JEJAK INTEGRASI INDONESIA DARI KILOMETER NOL: MELACAK AKAR BUDAYA NASIONAL BANGSA Abdul Jalil Salam Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry Banda Aceh
[email protected] Abstract. The founders of the Indonesian people are well aware that the nations of Indonesia was built based on common history, common struggle, as well as the ideals of equality, freedom, security, justice and prosperity in the Republic of Indonesia, which is based on Pancasila and the 1945 Constitution. In this context, the spirit of nationalism respects diversity, pluralism and diversity. In the globalization era, integration of the nation has faced challenges, because the dynamics of the development of the strategic environment has brought a new feel to the levels of interaction, interrelation and interdependence of society, nation and state. Another contributing factor is the shift value between the original nationalism is more oriented to political values and geo-political to the economic value and geo-economics. This value shift from the originally oriented to the importance of unity and unity to form a strong community of nations, be oriented to the accessibility of professionalism to improve the welfare and security for the sake of survival. In this position, the connection to the level of national unity outweighed by the benefit of a more personal nature. Kata Kunci: Jejak-Integrasi-Indonesia Pendahuluan Bangsa Indonesia yang dibangun oleh para pendahulu lebih dari enam puluh delapan tahun yang lalu, semata dilandasi atas rasa persatuan dan kesatuan yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita bersama bangsa yaitu menuju masyarakat adil dan makmur1. Cita dan rasa kebersamaan tersebut tidaklah dibangun berdasarkan atas asal usul, suku bangsa, agama, geografi, melainkan di atas rasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa yang cukup lama terjajah. Para pendiri bangsa Indonesia sadar betul bahwa bangsa Indonesia terbentuk berlandaskan persamaan sejarah, persamaan perjuangan, serta persamaan cita-cita yaitu kehendak hidup dalam kebebasan, aman, serta adil dan makmur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, berwawasan nasional, bukan berwawasan suku, ras, dan bukan pula berwawasan agama atau golongan. 2 Dalam konteks inilah semangat nasionalisme yang menghargai perbedaan, kemajemukan dan keanekaragaman seharusnya didudukkan dan dijunjung tinggi serta ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa, termasuk kepada seluruh individu warga negara Indonesia, baik generasi sekarang, terlebih lagi kepada generasi penerus bangsa nantinya, agar mereka menyadari hakikat bangsa Indonesia yang besar ini. Siapa saja tentu memiliki rasa kebangsaan dan wawasan kebangsaan dalam perasaan atau pikirannya, paling tidak di dalam hati nuraninya. Dalam realitas, rasa kebangsaan menyerupai sesuatu yang dapat dirasakan tetapi sulit dipahami. Namun menyisakan getaran atau resonansi dalam pikiran ketika rasa kebangsaan tersentuh. Rasa kebangsaan bisa timbul dan terpendam secara berbeda dari orang per orang dengan naluri kejuangannya masing-masing, disamping bisa 1 2
Sumarsono S, Pendidikan Kewargaan, Jakarta: PT. Gramadia Pustaka Utama, 2001, hal. 86 Unisia, Majalah Triwulanan UII Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, 2004, hal. 172
422
juga timbul dalam kelompok yang berpotensi luar biasa kuatannya. Rasa kebangsaan adalah kesadaran berbangsa, yakni rasa yang lahir secara alamiah karena adanya kebersamaan sosial yang tumbuh dari kebudayaan, sejarah, dan aspirasi perjuangan masa lampau 3, serta kebersamaan dalam menghadapi tantangan sejarah masa kini. Dinamisasi rasa kebangsaan ini dalam mencapai cita-cita bangsa berkembang menjadi wawasan kebangsaan, yakni pikiranpikiran yang bersifat nasional dimana suatu bangsa memiliki cita-cita kehidupan dan tujuan nasional yang jelas. Sehingga berdasarkan rasa dan paham kebangsaan itu, timbullah semangat kebangsaan atau semangat patriotisme.4 Rasa kebangsaan bukan monopoli suatu bangsa, tetapi ia merupakan perekat yang mempersatukan dan memberi dasar keberadaan (raison d’entre) bangsa-bangsa di dunia. Rasa kebangsaan bukanlah sesuatu yang tergolong unik dimana hanya ada dalam diri suatu bangsa saja, melainkan hal yang sama juga dialami bangsa-bangsa lain. Bagaimana pun konsep kebangsaan itu dinamis adanya. Dalam kedinamisannya, antar-pandangan kebangsaan dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Dengan benturan budaya dan lalu bermetamorfosa dalam campuran budaya dan sintesanya, maka derajat kebangsaan suatu bangsa menjadi lebih dinamis dan tumbuh kuat untuk kemudian terkristalisasi dalam paham kebangsaan.5 Melihat perkembangan wawasan kebangsaan yang dimiliki anak bangsa hari ini kian rapuh dan pudar, yang jika dibiarkan dapat dipastikan Negara Kesatuan Republik Indonesia akan terpecah-pecah, sehingga pada gilirannya akan memudahkan kekuatan asing masuk ke wilayah Indonesia seperti yang terjadi pada jaman penjajahan dahulu. Dimana ketika itu bangsa Indonesia ditindas, diperas, dan dibelenggu kebebasan hak-haknya oleh penjajah. Maka di sinilah titik penting mendesaknya untuk melakukan revitalisasi dan aktualisasi nilai-nilai budaya bangsa yang pernah tertanam untuk digali kembali. Kasus Aceh adalah sebagai perspektif representatif. Disamping menelusuri apa yang telah terjadi dengan proses integrasi nasional Indonesia. Penelusuran terkait hal ini mendesak untuk dilakukan tanpa perlu menunggu terulangnya neo-colonialisasi. Perlukah negara Indonesia dijajah kembali supaya rasa nasionalisme bangsanya menjadi tumbuh dan berkembang serta masyarakatnya menjadi bersatu untuk dapat meraih kehormatan dan kebebasan? yang harus dilakukan, Bagaimana merumuskan strategi untuk menguatkan kembali komitmen nasionalisme (Pancasila, UUD1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI) untuk menjaga integrasi nasional? HAKIKAT INTEGRASI BUDAYA NASIONAL Kebijakan kebudayaan dalam konteks integrasi nasional bukan berarti tidak pernah dikenal dalam peta politik di Nusantara, karena pemerintah kolonial Belanda tatkala menguatkan kekuasaannya di Nusantara tempo dulu, menempatkan semua jabatan di wilayah yang paling rentan dalam kacamata mereka dipercayakan kepada ahli-ahli yang tahu tentang masyarakat dan kebudayaan setempat untuk dengan bijak (baca:lihai?) menangani masalah politik dan sosial regional, ekonomi dan kebudayaan lokal tanpa menimbulkan pemberontakan bersenjata yang akan amat mahal harganya untuk ditumpas.6
3
Siswono Yudohusodo, dkk, Nasionalisme Indonesia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Yayasan Widya Patria, 1995, hal. 5 4 Esposito, Jhon, L, Islam: The Straight Path, Oxford: University Press, 2011, hal. 14 5 Hamangkubuono X, Bercermin di Kalbu Rakyat, Yogyakarta: Penerbit Karnisius, 1999, hal. 107 6 Parnusa, Perjuangan Amanat Rakyat Nusantara, PT. Pernusatama Cemerlang, 1998, hal. 24
423
Bangsa Indonesia terdiri dari beragam penduduk dengan segala ciri-ciri dan sifat-sifatnya yang dapat memberikan kesan terhadap suasana gejolak kehidupan sosial. Tidak dapat dipungkiri lagi segala implikasi dari keberagaman itu, seringkali menjadi duri penghalang kepada berlangsungnya integrasi nasional. Bahkan belakangan ini, hampir setiap saat mata dan telinga anak bangsa disuguhkan oleh pelbagai media massa baik elektronik maupun cetak tentang berita dan tayangan mengenai konflik antar kelompok kepentingan, etnik, dan agama.7 Dalam konteks ini, pada masa pemerintahan Orde Lama ada kata baku yang ditabukan untuk diucapkan atau dinyatakan oleh setiap Warga Negara Indonesia, yaitu SARA. Padahal realitas sosial dan budaya seperti itu, jika hanya dijadikan kata tabu dan dinyatakan tidak perlu dipertentangkan lagi, justru akan bercorak centrifugal yang bila tidak mendapat perhatian dan penanganan serius akan berakibat negatif pada kehidupan bermasyarakat di masa mendatang. Memang upaya ke arah wujudnya kebudayaan nasional Indonesia sebagai mekanisme dan tata pergaulan kehidupan warga masyarakat terus selalu diupayakan, tetapi tidak jarang pula usaha itu justru mengarah pada dominasi kebudayaan. Penyeragaman atas unsur-unsur kebudayaan telah menjadi ciri klasik di negeri ini8, sebut saja misalnya dalam hal pangan, beras menjadi makanan pokok bangsa ini, pakaian, bentuk dan model arsitektur rumah dan bangunan menjadi pemandangan yang serupa yang dapat dilihat pada setiap daerah di wilayah Indonesia. Belum lagi penyeragaman tata pemerintahan dan sejarah nasional yang tekadang telah menggeser dan mengabaikan sejarah lokal. Upaya penyeragaman kebudayaan dengan cara dominasi suatu kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya seperti yang pernah, telah, dan sedang dikembangkan selama ini, tampaknya dimaksudkan agar tercapai persatuan bangsa yang terintegrasi dalam tataran nasional. Padahal hakekat integrasi nasional dalam takaran sosio-antropologis, dimana perspektif ini lebih sesuai untuk digunakan, mencakup arena yang lebih luas dan tidak sekadar untuk penyelesaian seputar konflik sosial yang berlatar etnik. Sebab, seperti telah dikemukakan di atas bahwa pemisahan dan pembelahan sosial yang berlangsung di Indonesia selama ini telah berwujud dalam pelbagai bentuk dan tingkat. Itu artinya, penyelesaian melalui penyeragaman kebudayaan dengan mengatasnamakan kebudayaan nasional, seperti yang selama ini terus digalakkan jika terus dilanjutkan justru akan dapat menimbulkan ancaman disintegrasi sistemik oleh dan atas nama negara. Pelaksanaan program pembangunan di Indonesia yang dalam hal ini melaksanakan amanat rakyatnya untuk mengintegrasikan bangsa pada tataran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tampak cenderung tidak memperhatikan masyarakat dan kebudayaan. Sebagai contoh kelaparan penduduk di Papua, dan di tempat-tempat lain yang amat sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan pokok dari Jakarta. Padahal wilayah ini secara kasat mata alamnya telah menyediakan melimpah keperluan mereka, dan bukan itu saja, adanya kematian ratusan penduduk asli yang bukan sekadar berita, tetapi suatu kenyataan yang dijumpai di Mapanduma dan Timika, penyelesaian Timor Timur yang kemudian menjadi Timor Loro Sae, peristiwa Sangau Ledo di Kalimantan Barat, dan kerusuhan di Sampit Kalimantan Tengah. Juga Perseturuan yang cenderung tiada henti di Ambon dan Maluku, atau kerusuhan lainnya di pelbagai kota di Indonesia dan keinginan berbagai daerah membentuk provinsi dan kabupaten 7
Tholhah, Imam, dkk, Mewaspadai dan Mencegah Konflik antar Umat Beragama, Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Proyek Peningkatan Kerukunan antar Umat Beragama, 2001, hal. 61 8 Benedict Anderson, Imagined Communities, New York: Verso, 2006, hal. 6
424
atau kota sendiri yang lepas dari provinsi atau kabupaten/kota induknya, dan bahkan kecenderungan hendak melepaskan diri dari ikatan NKRI, adalah cermin refleksi buramnya masa depan bangsa yang sedang ditatap.9 Semuanya itu tidaklah dapat dilepaskan dari berbagai kebijakan pembangunan yang mengabaikan kebudayaan, dan dari pemahaman serta keinginan membentuk kebudayaan Indonesia sebagai wahana pengintegrasian bangsa. Kebijakan pembangunan yang selama ini, memang untuk memperbaiki taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, hanya sayang bahwa dalam hal ini, banyak pihak sering lupa, yaitu masyarakat manakah yang dimaksud. Dalam lingkup Indonesia dengan berbagai macam kebudayaan – masalah ini menjadi masalah yang sangat perlu diperhatikan. Apa yang dianggap sebagai hidup yang baik oleh orang Madura tidak selamanya cocok bagi orang Lampung atau Batak; apa yang dipandang menguntungkan oleh orang Ambon atau Makasar tidak selamanya demikian bagi orang Kalimantan atau Batk; atau apa yang bernilai bagi orang Bengkulu belum tentu bernilai bagi orang Surakarta. Dalam konteks itu, persoalan integrasi dikemas untuk siapa menjadi sangat penting diperhatikan, artinya, tidak dapat begitu saja mengunakan ukuran yang ada pada suatu system nilai tertentu, yang biasa dan lazim menjadi ukuran penentu kebijakan itu. Apakah untuk ukuran baik-buruk, bahagia-celaka atau untung-rugi. Bagaimana pun perlu untuk dipahami betul nilai-nilai unik yang ada pada masyarakat agar tujuan bernegara tercapai dan sejalan dengan karakter nilai yang ada pada masyarakat itu. Dengan pemahaman ini, strategi kebudayaan dapat ditentukan dari pandangan atau pemikiran yang ada pada masyarakatnya, sehingga langkah yang telah atau akan ditentukan kelah sedekat mungkin mengikuti realitas sosial-budaya yang dihadapi masyarakat. Kematian akibat kelaparan seperti yang terjadi di Papua tidak bakalan terjadi, manakala pengenalan beras sebagai makanan pokok mereka di-introduksi melalui teknik bercocok tanam yang sesuai dengan tuntutan lingkungan alam mereka sendiri. Bukan kebijakan yang dipaksakan untuk penyeragaman makanan pokok bangsa Indonesia. Demikianm juga pelbagai kasus lainnya di Indonesia yang sekarang muncul ke permukaan dengan kemasan politik, tetapi jika dikaji lebih mendalam lagi akar persoalannya ialah kebudayaan masyarakat yang diabaikan. Artinya, kebijakan yang diterapkan selama ini menempatkan sahabat menjadi musuh atau kawan menjadi lawan. Integrasi menjadi disitegrasi, sehingga mengarah pada terpecahnya NKRI, serta keinginan yang berbasis masyarakat lokal untuk menjadikan negara-negara bagian pada satuan-satuan wilayah kebudayaan suku-bangsa. Semua itu, akibat menempatkan kebijakan pembangunan yang selama ini diterapkan seolah-olah telah memperhatikan sisi kebudayaan masyarakat lokal. Lebih jauh lagi, sering dinyatakan, bahwa sebuah kebijakan sudah sejalan dengan aspirasi warga masyarakat serta sudah memenuhi semua ketentuan hukum yang diwujudkan dalam takaran politik nasional berbungkus Perundang-undangan, seperti halnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Padahal kebijakan-kebijakan tersebut masih merefleksikan politik penyeragaman kebudayaan tanpa memperhitungkan secara cermat keragaman budaya suku-bangsa yang ada di Indonesia. Itu artinya, selama 30an tahun telah berlangsung pengingkaran atas semangat Bhinneka Tunggal Ika.10 9
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yoqyakarta: Penerbit Karnusius, 2002, hal. 169 Nani Tuloli, Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bangsa, Jakarta: Bandan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, 2003, hal. 55 10
425
Dari sisi ini menunjukkan bahwa politik penyeragaman kebudayaan yang dikemas dalam kerangka kebudayaan nasional itu kini menuai “bulan-bulanan” gugatan banyak pihak, sehingga terciptalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dikenal dengan istilah Otonomi Daerah. Semangat otonomi yang sedemikian deras telah melahirkan sikap dari berbagai daerah ingin melepaskan diri dari kekuatan kekuasaan pusat atau provinsi11, seperti halnya yang dahulu dikenal sebagai Wilayah Keresidenan Banten, kini telah menjadi provinsi tersendiri lepas dari Provinsi Jawa Barat, demikian juga provinsi-provinsi lainnya yang baru terbentuk selepas pemberlakuan undang-undang tersebut. Bahkan tidak dapat dinafikan kecenderungan warga masyarakat lokal yang terikat oleh kebudayaan dalam satuan provinsi tumbuh keinginan melepaskan diri dari NKRI. Tentunya, realitas sosial-budaya yang berkembang itu tidak dapat dibiarkan begitu saja. Sebab, kenyataan yang berkembang justru dapat menimbulkan banyak persoalan yang wujudnya sebagai akibat meningkatnya sentimen kemasyarakatan yang didasarkan pada semakin menebalnya rasa kesukubangsaan di setiap daerah, terutama pada tataran daerah kabupaten dan provinsi di seluruh Indonesia. Ada tiga cara yang selalu ditawarkan untuk memperkuat rasa nasionalisme kebangsaan Indonesia sebagai upaya menghindari disintegrasi bangsa, sehingga sila Persatuan Indonesia dapat diwujudkan. Tiga cara tersebut, yakni melakukan sosialisasi nasionalisme Indonesia secara terus menerus. Kedua, meningkatkan pembangunan ekonomi. Ketiga, menghilangkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas.12 Sosialisasi nasionalisme Indonesia, merupakan proses penanaman nilai-nilai kebangsaan kepada seluruh warga negara, terutama bagi generasi muda. "Penanaman nilai-nilai dapat dilakukan dengan memberikan informasi mengenai perjuangan kemerdekaan, sejarah tokohtokoh nasional dan penghormatan terhadap simbol-simbol kebangsaan,". Sarana yang digunakan untuk sosialisasi tersebut, bisa melalui keluarga, sekolah, media massa, instansi pemerintah dan spanduk/poster. Kecuali itu, kegagalan pembangunan ekonomi merupakan sumber frustrasi sejumlah suku bangsa yang mendorong mereka keluar dari negara yang ada dan berupaya membentuk negara sendiri. Alternatif lainnya untuk keluar dari permasalahan integrasi nasional, yaitu: pertama, membangun kembali integrasi vertikal antara pusat dan daerah, antara elite dan massa yang mengalami distorsi. Kedua, membangun integrasi horizontal di bidang social budaya. Agar Republik Indonesia dapat terhindar dari disintegrasi atau negara gagal, pilar-pilar kebangsaan pancasila, UUD1945, NKRI, Bhineka Tunggal Ika harus senantiasa terus mengawal dan memelihara Republik ini sampai akhir zaman. MEMBANGUN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL Nasional yang berasal dari kata nation (Inggris) dan natie (Belanda) berarti bangsa. Bangsa sebagaimana yang telah disebutkan, adalah sekelompok masyarakat yang mendiami wilayah tertentu dan memiliki hasrat serta kemampuan untuk bersatu, karena adanya persamaan nasib, cita-cita, dan tujuan. Sedangkan paham yang menciptakan dan mempertahankan
11
Denny JA, dan Frans Surdiasis, Melewati Perubahan: Sebuah Catatan tentang Transisi Demokrasi Indonesia, Yoqyakarta, Penerbit LKIS, 2006, hal. 12 12 Safran Sofyan, Implementasi Nilai-Nilai Konstitusi dalam Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Lemhanas, hal 3
426
kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia dinamakan nasionalisme.13 Bila dilihat secara historis, akar nasionalisme Indonesia telah tumbuh jauh sebelum Budi Utomo didirikan. Semangat nasionalisme di Nusantara telah pernah dibangun oleh kerajaan Sriwijaya pada abad VI yang menguasai hampir seluruh daerah di Sumatra dan semenanjung Malaka. Hubungan Sriwijaya kala itu telah mencapai hampir seluruh wilayah Nusantara dan wilayah-wilayah Asia. Seperti India, Tiongkok, Arab dan Srilangka. Keinginan Sriwijaya untuk mempersatukan wilayah-wilayah di Nusantara dalam suatu kesatuan kerajaannya harus patah pada abad XIII setelah kekuasaannya di Malaya direbut oleh kerajaan lain, dan pusat kejayaan Sriwijaya pun runtuh setelah diserang oleh kekuatan pasukan kerajaan Singasari dari Jawa.14 Setelah itu bangkit pula nasionalisme kedua di Nusantara yang dipelopori kerajaan Majapahit. Pada abad XIII Majapahit berhasil mengusir pasukan Kubilai Khan dari Tiongkok sebagai wujud anti kekuatan asing di Nusantara. Patih Gajah Mada saat itu sudah mencitacitakan untuk mempersatukan seluruh wilayah Nusantara dalam suatu kejayaan Majapahit.15 Namun saat ini, nasionalisme masyarakat Indonesia mulai terkikis akibat pengaruh globalisasi yang semakin deras. Pengaruh tersebut dirasa dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari ekonomi, pendidikan, sosial dan budaya. Utamanya globalisaasi sangat mengancam kaum muda bangsa karena kondisis psikis kaum muda terbilang masih labil sehingga mudah mendapat pengaruh dari luar. Hal itu bisa dilihat dari gaya hidup sebagian besar anak bangsa yang cenderung kebarat-baratan. Mereka kurang sadar akan ancaman tersebut dan kurang menganggap penting nasionalisme. Daya kritis anak bangsa Indonesia pula mulai luntur dan berganti dengan kepentingan pragmaatis kekuasaan. Masih banyak lagi dampak negatif globalisasi yang mengancam nasionalisme kaum muda bangsa. Bahwa pemerintahan Indonesia akan dilanjutkan oleh kaum muda bangsa tersebut sudah dapat dibayangkan seperti apa nasib bangsa jika dipimpin oleh kaum muda bangsa yang kurang paham mengenaai jati diri bangsa. Dengan derasnya arus globalisasi, integrasi bangsa pun ikut menghadapi tantangan yang cukup berat, sebab dinamika perkembangan lingkungan strategis telah membawa nuansa baru terhadap kadar interaksi, interelasi dan interdependensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Faktor penyebabnya antara lain adalah bergesernya nilai nasionalisme yang semula lebih berorientasi kepada nilai politik dan geo-politik menuju nilai ekonomi dan geo-ekonomi. Pergeseran nilai ini dari yang semula berorientasi kepada pentingnya kesatuan dan persatuan untuk membentuk masyarakat bangsa yang kuat, menjadi berorientasi kepada aksesibilitas profesionalisme untuk meningkatkan kesejahteraan dan keamanan demi kelangsungan hidup. Pada posisi ini, ikatan kepada kadar kesatuan persatuan bangsa terkalahkan oleh kepentingan yang lebih bersifat pribadi.16 Fenomena di atas telah melanda hampir seluruh lapisan masyarakat di mana pun berada sehingga nyaris tanpa ada kekuatan yang dapat menghalanginya. Posisi yang paling kritis adalah manakala perubahan tersebut ada pada posisi anomi, yaitu posisi di mana nilai lama, baru saja ditinggalkan, nilai baru belum mapan, sehingga posisi ini merupakan posisi yang paling tidak 13
Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908 -1918, Terj. LIPI, Michigan: Grafitipers, 1989, hal. 2 14 Safwandi, dkk, Integrasi Nasional: Suatu Pendekatan Budaya, Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1996, hal. 1 15 Nab Bahany AS, Aceh: Nafas Terakhir Indonesia, Banda Aceh: Serambi Indonesia, 19 Agustus 2011 16 Pangi Syarwi, Penguatan Nasionalisme Kebangsaan “Nation State”, Makalah, tidak dipublikasi,
427
stabil dan mudah dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal, yang dinamika perubahannya amat besar. Keadaan demikian akan dapat menimbulkan goncangan yang mengganggu kohesi nasional.17 Oleh sebab itu apabila berbagai komponen kekuatan bangsa yang dihadapkan pada konflik faktual dapat dihimpun menjadi kekuatan yang sinergi, berinteraksi secara proaktif partisipatif, melalui sharing kepentingan, saling memberi dan menerima, membangun kepercayaan kepada sistem, mau saling mendengarkan, menjalin persaudaraan sejati atas dasar keterbukaan serta membangun komitmen kepada kepentingan nasional, maka masing-masing komponen kekuatan bangsa akan ber-reorientasi visi dan sikap dari yang semula lebih berorientasi pada kepentingan kelompok menjadi berorientasi kepada kepentingan nasional yaitu kesatuan persatuan bangsa, keutuhan wilayah yurisdiksi nasional dan pengembangan kehidupan bangsa yang dibangun atas dasar kerjasama saling menguntungkan. Jika hal ini dilakukan, maka integrasi bangsa, nasionalisme dan ketahanan nasional Indonesia dapat dipertahankan Primordialisme yang ketika negara tidak mampu memeliharanya dengan baik akan berujung kepada gerakan-gerakan seperatisme seperti GAM, RMS, yang berkonsekuensi mengancam NKRI. Hal ini bisa saja terjadi karena ketidakadilan pembagian sumber daya ekonomi dan kemiskinan. Sekedar mencontohkan bagaimana marginalisasi Menteri yang di isi oleh orang-orang pusat, pembangunan yang tidak merata, dana perimbangan dari pusat ke daerah yang “trickle down effect”. 18 Namun nilai-nilai primordialisme, etnosentrisme tidak bisa dihapus begitu saja, tetapi perlu dikembangkan menjadi identitas nasional. Partai punya tugas untuk mempromosikan orang tanpa melihat daerah dan suku, dan menempatkan untuk keterwakilan kaum minoritas dalam pemerintahan. Munculnya partai lokal di Aceh misalnya, menjadi bagian dari demokrasi consensus, untuk keterwakilan minoritas, asumsi partai Aceh berbahaya untuk identitas nasional tidak terbukti, selama pemerintah mampu memiliharanya dengan baik. Ada berbagai cara guna meminimalisir berbagai ancaman tersebut. Antara lain dengan penanaman nasionalisme sejak dini, misalnya dengan pengenalan lagu-lagu daerah dan aneka ragam budaya Indonesia yang diajarkan kepada anak-anak sejak mereka duduk di bangku TK. Arus globalisasi yang deras tidak harus serta merta ditolak, namun harus dinetralisir melalui berbagai penyaringan, karena diketahui bahwa globalisasi tidak hanya membawa dampak negatif melainkan juga dampak positif. Bangsa Indonesia harus memiliki sifat selektif. Pengaruh yang membawa dampak positif, dirasa penting dan sesuai dengan kebudayaan bangsa bisa diterima dan diterapkan, namun budaya asing yang dirasa kurang penting apalagi tidak sesuai dengan kepribadian bangsa harus segera dihindari. Selain itu Pemerintah Indonesia juga harus berkontribusi mengenai masalah ini, pemerintah harus melibatsertakan anak bangsa dalam berbagai kegiatan, agar mereka merasa ikut andil dalam rangka mengisi kemerdekaan. Pemerintah juga harus bersikap adil dan transparan dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang terjadi di Indonesia, agar anak bangsa tidak memiliki rasa kecewa terhadap pemeritahan Indonesia yang dapat menimbulkan perasaan antipasti terhadap bangsa. 19
17
Ibid Dadang Shalihin, Pengelolaan Keuangan di Era Otonomi Daerah, Makalah tidak dipublikasui, Jakarta: Bapenas, 2010 19 Dawam Raharjo, Pembangunan Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Intermasa, 1997, hal. 208 18
428
Nasionalisme juga dapat dipupuk melalui momentum-momentum yang tepat seperti pada peringatan sumpah pemuda, hari kemerdekaan, hari pahlawan dan hari besar besar nasional lainnya. Guru maupun dosen yang tulus mengajar dengan baik dan dengan ikhlas terus berupaya menuntun para siswa hingga mampu mengukir prestasi yang gemilang, pelajar harus belajar sungguh-sungguh dengan segenap kemampuannya demi nama baik bangsa dan negara, cinta serta bangga tanpa malu-malu menggunakan produk-produk dalam negeri demi kemajuan ekonomi negara. Karya seni seperti menciptakan lagu-lagu yang berslogan cinta tanah air, seni peran yang bertajuk semangat juang untuk negara dll juga dapat digunakan sebagai media penggugah nasionalisme. Proses internalisasi nasionalisme sendiri, harus dilakukan sejak dini melalui pendidikan sekolah. Untuk anak-anak kecil, salah satu cara yang paling efektif adalah melalui lagu. Sangat menyedihkan jika pengajaran lagu-lagu perjuangan di sekolah kurang mendapat perhatian. Sebagai akibatnya, anak-anak usia dini jaman sekarang justru cenderung hafal lagu-lagu orang dewasa, bahkan biasanya disertai dengan goyangan yang belum sepantasnya mereka lakukan. 20 Tampaknya bangsa Indonesia harus segera mengikuti jejak Prancis dalam hal penanaman sifat nasionalisme pada warga negaranya. Di Prancis pendidikan kewarganegaraan masuk ke dalam Socle Commun (bersama matematika dan bahasa Pransis) yang diajarkan sampai tingkat sekolah menengah atas. Socle Commun merupakan mata pelajaran yang kualitasnya dijamin penuh oleh pemerintah, bahkan dianggap salah satu bentuk perjanjian antara pemerintah dengan masyarakat. Maksudnya apabila seseorang telah lulus dari mata pelajaran kewarganegaraan, pemerintah menjamin selain telah memahami sistem ketatanegaraan, mereka juga memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara, memahami prinsip-prinsip hukum dan konsekuensinya (kognitif), mampu melakukan kegiatan demokrasi, dan yang paling penting dijamin akan berperilku sebagai warga negara yang baik (afektif)21 Memudarnya rasa kebanggaan berbangsa selama beberapa tahun belakangan ini, lebih karena disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan dan semangat primordialisme pascakrisis. Suatu sikap yang sedikit banyak disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social) yang mengandung nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan serta musyawarah kerap hanya menjadi retorika kosong. MENGUAK NASIONALISME KEACEHAN Meskipun ideologi negara Indonesia adalah Pancasila, namun pada era reformasi sekarang sebagian cendekiawan dan tokoh terus mencari-cari format ideal namun dengan persepsi dan kepentingannya yang sempit, ingin meninggalkan Pancasila dan menjadikan ideologi lain sebagai ideologi bangsa Indonesia. Masyarakat yang majemuk dan berbeda dalam banyak hal akhirnya menjadi terkoyak-koyak, saling mencurigai dan bahkan saling membunuh, sehingga sulit mewujudkan keharmonisan dalam hidup berdampingan. Krisis multi dimensi tersebut telah menjadikan perekonomian terpuruk, menyebabkan tingkat kriminalitas yang tinggi dan sebaliknya mengakibatkan kemampuan dan mental aparat menjadi rendah. Konflik vertikal maupun horizontal yang terjadi di beberapa daerah telah 20
Gatut Saksono, Mahaenisme Bung Karno: Marxisme ala Indonesia, Jakarta, Rumah Belajar Yabinkas, 2010, hal. 106 21 Ganjar Kurnia, Nasionalisme Rasional, Makalah, Tidak dipublikasi, 2008
429
menyebabkan masyarakat Indonesia saling curiga, bahkan saling membunuh di antara sesama warga bangsa, menandakan bahwa rasa sebangsa, setanah air, rela berkorban demi nusa dan bangsa serta kesadaran bela negara telah hilang. Dalam sejarah adat Aceh diketahui, bahwa konflik yang terjadi dalam komunitas masyarakat gampong, baik yang bersifat individual (internal keluarga), antar individu maupun antar kelompok, selalu diselesaikan dengan bingkai adat dan agama. Kombinasi pola agama dan adat ini ternyata dapat membawa kepada kedamaian yang abadi dan permanen. Sayangnya, dalam sejarah kebangkitan nasionalisme ke-Indonesia-an, baik sejak abad klasik maupun di abad modern saat ini, peranan Aceh seperti terlupakan. Padahal akar nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh sudah mulai tumbuh sejak abat ke 15 M, tepatnya pada saat Sultan Ali Mughayat Syah mempersatukan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh dalam satu kedaulatan kerajaan Aceh Darussalam. Secara historis, dalam kronologis sejarah akar kebangkitan nasionalisme yang terjadi di kerajaan Aceh boleh dikatakan sebagai kebangkitan nasionalisme ketiga setelah Sriwijaya dan Majapahit runtuh di Nusantara. Rasa kesatuan yang telah dibangun Aceh saat itu tidak hanya dalam wilayah Sumatera, tapi juga Pahang dan tanah Melayu lainnya ikut tunduk dalam kesatuan kerajaan Aceh di bawah kepemimpinan seorang Sultan. Rasa nasionalisme kebangsaan ini telah tumbuh dalam diri masyarakat Aceh sejak berabad-abad yang silam. Hal ini di antaranya disebabkan karena pada saat itu semua wilayah di Aceh sedang menghadapi serangan Portugis yang ingin menguasai Aceh dan rakyat Aceh terpanggil untuk melakukan bela negara. Dalam konteks nasionalisme, rakyat Aceh mewujudkan sikap nasionalisme mereka dengan tetap memilih bergabung dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia walau beberapa tahun sebelumnya konflik perpecahan mendera wilayah ini. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, rasa nasionalisme rakyat Aceh bisa dikatakan jauh lebih besar daripada wilayah-wilayah lain di republik ini. Masih terngiang dalam ingatan, bahwa perjuangan rakyat Aceh dalam membela kedaulatan bangsa dari agresi dan aneksasi penjajah telah ada sejak abad 16. Saat itu Aceh termasuk salah satu dari lima kerajaan Islam terbesar di dunia, disamping kerajaan Ottoman Turki, Kerajaan Maroko, Kerajaan Isfan di Timteng, dan Kerajaan Agra di India. Aceh pun telah menjalin hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan tersebut. Selama agresi militer Belanda, Aceh tidak pernah ditaklukkan oleh Belanda sekalipun perang terus berkecamuk. Belanda akhirnya mengalami trauma atas perang panjang dengan Aceh tahun 1873-1914 yang telah melahirkan pahlawan-pahlawan gigih Aceh seperti Teuku Umar, Panglima Polim, Cut Nyak Dien, dan masih banyak lagi lainnya. Pada agresi militer Belanda tersebut, Aceh membangun pemancar radio Rimba Raya yang disebut pula Radio Indonesia Kutaradja dan Suara Indonesia Merdeka, guna membendung propaganda Belanda melalui siaran Radio Batavia dan Radio Hilversum. Siaran radio Rimba Raya menjangkau seluruh tanah air, Penang, Kuala Lumpur, Manila bahkan hingga ke New Delhi, dan menyuarakan pesan dan berita Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang berpindah-pindah di Pulau Jawa dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Tengah.22 Bukan hanya pemancar radio, rakyat Aceh juga menyiapkan Kutaradja (kini Banda Aceh) untuk sewaktu-waktu dapat dijadikan sebagai ibukota darurat Republik Indonesia. Dalam 22
Abdul Karim Jakobi, Aceh dalam Perang Mempertahankanproklamasi Kemerdekaan1945-1949 dan Peranan TeukuHamid Azwar, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008. Hal. 282
430
kunjungan ke Aceh tanggal 16 Juni 1948, Presiden Soekarno mengajak rakyat Aceh untuk membeli sebuah pesawat terbang, yang sangat diperlukan untuk kepentingan negara. Di luar dugaan, rakyat Aceh spontan mengumpulkan uang dan tidak kurang 20 kg emas murni, yang cukup untuk membeli dua pesawat jenis Dakota. Bahkan, uang masih tersisa untuk membiayai operasional para duta dan perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti Singapura, Penang, New Delhi, Manila, dan PBB. Presiden Soekarno memberi nama pesawat Dakota pertama dengan Seulawah RI- 001. Pesawat perintis yang mulai beroperasi Oktober 1948 itu merupakan kekuatan pertama Angkatan Udara RI dalam menerobos blokade udara Belanda. Pesawat itu menjadi jembatan udara antara pemerintah pusat di Yogyakarta dengan Pemerintah Darurat di Sumatera Tengah dan Kutaradja (Aceh). Tidaklah berlebihan ketika Presiden Soekarno saat itu menjuluki Aceh sebagai daerah modal karena sumbangan moril dan materil yang begitu hebat untuk mempertahankan Indonesia merdeka dari ancaman pendudukan kembali Belanda. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah kontribusi seorang sastrawan sufistik Syech Hamzah Fansury. Beliau merupakan orang pertama yang menulis karya sastra dengan bahasa melayu, yang saat ini menjadi bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan yang merupakan salah satu inti penggerak semangat nasionalisme. Pesawat Seulawah RI dan Bahasa Indonesia merupakan dua hal yang merupakan kontribusi nyata kearifan lokal (local wisdom) masyarakat Aceh dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Kearifan lokal merupakan kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya budaya secara berkelanjutan. Secara historis, jelas sekali akar sejarah terbentuknya rasa kebangsaan dan semangat nasionalisme dan patriotisme masyarakat Aceh dalam mempertahankan keutuhan wilayah dari serangan bangsa asing. Pengalaman rasa nasionalisme dan patriotisme itulah yang kemudian melekat pada diri per orang Aceh dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Kolonial Belanda. Untuk rasa kebangsaan ini, masyarakat Aceh telah membuktikan dengan kerelaan berkorban jiwa dan raga terjun ke medan perang mempertahankan Indonesia tidak hanya dalam kerangka wilayah Aceh, tapi rela melepas tapal batas kesukuan dan kedaerahan untuk maju berperang ke luar Aceh, seperti yang di kenal dalam fakta sejarah dengan perang Medan Area. Tidak perlu diragukan rasa kebangsaan dan sifat nasionalisme masyarakat Aceh terhadap NKRI. Bahkan catatan sejarah di atas tentang Radio Rimba Raya yang terus tetap dioperasikan di Aceh sabagai satu-satunya radio yang mengabarkan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada, meskipun semua wilayah-wilayah strategis di Indonesia saat itu telah berhasil diduduki kembali oleh Belanda. Sehingga dunia tetap mengganggap bahwa Indonesia masih dalam pengakuan Persatuan Bangsa-Bangsa sebagai negara merdeka dan berdaulat. Tidaklah berlebihan bila Nab Bahani, pemerhati sejarah Asia Tenggara, mengatakan bahwa “Aceh adalah nafas terakhir Indonesia”. “Indonesia” atau “Keindonesiaan” tidak akan mungkin ada seandainya tidak ada Aceh (tulis Nurcholish Madjid dalam pengantar buku “Tragedi Anak Bangsa”). Ini sejarah yang harus diketahui dan dipanuti oleh anak bangsa yang menjunjung tinggi rasa nasionalisme berbangsa dan bernegara bahwa betapa besar rasa kebangsaan dan nasionalisme yang dimiliki masyarakat Aceh terhadap Indonesia. Sehingga 431
tidaklah berlebihan nilai-nilai tersebut untuk digali, disemai dan dipupuk kembali dalam bingkai pembangunan nasionalisme modern Indonesia. Semua itu adalah fakta sejarah yang perlu ditulis ulang dalam sejarah nasional Indonesia, agar generasi bangsa dapat mengetahui dan mengambil lesson learn dari rasa kebangsaan dan rasa ke-Indonesia-an rakyat Aceh terhadap negara Kesatuan Republik Indonesia. Tepatlah kiranya, Emha Ainun Nadjib (1992) dalam sebuah puisinya menulis: Indonesia berhutang budi padamu, Aceh/Indonesia berterimakasih padamu, Aceh/Indonesia menundukkan muka dan berkata: “Aceh tak perlu kau banggakan dirimu/Sebab akulah Indonesia yang wajib bangga atas pengorbananmu PENUTUP Di dalam konsensus bernegara dan berbangsa yang telah meleburkan diri di dalam nasionalisme kebangsaan Indonesia di bawah satu indentitas bendera negara Merah Putih, Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan hukum tertinggi di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan lambang Negara Burung Garuda dan semboyan Bhineka Tunggal Ika sebagai pijakan dan acuan untuk Persatuan dan Kesatuan, meskipun berbeda-beda akan tetapi tetap satu, merupakan warisan kebudayaan Nusantara yang luhur sejak zaman Majapahit sampai zaman keemasan Islam di Nusantara yang terus harus dilestarikan. Keacehan dengan perjuangan kebangsaannya meskipun penduduknya kecil akan tetapi telah bekerja membesarkan kebudayaan bangsa di Nusantara ini, begitupula Majapahit dengan Kejawaannya yang penduduknya terbesar di Nusantara ini telah bekerja mempersatukan Nusantara seperti ikrar Gajah Mada dengan Sumpah Palapanya di dalam sejarah baru Indonesia Raya. Terlepas dari segala kepentingan politik kedua nama besar tersebut, fakta bahwa keduanya telah berjasa besar sebagai penegak pilar-pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia ini perlu menjadi renungan anak bangsa dalam membangun komitmen kebangsaan Indonesia baru yang berkeadaban. Perbedaan Ideologi politik dan beragama sudah seharusnya bisa diterima oleh semua pihak di dalam satu Ideologi Pancasila yang juga selaras dengan toleransi budaya bangsa yang mayoritas dianut oleh rakyat Indonesia. Itu artinya konsep kebangsaan dan Dasar Negara Indonesia Pancasila sudahlah final. Munculnya pengaruh politik dari luar seperti demokrasi liberarisme, sekulerisme dan komunisme yang membuat kekuatan dunia setelah perang dunia II berakhir menjadi dua kekuatan besar yakni Blok Timur dengan Komunisme dan Blok Barat dengan Demokrasi, Sekulerisme, Liberalisme Kapitalisme ala Amerika dan Eropa. Sedangkan kekuatan politik Indonesia yang saat itu baru merdeka dengan negara-negara dunia ketiga lainnya lalu membentuk satu gerakan Non Blok yang netral akan tetapi di dalam perjalanannya mau tidak mau Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno waktu itu terseret juga kepada pengaruh dua kekuatan besar tersebut adalah sebuah tragedi sejarah yang harus diambil hikmahnya. REKOMENDASI Kondisi geografis Indonesia diakui sangat menguntungkan karena diperindah oleh keaneka ragaman suku, etnis, agama, bahasa, dan adat istiadat meskipun terbukti sangat rentan terhadap perpecahan. Oleh karena itu dalam pengelolaan sebuah “negara bangsa” diperlukan suatu cara pandang baru atau wawasan yang berorientasi neo nasional yang merupakan pengejawantahan kesepakatan bangsa Indonesia yang selama ini dikenal dengan istilah 432
“Wawasan Nusantara”. Cara pandang yang berwawasan nusantara baru itulah ke depan perlu mendapat perhatian cukup serius oleh segenap lapisan anak bangsa, agar tidak tergerus luntur dan berada di titik terendah pada diri sikap anak bangsa. Tidak boleh ada lagi sekelompok anak bangsa yang rela dan dengan rasa tidak bersalah menjual negara kepada bangsa lain hanya untuk mendapatkan popularitas, kedudukan ataupun materi. Jika prilaku seperti itu tidak segera diantisipasi, maka dapat dipastikan bahwa ikatan nilai-nilai kebangsaan yang selama ini pernah terpatri kuat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang merupakan pengejawantahan dari rasa cinta tanah air, bela negara dan semangat patriotisme bangsa akan punah dan musnah. Nilai-nilai budaya gotong royong, kesediaan untuk saling menghargai dan saling menghormati perbedaan serta kerelaan berkorban untuk kepentingan bangsa yang dulu melekat kuat dalam sanubari masyarakat yang dikenal dengan semangat kebangsaannya harus mulai dipupuk kembali. Tidak boleh berkembang lagi kesadaran etnis yang sempit dalam bentuk tuntutan merdeka dari sekelompok masyarakat di beberapa belahan daerah Indonesia.
433
DAFTAR KEPUSTAKAAN Acemoglu, Daron, and James A. Robinson. Why Nations Fail: The Origins of Power, Propsperity and Proverty. London: Profile Books, 2012. Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908 -1918, Terj. LIPI, Michigan: Grafitipers, 1989 Al-Attas. Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bangi: UKM Publisher, 1972. Alfian, Ibrahim. Perang di Jalan Allah: Perang Aceh, 1873-1912. Jakarta: Sinar Harapan, 1987. Ali, As'ad Said. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. 3. Jakarta: LP3ES, 2010. Azra, Azyumardi. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII: Melacak Akar-Akar Pembaharuan Pemikiran Islam Indonesia. Bandung: Mizan, 1994. Benedict Anderson, Imagined Communities, New York: Verso, 2006 Bustamam-Ahmad, Kamaruzzaman. "Kontribusi Daerah Aceh terhadap Perkembangan Awal Hukum Islam di Indonesia." Al-Jami'ah XII, no. 64 (1999): 143-175. Dadang Shalihin, Pengelolaan Keuangan di Era Otonomi Daerah, Makalah tidak dipublikasui, Jakarta: Bapenas, 2010 Dawam Raharjo, Pembangunan Ekonomi Nasional: Suatu Pendekatan Pemerataan, Keadilan dan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Intermasa, 1997 Denny JA, dan Frans Surdiasis, Melewati Perubahan: Sebuah Catatan tentang Transisi Demokrasi Indonesia, Yoqyakarta, Penerbit LKIS, 2006 Esposito, Jhon, L, Islam: The Straight Path, Oxford: University Press, 2011 Ganjar Kurnia, Nasionalisme Rasional, Makalah, Tidak dipublikasi, 2008 Gatut Saksono, Mahaenisme Bung Karno: Marxisme ala Indonesia, Jakarta, Rumah Belajar Yabinkas, 2010 Gould, James W. Americans in Sumatra. The Hague: Martinus Nijhoff, 1961. H.A.R Tilaar. Mengindonesia etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia: Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan, Jakatra: Rineka Cipta, 2007 Hamangkubuono X, Bercermin di Kalbu Rakyat, Yogyakarta: Penerbit Karnisius, 1999 Harun, Mohd. Memahami Orang Aceh. Bandung: Citra Pustaka Media Perintis, 2009. Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, Yoqyakarta: Penerbit Karnusius, 2002 Hing, Lee Ham. The Sultanate of Aceh: Relations with the British 1760-1824 . Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1995. Ismail, Faisal. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan Kreatif Islam Dan Pancasila .Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Jackson, Karl D. Kewibawaan Tradisional, Islam, dan Pemberontakan: Kasus Darul Islam Jawa Barat. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. 1990 Karim, Wazir Jahan, ed. Straits Muslims: Diasporas of the Northern Passage of the Straits of Malacca. Penang: Straits, 2009. Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Aksara Baru. 1971 Koentjaraningrat. Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. 1993. Koentjaraningrat.Pengantar Ilmu antropologi.Jakarta:Aksara Baru, 1989 434
Lombard, Denys. Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Translated by Winarsih Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante . Jakarta: LP3ES, 1996. Nab Bahany AS, Aceh: Nafas Terakhir Indonesia, Banda Aceh: Serambi Indonesia, 19 Agustus 2011 Nani Tuloli, Dialog Budaya, Wahana Pelestarian dan Pengembangan Budaya Bangsa, Jakarta: Bandan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata, 2003, Nasikum. Sosial Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers, 2011 Natsir, Mohammad. "Bahaya Sekularisme." In Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, edited by Herbert Feith and Lance Castles, 213-217. Jakarta: LP3ES, 1995. Pangi Syarwi, Penguatan Nasionalisme Kebangsaan “Nation State”, Makalah, tidak dipublikasi, Parnusa, Perjuangan Amanat Rakyat Nusantara, PT. Pernusatama Cemerlang, 1998 Safran Sofyan, Implementasi Nilai-Nilai Konstitusi dalam Meningkatkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Jakarta: Lemhanas, Safwandi, dkk, Integrasi Nasional: Suatu Pendekatan Budaya, Jakarta: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya, 1996 Sandhu, K.S., and A. Mani, . Indian Communities in Southeast Asia. Singapore: ISEAS, 2006. Sedyawati, Edy. "Budaya Bagi Bangsa." In Budaya Bagi Bangsa, edited by Toeti Heraty Noerhadi, 49-52. Jakarta: AIPI, 2012. Siswono Yudohusodo, dkk, Nasionalisme Indonesia dalam Era Globalisasi, Jakarta: Yayasan Widya Patria, 1995, hal. 5 Soetomo. Masalah Sosial Budaya dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarya : Pustaka Pelajar, 2008 Sumarsono S, Pendidikan Kewargaan, Jakarta: PT. Gramadia Pustaka Utama, 2001 Sumarsono, dkk.. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2000 Sunarso, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta :UNY Press. 2008 Suny, Ismail. Bunga Rampai Tentang Aceh . Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980. Taqwaddin. "Mukim Sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh ." Penguatan Institusi Lembaga Adat Melalui Pendokumentasian Hukum Adat. Banda Aceh: Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA), 2009. Tholhah, Imam, dkk, Mewaspadai dan Mencegah Konflik antar Umat Beragama, Jakarta: Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, Proyek Peningkatan Kerukunan antar Umat Beragama, 2001 Unisia, Majalah Triwulanan UII Yogyakarta, Universitas Islam Indonesia, 2004 Usman, A. Rani. Etnis Cina Perantauan di Aceh. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009. Zainuddin, H. M. Tarich Atjeh dan Nusantara. Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961.
435