sebuah pelanggaran, yang mengakibatkan munculnya identitas kolektif di masing-masing wilayah dan membentuk sebuah nasionalisme etnik tiap-tiap republik hingga berpuncak pada kehancuran bagi keutuhan Yugoslavia.13 Republik yang memproklamirkan diri dari federasi Yugoslavia adalah Slovenia dan Kroasia di tanggal yang sama yaitu tanggal 25 Juni 1991, sedangkan Bosnia-Herzegovina 29 Februari 1992.14 Pemisahan diri tersebut sangat ditentang keras oleh Slobodan Milosevic, yang kala itu Milosevic telah menjadi presiden Serbia. Setahun sebelum kedua negara tersebut memproklamirkan diri secara sepihak, Milosevic mengancam kepada semua republik bahwa ia akan mempermasalahkan perbatasan Serbia jika tidak ada kesepakatan tentang bentuk negara federasi. Pemisahan diri republik-republik di atas membuat Serbia pimpinan Milosevic mengambil sebuah kebijakan aksi politik yang agresif, ekspansi dan genosida ditujukan kepada republik yang memisahkan diri. Aksi politik tersebut dipermudah dengan dukungan Jugoslav National Army (JNA) yang telah dipengaruhi Milosevic. Proklamasi Kemerdekaan Slovenia menimbulkan terjadinya perang 10 hari terhitung mulai tanggal 27 Juni hingga 6 Juli 1991. Selama perang tersebut Yugoslavia berusaha membujuk Slovenia di bawah presiden Milan Kucan agar membatalkan tindakan pemisahan republiknya, namun Slovenia tetap bertahan pada pendiriannya meskipun harus melewati jalan perang. Meski demikian Yugoslava dalam perkembangannya tidak terlalu memfokuskan pada perang kemerdekaan Slovenia karena Slovenia masyarakatnya cenderung homogen dibanding Kroasia dan Bosnia-Herzegovina yang terdiri banyak etnik Serbia. Dampak dari perang 10 hari tersebut menewaskan personel Yugoslavia 64 tewas, 146 terluka dan 4.944 ditangkap. Pihak korban dari Slovenia menewaskan 12 orang dan terluka 182 orang.15 Terpilihnya Tudjman sebagai presiden Kroasia tahun 1990, telah memperkuat lepasnya Kroasia dari Federasi Yugoslavia.16 Sejak lama Kroasia juga memiliki cita-cita nasional mendirikan negara Kroasia yang merdeka. Sesungguhnya orang Serbia masih ingat betul peristiwa pembantaian etnik Serbia oleh etnik Kroasia pada masa Perang Dunia II. Ingatan itu mampu membuat etnik Serbia takut jika akan terulang lagi di perang kemerdekaan Kroasia tersebut, maka sejak diadakannya referendum mengenai suara rakyat Slovenia yang menyatakan ingin merdeka, maka etnik Serbia yang berada di Krajina wilayah Kroasia langsung mendirikan sebuah Republik Serbia Krajina (RSK). Atas dukungan dari Milosevic RSK kemudian dipersenjatai dan dibantu JNA untuk menguasai wilayah Kroasia. Kroasia dalam beberapa waktu wilayahnya dibombardir oleh milisi RSK pimpinan Milan Martic. Pengambilan aksi militer RSK di bawah Milosevic di Kroasia tersebut mengakibatkan sekitar 20.000 jiwa tewas dan ribuan diusir dari rumah kediaman mereka, 40% industri Kroasia hancur. Tidak puas dengan hasil yang didapat dari Kroasia, kini Serbia mengalihkan peperangan ke BosniaHerzegovina dan menjadi klimaks dari disintegrasi Yugoslavia, selain itu puncak aksi agresif Serbia juga terjadi pada perang kemerdekaan Bosnia. Pasalnya komposisi penduduk Bosnia-Herzegovina sangat heterogen dan etnik Serbia banyak mendiami wilayah ini, akhirnya ketika Bosnia-Herzegovina melakukan aksi pemisahan diri maka etnik Serbia yang berada di Bosnia ikut mendukung aksi politik yang dilakukan oleh Slobodan Milosevic. Etnik Serbia yang berada di Bosnia di bawah Radovan Karadzic kemudian meproklamirkan Republik Srpska, oleh Karadzic beserta Srpska inilah aksi agresif Serbia, mulai dari pembantaian dan pembersihan etnik di Bosnia berlangsung yang juga dibantu JNA pimpinan Ratko 13
Darko Gavrilović and Đorđe Stojanović, Serbian Political Thought. Belgrade: Institute for Political Studies, 2011, hlm.
62. 14
Tjipta Lesmana, op.cit., hlm. 216. “Perang Saudara di Yugo Berlanjut”, Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis Paing 18 Juli 1991, hlm. 1. 16 Laura Silber and Allan Little, The Death of Yugoslavia. London: BBC, 1995, hlm. 197. 15
5
Mladic. Hingga di akhir perang lebih dari 100.000 orang tewas dan lebih dari 3.000.000 jiwa mengungsi.17 Bosnia kini menjadi puncak tragedi kejahatan perang terhebat diantara perang kemerdekaan di negara bekas Yugoslavia yang dilakukan oleh Serbia. Sekali lagi bahwa aksi brutal tersebut dilakukan Serbia karena Serbia masih menyimpan dendam masa lalu terhadap Bosnia, sehingga Serbia tidak memperdulikannya. Meski Yugoslavia telah hancur, Serbia tetap ingin menjadi penerus Yugoslavia, akhirnya pada tanggal 27 April 1992 Serbia dan Montenegro mendeklarasikan diri untuk sepakat bergabung dalam Republik Federal Yugoslavia.18 Konflik disintegrasi Yugoslavia ini banyak mengundang perhatian dunia Internasional dalam mengupayakan damai diantaranya seperti Masyarakat Eropa (ME), Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), North Atlantic Treaty Organization (NATO), Amerika Serikat, Organisasi Konferensi Islam (OKI), bahkan Indonesia. Mereka bergabung dalam menyelesaikan konflik menuju perdamaian meskipun awalnya bertindak tidak serius, terkecuali OKI dan Indonesia hanya ikut andil dalam memberikan bantuan dana dan dukungan saja terhadap perkembangan konflik Yugoslavia terutama Bosnia-Herzegovina. Melalui berbagai cara untuk upaya perdamaian dimulai dari perjanjian Brioni dalam penyelesaian Slovenia, persetujuan resolusi No. 743 sebagai penempatan UNPROFOR di Kroasia, sedangkan untuk Bosnia-Herzegovina terdapat rencana Vance Own, kelompok kontak, dan sebagainya. Sebagai akhir dari konflik Yugoslavia yang berklimaks di Bosnia-Herzegovina, pada bulan November tahun 1995 diadakan perundingan di Dayton Amerika Serikat. Perjanjian ini merupakan puncak dari semua perjanjian yang telah diupayakan PBB, ME, maupun negara-negara lainnya. Persetujuan dihadiri oleh seluruh perwakilan dari masing-masing republik Yugoslavia dan didampingi oleh beberapa perwakilan penguapaya damai dari Amerika Serikat. Persetujuan kemudian ditanda tangani di Paris, Perancis pada 14 Desember 1995.19 DAFTAR PUSTAKA Buku [1].
Eversley, Lord. 1958. The Turkish Empire. Pakistan: Kashmiri Barar Lahore.
[2].
Forbes, Nevill and Toynbee, Arnold J. The Balkans: A History of Bulgaria, Serbia, Greece, Rumania, Turkey.
[3].
Gavrilović, Darko and Stojanović, Đorđe. 2011. Serbian Political Thought. Belgrade: Institute for Political Studies.
[4].
Julius Siboro. 2012. Sejarah Eropa: Dari Masa Menjelang Perang Dunia Sampai Masa Antar Belum. Yogyakarta: Ombak.
[5].
Laffan, R.G.D. 1989. The Serbs: The Guardians Of The Gate. New York: Dorset Press.
[6].
Malcolm, Noel. 1996. Bosnia A Short History. Britain: Papermac.
[7].
Ready Susanto. 2004. 100 Tokoh Abad Ke-20 Paling Berpengaruh. Bandung: Yayasan Nuansa Cendikia.
17
Tim Narasi, The Mass Killers of the Twentieth Century: Pembunuh-Pembunuh Massal Abad 20. Yogyakarta: PT. Agro Media Pustaka, 2006, hlm. 272. 18 Noel Malcolm, Bosnia: A Short History. London: Paper Mac, 1996, hlm. 238. 19 Syamsul Hadi, Politik Standar Ganda Amerika terhadap Bosnia. Jakarta: FoDIS, 1997, hlm. 127.
6
[8].
Serbian Community Association of Australia Inc. 2010. Serbian Cultural Profil: Handbook For Aged Care Providers Working With Serbian Resident. Dandenong.
[9].
Silber, Laura and Little, Allan. 1995. The Death of Yugoslavia. London: BBC.
[10].
Syamsul Hadi. 1997. Politik Standar Ganda Amerika Serikat Terhadap Bosnia. Jakarta: FoDis.
[11].
Tim Narasi. 2006. The Mass Killers of the Twentieth Century: Pembunuh-pembunuh Massal Abad 20. Yogyakarta: PT. Agro Media Pustaka.
[12].
Tjipta Lesmana. 1992. Runtuhnya Kekuasaan Komunis, Jakarta: Erwin-Rika Press.
Artikel [1].
Jakšic, Bozidar. 2001 “Democratic Deficits in Political Change in Serbia”, Ivana Spasic, Revolution and order: Serbia after October 2000 proceedings of the International conference Belgrade, 2-3 March 2001 Yugoslavia-Prospects and Limitations. Belgrade: Institute for Philosophy and Social Theory.
Surat Kabar [1].
“Perang Saudara Di Yugo Berlanjut”, Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis Paing 18 Juli 1991Kedaulatan Rakyat, edisi Kamis 27 Juni 1991.
Laporan Penelitian: [1].
Soelistyati Ismail Gani. 1993. Disintegrasi di Yugoslavia dan Faktor Penyebabnya. Yogyakarta: FISIPOL UGM.
Yogykarta, 21 Januari 2014
7