Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi Dadang Rahardian
INVENTARISASI JENIS AMFIBI DAN REPTILIA DI KAWASAN HUTAN POHUWATO, GORONTALO, SULAWESI INVENTORY OF AMPHIBIANS AND REPTILS IN POHUWATO FOREST AREA, GORONTALO, SULAWESI Dadang Rahardian Subasli Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi LIPI, Jl. Raya Jakarta-Bogor KM.46 Cibinong 16911 e-mail:
[email protected] (diterima Februari 2015, direvisi Juni 2015, disetujui Juli 2015)
ABSTRAK Inventarisasi herpetofauna telah dilakukan di hutan bekas tebangan di Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo, Sulawesi, sebagai bagian dari restorasi program hutan. Sebanyak 23 jenis yang terdiri dari 7 jenis amfibi (4 famili) dan 16 jenis reptil (6 famili) telah dikoleksi dari seluruh lokasi survei. Jumlah jenis dan anak jenis tersebut termasuk 4 jenis yang merupakan endemik Sulawesi, yaitu: Limnonectes modestus, Hylarana celebensis, Ingerophrynus celebensis, Coelognathus erythrurus celebensis dan 2 jenis yang tercatat masuk ke dalam Apendiks II CITES, yaitu: Varanus salvator dan Malayopython reticulatus reticulatus. Jumlah jenis herpetofauna terbanyak berasal dari lokasi Doyong (17 jenis), disusul oleh Tulidu dan Panianggata (masing-masing 12 jenis) dan Dulamahe (10 jenis). Hasil uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan indeks diversitas (H’) dan kemerataan jenis (E) yang signifikan diantara lokasi pengamatan (Doyong, Tulidu, Panianggata dan Dulamahe) untuk amfibi, reptilia dan herpetofauna. Indeks diversitas (H’) dan kemerataan jenis (E) amfibi pada lokasi Doyong (H’= 1,68, E= 0,67), Tulidu (H’= 1,43, E= 0,89), Panianggata (H’= 1,09, E= 0,59), dan Dulamahe (H’= 0,99, E= 0,80), tidak berbeda signifikan. Begitu juga untuk spesies reptilia, Indeks diversitas (H’) dan kemerataan jenis (E) reptilia pada lokasi Doyong (H’= 1,90, E= 0,98), Tulidu (H’= 1,50, E= 1,00), Panianggata (H’= 1,10, E= 1,00), dan Dulamahe (H’= 1,33, E= 0,83), tidak berbeda signifikan. Hal yang sama juga untuk herpetofauna, Indeks diversitas (H’) dan kemerataan jenis (E) herpetofauna pada lokasi Doyong (H’= 1,99, E= 0,70), Tulidu (H’= 1,78, E= 0,72), Panianggata (H’= 1,41, E= 0,58), dan Dulamahe (H’= 1,53, E= 0,68), tidak berbeda signifikan. Kata kunci: endemik, Gorontalo, herpetofauna, inventarisasi
ABSTRACT Inventory of herpetofauna has been done in logged forest in Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi, as part of forest restoration program. A total of 23 species consist of 7 species of amphibians (4 families) and 16 species of reptiles (6 families) have been collected from all survey sites. Among species collected, four of them are endemic to Sulawesi: Limnonectes modestus, Hylarana celebensis, Ingerophrynus celebensis, Coelognathus erythrurus celebensis and 2 species of recorded into the Appendix II of CITES: V aranus salvator and Malayopython reticulatus reticulatus. The highest number of species was found in Doyong (17 species), followed by Tulidu and Panianggata (respectively 12 species) and Dulamahe (10 species). Kruskal-Wallis test results showed that there was no difference in the diversity index (H') and evenness (E) significantly between locations of observation (Doyong, Tulidu, Panianggata and Dulamahe) for amphibians, reptiles and herpetofauna. Diversity index (H') and evenness (E) amphibian on location Doyong (H'= 1.68, E= 0.67), Tulidu (H'= 1.43, E = 0.89), Panianggata (H’= 1.09, E= 0.59), and Dulamahe (H'= 0.99, E= 0.80), did not differ significantly. Likewise for reptile species, diversity index (H') and evenness (E) reptile on the location Doyong (H'= 1.90, E= 0.98), Tulidu (H'= 1.50, E= 1,00), Panianggata (H'= 1.10, E= 1.00), and Dulamahe (H'= 1.33, E= 0.83), did not differ significantly. The same thing for herpetofauna, diversity index (H') and evenness (E) herpetofauna on the location Doyong (H'= 1.99, E = 0.70), Tulidu (H'= 1.78, E= 0.72), Panianggata (H'= 1.41, E= 0.58), and Dulamahe (H'= 1.53, E= 0.68), did not differ significantly. Keywords: endemic, Gor ontalo, her petofauna, inventor y
61
Zoo Indonesia 2015. 24(1): 61- 71 Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi
biologis dan ekologisnya. Padahal, pengetahuan
PENDAHULUAN Sulawesi merupakan pulau paling unik
tersebut
diperlukan
sebagai
dasar
untuk
di wilayah Nusantara ditinjau dari sejarah
menentukan daerah penting prioritas konservasi
pembentukan geologi dan kekhasan biotanya.
dan
Pulau dengan garis pantai terpanjang diantara
lingkungan
lima pulau besar ini memiliki medan yang
strategi restorasi hutan.
membangun yang
kebijakan
pengelolaan
berkelanjutan,
termasuk
berbukit-bukit dan bergunung-gunung dengan
van Kampen (1923) melaporkan 22
sebagian kawasannya berlereng curam. Sejarah
jenis amfibi, de Rooij (1917) mencatat sekitar
geologinya
Sulawesi
43 jenis reptil (selain ular) tersebar di Sulawesi.
terbentuk atas dua serpihan lempeng benua
Herpetofauna Sulawesi yang telah tercatat
yang bertumbukan sehingga menjadi sebuah
sampai saat ini berjumlah sekitar 40 amfibi dan
pulau dengan bentuk sangat unik seperti saat
115 reptil, dan banyak diantaranya merupakan
ini. Perpaduan serpihan lempeng benua tersebut
satwa endemik (Iskandar & Tjan 1996).
diduga
Wanger
menyebutkan
berlangsung
pada
bahwa
massa
Meiosin
et
al.
(2011)
melaporkan
hasil
(Audley-Charles 1981). Sejarah geologi dan
penelitiannya selama tiga tahun di kawasan
kondisi
Sulawesi
Taman Nasional Lore Lindu terdapat 25 jenis
sebagai pulau yang sangat unik baik dari sisi
amfibi, dan 54 jenis reptil, mewakili 5 famili
geomorfologi maupun dari keanekaragaman
katak dan 13 famili reptil. Sedangkan di lepas
biotanya.
pantai Sulawesi Tenggara tercatat 74 taksa
iklim
telah
membentuk
Sebagai bagian dari daratan Sulawesi,
amfibia dan reptilia meliputi: 13 jenis katak, 29
wilayah provinsi Gorontalo juga diketahui
jenis bengkarung, 29 jenis ular, 1 jenis kura-
memiliki kondisi geologi dan tipe hutan yang
kura air tawar dan 1 jenis buaya. Jenis-jenis
kompleks. Berbagai bentuk tutupan lahan
endemiknya 38 persen (Gillespi et al. 2005).
dengan aneka flora dan fauna penyusunnya
Herpetofauna
membentuk suatu ekosistem hutan yang khas.
merupakan indikator lingkungan yang baik.
Dilaporkan bahwa banyak biota penyusun
Karakter biologis mereka yang mengandalkan
ekosistem daratan Sulawesi diketahui endemik
transfer partikel melalui kulit menyebabkan
kompleks. Pembentukan Sulawesi yang berasal
amfibi sangat rentan terhadap paparan polusi
dari beberapa lempeng geologi dan letaknya
dan kontaminan asing, dan kemungkinan bahwa
yang berada di antara dua zona geografi
perubahan mikrohabitat berpengaruh kepada
menyebabkan keunikan flora dan fauna yang
proses metabolisme mereka. Secara ekologi,
tidak dapat dijumpai pulau lainnya (Vane-Right
herpetofauna memegang posisi penting pada
& de Jong 2003; Whitten et al. 2002). Fauna
rantai makanan baik sebagai predator maupun
amfibi dan reptilia yang tersebar di Sulawesi
mangsa.
terutama
kelompok
amfibi,
perlu mendapat perhatian mengingat fungsi
Pada umumnya pulau utama lainnya di
ekologis. Belum banyak data herpetofauna
Indonesia, aktifitas pembalakan kayu dan
Sulawesi yang tersedia berkaitan dengan status
konversi lahan hutan di Sulawesi terjadi dalam
62
Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi Dadang Rahardian
kecepatan yang tinggi. Hutan-hutan primer
wilayah tutupan hutan dengan satu kesatuan
berkurang kuantitasnya dan mulai terbatas di
sistem tata air berupa lembah dan perbukitan
daerah-daerah yang diproteksi secara hukum
yang menyatu dengan aliran sungai-sungai
dan perbukitan yang sulit dijangkau. Seperti
diantaranya Sungai Papayato, Malango dan
halnya kawasan hutan bekas tebangan HPH PT.
Taluditi (Gambar 1).
Wenang Sakti yang menjadi lokasi penelitian di Kabupaten
Pahuwato,
Provinsi
Gorontalo
Secara
umum
pengkoleksian
terkonsentrasi di sungai yang terdapat pada
menunjukkan beberapa wilayah hutan primer
masing-masing
yang dikelilingi oleh mosaik hutan sekunder,
sebagai tipe hutan yang dianggap primer
perladangan, perkebunan dan pemukiman.
dataran tinggi, tegakan hutannya masih baik,
Tidak
ada
penelitian.
Tulidu
sebelumnya
sungai Hialioda’a yang ada di dalamnya
mengenai keragaman jenis herpetofauna di
mengalirkan air yang kualitas dan kuantitasnya
lokasi peneltian (Tulidu, Doyong, Dulamahe
masih baik, paling sedikit mendapat gangguan
dan Panianggata). Sedangkan penelitian yang
habitat dan aksesibilitas yang sulit dan jarang
pernah dilakukan di lokasi tersebut masih sangat
dikunjungi oleh masyarakat. Doyong (sungai
terbatas pada pengamatan vegetasi. Minimnya
Doyong, anak sungai Taluditi), Dulamahe dan
informasi
kurang
Panianggata merupakan hutan dataran rendah,
efektifnya pengelolaan kawasan ini, untuk
walaupun ketiga lokasi ini berjauhan namun
kepentingan restorasi hutan, bahkan untuk
menjadi
kepentingan
masyarakat
tersebut
ilmu
informasi
lokasi
menyebabkan
pengetahuan.
Dengan
jalur
yang
sering
dilalui
oleh
pencari
kayu,
rotan
dan
demikian tujuan utama penelitian ini adalah
penambangan,
karena
ke-tiga
lokasi
ini
untuk mengumpulkan data lapangan yang
berbatasan dengan pemukiman masyarakat.
meliputi keanekaragaman herpetofauna beserta
Secara umum ke-tiga lokasi ini kondisi
kondisi lingkungannya. Diharapkan data dan
vegetasinya agak terbuka dan terdapat bekas
informasi lapangan ini dapat menjadi masukan bagi upaya restorasi dan rehabilitasi areal hutan Blok Sungai Malango, Taluditi, Kabupaten Pohuwato, Provinsi Gorontalo. METODE PENELITIAN Survei herpetofauna dilaksanakan di empat lokasi (Tulidu, Doyong, Dulamahe dan Panianggata), Kabupaten Pahuwato, Provinsi Gorontalo,
termasuk
blok
hutan
Sungai
Malango – Taluditi yang merupakan sebagian dari areal eks HPH/IUPHHK PT. Wenang Sakti. Kawasan ini merupakan suatu bentang alam
Gambar 1. Peta lokasi survei herpetofauna di Pahuwato, Gorontalo; (1) Tulidu; (2) Doyong; (3) Dulamahe dan (4) Panianggata (Sumber: Google Maps, 2012).
63
Zoo Indonesia 2015. 24(1): 61- 71 Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi
penebangan pohon, medan yang dilalui tidak
teratur
terlalu sulit dibandingkan lokasi Tulidu.
menimbulkan
Secara geografis, areal kajian terletak
sepanjang
tahun
banjir
sehingga atau
tidak
kekeringan
(Partomihardjo 2009).
pada koordinat 121o 35’ - 121o 55’ BT dan 0o
Pengumpulan data di lokasi penelitian
o
40’ - 0 55’ LS. Berdasarkan administrasi
dilakukan oleh 3 orang selama tiga hari di tiap
pemerintahan termasuk dalam Kabupaten
lokasi
Pohuwato, Provinsi Gorontalo yang meliputi
mengkoleksi
tiga kecamatan, yaitu: Popayato, Lemito, dan
didalam transek sepanjang kurang lebih 1 km
Taluditi. Berdasarkan wilayah daerah aliran
dengan
sungai (DAS), termasuk dalam wilayah DAS
Penangkapan spesimen dilakukan pada bulan
Randangan. Batas-batas daerahnya adalah:
Agustus 2009 (bertepatan dengan musim
Sebelah Utara sebagai Hutan Lindung, sebelah
kering) dengan cara langsung dengan tangan
Timur merupakan IUPHHK PT. Acrisindo
kosong, maupun alat bantu tongkat untuk
Utama dan Hutan Lindung, sebelah Selatan
menangkap ular, karet gelang, lampu senter
merupakan Pemukiman UPT Marisa VI dan
(koleksi malam).
secara
oportunistik fauna
lebar
mencari
amfibia
jelajah
dan
dan
reptilia
sekitar
20
m.
areal penggunaan lain di wilayah Kecamatan
Pengkoleksian dilakukan pada waktu
Taluditi, dan sebelah Barat sebagai Hutan
terang hari (day light) dari pagi hingga petang
Lindung dan IUPHHK PT. Sapta Krida Kita.
(08.00-15.00) untuk jenis-jenis yang bersifat
Iklim
iklim
diurnal. Sedangkan untuk jenis-jenis yang
kajian
bersifat nocturnal dilakukan koleksi pada
mempunyai tipe iklim B (cukup basah) dengan
malam hari (in night) dari jam 19.00-23.00.
pola distribusi hujan hampir sepanjang tahun
Spesimen diawetkan dengan larutan formalin
dengan nilai Q= 3 (4 bulan kering). Nilai Q
5% sambil posisi spesimen diatur sedemikian
merupakan perbandingan antara jumlah rata-
rupa
rata bulan kering (< 60 mm) dan jumlah rata-
identifikasi dan pemeriksaan di kemudian hari.
rata bulan basah (>100 mm). Jumlah curah
Data meliputi lokasi, tanggal, pengumpul dan
hujan daerah tersebut per tahun mencapai
habitat masing-masing spesimen dicatat. Jenis
1.355 mm dengan jumlah hari hujan 167 hari.
yang
Curah hujan bulanan berkisar 11 – 234 mm
menggunakan panduan identifikasi Brown
dengan rata-rata bulanan 112,92 mm/bulan.
(1991); De Lang & Vogel (2005); de Rooij
Data iklim tersebut diperoleh dari stasiun
(1915; 1917); Horner (1992); Iskandar &
Meteolologi dan Geofisika Gorontalo tahun
Colijn (2000; 2001); Manthey & Grossmann
2003 (PT. Wenang Sakti 2004). Dengan
(1997);
McDiarmid et al. (1999); van
kondisi iklim seperti ini diperlukan suatu
Kampen
(1923).
pengelolaan daerah aliran sungai secara baik,
disimpan dalam larutan alkohol 70% di
agar tata air berlangsung dengan lancar dan
laboratorium
Schmidt
dan
menurut
klasifikasi
Ferguson,
areal
64
agar
mempermudah
tertangkap
dalam
diidentifikasi
Selanjutnya herpetologi
proses
jenis
spesimen Museum
Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi Dadang Rahardian
Zoologicum Bogoriense (MZB), Cibinong,
Wallis menggunakan bantuan program SPSS
Jawa Barat, Indonesia.
20 for Windows (Kurniawan 2012).
Keanekaragaman herpetofauna dinilai dari
indeks
diversitas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Shannon-Wiener
Herpetofauna yang berhasil dikoleksi
(Magurran 1988) dengan formula sebagai
sebanyak 23 jenis terdiri dari 7 jenis amfibi (4
berikut:
famili) dan 16 jenis reptil (6 famili)
H’=-∑ Pi Ln(Pi)
dari
Keteragan:
seluruh lokasi survei. Jumlah jenis tersebut
H’
= Indeks diversitas Shannon-Wiener
termasuk 4 jenis yang merupakan endemik
Pi
= Proporsi jenis ke-i
Sulawesi,
yaitu
Limnonectes
(1997)
Hylarana
mengklasifikasikan nilai diversitas sebagai
celebensis
berikut:
celebensis serta 2 jenis yang tercatat masuk
Brower
&
Zarr
celebensis,
modestus,
dan
Ingerophrynus
Coelognathus
erythrurus
<1
= Sangat rendah
ke dalam Apendiks II CITES yaitu V aranus
1 – 1,5
= Rendah
salvator dan Malayopython
1,5 – 2,0
= Sedang
reticulatus.
> 2,0
= Tinggi
status konservasi belum dilindungi dan masuk
Varanus
salvator
reticulatus mempunyai
Sementara untuk derajat kesamarataan jenis
dalam kategori least concern (IUCN) serta
digunakan
masuk Appendiks II CITES, Malayopython
indeks
kesamarataan
Simpson
(Colwell 2005) dengan formula sebagai
reticulatus
reticulatus
mempunyai
status
berikut:
konservasi sebagai hewan belum dilindungi dan tidak terdaftar (not listed) (IUCN) namun
E = H’/ Ln (S) Keterangan:
masuk Appendix II CITES. Jumlah jenis
E
= Indeks kesamarataan Simpson
herpetofauna terbanyak adalah di Doyong (17
H’
= Indeks diversitas Shannon-Wiener
jenis); kemudian Tulidu dan Panianggata
S
= Jumlah jenis yang ditemukan
(masing-masing 12 jenis) serta Dulamahe (10
Jika nilai Indeks kesamarataan (E) mendekati
jenis). Jika komposisi jenis tersebut dibedakan
1 maka menunjukkan jumlah individu antar
antara amfibi dan reptil, maka terdapat sedikit
jenis relatif sama. Namun jika lebih dari 1
perbedaan yaitu Doyong dan Panianggata
ataupun kurang maka kemungkinan besar
ditemukan lebih banyak amfibi (masing-
terdapat jenis dominan di komunitas tersebut.
masing 7 jenis) dibandingkan dengan Tulidu dan Dulamahe (masing-masing 5 dan 4 jenis);
Analisa
Data.
Untuk
perbedaan diversitas dan komunitas
herpetofauna
menentukan
sebaliknya jumlah jenis reptil tetap lebih
kesamarataan
tinggi di Doyong (10 jenis) dibandingkan
antara
Tulidu, Dulamahe dan Panianggata (masing-
lokasi
masing 7, 6 dan 5 jenis) (Tabel 1).
pengamatan digunakan analisis uji Kruskal-
65
Zoo Indonesia 2015. 24(1): 61- 71 Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi
Tabel 1. J enis Her petofauna yang Ter tangkap Selama Penelitian di Kabupaten Pahuwato, Provinsi Gorontalo No.
Suku dan Jenis
Tu
Lokasi Do Du
Pa
Habitat
Ekologi
Status
Dicroglossidae 1
Fejervarya cancrivora
12
7
12
8
Ak,T
Um, Ba
2
Limnonectes modestus Ranidae/katak
3
2
0
1
T
En, La
3
Hylarana celebensis
4
2
2
2
Ar,T
En, Ja
0
1
Ar/T
La
4
Hylarana mocquardii
0
2
5
Hylarana erythrarea
0
2
0
1
T
La
3
2
1
2
Ar
La
Ingerophrynus celebensis
5
10
13
27
T
En, Ba
Jumlah individu Amfibi
27
27
28
42
Jumlah spesies Amfibi
5
7
4
7
Rhachoporidae/katak 6
Polypedates iskandari Bufonidae/kodok
7
REPTILIA Geckonidae/tokek 1
Gekko gecko
1
1
0
0
Ar
Um
2
Hemydactylus frenatus
2
1
0
0
Ar
Um
3
Cyrtodactylus jellesmae
0
0
2
0
Ar/T
Ja
1
1
0
0
T
Ap Ja
Varanidae/biawak 4
Varanus salvator Scincidae/kadal
5
Emoia atrocostata
1
2
0
1
Ar/T
6
Lipinia noctua
1
1
0
0
T
7
Euthopis multifasciata
2
2
9
2
T
Ja
8
Eutropis rudis
0
0
2
1
T
Ja
0
0
1
0
Ar
Ja
Agamidae/kadal terbang 9
Draco spilonotus Colubridae/ular
10
Ahaetulla prasina
0
0
1
0
Ar
Ja
11
Dendrelaphis pictus
0
2
0
0
Ar
Ja
12
Coelognathus erythrurus celebensis
0
3
0
0
Ar
En, Ja
13
Psammodynastes pulverulentus
0
0
0
1
Ar/T
Ja
14
Rhabdophis callistus
0
2
0
0
Ar
Ja
15
Rhabdophis chrysargoides
0
0
2
1
Ar/T
Ja
Ar/T
Ap
Pythonidae/ular pyton 16
Malayopython reticulatus reticulatus
1
1
0
0
Jumlah individu Reptil
9
16
17
6
Jumlah spesies Reptil Total spesies Amfibi dan Reptil
7
10
6
5
12
17
10
12
Keterangan: Tu=Tulidu; Do=Doyong; Du=Dulamahe; Pa=Panianggata; En= Endemik; Pt= Pet/binatang kesayangan; Ki= Konsumsi; Pn= Perdagangan; Ap=Apendiks II CITES; Ak= Akuatik; T= Terestrial; Ar= Arboreal; F= Fosorial; Um= Umum.
66
Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi Dadang Rahardian
Keanekaragaman
dapat
kesamarataan Doyong sebesar 0,70, Tulidu
digambarkan dalam bentuk indeks diversitas
sebesar 0,72 cenderung mendekati 1 yang
(H’) dan indeks kesamarataan jenis (E). Tinggi
menandakan kesamaraatnnya cukup tinggi
rendahnya nilai indeks di masing-masing
atau kemelimpahan jenisnya relatif merata.
lokasi menandakan adanya perbedaan jumlah
Nilai indeks 0,58 untuk Panianggata dan 0,68
jenis
untuk
dan
jenis
kelimpahan
tiap
jenis
yang
Dulamahe
menandakan
komunitas
ditemukan di tiap-tiap lokasi. Hasil uji Kruskal
herpetofauna pada lokasi tersebut dalam
-Wallis
menunjukkan
bahwa
tidak
ada
kondisi labil, artinya kemerataannya rendah
diversitas
(H’)
dan
atau kelimpahannya tidak merata. Daget 1976
signifikan
mencatat bahwa nilai indeks lebih dari 0,75
diantara lokasi pengamatan (Doyong, Tulidu,
menandakan komunitas dalam kondisi stabil.
Panianggata dan Dulamahe) untuk komunitas
Hal ini menyatakan kemungkinan bahwa pada
amfibi, reptilia dan herpetofauna. Indeks
lokasi Panianggata dan Dulamahe sebagian
diversitas (H’) dan kesamarataan jenis (E)
besar
amfibi pada lokasi Doyong (H’= 1,68, E=
herpetofauna pendatang, sedangkan lokasi
0,87),
0,89),
Doyong dan Tulidu merupakan habitat yang
dan
utama bagi herpetofauna asli. Walaupun
Dulamahe (H’= 0,99, E= 0,80), tidak berbeda
demikian, penghitungan nilai indeks diversitas
signifikan. Begitu juga untuk reptilia, Indeks
herpetofauna
diversitas (H’) dan kesamarataan jenis (E)
hutan Doyong danTulidu memiliki nilai indeks
spesies reptilia pada lokasi Doyong (H’= 1,90,
tertinggi dibandingkan lokasi Panianggata dan
E= 0,98), Tulidu (H’= 1,50, E= 1,00),
Dulamahe (Gambar 2).
perbedaan
indeks
kesamarataan
jenis
Tulidu
(E)
(H’=
yang
1,43,
E=
Panianggata (H’= 1,09, E= 0,59),
Panianggata
(H’=
1,10,
E=
1,00),
dan
merupakan
dan
signifikan.
lingkungan,
herpetofauna,
yang
sama
juga
singgah
bagi
menunjukkan bahwa kawasan
Rendahnya keanekaragaman amfibi
Dulamahe (H’= 1,33, E= 0,83), tidak berbeda Hal
tempat
untuk
reptil
berkaitan iklim/cuaca
dengan yang
kondisi bertepatan
Indeks diversitas (H’) dan
dengan musim kemarau di keempat lokasi
kesamarataan jenis (E) herpetofauna pada
penelitian, pada saat penelitian berlangsung,
lokasi Doyong (H’= 1,99, E= 0,70), Tulidu
hanya jenis-jenis tertentu yang toleransi dan
(H’= 1,78, E= 0,72), Panianggata (H’= 1,41,
beradaptasi hidup di lokasi tersebut. Indeks
E= 0,58), dan Dulamahe (H’= 1,53, E= 0,68)
diversitas jenis dapat dijadikan indikator baik
tidak berbeda signifikan.
tidaknya kawasan hutan sebagai
Hasil
perhitungan
nilai
habitat
indeks
herpetofauna. Kawasan hutan Tulidu dan
kesamarataan komunitas herpetofauna setiap
Doyong menunjukkan daya dukung hutan
lokasi antara lain,
Doyong sebesar 0,70,
yang masih cukup baik yang ditunjukkan
Tulidu sebesar 0,72, Panianggata sebesar 0,58,
dengan nilai indeks diversitas masing-masing
dan Dulamahe sebesar 0,68. Nilai indeks
sebesar 1,99 dan 1,78.
67
Vegetasi hutan dan
Zoo Indonesia 2015. 24(1): 61- 71 Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi
sungai Hialioda’a dan paling sedikit mendapat gangguan
habitat
memiliki
nilai
indeks
diversitas sedikit lebih rendah dari Doyong. Doyong dan sungai Doyong (anak sungai Taluditi) yang kondisi habitatnya lebih rendah dari Tulidu, didominasi oleh hutan yang sudah banyak mengalami gangguan, namun nilai indeks diversitasnya cenderung lebih tinggi dibandingkan Tulidu. Komunitas herpetofauna yang paling miskin tercatat di Panianggata yang habitatnya didominasi perladangan, dan hutannya sudah banyak mengalami gangguan. Dapat
dikatakan
bahwa
komunitas
herpetofauna sangat dipengaruhi oleh kondisi habitat. Pada ekosistem hutan yang baik cenderung
akan
memiliki
Gambar 2. Nilai Indeks diversitas ShannonWiener dan kesamarataan Simpson untuk amfibi, reptil dan herpetofauna di lokasi survei.
herpetofauna
lingkungan
daya
pemukiman, namun jenis yang dijumpai
kehidupan
adalah jenis yang komensal dan mempunyai
dukung
sekitarnya
yang
mempunyai
memadai
bagi
Dengan
spesies
amfibia
lebih
demikian
beranekaragam.
biasanya
kepadatan
herpetofauna semakin tinggi pada habitat yang rusak
seperti
pada
perkebunan
dan
sebaran luas.
herpetofauna sebagai habitat kehidupannya. Untuk
yang
kelompok
Populasi
cenderung
dan
jumlah
jenis
dominan, dilokasi Tulidu didominasi oleh
herpetofauna akan berkurang pada dataran
spesies
tinggi, seperti Tulidu. Doyong, Dulamahe dan
Fejervarya cancrivora,
sedangkan
dilokasi Doyong, Dulamahe dan Panianggata
Panianggata
didomiasi
Komunitas herpetofauna yang paling miskin
oleh
spesies
Ingerophrynus
di
berada
di
Panianggata
dataran
celebensis. Sementara untuk spesies reptilia
tercatat
yang
cenderung relatif sama untuk lokasi Tulidu,
didominasi oleh perladangan.
rendah.
habitatnya
Doyong dan Panianggata, sedangkan pada
Perbedaan komunitas herpetofauna
lokasi Dulamahe cenderung didominasi oleh
teramati paling jelas dari kelompok amfibi.
spesies Euthropis multifaciata.
Hampir semua amfibi yang dijumpai adalah jenis generalis atau kosmopolit ( Gillespie et
Tulidu merupakan dataran tinggi yang didominasi
oleh
hutan
primer,
al.
tegakan
2005),
kecenderungan
hutannya masih baik, didalamnya terdapat
68
walapun
demikian
ada
terjadi
penurunan
dan
Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi Dadang Rahardian
kenaikan nilai dominansi dari tiga jenis
nilai dominasinya cenderung meningkat dari
amfibi, yaitu Fejervarya cancrivora, Hylarana
Tulidu yang hanya bernilai 18.52 % menjadi
celebensis
64,29 % di Panianggata (Gambar 3).
dan
Ingerophrynus
celebensis
(Gambar 3). Untuk spesies amfibia cenderung
Dapat
dominan, dilokasi Tulidu didominasi oleh
lingkungan
spesies
gangguannya
Fejervarya cancrivora,
sedangkan
dikatakan hutan
yang
cenderung
bahwa
kondisi
berbeda
tingkat
menunjukkan
dilokasi Doyong, Dulamahe dan Panianggata
perbedaan dalam kelimpahan jenis amfibi.
didomiasi
Ingerophrynus
Pada daerah yang relative terganggu akan di
celebensis. Sementara untuk spesies reptilia
dominasi oleh kelompok amfibi generalis.
cenderung relatif sama untuk lokasi Tulidu,
Sementara
Doyong dan Panianggata, s tercatat bahwa
ekosistem hutan primer umumnya hanya
perhitungan nilai dominasi untuk Hylarana
dijumpai
celebensis terjadi penurunan edangkan pada
keseluruhan habitat hutan primer yang tidak
lokasi Dulamahe cenderung didominasi oleh
terganggu relatif miskin akan jenis, namun
spesies Euthropis multifaciata.
komposisi jenisnya sangat khas dan unik.
Nilai
oleh
spesies
dominasi
untuk
jenis-jenis di
Tulidu.
khas
penghuni
Meskipun
secara
Fejervarya
Jenis-jenis herpetofauna yang tercatat
cancrivora cenderung naik dan turun, di
pada empat lokasi survei sebagian besar
Tulidu mencapai 44,44 % cenderung menurun
merupakan umum ditemukan pada relung
menjadi 25,93 % di Doyong naik kembali
ekologinya dan dapat menempati berbagai tipe
menjadi 42,86 % di Dulamahe dan turun 19,05
habitat.
%
herpetofauna
di Panianggata. Namun demikian dari
Walaupun
demikian
tersebut
komunitas menunjukkan
14,81 % di Tulido ke 4,76 % di Panianggata.
kecenderungan perbedaan komposisi di tipe
Kondisi yang berlawanan terlihat dari nilai
habitat yang berbeda. Tulidu sebagai tipe
dominasi Ingerophrynus celebensis, yakni
hutan yang dianggap primer dataran tinggi, tegakan
hutannya
masih
baik,
sungai
Hialioda’a yang ada di dalamnya mengalirkan air yang kualitas dan kuantitasnya masih baik, dan paling sedikit mendapat gangguan habitat, dapat menjadi tempat yang cukup baik bagi komunitas herpetofauna. Lokasi lainnya yang cenderung lebih variatif dari segi tipe habitat, mulai dari perladangan, hutan sekunder muda dan sekunder tua; dapat menampung lebih Gambar 3. Tingkat dominansi tiga jenis amfibi dominan pada lokasi survei (Tu= Tulidu; Do= Doyong; Du= Dulamahe dan Pa= Panianggata).
banyak jenis jika konektivitas dan kualitas hutan sekunder dapat terjaga. Secara umum kondisi Tulidu dan Doyong relatif masih utuh,
69
Zoo Indonesia 2015. 24(1): 61- 71 Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi
namun sudah mulai terganggu akibat kedua
merupakan endemik Sulawesi, yaitu Hylarana
kawasan ini sebelumnya pernah dibuka untuk
celebensis,
konsesi HPH dan sarana penunjangnya pada
Limnonectes
masa lalu. Habitat perairan seperti sungai-
erythrurus celebensis, serta
sungai merupakan ekosistem yang penting
tercatat masuk ke dalam Apendiks II CITES
untuk menjaga mikro habitat amfibi yang
(Varanus
tergantung dengan air. Hampir sebagian besar
reticulatus reticulatus). Tulidu sebagai tipe
amfibi (kecuali beberapa jenis reptil) yang
hutan yang dianggap primer dataran tinggi,
diperoleh dalam penelitian ini ditemukan
tegakan
berdekatan dengan perairan (sungai).
Hialioda’a yang ada di dalamnya mengalirkan
Ancaman
langsung
Ingerophrynus modestus,
salvator
hutannya
dan
masih
celebensis, Coelognathus 2 jenis yang Malayopython
baik,
sungai
terhadap
air yang masih bersih, dan paling sedikit
komunitas herpetofauna di wilayah ini tidak
mendapat gangguan habitat, dapat menjadi
terlihat saat penelitian dilakukan. Namun
tempat yang cukup baik bagi komunitas
beberapa lokasi memiliki potensi kerusakan
herpetofauna. Doyong merupakan dataran
habitat yang lebih tinggi, seperti Doyong,
rendah yang kondisi habitatnya lebih rendah
Dulamahe dan Panianggata karena daerah
dari Tulidu, didominasi oleh hutan yang sudah
tersebut
dekat
dan
banyak mengalami gangguan, namun nilai
menjadi
perlintasan
Aktifitas
indeks diversitasnya cenderung lebih tinggi
dengan
pemukiman
penduduk.
penebangan kayu dan pertambangan di sungai
dibandingkan Tulidu.
dapat menjadi sumber percepatan kerusakan habitat. Selain itu kemungkinan perluasan
UCAPAN TERIMA KASIH
lahan perkebunan dan perladangan juga sangat
Terima kasih kami ucapkan kepada
mungkin mengingat lanskap lokasi tersebut
koordinator Puslit Biologi LIPI Prof. Dr.
yang cukup datar dibanding dengan Tulidu.
Tukirin Partomihadjo dan Burung Indonesia,
Oleh
untuk
Bapak Muckhlis, E.P. Ramdhan. Kepada
mengkonservasi habitat perlu dipusatkan di
masyarakat Pahuwato yang membantu selama
hutan-hutan yang dekat dengan pemukiman
penelitian.
karena
itu
usaha-usaha
penduduk. DAFTAR PUSTAKA Audley-Charles, M. G. (1981). Geological history of the region of Wallace’s line. In T. C. Whitmore (Editor). W allace’s line and plate tectonic (p. 24-35). Oxford: Clarendon Press. Brower, J. E. & Zarr, J. H. (1997). Field and laboratory for general ecology. Portugue: W.M.C Brown Company Publishing. Brown, W. C. (1991). Lizards of Genus Emoia (Scincidae) with obsevation on their
KESIMPULAN Keanekaragaman reptil dan amfibi di hutan bekas tebangan HPH PT. Wenang Sakti teridentifikasi 23 jenis, yang terdiri dari 7 jenis amfibi (4 famili) dan 16 jenis reptil (6 famili) dari seluruh lokasi survei. Jumlah jenis dan anak jenis tersebut termasuk empat jenis yang
70
Inventarisasi Jenis Amfibi dan Reptilia di Kawasan Hutan Pohuwato, Gorontalo, Sulawesi Dadang Rahardian
Kurniawan, S. A. (2012). SPSS 20 A nalisis deskriptif and multivariate. Jakarta: Bisnis 2030. Magurran, A. E. (1988). Ecologycal diversity and its measurement. London: Croom Helm. Manthey, U. & Grossmann, W. (1997). Amphibien and reptilien Sudosiasiens. Muesnter: Natur & Tier -Verlag. McDiarmid, R. W., Campbell, J. A. & Toure, T. A. (1999). Snake species of the world: a taxonomic and geographic reference. Washington: Herpetologists League. Partomihardjo, T., Soeparno, S., Maharadatunkamsi, Irham, M. & Subasli, D. R. (2009). Kajian keanekaragaman flora-fauna dan analisis vegetasi hutan blok Sungai Malango – Taluditi, Kabupaten Pahuwato – Provinsi Gorontalo: pengumpulan data keanekaragaman hayati flora – fauna dan analisis vegetasi sebagai bahan masukan dalam program restorasi ekosistem kawasan hutan terdegradasi. Cibinong: Pusat Penelitian BiologiLIPI. (Tidak dipublikasikan). de Rooij, N. (1917). The Reptiles of the IndoAustralian Archipelago I, Lacertilia, Chelonia, Emydosauria. Leiden: EJ Brill. de Rooij, N. (1917). The reptiles of the IndoAustralian Archipelago II, Ophidia. Leiden: EJ Brill. van Kampen (1923). The amphibians of the Indo-Australian Archipelago. Leiden: EJ Brill. Vane-Right, R. I. & de Jong, R. (2003). The butterflies of Sulawesi: annotated checklist for a critical island fauna Zoologische Verhandelingen, 343:3267. [Online]. Diambil dari www.repository.naturalis.nl/ document/46743 [14 Oktober 2009]. Wanger, T. C., Motzke, I. Saleh, S. & Iskandar, D. T. (2011). The amphibian and reptiles of the Lore Lindu National Park area, Central Sulawesi, Indonesia. Salamandra, 47 (1), 17-29.
evolution and biogeography. San Francisco: The California Academy of Sciences and the Christensen Research Institute. CITES (2009). CITES species database. Diambil dari http://www.cites.org/ eng/resources/species. html. [17 September 2009]. Colwell, R. K. (2005). EstimateS (Version 7.5) [Software]. Storrs: University of Connecticut. Diambil dari http.// viceroy.eeb.uconn.edu/estimates/ index.html. Daget, J. (1976). Les modeles mathematique en ecologie. Paris: Collection d’Ecologie 8. De Lang, R. & Vogel, G. (2005). The snakes of Sulawesi: a field guide to the land snakes of Sulawesi with identification keys. Frankfurt: Edition Chimaira. Gillespie, G. S. Horward, D., Lockie, M., Scroggie & Boeadi (2005). Herpetofaunal richness and community structure of offshore islands of Sulawesi, Indonesia. Biotropica, 37(2), 279-290. Horner, P. (1992). Skinks of the Northern Territory. Darwin: Northern Territory Museum of Arts and Sciences. Iskandar, D. T. & Tjan, K. N. (1996). The amphibians and reptiles of Sulawesi, with notes on the distribution and chromosomal number of frogs. In D. J. Kitchener, & A. Suyanto (Editor), Proceedings of the first international conference on eastern IndonesiaAustralian vertebrate fauna (p. 3946). Perth: Western Australian Museum. Iskandar, D. T. & Colijn, E. (2000). Preliminary checklist of Southeast Asian and New Guinean herpetofauna: Amphibians. Treubia, 31(3), 1-133. Iskandar, D. T. & Colijn, E. (2001). Preliminary checklist of Southeast Asian and New Guinean reptiles Part I: Serpentes. Jakarta: The Gibbon Foundation. IUCN (2009). IUCN red list of threatened species. [Online]. Diambil dari <www.iucnredlist.org> [17 September 2009].
71