Ir. Bambang, M.M. Ir. Irmijati Rachmi Nurbahar, M.Sc. Drs. Dudi Gunadi, B.Sc., M.Si. Ir. Muh. Edi Subiyantoro, M.M. Deden Indra Teja Maya, S.P, M.Sc. Ir. Irmia Nur Andayani, M.M. Ir. T. R. Sihaloho, M.M. M. Fauzan Ridha, S.Pt, M.Sc. Dwi Setyawati Putri, S.E. Endah Kurniawati, S.P. Indah Pasimura, S.T. Ahmad Firdaus, S.H.
Eddy Renaldi, S.P., M.E. Dr. Tomy Perdana, S.P., M.M. Mahra Arari Heryanto, S.P., M.T. Dr. Bayu Kharisma, S.E., M.M., M.E. Dr. Gede Wibawa Dr. Undang Fadjar Dr. Sinung Hendratno Dr. Herman Dr. M. Supriadi Ir. Lukman Fadli, M.Si.
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
RINGKASAN EKSEKUTIF Perkebunan merupakan salah satu subsektor yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Data perkiraan (PDB) nasional tahun 2015 menunjukkan baha ratarata kontribusi sub sektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian sebesar 35,39% berdasarkan harga berlaku atau 39,29% berdasarkan harga konstan 2010. Sedangkan kontribusi PDB sub sektor perkebunan terhadap PDB nasional tahun 2015 diperkirakan sebesar 3,57% berdasarkan harga berlaku atau 3,90% berdasarkan harga konstan 2010. Data tersebut menunjukkan masih pentingnya peranan perkebunan sebagai penghasil devisa, penyediaan peluang bekerja/berusaha bagi masyarakat Indonesia, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri dan bahan baku berbagai industri dalam negeri (termasuk energi terbarukan) serta dalam perolehan nilai tambah melalui peningkatan daya saing dan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam. Peranan sub sektor perkebunan dalam penyediaan peluang berusaha/bekerja semakin penting, mengingat jumlah penduduk Indonesia terus bertambah, sedangkan peluang berusaha/bekerja yang diciptakan sub sektor lain tidak berlangsung pesat. Dalam membangun perkebunan yang tangguh diperlukan investasi modal dan teknologi, sehingga akselerasi pembangunan perkebunan dapat terus didorong terutama pada komoditas perkebunan yang memiliki prospek pasar yang baik. Investasi tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan para pelakunya secara signifikan. Bersamaan dengan itu, perekonomian global menuntut keterbukaan Indonesia terhadap modal asing dalam pembangunan ekonomi nasional, termasuk pada subsektor perkebunan. Namun demikian, meskipun investasi diperlukan sebagai salah satu motor penggerak pembangunan ekonomi, tetapi Ringkasan Eksekutif
i
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
keterbukaan ekonomi harus tetap memperhatikan kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional. Kebijakan keterbukaan ekonomi tersebut, khususnya dalam subsektor perkebunan, ditindaklanjuti pemerintah Republik Indonesia dengan mengeluarkan UndangUndang Republik Indonesia nomor. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya melalui Pasal 95 ayat 1 yang menyebutkan bahwa . Walaupun demikian, keberpihakan pemerintah terhadap modal dalam negeri disebutkan dalam ayat 2 dan ayat 3 sebagai berikut: . Untuk mengimplementasikan keberpihakan tersebut dituangkan dalam ayat 4 dan ayat 5 sebagai berikut : . alam rangka menindaklanjuti amanat UndangUndang Perkebunan tersebut, khususnya dalam hal pembatasan penanaman modal asing, maka diperlukan rumusan yang berisi justifikasi baik secara teoritis maupun empiris yang mencakup aspekaspek yuridis sosiologis teknis ekonomis dan ekologis. Untuk itu, maka dilakukan Hasil tinjauan ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi salah satu acuan penentuan besaran Penanaman Modal Asing (PMA) yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Usaha Perkebunan, khususnya penetapan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha kelapa sawit dan usaha tebu, baik yang berlangsung pada lapangan usaha perbenihan, budi daya maupun pengolahan primer. Komoditas kelapa sawit dan tebu menjadi pilihan tinjauan ini, mengingat: 1) produk akhir pengolahan kelapa sawit (minyak goreng) dan pengolahan tebu (gula pasir) merupakan produk strategis
ii
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
nasional sebagai bahan pangan pokok dan minyak kelapa sawit merupakan penyumbang devisa negara, 2) karakteristik kedua komoditas tersebut berbeda tetapi mewakili komoditas perkebunan yang bersifat tahunan dan semusim. Menurut Buku Statistik Perkebunan Indonesia tahun 2014 2016, luas areal kelapa sawit Indonesia pada tahun 2015 mencapai 11,30 juta hektar atau 48,6% dari total areal perkebunan di Indonesia (23,25 juta hektar). Mengacu pada peta jalan komoditas kelapa sawit, luas areal kelapa sawit akan dibatasi maksimal sekitar 13 juta hektar, sehingga peluang perluasan hanya tinggal 1,7 juta hektar. Berdasarkan pelaku usaha, luas areal kelapa sawit pada tahun 2015, terdiri dari: 4,58 juta hektar (40,5%) Perkebunan Rakyat/PR; 0,75 juta hektar (6,6%) Perkebunan Besar Negara/PBN; dan 5,97 juta hektar (52,8%) Perkebunan Besar Swasta/PBS (mencakup perusahaan PMDN dan PMA). Dari total areal tersebut, areal kelapa sawit yang melebihi 1 juta hektar terdapat di 4 provinsi, yaitu Riau (2,38 juta hektar), Sumatera Utara (1,44 juta hektar), Kalimantan Tengah (1,18 juta hektar) dan Sumatera Selatan (1,00 juta hektar). Total produksi dari 4 provinsi mencapai 18,7 juta ton atau 59,93 % dari total produksi kelapa sawit nasional (31,2 juta ton). Selain itu, menurut statistik yang diolah Ditjen. Perkebunan tahun 2016, penerimaan devisa dari ekspor (CPO) meningkat cukup tajam, dimana pada tahun 1980 masih US$ 0,255 milyar dan diperkirakan meningkat menjadi US$ 4,382 milyar pada tahun 2015. Buku Statistik Perkebunan Indonesia tahun 20142016 menunjukkan bahwa dalam 5 tahun terakhir luas areal penanaman tebu meningkat. Pada tahun 2010 luasan penanaman sebesar 426.900 hektar dan diperkirakan pada tahun 2015 menjadi 478.171 hektar. Luas areal tebu tersebut terdiri dari: 274.951 hektar (59,5%) Perkebunan Rakyat/PR, 74.063 hektar (16,0%) Perkebunan Besar Negara/PBN dan Ringkasan Eksekutif
iii
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
112.718 hektar (24,4%) Perkebunan Besar Swasta/PBS (mencakup perusahaan PMDN dan PMA). Berdasarkan lokasi, 87% areal PR berada di Jawa, sebaliknya 66% areal PBS berada di Luar Jawa. Sementara itu, luas areal PBN di Jawa dan luar Jawa relatif imbang, masingmasing 48% dan 52%. Statistik Perkebunan Indonesia tahun 20142016 juga menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kemampuan produksi gula nasional hanya ± 2,6 juta ton sedangkan total konsumsi gula nasional untuk keperluan rumah tangga, industri makanan minuman, farmasi, dan lainnya mencapai ± 5,8 juta ton sehingga masih kekurangan 3,2 juta ton. Perkembangan neraca perdagangan komoditas tebu dari tahun ke tahun menunjukkan kinerja yang negatif. Tahun 2010 neraca perdagangan komoditas tebu sebesar negatif US$ 753,94 juta. Setelah itu tahun 2011, neraca perdagangan komoditas tebu menunjukan angka negatif US$ 1.589,87 juta. Kondisi tersebut meningkat di tahun 2012 dan 2013 dengan angka neraca perdagangan mencapai negatif US$ 1.609,11 juta dan US$ 1.683,69 juta. Akan tetapi, pada tahun 2014 mengalami penurunan walaupun masih terdapat laju negatif yaitu sebesar US$ 1.213,35 juta. Pada tahun 2015 sesuai angka sementara, neraca perdagangan komoditas tebu masih negatif sebesar US$ 1.219,81 juta. Undangundang ini merupakan tindak lanjut nasionalisasi perusahaan milik Belanda, Inggris dan Amerika. Dengan UndangUndang ini Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan baru, yaitu kebijakan ekonomi dengan mengundang masuknya modal asing disertai pemberian fasilitasi perpajakan, jaminan hukum terhadap kemungkinan nasionalisasi dan upaya penyelesaian bila terjadi perselisihan.
iv
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Dalam edaran tersebut ditetapkan saham nasional sekurang kurangnya menjadi 51% dalam waktu 10 tahun dan pengenaan iuran wajib sebesar US$100 per bulan bagi setiap tenaga kerja asing untuk pendidikan dan latihan bagi tenaga kerja Indonesia. Keputusan Presiden ini diterbitkan pada saat harga minyak dunia turun dan pemberian insentif baru bagi pemodal asing yang disebut “Paket 6 Mei 1986”. Paket ini kemudian diperbarui dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1987 dengan tujuan merespon peraturan kepemilikan saham dan peningkatan ekspor non migas. Kebijakan ini memberikan kemudahan antara lain mengijinkan perusahaan PMA memiliki saham sampai 95% dari perusahaan yang berorientasi ekspor, perusahaan yang memiliki investasi US$ 10 juta atau lebih, atau berlokasi di provinsi tertentu atau di wilayah timur Indonesia. Dalam waktu 5 (lima) tahun kepemilikan saham dalam negeri harus bertambah sampai sekurangkurangnya 0% dan dalam 10 tahun meningkat sampai 51% (mayoritas). Ketentuan ini memuat perubahan mendasar dalam kebijakan investasi antara lain perusahaan penanam modal asing dapat melakukan kegiatan usaha di sektor perkebunan, perikanan, kehutanan, pertambangan, perhubungan, pekerjaan umum, kesehatan dan penyediaan jasa serta jaringan telekomunikasi. Saham pemodal dalam negeri dalam perusahaan patungan minimal 50% dari seluruh perusahaan disetor pada saat pendirian.
Ringkasan Eksekutif
v
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Undangundang ini merupakan penyempurnaan ketentuan penanaman modal sebelumnya dan untuk mengantisipasi kebutuhan percepatan pembangunan ekonomi nasional serta dalam menghadapi perekonomian global. Dalam hal ini, pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Dalam UndangUndang ini terdapat ketentuan yang terkait dengan penanaman modal asing pada pasal 95, yaitu usaha perkebunan dapat diselenggarakan melalui penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Walaupun demikian, prioritas pengembangan usaha perkebunan dilakukan melalui penanaman modal dalam negeri. Untuk itu, besaran penanaman modal asing akan ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Salah satu materi muatan dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 adalah mengenai batasan kepemilikan modal asing dalam bidang usaha perkebunan. Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 telah memberikan kesempatan yang besar kepada para penanam modal asing untuk menanamkan modalnya dalam bidangbidang usaha perkebunan dengan batas maksimal kepemilikan modal PMA sebesar 95%, tetapi disertai dengan persyaratan bahwa perusahaan dimaksud harus memfasilitasi pembangunan kebun bagi masyarakat sekitar kebun plasma sekurangkurangnya 20%. Dalam Peraturan Presiden tersebut, PMA pada usaha kelapa sawit dan usaha tebu ditetapkan sebagai berikut:
vi
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
1) PMA Maksimal 95 % + Kewajiban Perkebunan Plasma sebesar 20%: Usaha Perbenihan dengan luas 25 hektar atau lebih: Benih Tebu, Benih Kelapa Sawit Usaha Perkebunan dengan luas 25 hektar atau lebih tanpa Unit Pengolahan: Kebun Tebu, Kebun Kelapa Sawit Kebun 25 hektar atau lebih yang terintegrasi dengan Unit Pengolahan: Kebun Tebu + Industri Gula Pasir; Pucuk Tebu; Bagas, Kebun Kelapa Sawit + Industri Minyak Kelapa Sawit (CPO) 2) PMA Maksimal 95 % + Bahan baku 20% dari kebun sendiri: Pabrik Pengolahan: Industri Gula Pasir; Pucuk Tebu; Bagas, Industri Minyak Sawit (CPO) Batas maksimal kepemilikan modal PMA sebesar 95% pada usaha perkebunan sebenarnya bukan hal baru karena sudah ditetapkan sebelumnya dalam Peraturan Presiden untuk hal yang sama, yaitu Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 111 tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Pembatasan penanaman modal asing pada usaha perkebunan diatur dalam bab khusus penanaman modal. Demikian juga, dalam undangundang lainnya seperti UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang penanaman modal dan Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Sementara itu, dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan maupun dalam Undangundang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan modal asing ditetapkan dalam peraturan pemerintah. Ringkasan Eksekutif
vii
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam penanaman modal asing sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9 Undang Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan adalah ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 114 ayat 3. Ketentuan tersebut, menetapkan bahwa . Kompleksitas yang saling terkait antara aspek sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan dalam subsektor perkebunan, termasuk pada pengusahaan kelapa sawit dan tebu maka diperlukan pemahaman yang komprehensif dan holistik agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan analisis untuk pengambilan kesimpulan maupun penentuan keputusan. Tentunya pemahaman tersebut akan terbentuk melalui akumulasi pengetahuan dan pengalaman setiap aktor (pihak) yang terlibat dalam penyelenggaraan perkebunan (pemerintah, praktisi, akademisi, politisi) sesuai dengan profesi atau peran yang dimiliki oleh masingmasing aktor (pihak) tersebut. leh sebab itu, atau serangkain kegiatan diskusi terfokus yang dilaksanakan dalam kajian ini melibatkan para pihak, yaitu pemerintah, praktisi, dan akademisi. Pendekatan menjadi pilihan tepat dalam melaksanakan tinjauan ini mengingat pendekatan tersebut memiliki kemampuan melakukan peramalan ) dalam menentukan besaran penanaman modal asing pada usaha kelapa sawit maupun usaha tebu, meskipun berhadapan dengan kendala berikut: 1) adanya variabel yang sulit untuk diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan (), misalnya asas penyelenggaraan perkebunan dan perilaku para aktor 2) adanya nilainilai variabel bersifat subyektif yang merupakan hasil penilaian secara konsensus ( ), 3) keterbatasan data sekunder maupun primer. Model yang digunakan dalam tinjauan ini dibangun dengan kerangka kerja yang terintegrasi melalui kombinasi antara dan
viii
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Kombinasi tersebut dilakukan untuk melengkapi studi kualitatif dan kuantitatif dalam meramalkan besaran kepemilikan Penanaman Modal Asing (PMA) pada usaha komoditas kelapa sawit dan tebu di Indonesia, baik dalam lapangan usaha (subsistem) usaha perbenihan, budidaya maupun usaha pengolahan primer. bertujuan untuk menggambarkan hubungan kausal dan saling ketergantungan satu faktor dengan faktor lainnya, sedangkan ANP memberikan preferensi terhadap tujuan yang konsisten mengenai tujuan strategis yang akan dicapai yaitu meramalkan besaran kepemilikan modal PMA kedua usaha tersebut. Dasar untuk SD dan ANP adalah yang menunjukkan hubungan yang relevan dan antara parameter model. Selanjutnya, data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode (ANP) untuk meramalkan besaran PMA pada usaha komoditas kelapa sawit dan tebu yang ada di Indonesia, baik pada lapangan usaha perbenihan, budi daya, maupun usaha pengolahan primer. Kegiatan tinjauan besaran PMA ini berlangsung melalui 3 (tiga) tahapan berikut: 1) Melakukan konstruksi berdasarkan konsepsi (dari literatur) dan fakta empiris. Secara konseptual, model dibangun dengan merujuk kepada peraturan dan perundanganundangan yang terkait dengan penanaman modal pada subsektor perkebunan. Sementara itu, secara empiris model dibangun melalui serangkaian kegiatan diskusi terfokus (FGD) yang melibatkan para pihak yang berkepentingan, yaitu pemerintah, politisi, praktisi, dan akademisi. Model secara utuh dibangun dengan kerangka kerja yang terintegrasi melalui kombinasi antara dan dalam meramalkan besaran kepemilikan PMA pada usaha perkebunan kelapa sawit dan tebu di Indonesia. 2) Kuantifikasi model, yaitu menggunakan pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa (perbandingan pasangan) antar elemen dalam untuk mengetahui mana di antara kedua elemen tersebut yang lebih besar pengaruhnya (lebih dominan) dan seberapa besar pengaruh tersebut melalui skala numerik 1 yang dihasilkan Ringkasan Eksekutif
ix
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
berdasarkan persepsi para pakar, (3) Analisis data dan sintesis melalui uji konsistensi, dan peramalan Dalam penentuan besaran PMA usaha kelapa sawit maupun usaha tebu, proses yang dilakukan adalah dekomposisi struktur hirarki yang ada, meliputi 5 (lima) langkah berikut: 1) Penentuan pihak (aktor) yang berperan penting dalam penentuan besaran kepemilikan PMA usaha kelapa sawit maupun tebu, yaitu pemerintah; politisi; akademisi; dan praktisi, 2) Penetapan asas efisien dan asas berkeadilan sebagai pembatas dalam penentuan besaran modal PMA usaha kelapa sawit maupun tebu, mengingat penyelenggaraan kedua usaha tersebut (di Indonesia) selain ditujukan untuk pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan produksi; produktivitas; kualitas; nilai tambah; daya saing; dan pangsa pasar juga ditujukan untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran seluruh lapisan masyarakat secara berkeadilan, 3) Pengelompokan permasalahan dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA usaha kelapa sawit dan usaha tebu di Indonesia ke dalam sejumlah aspek dan kriteria 4) Perumusan alternatif strategi penetapan kepemilikan modal PMA menjadi minoritas (dibawah 50 persen) dan kepemilikan modal PMA menjadi mayoritas (minimum 51 persen), 5) Membentuk jaringan struktur ANP mengenai besaran kepemilikan modal PMA usaha kelapa sawit serta tebu. Penentuan besaran kepemilikan modal PMA dalam penyelenggaraan usaha kelapa sawit dan tebu dianalisa melalui pendekatan. tersebut melihat proses umpan balik yang menggambarkan hubungan kausal dan saling ketergantungan antar satu faktor dengan faktor lainnya, yang terdiri dari asas penyelenggaraan usaha perkebunan (asas efisiensi dan berkeadilan) serta berbagai aspek dengan kriteria. Keseluruhan faktor tersebut dikelompokkan menjadi beberapa klaster berdasarkan komoditas (kelapa sawit dan tebu) dan lapangan usaha (perbenihan, budidaya, dan pengolahan primer).
x
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Perumusan asas, aspek, kriteria dan indikator dilakukan melalui serangkaian FGD yang diikuti oleh Tim Ahli komoditas kelapa sawit dan komoditas tebu, selanjutnya pengumpulan data dan informasi untuk penetapan besaran modal PMA dilakukan melalui FGD dan pengisian kuesioner oleh para pakar Pemilihan responden pakar dilakukan dengan mempertimbangkan pemahaman responden pakar terhadap permasalahan pengelolaan usaha perkebunan serta investasi asing dan dalam negeri pada kedua usaha dimaksud. Oleh karena itu, teknik pemilihan responden pakar yang digunakan dalam kajian ini adalah berdasarkan kepakaran Dalam hal ini, para pakar yang dipilih adalah para pihak yang memiliki kompetensi pengetahuan; disiplin ilmu; dan/atau pengalaman memadai terkait usaha komoditas kelapa sawit atau usaha komoditas tebu. Para responden pakar yang terpilih dalam kajian ini sebanyak 31 orang, mencakup unsur pemerintah; politisi; akademisi/peneliti; dan praktisi.
• Besaran kepemilikan modal PMA untuk usaha kelapa sawit maupun usaha tebu dibentuk oleh (berkeadilan dan efisiensi) serta (ekonomi, lingkungan, sosial, dan teknis). Asas berkeadilan dan efisiensi yang menjadi salah satu asas dalam penyelenggaraan usaha kelapa sawit dan tebu secara empiris memiliki peran yang berhubungan dengan aspek sosial; ekonomi; teknis; maupun lingkungan. Selain itu, keempat aspek tersebut secara simultan saling berinteraksi membangun sistem perkebunan dari hulu sampai ke hilir. Peran keseluruhan asas dan aspek dimaksud akan berlangsung secara bersamasama, meskipun tingkat peran masingmasing asas dan aspek akan berbeda tergantung pada jenis komoditas (kelapa sawit dan tebu) serta jenis lapangan usaha (perbenihan, budi daya, dan pengolahan primer). Keseluruhan asas dan aspek tersebut akan berperan dalam pencapaian kinerja penyelenggaraan usaha kelapa sawit maupun tebu dengan orientasi pada dan Ringkasan Eksekutif
xi
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
secara terintegrasi dan berimbang serta berorientasi pada keseimbangan antara pertumbuhan; pemerataan; dan kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. • Makna asas efisiensi dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA usaha kelapa sawit dan tebu adalah penyelenggaraan kedua usaha tersebut berlangsung secara tepat untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya atas sumber daya yang digunakan. Sementara itu, makna asas berkeadilan dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha kedua usaha dimaksud adalah memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. • Rincian aspek dan kriteria hasil FGD Tim Ahli yang digunakan dalam penetapan besaran kepemilikan modal PMA adalah sebagai berikut: 1) Aspek Ekonomi, terdiri dari 4 (empat) kriteria, yaitu: a) pendapatan usaha, b) daya serap pasar, c) daya saing, dan d) kebijakan pemerintah. 2) Aspek Sosial, terdiri dari 3 (tiga) kriteria, yaitu: a) peluang berusaha masyarakat, b) hubungan kelembagaan, dan c) dominasi pengambilan keputusan 3) Aspek Lingkungan, terdiri dari 4 (empat) kriteria, yaitu: a) biologi, b) fisik, c) kimia, dan d) sosial 4) Aspek Teknis, terdiri dari 3 (tiga) kriteria, yaitu: a) ketersediaan teknologi, b) tenaga ahli, dan c) kapasitas produksi. • Hasil FGD Tim Ahli Perkebunan menunjukkan bahwa meskipun aspek dan kriteria untuk seluruh lapangan usaha pada komoditas kelapa sawit dan pada komoditas tebu tidak berbeda, tetapi indikator untuk setiap kriteria dirumuskan berbeda bergantung dari jenis komoditas (kelapa sawit, tebu) dan jenis lapangan usaha (perbenihan, budi daya, pengolahan primer). Hal ini terjadi karena deskripsi dari indikator tersebut sangat berkaitan dengan karakteristik spesifik komoditas serta lapangan usaha. Dengan demikian, rumusan indikator tersebut akan berbeda baik di antara
xii
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
lapangan usaha yang sama tetapi komoditasnya berbeda maupun di antara lapangan usaha yang berbeda meskipun komoditasnya sama. • Untuk komoditas kelapa sawit besaran kepemilikan modal PMA pada masingmasing lapangan usaha (perbenihan, budi daya, pengolahan primer) berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari para responden pakar adalah sebagai berikut: Besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit adalah kepemilikan modal ( Dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha tersebut, asas berkeadilan (64%) dipandang lebih penting dibandingkan Besaran kepemilikan modal PMA tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (31%) sedangkan kriteria pada aspek teknis yang dominan adalah ketersediaan tenaga ahli, dalam hal ini ketersedian jumlah maupun kemampuan tenaga ahli dalam negeri tersedia secara memadai. Penentuan kepemilikan modal PMA sebagai minoritas pada lapangan usaha ini sejalan dengan kenyataan bahwa usaha perbenihan merupakan usaha strategis nasional yang akan menentukan produktivitas dan kualitas produk kelapa sawit dalam kurun waktu panjang (selama umur ekonomis tanaman 23 tahun). Sebagaimana pada lapangan usaha perbenihan kelapa sawit, prioritas besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit adalah kepemilikan modal Sejalan dengan itu, dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA tersebut, asas dipandang lebih penting dibandingkan asas efisiensi. Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah pendapatan usaha (28%) sedangkan kriteria pada aspek sosial yang paling Ringkasan Eksekutif
xiii
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
menentukan adalah peluang berusaha (38%). Penetapan kepemilikan modal minoritas oleh PMA pada lapangan usaha ini sejalan dengan realitas di lapangan bahwa luas lahan yang dikuasai PMA usaha budi daya kelapa sawit sudah mencapai 2,1 juta hektar (Data Ditjen. Perkebunan dan BKPM) atau 31% dari total luas lahan usaha budi daya kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan. Selain itu, dalam kurun waktu 6 tahun (20102015), proses pengambilalihan perusahaan PMDN pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit mencapai 0,58 juta hektar atau sekitar 10% dari luas lahan kelapa sawit di Indonesia yang dikuasai perusahaan swasta (PMA dan PMDN) yang pada tahun 2015 mencapai 5,975 juta hektar. Demikian halnya, besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit adalah kepemilikan modal Dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA tersebut, dinilai lebih penting dibandingkan asas keadilan. Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek sosial yang paling menentukan adalah peluang berusaha (41%) sedangkan kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (30%). Penentuan besaran kepemilikan modal minoritas oleh PMA yang bergerak di lapangan usaha ini sejalan dengan realitas bahwa investasi untuk pembangunan pabrik CPO masih terjangkau oleh perusahaan dalam negeri karena biaya untuk mendirikan 1 (satu) pabrik/unit pengolahan primer kelapa sawit dengan kapasitas 3040 ton TBS/jam hanya dibutuhkan dana sekitar 125 miliar Rupiah. Berdasarkan ketiga lapangan usaha (perbenihan, budi daya, dan pengolahan kelapa sawit), hasil analisis pendapat para dinilai sesuai dengan kondisi dan perkembangan kelapa sawit Indonesia saat ini. Bila dahulu Indonesia masih tergolong negara berkembang tetapi saat ini telah menjadi negara maju, khususnya
xiv
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dalam penguasaan teknologi usaha kelapa sawit. Indonesia yang pada awalnya masih lemah dalam kualitas SDM tetapi saat ini memiliki banyak SDM yang berkualitas sehingga kebutuhan tenaga ahli asing tidak menjadi prioritas. • Sementara itu, untuk komoditas tebu besaran kepemilikan modal PMA pada masingmasing lapangan usaha (perbenihan, budi daya, pengolahan primer) adalah sebagai berikut: Besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu adalah kepemilikan modal . Sejalan dengan itu, dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha tersebut, dipandang lebih penting dibandingkan efisiensi Besaran kepemilikan modal PMA tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan . Kriteria pada aspek sosial yang paling menentukan adalah peluang berusaha (48%) sedangkan kriteria pada aspek teknis yang dominan adalah ketersediaan tenaga ahli (42%), dalam hal ini ketersedian jumlah maupun kemampuan para tenaga ahli dalam negeri masih memadai. Sementara itu, prioritas besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya tebu adalah kepemilikan modal Dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA tersebut, asas dan asas dinilai . Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan dengan tingkat pengaruh yang relatif sama, yaitu masingmasing 28% dan 27% Kriteria pada aspek sosial yang paling menentukan adalah dominasi pengambilan keputusan (36%) sedangkan kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (34%). Penetapan besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha terbut sejalan dengan kebijakan perlunya integrasi pengembangan usaha budi daya
Ringkasan Eksekutif
xv
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dengan usaha pengolahan gula tebu yang baru di luar Jawa untuk mencapai swasembada pangan (gula). •
Sebagaimana kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya, besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer tebu adalah kepemilikan modal mayoritas Sejalan dengan itu, dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA tersebut, asas efisiensi dipandang lebih penting diban dingkan asas berkeadilan. Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (31%) sedangkan kriteria pada aspek teknis yang paling menentukan adalah ketersediaan teknologi (39%). Penentuan kepemilikan modal mayoritas oleh PMA pada lapangan usaha ini sejalan dengan besaran investasi yang diperlukan usaha pengolahan primer gula tebu yang sangat tinggi (investasi PG untuk 10.000 TCD sebesar US$ 200–250 juta) sehingga lebih memungkinkan dilakukan oleh PMA dengan kepemilikan saham mayoritas.
• Pada komoditas kelapa sawit, besaran kepemilikan modal minoritas untuk PMA perlu diterapkan di seluruh wilayah Indonesia, baik pada lapangan usaha perbenihan; usaha budi daya; maupun usaha pengolahan primer. Akan tetapi, pada usaha budi daya dikecualikan untuk perusahaan PMA yang sudah memiliki izin usaha sebelum Peraturan Pemerintah tentang Usaha Perkebunan diundangkan diperbolehkan memiliki modal mayoritas, tetapi wajib menyesuaikan setelah masa berlakunya HGU perusahaan tersebut berakhir sebagaimana tercantum pada pasal 114 ayat 3 UndangUndang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Perusahanperusahan PMA pada lapangan usaha perbenihan; budi daya dan pengolahan primer kelapa sawit yang melakukan pengambilalihan PMDN, penggabungan dan peleburan dengan PMDN, serta perluasan kegiatan usaha maka perusahaan PMA dimaksud
xvi
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
harus mengikuti ketentuan pemilikan modal minoritas setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir sebagaimana tercantum pada pasal 114 ayat 3 Undang Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. • Pada komoditas tebu, besaran kepemilikan modal minoritas untuk PMA yang baru hanya diterapkan untuk usaha perbenihan, sedangkan untuk usaha budi daya dan usaha pengolahan primer diperkenankan memiliki modal mayoritas. Integrasi pengembangan usaha budi daya dan usaha pengolahan gula tebu yang baru perlu dilakukan dengan investasi modal mayoritas oleh PMA tersebut dilakukan di luar awa. Perusahanperusahan PMA pada lapangan usaha perbenihan tebu yang melakukan pengambilalihan PMDN; penggabungan dan peleburan dengan PMDN, serta perluasan kegiatan usaha maka perusahaan PMA dimaksud harus mengikuti ketentuan pemilikan modal minoritas setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir sebagaimana tercantum pada pasal 114 ayat 3 UndangUndang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. • Pengertian pemilikan saham mayoritas oleh PMA adalah lebih besar dari 50%. Ketentuan ini dapat mengacu pada Pasal ayat 1 UndangUndang Nomor 40 tahun 200 tentang Perseroan Terbatas yang menetapkan bahwa RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili. Sementara itu, pengertian pengambilalihan PMDN; penggabungan dan peleburan dengan PMDN, serta perluasan kegiatan usaha PMA dapat mengacu pada Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal. • Bersamaan dengan penerapan kepemilikan modal minoritas pada usaha kelapa sawit, terdapat beberapa upaya yang perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas pengusaha dalam negeri pada lapangan usaha perbenihan, budi daya dan pengolahan sehingga Ringkasan Eksekutif
xvii
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
pertumbuhan produksi dan daya saing kelapa sawit tetap terjaga. Usaha perbenihan: pengawasan benih kelapa sawit untuk menjamin ketersediaan (kuantitas) dan kualitas benih kelapa sawit; sistem informasi dan pemasaran benih yang melibatkan para pekebun perbenihan, usaha pengolahan primer dan pengusaha budidaya kelapa sawit; Usaha budi daya: mengembangkan infrastruktur fisik (jalan kebun, stasiun pengamat cuaca, saluran irigasi dan drainase serta cadangan air), maupun infrastruktur pembiayaan yang dapat membantu pekebun untuk kegiatan peremajaan, revitalisasi dan perawatan tanaman kelapa sawit yang memerlukan biaya besar; Usaha pengolahan primer: mendorong usaha pengolahan untuk meningkatkan daya saing dan memberikan perhatian terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial. • Sementara itu, bersamaan dengan penerapan kepemilikan modal minoritas pada lapangan usaha perbenihan serta kepemilikan modal mayoritas pada lapangan usaha budi daya dan pengolahan primer komoditas tebu, implikasi dan upaya yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: Kepemilikan modal minoritas oleh PMA pada usaha perbenihan tebu berimplikasi pada diperlukannya mekanisme pengawasan peredaran benih di tingkat pekebun agar kualitas; jumlah; dan harga benih dapat terjamin dengan baik. Standar kualitas, kuantitas dan harga perlu menjadi perhatian terutama untuk memastikan bahwa dengan benih yang berkualitas baik akan menghasilkan tebu berrendemen tinggi. Kepemilikan modal mayoritas oleh PMA pada usaha budi daya dan pengolahan primer tebu berimplikasi kepada revitalisasi PG (Pabrik Gula) eksisting yang sebagian besar berada di Pulau Jawa perlu diarahkan untuk meningkatkan efisiensi produksi dan diversifikasi produk dari dari PG. Sementara itu, pembangunan PG
xviii
Ringkasan Eksekutif
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
baru diarahkan di luar Pulau Jawa dengan pengembangan yang terintegrasi antara usaha budi daya dengan usaha pengolahan. Pengembangan infrastruktur pendukung yang dilakukan pemerintah dan kemudahan perizinan usaha merupakan insentif bagi PMA yang akan berinvestasi di Indonesia.
Ringkasan Eksekutif
xix
xx
Ringkasan Eksekutif
3. Usaha Pengolahan Primer
2. Usaha Budi daya
1. Usaha Perbenihan
3. Usaha Pengolahan Primer
2. Usaha Budi daya
1. Usaha Perbenihan
Mayoritas
Mayoritas
Minoritas
Minoritas
Minoritas
Minoritas
Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
•
Tidak ada perubahan sesuai izin lama
Tidak ada perubahan sesuai izin lama
Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
•
Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
•
Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
•
Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
•
Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
•
Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
•
•
• Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
Tabel 1. Rekomendasi Besaran Pemilikan Modal PMA pada Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kita panjatkan kepala ALLAH SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNA sehingga dokumen ini dapat diselesaikan dengan baik. Pada dasarnya hasil tinjauan pada dokumen ini dimaksudkan untuk menjadi landasan teknokratis bagi pembatasan Penanaman Modal Asing (PMA) pada Usaha Perkebunan sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Nomor Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pembatasan dimaksud ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Usaha Perkebunan yang saat ini masih dalam proses penyusunan. Tinjauan Besaran Penanaman Modal Asing pada Usaha Perkebunan ini dilaksanakan dengan menggunakan metode ilmiah serta dengan mempertimbangkan berbagai justifikasi teoritis maupun empiris yang meliputi aspek yuridis, sosiologis, teknis, ekonomis dan ekologis. Dengan berbagai pertimbangan, tinjauan dibatasi hanya untuk komoditas kelapa sawit dan tebu. Terima kasih disampaikan kepada para akademisi dari Universitas Padjadjaran, para peneliti dari PT. Riset Perkebunan Nusantara (PT RPN) dan para responden pakar serta pihakpihak yang telah berkontribusi besar dalam penyelesaian “Tinjauan Besaran Penanaman Modal Asing pada Usaha Perkebunan” ini.
Kata Pengantar
xxi
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Semoga hasil Tinjauan ini dapat mendukung penyelenggaraan perkebunan yang berkeadilan dan efisien untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Jakarta, November 2016 Direktur Jenderal Perkebunan,
xxii
Kata Pengantar
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
DAFTAR ISI RINGKASAN EKSEKUTIF.......................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................. xxiii DAFTAR ISI ........................................................................ xxiii DAFTAR TABEL .................................................................. xxvii DAFTAR GAMBAR ...............................................................xxxi BAB I. PENDAHULUAN .......................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ............................................................. 1
1.2.
Tujuan dan Manfaat Kajian .......................................... 3 1.2.1. Tujuan .............................................................. 3 1.2.2. Manfaat ............................................................ 4 1.2.3. Ruang Lingkup ................................................. 4
BAB II. TINJAUAN INVESTASI PERKEBUNAN DI INDONESIA .. 5 2.1.
Gambaran Umum Komoditas Kelapa Sawit dan Tebu ... 5 2.1.1. Kelapa Sawit ..................................................... 5 2.1.2. Tebu ............................................................... 13
2.2.
Peraturan Perundangundangan terkait Sektor Perkebunan dalam Pengaturan Penanaman Modal Asing (PMA) ................................................................ 24 2.2.1. UndangUndang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing .................... 24 2.2.2. Surat Edaran Kepala BKPM Nomor: B1195ABK1974 ................................... 25 2.2.3. Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing .. 25
Daftar Isi
xxiii
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
2.2.4. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing ................................. 26 2.2.5. UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal .............................. 27 2.2.6. UndangUndang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan ........................................ 28 2.2.7. Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2016 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal........ 29 2.2.8. Peraturan dan Perundangan lainnya ............... 30 2.3.
Sintesis: Pembatasan PMA dalam Implementasi Penyelenggaraan Usaha Perkebunan .......................... 32
BAB III. METODOLOGI DAN TAHAPAN KEGIATAN ................ 39 3.1.
Metode Dinamika Sistem ()................ 40 3.1.1. Prosedur Dinamika Sistem .............................. 40 3.1.2. Pendekatan Cara Berpikir Sistem ......................................................... 41
3.2.
Metode Analytic Network Process (ANP) dan Pemilihan Expert........................................................ 44 3.2.1. Prosedur Analytic Network Process (ANP)......... 55 3.2.2. Landasan Analytic Network Process (ANP) ....... 56 3.2.3. Pemilihan ............................................. 58
3.3.
Tahapan Kegiatan ...................................................... 61 3.3.1. Konstruksi Model ............................................ 61 3.3.2. Kuantifikasi Model .......................................... 62 3.3.3. Analisis Data dan Sintesis ............................... 63
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................... 67
xxiv
Daftar Isi
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
4.1.
Kriteria Penentuan Besaran Penanaman Modal Asing dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan ...... 67 4.1.1. Kriteria dan Indikator Berdasarkan Subsistem (Lapangan Usaha) pada Komoditas Kelapa Sawit .................................. 70 4.1.2. Kriteria dan Indikator Berdasarkan Subsistem (Lapangan Usaha) pada Komoditas Tebu ......... 74
4.2.
Analisis Besaran Penanaman Modal Asing pada Usaha Perkebunan .................................................... 78 4.2.1. Efisiensi dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan .................................................... 78 4.2.2. Berkeadilan dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan .................................................... 80 4.2.3. Struktur Model Penentuan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan ................................. 86
4.3.
Penentuan Besaran PMA pada Usaha Kelapa Sawit .... 89 4.3.1. Usaha Perbenihan Kelapa Sawit ...................... 89 4.3.2. Usaha Budidaya Kelapa Sawit ......................... 96 4.3.3. Usaha Pengolahan Primer Kelapa Sawit ........ 103
4.4.
Penentuan Besaran PMA pada Usaha Tebu .............. 109 4.4.1. Usaha Perbenihan Tebu ................................ 110 4.4.2. Usaha Budidaya Tebu ................................... 115 4.4.3. Usaha Pengolahan Primer Tebu .................... 121
4.5.
Implikasi Kebijakan Penerapan Besaran PMA pada Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu ....................... 126 4.5.1. Implikasi Kebijakan Besaran PMA pada Usaha Kelapa Sawit ...................................... 127 4.5.2. Implikasi Kebijakan Besaran PMA pada Usaha Tebu................................................... 130
Daftar Isi
xxv
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BAB V. KESIMPULAN, REKOMENDASI, DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN............................................................ 133 5.1.
Kesimpulan .............................................................. 133
5.2.
Rekomendasi ........................................................... 138
5.3.
Implikasi Kebijakan.................................................. 140
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 145
xxvi
Daftar Isi
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
DAFTAR TABEL Tabel 2.1.
Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kelapa Sawit/CPO Nasional Per Provinsi Tahun 2015 ...... 6
Tabel 2.2.
Perkembangan Jumlah Petani dan Tenaga Kerja (KK+TK) pada Usaha Kelapa Sawit Dibandingkan dengan Komoditas Unggulan Perkebunan Lain pada tahun 20112015 ........................................ 9
Tabel 2.3.
Distribusi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit Berdasarkan Pelaku Usaha ................................. 10
Tabel 2.4.
Luas Areal Perusahaan PMDN menjadi Perusahaan PMA pada Usaha Budidaya Kelapa Sawit (2010 – 2015) ............................................ 10
Tabel 2.5.
Luas Areal Tebu Tahun 20112015 (hektar) ........ 14
Tabel 2.6.
Perkembangan JumlahTebu Digiling 20112015 (ton) .................................................................... 15
Tabel 2..
Produksi Gula Tahun 20112015 (ton) ................ 16
Tabel 2.8.
Produktivitas Tebu Tahun 20112015 (ton/hektar) ........................................................ 18
Tabel 2.9.
Produktivitas Gula Tahun 20112015 (ton/hektar) ........................................................ 18
Tabel 2.10. Perbandingan Produktivitas Tebu, Gula, Rendemen dan Biaya Produksi Beberapa Negara Tahun 2015 ........................................................ 21 Tabel 2.11. Capaian Rendemen Tahun 20112015 () .......... 22 Tabel 2.12. Dinamika Posisi dan Pembatasan Besaran PMA .. 35 Tabel 3.1.
Definisi Skala Perbandingan Berpasangan ANP ... 56
Daftar Tabel
xxvii
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 3.2.
Daftar Nama Responden Pakar serta Perannya dalam Penentuan Besaran Penanaman Modal Asing (PMA) pada Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu ........................................................ 59
Tabel 3.3.
Nilai Indeks Acak (RI) .......................................... 64
Tabel 4.1.
Indikator Penyelenggaraan Usaha Perkebunan berdasarkan Aspek dan Kriteria .......................... 69
Tabel 4.2.
Kriteria dan Indikator Subsistem (Lapangan Usaha) Perbenihan Kelapa Sawit ......................... 71
Tabel 4.3.
Kriteria dan Indikator Subsistem (Lapangan Usaha) Budidaya Kelapa Sawit............................ 72
Tabel 4.4.
Kriteria dan Indikator Subsistem (Lapangan Usaha) Pengolahan Primer Kelapa Sawit ............. 73
Tabel 4.5.
Kriteria dan Indikator Subsistem Perbenihan Tebu ................................................................... 75
Tabel 4.6.
Kriteria dan Indikator Subsistem (Lapangan Usaha) Budidaya Tebu ........................................ 76
Tabel 4.7.
Kriteria dan Indikator Subsistem (Lapangan Usaha) Pengolahan Primer Tebu ......................... 77
Tabel 4.8.
Klaster Penentuan Besaran Penanaman Modal Asing (PMA) Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu di Indonesia ............................................... 86
Tabel 4.9.
Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Perbenihan Kelapa Sawit .................................................................. 89
Tabel 4.10. Varietas unggul benih PPKS................................ 95 Tabel 4.11. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Budidaya Kelapa Sawit .. 96 Tabel 4.12. Perkembangan Gangguan Usaha Perkebunan (20122014) ...................................................... 100
xxviii
Daftar Tabel
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 4.13. Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola PBS, PR, dan PBN……………...…..........102 Tabel 4.14. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Pengolahan Primer Kelapa Sawit ..................................................... 103 Tabel 4.15. Jumlah Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan Kapasitas PKS di 2014 ............................... 105 Tabel 4.1. Produksi P ton Indonesia 19702015 .......... 108 Tabel 4.17. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Perbenihan Tebu ......... 113 Tabel 4.18. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Budidaya Tebu ............ 119 Tabel 4.19. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Pengolahan Primer Gula Tebu......................................................... 121 Tabel 4.20. Pengolahan Gula Tebu Eksisting di Indonesia ... 123 Tabel 4.21. Jumlah Pabrik Gula Tebu Eksisting Berdasarkan Kapasitas Giling dan Umur ......... 124 Tabel 5.1.
Rekomendasi Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu ...... 142
Daftar Tabel
xxix
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
xxx
Daftar Tabel
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Perkembangan Neraca Perdagangan Komoditas Unggulan Perkebunan tahun 2015 ((*) angka sementara) ................................ 7 Gambar 2.2. Kinerja Volume Ekspor Komoditas Unggulan Perkebunan Tahun 20112015 .......................... 8 Gambar 2.3. Kinerja Nilai Ekspor Komoditas Unggulan Perkebunan Tahun 20112015 ......................... 8 Gambar 2.4. Distribusi Jumlah PMA (%) Berdasarkan Besar Saham PMA (Kasus 81 PMA) ................ 12 Gambar 2.5. Proporsi Luas dan Jumlah PMA (%) dari 159 kasus PMA ...................................................... 12 Gambar 2.6. Distribusi Jumlah PMA (%) dan Besar Saham (%) Berdasarkan Asal Negara Pemegang Saham (Kasus 80 PMA yang tercatat di BKPM)............................................................. 13 Gambar 3.1. Struktur Jaringan Umpan Balik pada ANP (Saaty, 2004) ................................................... 46 Gambar 3.2. dan (Iwan Jaya Azis, 2003)..................................... 47 Gambar 3.3. ..................................... 51 Gambar 3.4. ...................................... 51 Gambar 3.5. ....................................... 52 Gambar 3.6. .............. 52 Gambar 3.7. Tahapan Tinjauan Penentuan Besaran Penanaman Modal Asing pada Usaha Perkebunan .................................................... 66 Gambar 4.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat ( ) Keterkaitan antar Aspek dan Asas EisiensiBerkeadilan dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan. ......................................... 68
Daftar Gambar
xxxi
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Gambar 4.2. Pohon Penyebab () Efisiensi Penyelenggaraan Usaha Perkebunan ............... 79 Gambar 4.3. Pohon Penyebab () Berkeadilan Penyelenggaraan Usaha Perkebunan ............... 81 Gambar 4.4. Diagram Sebab Akibat () Asas Efisien dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan .......................................... 84 Gambar 4.5. Diagram Sebab Akibat () Asas Berkeadilan dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan .......................................... 85 Gambar 4.6. Hirarki ANP Penentuan Besaran Kepemilikan Penanaman Modal Asing (PMA) Usaha Perkebunan di Indonesia ................................. 88 Gambar 4.7. Realisasi penjualan kecambah (ribu butir) oleh produsen benih kelapa sawit di Indonesia pada 2015 ....................................... 91 Gambar 4.8. Perkembangan Produktivitas Gula PR, PBN dan PBS, 20112015 ..................................... 116
xxxii
Daftar Gambar
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BAB I. PENDAHULUAN Perkebunan sebagai bagian integral dari sektor pertanian merupakan salah satu sub sektor yang mempunyai peranan penting dan strategis dalam pembangunan nasional. Perkebunan merupakan salah satu subsektor penting dalam perekonomian nasional. Data perkiraan PDB nasional tahun 2015 menunjukkan baha ratarata kontribusi sub sektor perkebunan terhadap PDB sektor pertanian sebesar 35,39% berdasarkan harga berlaku atau sebesar 39,29% berdasarkan harga konstan 2010. Sedangkan kontribusi PDB sub sektor perkebunan terhadap PDB nasional tahun 2015 diperkirakan sebesar 3,57% berdasarkan harga berlaku dan sebesar 3,90% berdasarkan harga konstan 2010. Data tersebut menunjukkan masih pentingnya peranan perkebunan dalam penyediaan peluang bekerja dan/atau berusaha bagi masyarakat Indonesia, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri dan bahan baku berbagai industri dalam negeri termasuk energi terbarukan, serta perolehan nilai tambah melalui pengembangan industri hilir. Peranan sub sektor perkebunan dalam penyediaan peluang berusaha dan/atau bekerja bagi masyarakat Indonesia semakin penting mengingat jumlah penduduk Indonesia terus bertambah. Pembangunan sub sektor perkebunan memerlukan pendanaan besar yang tidak dapat dibiayai sepenuhnya oleh pemerintah. Oleh karena itu, dibutuhkan dukungan penanaman modal dari luar pemerintah. Pada dasarnya, penanaman modal tersebut diharapkan dari investor dalam negeri, namun perekonomian global dan juga sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kesepakatan Pendahuluan
1
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
internasional, menuntut keterbukaan masuknya penanaman modal asing.
Indonesia
terhadap
Keterbukaan ekonomi antar negara ditandai dengan kesepakatan dalam (WTO) yang salah satunya mengatur adanya negosiasi perdagangan internasional melalui masuknya investasi asing yang saling menguntungkan termasuk dalam sektor pertanian. Dalam beberapa kerjasama regional termasuk pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang dimulai pada tahun 2015, sektor pertanian termasuk sub sektor perkebunan menjadi bagian dalam kerjasama regional tersebut. Kebijakan keterbukaan ekonomi tersebut khususnya tentang investasi sub sektor perkebunan, telah ditindak lanjuti oleh pemerintah Republik Indonesia dengan mengeluarkan ndangndang Republik Indonesia nomor. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan khususnya melalui Pasal 95 ayat 1 yang menyebutkan bahwa Walaupun demikian, dalam implementasinya keterbukaan penanaman modal asing harus memperhatikan kepentingan dan kedaulatan ekonomi nasional yang menjadi tumpuan utama dalam setiap kebijakan di bidang perekonomian. Keberpihakan pemerintah terhadap modal dalam negeri disebutkan dalam ayat 2 dan ayat 3 sebagai berikut : Selanjutnya keberpihakan tersebut dipertegas dalam ayat 4 dan ayat 5 yang mengatakan
2
Pendahuluan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Dalam rangka menindaklanjuti amanat ndangundang Perkebunan tersebut khususnya dalam hal pembatasan penanaman modal asing diperlukan Peraturan Pemerintah. Sebagai dasar penyusunan Peraturan Pemerintah tersebut diperlukan rumusan yang berisi justifikasi baik secara teoritis maupun empiris yang mencakup aspekaspek yuridis, sosiologis, teknis, ekonomis, dan ekologis. Oleh sebab itu, maka dilakukan Hasil tinjauan ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi salah satu acuan penentuan besaran kepemilikan modal PMA yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Dalam tinjauan ini ditetapkan komoditas kelapa sawit dan tebu sebagai pilihan prioritas, baik untuk menentukan besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha perbenihan, budidaya maupun pengolahan primer. Komoditas kelapa sawit dan tebu menjadi pilihan prioritas tinjauan ini, mengingat: 1) produk akhir pengolahan kelapa sawit (minyak goreng) dan pengolahan tebu (gula pasir/gula kristal putih) merupakan produk strategis nasional sebagai bahan pangan pokok dan minyak kelapa sawit serta merupakan penyumbang devisa negara, 2) karakteristik kedua komoditas tersebut berbeda tetapi mewakili komoditas perkebunan yang bersifat tahunan dan semusim. Menetapkan dan menyusun rumusan kebijakan tentang besaran kepemilikan modal Penanaman Modal Asing (PMA) pada usaha kelapa sawit dan usaha tebu, yang meliputi usaha perbenihan, usaha budidaya (), dan usaha pengolahan primer.
Pendahuluan
3
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
1) Diperoleh dokumen naskah akademik sebagai acuan dalam penentuan dan penetapan kebijakan tentang besaran kepemilikan modal Penanaman Modal Asing pada usaha perkebunan, khususnya usaha kelapa sawit dan usaha tebu. 2) Pengembangan investasi pada usaha perkebunan, khsusnya lapangan usaha perbenihan, budidaya, pengolahan primer komoditas kelapa sawit dan tebu, masih tetap mengutamakan pemenuhan kepentingan nasional dan para pekebun. 1) Merumuskan gagasan tentang urgensi, pendekatan, ruang lingkup dan materi muatan suatu peraturan pemerintah tentang pembatasan kepemilikan modal Penanaman Modal Asing (PMA) pada usaha perkebunan, khususnya pada penyelenggaraan usaha kelapa sawit dan tebu. 2) Merumuskan materi tentang besaran penanaman modal asing pada usaha perkebunan kelapa sawit dan tebu, baik pada lapangan usaha perbenihan, budidaya maupun pengolahan primer, sebagai rekomendasi akademik dalam perumusan peraturan terkait pembatasan kepemilikan modal Penanaman Modal Asing pada lapangan usaha dimaksud.
4
Pendahuluan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BAB II. TINJAUAN INVESTASI PERKEBUNAN DI INDONESIA Statistik Perkebunan Indonesia tahun 20142016 menunjukkan bahwa luas areal kelapa sawit tahun 2015 mencapai sekitar 11,30 juta hektar atau sekitar 48,6% dari total areal perkebunan di Indonesia. Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia memang sangat mengesankan. Pada tahun 1980 luasnya hanya 295 ribu hektar, yang seluruhnya merupakan Perkebunan Besar/PB. Berkembang begitu pesat hingga mencapai 11,3 juta hektar di tahun 2015 atau sekitar 38 kali dari luas areal 1980. Ditinjau dari status pengusahaannya, sekitar 4,58 juta hektar atau 40,53% merupakan Perkebunan Rakyat/PR, 5,97 juta hektar atau 52,83% merupakan Perkebunan Besar Swasta/PBS (mencakup perusahaan PMDN dan perusahaan PMA) dan sisanya sekitar 750 ribu hektar atau 6,64% merupakan Perkebunan Besar Negara/PBN. Berikut ini disampaikan perkembangan luas areal, produksi dan produktivitas kelapa sawit nasional per provinsi tahun 2015 (Tabel 2.1).
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
5
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 2.1. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Kelapa Sawit/CPO Nasional Per Provinsi Tahun 2015
1
Aceh
2
444.466
1.030.877
3.385
Sumatera Utara
1.443.882
5.099.246
4.301
3
Riau
2.381.895
7.333.610
3.754
4
Jambi
736.514
1.947.048
3.314
5
Sumatera Selatan
1.002.196
3.034.697
3.809
6
Bengkulu
301.088
831.236
3.810
7
Kalimantan Barat
978.866
2.112.797
3.052
8
Kalimantan Tengah
1.182.737
3.424.937
3.845
9
Kalimantan Selatan
548.554
1.594.295
3.932
10
Kalimantan Timur
767.683
1.526.227
3.572
11
LainLain
1.512.489
3.349.336
3.215
Pada tabel tersebut diatas terlihat terdapat empat provinsi yang memiliki luas perkebunan kelapa sawit lebih dari satu juta hektar yaitu Riau, Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan, dengan total produksi yang dihasilkan mencapai 18,7 juta ton atau sekitar 60% dari total produksi kelapa sawit nasional. Akan tetapi, dengan ratarata produktivitas CPO yang hanya 3.679 kg per hektar (2015), maka kinerja perkebunan Indonesia masih terbilang rendah. Produksi kelapa sawit Indonesia masih mengandalkan pada luas areal dan belum bertumpu produktivitas. Dengan demikian, masih terbuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas kelapa sawit. Walaupun demikian, ekspor produk kelapa sawit, yaitu minyak sawit/CPO, inti sawit dan bungkil sawit, meningkat cukup tajam. Sebagai gambaran, ekspor CPO tahun 1980
6
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
hanya 0,503 juta ton senilai US$ 0,255 juta, meningkat menjadi 15,38 juta ton CPO dengan nilai ekspor mencapai US$ 26,46 juta pada tahun 2015. Pada gambar 2.1 dibawah ini menunjukkan perkembangan neraca perdagangan komoditas unggulan perkebunan tahun 2015.
Gambar 2.1. Perkembangan Neraca Perdagangan Komoditas Unggulan Perkebunan tahun 2015 ((*) angka sementara) Sejalan dengan perkembangan industri kelapa sawit di dalam negeri yang cukup pesat, maka ekspor Indonesia selain produk minyak sawit/CPO juga produk turunannya, yaitu dan lainlain. Begitu juga selain produk minyak inti sawit/PKO juga produk turunannya, yaitu dan lainnya. Berikut ini pada gambar 2 dan 3 disampaikan perkembangan volume dan nilai ekspor komoditas unggulan perkebunan tahun 20112015. Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
7
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Gambar 2.2. Kinerja Volume Ekspor Komoditas erkebunan Tahun 20112015
Unggulan
Gambar 2.3. Kinerja Nilai Ekspor Komoditas erkebunan Tahun 20112015
Unggulan
Nilai ekspor yang tinggi berkorelasi terhadap peningkatan harga ratarata komoditas kelapa sait. ata perkembangan harga ratarata komoditas kelapa sait selama tahun 2011 2015 terus meningkat dari Rp. 1.253 per kg TBS pada tahun 2011 dan pada tahun 2015 mencapai Rp. 1.738 per kg.
8
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Pada tahun 2011, jumlah petani dan tenaga kerja pada usaha kelapa sawit yang berkontribusi terhadap jumlah petani dan tenaga kerja untuk semua komoditas unggulan perkebunan mencapai 3,65 juta atau sebesar 17,4%. Tabel 2.2. Perkembangan Jumlah Petani dan Tenaga Kerja (KK+TK) pada Usaha Kelapa Sawit Dibandingkan dengan Komoditas Unggulan Perkebunan Lain pada tahun 20112015
1
Karet
2.310.169
2.303.360
2.398.117
2.434.375
2.442.598
2
Kelapa Sawit
3.651.636
3.701.321
5.184.747
5.218.322
5.503.418
3
Kelapa
6.956.998
7.091.801
6.984.347
6.645.040
6.576.045
4
Kopi
1.929.459
2.047.273
1.935.956
1.827.371
1.852.245
5
Kakao
1.701.958
1.638.535
1.739.289
1.766.281
1.762.277
6
Tebu
1.042.173
996.648
1.068.022
1.066.434
1.068.569
3.346.683
3.339.963
3.203.132
3.205.104
3.220.441
20.939.076
21.118.901
22.513.610
22.162.927
22.425.593
7. Komoditas Lain Jumlah
Berdasarkan tabel 2.2. tersebut, sampai dengan tahun 2015, jumlah petani dan tenaga kerja yang bekerja di perkebunan kelapa sawit terus meningkat. Di tahun 2015, jumlah petani dan tenaga kerja yang bekerja di perkebunan kelapa sawit meningkat menjadi 24,54% dari jumlah petani dan tenaga kerja untuk komoditas unggulan perkebunan lainnya. Berdasarkan data yang tercatat di Ditjen. Perkebunan dan BKPM, sampai dengan tahun 2015, luas lahan perkebunan kelapa sawit yang dikuasai perusahaan PMA telah mencapai 2,088 juta hektar atau 18,15 % dari total luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Dengan kata lain, data tersebut menunjukkan bahwa 31% luas lahan kelapa sawit yang dikelola secara korporasi telah dikuasai perusahaan PMA.
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
9
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 2.3. Distribusi Lahan Perkebunan Berdasarkan Pelaku Usaha
Perusahaan Swasta PMA Perusahaan Swasta PMDN Perusahaan BUMN Perkebunan Rakyat Total
2,088 3,887 0,750 4,575 11,300
Kelapa
Sawit
18,5 34,4 6,6 40,5 100,0
Perkembangan perusahaan PMA pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia ternyata berlangsung cukup pesat. Hal ini terjadi selain karena sejak awal perusahaanperusahaan tersebut berdiri dengan status PMA juga terjadi melalui proses pengambilalihan perusahaan PMDN, baik perusahaan swasta maupun perusahaan negara. Data tentang peralihan perusahaan PMDN menjadi PMA yang terdapat di Ditjen. Perkebunan (Tabel 2.4) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu enam tahun (20102015) luas areal perkebunan kelapa sawit yang telah berubah status dari perusahaan PMDN menjadi PMA mencapai 581.218 hektar atau hampir 100.000 hektar per tahun. Perubahanperubahan tersebut terjadi hampir di seluruh provinsi sentra produsi kelapa sawit. Sebagian besar terjadi di Kalimantan Tengah yang mencapai 312.705 hektar atau 53,8 % dari total perubahan di Indonesia. Tabel 2.4. Luas Areal Perusahaan PMDN menjadi Perusahaan PMA pada Usaha Budidaya Kelapa Sawit (2010 – 2015) Banten
6.000
1,0
Bengkulu
13.120
2,3
Gorontalo
16.368
2,8
6.000
1,0
Jawa Barat
10
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Kalimantan Barat
59.229
10,2
Kalimantan Selatan
20.000
3,4
Kalimantan Timur
4.840
0,8
Papua Barat
60.300
10,4
Riau
11.053
1,9
Sumatera Selatan
57.998
10,0
Sumatera Utara
13.604
2,3
581.218
100,0
INDONESIA
Data tersebut juga menunjukkan bahwa sekitar 10% dari luas lahan Perkebunan Besar Swasta yang sebelumnya dikuasai perusahaan PMDN sudah berubah status menjadi dikuasai oleh perusahaan PMA Fakta ini menunjukkan bahwa pintu masuk penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh perusahaan PMA sudah semakin terbuka. Artinya, tidak tertutup kemungkinan di masa yang akan datang penguasaan lahan usaha budi daya kelapa sawit oleh perusahaan PMA akan terus bertambah dan menjadi semakin dominan. Faktaakta diatas menunjukkan semakin perlunya kebijakan yang memberi jalan agar lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia tidak didominasi oleh pihak asing, dan salah satu diantaranya adalah melalui pembatasan besaran kepemilikan modal PMA. Kebijakan ini semakin penting mengingat sebagian besar PMA (91,1%), sebagaimana data 81 perusahaan PMA yang tercatat di BKPM, memiliki saham mayoritas, bahkan sebanyak 53,2 % diantaranya memiliki saham di atas 90% (Gambar 2.4).
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
11
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Gambar 2.4. Distribusi Jumlah Perusahaan PMA berdasarkan Besar Kepemilikan Modal PMA
(%)
Mengacu pada data gabungan hasil pencatatan Ditjen. Perkebunan dan BKPM menunjukkan bahwa jumlah perusahaan PMA (159 Perusahaan PMA) maupun jumlah lahan yang dikuasai Perusahaan PMA usaha budi daya kelapa sawit mencapai 2,088 juta hektar. Gambar 2.5. menunjukkan bahwa lokasi perusahaan maupun areal perusahaan PMA tersebut tersebar di hampir di seluruh provinsi yang terdapat usaha kelapa sawit.
Gambar 2.5. Proporsi Luas dan Jumlah Perusahaan PMA (%)
12
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Berdasarkan data yang tercatat di BKPM (8 perusahaan PMA), nampak bahwa asal negara PMA terbesar adalah Singapura, baik dari sisi jumlah perusahaan (23) maupun total besar kapitalnya (7,3 trilyun rupiah). Negara berikutnya adalah Malaysia, namun meskipun jumlah perusahaannya relatif sama (22) tetapi total kapital Perusahaan PMA Malaysia hanya 0,6 trilyun rupiah, jauh lebih kecil dibanding Singapura.
Gambar 2.6. Distribusi Jumlah Perusahaan PMA (%) dan Besar Saham (%) Berdasarkan Asal Negara Pemegang Saham Data Roadmap Peningkatan Produksi menuju Swasembada Gula tahun 20162045 menunjukkan bahwa selama beberapa tahun terakhir, luas areal pengusahaan tebu meningkat dari 450.298 hektar pada tahun 2011 menjadi 477.123 hektar di tahun 2014, tetapi pada tahun 2015 mengalami penurunan menjadi seluas 445.650 hektar. Penurunan luasan areal ini disebabkan terjadinya konversi lahan tebu menjadi lahan tanaman lain yang lebih ekonomis dan efisien. Selain itu, hingga saat ini harga masih menjadi pertimbangan utama bagi petani untuk mengambil keputusan menanam tebu atau tidak. Menurut data statistik perkebunan ndonesia tahun 20142016 menyatakan bahwa Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
13
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
harga ratarata gula kristal putih di pasar dalam negeri tahun 20112015 cenderung berluktuasi. Pada tahun 2014 harga ratarata GP mengalami penurunan menjadi Rp 10.516 per kg dari harga ratarata tahun 2013 yang mencapai Rp 11.603 per kg. Pada tahun 2015, harga rata rata tersebut mengalami kenaikan menjadi Rp 12.224 per kg. Menurut Statistik Perkebunan Indonesia tahun 20142016, pada tahun 2015 diperkirakan luas areal tebu tersebut terdiri dari: 274.951 hektar (59,5%) Perkebunan Rakyat/PR, 74.063 hektar (16,0%) Perkebunan Besar Negara/PBN dan 112.718 hektar (24,4%) Perkebunan Besar Swasta/PBS (mencakup perusahaan PMDN dan PMA). Berdasarkan lokasi, 87% areal PR berada di Jawa, sebaliknya 66% areal PBS berada di Luar Jawa. Selanjutnya pada Tabel 2.5 disajikan luas areal tanaman tebu tahun 20112015. Sampai dengan tahun 2014, pertambahan luas areal tebu diluar Jawa terutama karena adanya pembangunan PG baru, yaitu PT. Pemuka Sakti Manis Indah dan PT. Laju Perdana Indah. Sedangkan di Jawa perluasan terjadi pada lahan petani tebu rakyat, terutama di daerah Jember, Lumajang, Malang, ediri, dan Blora terutama pada lahanlahan tegalan atau sawah tadah hujan. Perkembangan lahan ini menunjukan bahwa menanam tebu merupakan usahatani yang masih menguntungkan. Tabel 2.5. Luas Areal Tebu Tahun 20112015 (hektar)
BUMN
227.535
236.607
250.984
257.280
225.365
0.04
239.554
Swasta
46.391
48.214
52.456
55.693
51.242
2.73
50.799
Jml Jawa
273.926
284.821
303.440
312.973
276.607
0.51
290.353
BUMN
49.754
49.106
47.346
43.617
43.914
3.02
46.747
Swasta
126.618
117.264
118.519
120.533
125.129
0.20
121.613
176.372
166.370
165.865
164.150
169.043
1.01
168.360
Jml Luar
14
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Jawa
BUMN
277.289
285.713
298.329
300.896
401.737
10.46
312.793
Swasta
173.009
165.478
170.975
176.227
220.285
6.76
181.195
Pada tahun 2015 secara keseluruhan PG menggiling tebu sekitar 30,16 juta ton dari luasan lahan 445,650 hektar. Tidak kurang dari 70% produksi tebu berasal dari petani dan 30% diperoleh dari lahan sendiri, baik melalui pengelolaan lahan Hak Guna Usaha (HGU) maupun sewa dari petani sekitar. Bahkan di Jawa, sekitar 90% pasokan tebu berasal dari petani yang menjalin kemitraan dengan PG. Selama 5 (lima) tahun terakhir terjadi peningkatan produksi tebu. Pada tahun 2011, produksi tebu mencapai 30,3 juta ton, kemudian terjadi peningkatan dan mencapai puncaknya pada tahun 2013 sebanyak 35,5 juta ton. Namun, kemudian pada tahun 2015 kembali turun menjadi 30,1 juta ton. Perkembangan jumlah tebu digiling selama 5 tahun terakhir pada semua PG disajikan pada Tabel 2.6. Tabel 2.6. Perkembangan Jumlah Tebu igiling 20112015 (ton)
17.301.884
BUMN
15.836.616
17.665.419
19.602.645
17.971.547
15.433.191
0.02
Swasta
2.837.379
3.338.836
4.002.176
3.985.483
3.522.713
6.38
3.537.317
Jml Jawa
18.673.995
21.004.255
23.604.821
21.957.030
18.955.904
1.05
20.839.201
BUMN
2.824.783
2.708.195
2.753.339
2.656.646
2.654.546
1.51
2.719.502
Swasta
8.824.450
8.176.478
9.174.596
9.109.702
8.553.648
0.49
8.767.775
Jml Luar Jawa
11.649.233
10.884.673
11.927.935
11.766.348
11.208.194
0.77
11.487.277
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
15
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BUMN
18.661.399
20.373.613
22.355.984
20.628.193
27.509.552
11.13
21.905.748
Swasta
11.661.829
11.515.314
13.176.772
13.095.185
14.730.907
6.26
12.836.001
Produksi gula (GKR) selama 5 (lima) tahun terakhir tidak mengalami perubahan yang signifikan, dari 2,22 ton pada tahun 2011 menjadi 2,49 ton pada tahun 2015. Peningkatan produksi gula merupakan dari luas areal, produktivitas tebu, rendemen, hingga kinerja PG yang tercermin dalam efisiensi secara keseluruhan. Kenaikan produksi gula pada periode ini diperoleh karena adanya penambahan luas areal dan kenaikan rendemen, sedangkan dari produktivitas tebu justru sebaliknya terjadi penurunan. Pada tahun 2019, produksi diharapkan meningkat menjadi 3,262 juta ton, berasal dari PG 3,082 juta ton dan pengembangan baru 179,900 ton. Tabel 2.7 mengilustrasikan perolehan gula pada semua PG berbasis tebu selama periode 20112015. Tabel 2.7.
Produksi Gula Tahun 20112015 (ton)
BUMN Swasta Total Jawa
1.155.466 1.393.371 1.362.120 1.321.410 1.255.011 203.286
256.782
263.862
291.346
281.053
1.358.752 1.650.153 1.625.983 1.612.758 1.536.064
2.58 1.297.476 8.99
259.266
3.60 1.556.742
BUMN
179.406
181.595
188.944
196.571
195.606
2.20
188.424
Swasta
690.101
759.940
748.730
769.846
766.328
2.75
746.989
869.507
941.535
937.674
966.417
961.933
2.62
935.413
Total Luar Jawa
16
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BUMN Swasta
1.334.872 1.574.965 1.551.064 1.517.981 2.302.392 16.50 1.656.255 893.386 1.016.722 1.012.592 1.061.192 1.242.986
8.83 1.045.376
Sumber:
Data konsumsi gula selama satu dekade terakhir menunjukan peningkatan yang sangat pesat dibanding dekade sebelumnya. Bila pada tahun 2003 konsumsi gula nasional hanya tercatat sekitar 3,65 juta ton, maka pada tahun 2015 mencapai 5,81 juta ton. Sementara itu, produksi gula nasional pada tahun 2015 hanya mencapai 2,49 juta ton atau masih defisit sebesar 3,32 juta ton. Untuk menutupi kebutuhan konsumsi gula yang terus melonjak, maka impor gula menjadi langkah strategis yang diambil pemerintah. Selama 5 (lima) tahun terakhir terjadi peningkatan produktivitas tebu. Pada tahun 2011 produktivitas tebu mencapai 67,3 ton/hektar dan mencapai puncaknya pada tahun 2013 sebesar 75,7 ton/hektar, namun kemudian pada tahun 2015 kembali turun menjadi 67,7 ton/hektar. Pengaruh iklim basah atau curah hujan tinggi sepanjang tahun 2010 dan 2013 menstimulasi produktivitas tebu yang juga tinggi, namun rendemen relatif tidak berubah, bahkan di sebagian wilayah menurun. Secara nasional produktivitas tebu per hektar ratarata PG di ndonesia berkisar antara 67,30 sampai 75,70 ton/hektar. Produktivitas tebu yang digiling tahun 2015 tercatat 67,70 ton/hektar tersebut masih dalam e yang dicapai industri gula dunia yang mencapai sekitar 7080 ton/hektar. Perkembangan produktivitas tebu pada semua PG selama 5 tahun terakhir disajikan pada Tabel 2.8.
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
17
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 2.8.
Produktivitas Tebu Tahun 20112015 (ton/hektar)
BUMN Swasta Jawa
69.6
72.2
74.7
78.1
69.9
68.5
0.16
61.2
69.3
76.3
71.6
68.7
3.28
69.4
68.2
73.7
77.8
70.2
68.5
0.36
71.7
BUMN
56.8
55.2
58.2
60.9
60.4
1.61
58.3
Swasta
69.7
69.7
77.4
73.9
68.4
0.23
71.8
Luar Jawa
66.0
65.4
71.9
71.7
66.3
0.31
68.3
BUMN
67.3
71.3
74.9
68.6
68.5
0.61
70.1
Swasta
67.4
69.6
77.1
74.3
66.9
0.11
71.1
Meskipun ratarata produktivitas gula nasional masih rendah (<6,0 ton/hektar), namun demikian secara individu PG, Indonesia juga memiliki PG dengan produktivitas gula lebih dari 7,0 ton per hektar. Produktivitas gula dalam 5 tahun terakhir mengalami kenaikan sebesar 3,09%. Kenaikan terbesar terjadi pada tahun 2012 yaitu sebesar 5,7 ton/hektar, kemudian terjadi penurunan hingga 5,4 ton/hektar pada tahun 2014, selanjutnya pada tahun 2015 mengalami peningkatan menjadi 5,6 ton/hektar. Perkembangan capaian produktivitas gula 5 tahun terakhir disajikan pada Tabel 2.9. Tabel 2.9.
Produktivitas Gula Tahun 20112015 (ton/hektar)
BUMN
5.1
5.9
5.4
5.1
5.6
2.87
5.4
Swasta
4.4
5.3
5.0
5.2
5.5
6.14
5.1
5.0
5.8
5.4
5.2
5.6
3.27
5.4
3.6
3.7
4.0
4.5
4.5
5.85
4.1
Total Jawa BUMN
18
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Swasta
5.5
6.5
6.3
6.4
6.1
3.00
6.2
Total Luar Jawa
4.9
5.7
5.7
5.9
5.7
4.11
5.6
4.8
5.5
5.2
5.0
5.7
4.82
5.2
Swasta
5.2
6.1
5.9
6.0
5.6
2.26
5.8
5.0
5.7
5.5
5.4
5.6
3.09
5.4
BUMN
Tingkat produktivitas gula ratarata nasional yang hanya 5,4 ton/hektar, masih jauh di bawah produktivitas negaranegara penghasil gula tebu lainnya, seperti India (6,7 ton/hektar), Thailand (7,6 ton/hektar), China (7,5 ton/hektar), Meksiko (8,0 ton/hektar), Afrika Selatan (8,1 ton/ hektar), Brazil (11,8 ton/hektar), Australia (12,5 ton/hektar) dan Columbia (15,8 ton/hektar). Hal ini diharapkan dapat menjadi tolok ukur untuk mendorong peningkatan kinerja yang ada di Indonesia yang relatif rendah produktivitasnya. Sejatinya produktivitas tebu Indonesia tidak terlalu rendah dibanding produktivitas tebu negara lain yaitu sekitar 70,7 ton/hektar. Namun dilihat dari hasil gula ratarata nasional dan rendemennya, Indonesia relatif rendah dibanding India, Thailand, Brazil dan Australia. Rendahnya produktivitas gula tersebut karena rendemennya rendah yaitu sekitar 7,5%, sementara dinegara lain diatas 10,0%. Kondisi tersebut menyebabkan biaya produksi gula menjadi mahal. Biaya produksi gula Indonesia yang mencapai US$ 750/ton, relatif jauh lebih tinggi dibanding dengan Thailand, India, Australia dan Brazil. Elemen utama yang berkontribusi terhadap mahalnya biaya produksi gula di Indonesia adalah lahan. Menurut studi ISO (2011) dalam laporannya berjudul “ .” antara lain memberikan informasi Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
19
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
bahwa sewa lahan untuk tahun 2010, Indonesia menempati urutan termahal yaitu US$ 1.032/ha, disusul Australia US$ 969/hektar, Vietnam US$ 721/hektar, Brazil US$ 435/hektar, Tanzania US$ 327/hektar, Thailand US$ 222/hektar, Nigeria US$ 160/hektar, dan Jamaika US$ 57/hektar. Dibanding dengan sewa tahun 2005, pada tahun 2010, Indonesia telah mengalami kenaikan 2,54 kali, Vietnam 1,50 kali, Brazil 2,05 kali, India 1,12 kali, Nigeria 1,06 kali dan Jamaika 1,07 kali. Kenaikan biaya produksi gula tidak hanya terjadi di Indonesia melainkan juga di sejumlah negara produsen. Dan penyebab kenaikannya tidak hanya harga sewa lahan tetapi hampir semua komponen input seperti pupuk, pestisida, benih, bahan bakar, tenaga kerja, dan mesinmesin. Kenaikan ini mengakibatkan harga tebu ratarata dunia naik dari US$ 17,97/ton pada tahun 2005 menjadi US$ 32,25/ton pada tahun 2010 atau kenaikan 1,8 kali. Pada tahun 2010 harga tebu termahal didunia adalah Tiongkok yang tercatat US$ 78,0/ton, sedang untuk Filipina US$ 48,8; Meksiko US$ 49,1; India US$ 30,5; dan Brazil US$24,0. Kenaikan biaya produksi gula dunia selama 2005 2010 dicerminkan dari ratarata harga tebu dunia yang meningkat dari US$ 17,9/ton menjadi US$ 32,5/ton Perbandingan produktivitas, rendemen, dan biaya produksi beberapa negara dapat dilihat pada Tabel 2.10.
20
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 2.10. Perbandingan Produktivitas Tebu, Gula, Rendemen dan Biaya Produksi Beberapa Negara Tahun 2015
1
Indonesia
75
7,28,0
5,56,0
750
hite/GKP
2
India
70
9,511,7
6,78,2
500593
hite/GKP
3
Brailia
7680
12,313,0
9,410,4
480
hite/GKP
4
Thailand
74
10,0
7,4
442
Raw Sugar
5
ustralia
85
13,014,7
11,112,5
400
Raw Sugar
6
Brailia
7680
12,313,0
9,410,4
340
Raw Sugar
7
Brailia
7680
12,313,0
9,410,4
431
HP
Pada periode yang sama biaya bertanam tebu di Indonesia telah meningkat dari Rp.18,06 juta/hektar pada tahun 2005 menjadi Rp.33,93 juta/hektar di tahun 2015. Di Jawa, biaya sewa lahan bisa mencapai 40% dari biaya pokok produksi gula petani, sedangkan di Sumatera sewa lahan hanya 12%. Perkembangan Jumlah Petani dan Tenaga Kerja (KK+TK) tanaman tebu tahun 20112015 menunjukkan fluktuasi. Dari 1,04 juta orang (KK+TK) pada tahun 2011, meningkat menjadi 1,06 juta orang (KK+TK) pada tahun 2015. Dalam 5 tahun terakhir, rendemen mengalami fluktuasi. Rendemen terendah sebesar 7,21% pada tahun 2013 dan rendemen tertinggi dicapai tahun 2015 sebesar 8,28%. Fluktuasi rendemen dipengaruhi oleh iklim dan teknis budidaya. Pada Tabel 2.11, terlihat bahwa di tahun basah (2011 dan 2013) rendemen mengalami penurunan, sebaliknya pada tahun kering, seperti tahun 2012, 2014 dan 2015 rendemen relatif lebih tinggi. Disamping itu pergeseran areal budidaya tebu dari lahan sawah berpengairan teknis (kelas 1) ke lahan kering (kelas 2 dan 3) menjadi salah satu penyebab. Di luar Jawa lahan HGU relatif terkonsolidasi di bawah Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
21
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
pengelolaan PG, sehingga peningkatan produktivitas berbasis rendemen dan efisiensi usahatani dapat berjalan lebih baik. Perkembangan capaian rendemen 5 tahun terakhir disajikan pada Tabel 2.11. Tabel 2.11. apaian endemen Tahun 20112015 BUMN Swasta Total Jawa BUMN Swasta Total Luar Jawa BUMN Swasta
3.13 7.52 3.30 7.35 3.13 7.50
7.30 7.16 7.28
7.89 7.69 7.86
6.95 6.59 6.89
7.35 7.31 7.35
8.13 7.98 8.10
6.35 7.82
6.71 9.29
6.86 8.16
7.40 8.45
7.37 8.96
3.84 4.06
6.94 8.54
7.46
8.65
7.86
8.21
8.58
3.94
8.15
7.15 7.66 7.35
7.73 8.83 8.13
6.94 7.68 7.21
7.36 8.10 7.65
8.37 8.44 8.28
4.42 2.98 3.41
7.51 8.14 7.72
Sejumlah permasalahan menghadang perkembangan per tebuan dan industri gula nasional, baik dari sisi maupun , antara lain: kondisi PG yang tidak efisien, tidak diterapkannya teknik budidaya yang baik dan benar, serta tidak tersedianya sarana produksi pada waktu dan jumlah yang tepat. Permasalahan tersebut saling berkaitan dan sangat berkontribusi terhadap pencapaian kinerja yang tidak optimal. Permasalahan laten lainnya adalah harga gula yang kurang kondusif. arga yang rendah pada akhirakhir ini telah menyebabkan petani mengalami kerugian, sehingga sebagian petani mengalihkan usahanya ke komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan. Akibatnya, motivasi untuk merawat kebun tebu dan antusiasme untuk mengembangkan areal merosot drastis. Sebagai gambaran, pada tahun 2003 saat pendapatan petani tebu relatif berkurang dibanding
22
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
tahun 2002, luas areal menyusut sekitar 7,2% dan produksi gula turun 8,2%. Sebaliknya ketika pendapatan petani kembali naik di tahun 2012, maka pada tahun 2013 dan 2014 luas areal bertambah 12,7% dan produksi gula meningkat 17,6%. Beberapa faktor makro lainnya juga ikut memberikan dampak terhadap kinerja tersebut, antara lain belum adanya kebijakan dan yang terintegrasi, tidak adanya realisasi pembangunan kebun tebu yang menjadi kewajiban industri gula rafinasi dan dukungan terhadap kelembagaan riset penghasil teknologi yang jauh dari memadai. Keberadaan industri gula di Indonesia tak dapat disangkal telah memberikan banyak manfaat bagi perekonomian Indonesia. Terbukti tidak saja menciptakan kegiatan produksi yang secara langsung merupakan pemanfaatan sumber daya lokal untuk menghasilkan gula, tetapi juga lapangan kerja dan kesempatan berusaha yang lebih luas di lingkungan industri gula sebagai yang diciptakan. Perkembangan neraca perdagangan komoditas tebu dari tahun ke tahun menunjukkan kinerja yang negatif. Tahun 2010 neraca perdagangan komoditas tebu sebesar negatif US$ 753,94 juta. Setelah itu tahun 2011, neraca perdagangan komoditas tebu (molasses) menunjukan angka negatif US$ 1.589,87 juta. Kondisi tersebut meningkat di tahun 2012 dan 2013 dengan angka neraca perdagangan mencapai negatif US$ 1.609,11 juta dan US$ 1.683,69 juta. Tetapi pada tahun 2014 mengalami penurunan walaupun masih terdapat laju negatif, yaitu sebesar US$ 1.213,35 juta. Pada tahun 2015 sesuai angka sementara neraca perdagangan komoditas tebu masih negatif sebesar US$ 1.219,81 juta. Berdasarkan kondisi permasalahan dan tantangan yang ada dengan mempertimbangkan keunggulan dan kekurangan yang ada, maka dalam pengembangan komoditas tebu kedepan perlu menetapkan lima strategi utama yang akan ditempuh Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
23
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
mencakup: a) intensifikasi pada upaya peningkatan produktivitas kebun dengan biaya optimal dan revitalisasi PG eksisting; b) ekstensifikasi atau penambahan areal baru; c) pengembangan industri hilir untuk menghasilkan produk derivat bernilai tambah tinggi sebagai upaya mereduksi biaya pokok produksi (BPP/ ); d) sinkronisasi dengan PG Rafinasi guna mendorong tercukupinya kebutuhan industri makanan/minuman dengan bahan baku dari dalam negeri sekaligus mendorong ekspor bila pasar dalam negeri jenuh; e) penyempurnaan regulasi dan integrasi antar untuk mendukung tercapainya swasembada gula; f) fokus pada kawasan melalui kluster. Kelima strategi dilakukan secara pararel sesuai dengan kondisi yang memungkinkan, terintegrasi tidak hanya sub sektor huluhilir tetapi juga terintegrasi dengan pasar. Selain itu, perlu dibukanya investasi asing dengan besaran terkendali yang dapat mempengaruhi kinerja pembangunan pertebuan Indonesia terutama dalam bidang inovasi teknologi, alat dan mesin serta transfer ilmu penetahuan teknologi dan penyediaan tenaga ahli tertentu. Berikut ini disampaikan beberapa peraturan perundang undangan terkait sub sektor perkebunan dalam pengaturan Penanaman Modal Asing (PMA) Pada awal pengembangan perkebunan nasional, pemerintah Indonesia pernah 2 (dua) kali melakukan nasionalisasi terhadap perusahaanperusahaan asing dengan Undang Undang. Pertama, tahun 1958 dilakukan nasionalisasi
24
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
perusahaanperusahaan perkebunan milik Belanda menjadi perusahaan negara. Kedua, pemerintah kembali melakukan nasionalisasi terhadap perusahaanperusahaan Inggris dan Amerika pada saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia tahun 1962. Pemerintah Indonesia pada tahun 1967 mulai melakukan pendekatan baru dalam kebijakan ekonomi dengan mengundang masuknya pemodal asing antara lain dengan menerbitkan UndangUndang Nomor 1 ahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Undangundang tersebut juga memberikan fasilitasi perpajakan, jaminan hukum terhadap kemungkinan nasionalisasi dan upaya penyelesaian bila terjadi perselisihan. Lebih lanjut, BKPM mengeluarkan edaran yang antara lain menyebutkan bahwa saham nasional dalam perusahaan penanaman modal asing PMA harus menjadi sekurang kurangnya 51% dalam jangka waktu 10 tahun, meningkatkan tenaga kerja Indonesia melalui pengenaan iuran wajib pendidikan dan latihan sebesar US$ 100 bagi setiap tenaga kerja asing pada perusahaanperusahaan yang belum dapat memenuhi jadwal pengakhiran tenaga kerja asing sesuai ketentuan yang berlaku. Pada saat harga minyak dunia mulai turun, pemerintah merubah kebijakan investasi dengan memberikan insentif baru bagi pemodal asing, berupa penerbitan “Paket 6 Mei 1986” yaitu Keputusan Presiden Nomor 17 tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
25
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Penanaman Modal Asing yang memberikan perlakuan yang sama seperti Perusahan Penanaman Modal Dalam Negeri. Paket 6 Mei 1986 kemudian diperbaharui dengan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1987, dengan tujuan merespon peraturan tentang investasi kepemilikan saham dan untuk meningkatkan ekspor non migas serta merangsang penanaman modal. Kebijakan ini ditindaklanjuti dengan memberikan kemudahankemudahan, antara lain mengizinkan penanam modal asing memiliki saham sampai 95% dari perusahaanperusahaan yang berorientasi ekspor, perusahaan yang berinvestasi senilai US$ 10 juta atau lebih, atau berlokasi diprovinsi tertentu, atau di wilayah Timur Indonesia. Dalam waktu 5 tahun bagian kepemilikan saham dalam negeri harus bertambah sampai sekurangkurangnya 20% dan dalam waktu 10 tahun harus meningkat sampai 51%. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 memuat perubahanperubahan yang sangat mendasar dalam kebijakan investasi, antara lain perusahaan penanam modal asing dapat melakukan kegiatan usaha di sektor yang semula hanya diusahakan oleh negara, yaitu perkebunan, perikanan, kehutanan, pertambangan, perhubungan, pekerjaan umum, kesehatan dan penyediaan jasa serta jaringan telekomunikasi; saham pemodal dalam negeri dalam perusahaan patungan minimal 50% dari seluruh modal disetor pada saat pendirian; perusahaan penanaman modal asing 100% dalam jangka waktu 15 tahun sejak berproduksi komersial harus menjual sebagian sahamnya kepada badan hukum Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui penjualan saham di pasar modal.
26
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
ndangndang omor ahun merupakan penyempurnaan perundangan sebelumnya untuk mengantisipasi kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian serta dalam menghadapi perubahan perekonomian global. esuai amanah ndangndang, penanaman modal diselenggarakan berdasar asas kepastian hukum, keterbukaan, akutanbilitas, perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian dan keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Penyelenggaraan penanaman modal bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional, mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan, mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut diamanahkan bahwa pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai ketentuan perundang undangan dan membuka kesempatan bagi pengembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
27
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi kecuali dengan UndangUndang, alam hal pemerintah melakukan nasionalisasi, pemerintah akan memberikan kompensasi berdasarkan harga pasar. Penanam modal dapat mengalihkan aset yang dimilikinya kepada pihak lain yang diiingikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. UndangUndang nomor 2 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Selanjutnya disebut “UUPM”) yang diundangkan pada tanggal 26 April 2007 salah satu pertimbangannya adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia. Sejak diterbitkannya undangundang tersebut pelaksanaan penanaman modal berlangsung cukup meningkat, baik melalui modal dalam negeri maupun modal asing. Meningkatnya penanaman modal tersebut mampu mendukung perekonomian nasional dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, lapangan kerja, pembangunan ekonomi berkelanjutan, kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, serta mendorong ekonomi kerakyatan dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Fasilitas penanaman modal diberikan dengan mempertimbangkan tingkat daya saing perekonomian dan kondisi keuangan negara dan harus promotif dibandingkan dengan fasilitas yang diberikan negara lain. Pentingnya kepastian fasilitas penanaman modal ini mendorong pengaturan secara lebih detail terhadap bentuk fasilitas fiskal, fasilitas hak atas tanah, imigrasi dan fasilitas perizinan impor. Undangundang ini diterbitkan dengan pertimbangan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalam wilayah Negara Republik Indonesia merupakan anugrah
28
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tuhan Yang Maha Esa untuk dimanfaatkan dan dipergunakan bagi sebesarbesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Selain itu, perkebunan berperan penting dan memiliki potensi besar dalam pembangunan perekonomian nasional guna mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan. Apabila dibandingkan dengan UndangUndang Perkebunan sebelumnya, yaitu UndangUndang nomor 18 tahun 2004, UndangUndang Perkebunan nomor 9 tahun 2014 ini memuat beberapa pengaturan yang baru salah satunya berupa Pembatasan Penanaman Modal Asing (PMA). Menurut pasal 95 UndangUndang ini, Besaran penanaman modal asing wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan pekebun. Pembatasan PMA tersebut dilakukan berdasarkan jenis tanaman perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu, dan selanjutnya ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah. Pada tanggal 12 Mei 2016, Presiden RI telah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Selanjutnya Perpres tersebut diundangkan pada tanggal 18 Mei 2016 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2016 Nomor 97.
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
29
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Salah satu materi muatan dalam Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 adalah mengenai batasan kepemilikan modal asing dalam bidang usaha perkebunan. Ketentuan Perpres tersebut telah memberikan kesempatan kepada penanam modal asing untuk menanamkan modalnya dalam bidang bidang usaha perkebunan tertentu dengan maksimal kepemilikan saham sebesar 95%, disertai dengan persyaratan bahwa perusahaan yang bersangkutan memfasilitasi pembangunan kebun bagi masyarakat sekitarnya sekurang kurangnya 20%. Dalam Peraturan Presiden tersebut, PMA pada komoditas kelapa sawit dan tebu ditetapkan sebagai berikut: 1. PMA Maksimal 95 % + Kewajiban Perkebunan Plasma sebesar 20%: Usaha Perbenihan dengan luas 25 hektar atau lebih: Benih Tebu, Benih Kelapa Sawit Usaha Perkebunan dengan luas 25 hektar atau lebih tanpa Unit Pengolahan: Kebun Tebu, Kebun Kelapa Sawit Kebun 25 hektar atau lebih yang terintegrasi dengan Unit Pengolahan: Kebun Tebu + Industri Gula Pasir; Pucuk Tebu; Bagas, Kebun Kelapa Sawit + Industri Minyak Kelapa Sawit (CPO) 2. PMA Maksimal 95 % + Bahan baku 20% dari kebun sendiri: Pabrik Pengolahan: Industri Gula Pasir; Pucuk Tebu; Bagas, Industri Minyak Sawit (CPO) Beberapa pengaturan yang terdapat pada peraturan dan perundangan lainnya adalah UndangUndang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, selanjutnya disebut UnddangUndang Perseroan Terbatas. UndangUndang Perseroan Terbatas memiliki keterkaitan erat dengan
30
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
penanaman modal asing yang diatur oleh UndangUndang Penanaman Modal, dalam hal bentuk usaha yang dibentuk untuk melakukan penanaman modal. Untuk penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Republik Indonesia kecuali ditentukan lain oleh undangundang, dan hal tersebut diatur pada UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 pasal 5 ayat 2. UndangUndang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, selanjutnya disebut UndangUndang Perindustrian memuat ketentuan bahwa pembatasan kepemilikan modal asing diatur dalam pengelolaan Industri Strategis. Adapun yang dimaksud dengan Industri Strategis adalah Industri yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak, meningkatkan atau menghasilkan nilai sumber daya alam strategis, atau mempunyai kaitan dengan kepentingan pertahanan serta keamanan negara dalam rangka pemenuhan tugas pemerintah negara (vide Pasal 1 angka 4 dan Pasal 84 UndangUndang Perindustrian. erdasarkan berbagai peraturan dan undangundang terkait dengan penamanan modal, khususnya penanaman modal asing, maka landasan filosofis setiap peraturan tersebut tetaplah harus mengacu pada pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang merupakan landasan utama perekonomian nasional. Pasal tersebut menyatakan bahwa Amanat konstitusi tersebut mewajibkan negara mewujudkan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi dengan cara pemanfaatan sumber daya alam sebesarbesarnya melalui berbagai peraturan perundangudangan yang harus dipastikan
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
31
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dapat menjamin keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkait penanaman modal, perkebunan merupakan usaha yang padat modal, terutama pada usaha pengolahan primer hasil. Misalnya, untuk mendirikan 1 (satu) unit Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit dengan kapasitas pengolahan TBS (Tandan Buah Segar) sebanyak 040 ton TBS/jam harus didukung oleh kebun kelapa sawit seluas lebih kurang 7.000 hektar, dimana untuk membangun 1 (satu) hektar kebun dibutuhkan dana sekitar 95 juta rupiah serta biaya untuk membangunan pabrik pengolahan kelapa sawit dan dengan kapasitas pengolahan 040 ton TBS/jam dibutuhkan dana sekitar 125 miliar rupiah. Sementarai itu, untuk mendirikan 1 unit pabrik gula dengan kapasitas 5.000 TCD membutuhan dukungan kebun tebu seluas 1012 ribu hektar, dimana biaya untuk membangun kebun tersebut sekitar 100 juta rupiah per hektar, dan biaya untuk membangun pabrik gula dengan kapasitas 5.000 TCD dan sekitar 1,4 triliun rupiah. Kebutuhan dana yang relatif besar tersebut adakalanya tidak dapat dipenuhi seluruhnya hanya dengan penanaman modal dalam negeri, sehingga harus didukung dengan penanaman modal asing, baik mayoritas atau minoritas. Pembatasan penanaman modal asing pada sebuah usaha perkebunan yang akan diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Usaha Perkebunan seharusnya memperhatikan (bahasa hukumnya “mengingat”) dasar/landasan yuridis yang telah ada, diantaranya Undang Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,
32
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Peraturan Presiden Nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, dan peraturan perundangundangan terkait penanaman modal asing lainnya. Selain itu, harus dipertimbangkan apakah pengaturan mengenai pembatasan besaran penanaman modal asing pada usaha perkebunan harus diatur pada tingkat undangundang, peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Sebagai perbandingan, dalam UndangUndang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pengaturan mengenai kepemilikan modal asing pada usaha di Indonesia diatur dalam peraturan pelaksanaan, yaitu dalam Peraturan Presiden. Demikian juga dalam UndangUndang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian, pengaturan mengenai pembatasan kepemilikan modal asing pada Industri Strategis tidak diatur secara khusus dalam UU tersebut, melainkan akan diatur dalam peraturan perlaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi prinsip prekdibilitas dan stabilitas suatu aturan hukum, sehingga secara yuridis pengaturan pembatasan modal asing pada usaha perkebunan sejalan dengan peraturan perundang undangan yang lainnya dan tercipta kepastian hukum. Khusus terkait pembatasan penanaman modal asing pada usaha perkebunan harus memperhatikan amanat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 UUD 1945 dalam rangka meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara berkeadilan melalui pembangunan ekonomi. Selain itu, pembatasan besaran penanaman modal asing pada penyelenggaraan usaha perkebunan harus memperhatikan subsistem usaha yang berlaku, diantaranya subsistem usaha perbenihan, usaha budidaya dan usaha pengolahan primer. Pembagian berdasarkan subsistem usaha ini sangat penting
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
33
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
mengingat usaha dan pelaku usaha di masingmasing subsistem ini mempunyai karakteristik yang berbeda. Pertimbangan lainnya dalam tinjauan pembatasan penanaman modal asing di sektor perkebunan, harus juga memperhatikan berbagai aspek, diantaranya aspek ekonomi, aspek teknis, aspek sosial dan aspek lingkungan. Berdasarkan pertimbangan ini, perlu dilakukan kajian secara komprehensif dan mendalam apabila ingin mengatur pembatasan besaran penananam modal asing pada usaha perkebunan dengan nilai tertentu dalam suatu peraturan perundangundangan dan peraturan pemerintah. ejalan dengan perdagangan global, egaranegara produsen komoditas tertentu sebagai penghasil komoditas berbasis sumber daya alam merasa perlu membuat kesepakatan/aliansi yang bersifat regional maupun internasional untuk memberikan jaminan keberlanjutan pasar/permintaan, jaminan pasokan, stabilitas harga dan melindungi/ memberdayakan pekebun/penghasil komoditas tersebut. Kesepakatan ataupun perjanjian tersebut antara lain dilaksanakan pada komoditas kelapa sawit melalui CPOPC karet melalui ITRC dan lainlain. al ini membawa implikasi terjadinya batasan pengembangan usaha perkebunan (beberapa komoditas tertentu) agar pasokan komoditas tersebut tetap terjaga yang pada akhirnya membatasi penanaman modal dalam mengusahakannya. Kebijakan penanaman modal asing dari waktu ke waktu mengalami perubahan sesuai era dan kondisinya, antara lain: 1) Bidang usaha yang terbuka bagi penanam modal asing semakin banyak termasuk di sub sektor perkebunan yang semula hanya diberikan untuk perusahaan negara menjadi terbuka sehingga menjadi daya tarik pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
34
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
2) Berbagai kemudahan dan fasilitas ditawarkan untuk pemodal asing yang pada akhirnya mengakibatkan tersisa sedikit ruang bagi pemodal dalam negeri (antara lain pemodal asing dapat menguasai saham hingga 95%) dan memberikan kesan lebih berpihak pada pemodal asing. 3) Pemerintah memberikan fasilitas bagi penanam modal yang melakukan penanaman modal tertentu (termasuk PMA) yang memenuhi kriteria antara lain berada pada daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan atau daerah lain yang dianggap perlu. Dengan memperhatikan peraturan yang diterbitkan pemerintah (tabel 2.12), sebenarnya pembatasan kepemilikan modal PMA sudah pernah diatur, khusunya pada Surat Edaran Kepala BKPM nomor : B1195ABK1974; Keputusan Presiden nomor 17 tahun 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan PMA; dan Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka PMA. Dalam peraturan tersebut meskipun pada tahap awal kepemilikan modal PMA diperbolehkan mayoritas tetapi kemudian dalam jangka waktu tertentu secara bertahap harus menjadi minoritas. Pemberian kesempatan PMA sebagai mayoritas dan harus menjadi minoritas di kemudian hari tidak muncul pada Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2016 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Tabel 2.12. Dinamika Posisi dan Pembatasan Besaran PMA
Undangundang No 1 tahun 1967: Penanaman Modal Asing
dengan pemberian fasilitas dan jaminan hukum
Surat Edaran Kepala BKPM No : B1195ABK1974
(49%) bertahap (10 th)
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
35
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Keputusan Presiden nomor 17 tahun 1986: Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam Perusahaan PMA
(49%) bertahap (20 tahun)
Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun 1994: Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka PMA
Undangundang No 25 tahun 2007: Penanaman Modal
Perlakuan sama PMA dan PMDN,prioritas kepentingan nasional
Undangundang No 39 tahun 2014: Perkebunan
Peraturan Presiden nomor 44 tahun 2016: Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal
Prioritas PMDN, penyesuaian setelah masa HGU berakhir
(95%)
Sesuai peta jalan komoditas kelapa sawit dan tebu dalam pencapaian luas areal dan produksi saat ini, pembatasan perusahaan perkebunan yang berstatus PMA dirasakan perlu untuk mencegah penguasaan yang berlebihan dalam kepemilikan modal asing agar tidak menimbulkan kerawanan kemandirian dan kedaulatan pangan serta keamanan negara. Peta jalan komoditas kelapa sawit akan dibatasi sekitar 13 juta hektar dari eksisting saat ini yang mencapai 11,3 juta hektar. Langkah ini dilakukan untuk memenuhi berbagai ketentuan seperti keberlanjutan usaha perkebunan rakyat, masalah lingkungan, perubahan iklim dan untuk menjaga keseimbangan kepemilikan antara perusahaan dan pekebun (yang berada pada persentase 40,5%) dengan tetap memper hatikan posisi Indonesia sebagai penghasil kelapa sawit utama dunia.
36
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Lebih lanjut muncul kondisi yang menghawatirkan dimana terjadi kecenderungan pengalihan kepemilikan perusahaan perkebunan dari penanam modal dalam negeri (PMDN) menjadi penanam modal asing (PMA) melalui pembelian kebunkebun lama yang status HU (hak guna usaha) nya masih berlaku. Hal penting lain yang harus diperhatikan dalam penanaman modal asing sebagaimana ditetapkan dalam pasal 9 Undang Undang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan adalah ketentuan peralihan yang tercantum dalam pasal 114 ayat 3. Pasal tersebut menetapkan bahwa . Pada akhirnya, makna pembatasan kontribusi PMA pada usaha perkebunan pada dasarnya mengandung arti bahwa usaha perkebunan diselenggarakan salah satunya atas asas efisiensi berkeadilan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Dari asas efisiensi berkeadilan ini penyelenggaraan usaha perkebunan harus dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya dari sumber daya dan memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara Indonesia sesuai dengan kemampuannya.
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
37
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
38
Tinjauan Investasi Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BAB III. METODOLOGI DAN TAHAPAN KEGIATAN Dalam keseluruhan proses penyusunan telah dilibatkan berbagai pihak yang berkepentingan, yaitu dan . Unsur pemerintah dalam kegiatan ini adalah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Kemudian unsur akademisi dalam tinjauan ini adalah tim tenaga ahli dari Universitas Padjadjaran dan tim tenaga ahli dari lembaga penelitian di sub sektor perkebunan, yaitu para peneliti dari PT Riset Perkebunan. Pada tahap awal kegiatan, dilakukan serangkaian (FGD) yang berkaitan dengan topik bahasan Penanaman Modal Asing (PMA) usaha perkebunan di Indonesia, khususnya usaha kelapa sawit dan usaha tebu. Selanjutnya secara konseptual, dibangun model dengan merujuk kepada peraturan dan perundanganundangan yang terkait dengan penanaman modal di subsektor perkebunan. Sementara itu, secara empiris model dibangun melalui serangkain kegiatan diskusi terfokus (FGD) dengan topik pembahasan utama tentang berbagai isu terkait Penanaman Modal Asing (PMA) pada penyelenggaraan usaha kelapa sawit dan tebu, termasuk tentang aspek dan kriteria dalam penentuan besaran PMA, metode penentuan besaran PMA serta potensi dampak akibat penentuan besaran PMA pada kedua usaha tersebut. Metodologi yang digunakan dalam melakukan tinjauan besaran penanaman modal asing pada usaha kelapa sawit dan usaha tebu ini merupakan kerangka kerja yang terintegrasi ( framework) melalui kombinasi antara dan (SDANP). Metode ini dipilih agar mampu menentukan besaran kepemilikan Metodologi dan Tahapan Kegiatan
39
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Penanaman Modal Asing (PMA) pada kedua usaha perkebunan tersebut yang berlangsung di Indonesia. Pendekatan ANP menjadi pilihan tepat dalam melaksanakan tinjauan ini mengingat pendekatan tersebut memiliki kemampuan melakukan peramalan ) dalam menentukan besaran penanaman modal asing pada usaha kelapa sawit maupun usaha tebu, meskipun berhadapan dengan beberapa kendala berikut: 1) adanya variabel yang sulit diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan (), misalnya asas penyelenggaraan usaha perkebunan dan perilaku para aktor yang berkaitan dengan tujuan tinjauan ini; 2) munculnya kendala keterbatasan data dan informasi primer langsung dari lapangan; ) adanya nilainilai variabel bersifat subyektif yang merupakan hasil penilaian secara konsensus ( ). Dengan demikian, peramalan melalui pendekatan (ANP) dapat digunakan untuk mengatasi berbagai keterbatasan tersebut. Teknik peramalan ) dalam menentukan besaran penanaman modal asing pada usaha kelapa sawit maupun usaha tebu didasarkan pada nilai prioritas dan Sebagian besar seni dari pemodelan dinamika sistem adalah menemukan dan menunjukan proses umpan balik Pembelajaran dari struktur yang dibangun berdasarkan kepada umpan balik dengan mengumpulkan informasi mengenai dunia nyata. angkahlangkah yang dilakukan dalam pemodelan sistem adalah sebagai berikut (Sterman, 2000):
40
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
1) perumusan masalah: identifikasi persoalan, variabel kunci, waktu terjadinya masalah, historis perilaku dari variabel kunci; 2) formulasi hipotesis dinamika: problematisasi secara konseptual, fokus terhadap konsekuensi dari struktur , pemetaan dengan menggunakan diagram hubungan sebab akibat; 3) formulasi model simulasi: kaidah keputusan, perkiraan parameter, pengujian konsistensi; 4) pengujian: membandingkan dengan perilaku pengujian pada kondisi ekstrim, sensitivitas;
historis,
5) desain kebijakan dan evaluasi: skenario kebijakan, perancangan kebijakan, analisis sensitivitas, dan interaksi antar kebijakan. Berdasarkan tahapan tersebut, tahapan metode dinamika sistem dalam penentuan besaran PMA perkebunan dilakukan sampai pada tahap ke2 formulasi hipotesis dinamika, yaitu problematisasi secara konseptual, fokus terhadap konsekuensi dari struktur , dan pemetaan menggunakan diagram hubungan sebab akibat. Pemetaan dilakukan dengan menggunakan pendekatan cara berpikir sistem atau . Hal tersebut sesuai dengan penggunaan metode dinamika sistem yang bertujuan untuk menangkap hubungan kausal dan saling ketergantungan satu faktor dengan faktor lainnya. Pendekatan Thinking merupakan pendekatan yang mengenali hubungan saling bergantung dan berkaitan dari unsurunsur dalam suatu sistem. Pendekatan berpikir sistem menganut paradigma bahwa suatu perubahan (perilaku atau dinamika) dimunculkan oleh suatu struktur (unsurunsur pembentuk Metodologi dan Tahapan Kegiatan
41
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
yang saling bergantung/). Selanjutnya, hu bungan unsurunsur yang saling bergantung itu merupakan hubungan sebab akibat umpan balik bukan hubungan sebab akibat searah dan merupakan proses yang berlanjut bukan potretpotret sesaat. Umpan balik tersebut bekerja secara simultan di dalam struktur diagram sebab akibat yang mengandung banyak aktivitas inidividu (kompleksitas tinggi), tetapi apabila tidak terdapat umpan balik atau maka kompleksitas dinamika tidak dapat digambarkan (Senge, 1994; Sterman, 2000; Tasrif, 2004). Validasi adalah komponen yang tidak dapat dihilangkan dalam suatu studi untuk menghasilkan kesimpulan yang valid. McGrath dalam Maxwell (1996) mengatakan bahwa validitas bukan sebuah komoditas yang dapat dibeli oleh teknik, tetapi bergantung kepada hubungan antara kesimpulan dengan dunia nyata, dan tidak ada satupun metode yang dapat memastikan bahwa aspek dalam dunia nyata dapat diperoleh dengan baik seperti pada studi yang dilakukan. Validasi merupakan proses membangun kepercayaan dari model peneltian yang dilakukan (Sterman, 2000). Validasi yang digunakan dalam studi ini adalah triangulasi yaitu mengumpulkan informasi dari individu yang berbeda dengan menggunakan teori dan hubungan sebab akibat sebagai kendali/kontrol. Individu dalam kajian penentuan besaran PMA berasal dari pemangku kepentingan di bidang perkebunan yang terdiri atas unsur pelaku usaha perkebunan, pemerintah, dan peneliti bidang perkebunan, khususnya komoditas kelapa sawit dan tebu. Umpan balik mejadi kendali peneliti untuk mengenali aliran sebab akibat yang logis dalam membaca fenomena atau empiris yang terjadi. Dalam paradigma berfikir sistem, hubungan sebab akibat yang mempunyai polarisasi digambarkan dengan menggunakan
42
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
anak panah yang di bagian sebelah kiri atau kanan ujung runcingnya diberi tanda positif () atau negatif (). Anak panah bertanda positif mempunyai arti bahwa sebab akan menambah akibat atau sebab akan mempengaruhi akibat dalam arah perubahan yang sama (pengaruh variabel yang lain terhadap akibat, jika ada, dianggap tidak ada). Arah perubahan yang sama berarti bahwa jika sebab meningkat (atau menurun), pengaruhnya terhadap akibat akan menyebabkan akibat yang meningkat (atau menurun pula). Sedangkan anak panah bertanda negatif mempunyai arti bahwa sebab akan mengurangi akibat atau sebab mempengaruhi akibat dalam arah perubahan yang berlawanan (pengaruh variabel yang lain, jika ada, dianggap tidak ada). Arah perubahan yang berawanan berarti bahwa jika sebab meningkat (atau menurun), pengaruhnya terhadap akibat akan sebaliknya yaitu menyebabkan akibat yang menurun (atau meningkat). Pendekatan berpikir sistem memiliki alat yang dikenal dengan nama sistem yang berguna untuk mengenali pola tingkah laku sistem. Tiap menggambarkan garis cerita dengan tema tersendiri, pola tingkah laku secara khusus dapat digambarkan dan struktur sistem yang unik dapat dilukiskan dengan diagram sebab akibat Dalam paradigma berfikir sistem struktur (sekumpulan lingkar sebabakibat) ini menentukan perilaku ( atau dinamika) suatu fenomena. Lingkar sebab akibat positif akan menghasilkan suatu perilaku pertumbuhan () atau penurunan (peluruhan). Lingkar sebab akibat positif dikenal juga sebagai tipe loop atau digunakan notasi “. Sedangkan lingkar sebabakibat negatif akan menghasilkan suatu perilaku pencapaian tujuan ( ) walaupun terkadang atau tujuan dalam lingkar itu tidak tampak secara eksplisit. Lingkar sebab akibat negatif
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
43
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
merupakan suatu proses penyeimbangan dengan menggunakan notasi ””. Tahapan selanjutnya setelah terbentuk diagram sebabakibat adalah dengan membuat perilaku beberapa unsur kunci dari struktur. Fenomena yang tampak dan terlihat pada kejadian di dunia nyata merupakan peristiwa yang bisa dilihat dan dirasakan. Peristiwa tersebut dalam perspektif waktu kemudian akan menghasilkan pola perilaku yang terbentuk dari struktur persoalan yang dibuat dalam bentuk diagram sebab akibat BOT berisikan perilaku variabel atau unsur di masa lalu dan perkiraan perilaku variabel atau unsur di masa yang akan datang apabila tidak melakukan suatu perubahan apapun (Sulistyowati, 2012). (ANP) merupakan teori matematis yang mampu menganalisa berbagai pengaruh dengan pendekatan asumsiasumsi untuk menyelesaikan bentuk permasalahan. Metode ini digunakan dalam bentuk penyelesaian dengan pertimbangan atas penyesuaian kompleksitas masalah secara sistematis dan penguraian sintesis serta disertai adanya skala prioritas yang menghasilkan pengaruh prioritas terbesar. ANP mampu menjelaskan model faktorfaktor serta nya secara sistematik. Pengambilan keputusan dalam aplikasi ANP dilakukan dengan pertimbangan dan validasi atas pengalaman secara empiris. Dalam implementasi pemecahan masalah, ANP bergantung pada alternatifalternatif dan kriteria yang ada. Saaty (200) menjelaskan bahwa teknis analisis ANP dilakukan dengan menggunakan perbandingan berpasangan
44
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
pada alternatifalternatif dan kriteria proyek. Pada jaringan AHP terdapat level tujuan, kriteria, subkriteria, dan alternatif, yang masingmasing level memiliki elemen. Sedangkan pada jaringan ANP, level dalam AHP disebut kluster yang dapat memiliki kriteria dan alternatif didalamnya. Dalam suatu jaringan, elemen dalam suatu komponen/kluster bisa saja berupa orang dan elemen dalam komponen/kluster yang lain bisa saja juga berupa orang. Elemen dalam suatu komponen/kluster dapat mempengaruhi elemen lain dalam komponen/kluster yang sama ( ), dan dapat pula mempengaruhi elemen pada kluster yang lain dengan memperhatikan setiap kriteria. Yang diinginkan dalam ANP adalah mengetahui keseluruhan pengaruh dari semua elemen. Oleh karena itu, semua kriteria harus diatur dan dibuat prioritas dalam suatu kerangka kerja hierarki kontrol atau jaringan, melakukan perbandingan dan sintesis untuk memperoleh urutan prioritas dari sekumpulan kriteria ini. Kemudian kita turunkan pengaruh dari elemen dalam sistem dengan memperhatikan masingmasing kriteria. Akhirnya, hasil dari pengaruh ini dibobot dengan tingkat kepentingan dari kriteria, dan ditambahkan untuk memperoleh pengaruh keseluruhan dari masingmasing elemen. Saaty (1996) dan Saaty (2001) menyatakan bahwa jaringan umpan balik adalah struktur untuk memecahkan masalah yang tidak dapat disusun dengan menggunakan struktur hirarki. Jaringan umpan balik terdiri dari interaksi dan ketergantungan antara elemen pada level yang lebih rendah. Struktur umpan balik tidak mempunyai bentuk linier dari atas ke bawah, tetapi nampak seperti sebuah jaringan siklus pada masingmasing klaster dari setiap elemen serta dapat berbentuk pada klaster itu sendiri. Bentuk ini tidak dapat disebut sebagai level. Umpan balik juga mempunyai sumber dan tumpahan Titik sumber Metodologi dan Tahapan Kegiatan
45
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
menunjukkan asal dari jalur kepentingan dan tidak pernah dijadikan tujuan dari jalur kepentingan lain, sedangkan titik tumpahan adalah titik yang menjadi tujuan dari jalur kepentingan dan tidak pernah menjadi asal untuk kepentingan lain.
Gambar 3.1. Struktur Jaringan Umpan Balik pada ANP (Saaty, 2004) Sebuah jaringan yang utuh terdiri dari titik sumber titik antara ( ) yang berasal dari titik asal titik siklus, atau sebuah jalur yang menuju pada titik tumpahan ( ), dan bagian akhir adalah titik tumpahan itu sendiri Struktur ANP terdiri atas ketergantungan antar elemen komponen dalam ( dan dari ketergantungan antar elemen komponen luar seperti ditampilkan pada Gambar 3.1. Adanya jaringan dalam suatu ANP dimungkinkan dapat merepresentasikan beberapa masalah tanpa terfokus pada awal dan kelanjutan akhir seperti pada AHP.
46
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Supermatriks ANP akan secara otomatis menghasilkan bobot yang tepat bagi kriteria dan alternatif jika data yang digunakan adalah vektor prioritas pada supermatriks. Hal ini merupakan cara yang sederhana karena tidak membutuhkan pemikiran per bagian pada pengguna. Hanya mengetahui data dan supermatriks akan menghasilkan prioritas pada setiap titik pada model (Saaty, 2004). Menurut Azis (2004) dengan umpan balik, alternatif bukan hanya dapat tergantung pada kriteria tetapi juga dapat tergantung antara satu alternatif dengan alternatif lainnya. Kriteria itu sendiri dapat tergantung pada alternatif dan faktor lain. Untuk merepresentasikan pada metode ANP maka diperlukan matriks berukuran besar yang disebut sebagai yang terdiri dari beberapa sub matriks. Melalui adanya umpan balik, alternatifalternatif berbagai pilihan kebijakan sangat pada kriteria yang ada dalam suatu hirarki model yang saling memiliki keterikatan atau keterkaitan antar masingmasing variabel ( maupun kluster) di tingkat horizontal maupun vertikal. Lebih jelasnya dapat melihat pada Gambar 3.2 dan 3.3.
Gambar 3.2. dan (Iwan Jaya Azis, 2003)
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
47
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Gambar 3.2 menunjukkan atau unsur dibandingkan dalam suatu kluster; yaitu C4, dengan kluster lainnya (C2 dan C3). Hal ini disebut sebagai , karena hubungan antar kluster dengan kluster lainnya. Sedangkan bila kluster berhubungan dengan dirinya sendiri disebut sebagai . Dalam input data, AHP dan ANP menggunakan skala rasio, dimana skala rasio digunakan untuk membandingkan prioritas, baik antar node maupun kluster. Input data yang digunakan AHP maupun ANP yaitu aritmatika dasar penambahan dan pengurangan dengan skala yang sama, perkalian dan pembagian dengan skala yang berbeda dan mengkombinasikan dua operasional dalam pengembilan keputusan yaitu pembobotan dan penambahan skala yang berbeda dengan skala tanpa dimensi. Bila dibuat permodelan secara matematik, katakan jika A1, A2, A3,…,An sebagai unsur dalam matrik hierarki. Sepasang perbandingan dari dua unsur (Ai, Aj) yang akan digunakan dengan matriks = (aij), dimana i,j = 1, 2, 3, …,n. Selanjutnya, didefinisikan sejumlah nilai bobot w1, w2, …,wn yang menunjukkan perbandingan yang disimpan dalam pilihan, sehingga dapat ditulis sebagai berikut:
1 1 / 1 1 / 2 1 / = / 1 / 2 / dimana setiap baris adalah konstan yang dikalikan dengan baris pertama, , memiliki unsur yang memiliki peringkat atau berjenjang. Dengan mengalikan dengan dengan vektor yang telah dibobot berupa maka
48
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
(1)
selanjutnya dilakukan solusi dengan melakukan pengembalian ke matrik skala, sehingga,
(2)
dengan demikian, untuk solusi ini supaya diperoleh , jika dan hanya jika hilang maka untuk persamaan dari , n menjadi nilai dan w adalah matriks dari . Dengan tetap mengambil yang memiliki unit terperingkat maka seluruh kecuali satu adalah nol, sehingga pencarian solusi untuk harus sama dengan . Apabila setiap masukan data dalam matriks dinotasikan sebagai , maka = 1/ (dengan sifat berbanding terbalik), sehingga = / (menggunakan sifat konsistensi). Selanjutnya, dengan mendefinisikan bahwa = = 1 (jika dibandingkan dengan dua unsur node yang sama). Oleh karena itu, jika melakukan pemeringkatan sejumlah unsur node, dimana adalah ukuran , maka diperlukan sejumlah input (sebagai pasangan yang akan dibandingkan) kurang dari ; nilai ini akan sama hanya dengan jumlah masukan sub diagonal dari (Saaty, 1994, Azis, 2003). Dengan demikian, untuk hal tersebut dibutuhkan tingkat hirarki yang lebih tinggi yaitu pasangan ketiga sebagai perbandingan dengan pasangan kedua. Umumnya, nilai yang tepat dari relatif tidak diketahui secara tepat karena perbandingan hanya digunakan secara estimasi. Hal inilah yang menjadi permasalahan dalam penggunaan ANP, apa yang disebut sebagai , an ini membutuhkan percobaanpercobaan serta proses simulasi yang relatif panjang, terkadang untuk menghasilkan nilai dari dapat digunakan metode simulasi untuk memperoleh nilai yang tepat dan sesuai dengan
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
49
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
distribusi normal. Namun demikian, dengan melihat pada sifat berbanding terbalik, maka untuk memperoleh , digunakan dengan nilai yang terbesar yang dinotasikan dengan λ, λ⋅⋅ λ
(3)
dimana adalah aktual, dengan matriks (yang diperoleh dari matriks A, hasil dari eigenvalue maksimum). Walaupun (1) dan (3) tidak identik, jika dilakukan solusi dengan (3), maka matriks dengan masukan , merupanan matriks yang konsisten untuk mengestimasi , walaupun kadangkala tidak perlu konsisten. Patut dicatat, akan konsisten jika dan hanya jika λ Sepanjang nilai dari belum diperoleh, maka akan terjadi nilai bias dalam perbandingan node, maka λakan lebih besar atau sama dengan . Apabila satu atau lebih dua unsur node dibandingkan, maka tingkat konsistensi akan sesuai dengan kondisi transitivitas: jika A1 A2 dan A2 A3, kemudian A1 A3. Perlu dijelaskan lebih lanjut dalam memecahkan untuk w, asumsi transitivitas harus dilonggarkan; nilai masukan untuk A tidak terlalu memberikan konsistensi yang penuh. Apabila sudah terlihat konsisten maka vektor yang mencerminkan peringkat prioritas untuk masingmasing unsur disetiap tingkat. leh karena itu, untuk menyederhanakan dan mengurangi tingkat bias hirarki analisis digunakan tiga tingkatan (, , dan ). Pada AHP dan ANP, prosedur penurunan skala rasio digunakan untuk mengisi input matrik skala rasio untuk A, sedangkan untuk mengukur feedback , ANP membutuhkan matrik yang besar yang disebut dengan supermatrix, yang berisi sejumlah sub matrik di masing masing tingkatan dan unsur. Supermatrix ini menangkap pengaruh dari unsurunsur yang ada dalam .
50
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Dengan memberikan notasi untuk kluster, katakan , dan diasumsikan bahwa nh, merupakan unsur dari , Gambar 3.3 menunjukkan supermatrix dengan hirarki yang ditunjukkan dari Gambar 3.2. C1 C2 . . . CN2 CN1 CN e11…e1n1 e11…e1n1 . . . e(N2) . . .e(N2) e(N1)1 . . .e(N1)1 eN1 . . .eNnN 11 11
1
0 0 21 0 2 2 21 0 32 0 0 1 0 0 11
2 =
0 0
0 0
0
0
−1, − 2 0 0 , −1
0 0 0 0
Gambar 3.3. Apabila pada tingkat terendah berpengaruh terhadap tingkatan tertinggi dari hirarki, maka bentuk jaringan () disebut sebagai . Maka supermatrix yang dibuat dapat dilihat pada Gambar 3.4. C1 C2 . . . CN2 e11…e1n1 e11…e1n1 eN1 . . .eNnN 1 2 =
11 1 1
.
CN1 CN . . e(N2)1 . . .e(N2)nN2 e(N1)1 . . .e(N1)nN1
0 0 21 0 0 32 0 0 1 0 0 21 2 2
0
0
0 0
0 0
−1, − 2 0 0 , −1
1, 0 0 0
Gambar 3.4.
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
51
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
C1 C2 . . . CN e11e12 . . . e1n1 e21e22 . . . e2n2 eN1eN2 . . . eNnN 11 12 1 1
11 21 = 21 22 2 2 1 1 2
21 22 2 2
12 22
2
1 2
Gambar 3.5. Sedangkan untuk matriks masukan bagi A sebagai dengan bentuk matriks sebagai berikut: 1( 1 ) 1( 1 ) ( 1 ) ( 2 ) 2 = 2 ( 1 ) ( 1 )
1( 1 ) ( ) 2 ( )
Gambar 3.6. Entry in the Supermatrix of a Network dimana i dan j dinotasikan sebagai matriks yang mempengaruhi dan terpengaruh dari masingmasing kluster dan unsur kluster ken. Masukan dari sub matriks dalam Wij adalah skala rasio yang diturunkan dari sepasang unsurunsur dalam kluster berdasarkan pengaruh masing masing kluster ( ) maupun dalam kluster itu sendiri ( ). Hasil dari supermatriks yang tidak dibobot ( ) kemudian ditransformasikan ke dalam matriks untuk setiap kolom yang dijumlah untuk menghasilkan matriks stokastik ( ). enurunan bobot digunakan untuk membobot unsurunsur yang selanjutnya dimasukkan ke blok kolom (kluster) dari
52
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
, yang menghasilkan supermatriks terbobot yang juga bersifat stokastik. Penggunaan sifat stokastik dilakukan karena setiap unsur dapat mempengaruhi unsur kedua yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi unsur ketiga dan mempengaruhi ke unsur yang kedua, untuk setiap kemungkinan dari unsur ketiga. Hal ini digunakan dengan mengkuadratkan matrik yang terbobot Selanjutnya, setelah mempengaruhi dari unsur ketiga akan mempengaruhi unsur keempat, yang juga mempengaruhi unsur kedua, dan seperti pada matriks ketiga untuk unsur yang mempengaruhi tingkat keempat dilakukan pemangkatan tiga untuk matrik yang terbobot Proses ini akan terus dilakukan secara kontinyu hingga tak terhingga dengan menggunakan formulasi Bagaimana jika dari sejumlah N nya terbatas, apakah akan konvergen dan memperoleh solusi. Menurut Saaty (2001) untuk memecahkan permasalahan tersebut dengan menurunkan sebagai berikut: 1) λ adalah akar sederhana dan solusi hasik akar yang bukan berjumlah satu, sehingga menghasilkan nonnegatif matrix, hal ini disebut sebagai matriks yang primitif. Jika
kita
memiliki
lim →∞ = ,
sehingga
memiliki
implikasi yang sesuai untuk menghasilkan matriks stokastik , dan meningkatan keluaran yang terbatas; 2) Jika akar lainnya satu dan mengakibatkan proses siklus, maka untuk menghindari hal tersebut untuk memperoleh hasil yang konvergen dilakukan ratarata aritmatik (lebih jelasnya lihat Saaty, 2001); 3) λ adalah perkalian akar, maka dilakukan proses reduksi matriks stokastik dengan λ (teknik ini
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
53
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dikenal dengan pemecahan dengan teknik Sylvester). Yang patut dicatat, matrik tidak akan jika matriks tersebut bukan , karena jika di kan nilai eigen yang terbesar adalah satu. Pada saat matrik W tidak (kasus siklus) maka rata rata matriks secara suksesif digunakan untuk seluruh siklus hingga prioritas yang terakhir (dengan menggunakan metode ), dengan batas siklus dalam blok yang memiliki batasbatas perbedaan kemudian dijumlahkan dan dirataratakan lalu dinormalisasikan untuk setiap kluster. Seluruh kolom matrik akan identik dan setiap sel akan memberikan prioritas relatif dari unsurunsur yang diprioritaskan hingga berjumlah satu. Dan untuk memperoleh ini disebut dengan (matrik yang memberikan batasanbatasan yang identik dengan prioritas relatif antar kluster). Bila dirangkum dalam proses masukan matriks W, ada 3 (tiga) yang menjadi penguat untuk menjadi : (1) tanpa bobot yang merupakan supermatriks awal yang terdiri dari yang diperoleh dari perbandingan antara masingmasing unsur matriks () yang telah terbobot, dimana setiap blok kolom yang merupakan klusterkluster yang dibobot berdasarkan prioritas yang mempengaruhi terhadap kluster dan yang terakhir (3) yaitu , yang menggambarkan matrik yang dibobot untuk meningkatkan kekuatan untuk memperoleh .
54
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Proses solusi ANP memiliki 4 (empat) langkah utama, yaitu sebagai berikut (Izik 011): Mengembangkan Struktur Model Keputusan Pada langkah ini, masalah harus disusun dan model konseptual harus dibuat. Aalnya, komponenkomponen penting harus diidentifikasi. Elemen paling atas (kluster) didekomposisi menjadi subkomponen dan atribut (node). ANP memungkinkan dependensi baik di dalam sebuah kluster (ketergantungan dalam) dan antar kluster (ketergantungan luar) (Saaty dalam Izik , 011). Masingmasing variabel pada setiap tingkat harus didefinisikan bersama dengan hubungannya dengan unsurunsur lain dalam sistem. Matriks Perbandingan Berpasangan dari Variabel yang Saling Terkait Pada ANP, perbandingan elemen berpasangan dalam setiap tingkat dilakukan terhadap kepentingan relatif untuk kriteria kontrol mereka. Matriks korelasi disusun berdasarkan skala rasio 1 . Ketika penilaian dilakukan untuk sepasang, nilai timbal balik secara otomatis ditetapkan ke perbandingan terbalik dalam matriks. Setelah perbandingan berpasangan selesai, vektor yang sesuai dengan nilai eigen maksimum dari matriks yang dibangun dihitung dan vektor prioritas diperoleh. Nilai prioritas ditemukan dengan menormalkan vektor ini. Dalam proses penilaian, masalah dapat terjadi dalam konsistensi dari perbandingan berpasangan. Rasio konsistensi memberikan penilaian numerik dari seberapa besar evaluasi ini mungkin tidak konsisten. Jika rasio yang dihitung kurang dari 0.10, konsistensi dianggap memuaskan. Penghitungan Supermatriks Setelah perbandingan berpasangan dihitung dalam 3 (tiga) langkah:
selesai,
supermatriks
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
55
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
1) (supermatriks tanpa pembobotan), dibuat secara langsung dari semua prioritas lokal yang berasal dari perbandingan berpasangan antar elemen yang mempengaruhi satu sama lain; 2) (supermatriks berbobot), dihitung dengan mengalikan nilai dari supermatrikstanpa pembobotan dengan bobot klusteryang terkait; 3) Komposisi dari (Supermatriks terbatas), dibuat dengan memangkatkan supermatriks berbobot sampai stabil. Stabilisasi dicapai ketika semua kolom dalam supermatriks yang sesuai untuk setiap memiliki nilai yang sama. angkahlangkah ini dilakukan dalam , yang merupakan paket perangkat lunak yang dikembangkan untuk aplikasi ANP. Setiap sub network, prosedur yang sama diterapkan dan alternatif diberi peringkat. Bobot Kepentingan dari dan Nodes Penentuan bobot kepentingan dari faktor penentu dengan menggunakan hasil terbatas dari model ANP. Prioritas keseluruhan dari setiap alternatif dihitung melalui proses sintesis. asil yang diperoleh dari masingmasing sub network disintesis untuk memperoleh prioritas keseluruhan dari alternatif. ANP memiliki empat aksioma yang menjadi landasan teori, antara lain (Saaty & Vargas, 2006) : 1) ; aksioma ini menyatakan bahwa jika PC (EA,EB) adalah nilai pembandingan pasangan dari elemen A dan B, dilihat dari elemen induknya C, yang menunjukkan berapa kali lebih banyak elemen A memiliki apa yang dimiliki elemen B, maka PC (EB,EA) = 1/ Pc
56
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
2)
3)
4)
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
(EA,EB). Misalkan, jika A lima kali lebih besar dari B, maka B besarnya 1/5 dari besar A. ; menyatakan bahwa elemenelemen yang dibandingkan dalam struktur kerangka ANP sebaiknya tidak memiliki perbedaan terlalu besar, yang dapat menyebabkan lebih besarnya kesalahan dalam menentukan penilaian elemen pendukung yang mempengaruhi keputusan. ; yaitu pembobotan secara absolut dengan menggunakan skala interval [0.1] dan sebagai ukuran dominasi relatif. ; diasumsikan bahwa susunan dapat dikomposisikan ke dalam komponenkomponen yang membentuk bagian berupa kluster.
Tabel 3.1.
Definisi Skala Perbandingan Berpasangan ANP
1
Sama Penting
Kedua elemen memiliki
3
Sedikit Lebih Penting
Salah satu elemen dibandingkan elemen lainnya
5
Lebih Penting
Salah satu elemen dibandingkan elemen lainnya
7
Sangat Lebih Penting
9
Mutlak Lebih Penting
Salah satu elemen dibandingkan elemen lainnya Salah satu elemen dibandingkan elemen lainnya
2,4,6,8
Nilai tengah di antara dua perbandingan yang berdekatan
Nilai ini diberikan jika terdapat keraguan di antara kedua penilaian yang berdekatan
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
57
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode (ANP) untuk memprediksi besaran Penanaman Modal Asing (PMA) pada usaha perkebunan di Indonesia untuk komoditas kelapa sawit dan tebu dengan sub sistem benih, budidaya dan pengolahan primer. Pemilihan responden pakar dilakukan dengan mempertimbang kan pemahaman responden terhadap permasalahan investasi asing dan domestik pada usaha perkebunan di Indonesia, khususnya untuk komoditas kelapa sawit dan tebu dengan sub sistem benih, budidaya dan pengolahan primer. Dengan demikian, teknik pengambilan responden pakar adalah berdasarkan kepakaran dimana responden pakar dipilih berdasarkan pertimbangan bahwa yang bersangkutan adalah pihak yang paling kompeten dibidangnya. Pemilihan atau responden pakar juga ditentukan berdasarkan aktor yang berperan penting dalam penentuan besaran kepemilikan Penanaman Modal Asing (PMA) usaha perkebunan di Indonesia yang terbagi menjadi 4 (empat) yaitu pemerintah, politisi, akademisi dan praktisi. Aktor yang menentukan besaran kepemilikan PMA sektor perkebunan harus memperhatikan asas penyelenggaraan perkebunan yang salah satunya terdiri dari asas berkeadilan dan efisiensi yang tertuang dalam UU nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan. Kompleksitas yang saling terkait antara aspek sosial, ekonomi, teknis dan lingkungan dalam sektor perkebunan khususnya komoditas kelapa sawit dan tebu memerlukan pemahaman yang komprehensif dan holistik agar tidak terjadi kesalahan dalam melakukan analisis untuk pengambilan kesimpulan ataupun penentuan keputusan. Pemahaman yang terbentuk merupakan akumulasi pengetahuan dan pengalaman yang melekat pada setiap aktor yang terlibat penyelenggaraan
58
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
perkebunan (pemerintah, praktisi, akademisi, politisi) sesuai dengan profesi atau peran yang dimiliki oleh masingmasing aktor. Merujuk kepada hal tersebut, pemilihan responden pakar () dilakukan dengan mempertimbangkan pemahaman dan penguasaan pakar terhadap permasalahan investasi asing dan domestik pada usaha perkebunan di Indonesia, khususnya pada komoditas kelapa sawit dan tebu yang dibedakan menjadi lapangan usaha (sub sistem) perbenihan, budidaya dan pengolahan primer. Adapun jumlah pakar responden terdiri dari 31 orang yang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi, politisi dan praktisi (Tabel 3.2.). Kepakaran atau penguasaan yang ahli di bidangnya adalah bentuk validitas dalam metode ANP, karena pengambilan kesimpulan dan analisis dalam mengisi kuisioner sangat bergantung kepada penguasaan pakar terhadap bidang/profesi yang dilakukannya dalam penyelenggaraan perkebunan. Berikut seara rini namanama pakar yang berkontribusi terhadap tinjauan besaran kepemilikan modal PMA usaha kelapa sawit dan tebu serta perannya dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA usaha kelapa sawit dan tebu. Tabel 3.2. Daftar Nama Responden Pakar serta Perannya dalam Penentuan Besaran Penanaman Modal Asing (PMA) pada Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu
1 2 3 4
Usaha Benih Kelapa Sawit
Direktur di Direktorat Jenderal Perkebunan
Pemerintah
Peneliti Utama Komoditas Kelapa Sawit PT RPN
Akademisi dan Praktisi
Peneliti Utama Komoditas Kelapa Sawit PT RPN
Akademisi dan Praktisi
Division Head Perusahaan Benih Kelapa Sawit
Praktisi
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
59
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
5
Direktur Perusahaan Kelapa Sawit
Praktisi
6
Pengurus APKASINDO
Praktisi
7
Direktur di Direktorat Jenderal Perkebunan
Pemerintah
Politisi Anggota DPR RI Komisi IV
Politisi
Peneliti Utama Komoditas Kelapa Sawit PT RPN
Akademisi dan Praktisi
Profesor/Dosen Faperta IPB/Peneliti Kelapa Sawit
Akademisi
Direktur di Direktorat Jenderal Perkebunan
Pemerintah
Deputi di Kementerian Koordinator Perekonomian
Pemerintah
8 9
Usaha Budidaya Kelapa Sawit
10 11 12 13
Usaha Pengolahan Primer Kelapa Sawit
Pengurus GAPKI
Praktisi
Politisi Komisi IV DPR RI
Politisi
Pimpinan APTRI
Praktisi
Peneliti Utama Komoditas Tebu PT RPN
Akademisi dan Praktisi
17
Direktur Produksi Perusahaan Tebu Swasta
Praktisi
18
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi
Pemerintah
19
Profesor/Dosen Faperta IPB/Peneliti Tebu
Akademisi
Konsultan Industri Gula /Agribisnis
Praktisi
21
Direksi PTPN Tebu
Praktisi
22
Sosiolog/Peneliti
Akademisi
23
Politisi Komisi IV DPR RI
Politisi
24
Pengurus Asosiasi Gula Indonesia 20132016
Praktisi
14 15 16
20
60
Usaha Benih Tebu
Usaha Budidaya Tebu
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
25
Tenaga Ahli Bidang Pengembangan Tebu
Pemerintah
26
Pelaku Usaha
Praktisi
27
Professor Riset/Peneliti Litbang Pertanian
Akademisi
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi
Pemerintah
Kasubdit di Direktorat Jenderal Perkebunan
Pemerintah
30
Peneliti Utama Komoditas Tebu PT. RPN
Akademisi dan Praktisi
31
Direksi PTPN Tebu
Praktisi
28 29
Usaha Pengolahan Primer Tebu
Konstruksi model dalam studi ini disusun berdasarkan literatur konseptual dan empiris (dunia nyata). Secara konseptual, model dibangun dengan merujuk kepada peraturan dan perundanganundangan yang terkait dengan penanaman modal dan sub sektor perkebunan. Sementara itu, secara empiris model dibangun melalui serangkain kegiatan diskusi terfokus (FGD) yang melibatkan para pihak yang berkepentingan, yaitu dan . Unsur pemerintah yang ikut serta dalam konstruksi model adalah Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, sedangkan unsur akademisi adalah tim tenaga ahli dari Universitas Padjadjaran dan tim tenaga ahli dari lembaga penelitian di sektor perkebunan (peneliti dari PT RPN). (FGD) yang berkaitan dengan penentuan besaran kepemilikan modal Penanaman Modal Asing (PMA) usaha perkebunan kelapa sawit dan usaha tebu di Indonesia dilakukan melalui beberapa tahapan berikut: 1) pembahasan
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
61
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
berbagai isu yang terkait dengan PMA (Penanaman Modal Asing) di sektor perkebunan, 2) identifikasi aspek dan kriteria dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA sektor perkebunan, 3) pembahasan metode dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA sektor perkebunan, 4) pembahasan potensi dampak dari PMA sektor perkebunan. Model secara utuh dibangun dengan menggunakan kerangka kerja yang terintegrasi ( framework) melalui kombinasi antara dan (SDANP) agar dapat melengkapi analisa kualitatif dan kuantitatif dalam memprediksi () besaran kepemilikan modal Penanaman Modal Asing (PMA) usaha perkebunan di Indonesia. dilakukan untuk menangkap hubungan kausal dan saling ketergantungan satu faktor dengan faktor lainnya, sedangkan ANP memberikan preferensi terhadap tujuan yang konsisten mengenai tujuan strategis yang akan dicapai yaitu meramalkan besaran kepemilikan modal Penanaman Modal Asing (PMA) usaha kelapa sawit dan usaha tebu. Dasar untuk SD dan ANP adalah yang menunjukkan hubungan yang relevan dan antara parameter model. Tahap kuantifikasi model menggunakan pertanyaan dalam kuesioner ANP berupa (pembandingan pasangan) antar elemen dalam kluster untuk mengetahui mana di antara keduanya yang lebih besar pengaruhnya (lebih dominan) dan seberapa besar melalui skala numerik berdasarkan persepsi berbagai yang meliputi akademisi, politisi, pemerintah dan praktisi.
62
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Uji Konsistensi Pengukuran konsistensi dari suatu matriks didasarkan atas . CI =
itu
sendiri
λ maks − n n −1
(4)
dimana :
λ maks
= Nilai maksimum
n CI
= Ukuran matriks = Indeks Konsistensi
maksimum suatu matriks tidak akan lebih kecil dari nilai n sehingga tidak mungkin ada nilai CI yang negatif. Semakin dekat maksimum dengan besarnya matriks maka makin konsisten matriks tersebut. Selanjutnya, apabila sama besarnya maka matriks tersebut konsisten 100% atau inkonsisten 0%. Sementara itu, untuk menghitung rasio konsistensi (CR) dapat dilakukan dengan persamaan: (5) dimana : CI = Indeks konsistensi RI = Nilai indeks acak ( ) yang nilainya ditentukan dari Tabel 3.2. CR = Rasio konsistensi Batasan diterima rasio konsistensi suatu matriks adalah 10% ke bawah. Artinya, bahwa tingkat inkonsistensi di bawah 10% masih bisa diterima. Sementara itu, jika nilai lebih dari itu harus ada revisi penilaian karena tingkat inkonsistensi yang terlalu besar dapat menjurus pada suatu kesalahan.
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
63
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 3.3. Nilai Indeks Acak (RI)
RI
0
0
0,58
0,90
1,12
1,24
1,32
1,41
1,45
1,49
1,51
1,48
1,56
1,57
Untuk mengetahui hasil penilaian individu dari para responden dan menentukan hasil pendapat pada satu kelompok dilakukan penilaian dengan menghitung (Saaty, T.L & Vargas, L.G, 2006). Pertanyaan berupa perbandingan ( dari responden akan dikombinasikan sehingga membentuk suatu konsensus. merupakan jenis penghitungan ratarata yang menunjukan tendensi atau nilai tertentu yang memiliki formula sebagai berikut : (6)
adalah ukuran yang menunjukan tingkat kesesuaian atau persetujuan para responden (R1Rn) terhadap suatu masalah dalam satu (Legendre, 2005). Adapun alat yang digunakan untuk mengukur adalah (W;0 < W ≤ 1). W =1 menunjukkan kesesuaian yang sempurna. Hal pertama untuk menghitung Kendall’s (W) adalah memberikan ranking pada setiap jawaban kemudian menjumlahkannya. (7) nilai ratarata dari total ranking adalah sebagai berikut : (8) jumlah kuadrat deviasi (S) dihitungan dengan formulasi berikut ini,
64
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
(9) maka diperoleh Kendall’s (W) yaitu : (10) jika nilai pengujian W sebesar 1 (W=1) maka dapat disimpulkan bahwa penilaian atau pendapat dari para responden memiliki kesesuaian yang sempurna, sedangkan ketika nilai W sebesar 0 atau semakin mendekati 0, maka menunjukan adanya ketidaksesuaian antar jawaban responden atau jawaban bervariatif. Peramalan () Pendekatan ANP dimungkinkan untuk melakukan prediksi karena adanya beberapa hal antara lain (Saaty & Vargas, 2006): (1) variabel yang sulit untuk diukur atau tidak dapat dikuantifikasikan (), misalnya, perilaku para aktor yang berkaitan dengan tujuan studi; (2) munculnya kendala mengenai keterbatasan data sebelumnya atau masa lalu sehingga mengalami kesulitan untuk melakukan prediksi; (3) adanya nilainilai variabel bersifat subyektif yang merupakan hasil penilaian secara konsensus ( ). Oleh karena itu, melakukan prediksi dengan pendekatan ANP dapat digunakan untuk mengatasi berbagai keterbatasan tersebut. Teknik peramalan dalam studi ini didasarkan pada nilai prioritas dan Metodologi dan Tahapan Kegiatan
65
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Gambar 3.7. Tahapan Tinjauan Penentuan Besaran Penanaman Modal Asing pada Usaha Perkebunan
66
Metodologi dan Tahapan Kegiatan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BAB IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara konseptual penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Pemerintah Pusat membuka peluang penanaman modal asing untuk mengembangkan usaha perkebunan tetapi mengutamakan penanaman modal dalam negeri, termasuk pada usaha perkebunan kelapa sawit maupun tebu. Sejalan dengan itu, penanaman modal asing wajib dibatasi dengan memperhatikan kepentingan nasional dan pekebun sejalan dengan dengan asas efisiensiberkeadilan, yaitu penyelenggaraan perkebunan harus dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya dari sumber daya dan memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya (Undangundang nomor 2 tahun 200 tentang Penanaman Modal; Undangundang nomor tahun 2014 tentang Perkebunan; Peraturan Preside nomor 44 tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal). Pada kenyataannya sektor perkebunan (termasuk kelapa sawit dan tebu) sebagaimana sub sektor pertanian pada umumnya merupakan suatu sistem yang di dalamnya terdapat kompleksitas yang tinggi. Berdasarkan hasil serangkaian diskusi terfokus yang melibatkan unsur pemerintah, akademisi, dan praktisi, sistem yang kompleks tersebut dibedakan ke dalam beberapa aspek yaitu aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan teknis. Keempat aspek secara simultan
Hasil dan Pembahasan
67
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
saling berinteraksi membangun sistem usaha perkebunan dari hulu sampai ke hilir.
Aspek Sosial
Berkeadilan
Aspek Ekonomi
Aspek Teknis
Efisiensi
Aspek Lingkungan
Penyelenggaraan Perkebunan
Gambar 4.1. Diagram Lingkar Sebab Akibat ( ) Keterkaitan antar Aspek dan Asas fisiensierkeadilan dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan. Asas berkeadilan dan efisiensi yang menjadi salah satu asas dalam penyelenggaraan usaha perkebunan, termasuk pada usaha kelapa sawit dan tebu secara empiris memiliki peran yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, teknis, maupun lingkungan. Penyelenggaraan perkebunan apabila digambarkan secara umum dalam suatu struktur yang saling berkaitan dibangun oleh aspek sosial, ekonomi, teknis, dan lingkungan. Asas efisiensi pada prakteknya tidak berdiri sendiri, ditentukan oleh aspek teknis, aspek ekonomi dan aspek sosial. Demikian halnya dengan asas berkeadilan juga ditentukan oleh aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan (gambar 4.1). Agar lebih operasional, untuk melihat bagaimana peran PMA dalam penyelenggaraan usaha kelapa sawit dan usaha tebu, keempat aspek tersebut secara keseluruhan dikelompokkan menjadi beberapa klaster yang diturunkan ke dalam beberapa
68
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
kriteria dan indikator. adalah sebagai berikut: • •
• •
Rincian kriteria pada setiap aspek
Kriteria pada aspek ekonomi: pendapatan usaha, daya serap pasar, daya saing dan kebijakan pemerintah. Kriteria pada aspek sosial: peluang berusaha masyarakat, hubungan kelembagaan dan dominasi pengambilan keputusan Kriteria pada aspek lingkungan: biologi, fisik, kimia dan sosial Kriteria pada aspek teknis: ketersediaan teknologi, tenaga ahli dan kapasitas produksi.
Tabel 4.1. Indikator Penyelenggaraan Usaha berdasarkan Aspek dan Kriteria
Perkebunan
Ketersediaan Teknologi
Penguasaan dan ketersediaan teknologi
Tenaga Ahli Perbenihan
Ketersediaan tenaga ahli yang terlibat pada usaha perkebunan
Kapasitas Produksi
Kemampuan memproduksi produk perkebunan berkualitas
Peluang Berusaha Masyarakat
Potensi serapan tenaga lokal dan akses masyarakat lokal menjadi mitra penyelenggaraan usaha perkebunan
Hubungan Kelembagaan
Hubungan kelembagaan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar dan pemerintah dalam pengembangan usaha
Dominasi Pengambilan Keputusan
Dominasi kepentingan oleh pemilik modal dalam usaha perkebunan
Pendapatan Usaha
Potensi dan nilai pendapatan usaha perkebunan
Daya Serap Pasar
Daya serap produk usaha perkebunan di pasar lokal dan global
Daya Saing
Tingkat kualitas produk usaha perkebunan
Hasil dan Pembahasan
69
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pengembangan usaha perkebunan untuk memenuhi kepentingan nasional
Biologi
Potensi penyebaran beberapa penyakit penting pada usaha perkebunan
Fisik
Potensi terjadi kekeringan dan erosi pada usaha perkebunan
Kimia
Potensi peningkatan polusi udara dan pencemaran bahan kimia pada usaha perkebunan
Sosial
Potensi terjadinya konflik sosial pada usaha perkebunan
Secara lebih spesifik, berbagai aspek dan kriteria yang disebutkan di atas kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai indikator yang dikelompokkan menjadi beberapa klaster berdasarkan subsistem (lapangan usaha) perbenihan, budidaya dan pengolahan primer. ndikatorindikator tersebut merupakan ukuran yang digunakan dalam kuisioner untuk menentukan besaran PMA perkebunan. Selain berdasarkan sub sistem, kriteria dan indikator juga dibedakan menurut komoditas perkebunan yang diusahakan, yaitu komoditas tebu dan kelapa sawit. Kedua komoditas tersebut pada tataran operasional memiliki kesamaan dalam aspek dan kriteria tetapi berbeda pada indikator yang digunakannya. Hasil FGD Tim Ahli Perkebunan menunjukkan bahwa meskipun aspek dan kriteria pada setiap lapangan usaha (pembibitan, budi daya dan pengolahan primer) pada komoditas kelapa sawit ternyata tidak berbeda. Akan tetapi, indikator untuk setiap kriteria dirumuskan berbeda bergantung dari jenis lapangan usaha komoditas tersebut. Hal ini terjadi karena deskripsi dari indikator sangat berkaitan dengan karakteristik spesifik dari setiap lapangan usaha pada
70
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
komoditas dimaksud. Secara rinci indikator setiap kriteria pada setiap lapangan usaha dari komoditas kelapa sawit tertera pada tabel 4.2 (Lapangan Usaha Perbenihan), tabel 4.3 (Lapangan Usaha Budidaya), dan tabel 4.4 (Lapangan Usaha Pengolahan Primer) Tabel 4.2. Kriteria dan Indikator Sub sistem (Lapangan Usaha) Perbenihan Kelapa Sawit
Teknis
Sosial
Ekonomi
Lingkungan
Ketersediaan Teknologi
Penguasaan dan ketersediaan teknologi usaha perbenihan kelapa sawit (plasma nutfah, teknologi perbanyakan, ketersediaan varietas)
Tenaga Ahli Perbenihan
Ketersediaan tenaga ahli yang terlibat pada usaha perbenihan kelapa sawit
Kapasitas Produksi
Kemampuan memproduksi benih kelapa sawit yang berkualitas
Peluang Berusaha Masyarakat
Potensi serapan tenaga lokal dan akses masyarakat lokal menjadi mitra perusahaan perbenihan kelapa sawit
Hubungan Kelembagaan
Hubungan kelembagaan antara perusahaan dengan masyarakat sekitar dan pemerintah dalam pengembangan usaha perbenihan kelapa sawit
Dominasi Pengambilan Keputusan
Dominasi kepentingan oleh pemilik modal dalam usaha perbenihan kelapa sawit
Pendapatan Usaha
Potensi dan nilai pendapatan usaha perbenihan kelapa sawit
Daya Serap Pasar
Daya serap produk usaha perbenihan kelapa sawit di pasar lokal dan global
Daya Saing
Tingkat kualitas produk usaha perbenihan kelapa sawit
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pengembangan usaha perbenihan kelapa sawit untuk memenuhi kepentingan nasional
Biologi
Potensi penyebaran beberapa penyakit Hasil dan Pembahasan
71
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
penting pada usaha perbenihan kelapa sawit
Fisik
Potensi terjadi kekeringan dan erosi pada usaha perbenihan kelapa sawit
Kimia
Potensi peningkatan polusi udara dan pencemaran bahan kimia pada usaha perbenihan kelapa sawit
Sosial
Potensi terjadinya konflik sosial akibat munculnya benih ilegitim (benih palsu)
Tabel 4.3. Kriteria dan Indikator Sub sistem (Lapangan Usaha) Budidaya Kelapa Sawit
72
Ketersediaan Teknologi
Penguasaan & ketersediaan teknologi budidaya pada usaha budidaya Kelapa Sawit
Tenaga Ahli Budidaya
Ketersediaan tenaga ahli yang terlibat pada usaha budidaya kelapa sawit
Kapasitas Produksi
Kemampuan kebun memproduksi kelapa sawit
Peluang Berusaha Masyarakat
Potensi serapan tenaga lokal dan akses masyarakat lokal menjadi petani plasma dan/atau petani mitra perusahaan budidaya kelapa sawit
Hubungan Kelembagaan
Hubungan kelembagaan antara perusahaan dengan pekerja, masyarakat sekitar, dan pemerintah dalam pengembangan usaha budidaya kelapa sawit
Dominasi Pengambilan Keputusan
Dominasi kepentingan oleh pemilik modal dalam usaha budidaya kelapa sawit
Pendapatan Usaha
Potensi dan nilai pendapatan usaha budidaya kelapa sawit
Daya Serap Pasar
Daya serap produk kebun kelapa sawit (TBS) di pasar lokal
Daya Saing
Tingkat kualitas TBS sesuai standar (ISPO)
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pengelolaan sumberdaya lahan yang diperlukan dalam usaha budidaya
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
kelapa sawit
Biologi
Potensi penyusutan keanekaragaman hayati pada usaha budidaya kelapa sawit
Fisik
Potensi terjadi kekeringan, erosi dan kebakaran lahan pada usaha budidaya kelapa sawit
Kimia
Potensi peningkatan polusi udara, pencemaran bahan kimia, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada usaha budidaya kelapa sawit
Sosial
Potensi terjadinya konflik sosial akibat distribusi penguasaan lahan
Tabel 4.4. Kriteria dan Indikator Sub sistem (Lapangan Usaha) Pengolahan Primer Kelapa Sawit
Ketersediaan Teknologi
Penguasaan & ketersediaan teknologi pada pengolahan primer kelapa sawit
Tenaga Ahli
Ketersediaan tenaga ahli dan tenaga kerja yang terlibatpada pengolahan primer kelapa sawit
Kapasitas Produksi
Kemampuan pengolahan primer kelapa sawit memproduksi CPO
Peluang Berusaha Masyarakat
Potensi serapan tenaga lokal dan pendatang serta akses masyarakat lokal petani mitra pengolahan primer kelapa sawit
Hubungan Kelembagaan
Hubungan kelembagaan antara pengolahan primer kelapa sawit dengan pekerja, masyarakat sekitar dan pemerintah
Dominasi Pengambilan Keputusan
Dominasi kepentingan oleh pemilik modal dalam pengolahan primer kelapa sawit
Pendapatan Usaha
Potensi dan nilai pendapatan pengolahan primer kelapa sawit
Daya Serap Pasar
Daya serap produk pengolahan primer kelapa sawit di pasar lokal dan global (CPO)
Daya Saing
Tingkat kualitas produk pengolahan primer
Hasil dan Pembahasan
73
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
kelapa sawit
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pengelolaan limbah cair dan padat untuk pengembangan energi baru terbarukan
Biologi
Keseimbangan ketersediaan mikroorganisme pengurai limbah untuk mengendalikan pencemaran lingkungan
Fisik
Potensi berkurangnya sumber daya air yang diperlukan untuk pengolahan primer kelapa sawit
Kimia
Potensi peningkatan polusi udara, pencemaran bahan kimia, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) disebabkan oleh pengolahan primer kelapa sawit
Sosial
Potensi terjadinya konflik sosial akibat perbedaan penetapan harga pembelian TBS
Sebagaimana yang terjadi pada komoditas kelapa sawit, Hasil FGD Tim Ahli Perkebunan menunjukkan bahwa pada komoditas tebu pun indikator untuk setiap kriteria dirumuskan berbeda bergantung dari jenis lapangan usahanya (pembibitan, budi daya dan pengolahan primer), meskipun aspek dan kriteria pada setiap lapangan usaha pada komoditas tersebut tidak berbeda. Hal ini terjadi karena deskripsi dari setiap indikator sangat berkaitan dengan karakteristik spesifik dari setiap lapangan usaha. Secara rinci indikator setiap kriteria untuk setiap lapangan usaha pada komoditas tebu tertera pada tabel 4.5 (Lapangan Usaha Perbenihan), tabel 4.6 (Lapangan Usaha Budidaya), dan tabel 4.7 (Lapangan Usaha Pengolahan Primer).
74
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 4.5. Kriteria dan Indikator Sub sistem Perbenihan Tebu
Ketersediaan Teknologi
Tenaga Ahli
Ketersediaan tenaga ahli, yang terlibat usaha perbenihan tebu
Kapasitas Produksi
Potensi kapasitas memproduksi varietas atau pada usaha perbenihan tebu
Peluang Berusaha Masyarakat
Potensi serapan tenaga lokal dan akses masyarakat lokal menjadi mitra pada industri perbenihan tebu
Hubungan Kelembagaan
Hubungan kelembagaan antara pemerintah, perusahaan perbenihan tebu, pabrik gula dan petani produsen benih
Dominasi Pengambilan Keputusan
Dominasi kepentingan oleh pemilik modal dalam usaha perbenihan tebu
Pendapatan Usaha
Potensi dan nilai pendapatan usaha perbenihan tebu
Daya Serap Pasar
Daya serap produk usaha perbenihan tebu di pasar lokal
Daya Saing
Tingkat kualitas benih hasil produksi usaha perbenihan tebu
Kebijakan Pemerintah Biologi Fisik
Ketersediaan teknologi (plasma nutfah, teknologi perbanyakan, varietas) usaha perbenihan tebu
Kimia Sosial
Kebijakan pengembangan usaha perbenihan tebu untuk memenuhi kepentingan nasional Potensi penyusutan keragaman hayati pada usaha perbenihan tebu Potensi terjadi erosi, banjir, dan kekeringan lahan pada usaha perbenihan tebu Potensi peningkatan polusi udara, pencemaran bahan kimia pada usaha perbenihan tebu Potensi terjadi konflik sosial antara perusahaan benih dan petani produsen benih
Hasil dan Pembahasan
75
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 4.6. Kriteria dan Indikator Sub sistem (Lapangan Usaha) Budidaya Tebu
Ketersediaan Teknologi
Ketersediaan teknologi budidaya lahan kering (termasuk teknologi irigasi) serta ketersediaan varietas untuk usaha budidaya tebu
Tenaga Ahli
Ketersediaan tenaga ahliyang terlibat pada usaha budidaya tebu
Kapasitas Produksi
Potensi peningkatan jumlah produksi tebu
Peluang Berusaha Masyarakat
Potensi serapan tenaga lokal serta akses masyarakat lokal menjadi petani plasma dan /atau petani mitra pada usaha budidaya tebu
Hubungan Kelembagaan
Hubungan kelembagaan antara perusahaan budidaya tebu dengan pekerja, masyarakat sekitar, dan pemerintah
Dominasi Pengambilan Keputusan
Dominasi kepentingan oleh pemilik modal dalam usaha budidaya tebu
Pendapatan Usaha
Potensi dan nilai pendapatan usaha budidaya perkebunan tebu
Daya Serap Pasar
Daya serap produk usaha budidaya tanaman tebu di pasar lokal
Daya Saing
Tingkat kualitas tebu sesuai standar (manis, bersih, segar)
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pengembangan usaha budidaya tebu di luar Jawa
Biologi
Potensi berkembangnya hama dan penyakit penting pada usaha budidaya tanaman tebu dan tanaman pangan lainnya
Fisik
Potensi terjadinya erosi, banjir, kekeringan dan kebakaran lahan pada usaha budidaya tebu
Kimia
Potensi peningkatan pencemaran bahan kimia, emisi GRK pada usaha budidaya tebu
Sosial
Potensi terjadinya konflik sosial akibat distribusi penguasaan lahan
76
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 4.7. Kriteria dan Indikator Sub sistem (Lapangan Usaha) Pengolahan Primer Tebu
Ketersediaan Teknologi
Ketersediaan teknologi pada pengolahan primer tebu terintegrasi (produksi gula + kompos + bioetanol + energi listrik)
Tenaga Ahli
Ketersediaan tenaga ahli yang terlibat pada pengolahan primer tebu terintegrasi
Kapasitas Produksi
Potensi peningkatan jumlah produksi (gula + )
Peluang Berusaha Masyarakat
Potensi serapan tenaga lokal serta akses masyarakat lokal menjadi petani plasma dan/atau petani mitra pada pengolahan primer tebu terintegrasi
Hubungan Kelembagaan
Hubungan kelembagaan antara perusahaan pengolahan primer dengan pekerja, masyarakat sekitar, petani mitra dan pemerintah
Dominasi Pengambilan Keputusan
Dominasi kepentingan oleh pemilik modal pada usaha pengolahan primer tebu terintegrasi
Pendapatan Usaha
Potensi nilai pendapatan pengolahan primer tebu terintegrasi
Daya Serap Pasar
Daya serap produk pengolahan primer tebu terintegrasi di pasar lokal dan global
Daya Saing
Tingkat kualitas produk pengolahan primer tebu terintegrasi
Kebijakan Pemerintah
Kebijakan pengembangan pengolahan primer tebu terintegrasi
Biologi
Keseimbangan ketersediaan mikro organisme pengurai limbah untuk mengendalikan pencemaran lingkungan
Fisik
Potensi berkurangnya sumber daya air yang diperlukan untuk pengolahan primer tebu
Kimia
Potensi peningkatan polusi udara, pencemaran bahan kimia, emisi GRK disebabkan oleh pengolahan primer tebu
Sosial
Potensi terjadi konflik sosial akibat perbedaan penetapan harga pembelian produk pengolahan tebu terintegrasi
Hasil dan Pembahasan
77
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Asas efisien dan berkeadilan menjadi pembatas () dalam penentuan besaran PMA sektor perkebunan, termasuk dalam usaha kelapa sawit maupun usaha tebu. Pengertian efisiensi adalah penyelenggaraan perkebunan yang dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya dari sumber daya. ementara itu, berkeadilan adalah memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya (ndangundang nomor tahun 2014 tentang perkebunan). Penyelenggaraan perkebunan pada pelaksanaannya harus memperhatikan asas tersebut agar kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dapat dicapai melalui peningkatan produksi, produktivitas, kualitas, nilai tambah, daya saing dan pangsa pasar. Efisiensi diartikan sebagai penyelenggaraan perkebunan yang dilaksanakan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya dari sumber daya. al ini juga berlaku pada usaha kelapa sawit dan usaha tebu. Berdasarkan pengertian tersebut efisiensi dalam praktek penyelenggaraan perkebunan ditentukan oleh biaya produksi dan pendapatan usaha dari usaha perkebunan yang dilakukan, baik sub sistem perbenihan, subsistem budidaya, maupun sub sistem pengolahan primer. Biaya produksi dan pendapatan usaha dalam hal ini merupakan aspek ekonomi yang ditentukan oleh aspek teknis, diantaranya teknologi dan kapasitas produksi (gambar 4.2).
78
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Kebutuhan Teknologi
Kebutuhan Teknologi
Penanaman PenanamanModal ModalAsing Asing
Investasi InvestasiTeknologi Teknologi
Biaya Produksi Produksi Biaya
Penanaman Modal Dalam Negeri Penanaman Modal Dalam Negeri
Efisiensi Efisiensi
(Biaya (BiayaProduksi) Produksi) Harga HargaProduk Produk Kapasitas Produksi
Kapasitas Produksi
Pendapatan Usaha Pendapatan Usaha
Produksi Perkebunan
Produksi Perkebunan
Gambar 4.2. Pohon Penyebab ( ) Penyelenggaraan Usaha Perkebunan
Efisiensi
Semakin baik efisiensi dalam suatu penyelenggaraan perkebunan, maka kinerja dan daya saing produk perkebunan akan meningkat. Hal ini terjadi juga pada usaha kelapa sawit dan usaha tebu. Pasar akan lebih banyak menyerap produk produk perkebunan yang berdaya saing tinggi dibandingkan dengan produk yang daya saingnya rendah. Hal tersebut kemudian mendorong para praktisi atau pengusaha untuk melakukan pengembangan usaha perkebunan yang menimbulkan kebutuhan akan teknologi dan investasi. Investasi teknologi akan menambah kapasitas produksi dan pendapatan usaha dari sisi penerimaan, sehingga efisiensi dapat dicapai secara optimal. Pada akhirnya efisiensi yang optimal menunjukan bahwa kinerja usaha perkebunan telah dapat diselenggarakan dengan cukup baik ( R1: pendapatan usaha). Efisiensi yang terbentuk dari pengembangan usaha perkebunan di atas tidak dapat berdiri sendiri. Investasi teknologi yang diimplementasikan harus mampu meningkatkan produksi dengan biaya produksi yang serendah rendahnya agar efisiensi dapat direalisasikan secara optimal ( B1: biaya produksi). Semakin baik teknologi yang digunakan dalam penyelenggaraan perkebunan, maka efisiensi yang terjadi dapat menjadi lebih tinggi karena kapasitas produksi dapat meningkat dengan biaya yang relatif Hasil dan Pembahasan
79
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
rendah, sehingga dapat menekan biaya produksi per satuan produk (HPP: harga pokok produksi) ( R1 dan B1 dalam gambar 4.4). Apabila efisiensi dapat diwujudkan dengan baik maka produk perkebunan Indonesia akan memiliki daya saing yang tinggi di pasar lokal maupun internasional. Permintaan akan produk perkebunan terhadap produk yang berkualitas cenderung meningkat sejalan dengan preferensi konsumen yang semakin baik terhadap produk perkebunan. Diperlukan suatu iklim usaha yang mendukung peningkatan efisiensi dalam penyelenggaraan perkebunan. Pemerintah sebagai pemangku kepentingan berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan daya saing produk perkebunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang terlibat dalam penyelenggaraan perkebunan. PMA dalam kerangka peningkatan daya saing merupakan salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi produksi perkebunan di Indonesia agar produk perkebunan Indonesia dapat menguasai pangsa pasar lokal dan pasar dunia (Gambar 4.4).
Berkeadilan diartikan memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. Berkeadilan dalam hal ini dicerminkan dari distribusi nilai tambah yang diterima oleh masyarakat, semakin banyak masyarakat yang menerima nilai tambah dari penyelenggaraan perkebunan, maka nilai tambah dari sektor perkebunan terdistribusi dengan baik. Secara ekonomi, nilai tambah yang diterima masyarakat merupakan salah satu instrumen penting dalam pembentukan kesejahteraan masyarakat.
80
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Peluang usaha masyarakat dan pendapatan usaha adalah dua unsur yang membentuk distribusi nilai tambah. Pendapatan usaha berkaitan dengan biaya produksi, harga produk dan produksi perkebunan (gambar 4.3). Pendapatan usaha perkebunan berbanding lurus dengan efisiensi, jika pendapatan yang diterima akan semakin besar dan biaya yang dikeluarkan semakin sedikit maka usaha tersebut dikatakan efisien dan pendapatan yang diterima akan meningkat. (Berkeadilan) (Berkeadilan) Hubungan Kelembagaan Hubungan Kelembagaan Peluang Usaha Masyarakat Kebutuhan Pengembangan Perkebunan Peluang Usaha Masyarakat Kebutuhan Pengembangan Perkebunan Sosial Sosial Distribusi Nilai Tambah Berkeadilan Distribusi Nilai Tambah Berkeadilan Biaya Produksi Biaya Produksi Harga ProdukPendapatan Pendapatan Usaha Harga Produk Usaha Produksi Perkebunan Produksi Perkebunan
Gambar 4.3. Pohon Penyebab ( ) Penyelenggaraan Usaha Perkebunan
Berkeadilan
Sementara itu peluang usaha masyarakat berkaitan dengan hubungan kelembagaan, kebutuhan pengembangan dan unsur sosial. Hubungan kelembagaan merupakan pola interaksi yang dibangun antara perusahaan perkebunan, pemerintah, dan masyarakat. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan harus dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan efisiensi perkebunan dengan memperhatikan peluang usaha masyarakat agar distribusi nilai tambah dapat berjalan dengan efektif. Nilai tambah yang terdistribusi secara adil merupakan instrumen penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, khususnya yang berada di sekitar perkebunan. Begitu pula dengan pelaku usaha (praktisi) harus mampu melibatkan masyarakat dalam kegiatan usaha yang dilakukan, sehingga nilai tambah yang diterima oleh perusahaan ikut dinikmati bersama oleh masyarakat sekitar. Aspek sosial Hasil dan Pembahasan
81
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
menjadi unsur penting dalam penerapan asas berkeadilan karena melibatkan masyarakat sekitar yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari lingkungan usaha. Pendapatan usaha yang terdistribusi dengan baik melalui pemberian kesempatan terlibat dalam usaha perkebunan yang dijalankan merupakan wujud dari penerapan asas berkeadilan. Dukungan dari masyarakat sekitar dalam bentuk tenaga kerja dan sumber daya lainnya akan mengakslerasi peningkatan kapasitas produksi perkebunan yang berdampak kepada bertambahnya pendapatan usaha ( R2 dan R3: peluang usaha masyarakat, gambar 4.5). Akselerasi yang dimaksud adalah penambahan percepatan pertumbuhan pendapatan usaha perkebunan yang sebelumnya hanya didorong oleh investasi teknologi dan kebutuhan pengembangan perkebunan, dengan memperhatikan distribusi nilai tambah dalam berusaha memperoleh tambahan pertumbuhan positif () yang dipacu oleh pelibatan usaha masyarakat. Namun demikian, perlu menjadi perhatian khususnya dalam pelibatan tenaga kerja asing di sektor perkebunan. Besarnya investasi asing pada umumnya diikuti dengan banyaknya tenaga kerja asing yang masuk ke dalam negeri sehubungan dengan alasan keterampilan dan kapasitas tenaga kerja dalam penyelenggaraan usaha perkebunan. Hal ini menjadi isu sensitif terutama dari aspek sosial, khususnya bagi masyarakat yang berada di sekitar perkebunan. Apabila aspek sosial ini tidak dikelola dengan baik berpotensi menimbulkan konflik sosial yang berarti mengurangi peluang masyarakat untuk ikut terlibat dalam usaha perkebunan. Pada kondisi yang ekstrim, konflik sosial merupakan gangguan yang menghambat produksi, alihalih meningkatkan pendapatan usaha, produksi yang seharusnya bisa berjalan menjadi terhambat atau bahkan terhenti yang pada akhirnya
82
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
mengganggu pemenuhan pasar dan mengurangi daya serap pasar (B2, gambar 4.5). Dominasi pengambilan keputusan perusahaan yang besar berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan masalah sosial yang besar jika pengelolaan penyelenggaraan perkebunan tidak dilaksanakan dengan baik. Potensi negatif ini dapat ditekan dengan menjalin hubungan kelembagaan yang baik antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat. Penerapan dan penegakan peraturan serta dialog dalam hubungan kelembagaan antara pelaku usaha (praktisi), pemerintah dengan masyarakat menjadi kunci utama untuk menjaga agar peluang keterlibatan masyarakat dalam usaha penyelenggaraan perkebunan tetap terbuka. Situasi yang kondusif berupa dukungan masyarakat secara sosial dan lingkungan adalah iklim yang baik bagi peningkatan pendapatan usaha perkebunan, sehingga peningkatan nilai tambah yang diterima oleh perusahaan juga dinikmati oleh masyarakat sekitar (gambar 4.5). Secara umum, pola interaksi antara masyarakat, pemerintah dan pelaku usaha perkebunan baik PMDN (penanaman modal negeri) maupun PMA memiliki kewajiban yang sama. Terlebih lagi khusus untuk komoditas kelapa sawit telah terbentuk suatu konsensus bersama yang tertuang dalam (RSPO) yang berkomitmen terhadap pengembangan petani kecil melalui rantai pasok dan dialog di antara para pemangku kepentingan
Hasil dan Pembahasan
83
84
+
Hasil dan Pembahasan
Produksi
+
+
+
+
+
+
+
+
Potensi Tatakelola Tidak Baik
+
+
+
B1
+
+
+ Investasi + Teknologi
Kebutuhan Teknologi
+ + Pengembangan Perkebunan Swasta +
+
R1
+
Iklim Usaha
+
Kebutuhan Pengembangan Perkebunan
+
+
+
+
+
+ Distribusi Nilai Tambah +
Biaya Produksi
+
Infrastruktur
Investasi
+ Proporsi Tenaga Kerja Asing
+ Tenaga Kerja Dalam Negeri
+ +
+
+ Kebutuhan Tenaga Ahli
+
+ Tenaga Kerja Asing
+ + +
Kebijakan Besaran PMA
Gambar 4.4. Diagram Sebab Akibat ( ) Asas Efisien dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan
+
+ +
+
Kinerja Usaha
Pengembangan Kapasitas Produksi
+ +
+
+
Harga Produk
Perkebunan
+
Pengiriman Produk
Pemenuhan Pasar
Permintaan Pasar
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
+
+
+
R2
+
+ +
+
R3
+
+
+
+ + Pengembangan Perkebunan Swasta +
+
+
+
+ Investasi + Teknologi
Kebutuhan Teknologi
Iklim Usaha
+
+
+
+
Kebutuhan Pengembangan Perkebunan
Distribusi Nilai Tambah + +
+
Potensi Tatakelola + Tidak Baik
+
+
Biaya Produksi
+
+
Investasi
Kebutuhan Tenaga Ahli
+ Proporsi Tenaga Kerja Asing
+ Tenaga Kerja Dalam Negeri
+ +
+
+
B2
+
Tenaga Kerja Asing
+
+ + +
Kebijakan Besaran PMA
Hasil dan Pembahasan
85
Gambar 4.5. Diagram Sebab Akibat () Asas Berkeadilan dalam Penyelenggaraan Usaha Perkebunan
+ +
+
Kinerja Usaha
+ Pengembangan Kapasitas Produksi
+ +
+
Perkebunan
+
Harga Produk
Produksi
Pengiriman Produk
+
Pemenuhan Pasar
Permintaan Pasar
Infrastruktur
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Struktur model penentuan besaran kepemilikan modal PMA usaha kelapa sawit dan usaha tebu dibangun menggunakan struktur model ANP yang merujuk kepada struktur diagram sebab akibat menggunakan pendekatan cara berpikir sistem . Perumusan struktur model ANP ini merupakan hasil kesepakatan yang dibangun antara pemerintah, praktisi, dan akademisi di sektor perkebunan yang dilakukan melalui serangkaian diskusi terfokus (FGD), melalui pengembangan isu, pengembangan aspekkriteriaindikator, dan pengembangan metodologi untuk menentukan besaran kepemilikan modal PMA usaha perkebunan. Berdasarkan hasil di atas, dapat diidentifikasi beberapa klaster yang akan digunakan dalam penghitungan besaran kepemilikan modal PMA usaha perkebunan di Indonesia. Klaster tersebut dikategorikan menjadi aktor, asas, aspek, kriteria dan alternatif untuk penentuan besaran kepemilikan modal PMA usaha perkebunan di Indonesia (Tabel 4.8). Tabel 4.8. Klaster dalam Penentuan Besaran Penanaman Modal Asing (PMA) Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu di Indonesia Pihak yang berkepentingan (Aktor) Asas
Aspek
86
Pemerintah Praktisi Akademisi Politisi Berkeadilan Efisiensi Ekonomi Lingkungan Sosial Teknis
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Ketersediaan Teknologi Tenaga Ahli Kapasitas Produksi Peluang Berusaha Masyarakat Hubungan Kelembagaan Dominasi Pengambilan Keputusan
Kriteria
Pendapatan Usaha Daya Serap Pasar Daya Saing Kebijakan Pemerintah Biologi Fisik Kimia Sosial
Alternatif
Kepemilikan modal PMA sebagai minoritas Kepemilikan modal PMA sebagai mayoritas
Struktur model ANP menggambarkan bagaimana hirarki keterkaitan antar aspek dan kriteria yang ada dalam penyelenggaraan usaha perkebunan, khususnya kelapa sawit dan tebu. Keterkaitan antar aspek atau kriteria baik dalam klaster yang sama maupun klaster berbeda ditentukan oleh pengaruh antar variabel atau aspek/kriteria. Diperlukan analisis yang komprehensif, holistik dan konsisten sebelum menentukan pengaruh antar variabel agar informasi atau data yang diperoleh bersifat valid. Kepakaran responden sangat menentukan validitas jawaban yang diberikan dalam kuisioner yang dibangun berdasarkan struktur model ANP (gambar 4.6).
Hasil dan Pembahasan
87
88
Hasil dan Pembahasan
Gambar 4.6. Hirarki ANP Penentuan Besaran Kepemilikan Penanaman Modal Asing (PMA) Usaha Perkebunan di Indonesia
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Sistem rantai perkebunan kelapa sawit terbagi ke dalam tiga lapangan usaha, yakni usaha perbenihan, usaha budidaya, dan usaha pengolahan primer. Pembahasan tinjauan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perkebunan kelapa sawit akan dibagi ke dalam tiga lapangan usaha tersebut. Hasil tinjauan tentang besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha perbenihan kelapa sawit secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.9. berikut. Tabel 4.9.
Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Perbenihan Kelapa Sawit
1
Besaran Kepemilikan modal PMA
Minoritas (47,65%)
2
Asas Penyelenggaraan
Berkeadilan (64%)
3
Aspek
Lingkungan (18%) Sosial (15%)
4
Kriteria
aya saing (26%) Pendapatan usaha (24%) aya serap pasar (19%) Sosial (22%) isik (18%) Kimia (14%) Hasil dan Pembahasan
89
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Hubungan kelembagaan (31%) Peluang berusaha (%) apasitas produksi (16%)
Prioritas kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit mengikuti skenario kepemilikan modal minoritas. Hasil analisis ANP berdasarkan pendapat para ahli perkebunan menunjukkan bahwa besaran kepemilikan modal PMA yang paling baik pada usaha perbenihan kelapa sawit adalah Besaran tersebut merupakan resultan dari keterkaitan sebab akibat antar dua Asas penyelenggaraan (berkeadilan dan efisiensi) serta empat aspek utama yang menentukan usaha perbenihan kelapa sawit (ekonomi, lingkungan, sosial dan teknis) beserta kriteriakriteria yang dibangun. Pada usaha perbenihan kelapa sawit, Asas berkeadilan (64%) dipandang lebih penting dibandingkan Asas efisiensi (36%) dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA. Dengan demikian, kesetaraan peluang dan kesempatan secara proporsial bagi semua warga negara yang sesuai dengan kemampuannya dipandang lebih penting dibandingkan dasar penyelenggaraan usaha secara tepat guna (efektif) dan mengoptimalkan manfaat sumber daya.
90
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Produsen perbenihan kelapa sawit milik negara, yaitu Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) menguasai pangsa pasar sebesar 29% dan pihak swasta menguasai sisanya yakni sebesar 71% pada 2015 (Gambar 4.7). Masuknya modal asing tanpa mengedepankan asas berkeadilan dalam usaha tersebut akan berpeluang menurunkan kesempatan produsen benih dalam negeri untuk ikut terlibat. Dengan jumlah produsen benih yang sudah ada, kapasitas produksi benih sawit di Indonesia telah mencapai 200 juta kecambah/tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan realisasi penjualan sekitar 100 juta kecambah/tahun. Selain itu, kebijakan pengaturan harga benih kelapa sawit secara bebas oleh pemodal asing dikhawatirkan dapat mengancam petani kelapa sawit yang sangat bergantung pada produsen benih.
Gambar 4.7. Realisasi penjualan kecambah (ribu butir) oleh produsen benih kelapa sawit di Indonesia pada 2015 Secara lebih mendalam, pembahasan isu strategis PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit juga mengidentifikasi empat Hasil dan Pembahasan
91
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
aspek utama. Pada usaha perbenihan kelapa sawit, aspek ekonomi dan teknis memiliki pengaruh lebih besar (masing masing 35% dan 31%) dibandingkan aspek lingkungan dan sosial (masingmasing 1% dan 15%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA di usaha perbenihan kelapa sawit. Tentunya, hasil tersebut tidak lepas dari keterkaitan antar kriteria pada masingmasing aspek tersebut yang akan dibahas lebih lanjut. Pada , kebijakan pemerintah (31%) merupakan kriteria yang memiliki pengaruh lebih tinggi dibandingkan kriteria daya saing (26%), kriteria pendapatan usaha (24%), dan kriteria daya serap pasar (19%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit. Artinya, kebijakan pemerintah dalam hal pengembangan usaha perbenihan kelapa sawit untuk memenuhi kepentingan nasional memegang peranan penting sebagai penentu besaran kepemilikan modal PMA. Perangkat perundangundangan yang telah dikeluarkan untuk mendukung usaha perbenihan kelapa sawit antara lain ndangndang nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian nomor 50 tahun 2015 tentang Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman Perkebunan. Berkaitan dengan impor benih, dijelaskan pada peraturan tersebut bahwa penyaluran benih dari luar negeri harus mendapat izin Menteri setelah memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal. Tata laksana produksi hingga pengawasan benih diatur dengan ketat melalui Peraturan Menteri Pertanian. Kepentingan asing dalam menentukan teknologi dan sumber daya genetik dalam produksi benih kelapa sawit dapat membuka lebar introduksi benih dari luar negeri sebagai kompetitor dengan kondisi kapasitas produksi yang sudah memenuhi permintaan. Begitu pula halnya transfer varietas
92
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
unggul ke luar negeri tanpa kendali yang ketat juga dapat merugikan negara. Pemerintah perlu membangun suatu strategi nasional agar tercipta kontrol yang ketat guna mencegah penggunaan bibit impor karena dampak pada produksi tanaman baru nyata saat memasuki TM. Untuk itu, pemerintah ke depan diharapkan dapat menerbitkan instrumen peraturan lain yang mendukung ke arah penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebagai mayoritas secara berkeadilan agar memudahkan kendali pemerintah terhadap kualitas bibit. Pada , kriteria biologi (45%) berpengaruh sangat nyata dibandingkan ketiga kriteria lainnya, yaitu sosial (22%), fisik (18%), dan kimia (14%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit. Hasil ini menunjukkan bahwa isu ledakan hama penyakit pada usaha perbenihan kelapa sawit lebih penting dibandingkan isu konflik sosial, kerusakan sumberdaya fisik lahan, dan potensi pencemaran lingkungan. Salah satu organisme pengganggu tanaman (OPT) utama yang mengancam pada usaha perbenihan kelapa sawit adalah cendawan . Cendawan ini dapat menyebabkan penyakit busuk pangkal batang sehingga fisiologis tanaman terganggu untuk melakukan serapan air dan hara serta fotosintesis. Penyakit ini tergolong tular tanah sehingga infeksi dapat mencapai 50% populasi di umur 15 tahun dan menurunkan produksi secara drastis. Metode preventif yang dilakukan adalah dengan penggunaan bahan tahan . Hingga saat ini perusahaan benih kelapa sawit baik milik negara maupun swasta terus mengembangkan bahan tanam kelapa sawit yang resisten terhadap serangan cendawan tersebut. Beberapa produsen benih telah menciptakan benih unggul yang sifatnya moderat tahan . Selain itu,
Hasil dan Pembahasan
93
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
upaya nyata pemerintah dan produsen benih dalam menanggulangi penyebaran yang mengancam perkebunan kelapa sawit nasional adalah dengan pembentukan Konsorsium pada 2016. Diharapkan adanya konsorsium tersebut dapat membenahi permasalahan mulai dari perbenihan. Oleh karena itu, penemuan varietas unggul tahan dan penyakit lainnya dianggap tetap dapat menjadi perhatian utama usaha perbenihan kelapa sawit nasional meskipun kepemilikan modal PMA dibatasi di bawah 50%. Ledakan hama dan penyakit pada perbenihan dianggap masih bisa diantisipasi dengan kemampuan teknologi dari dalam negeri tanpa bantuan modal asing yang dominan. Pada , dominasi pengambilan keputusan perusahaan (49%) menjadi kriteria yang cukup menonjol pengaruhnya dibandingkan hubungan kelembagaan (31%) dan peluang berusaha (20%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit. Sumber pemodalan pada 10 produsen benih kelapa sawit swasta yang terbuka memungkinkan pihak asing menanamkan sahamnya di perusahaan tersebut. Tercatat, modal asing di PT Socfin Indonesia 90%, PT Bakti Tani Nusantara 95%, dan PT Dami Mas Sejahtera 50%. Kepemilikan saham asing mayoritas dalam usaha perbenihan kelapa sawit akan mempengaruhi keputusan perusahaan. Keputusan tersebut menyangkut antara lain sumber daya genetik, introduksi benih, teknik perbanyakan, tenaga ahli asing dan harga penjualan benih. Oleh karena itu, pengambilan keputusan perusahaan yang mengedepankan Asas berkeadilan dapat tercapai melalui skenario kepemilikan modal PMA sebagai minoritas. Pada , ketersediaan tenaga ahli (46%) dan ketersediaan teknologi (39%) merupakan kriteria yang lebih
94
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
menentukan dibandingkan kapasitas produksi (16%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit. Status terkini penguasaan teknologi (plasma nutfah, teknologi perbanyakan, ketersediaan varietas) dan komposisi tenaga ahli menjadi pertimbangan dalam besarnya modal asing yang masuk untuk investasi usaha perbenihan. PPKS sebagai produsen benih negara telah mengeluarkan sejumlah varietas yang spesifik lokasi sehingga pengusaha perkebunan dapat membeli benih sesuai karakteristik lahan yang akan ditanami kelapa sawit (Tabel 4.10). Teknik perbanyakan yang dimiliki produsen benih nasional saat ini telah mendukung permintaan kecambah sehingga terpenuhi dengan kapasitas yang ada. Tabel 4.10. Varietas unggul benih PPKS
1
Dumpy
Dy x P SP1 (Dumpy)
2
SP 540
DxP AVROS DxP Simalungun
Lahan gambut
Datar – Bergelombang
D x P PPKS 540 3
Yangambi
DxP Yangambi D x P PPKS 718 D x P PPKS 239
4
Langkat
DxP Langkat
32
7,5
4055
6,2
30
7,8
7080
6,08
33
8,7
7580
5,47
33
9,6
72
5,47
6070
6,09
75
5,47
Datar Areal tenaga panen terbatas
39
7,5
28
8,11
38
8,4
62,5
Bergelombang – Berbukit
31
8,3
6070
6,5 5,31
Hasil dan Pembahasan
95
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Dengan melihat keunggulan di bidang pembibitan tersebut maka diharapkan produsen benih dan pemerintah tetap memprioritaskan tenaga ahli maupun teknologi dari dalam negeri. Untuk itu, perlu pengaturan pembatasan kepemilikan modal PMA sesuai dengan Asas berkeadilan agar menjamin usaha perbenihan kelapa sawit tetap didukung oleh pengetahuan dan tenaga terampil dari dalam negeri. Selain itu, penentuan kepemilikan modal PMA sebagai minoritas pada lapangan usaha perbenihan kelapa sawit ini sejalan dengan kenyataan bahwa usaha perbenihan merupakan usaha strategis nasional yang akan menentukan produktivitas dan kualitas produk kelapa sawit dalam kurun waktu panjang (selama umur ekonomis tanaman253 tahun). Hasil tinjauan tentang besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit secara ringkas dapat dilihat pada tabel 4.11. berikut. Tabel 4.11. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Budidaya Kelapa Sawit
1
Besaran Kepemilikan Modal PMA
Minoritas (44,24%)
2
Asas Penyelenggaraan
Berkeadilan (59%)
3
Aspek
Lingkungan (22%) Teknis (19%)
4
Kriteria
Daya serap pasar (2%) Kebijakan pemerintah (25%)
96
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
aya saing (2%) Biologi (26%) isik (2%) Kimia (2%) Hubungan kelembagaan (6%) ominasi pengambilan keputusan (26%) Kapasitas produksi (2%)
Sebagaimana pada lapangan usaha pembibitan kelapa sawit, prioritas kepemilikan PMA pada lapangan usaha budidaya kelapa sawit mengikuti skenario kepemilikan minoritas. Hasil analisis ANP (pendapat para berdasarkan akumulasi pengetahuan dan pengalamannya) menunjukkan bahwa besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit adalah . Besaran tersebut dibentuk secara komprehensif berdasarkan pertimbangan dua Asas penyelenggaraan (berkeadilan dan efisiensi) serta empat aspek yang berperan dalam penyelenggaraan usaha (ekonomi, lingkungan, sosial, dan teknis). Keseluruhan Asas dan aspek tersebut secara bersamasama berperan dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA usaha budi daya kelapa sawit, meskipun tingkat peran masingmasing berbeda.
Hasil dan Pembahasan
97
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Sebagaimana terjadi pada lapangan usaha perbenihan kelapa sawit, ternyata pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit pun asas berkeadilan (59%) dipandang lebih penting dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA dibanding Asas efisiensi (41%). Artinya, tujuan memberikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya dipandang lebih penting dari pada tujuan penyelenggaraan perkebunan secara tepat guna untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya dari sumber daya. Dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA lapangan usaha budi daya kelapa sawit ini, ternyata peran (masingmasing 1% dan 28%), sedangkan peran (masingmasing 22% dan 19%). al ini menunjukkan bahwa dalam penentuan besaran PMA pertimbanganpertimbangan yang terkait aspek ekonomi dan sosial relatif lebih penting dibanding aspek lingkungan dan aspek teknis. Pada , peran masingmasing kriteria yang terdiri dari daya serap pasar; pendapatan usaha; daya saing; dan kebijakan pemerintah berkisar antara 20% sampai dengan 28%. Walaupun demikian, kriteria pendapatan usaha (28%) dan kriteria daya serap pasar (27%) memiliki peran relatif lebih tinggi dibandingkan dua kriteria lainnya, yaitu: kriteria kebijakan pemerintah (25%), dan kriteria daya saing (20%). Artinya, kriteria pendapatan usaha yang berupa potensi dan nilai pendapatan usaha budi daya kelapa sawit serta kriteria daya serap pasar yang berupa daya serap produk kebun kelapa sawit (TBS) di pasar lokal merupakan kriteria yang lebih penting dibanding kriteria kebijakan pemerintah yang
98
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
berupa kebijakan pengelolaan sumber daya lahan yang diperlukan dalam usaha budi daya kelapa sawit serta kriteria daya saing yang berupa tingkat kualitas TBS sesuai standar (ISPO). Pada yang memiliki kriteria peluang berusaha; hubungan kelembagaan; dan dominasi pengambilan keputusan perusahaan, ternyata kriteria yang memiliki peran relatif tinggi adalah peluang berusaha (38%) dan hubungan kelembagaan (36%), sedangkan peran kriteria dominasi pengambilan keputusan perusahaan relatif rendah (27%). Hal ini berarti bahwa kriteria peluang berusaha yang berupa potensi serapan tenaga lokal dan akses masyarakat lokal menjadi petani plasma dan/atau petani mitra perusahaan serta kriteria kelembagaan yang berupa hubungan kelembagaan antara perusahaan dengan pekerja; masyarakat sekitar; dan pemerintah memiliki peran yang besar dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha budi daya kelapa sawit. Kebutuhan akan serapan tenaga lokal akan semakin tinggi dengan terus bertambahnya penduduk Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia sebesar 255,5 juta jiwa, dan akan menjadi 305,7 juta jiwa pada tahun 2035 atau meningkat 20% dalam waktu 20 tahun. Pada yang memiliki kriteria biologi; fisik; kimia; dan sosial, ternyata peran kriteria yang paling tinggi adalah kriteria sosial (29%). Kemudian disusul oleh kriteria biologi (26%), kriteria fisik (24%), dan kriteria kimia (21%). Artinya, kriteria potensi terjadinya konflik sosial akibat distribusi penguasaan lahan mempunyai peranan lebih penting dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA daripada kriteria biologi (potensi penyusutan keanekaragaman hayati), kriteria fisik (Potensi terjadi kekeringan, erosi dan kebakaran lahan pada usaha budi daya kelapa sawit), maupun
Hasil dan Pembahasan
99
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
kriteria kimia (potensi peningkatan polusi udara, pencemaran bahan kimia, emisi Gas Rumah Kaca/GRK. Terkait konflik sosial, data yang dikumpulkan Ditjen. Perkebunan menunjukkan bahwa frekuensi berlangsungnya gangguan pada usaha budi daya tanaman perkebunan ternyata cukup tinggi dan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Gangguan Usaha Perkebunan (GUP) tersebut terdiri dari: 1) konflik lahan (sengketa penguasaan lahan; ganti rugi lahan/tanam tumbuh); 2) konflik non lahan (IUP, tuntutan kebun 20%, penetapan harga panen, ingkar janji kemitraan, dan pencurian produksi); serta 3) konflik kehutanan (perubahan status kawasan hutan). Data pada Tabel 4.12 menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir (20122015) gangguan usaha perkebunan yang paling banyak terjadi adalah konflik lahan (71,6%), kemudian disusul konflik non lahan (24%), sedangkan konflik kehutanan relatif sedikit (3,8%). Dengan semakin dominannya penguasaan usaha perkebunan oleh PMA dihawatirkan sentimen negatif terhadap perusahaan perkebunan semakin meningkat sehingga kemudian dapat memicu semakin meningkatnya gangguan terhadap usaha perkebunan. Tabel 4.12. Perkembangan (2012 2014) 2012 2013 2014 2015 Total
539 463 576 494 2.072
Gangguan
185 15 135 33 233 25 159 37 712 110
100
Hasil dan Pembahasan
Usaha
Perkebunan
739 631 834 690 2.894
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Sementara itu, pada yang memiliki kriteria ketersediaan tenaga ahli; ketersediaan teknologi; dan kapasitas produksi, ternyata peran kriteria ketersediaan tenaga ahli dan kriteria ketersediaan teknologi lebih penting (masingmasing 38% dan 35%) daripada peran kriteria kapasitas produksi (26%). Hal ini berarti bahwa kriteria penguasaan dan ketersediaan teknologi serta kriteria ketersediaan tenaga ahli yang terlibat pada usaha budi daya kelapa sawit lebih penting dari pada kriteria kapasitas produksi berupa kemampuan kebun memproduksi kelapa sawit. Dalam hal ini, hasil tinjauan juga mengungkapkan bahwa untuk menyelenggarakan usaha budi daya kelapa sawit di Indonesia baik teknologi maupun tenaga ahli Indonesia sudah mencukupi sehingga tidak perlu menggunakan teknologi dan tenaga ahli asing yang sering kali dibawa oleh perusahaan PMA. Selain itu, penetapan pemilikan modal PMA sebagai minoritas pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit ini sejalan dengan realitas di lapangan bahwa luas lahan PMA usaha budi daya kelapa sawit sudah mencapai 2,1 juta hektar (Data Ditjen. Perkebunan dan BKPM) atau 31% dari total luas lahan usaha budi daya kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan. Selain itu, dalam kurun waktu 6 tahun (20102015), proses pengambilalihan perusahaan PMDN pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit mencapai 0,58 juta hektar atau sekitar 10% dari luas lahan kelapa sawit di Indonesia yang dikuasai perusahaan swasta (PMA dan PMDN) yang pada tahun 2015 mencapai 5,975 juta hektar. Data pada Tabel 4.13. menunjukkan bahwa pertumbuhan terbesar perkebunan kelapa sawit di Indonesia terjadi pada periode tahun 1980 1994 maupun periode tahun 1995 2006, dimana pada saat itu pengembangan kelapa sawit dikembangkan dengan sebesarbesarnya kemampuan nasional melalui implementasi kebijakan pengembangan perkebunan Hasil dan Pembahasan
101
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
kelapa sawit seri Perkebunan Inti Rakyat (PIR/NES) dan seri Program Fasilitasi PBSN serta program Kemitraan KKPA yang kemudian juga mendorong berkembangnya kebunkebun swadaya milik petani. Pada periode ini pertumbuhan paling tinggi dicapai oleh PR (13,0%/tahun) dan sedikit dibawahnya adalah pertumbuhan PBS (10,8%/tahun). Pada periode implementasi kebijakan Kemitraan KKPA (19952006), meskipun sudah mulai melambat tetapi pertumbuhan PR masih memimpin (9,8%/tahun) dan disusul PBS (9,2%/tahun). Pada periode implementasi kebijakan UU PMA (20072015), justru pertumbuhan semakin melambat. Meskipun pertumbuhan PBS memimpin tetapi pertumbuhan tersebut relatif rendah (6,1%/tahun). Tabel 4.13.
Pertumbuhan Perkebunan Kelapa Sawit yang dikelola PBS, PR, dan PBN
0,916
0,677
0,846
1,957
0,638
1,620
1,439
Pertumbuhan Satu Periode (12 tahun)
1,179
0,518
1,109
1,060
Pertumbuhan Per tahun
Pertumbuhan Satu Periode (13 tahun) Pertumbuhan Per tahun
Pertumbuhan Satu Periode (15 tahun) Pertumbuhan Per tahun
Pertumbuhan Satu Periode (9 tahun)
0,498
0,212
0,547
0,502
Pertumbuhan Per tahun
102
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Hasil tinjauan tentang besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha pengolahan primer kelapa sawit secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 4.14 berikut. Tabel 4.14. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Pengolahan Primer Kelapa Sawit
Kepemilikan
1
Besaran PMA
Modal
Minoritas (43,27%)
2
Asas Penyelenggaraan
Efisiensi (52%)
3
Aspek
Teknis (20%) Lingkungan (20%)
4
Kriteria
Pendapatan usaha (2%) aya saing (24%) aya serap pasar (21%) Kimia (25%) Biologi (25%) isik(22%) ominasi pengambilan keputusan (30%) Hubungan kelembagaan (29%) Ketersediaan teknologi (29%) Ketersediaan tenaga ahli (27%)
Hasil dan Pembahasan
103
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Sebagaimana dengan dua lapangan usaha perkebunan kelapa sawit sebelumnya, prioritas kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit juga mengikuti skenario kepemilikan minoritas. Hasil analisis ANP berdasarkan pendapat para ahli () perkebunan menunjukkan bahwa besaran kepemilikan modal PMA yang paling baik pada usaha pengolahan primer kelapa sawit adalah Nilai tersebut merupakan hasil dari hubungan sebab akibat antar dua Asas penyelenggaraan (berkeadilan dan efisiensi) serta empat aspek utama yang menentukan usaha pengolahan primer kelapa sawit (ekonomi, lingkungan, sosial dan teknis) beserta kriteriakriteria yang dibangun. Pada usaha pengolahan primer kelapa sawit, Asas efisiensi (52%) dipandang lebih penting dibandingkan Asas berkeadilan (48%) dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA. Dengan demikian, penyelenggaraan usaha pengolahan secara tepat guna dan menciptakan manfaat sebesarbesarnya dari sumber daya dipandang lebih penting dibandingkan memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsial bagi semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. Kapasitas produksi total dari 636 unit pabrik pengolahan TBS dalam negeri adalah 33.007 ton TBS/jam dan produksi 29,28 juta ton CPO di 2014 (Tabel 4.15). Pada 2045, diharapkan Indonesia dapat mencapai target produksi 60 juta ton CPO/tahun dengan rendemen 25%. Terwujudnya usaha pengolahan primer yang efisien tersebut menjadi pertimbangan utama dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA. Dengan capaian yang, efisiensi pada lapangan usaha pengolahan primer kelapa sawit masih realistis diwujudkan melalui skenario PMA minoritas.
104
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 4.15. Jumlah Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan Kapasitas PKS di 2014
1
Aceh
25
863,00
2
Sumatera Utara
67
3.552,00
3
Bengkulu
4
Riau
5 6
25
1.090,00
186
9.505,00
Jambi
44
1.965,50
Sumatera Selatan
45
2.715,00
7
Lampung
11
592,00
8
Bangka Belitung
12
780,00
9
Banten
1
30,00
10
Jawa Barat
1
20,00
11
Kalimantan Barat
58
2.370,00
12
Kalimantan Tengah
57
4.257,00
13
Kalimantan Selatan
32
1.532,30
14
Kalimantan Timur
60
3.075,00
15
Sulawesi Selatan
2
60,00
16
Sulawesi Tengah
3
210,00
18
Papua
7
390,00
Secara lebih mendalam, pembahasan isu strategis PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit juga mengidentifikasi empat aspek utama. Pada usaha pengolahan primer kelapa sawit, aspek sosial dan ekonomi memiliki pengaruh lebih besar masingmasing 32 dan 28 dibandingkan aspek teknis dan lingkungan masingmasing 20 dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit. Tentunya, hasil tersebut tidak lepas dari keterkaitan
Hasil dan Pembahasan
105
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
antar kriteria pada masingmasing aspek tersebut yang akan dibahas lebih lanjut. Pada , kebijakan pemerintah (30%) merupakan kriteria yang memiliki prioritas lebih tinggi dibandingkan kriteria pendapatan usaha (26%), kriteria daya saing (24%), dan kriteria daya serap pasar (21%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit. Artinya, kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan limbah cair dan padat kelapa sawit untuk pengembangan energi terbarukan memegang peranan penting sebagai penentu besaran kepemilikan modal PMA. Limbah cair dan padat dari PKS sejauh ini telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik bagi kebun kelapa sawit. Potensi yang besar dapat juga dimanfaatkan dari limbah cair PKS sebagai energi terbarukan (sumber energi gas). Kebijakan pemerintah melalui perangkat perundangundangan diharapkan dapat mendukung penggunaan limbah cair dan padat dari pengolahan TBS. Isu pemanfaatan limbah untuk mendukung ketahanan energi nasional masih perlu diperkuat lagi oleh pemerintah dan tentunya diharapkan modal dalam negeri bisa dioptimalkan untuk merealisasikannya. Pada , keempat kriteria menunjukkan peran yang relatif tidak begitu menonjol satu sama lain, yakni pada kisaran 22% 2%. Kriteria sosial (2%) memiliki peran yang lebih tinggi dibandingkan kriteria lainnya, yakni kimia (25%), biologi (25%), dan fisik (22%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan kelapa sawit. Hasil ini menunjukkan bahwa isu konflik sosial akibat perbedaan penetapan harga pembelian TBS cukup penting sebagai pertimbangan dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit. Penetapan harga TBS berpotensi tidak terkontrol apabila perusahaan didominasi modal asing sebagai pemilik saham
106
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
mayoritas. Petani plasma cenderung menjual TBS secara perusahaan yang membeli dengan harga lebih tinggi. Akibatnya, petani dapat menjual ke perusahaan selain pabrik mitra. Hal tersebut dapat memicu timbulnya konflik sosial terutama di lingkup petani mitra dengan perusahaan. Oleh karena itu, diharapkan dengan besaran kepemilikan modal PMA pada pengolahan primer yang dibatasi kurang dari 50% dapat meminimalisir potensi munculnya konflik sosial akibat jual beli TBS. Pada , peluang berusaha (41%) menjadi kriteria yang cukup menonjol pengaruhnya dibandingkan dominasi pengambilan keputusan perusahaan (30%) dan hubungan kelembagaan (29%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit. Artinya, potensi serapan tenaga lokal dan pendatang serta akses masyarakat lokal petani mitra lebih berpengaruh daripada hubungan kelembagaan usaha pengolahan primer kelapa sawit dan dominasi kepentingan pemilik modal di sektor tersebut. Serapan tenaga kerja di agribisnis kelapa sawit mencapai 4,5 juta orang yang sebagiannya berada pada pengolahan primer. Secara lebih spesifik, dari 132 perusahaan PMA yang bergerak di agribisnis kelapa sawit terdapat 52 tenaga kerja asing (data BPM 200201). Masuknya modal asing dalam usaha pengolahan primer kelapa sawit dapat menurunkan komposisi tenaga lokal pada sektor tersebut serta pembatasan akses petani mitra. Dengan demikian, ketentuan besaran kepemilikan modal PMA di bawah 50% diharapkan dapat menjaga kestabilan sosial dari sisi peluang berusaha masyarakat lokal. Pada , kapasitas produksi (44%) merupakan kriteria yang lebih menentukan dibandingkan ketersediaan teknologi (29%) dan ketersediaan tenaga ahli (27%) dalam
Hasil dan Pembahasan
107
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit. Artinya, kemampuan pengolahan primer kelapa sawit memproduksi CPO lebih berpengaruh dibandingkan penguasaan teknologi dan ketersediaan tenaga ahli yang terlibat dalam usaha pengolahan primer kelapa sawit. Kemampuan nasional memproduksi CPO pada tahun 2015 mencapai 31 juta ton dengan pertumbuhan mencapai 41% sehingga menjadi pertimbangan strategis dari aspek teknis (Tabel 4.16). Melihat pencapaian sebelumnya, kapasitas produksi CPO masih dapat terus digenjot hingga target 2045 sebesar 60 juta ton CPO diraih meskipun dukungan modal asing minoritas. Tabel 4.16. Produksi CPO (ton) ndonesia 19702015
1970
216.827
1975
397.253
83
1980
721.172
82
1985
1.243.430
72
1990
2.412.612
94
1995
4.479.670
86
2000
7.000.508
56
2005
11.861.615
69
2010
21.958.119
85
2015
30.948.932
41
Selain itu, penentuan pemilikan modal PMA sebagai minoritas pada lapangan usaha pengolahan primer kelapa sawit sejalan dengan realitas bahwa investasi untuk pembangunan pabrik CPO masih terjangkau oleh perusahaan dalam negeri karena biaya mendirikan 1 (satu) pabrik/unit pengolahan kelapa sawit
108
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dengan kapasitas 34 ton TBSjam hanya dibutuhkan dana sekitar 125 miliar rupiah. Berdasarkan ketiga lapangan usaha (perbenihan pada sub bab 4.3.1, budi daya pada sub bab 4.3.2, dan pengolahan kelapa sawit pada sub bab 4.3.3), hasil analisis dari para dinilai sesuai dengan kondisi dan perkembangan industri kelapa sawit Indonesia saat ini. Pertama, yang dulunya Indonesia masih tergolong negara berkembang maka pada saat ini telah menjadi negara yang maju khususnya dalam penguasaan teknologi industri kelapa sawit. Indonesia yang pada awalnya masih lemah dalam kualitas SDM, maka pada saat ini memiliki banyak SDM yang berkualitas sehingga kebutuhan tenaga ahli asing tidak menjadi prioritas. Lebih jauh dengan pemanfaatan tenaga ahli nasional tersebut, maka persaingan tidak terlalu berat dengan keberadaan PMA. Tebu merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan yang berperan sebagai bahan baku penghasil komoditas strategis yaitu gula. Tanaman tebu termasuk dalam kelompok tanaman semusim yang dalam pembudidayaannya dimulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pemanenan. Selanjutnya hasil panen tebu diolah di pabrik gula (PG) untuk menghasilkan gula dan hasil samping. Oleh karena itu, industry perkebunan tebu seyogyanya dikelola secara terintegrasi mulai pengadaan bibit, budidaya tanaman sampai pada pengolahan untuk menghasilkan berbagai produk terutama gula dan hasil samping. Namun karena berbagai alasan, industri gula Indonesia secara umum dapat dibagi dalam empat kelompok yaitu: Pengadaan Benih, Budidaya Tebu (Perkebunan Tebu), dan Pabrik Gula (PG), serta Industri Turunan Gula dan Hasil Samping yang terpisah. Pengadaan Benih Tebu merupakan kegiatan awal Hasil dan Pembahasan
109
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
yang sangat menentukan keberhasilan kegiatan tahap berikutnya yaitu budidaya tebu atau perkebunan tebu dan Pabrik Gula (PG), serta Pengolahan primer Turunannya dan hasil samping. Budidaya perkebunan tebu dapat dikatakan berhasil apabila menghasilkan produksi tebu yang berkualitas, produktivitas tinggi, rendemen tinggi, dan kematangan tebu yang selaras untuk memenuhi kapasitas pabrik gula sesuai dengan jadwal masa giling yang direncanakan. Pabrik gula, dan pengolahan produk turunan serta pengolahan hasil samping umumnya juga dikelola secara terpisah. Pembahasan dalam tinjauan ini dibatasi hanya pada tiga kelompok yang menjadi tugas fungsi (kewenangan) Direktorat Jenderal Perkebunan yaitu: Pengadaan Benih Tebu, Budidaya Tebu, dan Pabrik Gula. Usaha Perbenihan Tebu agak berbeda dari usaha benih tanaman lainnya, karena benih tebu konvensional dihasilkan secara berjenjang mulai dari Kebun Bibit Pokok Utama (KBPU) yang merupakan kebun pembibitan jenjang tertinggi, diikuti jenjang berikutnya Kebun Bibit Pokok (KBP), Kebun Bibit Induk (KBI) dan Kebun Bibit Datar (KBD). Produksi bibit dari Kebun Bibit Datar (KBD) inilah yang akan digunakan sebagai bibit (bahan tanam) perkebunan tebu. Perbedaan lainnya, pembibitan tebu memerlukan areal yang relatif luas karena satu hektar KBD akan menghasilkan bibit hanya untuk sekitar hektar perkebunan tebu, sehingga biaya produksi bibit tebu relatif mahal. Disamping itu, benih tebu juga dapat dihasilkan melalui teknik kultur jaringan dengan penjenjangan mulai G0, G1, G2 dan G3. Meskipun belum ada ketentuan yang mengaturnya, benih hasil kultur jaringan G3 bisa disetarakan dengan benih hasil Kebun Benih Datar (KBD) karena benih G3 hasil kultur
110
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
jaringan inilah yang biasanya digunakan untuk ditanam pada budidaya perkebunan tebu. Usaha pembibitan khususnya untuk Kebun Bibit Nenek (KBN), Kebun Bibit Induk (KBI) dan Kebun Bibit Datar (KBD) biasanya dilakukan oleh perusahaan besar, baik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) maupun perusahaan swasta, dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Usaha pembibitan yang dilakukan oleh PTPN umumnya dimak sudkan untuk memenuhi kebutuhan kebun Pabrik Gula (PG) milik PTPN sendiri serta untuk kebutuhan pekebun tebu rakyat disekitarnya. Demikian juga usaha pembibitan yang dilakukan oleh Perusahaan Pabrik Gula Swasta, umumnya untuk memenuhi kebutuhan perkebunan tebu milik sendiri dan sebagian untuk kebutuhan perkebunan rakyat sekitarnya. Untuk di pulau Jawa di mana PTPN lebih banyak mengandalkan tebu rakyat, usaha pembibitan tebu PG lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan tebu rakyat. Namun, perkebunan tebu rakyat di Jawa tidak semuanya memenuhi kebutuhan bibit dari kebun Pabrik Gula, sebagian petani juga menggunakan bibit dari penangkar atau perusahan bibit tebu berskala kecil yang sumber benih induknya berasal dari PG atau dari P3GI. Usaha pembibitan tebu termasuk usaha yang menguntungkan. Komponen biaya terbesar adalah pengolahan tanah dan pemeliharaan yang mencapai 5,6 juta rupiah atau sekitar 42,6% dari total biaya. Komponen sewa lahan juga cukup besar yaitu 4,5 juta rupiah atau sekitar 34,2%. Total biaya usahatani secara keseluruhan adalah sekitar 13,155 juta rupiah. Dengan ratarata produksi sekitar 650 kuintal bibit tebu dengan harga Rp 27.500 per kuintal, maka total penerimaan mencapai 17,875 juta rupiah. Dengan penerimaan tersebut, nilai B/C ratio adalah 1,35. Hal ini berarti bahwa
Hasil dan Pembahasan
111
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
usaha pembibitan tebu secara finansial cukup layak untuk dikembangkan (Tim Badan Litbang Pertanian, 2007). Dalam melakukan wawancara dengan para ahli () perkebunan, terkait dengan prioritas kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu dilakukan secara umum tanpa membedakan atau memperhatikan penjenjangan kebun bibit. Hasil ANP berdasarkan pendapat para ahli () perkebunan menunjukkan bahwa besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu adalah Hal ini menunjukkan bahwa prioritas kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu mengikuti skenario kepemilikan minoritas. Besaran tersebut merupakan resultan dari keterkaitan sebab akibat antar dua Asas penyelenggaraan (berkeadilan dan efisiensi) serta empat aspek utama yang menentukan usaha perbenihan tebu (ekonomi, lingkungan, sosial dan teknis) beserta kriteriakriteria yang dibangun. Hasil ANP tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi pembibitan tebu yang membutuhkan areal cukup luas dan berjenjang. Disamping itu, penyerapan produksi bibit sulit dipastikan karena karakter tanaman tebu khususnya perkebunan tebu rakyat tidak bisa memastikan kapan dilakukan (penggantian tanaman). Program membutuhkan biaya yang relatif besar, sehingga petani tidak akan membeli bibit atau mengganti tanaman, jika berdasarkan hasil perhitungan mereka memelihara masih menguntungkan. Hal ini sangat mempengaruhi investor dalam mengambil keputusan untuk mengembangkan usaha pembibitan tebu. Hasil ANP pada usaha perbenihan tebu selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.17.
112
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tabel 4.17. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Perbenihan Tebu
1
Besaran Kepemilikan Modal PMA
Minoritas (38%)
2
Asas Penyelenggaraan
Berkeadilan (64%)
3
Aspek
Sosial (26%) Teknis (22%) Lingkungan (20%)
4
Kriteria
Pendapatan usaha (2%) aya saing (20%)
ominasi pengambilan keputusan (29%) Hubungan kelembagaan (23%) Ketersediaan tenaga ahli (38%) Kapasitas produksi (20%) Biologi (19%)
Pada Tabel tersebut tampak bahwa dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu, Asas berkeadilan (64%) dipandang lebih penting dibandingkan
Hasil dan Pembahasan
113
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Asas efisiensi (36%). Hal ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan usaha perbenihan diharapkan dapat memberikan peluang dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara sesuai dengan kemampuannya dipandang lebih penting dibandingkan dengan penyelenggaraan usaha perbenihan secara tepat guna (efektif) dan mengoptimalkan manfaat sumber daya. Pembahasan isu strategis PMA pada usaha perbenihan tebu juga mengidentifikasi empat aspek utama. Pada usaha perbenihan tebu, aspek ekonomi memiliki pengaruh yang lebih besar yaitu sebesar 32% dibandingkan dengan aspek sosial, teknis, dan lingkungan (masingmasing 26%, 22%, dan 20%) dalam penentuan besaran kepemilikan PMA pada usaha perbenihan tebu. Secara umum aspek sosial, teknis dan lingkungan memiliki pengaruh yang hampir sama kuatnya dalam menentukan besaran kepemilikan PMA. Pada , daya serap pasar (28%) dan kebijakan pemerintah (27%) memiliki pengaruh lebih penting dibandingkan dengan yang lainnya, yaitu kriteria pendapatan usaha (25%) dan daya saing (20%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA di usaha perbenihan tebu. Disini tampak bahwa kepastian pasar dan dan perlindungan sumberdaya genetik muncul sebagai kriteria lebih penting dibanding pendapatan usaha dan daya saing dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA. Dengan demikian, kebijakan pemerintah dalam hal dukungan terhadap program peningkatan produksi melalui penataan varietas tebu rakyat, perlindungan sumber daya genetik, transfer teknologi perbenihan, dan pertukaran material genetik internasional pada industri benih tebu memegang peranan penting sebagai penentu besaran kepemilikan modal PMA. Perangkat perundangundangan yang telah dikeluarkan untuk mendukung usaha perbenihan yaitu ndangundang nomor
114
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
39 tahun 2014 tentang Perkebunan dan Peraturan Menteri Pertanian nomor 50 tahun 2015 tentang Produksi, Sertifikasi, Peredaran dan Pengawasan Benih Tanaman Perkebunan. Pada peluang usaha (48%) menjadi kriteria yang dominan pengaruhnya dibandingkan dengan dominasi pengambilan keputusan pemerintah (29%) dan hubungan kelembagaan (23%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu. Hal ini selaras dengan aspek ekonomi dimana daya serap pasar analog dengan peluang berusaha dan kebijakan pemerintah analog dengan dominansi pemerintah. Pada ketersediaan teknologi (42%) menjadi kriteria yang lebih penting dibandingkan dengan ketersediaan tenaga ahli (38%) dan kapasitas produksi (20%) dalam penentuan kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu. Hal ini terjadi diduga berkaitan erat dengan karakter dari benih tebu yang mebutuhkan uji multilokasi sebelum dinyatakan layak sebar di lokasi tertentu, sehingga ketersediaan teknologi untuk mendukung penyebaran varietas unggul tebu di suatu daerah menjadi pokok perhatian dalam penentuan kepemilikan modal PMA pada usaha pembibitan tebu. Pada kriteria fisik, kimia, dan sosial memiliki pengaruh yang cukup besar dan berimbang dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan tebu dengan persentase sebasar 28%, 27%, dan 26%. Sedangkan sisanya adalah kriteria biologi dengan persentase sebesar 19%. Setelah mengalami masa kejayaan pada tahun 1930an dengan produksi mencapai 3,1 juta ton dan ekspor 2,4 juta ton, secara berangsurangsur Indonesia menjadi importir gula dan pada saat ini Indonesia menjadi importir terbesar di Asia Hasil dan Pembahasan
115
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dan terbesar kedua dunia setelah Rusia. Hal terjadi karena produksi gula nasional yang terus merosot dan konsumsi gula nasional yang terus meningkat. Pada tahun 2014, Produksi gula nasional tercatat sebesar 2,57 juta ton, sedangkan konsumsi sebesar 5,72 juta ton (tidak termasuk untuk keperluan dan pakan ternak), sehingga terjadi defisit sebesar 3,15 juta ton. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan dan berbagai upaya telah dilakukan untuk mengurangi defisit atau impor gula nasional, tetapi belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Selama lima tahun terakhir, areal perkebunan gula nasional hanya mengalami sedikit peningkatan dari 450.833 hektar tahun 2011, menjadi 461.732 hektar pada tahun 2015 atau ratarata meningkat 0,6tahun. Sementara, produktivitas gula relatif tetap karena produktivitas gula perkebunan besar swasta mengalami penurunan dan beruntung diimbangi dengan peningkatan produktivitas perkebunan rakyat dan perkebunan besar Negara (Gambar 4.8).
Gambar 4.8. Perkembangan Produktivitas Gula PR, PBN dan PBS, 20112015
116
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Secara umum, ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula (PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan dimana PG sekaligus memiliki lahan HGU (Hak Guna Usaha) untuk pertanaman tebunya, seperti Indo Lampung dan Gula Putih Mataram. Untuk PG milik BUMN, terutama yang berlokasi di Jawa, sebagian besar tanaman tebu dikelola oleh rakyat. Dengan demikian, PG di Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu. Secara umum, PG lebih berkonsentrasi pada pengolahan, sedangkan petani sebagai pemasok bahan baku tebu. Dengan sistem bagi hasil, petani memperoleh sekitar 66% dari produksi gula petani, sedangkan PG sekitar 34%. Petani tebu di Jawa secara umum didominasi (70%) oleh petani kecil dengan luas areal kurang dari 1 hektar. Proporsi petani dengan areal antara 15 hektar diestimasi sekitar 20%, sedangkan yang memiliki areal diatas 5 hektar, bahkan sampai puluhan hektar diperkirakan sekitar 10%. Bagi petani yang arealnya luas, sebagian lahan mereka pada umumnya merupakan lahan sewa. Berdasarkan faktor agroklimat, khususnya curah hujan, ada dua kalender pertanaman. Pola I adalah pengolahan tanah dilakukan mulai bulan April dan penanaman dilakukan pada bulan MeiJuni. Masa panenberlangsung pada bulan Mei hingga November. Pola II adalah pengolahan tanah dilakukan pada September dan penanaman dilakukan pada bulan Oktober dan November. Untuk pola ini, panen dilakukan pada bulan Oktober dan November tahun berikutnya (Tim Badan Litbang Pertanian, 2007). Lebih lanjut menurut Tim Badan Litbang Pertanian (2007), untuk dapat melakukan jadwal tanam dan tebang/giling secara baik dengan harapan diperoleh produktivitas tebu dan rendemen yang tinggi, maka pihak PG berusaha melakukan kerjasama dengan kelompok tani dalam menyusun jadwal Hasil dan Pembahasan
117
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
tanam dan tebang. Namun demikian, perebutan waktu, khususnya waktu tebang, masih sering menjadi masalah. Para petani mengeluh bahwa mereka sering tidak mendapat jatah tebang yang sesuai dengan harapan mereka. Di sisi lain pihak manajemen PG menyebutkan bahwa PG sudah secara maksimal mengatur jadwal tebang giling guna memaksimalkan potensi secara keseluruhan. Namun demikian, PG tidak bisa memenuhi harapan seluruh petani, karena keterbatasan PG pada puncak bulan giling, serta PG juga harus memenuhi jumlah hari giling minimal. Dengan kondisi perkebunan tebu nasional seperti yang diuraikan diatas menyebabkan sasaran peningkatan produksi yang telah dicanangkan tidak tercapai dan masih banyak terjadi ketidakefisienan dalam sistem agribisnis tebugula secara keseluruhan. Defisit produksi gula nasional sangat besar dan perlu upaya yang lebih keras lagi untuk meningkatkan produksi gula nasional. Upaya peningkatan produksi gula nasional dapat dilakukan melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi. Kegiatan intensifikasi terutama diarahkan pada perkebunan tebu existing di pulau Jawa, sedangkan kegiatan ekstensifikasi terutama diarahkan ke luar Jawa yang ketersediaan sumberdaya lahannya relatif masih luas. Mengingat upaya ekstensifikasi perkebunan tebu membutuhkan pembangunan pabrik baru, maka biaya investasi yang dibutuhkan cukup besar. Di sisi lain, kemampuan modal pemerintah dan investor dalam negeri makin terbatas sehingga para ahli perkebunan berpendapat bahwa besaran kepemilikan modal PMA yang paling baik pada usaha budidaya perkebunan tebu adalah Dengan kata lain kepemilikan modal PMA pada usaha budidaya tebu mengikuti skenario kepemilikan mayoritas. Hasil analisis ANP tersebut merupakan hasil resultan pendapat para ahli dari keterkaitan sebab akibat
118
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
antar dua Asas penyelenggaraan (berkeadilan dan efisiensi) serta empat aspek utama yang menentukan usaha perbenihan tebu (ekonomi, lingkungan, sosial dan teknis) beserta kriteria kriteria yang dibangun. Hasil ANP pada usaha perkebunan tebu selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.18. Tabel 4.18. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Budidaya Tebu
1
Besaran Kepemilikan Modal PMA
Mayoritas (50,56%)
2
Asas Penyelenggaraan
Berkeadilan (50%) Efisiensi (50%)
3
Aspek
Lingkungan (23%) Teknis (22)
4
Kriteria
Peluang berusaha (2%) aya saing (23%) aya serap pasar (23%)
Pendapatan usaha (20%) isik (25%) Biologi (20%) Kimia (1%) Ketersediaan teknologi (31%) Ketersediaan tenaga ahli (30%)
Hasil dan Pembahasan
119
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Pada usaha budidaya tebu, Asas berkeadilan (50%) dan efisiensi (50%) dipandang samasama memiliki peranan yang penting dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA. Artinya penyelenggaraan usaha budidaya tebu harus dapat memberikan peluang dan kesempatan yang sama secara proporsial bagi semua warga negara sesuai dengan kemampuannya dan penyelenggaraannya dapat dilakukan secara tepat guna (efektif) dan mengoptimalkan manfaat sumber daya. Pembahasan isu strategis PMA pada usaha budidaya tebu juga mengidentifikasi empat aspek utama. Pada usaha budidaya tebu, aspek sosial (28%) dan ekonomi (27%) memiliki pengaruh yang lebih dominan dibandingkan dengan aspek lingkungan (23%) dan teknis (22%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha budidaya tebu. Dengan kata lain, pengaruh empat aspek utama yang dianalisis dalam penentuan besaran PMA relatif berimbang. Pada kriteria dominasi pengambilan keputusan (3%) dan kriteria hubungan kelembagaan (35%) samasama memiliki peranan penting dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA dibandingkan dengan peluang berusaha (29%). Pada , kebijakan pemerintah (34%) memiliki pengaruh lebih besar dibandingkan dengan kriteria lainnya, yaitu daya saing (23%), daya serap pasar (23%), dan pendapatan usaha (20%) dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha budidaya tebu. Pada kriteria sosial (38%) memiliki pengaruh yang paling besar dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha budidaya tebu
120
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dibandingkan kriteria lainnya, yaitu fisik (25%), biologi (20%), dan kimia (17%). Pada kriteria kapasitas produksi (39%) memiliki peranan paling dominan dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA pada usaha budidaya tebu dibandingkan dengan kriteria ketersediaan teknologi (31%) dan ketersediaan tenaga ahli (30%). Ringkasan hasil analisis penentuan besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha pengolahan primer gula tebu disajikan pada Tabel 4.19 berikut. Tabel 4.19. Resume Hasil Penentuan Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Pengolahan Primer Gula Tebu 1
Besaran Kepemilikan Modal PMA
Mayoritas (58,43%)
2
Asas Penyelenggaraan
Efisiensi (58%)
3
Aspek
• • • •
4
Kriteria
Pendapatan usaha (25%) aya saing (23%) aya serap pasar (21%)
Teknis (26%) Lingkungan (23%) Sosial (22%)
Biologi (25%) Kimia (19%) isik (18%) -
Hasil dan Pembahasan
121
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
ubungan kelembagaan (32%) Dominasi pengambilan keputusan perusahaan (28%) Ketersediaan teaga ahli (35%) Kapasitas produksi (26%)
Tabel 4.19 menunjukkan bahwa prediksi . Besaran prioritas kepemilikan modal PMA merupakan angka mayoritas dengan Asas penyelenggaraan yang lebih mengarah ke efisiensi dibanding berkeadilan. Pada usaha pengolahan primer tebu, Asas efisiensi (58%) dinilai lebih memiliki peranan penting dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA. Artinya penyelenggaraan usaha pengolahan primer tebu harus dijalankan secara efisien dan tepat guna (efektif) serta mampu mengoptimalkan manfaat sumber daya yang tersedia. Target kebijakan pemerintah berupa swasembada gula nasional menuntut adanya pengembangan pengolahan primer gula yang terintegrasi dengan pengembangan kebun tebu. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2015 kemampuan produksi gula nasional sebesar ± 2,5 juta ton yang dihasilkan oleh 62 pabrik gula (Tabel 4.20), sementara itu total konsumsi gula nasional untuk keperluan rumah tangga, industri makanan minuman, farmasi, dan lainnya sebesar ± 5,8 juta ton. Pada posisi sebagai negara dalam agribisnis
122
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
gula dunia program swasembada gula nasional akan berimplikasi pada program pengembangan produksi gula nasional. Selanjutnya, program pengembangan produksi gula nasional akan terkait dengan program pengembangan pengolahan primer/pabrik gula tebu, diantaranya melalui Efisiensi dan Revitalisasi PG eksisting telah dimulai dengan rencana pemerintah cq Kementerian BUMN dan PT Perkebunan Nusantara yang mensyaratkan bahwa kapasitas giling PG (PT Perkebunan Nusantara) yang efisien adalah ≥ 4.000 TCD dimana pada saat ini sejumlah pabrik gula (termasuk di dalamnya PG PT. Perkebunan Nusantara) yang memenuhi kapasitas giling tersebut kurang dari 30% (Tabel 4.21). Tabel 4.20. Pengolahan Gula Tebu Eksisting di Indonesia PTP Nusantara II
Sumatera Utara
2
7.400
PTP Nusantara VII
Lampung
2
12.303
PTP Nusantara IX
Jawa Tengah
8
17.590
PTP Nusantara X
Jawa Timur
11
39.150
PTP Nusantara XI
Jawa Timur
16
43.750
PTP Nusantara XIV
Sulawesi Selatan
3
8.400
PT PG Rajawali I
Jawa Timur
2
16.500
PT PG Rajawali II
Jawa Barat
5
14.300
PT. Madu Baru
Yogyakarta
1
3.500
PT. Kebon Agung
Jawa Timur
2
12.000
PT. Gunung Madu Plantations
Lampung
1
12.500
PT. Garuda Panca Arta
Lampung
3
27.000
Hasil dan Pembahasan
123
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
PT. PG Gorontalo
Gorontalo
1
8.000
PT Industri Gula Nusantara
Jawa Tengah
1
1.800
PT. PG Candi Baru
Jawa Timur
1
2.500
PT. Pemuka Sakti Indah
Lampung
1
4.500
PT. Laju Perdana Indah
Sumatera Selatan
2
11.000
Tabel 4.21. Jumlah Pabrik Gula Tebu Eksisting Berdasarkan Kapasitas Giling dan Umur
A. Kapasitas giling (TCD) •< 2.000
14
22,6
•2.000– 4.000
29
46,8
•>4.000 – 6.000
5
8,1
•>6.000 – 8.000
9
14,5
•>8.000 – 10.000
2
3.2
3
4,8
62
100,0
40
64,5
•50 – 99
3
4,8
•25 – 49
14
22,6
•< 25
5
8,1
Jumlah
62
100,0
•>10.000 Jumlah B.Umur pabrik gula (tahun) •100 185
124
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Sementara itu, untuk mencapai program swasembada gula, diperkirakan akan dibutuhkan pembangunan 16 buah PG baru masingmasing dengan kapasitas giling ratarata 8.000 TCD atau dengan kemampuan produksi 150–200 ribu ton gula/PG/tahun. Pembangunan PG baru akan membutuhkan modal investasi yang cukup. Sebagai gambaran, PG berbasis tebu dengan kapasitas giling 10.000 TCD mempunyai nilai investasi sebesar S 200250 juta. Sementara itu PG dengan kapasitas giling 5.000 TCD akan membutuhkan dukungan kebun tebu seluas 1012.000 hektar, dan modal investasi pembangunan PG dan emplasemennya sebesar 1, triliun rupiah. Oleh karena itu, berdasarkan dari pengolahan primer gula tebu tersebut dan integrasi program pengembangan bahan baku tebu yang akan lebih diarahkan oleh pemerintah untuk dapat , maka dimungkinkan untuk melakukan . Seperti telah diuraikan di atas, hasil analisis menunjukkan bahwa prediksi besaran kepemilikan modal PMA untuk pengolahan primer gula tebu adalah sebesar Selanjutnya diidentifikasi bahwa dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA pada pengolahan primer gula yaitu sebesar 55,58%, disusul oleh politisi (23,17%), akademisi (12,03%), dan praktisi (9,21%). Hal ini dinilai wajar karena dalam mendorong produksi untuk program swasembada gula, sebagai salah satu produk komoditi “sembilan bahan pokok”, sebagai salah satu komoditi strategis yang bernuansa politis, dan sebagai langkah dalam rangka mengurangi/ menghilangkan posisi ketergantungan gula dari pasar dunia, sekaligus menghemat devisa.
Hasil dan Pembahasan
125
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Aspek penyelenggaraan usaha pengolahan gula tebu yang yaitu sebesar 28,90% disusul oleh aspek teknis (26,22%), lingkungan (23,04%), dan sosial (21,84%). Pada aspek ekonomi, kebijakan pemerintah menjadi kriteria paling prioritas, dibanding kriteria pendapatan usaha, daya saing, dan daya serap pasar. Seperti telah disebutkan di atas bahwa dalam revitalisasi PG eksisting (khususnya milik PT. Perkebunan Nusantara) mensyaratkan bahwa kapasitas giling PG ≥ 4.000 TCD dan akan lebih diarahkan pada penyelenggaraan usaha PG yang lebih efisien. akan lebih karena akan menyangkut , ketersediaan bahan baku, kinerja teknis, dalam jangka panjang. Perkebunan merupakan usaha yang padat modal, terutama pada lapangan usaha pengolahan hasil perkebunan. Perbedaan karakter komoditas secara teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan antara komoditas kelapa sawit dan tebu (usaha perbenihan, usaha budidaya, dan usaha pengolahan primer) mengakibatkan perbedaan besaran kepemilikan modal PMA diantara keduanya. Kapasitas para pelaku usaha kelapa sawit saat ini dengan komposisi PMA dan PMDN pada lapangan usaha perbenihan, budidaya dan pengolahan primer dinilai mampu meningkatkan kinerja produksi kelapa sawit. Hal ini dapat dilihat dari kinerja produksi CPO yang cukup progresif pada beberapa tahun terakhir. Sebagai konsekuensi dari besaran pemilikan modal PMA sebagai minoritas, kebijakan pada komoditas kelapa
126
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
sawit diarahkan untuk meningkatkan daya saing dan kapasitas pelaku usaha kelapa sawit dalam negeri, khususnya perkebun. Berbeda dengan kelapa sawit, komoditas tebu pada lapangan usaha perbenihan besaran pemilikan modal PMA sebagai minoritas, tetapi pada lapangan usaha budidaya dan pengolahan primer sebagai mayoritas. Kapasitas pelaku usaha perbenihan dinilai cukup mampu untuk menghasilkan benih dengan kuantitas, kualitas dan harga yang kompetitif. Sementara itu, pada lapangan usaha budidaya dan pengolahan primer, kapasitas para pelaku usaha tebu dengan sebagian besar PMDN dan pekebun saat ini dinilai masih belum mampu meningkatkan kinerja produksi tebu, khususnya gula nasional. Permintaan gula dalam negeri hanya dapat dipenuhi sekitar 47% dari produksi gula nasional (Ditjen. Perkebunan dan Kementerian Perindustrian). Walaupun gula dan kelapa sawit termasuk ke dalam komoditas strategis nasional, . Percepatan peningkatan produksi gula bertujuan lebih ditekankan untuk menekan impor gula yang saat ini Indonesia menduduki posisi kedua importir gula dunia. Kendali terhadap ketersediaan, kualitas dan harga benih sawit menjadi perhatian utama. Kelebihan produksi ( ) yang terjadi pada benih kelapa sawit dimungkinkan sebagai akibat dari kurang terkoordinasinya para produsen benih dalam menghasilkan benih kelapa sawit. Sementara itu, Hasil dan Pembahasan
127
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
kualitas dan lemahnya pengawasan terhadap peredaran benih mengakibatkan produksi tanaman tidak optimal karena kualitas tanaman yang tidak sesuai standar. Tingginya proporsi pekebun rakyat (PR) yang cukup signifikan sekitar 41% (Ditjen. Perkebunan) dari areal lahan kelapa sawit memerlukan kepastian kualitas dan harga yang dapat dijangkau. Melalui besaran kepemilikan modal PMA pada usaha benih yang minoritas, diharapkan para pelaku dalam negeri usaha perbenihan kelapa sawit mampu menyediakan benih berkualitas dengan harga yang terjangkau. Adapun kebijakan yang diharapkan adalah adanya pengawasan benih kelapa sawit untuk menjamin kualitas tanaman dan produksi kelapa sawit. Begitu juga untuk menjamin ketersediaan (kuantitas) benih kelapa sawit agar dapat memenuhi permintaan diperlukan sistem informasi dan pemasaran benih yang di dalamnya melibatkan para pelaku usaha penangkar perbenihan, usaha pengolahan primer dan pengusaha budidaya kelapa sawit. Terdapat beberapa persoalan dan isu yang perlu mendapat perhatian dalam usaha budidaya kelapa sawit, di antaranya adalah: a) keterbatasan lahan budidaya kelapa sawit; b) pelibatan usaha masyarakat lokal; c) usia tanaman kelapa sawit yang sudah tua, terutama pada Perkebunan Rakyat; d) dukungan infrastruktur pendukung yang kurang memadai. Apabila persoalan dan isu di atas tidak dikelola dengan baik dikhawatirkan akan menurunkan kapasitas pelaku usaha budidaya dalam memproduksi kelapa sawit sebagai bahan baku pengolahan primer, terutama pelaku usaha dalam negeri Perkebunan Rakyat. Kebutuhan biaya investasi yang sangat besar akan sulit dipenuhi oleh pekebun rakyat, alihalih membangun infrastruktur jalan di lingkungan perkebunan rakyat, untuk melakukan peremajaan dan pemeliharaan tanaman secara intensif saja pekebun sulit memenuhinya.
128
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Pemerintah sebagai pemangku kebijakan diharapkan mampu mengembangkan infrastruktur pendukung yang terintegrasi antara hulu dan hilir komoditas kelapa sawit, seperti pembangunan jalan kebun, stasiun pengamat cuaca, saluran irigasi dan drainase serta cadangan air. Pengembangan infrastruktur terutama diarahkan kepada pelaku usaha perkebunan rakyat guna meningkatkan efisiensi produksi kelapa sawit. Selain pemerintah, lembaga pembiayaan diharapkan dapat membantu para pelaku usaha perkebunan rakyat, terutama untuk kegiatan peremajaan, revitalisasi dan perawatan tanaman kelapa sawit yang memerlukan biaya besar. Lembaga pembiayaan dapat memberikan pinjaman dengan bunga yang kompetitif bagi para pelaku usaha perkebunan rakyat agar dapat menjalankan usaha budidaya kelapa sawit secara efisien dan menguntungkan. Diversifikasi produk turunan kelapa sawit yang bernilai tinggi, pelibatan pekebun lokal dalam pemenuhan bahan baku dan integrasi dengan sektor energi adalah tiga hal utama yang menjadi sorotan dalam lapangan usaha pengolahan primer kelapa sawit. Untuk meningkatkan nilai tambah usaha pengolahan primer, diharapkan lapangan usaha tersebut dapat mengembangkan produk turunan atau diversifikasi dari kelapa sawit, sehingga tidak hanya bergantung kepada hasil olahan dalam bentuk CPO saja. Selain itu, usaha pengolahan primer diharapkan juga dapat lebih meningkatkan peran pekebun lokal untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Untuk mendukung hal tersebut diperlukan kebijakan yang bersifat kelembagaan antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat lokal. ISPO dan RSPO adalah sertifikasi yang diterapkan untuk pengembangan usaha kelapa sawit di Hasil dan Pembahasan
129
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan memberikan perhatian terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial. Begitu juga dengan lembaga pembiayaan dan usaha pengolahan primer kelapa sawit diharapkan aktif membantu para pekebun rakyat dan masyarakat dalam pengembangan kualitas kehidupan masyarakat (secara sosial dan ekonomi) yang dapat meningkatkan kapasitas masyarakat. Aspek lingkungan dalam arti fisik perlu dikelola dengan baik agar dampak buruk dari operasionalisasi usaha pengolahan primer kelapa sawit dapat di reduksi dan tidak mengganggu masyarakat. Sebagian besar (62%) pelaku usaha budidaya tebu adalah perkebunan rakyat. Usaha perbenihan sebagai mata rantai sektor komoditas tebu merupakan lapangan usaha yang strategis, sehingga penguasaan asing terhadap lapangan usaha ini perlu dibatasi pada tingkat minoritas. Implikasi dari hal tersebut adalah standar kualitas, kuantitas dan harga perlu menjadi perhatian terutama untuk memastikan bahwa produktivitas tebu dan rendemen dapat dicapai pada nilai yang tinggi. Perlu dibuat suatu mekanisme sistem pengawasan terhadap peredaran benih di tingkat pekebun agar kualitas, jumlah dan harga benih dapat terjamin dengan baik. Kepemilikan modal PMA sebagai mayoritas pada lapangan usaha budidaya dan pengolahan gula tebu dimaksudkan untuk mengakslerasi percepatan produksi gula nasional guna menekan impor gula yang tinggi. Tingginya biaya investasi
130
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
usaha budidaya dan pengolahan primer diharapkan dapat diperoleh melalui PMA. Pemenuhan produksi gula nasional dalam hal ini menjadi tujuan utama dalam usaha budidaya dan pengolahan tebu. Diperlukan upaya efisiensi dan revitalisasi pabrik gula (PG) eksisting dan pembangunan PG baru. Revitalisasi PG eksisting yang sebagian besar berada di Pulau Jawa diarahkan untk meningkatkan efisiensi produksi dan diversifikasi produk. Sementara itu, pembangunan PG baru diarahkan di luar Pulau Jawa dengan pengembangan yang terintegrasi antara usaha budidaya dengan usaha pengolahan primer. Pengembangan infrastruktur pendukung yang dilakukan pemerintah dapat menjadi insentif bagi PMA yang akan berinvestasi di Indonesia Selain itu, kemudahan perizinan usaha dapat mempercepat proses masuknya PMA ke Indonesia khususnya untuk usaha pengolahan primer tebu atau PG.
Hasil dan Pembahasan
131
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
132
Hasil dan Pembahasan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
BAB V. KESIMPULAN, REKOMENDASI, DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN • Besaran kepemilikan modal Penanaman Modal Asing (PMA) untuk usaha kelapa sawit maupun tebu dibentuk oleh (berkeadilan dan efisiensi) serta (ekonomi, lingkungan, sosial, dan teknis). Asas berkeadilan dan efisiensi yang menjadi salah satu asas dalam penyelenggaraan usaha kelapa sawit dan tebu secara empiris memiliki peran yang berhubungan dengan aspek sosial; ekonomi; teknis; maupun lingkungan. Selain itu, keempat aspek tersebut secara simultan saling berinteraksi membangun sistem perkebunan dari hulu sampai ke hilir. Peran keseluruhan asas dan aspek dimaksud akan berlangsung secara bersamasama, meskipun tingkat peran masingmasing asas dan aspek akan berbeda tergantung pada jenis komoditas (kelapa sawit dan tebu) serta jenis lapangan usaha (perbenihan, budi daya, dan pengolahan primer). Keseluruhan Asas dan aspek tersebut akan berperan dalam pencapaian kinerja penyelenggaraan usaha kelapa sawit maupun tebu dengan orientasi pada dan secara terintegrasi dan berimbang serta berorientasi pada keseimbangan antara pertumbuhan; pemerataan; dan kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. • Makna asas efisiensi dalam penentuan besaran kepemilikan modal PMA usaha kelapa sawit dan tebu adalah penyelenggaraan kedua usaha tersebut berlangsung secara tepat untuk menciptakan manfaat sebesarbesarnya atas sumber daya yang digunakan. Sementara itu, makna asas berkeadilan dalam penentuan besaran kepemilikan modal Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
133
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
PMA pada usaha kedua komoditas dimaksud adalah mem berikan peluang serta kesempatan yang sama secara proporsional kepada semua warga negara sesuai dengan kemampuannya. • Rincian aspek dan kriteria hasil FGD Tim Ahli yang digunakan dalam penetapan besaran kepemilikan modal PMA adalah sebagai berikut:
1) Aspek Ekonomi, terdiri dari 4 (empat) kriteria, yaitu: a) pendapatan usaha, b) daya serap pasar, c) daya saing, dan d) kebijakan pemerintah. 2) Aspek Sosial, terdiri dari 3 (tiga) kriteria, yaitu: a) peluang berusaha masyarakat, b) hubungan kelembagaan, dan c) dominasi pengambilan keputusan 3) Aspek Lingkungan, terdiri dari 4 (empat) kriteria, yaitu: a) biologi, b) fisik, c) kimia, dan d) sosial 4) Aspek Teknis, terdiri dari 3 (tiga) kriteria, yaitu: a) ketersediaan teknologi, b) tenaga ahli, dan c) kapasitas produksi. • Hasil FGD Tim Ahli Perkebunan menunjukkan bahwa meskipun aspek dan kriteria untuk seluruh lapangan usaha pada komoditas kelapa sawit dan pada komoditas tebu tidak berbeda, tetapi indikator untuk setiap kriteria dirumuskan berbeda bergantung dari jenis komoditas (kelapa sawit, tebu) dan jenis lapangan usaha (perbenihan, budi daya, pengolahan primer). Hal ini terjadi karena deskripsi dari indikator tersebut sangat berkaitan dengan karakteristik spesifik komoditas serta lapangan usaha. Dengan demikian, rumusan indikator tersebut akan berbeda baik di antara lapangan usaha yang sama tetapi komoditasnya berbeda maupun di antara lapangan usaha yang berbeda meskipun komoditasnya sama.
134
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
• Untuk komoditas kelapa sawit besaran kepemilikan modal PMA pada masingmasing lapangan usaha (perbenihan, budi daya, pengolahan primer) berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari para responden pakar adalah sebagai berikut:
Besaran kepemilikan modal PMA pada usaha perbenihan kelapa sawit adalah kepemilikan ( Dalam menentukan besaran kepemilikan PMA pada lapangan usaha tersebut, asas berkeadilan (64%) dipandang lebih penting dibandingkan Besaran kepemilikan modal PMA tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (31%) sedangkan kriteria pada aspek teknis yang dominan adalah ketersediaan tenaga ahli, dalam hal ini ketersedian jumlah maupun kemampuan tenaga ahli dalam negeri tersedia secara memadai. Penentuan kepemilikan minoritas pada lapangan usaha ini sejalan dengan kenyataan bahwa usaha perbenihanmerupakan usaha strategis nasional yang akan menentukan produktivitas dan kualitas produk kelapa sawit dalam kurun waktu panjang (selama umur ekonomis tanaman23 tahun). Sebagaimana pada lapangan usaha perbenihan kelapa sawit, prioritas besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit adalah kepemilikan Sejalan dengan itu, dalam menentukan besaran kepemilikan PMA tersebut, asas dipandang lebih penting dibandingkan asas efisiensi. Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah pendapatan usaha (28%) Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
135
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
sedangkan kriteria pada aspek sosial yang paling menentukan adalah peluang berusaha (38%). Penetapan pemilikan modal PMA sebagai minoritas pada lapangan usaha ini sejalan dengan realitas di lapangan bahwa luas lahan PMA usaha budi daya kelapa sawit sudah mencapai 2,1 juta hektar (Data Ditjen. Perkebunan dan BKPM) atau 31% dari total luas lahan usaha budi daya kelapa sawit yang dikuasai oleh perusahaan. Selain itu, dalam kurun waktu tahun (20102015), proses pengambilalihan perusahaan PMDN pada lapangan usaha budi daya kelapa sawit mencapai 0,58 juta hektar atau sekitar 10% dari luas lahan kelapa sawit di Indonesia yang dikuasai perusahaan swasta (PMA dan PMDN) yang pada tahun 2015 mencapai 5,975 juta ha. Demikian halnya, besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer kelapa sawit adalah kepemilikan Dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA tersebut, dinilai lebih penting dibandingkan asas keadilan. Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek sosial yang paling menentukan adalah peluang berusaha (41%) sedangkan kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (30%). Penentuan pemilikan modal PMA sebagai minoritas pada lapangan usaha ini sejalan dengan realitas bahwa investasi untuk pembangunan pabrik CPO masih terjangkau oleh perusahaan dalam negeri karena biaya untuk mendirikan 1 (satu) pabrik/unit pengolahan kelapa sawit dengan kapasitas 3040 ton TBS/jam hanya dibutuhkan dana sekitar 125 miliar rupiah. Berdasarkan ketiga lapangan usaha (perbenihan, budi daya, dan pengolahan kelapa sawit), hasil analisis
136
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
pendapat para dinilai sesuai dengan kondisi dan perkembangan kelapa sawit Indonesia saat ini. Bila dahulu Indonesia masih tergolong negara berkembang tetapi saat ini telah menjadi negara maju, khususnya dalam penguasaan teknologi usaha kelapa sawit. Indonesia yang pada awalnya masih lemah dalam kualitas SDM tetapi saat ini memiliki banyak SDM yang berkualitas sehingga kebutuhan tenaga ahli asing tidak menjadi prioritas. • Sementara itu, untuk komoditas tebu besaran kepemilikan modal PMA pada masingmasing lapangan usaha (perbenihan, budi daya, pengolahan primer) adalah sebagai berikut:
Besaran kepemilikan PMA pada usaha perbenihan tebu adalah kepemilikan . Sejalan dengan itu, dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha tersebut, dipandang lebih penting dibandingkan efisiensi Besaran kepemilikan modal PMA tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan . Kriteria pada aspek sosial yang paling menentukan adalah peluang berusaha (48%) sedangkan kriteria pada aspek teknis yang dominan adalah ketersediaan tenaga ahli (42%), dalam hal ini ketersedian jumlah maupun kemampuan para tenaga ahli dalam negeri masih memadai. Sementara itu, prioritas besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya tebu adalah kepemilikan Dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA tersebut, asas dan asas dinilai . Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan dengan tingkat Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
137
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
pengaruh yang relatif sama, yaitu masingmasing 2% dan 27% Kriteria pada aspek sosial yang paling menentukan adalah dominasi pengambilan keputusan (36%) sedangkan kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (34%). Penetapan besaran kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha tersebut sejalan dengan kebijakan perlunya integrasi pengembangan usaha budi daya dengan usaha pengolahan gula tebu yang baru di luar Jawa untuk mencapai swasembada pangan (gula). •
Sebagaimana kepemilikan modal PMA pada lapangan usaha budi daya, besaran kepemilikan modal PMA pada usaha pengolahan primer tebu adalah kepemilikan mayoritas Sejalan dengan itu, dalam menentukan besaran kepemilikan modal PMA tersebut, asas efisiensi dipandang lebih penting dibandingkan asas berkeadilan. Besaran tersebut juga dipengaruhi terutama oleh dan Kriteria pada aspek ekonomi yang paling menentukan adalah kebijakan pemerintah (31%) sedangkan kriteria pada aspek teknis yang paling menentukan adalah ketersediaan teknologi (39%). Penentuan kepemilikan modal PMA sebagai mayoritas pada lapangan usaha ini sejalan dengan besaran investasi yang diperlukan usaha pengolahan primer gula tebu yang sangat tinggi (investasi PG untuk10.000 TCD sebesar US$ 200–250 juta) sehingga lebih memungkinkan dilakukan oleh PMA dengan kepemilikan saham mayoritas.
• Pada komoditas kelapa sawit, besaran kepemilikan modal PMA sebagai minoritas perlu diterapkan di seluruh wilayah
138
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Indonesia, baik pada lapangan usaha perbenihan; usaha budi daya; maupun usaha pengolahan primer. Akan tetapi, pada usaha budi daya dikecualikan untuk perusahaan perkebunan yang sudah memiliki izin usaha sebelum Peraturan Pemerintah tentang Usaha Perkebunan diundangkan diperbolehkan memiliki modal PMA sebagai mayoritas tetapi wajib menyesuaikan setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir sebagaimana tercantum pada pasal 114 ayat UndangUndang nomor tahun 2014 tentang Perkebunan. Perusahanperusahan PMA pada lapangan usaha perbenihan; budi daya dan pengolahan primer kelapa sawit yang melakukan pengambilalihan PMDN; penggabungan dan peleburan dengan PMDN, serta perluasan kegiatan usaha perusahaan PMA harus mengikuti ketentuan pemilikan modal PMA sebagai minoritas setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir sebagaimana tercantum pada pasal 114 ayat UndangUndang nomor tahun 2014 tentang Perkebunan. • Pada komoditas tebu, besaran kepemilikan modal minoritas untuk PMA yang baru hanya diterapkan untuk usaha perbenihan, sedangkan untuk usaha budi daya dan usaha pengolahan primer diperkenankan memiliki saham mayoritas. Integrasi pengembangan usaha budi daya dan usaha pengolahan gula tebu yang baru perlu dilakukan dengan investasi saham mayoritas PMA tersebut dilakukan di luar awa. Perusahanperusahan PMA pada lapangan usaha perbenihan tebu yang melakukan pengambilalihan PMDN; penggabungan dan peleburan dengan PMDN, serta perluasan kegiatan usaha PMA harus mengikuti ketentuan pemilikan saham PMA sebagai minoritas setelah masa berlaku hak guna usaha berakhir sebagaimana tercantum pada pasal 114 ayat UndangUndang nomor tahun 2014 tentang Perkebunan.
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
139
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
• Pengertian pemilikan saham mayoritas oleh PMA adalah lebih besar dari 50%. Ketentuan ini dapat mengacu pada Pasal ayat 1 UndangUndang Nomor 40 tahun 200 tentang Perseroan Terbatas yang menetapkan bahwa RUPS dapat dilangsungkan jika dalam RUPS lebih dari 1/2 (satu per dua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili. Sementara itu, pengertian pengambilalihan PMDN; penggabungan dan peleburan dengan PMDN, serta perluasan kegiatan usaha PMA dapat mengacu pada Peraturan Kepala BKPM Nomor 14 tahun 2015 tentang Pedoman dan Tata Cara Izin Prinsip Penanaman Modal.
• Bersamaan dengan diterapkannya kepemilikan modal PMA sebagai minoritas pada usaha kelapa sawit, terdapat beberapa upaya yang perlu dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kapasitas pengusaha perkebunan dalam negeri lapangan usaha perbenihan, budi daya dan pengolahan sehingga pertumbuhan produksi dan daya saing kelapa sawit tetap terjaga.
Usaha perbenihan: pengawasan benih kelapa sawit untuk menjamin ketersediaan (kuantitas) dan kualitas benih kelapa sawit; sistem informasi dan pemasaran benih yang melibatkan para pekebun perbenihan, usaha pengolahan primer dan pengusaha budidaya kelapa sawit; Usaha budi daya: mengembangkan infrastruktur fisik (jalan kebun, stasiun pengamat cuaca, saluran irigasi dan drainase serta cadangan air), maupun infrastruktur pembiayaan yang diharapkan dapat membantu pekebun untuk melaksanakan kegiatan peremajaan, revitalisasi
140
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
dan perawatan tanaman kelapa sawit yang memerlukan biaya besar; Usaha pengolahan primer: mendorong usaha pengolahan meningkatkan daya saing dan memberikan perhatian terhadap lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial. • Sementara itu, bersamaan dengan diterapkannya kepemilikan modal PMA sebagai minoritas pada lapangan usaha perbenihan serta kepemilikan modal mayoritas pada lapangan usaha budi daya dan pengolahan primer komoditas tebu, implikasi dan upaya yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut:
Kepemilikan modal PMA sebagai minoritas pada usaha perbenihan tebu berimplikasi pada diperlukannya mekanisme pengawasan peredaran benih di tingkat pekebun agar kualitas; jumlah; dan harga benih dapat terjamin dengan baik. Standar kualitas, kuantitas dan harga perlu menjadi perhatian terutama untuk memastikan bahwa dengan benih yang berkualitas baik akan menghasilkan tebu yang memiliki rendemen tinggi. Kepemilikan modal PMA sebagai mayoritas pada usaha budi daya dan pengolahan primer tebu berimplikasi kepada revitalisasi PG (Pabrik Gula) eksisting yang sebagian besar berada di Pulau Jawa perlu diarahkan untuk meningkatkan efisiensi produksi dan diversifikasi produk dari dari PG. Sementara itu, pembangunan PG baru diarahkan di luar Pulau Jawa dengan pengembangan yang terintegrasi antara usaha budi daya dengan usaha pengolahan. Pengembangan infrastruktur pendukung yang dilakukan pemerintah dan kemudahan perizinan usaha merupakan insentif bagi PMA yang akan berinvestasi di Indonesia.
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
141
142
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Minoritas
Minoritas
5. Usaha Budi daya
6. Usaha Pengolahan Primer
Minoritas
4. Usaha Perbenihan
• Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
• Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
• Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
Rekomendasi Besaran Kepemilikan Modal PMA pada Usaha Kelapa Sawit dan Usaha Tebu
Tabel 5.1.
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Minoritas
Mayoritas
Mayoritas
4. Usaha Perbenihan
5. Usaha Budi daya
6. Usaha Pengolahan Primer
• Tidak ada perubahan sesuai izin lama
• Tidak ada perubahan sesuai izin lama
• Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin Lama (sudah PMA): mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Izin baru (termasuk izin baru karena peleburan): PMA Minoritas di seluruh wilayah Indonesia,
• Perluasan kegiatan usaha: berlaku ketentuan mengenai hak mendahului bagi PMA, tetapi kemudian mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
• Ambil alih PMDN dan penggabungan dengan PMDN : mengikuti pasal 114 ayat 3 UU Perkebunan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
143
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
144
Kesimpulan, Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
DAFTAR PUSTAKA Arifin, B. (2015). “Strategi Industri Gula Nasional Menghadapi Perdagangan Gula Global”. Makalah disampaikan dalam Seminar “Peran PTP Nusantara damn PT KPB Nusantara dalam Strategi Pemasaran Gula Kristal Putih dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani tgl 18 Maret 2015 di Jakarta. Aziz, I.J. (2003). “Analytic Network Process with Feedback Influence: A New Approach to Impact Study”. Paper for Seminar Organized by Department of Urban and Regional Planning, University of Illinois at Urbana Campaign. Direktorat Jenderal Perkebunan. (2014). “Roadmap Peningkatan Produksi Gula Nasional 2015201”. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Direktorat Jenderal Perkebunan. (2015). “Buku Statistik Perkebunan Indonesia tahun 20142016”. Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Harian Kompas. (2016a). “Pabrik Gula Rugi Karena Tebu: Rencana Penutupan Dikaji Berdasarkan Lima Kriteria”. Harian Kompas, 18 Oktober 2016. Harian Kompas. (2016b). “Pemerintah Kaji Tutup Pabrik Gula”. Harian Kompas, 17 Oktober 2016. Hartati, E. S. (2016). “Pahitnya Menata Manisnya Industeri Gula”. Harian Kompas, 24 Oktober 2016. Izik, Z, I. Dikmen, & Birgonul, M.T.(2011). “Using Analytic Network Process (ANP) for Performance Measurement in Construction”. Turki: Civil Engineering Department, Faculty of Engineering Middle East Technical University Legendre, P. (2005). “Species Associations: The Kendall Coefficient of Concordance Revisited”. American Statistical Association and the International Biometric
Daftar Pustaka
145
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Society Journal of Agricultural, Biological, and Environmental Statistics, Volume 10, Number 2, Pages 226–245 Maxwell, J.A. (1996). “Qualitative Research Design. Interactive Approac”h. Sage Publication, California
An
Saaty, T.L & Vargas, L.G (2006). “Decision Making with the Analytic Network Process Economic, Political, Social and Technological Applications with Benefits, Opportunities, Costs and Risks”. Second Edition. International Series in Operations Research & Management Science. Volume 195 Sabil, A. (2015). “Upaya Peningkatan Kinerja Budidaya Tebu (On Farm”). Makalah disampaikan dalam Seminar Peran PTP Nusantara dan PT KPB Nusantara dalam Strategi Pemasaran Gula Kristal Putih dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani tgl 18 Maret 2015 di Jakarta. Sekretariat Jenderal Kementerian Perdagangan, (2015). “Kebijakan Impor Gula”. Makalah disampaikan dalam Seminar Peran PTP Nusantara damn PT KPB Nusantara dalam Strategi Pemasaran Gula Kristal Putih dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani tgl 18 Maret 2015 di Jakarta. Senge, P.M., et al (1994). “The Fifth Discipline Fieldbook. Strategies And Tools For Building A Learning Organization”. London: Nicholas Brealey Publishing. Sterman, J.D. (2000). “Business Dynamics. System Thinking and Modelling for a Complex World”. New York: Irwin McGrawHill. Sulistyowaty, A. (2012). Modul Pelatihan Cara Berpikir Sistem. Behaviour Over Time Graph. Yayasan Kuncup Padang Ilalang, Bandung, 8 Juli 2012. Suwandi, A. (2016). “Kalkulasi Ekonomi Industri Gula”. Harian Kompas, 21Oktober 2016.
146
Daftar Pustaka
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
Tasrif, M. (2004). “Analisis Kebijakan Menggunakan System Dynamics”. Bandung: Program Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung. Tim Badan Litbang Pertanian, (2007). “Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu; Edisi Kedua”. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. Wachid, A. Peran DPR dalam Pengawasan Kebijakan Pergulaan Nasional. (2015). “Peran PTP Nusantara damn PT KPB Nusantara dalam Strategi Pemasaran Gula Kristal Putih dalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Petani”. Makalah disampaikan dalam Seminar tgl 18 Maret 2015 di Jakarta.
Daftar Pustaka
147
Tinjauan Besaran PMA pada Usaha Perkebunan
148
Daftar Pustaka