IV. ANALISIS PRA KELAYAKAN INDUSTRI BIOINSEKTISIDA A. Aspek Pasar A.1. Pasar Bioinsektisida di Indonesia Berdasar Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1973 Pasal 1, bioinsektisida merupakan produk yang menjadi satu kategori dengan insektisida kimia (selanjutnya disebut insektisida). Menurut Depperin (2010), hingga saat ini belum terdapat produk bioinsektisida lokal yang beredar di pasar pertanian. Secara umum kebutuhan bioinsektisida dipenuhi dari impor. Berdasarkan hal tersebut dapat diindikasikan bahwa volume maksimal pasar bioinsektisida untuk Indonesia berada pada kisaran nilai impor insektisida. Volume ekspor impor insektisida di Indonesia dijelaskan pada Tabel 15. Tabel 15.Jumlah ekspor impor indonesia untuk Insektisida Tahun 2007 2008 2009 Rata-rata Harga/unit (US$/kg) Sumber : Depperin (2010)
Ekspor Insektisida Dalam kg Dalam US$ 103.815.562 47.218.898 43.551.577 66.822.331 45.885.889 86.455.061
Impor Insektisida Dalam kg Dalam US$ 8.285.950 37.545.132 9.244.243 60.601.759 7.429.138 71.009.115
64.417.676
8.319.777
66.832.096,67 1,04
56.385.335,33 6,78
Dari data di atas diperoleh informasi bahwa volume impor insektisida mencapai + 8,3 ribu ton/ tahun. Bioinsektisida yang ada di Indoensia saat ini adalah produk impor. Dari rataan nilai volume impor insektisida tersebut terdapat niche/ cerug volume impor produk bioinsektisida. Beberapa produk bionsektisida impor yang sudah berkembang di Indonesia, diantaranya adalah Certan dan Centari. Untuk jenis Bta, produk yang berkembang adalah Certan (Hilwan et al 2006). Hal ini mengindikasikan bahwa produk bioinsektisida memiliki peluang pasar.
A.2. Perilaku Konsumen Bioinsektisida Konsumen utama produk bioinsektisida adalah petani. Produk bioinsektisida impor sudah beredar di pasar pertanian Indonesia, namun hingga kini ketergantungan petani akan insektisida tetap tinggi (Ameriana 2008). Secara umum pada Dinas Pertanian, data mengenai pemakaian bioinsektisida sangat kecil bahkan cenderung tidak ada. Hal ini dikarenakan petani yang cenderung tidak memakai bioinsektisida. Namun, diperlukan pembuktian apakah pasar bioinsektisida dipengaruhi oleh perilaku konsumen tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan pakar, diperoleh suatu model pengambilan keputusan PHA dengan goal pasar bioinsektisida yang nyata. Bagan PHA yang dihasilkan seperti pada Gambar 28. Berdasarkan model tersebut diketahui bahwa pasar bioinsektisida dipengaruhi oleh perilaku konsumen hingga 43% dengan pengaruh petani sebagai aktor yang terlibat hingga 36%. Hal ini mengindikasikan bahwa volume pasar bioinsektisida akan efektif bertambah jika produsen dapat menggeser kebiasaan petani dalam hal pemakaian insektisida. Namun berdasar hasil penilaian model diperoleh hasil bahwa tindakan yang paling efektif untuk merubah kebiasaan penggunaan insektisida adalah dengan melibatkan Pemerintah. Keterlibatan Pemerintah memiliki
41
tingkat keberhasilan 47 %. Hal ini dapat menjadi acuan bagi industri baru yang akan memasukkan produknya di pasar pertanian. Informasi bagi industri baru yang akan memasuki persaingan, keterlibatan Pemerintah akan berdampak pada kemampuan untuk mendapat 47% pangsa pasar. Kerjasama dengan industri asing akan berdampak pada kemampuan untuk mendapat pangsa pasar sebesar 36%. Sedangkan jika industri memasuki persaingan secara langsung, maka pangsa pasar yang dapat diambil adalah 17%.
Gambar 28. Model PHA Pasar Bioinsektisida yang nyata Keterangan level 1: Goal, level 2 : Faktor, level 3: Aktor, level 4 : Alternatif solusi
B. Aspek Teknis B.1. Keadaan Umum Daerah Bogor Daerah Bogor secara umum menjadi daerah strategis perkembangan perekonomian. Daerah ini ditopang oleh sektor perdagangan hingga + 30 %. Kondisi ini menjadi salah satu daya dukung pengembangan industri. Bogor menjadi bagian dari Megapolitan Jabodetabek. Ketersediaan infrastruktur dan kemudahan aliran informasi menjadikan Bogor sebagai area yang baik untuk menjadi alternatif lokasi pendirian industri. Bogor dibagi menjadi dua daerah pemerintahan yaitu Kabupaten Bogor dan Kota Bogor. Data kondisi umum mengenai kedua wilayah tersebut dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Data umum Kabupaten dan Kota Bogor No 1
Keterangan Letak geografis
Kabupaten Bogor Kota Bogor 6,19o-6,47oLS dan 106o 1'106°48' BT dan 6°26' LS 107o103' BT 2 Luas 2.371,21 km² 118,5 km² 3 Jumlah Penduduk 4.316.236 (2007) 750.250 (2003) 4 Kepadatan Penduduk 1.820 jiwa/km² 6.331 jiwa/km² 5 Jumlah Kecamatan 40 6 6 Jumlah Desa/kelurahan 17 68 7 Ibukota Cibinong Bogor 8 Area Industri Kimia dan ObatKec.Cileungsi, Bogor Selatan obatan Kelapanunggal, dan Gunung Putri Sumber: http//bappeda.bogorkab.go.id (2010), www.bogorkab.go.id (2010), dan www.kotabogor.go.id (2010)
42
B.1.1. Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor terletak di antara 6,19o-6,47oLS dan 106o 1'-107o103' BT. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Tangerang , Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi di utara; Kabupaten Karawang di timur; Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi di selatan; Kabupaten Lebak di barat. Kabupaten Bogor terdiri atas 40 kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan di Kecamatan Cibinong. Lokasi ini mendukung perkembangan serta pertumbuhan ekonomi dan jasa pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Bagian utara Kabupaten Bogor merupakan dataran rendah (lembah Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane), bagian selatan berupa pegunungan, dengan puncaknya: Gunung Halimun (1.764 m), Gunung Salak (2.211 m), dan Gunung Gede Pangrango (3.018 m) yang merupakan gunung tertinggi kedua di Jawa Barat Wilayah Kabupaten Bogor memiliki luas 2.371,21 km², dengan tipe morfologi wilayah yang bervariasi, yaitu sekitar 29,28 % berada pada ketinggian 15 - 100 meter diatas permukaan laut (dpl), 42,62% berada pada ketinggian 100 - 500 meter dpl, 19,53% berada pada ketinggian 500 - 1.000 meter dpl, 8,43 berada pada ketinggiat 1.000 - 2.000 meter dpl, dan 0,22% berada pada ketinggian 2.000 - 2.500 meter dpl. Kondisi morfologi Kabupaten Bogor sebagian besar berupa dataran tinggi, perbukitan dan pegunungan dengan batuan penyusunnya yang didominasi hasil letusan gunung, yang terdiri dari andesit, tufa dan basalt. Gabungan batu tersebut termasuk dalam sifat jenis batuan relatif lulus air, dimana kemampuannya meresapkan air hujan tergolong besar. Jenis pelapukan batuan ini relatif rawan terhadap gerakan tanah bila mendapatkan siraman curah hujan yang tinggi. Sejanjutnya, jenis tanah penutup didominasi oleh material vulkanik lepas agak peka dan sangat peka terhadap erosi, antara lain Latosol, Aluvial, Regosol, Podsolik dan Andosol. Demikian beberapa wilayah rawan terhadap tanah longsor. Perekonomian kabupaten Bogor digerakkan oleh sektor wisata dan pertanian. Kabupaten Bogor memiliki Perkebunan Teh Cianten, Gunung Mas, dan Cikopo. Pada area Tengah,Kabupaten Bogor banyak dihasilkan buah dan sayur (bappeda.bogorkab.go.id 2010).
B.1.2. Kota Bogor Kota Bogor terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS. Kota Bogor berada tepat di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor. Lokasi ini berjarak + 60 km dengan Ibukota Negara. Hal ini merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan serta pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata seperti halnya Kabupaten Bogor. Kota Bogor mempunyai rata-rata ketinggian minimum + 190 m dan maksimum + 330 m di atas permukaan laut. Suhu rata-rata tiap bulan di Kota Bogor adalah 26’ C dengan suhu terendah 21,8’C dan suhu tertinggi 30,4’C. Kelembaban udara 70 %, Curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.500 – 4000 mm dengan curah hujan terbesar pada bulan Desember dan Januari. Luas Wilayah Kota bogor sebesar 118,50 km2 yang terdiri dari 6 kecamatan dan 68 kelurahan. Secara Administratif kota Bogor terdiri dari 6 wilayah kecamatan, 31 kelurahan dan 37 desa (lima diantaranya termasuk desa tertinggal yaitu desa Pamoyanan, Genteng, Balubangjaya, Mekarwangi dan Sindangrasa), 210 dusun, 623 RW, 2.712 RT dan dikelilingi oleh Wilayah Kabupaten Bogor yaitu sebagai berikut : •
Sebelah Utara berbatasan dengan Kec. Kemang, Bojong Gede, dan Kec. Sukaraja, Kabupaten Bogor.
•
Sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Sukaraja dan Kec. Ciawi, Kabupaten Bogor.
•
Sebelah Barat berbatasan dengan Kec. Darmaga dan Kec. Ciomas, Kabupaten Bogor.
•
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kec. Cijeruk dan Kec. Caringin, Kabupaten Bogor.
43
Tahun 2001, persentase penggunaan lahan di Kota Bogor untuk pemukiman adalah sebesar 69,88%, untuk pertanian sebesar 10,05%, untuk jalan sebesar 5,31%, untuk jasa dan perdagangan sebesar 3,52%, untuk badan (sungai, situ, danau ) sebesar 2,89 %. Perkembangan kegiatan kota dilakukan dengan mengalihfungsikan lahan pertanian yang kurang produktif dan kebun campuran. Arah perkembangan fisik Kota Bogor sebagai berikut : 1. Bogor Selatan, berpotensi sebagai daerah permukiman dan ruang terbuka hijau 2. Bogor Utara, berpotensi sebagai daerah industri non polutan dan sebagai penunjangnya adalah permukiman serta perdagangan dan jasa. Pada Bogor Utara terdapat kecamatan Tanah Sareal yang berpotensi sebagai permukiman, perdagangan dan jasa, serta fasilitas pelayanan kota 3. Bogor Barat, berpotensi sebagai daerah permukiman yang ditunjang oleh objek wisata 4. Bogor Timur, berpotensi sebagai daerah permukiman 5. Bogor Tengah, berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah Perkembangan perekonomian Kota Bogor berada pada kisaran + 6 % dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) + Rp 3,5 Triliun dengan pendapatan perkapita + Rp. 4,5 juta. Sektor lapangan usaha keuangan, persewaan dan jasa Perusahaan memberikan kontribusi bagi peningkatan PDRB Kota Bogor sebesar 12,35%, sektor pertanian sebesar 0,40%, sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 10,62%, sektor industri pengolahan sebesar 26,44%, sektor listrik, gas dan air bersih sebesar 3,06%, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 31.27%, sektor jasa-jasa sebesar 7,37%, dan sektor bangunan sebesar 8,50% (www.kotabogor.go.id 2010).
B.2. Calon Lokasi Potensial Daerah Bogor merupakan daerah yang memiliki image pertanian yang kuat. Hal ini didukung dengan keberadaan Kebun Raya Bogor dan perkebunan teh PTPN VIII di Gunung Mas dan Cianten. Kabupaten Bogor menetapkan empat wilayah strategis, diantaranya area agropolitan yang terletak di kecamatan Leuwiliang (Bappeda Kabupaten Bogor 2010). Hal ini mendukung pengembangan daerah agrowisata dan agropolitan. Kabupaten dan Kota Bogor menetapkan wilayah khusus industri seperti yang disebutkan pada Tabel 16. Kabupaten Bogor memiliki tiga kecamatan yang menjadi wilayah khusus industri yaitu Cileungsi, Kelapanunggal, dan Gunung Putri. Kota Bogor memiliki Bogor Selatan sebagai wilayah khusus industri. Di samping semua daerah tersebut terdapat satu wilayah pengembangan lain yaitu kecamatan Darmaga. Pada kecamatan tersebut terdapat kampus Institut Pertanian Bogor yang memiliki laboratorium lapang di Leuwikopo. Lokasi kelima daerah tersebut dapat dilihat pada Gambar 29,30, dan 31.
44
Gambar 29. Area Kabupaten Bogor 1:100.000 (Cileungsi, Gunung Putri, Kelapanunggal) Sumber : maps.google.com
Gambar 30. Bogor Selatan 1: 20.000 Sumber : maps.google.com
45
Gambar 31. Area Leuwikopo, Darmaga-Bogor, 1: 20.000 Sumber : maps.google.com
B.3. Karakterisitik dan Ketersediaan Bahan Baku Sarfat (2010) dan Susanto (2010) mengembangkan produk Bta dengan substrat limbah cair tahu dan ampas tahu. Secara umum, bahan untuk substrat mikroba harus memiliki kadar proksimat seperti pada Tabel 17. Tabel 17. Kadar Proksimat Substrat untuk bakteri No Elemen Kadar (% basis kering) 1 Karbon 50-53 2 Hidrogen 7,0 3 Nitrogen 12-15 4 Fosfor 2,0-3,0 5 Sulfur 0,2-1,0 6 Potasium 1,0-4,5 7 Sodium 0,5-1,0 8 Kalsium 0,01-1,1 9 Magnesium 0,1-0,5 10 Klorida 0,5 11 Besi 0,02-0,2 Sumber : Luria 1960, Aiba et al 1973, Herbert 1976 dalam Stanbury dan Whitaker 1989
Pada hasil pengujian untuk limbah cair tahu dan limbah ampas tahu memiliki komposisi dasar seperti pada Tabel 18. Limbah ampas tahu memiliki kadar nitrogen yang tinggi yaitu 41 % melebihi konsentrasi nitrogen untuk standar yaitu (12-15) %. Nitrogen ini berperan penting pada pembentukan biomassa sel pada fase lag (fase pertumbuhan). Kadar nitrogen yang tinggi pada ampas tahu dapat mengimbangi kadar nitrogen yang rendah pada limbah cair tahu. Namun
46
substrat ini memiliki kadar karbon, protein, dan karbohidrat serta mineral yang rendah sehingga dilakukan penambahan konsentrasi zat-zat tersebut saat proses produksi. Tabel 18. Kandungan proksimat ampas tahu dan limbah cair tahu No
Elemen
Kadar (% basis kering) Limbah Ampas Tahu Limbah Cair Tahu 876 9919 7 50 41 2 5 79 22 1
1 Air 2 Abu 3 Nitrogen 4 Lemak 5 Serat Sumber: Sarfat (2010)
Kandungan proksimat kedua jenis limbah memungkinkan untuk dijadikan substrat pada produksi bioinsektisida Bta. Industri tahu menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Industri ini menghasilkan limbah padat sebanyak + 2,5% dari total bahan baku dan limbah cair dalam jumlah besar. Neraca massa produksi industri tahu dijelaskan pada Gambar 32. Input
Teknologi Proses
Kedelai 6 kg Air 270 kg
Output
Energi
Tahu 8 kg
Limbah Ampas tahu 7 kg
Whey 261 kg
Gambar 32. Neraca Massa Pembuatan Tahu Sumber : Nuraida (1985) dalam Partoatmodjo et.al (1991) dengan penyesuaian dalam www.kelair.bppt.go.id
Kota Bogor merupakan salah satu daerah dengan persebaran industri tahu yang merata. Kota ini dalam setahun dapat menghasilkan 1.229 ton tahu (Disperindakop Kota Bogor 2010). Kapasitas produksi yang besar mengindikasikan limbah yang terbentuk juga bervolume besar. Produktivitas industri tahu di Kota Bogor dijelaskan pada Tabel 19. Volume limbah indsutri tahu yang ada pada kota Bogor cukup untuk menjadi sumber pasokan bahan baku substrat produksi Bta. Tabel 19.Produksi Tahu di Kota Bogor No 1 2 3 4 5 6
Area
Tahu (ton/tahun)
Bogor Utara 695 Bogor Selatan 277 Bogor Timur 15 Bogor Barat 191 Bogor Tengah 25 Tanah Sareal 26 1.229 Total Sumber : Disperindakop Kota Bogor (2010)
Ampas tahu (ton/ tahun) 608 242 13 167 21 22 1.073
Limbah cair (liter/tahun) 22.674 9.037 489 6.231 815 848 40.094
47
B.4. Pengembangan Produk Bta B.4.1. Pengembangan Teknologi Proses dan Produk Sarfat (2010) dan (Susanto) telah mengembangkan produk Bta dengan teknologi fermentasi cair. Rendemen produk 1,3-3,5 g/100ml bahan baku atau rata-rata 1,81%. Telah dijelaskan pada halaman 1 bahwa rendemen maksimal untuk produk mikrobial berbasis protein sel adalah 3% (Mc Neil dan Harvey 2008). Hidayat et al (2006) menjelaskan bahwa nilai ekonomi produk mikrobial dengan rendemen rendah adalah tinggi. Proses produksi yang dikembangkan untuk produksi pada skala laboratorium adalah seperti pada Gambar 33.
Gambar 33. Diagram alir proses produksi bioinsektisida Skala Laboratorium Neraca massa yang terbentuk pada skala laboratorium seperti pada Gambar 34. Berat jenis bahan baku diasumsikan 1g/ml, sehingga nilai bobot dan volume adalah sama. Untuk perhitungan neraca massa dapat dilihat pada Lampiran 1. Produksi pada skala laboratorium hanya menggunakan urutan proses propagasi I, porpagasi II dan pemanenan. Input merupakan propagasi I, kegiatan proses merupakan propagasi II.
48
Proses
Input Ampas tahu Limbah cair tahu MnSO4 MgSO4 FeSO4 CaCO3 Nutrient Broth Urea Biakan Bta Total
20 g <80 ml 0,02 g 0,3 g 0,02 g 1g 2,5 ml 0,21 g 1 ose 100ml
Inkubasi Reduksi bobot Total
100 ml 0 ml 100 ml
Output Bubuk bioinsektisida Limbah Loss Total
3,5 g 96,5 g 0 ml 100 g
Gambar 34. Neraca massa produksi skala Laboratorium
B.4.2. Penggandaan Skala Untuk Skala Pilot Pengembangan produk mikrobial menjadi skala industri memerlukan translasi dari pengembangan pada skala laboratorium. Dasar pengembangan produk untuk industri mikrobial berbasis mikroba adalah pada skala laboratorium. Purnawati (2007) melakukan scale up skala pilot untuk produk Bt subsp israelensis. Pada penelitian tersebut, translasi dilakukan dari volume produksi 3 liter menjadi skala pilot 13 liter. Kondisi ini dapat diterapkan pada produk Bta. Secara umum Bt memiliki karakteristik yang sama. Perbedaan strain hanya berdampak pada perbedaan jenis kristal protein yang dihasilkan (Glare et al 2000). Purnawati (2007) menjelaskan bahwa dalam melakukan scale up, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu kesamaan geometrik bioreaktor, komposisi bahan baku yang sama, serta menggunakan kondisi pH, suhu, kelarutan oksigen, dan strain yang sama. Parameter yang diperlukan dalam penentuan geometrik bioreaktor adalah diameter impeler (Di), diameter tangki (Dt), tinggi cairan media (HL), dan jumlah impeler (Ni). Spesifikasi bioreaktor kapasitas 3 liter yang digunakan Purnawati (2007) adalah sebagai berikut: 1. Tipe impeller (Ni) = turbin pipih (flat-blade turbin) 2. Jumlah impeller(Nb) = 1 set 3. Tinggi Bioreaktor (Ht) = 0,23 m 4. Tinggi cairan fermentasi (Hl) = 0,153 m 5. Diameter impeller (Di) = 0,05 m 6. Diameter tangki (Dt) = 0,129 m 7. Volume media (V) =2L 8. Densitas media (P) = 1,0067g/ml 9. Kecepatan aerasi (Vs) = 1vvm 10. Kecepatan agitasi (N) = 200 rpm = 3,333rps Pada skala pilot, digunakan bioreaktor dengan kapasitas 13 liter, dengan spesifikasi sebagai berikut (Purnawati 2007) : 1. Tipe impeller (Ni) = turbin pipih (flat-blade turbin) 2. Jumlah impeller (Nb) = 1 set 3. Tinggi Bioreaktor (Ht) = 0,45 m 4. Tinggi cairan fermentasi (Hl) = 0,336 m 5. Diameter impeller (Di) = 0,09 m 6. Diameter tangki (Dt) = 0,197 m
49
Skema bioreaktor yang digunakan adalah seperti pada Gambar 35.
Gambar 35. Skema bioreaktor skala laboratorium (Purnawati 2007) Berdasar perhitungan pada Lampiran 3 diperoleh pada skala laboratorium diperlukan tenaga 0,01303 HP/ m3 dengan nilai koefisien transfer oksigen (kLa) 0,0015/ detik. Penggandaan skala menjadi skala pilot (13 liter) dengan menggunakan basis Pg/ V membutuhkan energi 0,0208 HP/m3, kebutuhan aerasi 0,8 vvm dan kecepatan agitasi 135 rpm. Penggandaan skala menggunakan basis kLa mebutuhkan energi 0,02687 HP/m3, kebutuhan aerasi 0,6 vvm, dan kecepatan agitasi 34 rpm. Perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 3.
C. Aspek Finansial Pembangunan proyek berimplikasi pada kebutuhan akan modal. Dana modal dapat diperoleh dari dana pribadi atau pinjaman. Modal yang berasal dari pinjaman, secara umum tidak mencapai 100% pinjaman. Bank memberikan tiga jenis pinjaman yaitu pinjaman investasi, pinjaman modal kerja, dan pinjaman konsumsi (Bank Indonesia 2011). Masing-masing jenis pinjaman memiliki tingkat suku bunga yang berbeda. Daftar suku bunga pinjaman Bank dapat dilihat pada Lampiran 9. Pinjaman maksimum yang dapat bank berikan adalah 65% dari total kebutuhan modal (Bank Mandiri 2010). Industri harus mempersiapkan minimal modal 35% dari kebutuhan modal nantinya. Beberapa asumsi yang harus diperhatikan dalam mengembangkan proyek adalah: 1. Pajak bumi dan bangunan sebesar 0,1% (Undang-undang no 12 tahun 1994) 2. Pajak pendapatan badan usaha 28% (Undang-undang no 36 tahun 2008) 3. Rataan MARR/ discount factor adalah 15% (Bank Indonesia 2010)
D. Jaringan Kerja Pra Kelayakan Kegiatan-kegiatan pada aspek-aspek pra kelayakan diawali dengan kegiatan pendahuluan yang memerlukan perencanaan biaya, alokasi dan sumber daya manusia untuk menjalankannya. Berdasar bagan keterkaitan dan penjelasannya pada halaman 32, diperoleh perencanaan alokasi sumber daya untuk kegiatan pendahuluan seperti pada Tabel 20.
50
Tabel 20. Alokasi Sumber Daya Pendahuluan Kegiatan
A B
Rincian Kegiatan
Predecessor
A1 A2 B1 B2 B3
0 A1 A’ A’ A’
Perkiraan Alokasi Biaya Waktu (Rp/orang/hari) (hari)
Successor SDM (orang)
A2 A’ B’ B’ B’
2
35.000
50 20 10
35.000
Total Biaya Total (SDM x Biaya)
2
Rp 2.800.000 Rp 5.600.000
Biaya Peralatan dan akomodasi (Rp) 0 0
80
0
Keterangan : Upah Minimum Regional (UMR) Bogor + Rp 1.000.000/ bulan (BPLHD Jawa Barat 2011)
Jaringan kerja yang diperoleh berdasar bagan di atas adalah seperti pada Gambar 36. B1 10
A1
A
50
A2
20
B
A’
B2
B3
10
B’
10
Gambar 36. Jaringan kerja pendahulan dengan alokasi waktu Kegiatan pendahuluan membutuhkan waktu 80 hari untuk menyelesaikan keseluruhan aspek analisis. Keseluruhan membutuhkan sumber daya manusia 2 orang. Penentuan hari didasarkan pada waktu yang diperlukan Sarfat (2010) dan Susanto (2010) untuk menyelesaikan pengembangan produk. Jumlah SDM yang dicantumkan merupakan SDM riil saat pengembangangan produk. Dengan UMR Rp 35.000/hari maka diperoleh rencana biaya untuk menyelesaikan analisis pendahuluan adalah Rp 5.600.000. Pada Gambar 36 diketahui terdapat 3 percabangan yang membentuk 3 jalur. Ketiga jalur tersebut menjadi jalur kritis yaitu jalur dengan kebutuhan waktu paling lama. Akhir dari kegiatan pendahuluan merupakan awal dari kegiatan pra kelayakan. Berdasarkan hasil analisis yang telah diperoleh dengan penjelasan pada halaman 33, keterkaitan dalam analisis pra kelayakan membutuhkan alokasi sumber daya seperti pada Tabel 21. Tabel 21. Alokasi Sumber Daya Pra Kelayakan Kegiatan
C D
E
Rincian Kegiatan
Predecessor
C1 C2 D1 D2 D3 D4 E1
B’ B’ C’ D1 C’ D3 C’ D’ D’
E2
Successor SDM (orang)
Total Biaya Total (SDM x Biaya)
C’ C’ D2 D’ D4 D’ E’
1
Perkiraan Alokasi Biaya Waktu (Rp/orang/hari) (hari)
35.000
5
35.000
3 3 3 4 1
1
35.000
1
35.000
E’ 3
Rp455.000 Rp 1.365.000
1 13
Biaya Peralatan dan akomodasi (Rp) 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Keterangan : Upah Minimum Regional (UMR) Bogor + Rp 1.000.000/bulan (BPLHD Jawa Barat 2011)
51
Jaringan kerja yang diperoleh adalah seperti pada Gambar 37. D1 3
C1
B’
D2
5
C
C’ C2
5
E1
3
D
D’ D3
1
E’
E E2 1
3
4
D4
Gambar 37. Jaringan kerja pra kelayakan dengan alokasi waktu Kegiatan pendahuluan membutuhkan waktu 93 hari dengan termasuk waktu 80 hari pendahuluan. Untuk menyelesaikan keseluruhan aspek analisis. Keseluruhan membutuhkan sumber daya manusia 2 orang. Dengan UMR Rp 35.000/ hari maka diperoleh rencana biaya untuk menyelesaikan analisis pra kelayakan adalah Rp 1.365.000. Pada Gambar 37 diketahui terdapat 1 jalur kritis yaitu jalur C’-D3-D4-D’ yang membutuhkan waktu 12 hari. Jalur tersebut merupakan jalur kegiatan analisis daerah penghasil bahan baku dan penentuan alternatif lokasi berdasar wawancara pakar. Keberadaan jalur tersebut dengan ditambahkan hingga mencapai E’ menjadikan kegiatan membutuhkan waktu 13 hari. Hasil keterkaitan kegiatan hingga pra kelayakan membutuhkan total alokasi dana Rp6.965.000 dengan alokasi waktu 93 hari dan sumber daya 3 orang. Sumber daya yang digunakan untuk pendahuluan dan pra kelayakan adalah sama. Penambahan SDM dilakukan berdasarkan penambahan pekerjaan yang dilakukan. Kegiatan pra kelayakan dapat dilakukan jika kegiatan pendahuluan selesai, oleh karena itu SDM yang mengerjakan bagian pendahuluan dapat melanjutkan kegiatan analisis pra kelayakan.
52