KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S II
BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H Di kamp tahanan juga terjadi besuk membesuk, tetapi muka para pembesuk tidak nampak ceria, yang nampak hanya muka-muka yang penuh dengan kecemasan. Metamorphosa pun terjadi di sini, seorang tahanan yang dulu masuk dengan tubuh sehat dan wajah utuh, sesudah diinterogasi, kepala yang bulat menjadi penuh benjolan, bibir tipis menjadi tebal, mulut pun menjadi monyong dan masih banyak perubahan lainnya yang terjadi. Dua tempat yang hanya berjarak beberapa puluh meter saja tetapi memiliki perbedaan yang benar-benar jungkir balik. Sungguh ironis!. Di benakku terbayang kebahagian si bapak dan si ibu muda saat menggendong buah hati mereka. Aku sendiri belum kenyang menggendong anakku, anakku baru saja bisa tengkurap saat aku tinggalkan masuk tahanan. Terbayang saat istriku datang tergopoh-gopoh menghampiri anak kami yang menangis keras karena terbangun dari tidurnya, untuk memberikan ASI-nya (Air Susu Ibu). Ya, kapan aku bisa pulang, berkumpul kembali dengan anak dan istriku?. Ingin aku berpanjang-panjang melamun, tetapi mendadak lamunanku terhenti, pak RT kamp mendatangiku, “Ada panggilan ke depan, dik.” Deg!, jantungku bergoncang keras, aku dipanggil, apa yang akan terjadi?. Berusaha aku menahan goncangan di dada, kutekan dan kudekap dadaku. Ku siapkan mental, aku harus tetap menjawab “tidak” untuk setiap pertanyaan yang memang aku tak tahu, tak mengerti dan tak kukenal. Bulat sudah tekadku, aku siap. “Tenang dik,” kata pak RT, “Kancane akeh kok!” Ternyata ucapan “kancane akeh kok” cukup memberikan semangat dan kekuatan mental bagiku. Jam 10 pagi, jatah makan siang belum datang, praktis aku belum makan, tapi aku nggak lapar. Jam 10 pagi adalah saat-saat sibuknya orang bekerja, setiap pegawai sipil atau militer sudah duduk membelakangi meja kerjanya masing-masing. Aku masuk ke sebuah ruangan dengan diantar oleh seorang petugas. Nampak di sebelah kiri pintu masuk si gempal sudah duduk menanti. Di samping kanannya seseorang berpangkat Letnan mendampingi, dan sepucuk pistol Fecrus tampak tergeletak di atas meja. “Nah duduk bung,” katanya. “Sehat, nggak sakit kan ?, krasan di sini?” layaknya kayak ngomong dengan kenalan lama saja. “Sehat pak” “Sudah sarapan?, kalau belum nanti sarapan di sini, ya” “Ya pak”
“Begini, saya mau tanya sama bung, kenapa bung ditangkap?” Bukan main pertanyaannya, aneh!, dia yang menangkapku, tapi sekarang malah dia yang tanya kenapa aku ditangkap. Luar biasa!. “Maaf pak, saya nggak ngerti maksud bapak, mestinya yang perlu tanya itu justru saya pak, mengapa saya ditangkap?” “Boleh, boleh juga jawaban bung, baik saya teruskan pertanyaan saya. Bung, bekerja di sebuah percetakan koran, betul kan ?, percetakkan itu juga mencetak buku-buku PKI kan ?. Nah, waktu terjadi peristiwa G.30. S/PKI, apa yang dilakukan Harian Rakyat?, masih aku simpan HR terbitan 1 Oktober 1965,bung. Nih lihat!” Ku lihat sebuah karikatur, seorang bertuliskan Dewan Jendral dipukul roboh oleh sebuah kepalan tangan yang bertuliskan Dewan Revolusi. “Bung kan sudah belajar dialektika?. Kalau bung, bekerja di percetakkan HR, yang PKI itu dan HR menyokong pemberontak dan bung adalah orang yang mengirimkan, menyebarkan dan membagikannya keseluruh negri, kok nggak ngerti kenapa ditangkap. Di mana dialektikanya?” “Ya pak, soal saya mengedarkan koran itu kan memang pekerjaan saya setiap hari, karena itu memang tugas saya sebagai pegawai di bagian expedisi. Jadi apa pun isi dan berita HR itu ya saya mesti mengedarkan, mengantar dan mengirimnya. Lha kalau soal mengedarkan, kan bukan saya saja pak, agen-agen dan penjaja koran juga mengedarkan” “Ya saya ngerti, tetapi bagi agen atau penjaja koran, mereka itu kan tidak lebih dari kerja cari makan, lain dengan bung, bung mempunyai kesadaran politik. Bung dan kelompok bung itu tidak bisa dipisahkan dengan HR” “Pak, pada hakekatnya saya juga cari makan, saya hanya pekerja yang digaji” “Sama bung dengan saya, saya juga cari makan sebagai TNI, saya juga digaji, tetapi sebagai seorang prajurit RI saya sadar, saya harus melaksanakan tugas, menyelamatkan Republik ini. Baik bung, ngerti atau tidak ngerti bung sudah ditangkap. Bung, saya ini adalah salah satu orang yang tahu benar isi perutnya PKI, saya ngerti semua, apa yang ada di kantor CC di Kramat 81 itu. Bung tahu 81 sudah kecolongan. Dulu saya biasa membebaskan kawan-kawan bung yang ditahan oleh DPKN. Jadi kalau saya menyakan itu ini, itu hanya semata-mata untuk menguji kejujuranmu” Kata “bung”nya sudah hilang kini berganti dengan “mu”. “Kamu kenal orang yang bernama Baho, nggak?” “Kenal pak” “Di mana dia?” “Nggak tahu pak, saya kenal dia bukan dalam arti bergaul, saya kenal hanya sebatas rupa dan namanya saja, saya kenal hanya semata-mata karena satu kantor, yang setiap harinya bertemu. Dia seorang kepala, sedang saya hanya pegawai bawahan. Sama halnya kalau saya kenal nama dan rupa presiden, tetapi presiden tidak kenal saya”
“Boleh juga orang ini, sudah diindoktrinasi ya?, kamu dengar suara apa di ruang sebelah itu?” Dari ruang sebelah terdengar suara orang berteriak-teriak “Ampun,pak!”, lalu suara bak buk, dar der dor, grobyak!, “ayo ngaku nggak!” Rupanya mereka sedang berusaha menjatuhkan mentalku. Aku nggak tahu apakah suara-suara itu benar-benar suara seorang tahanan yang sedang diinterogasi dan disiksa atau hanya sebuah sandiwara saja. Aku nggak peduli, bermodalkan kata “kancane akeh kok”, tekadku makin bulat dan mengeras. Hayo silahkan!. “Kamu kenal sepasang suami istri yang bernama Marzuki?” “Kenal pak” “Mereka ini pernah ngumpet di rumahmu kan ?. Kamu tahu, kalau mereka sedang diburu oleh aparat?, kenapa nggak kamu laporkan mereka pada aparat setempat?” “Mereka itu sebagai ganti orang tua saya, pak. Mereka telah membesarkan dan menyekolahkan saya. Saya ingin membalas budi, lagi pula mereka datang kerumah saya semata-mata hanya untuk menengok istri saya yang baru melahirkan, waktu mereka mau pulang, turun hujan deras, jadinya mereka terpaksa menginap. Saya tidak ada urusan dengan soal lapor melapor” “Kamu ngerti catur?” “Ya pak, cuma ngerti, tapi tidak pintar” “Kamu tahu, kalau rajanya sudah mati, apa guna dan fungsi pion dan lain-lainnya?, nggak ada!, kamu kok ngotot mau melawan terus, percuma!” Aku diam tak menjawab. “Kamu pernah ketemu dengan bu Marzuki di rumah si Kasim, di bilangan Polonia, ada urusan apa?, dapat tugas ya?” "Aneh, tahu semua dia?" “Saya ditawari untuk bekerja di pabrik tahu” “Bagaimana caranya kamu bisa menemui bu Marzuki di rumahnya si Kasim?” “Ibu Marzuki yang datang ke rumah saya” “Kamu tahu di mana persembunyian dia?” “Dia tidak pernah ngomong soal di mana dia menginap” “Kalau kamu tidak tahu di mana persembunyiannya, bagaimana caranya kamu bisa sering ketemu?” “Kasim yang sering datang ke pabrik tahu menemui saya”
“Berani kamu, aku konfrontir dengan si Kasim?” “Berani pak” Tapi ternyata sampai selesai interogasi dengan segala bentuk siksaannya, orang yang bernama Kasim itu tak pernah dihadirkan. “Semua yang kamu katakan itu bohong, aku yakin kamu tahu benar tentang di mana ibu Marzuki ini bersembunyi, kamu sudah melaksanakan GTM (Gerakan Tutup Mulut) dengan baik. Tapi kamu masih aku beri kesempatan, pikir baik-baik, kamu sebagai pion yang sudah tidak berfungsi akan aku fungsikan kembali. Bantu saya, waktunya lima menit” “Bantu apa pak?, kalau membantu untuk keperluan kantor seperti mengetik misalnya atau nyapu dan bebenah saya bisa pak” “Eh, bener-bener ulet gombal amoh ini. Itu bantuan fisik monyet!, yang kuminta adalah kamu membantuku secara moril, beri aku informasi, ngerti bangsat!” Rupanya kesabarannya mulai menipis, keberangan mulai tampak di mukanya. Seorang pekerja sipil dipanggilnya. “Eh, Madori sini!, ada tugas untukmu” Yang dipanggil datang, orangnya biasa-biasa saja, cuma bermuka cemberut. “Siap be, ada tugas apa?” Si gempal yang dipanggil “be” kependekan dari kata “babe”, tampak makin besar kepala. “Ambil kerokkan itu di atas lemari, saudara kita ini belum sarapan, dia masuk angin rupanya, perlu kerokkan”. Dia mengambil apa yang diperintahkan. Benda keras sepanjang kira-kira setengah meteran lebih sedikit. Kuperhatikan, ternyata benda itu adalah buntut seekor ikan pari, yang kasar seperti kikir. “Saya kasih lagi kesempatan waktu tiga menit lagi” Waktu tiga menit pun berlalu, aku tetap diam seribu bahasa. Lalu di bawah komando hitungan satu, dua, tiga. Madori dengan buntut ikan pari di tangannya mulai beraksi. Aku diperintahkan membuka baju, telanjanag dada, hanya tinggal celana dalam saja yang menempel. Dengan posisi kaki tetap berdiri, dada telungkup di meja, dengan kedua tanganku menjadi bantalnya. Mula-mula betis kanan dan kiri yang menerima hajaran, jebret!. Terasa panas sekaligus pedih bukan main. Kedua betisku terus dihajar dan dihajar, kedua kakiku mancal-mancal. Sabetan diteruskan, sekarang buntut ikan pari bergerak menuju ke atas, kini kedua pahaku yang dihantam, sabet terus berulang-ulang. Buntut pari gremet ke atas lagi, sekarang punggungku yang telungkup di meja seperti alas mencacah daging untuk bedel goreng yang jadi sasaran. Setiap sabetan pertama yang mengenai bagian tubuhku terasa panas, pedes dan nyerinya tujuh kali lipat dibanding bagian tubuh lain yang sudah berkali-kali menerima sabetan. Daging betis, paha dan punggungku terasa kebal bila diraba, kayak nggak terasa lagi, barangkali saraf-sarafnya sudah mati rasa. “Bangun!” bentak Madori. Aku bangun dari posisi telungkup, mukaku tepat berhadapan dengan mukanya. Tiba-tiba,
bet!, tanpa komando tinju kanannya mengenai bibir atasku bagian kiri, glosor!, aku jatuh terlentang. Kemudian tanganku ditariknya, pundaknya menyangga dadaku. Kembali tanpa peringatan, tubuhku dilemparnya ke arah pintu, brak!. Punggung dan kepalaku berbenturan keras dengan pintu. Terakhir kali ibu jari kedua kakiku diinjak sekeras-kerasnya dengan hak sepatu. Tidak usah diomong lagi soal rasa sakitnya, setengah kelenger!. Kembali dengan bermodalkan kata “kancane akeh kok”, hatiku bicara: “ayo teruskan, legane atiku, kau tak akan memperoleh kakap dari seekor cacing, jangankan kakap, seekor teri pun tak akan pernah kau dapatkan! “ Puas nampaknya si algojo, Madori,menghajarku, dengan santai ia bertanya pada si gempal, “Diteruskan nggak be?” “Berhenti dulu, kasih kesempatan si bangsat ini untuk berpikir” Lalu aku disuruh berpakaian dan kembali ke kamp untuk beristirahat, aku dikawal menuju kamp tahanan kembali. Sampai di halaman kantor, ada sebuah jip mogok, badan yang sudah tak karuan rasanya, masih juga disuruh bantu mendorong jip itu. Di pagar tembok yang membatasi jalan besar dengan kantor Kodim, tampak seseorang berdiri bertolak pinggang, postur tubuhnya sebesar aku juga. Saat aku melintas, aku menengok ke arahnya, orang itu tersenyum seraya berkata, “He bung!, bagaimana kabarnya zus Mul (istriku) di rumah?” Aku tak menjawab, ternyata dia adalah si Kasim, pemilik rumah di Polonia. Hatiku berkata, “Bangsat kau!, kau jebloskan aku demi keselamatan dirimu sendiri. Yah tunggu sajalah akan nasibmu nanti, bangsat!. Akan berapa lama kau bisa menjadi manusia yang bebas malangmelintang di negri ini, mungkin selama kau masih bisa dan mampu menyerahkan orang-orang yang dicari oleh penguasa, selama itu kau boleh bebas berkeliaran. Tapi manakala kemampuanmu telah habis, kau sendiri yang akan menjadi gantinya. Benar juga adanya, di kemudian hari aku dengar si bangsat Kasim ini, akhirnya menjadi penghuni penjara juga, menyusul teman-teman yang telah dikhinatinya dan ia mengalami nasib yang jauh lebih hina. Betapa tidak, setiap tahanan yang melewati selnya yang selalu tertutup itu, selalu saja memberi hinaan yang sangat nista, perkataan, “Sudah mandi bung?, nih air buat mandimu!” yang diikuti dengan siraman seember air kotor ke dalam selnya melalui jendela, adalah sapaan sehari-harinya atau seringkali tahanan lain melemparkan puntungan rokok ke dalam selnya. Satu saat ada yang sengaja melemparkan bangkai tikus kepadanya, bahkan ada juga yang menyiramkan air kencing kedalam selnya. Begitulah kehinaan yang didapat bagi seorang pengkhianat. Penguasa sudah tak membutuhkannya lagi, di dalam penjara mendapat cacian dan hinaan dari sesama tahanan. Dan kehinaan ini pun harus ditanggung pula oleh anak dan istrinya. Dasar pengecut!. Penguasa tetap penguasa, cecunguk tetap cecunguk, tempatnya tetap, masing-masing ada pagar sekatnya. Penguasa tidak pernah puas dengan pemberian cecunguk. Hari ini dia minta satu, besok dia minta dua, jika hal ini dipenuhi oleh si cecunguk maka, lusa dia akan minta empat, sepuluh, dua puluh dan seterusnya, hingga akhirnya mentok, jika kemampuan si cecunguk untuk memberi sudah habis ludes, maka habis pulalah kebebasannya. Sesampai aku di kamp, aku disambut oleh Pak Jul, dia seorang redaktur luar negri HR,
ditempelkannya bibirnya ke telingaku, lalu bisiknya , “Kowe lanang tenan”. Ya, cuma itu bisiknya. Dia melihat mulutku yang menjadi monyong dan kepala yang penuh benjolan. Dari ceritanya aku tahu, Pak Jul masuk kamp tahanan ini bukan karena ditangkap oleh tim Kalong, tetapi ia terpaksa menyerahkan diri, sebagai pengganti anak perempuannya yang disandera oleh aparat. Rasa kebal kulitku mulai berkurang, panas dingin mulai terasa menjalari seluruh tubuhku. Seorang teman menghampiri, memberiku minuman beras kencur, segar sekali rasanya. Dalam keadaan darurat, beras kencur adalah obat yang memadai, beras kencur selalu tersedia di kamp ini, diperoleh dari keluarga yang datang membesuk. Airnya enak diminum dan ampasnya bisa dipakai untuk melulur tubuh yang sakit. Oleh teman bajuku dilepaskan, lalu seluruh tubuh mulai dari kaki sampai tengkuk dibalurnya dengan ampas beras kencur. “Jangan kenceng-kenceng bung balurnya, nyeri dan sakit rasanya” Saat kulit terasa kebal, dipegang memang nggak terasa, tapi sekarang setelah rasa kebal berkurang, jangankan dipegang, diraba saja sakitnya bukan main. Begitulah keadaanku, setelah diinterogasi dari jam 10 pagi hingga jam 4 sore, jadi tidak kurang dari 6 jam aku harus menghadapi singa-singa lapar.Ternyata waktu aku sedang diinterogasi oleh si gempal, keluargaku datang membesuk, karena aku belum kembali, tentu saja aku tak ketemu. Dengan keadaan seperti itu, makanan kiriman dari keluarga akhirnya tak termakan, apa lagi jatah makan dari Kodim, karena mulutku yang nyonyor susah sekali dipakai untuk mengunyah, akhirnya aku hanya menyeduh kopi dan menghisap bako lintingan. Rasanya kok nikmat sekali. Tembakau lintingan biasa disebut “rara ireng”. Sahabat karibku yang tinggal di dekat rumah suka menitipkan rara ireng untukku, setiap kali besukkanku datang pasti ada rara irengnya, sehingga besukkanku dikenal dengan sebutan besukkan rara ireng. Kalau sudah begitu, berdatanganlah teman-teman sekamp, ngeriung ramai-ramai ngisep rara ireng. Waktu berjalan terus tanpa henti, aku belum dipanggil lagi, walaupun sudah lebih dari sebulan aku beristirahat. Kesehatanku mulai pulih, canda, nyanyi, nembang serta saling bercerita menjadi pengisi waktu, sambil menunggu nasib yang tak menentu.. Sebenarnya sebelum aku masuk kamp tahanan, keadaan di luar sudah berbalik arah. Gerakan September hanya berumur sehari- semalam. Masa yang tadinya berteriak, “Kembalikan Soekarno!, Langkahi dulu bangkai kami sebelum menyinggung Soekarno!”, sekarang telah berganti dengan kata-kata, “Mundur Soekarno!, Ganyang, dan Gantung Soekarno!” Berulangkali para demonstran itu berunjuk rasa di sekitar kamp. Di depan Kodim pun teriakan-teriakan histeris para demonstran berlangsung terus, “Babat dan sikat habis tahanan PKI”, kami pun cemas, kami bersiap diri, kami persiapkan pikiran dan mental kami. Apa boleh buat, apa pun jadinya seandainya para demonstran itu masuk, menyerbu ke dalam untuk membunuh kami, sedapat kami buat, kami akan mempertahankan diri. Syukurlah penyerbuan yang kami khawatirkan itu tak pernah terjadi.
Lebih dari empat bulan aku menghuni kamp tahanan Kodim Budi Kemuliaan. Rupanya kami akan segera dipindahkan. Perintah mengosongkan kamp segera dilaksanakan, kami pun bersiap-siap pindah, kemana?, nggak tahu. Kalau si bapak dan si ibu muda dalam lamunanku, meninggalkan rumah sakit Budi Kemuliaan menuju ke rumah tinggalnya, bersama si kecil dalam dekapan. Sedang kami menuju kemana?. Tunggu pada saatnya akan kau ketahui. SALEMBA Saatnya tiba, kami diperintahkan bersiap-siap untuk segera berangkat, meninggalkan kamp Budi Kemuliaan. Saat itu pagi hari, truk untuk mengangkut kami telah siap, tiga sampai empat truk parkir berderet. Berbondong kami keluar meninggalkan kamp, naik dan masuk ke atas bak truk, kami diperintahkan duduk, tidak boleh berdiri. Perpindahan ini begitu mendadak, sehingga kami tak sempat memberitahu keluarga, tapi kami sendiri pun bingung, tak tahu kemana kami akan dipindahkan. Truk yang mengangkut kami mulai jalan, kami semua tidak tahu rute mana yang dilalui truk, tapi hanya selama tak lebih dari setengah jam perjalanan, truk berhenti, kami diperintahkan segera turun. Ternyata kami ada di bilangan kawasan Matraman, lebih jelasnya adalah Salemba, persis di depan kantor Pharmasi, tempat aku pernah bekerja dulu. Sebuah bangunan penjara dengan tembok tinggi di sekelilingnya, orang menyebutnya RTC (Rumah Tahanan Chusus). Aku teringat pada kejadian dimasa lalu, dulu sewaktu aku masih berusia kira-kira 10 atau 11 tahun, saat itu aku sudah bisa membantu emakku, membawakan barang dagangan ke pasar. Setiap hari aku bersama emak berjalan kaki dari rumah ke pasar untuk berdagang, dan setiap kali kami menuju pasar kami pasti melewati jalan di depan sebuah penjara. Bangunan yang di kelilingi oleh tembok tinggi, dan di setiap sudut tembok ada menara penjagaannya, pintunya bercat hitam dan selalu tertutup. Orang-orang kampung menyebutnya dengan “lawang ireng”. Anak-anak sebayaku bila bermain dan bersenda gurau, suka dengan olok-olokan “Ayo, tangkap si Kemin lebokne lawang ireng!”, (Ayo tangkap si Kemin, jebloskan ke penjara!). Perjalanan dari rumah ke pasar tidaklah jauh, setiap kali kami sampai di depan penjara, aku selalu mencium bau nasi yang baru matang, baunya gurih banget. Suatu saat pernah aku bertanya kepada emak. “Mak, dalamnya penjara itu kayak apa sih, mak?, aku pengin tahu dan lihat dalam dan isi penjara” “Hus!” kata emak, “Kepengin kok pengin lihat dalamnya penjara, ya nggak tahu. Kalau punya kepenginan itu ya yang baik. Eeh, kepengin jadi juru tulis atau kepengin jadi guru, kalau kau jadi juru tulis atau guru, kau akan jadi priyayi dan nanti kau akan dipanggil dengan sebutan ndoro juru atau den guru. Dasar bocah bodoh, kepengin kok kepengin tahu jerone mbuen!” Maklum orang kampung, zaman itu masih zaman penjajahan Belanda, jika seseorang punya anak yang menjadi guru atau juru tulis itu merupakan kebanggaan bagi orang tua. “Kalau kau kepengin tahu dalamnya penjara, sana tanya sama pakdemu” “Memangnya pakde tahu dalamnya penjara, mak?” “Bukan tahu lagi, pakdemu itu malah wis kawakan di penjara”
“Memangnya kena apa mak, pakde kok kawakan di penjara?” “Pakdemu itu biasa disebut orang “dukdeng”, jago berkelahi, tukang bacok. Nah pada suatu saat dia kalah judi, uangnya habis ludes buat berjudi, sebagai petugas penarik uang sapon (uang kebersihan) di pasar, uangnya nggak dia setorkan pada atasannya, tapi malah dipakainya habis untuk main judi, pakdemu itu nggak bisa baca tulis, tapi karena kemampuannya dalam mengatasi setiap ada masalah dan keributan di pasar, maka itu dia dipercaya oleh guverment untuk menjadi tukang pungut uang sapon. Satu saat dia harus menghadapi pengadilan, dengan tangan diborgol dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di meja hijau. Ketika seorang saksi memberikan kesaksian yang memberatkannya, pakdemu bangkit dari kursinya, dengan menggunakan borgol besinya si saksi dihajarnya habis-habisan oleh pakdemu, akibatnya tambah beratlah hukuman yang dijatuhkan pada pakdemu, pakdemu akhirnya dibuang ke Nusa Kambangan.” Kini setelah 25 tahun berlalu, di saat aku telah genap berusia 36 tahun, keinginanku untuk mengetahui isi dan dalamnya penjara, kesampaian juga, tidak hanya sekedar untuk melihat isi dan dalamnya penjara, tapi aku benar-benar menjadi penghuninya, untuk berapa lama?, ya nggak tahu. Karena aku masuk penjara bukan berdasarkan hasil vonis yang dijatuhkan oleh pengadilan. Ya aku memang tidak pernah diadili, aku hanya diinterogasi, digebuk, dipukul, dijotos, ditendang, dibanting dan dicambuk dengan buntut ikan pari, setelah itu aku disuruh tanda tangan, terus masuk penjara. Jadi soal berapa lama aku akan menjadi penghuni penjara, ya nggak tahu, nggak jelas. Sangat mungkin aku akan lebih kawakan dalam hal masuk penjara dibandingkan pakdeku, mungkin pula aku juga bisa dibuang ke Nusa Kambangan seperti beliau. Hal pertama yang aku perhatikan saat kakiku menjejak halaman penjara adalah pintu penjara yang biasanya selalu tertutup, kulangkahkan kakiku, ternyata dibalik pintu yang selalu tertutup itu masih ada beberapa pintu lainnya. Pintu pertama, adalah pintu pagar pembatas antara jalan dengan halaman penjara. Pintu ke dua adalah pintu yang sangat kokoh, di balik pintu ke dua ini di kiri kanannya ada ruang kantor yang dibelah oleh jalan yang tembus ke belakang. Untuk keluar dari ruang kantor, kami harus melalui pintu ke tiga hingga sampai di sebuah halaman, dimana rombongan para tahanan harus dihitung serta diperiksa barangbarang bawaannya, di sini kami harus menyerahkan sepatu, ikat pinggang, dan kalau ada benda-benda tajam seperti silet, jarum bahkan sepotong peniti dari kawat pun harus diserahkan pada petugas penjara. Selesai pemeriksaan dan penyerahan barang-barang yang dilarang, kami memasuki pintu ke empat, kali ini kami sampai di sebuah lapangan luas. Lapangan yang biasa dipakai untuk olah raga atau upacara bendera, dan juga digunakan sebagai lapangan untuk shalat Jumat atau shalat hari raya bagi para tahanan, lapangan ini dikelilingi oleh bangunan-bangunan yang sama ukuran dan bentuknya dengan tulisan huruf “A” sampai “R”. Bangunan inilah yang disebut dengan “Blok”. Pintu ke lima adalah pintu yang menuju halaman blok, nah di halaman inilah terletak sel-sel penjara dengan pintunya yang paling kokoh, pintu ke enam atau pintu terakhir. Rombongan kami dipecah-pecah untuk masuk ke blok yang sudah ditentukan. Rombonganku kebagian masuk ke Blok-E, blok khusus untuk tahanan kriminal. Petugas pengantar kami selain petugas sekuriti disertai pula oleh seorang petugas yang setiap harinya bertugas menutup dan membuka pintu sel dan pintu blok. Petugas ini seorang tahanan juga, dia dari kesatuan RPKAD, badannya kekar, namanya Kaslan. Di blok-E inilah aku bertemu dengan bung Baho dan adiknya bung Polin. Baho sebenarnya adalah sebuah nama Marga, namanya
sendiri aku nggak tahu. Bung Baho inilah yang dulu pernah ditanyakan keberadaannya oleh si gempal, disamping bung Dahono yang rumahnya pernah ditanyakan padaku saat di bilangan Bukit Duri. Selain bung Baho, bersamaku ada pula seorang BTI, bernama pak Alex yang sejak di kamp Budi Kemuliaan telah berkumpul denganku. Menurut mas Kaslan, si RPKAD, blok-E, adalah blok yang paling keras, satu-satunya blok yang sering terjadi perkelahian antar sesama para tahanan kriminal. Mas Kaslan menyalami pak Alex, “Ooh Pak Iskandar.” Kebetulan mereka berdua berasal dari satu daerah yang sama, Cepu. “Eh, jangan panggil aku Iskandar, panggil saja aku Alex.” Mas Kaslan pun mengangguk. Aku juga baru tahu kalau nama aslinya pak Alex adalah Iskandar. Kebetulan postur tubuhnya pak Alex ini lumayan besar, ia juga piara kumis, melintang kayak ekor ketonggeng (kalajengking), orang kampungku menyebut kumis semacam ini dengan sebutan ‘brengose nonggeng’ (kumisnya kayak ekor ketonggeng). Dan dari keterangan-keterangan mas Kaslan inilah akhirnya bung Baho menokohkan pak Alex, manakala terjadi keributan di Blok-E. Pak Alex memang mempunyai ilmu bela diri, terutama silat. Mas Kaslan selanjutnya menjelaskan agar kami tak perlu khawatir jadi penghuni Blok-E. “Ini hanya sementara saja kok, teman-teman yang lain, dulu sebelum menempati blok yang lain, juga transit di blok ini. Tenang teman-teman, nggak usah khawatir, ada saya kok” Penghuni Blok-E ini dikenal dengan julukkan “Nisan Boy”, mereka berasal dari anggota TNI Angkatan Darat, Brimobnya juga banyak, umumnya mereka berbadan kokoh dan tentunya memiliki kelebihan dalam soal berkelahi. Mereka ini menjadi narapidana karena kasus pencurian mobil Nisan. Selanjutnya mas Kaslan berkata, "Mereka pernah kutantang, ayo siapa yang paling jantan, dengan tangan kosong ayo maju dua sekaligus, jika dengan sebilah belati di tanganku ayo silahkan maju empat orang . Tapi tak seorang pun dari mereka yang bergerak.” Sepengetahuanku, anggota RPKAD adalah satuan yang dididik khusus untuk berkelahi. Dua malam sudah aku menjadi penghuni sel di Blok-E bersama bung Baho, pak Alex, bung Polin dan teman-teman lainnya, tujuh orang dalam satu sel. Tembok sel ini sedemikian kerasnya, tebal lagi. Pintunya terbuat dari plat besi setebal setengah centi meter, rangkap dua. Plafonnya dari beton dan gentengnya buatan Karangpilang-Surabaya, dilindes motor pun tidak akan pecah. Jadi bagaimana mungkin seorang tahanan bisa melarikan diri dari penjara?. Kalau bisa keluar dari sel pun masih harus menembus lima pintu lain yang juga sama kokohnya, belum lagi mesti harus menghadapi para penjaga. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa ternyata banyak juga tahanan yang bisa meloloskan diri dari penjara, yang jelas mereka bisa keluar dari penjara ini bukan dengan menjebol tembok ataupun membongkar pintu penjara, melainkan mereka menjebol mental para petugas penjara. Bahkan bukan hal yang aneh jika ada kejadian, seorang tahanan atau narapidana bisa pulang ke rumah, menghamili istrinya. Tak kurang dari sebulan aku tinggal di Blok-E, saling tegur sapa dengan para tahanan kriminal pun terjadi. Satu ketika, kiriman dari keluarga datang, kami ajak mereka makan bareng-bareng, menawarkan sepotong tempe goreng, ubi rebus atau tembakau selintingan, kami ngobrol dengan baik. Bahkan kepala bloknya dengan bercanda pernah bertanya padaku,
“Apakah bapak punya dua istri?” “Nggak,” aku bilang “Lha ini ada besukkan dua kali, semuanya atas nama bapak” “Oh itu toh!, ini besukkan yang pakai tas ini memang besukkan dari istri saya, sedang yang satu ini besukkan dari saudara perempuan saya.” Ya, memang ketika itu aku pernah menerima dua kali besukkan, besukkan itu hanya serantang nasi, sambal, tempe goreng dan serantang sayur asem, aku yakin benar kalau besukkan ini adalah dari mbakyu sebelah rumahku, istri sahabatku. Tandanya dari bungkus besukkan yang berupa taplak meja dan aku kenali betul taplak itu milik mereka. Sengaja tak kukembalikan bungkus besukkan itu, aku sangat memerlukannya, buat bungkus pakaian sekaligus untuk bantal di saat tidur. Kepala blok aku ajak makan bareng, kubagi dia sayur asem, kutawari pula sambel dan tempenya. Sambil makan ia ngomong, “Bagaimana pak, seandainya kita bebas nanti, kita bekerja sama?” “Kerja sama apa?” “Saya akan kembali meneruskan profesi saya. Biasa pak, nyabet mobil lagi. Kalau tidak karena kecerobohan teman saya, tidak mungkin saya akan tertangkap. Gampang pak soal bobol tembok atau bongkar kunci, apapun bentuk dan model kunci itu. Pengin tahu, pak?, gini bapak ambil beberapa pentol korek api (geretan kayu), lalu haluskan pentol itu hingga jadi bubuk, masukan bubuk itu ke lubang kunci atau gembok sampai penuh, sesudah itu sulut dengan api. Pasti kunci atau gembok itu akan kendor dan terbuka” “Weh lha, apa semudah itu membuka gembok, apa bener begitu?” Dia mengangguk, habis makan dan ngobrol ia pun pergi, aku menyalakan sebatang rokok sambil berdiri di depan pintu sel. Tak lama datang seorang tahanan kriminal lain, tubuhnya tinggi tapi tidak sekokoh tubuh si kepala blok, kepalanya gundul. Pas sampai di depanku dengan enteng si gundul mencabut rokok yang menempel di mulutku, yang baru aku hisap beberapa tarikan, sambil tersenyum si gundul berkata, “Marah pak?” Aku menggelengkan kepala. Dasar setan gundul!. Untuk keperluan mandi pagi dan sore, bagi sekian banyak orang, hanya ada satu sumur yang dikelilingi tembok, tanpa bak mandi. Jadi kami biasanya mandi bareng-bareng, juga dengan para tahanan kriminal. Aduh tobat aku!, begitu rupa tingkah para kriminal itu. Saat kami sama-sama telanjang, untuk mandi, aku lihat sekujur badan mereka penuh dengan tato yang beraneka rupa gambar dan bentuknya. Ada seorang yang sepanjang lengan kanannya digambari naga melingkar, mulai dari ketiak sampai ujung lengan. Ada pula yang di bagian dadanya digambari tengkorak, yang lebih gila lagi ada yang di paha kiri kanannya digambari sosok wanita, yang telanjang bulat komplit dengan alat vitalnya (vagina dan pubesnya). Ada pula yang di seluruh punggungnya
ditutupi dengan tato bergamabar peta Indonesia . Bung Baho yang kebetulan mandi bersama, tertawa kecil sambil berkata, “Menurut saya dari sekian tato yang saya lihat, ternyata tato anda yang paling bagus dan penuh arti” Si penyandang tato tertawa juga, lalu bertanya, “Bagusnya dimana dan penuh arti apa, papa?” "Bagusnya gambar itu terlihat jelas, rapi dan tidak belepotan. Penuh arti, jelasnya anda mencintai tanah air anda, yaitu Republik Indonesia . Lebih tegasnya lagi anda adalah seorang patriot" “Artinya apa itu, papa?” “Ya itu tadi, anda adalah seorang yang berjiwa patriot, mencintai Republik ini dengan bangsa dan segala isinya.” Rupanya si bocah yang masih terbilang muda ini merasa dipuji, nampak sikapnya tidak sebringas teman-temannya yang lain. Dengan nada rendah ia berkata, “Papa, beta berasal dari Maluku, tepatnya beta dari suku Ambon , beta masuk Brimob terdorong oleh keinginan beta untuk melawan RMS. Beta seng suka sama itu RMS” “Lha lalu ceritanya bagaimana kok anda bisa sampai menjadi tahanan?” tanya bung Baho. “Begini papa, sebenarnya bukan niat beta untuk berbuat jahat, papa, tetapi beta terpaksa melakukannya, anak beta yang kedua mau lahir, beta seng punya kepeng sama sekali. Oleh pengaruh teman toh, beta diajak mencuri mobil. Beta seng punya pengalaman mencuri, beta gagal. Beta seng dapat mobil, teman beta bisa lari, dorang sopi jauh, beta ditangkap, sampai masuk penjara ini.” "Nah jelas kan sekarang, anda sebenarnya bukan orang jahat, anda adalah seorang patriot. Karena didorong oleh kebutuhan dan oleh pengaruh keadaan anda jadi seperti ini. Jadi keadaanlah yang mendorong anda berbuat nekat. Seandainya anda memperoleh pendapatan yang cukup dan jaminan sosial yang memadai dari pemerintah, tentu tidak seperti ini nasib anda. Tapi jangan cemas, anda masih muda, hari depan anda masih panjang. Jadi kalau anda nanti bebas, anda mau kemana?” “Beta sudah merasa papa, beta pasti dipecat dari kesatuan Brimob. Beta mau kembali ke kampung saja, beta mau mengolah sagu. Beta mau bisnis sagu saja papa. Terimakasih papa. Beta senang menerima nasihat papa” Hanya beberapa menit saja bung Baho sempat mengkuliahi si bocah Ambon ini sambil mandi. Menjadi penghuni blok kriminal berjalan terus, suatu hari ketika lonceng tanda untuk masuk kembali ke dalam sel berbunyi, mendadak pintu sel tidak bisa dikunci. Komandan sekuriti, Peltu Marjuki datang, seraya perintahnya, "Kalian nggak boleh dan nggak bisa menempati sel terbuka ini, kalian harus pindah" lalu ia pun berteriak, “Kaslan!” “Siap pak”
“Berapa jumlah penghuni sel ini?” “Tujuh orang pak” “Bagi menjadi dua, tiga orang masukkan di sel ini,” Peltu Marjuki menunjuk sel sebelah kanan sel kami, “Dan lainnya yang empat orang, masukkan di sel sebelahnya” “Siap pak” Bung Baho maju, mohon bicara sedikit pada bapak Peltu yang terhormat. “Maaf pak, kalau boleh saya usul” “Usul apa?, ini bukan jaman seperti dulu, ketika kalian masih bebas ngomong dan bertingkah, mau usul apa kamu?” “Begini pak, kami sadar betul, bahwa kami ini ada di penjara. Berilah kami keringanan barang sedikit. Bagaimana sih rasanya kalau kamar berukuran untuk dua orang harus diisi tujuh orang, pak. Izinkan kami tetap tidur di sel ini pak, saya jamin, kami tidak akan melarikan diri, kalau kami sampai melarikan diri, itu kan perbuatan bodoh dan bunuh diri namanya” “Lagaknya kayak pemimpin kasih petunjuk kulinya saja, kamu. Di sini aku yang berkuasa, hanya aku yang berhak ngatur. Kalian semua harus tunduk sama peraturan penjara, ngerti monyet!, Kaslan laksanakan perintah” “Siap pak” * beta = saya * seng = tidak * kepeng = uang * dorang sopi jauh = dia orang sudah pergi jauh Mas Kaslan pun tak bisa berbuat lain, kecuali menuruti perintah. Tetapi apapun jadinya bung Baho telah berusaha dan beliau telah menunjukkan kelasnya, sebagai seorang pemimpin di antara kami. Dalam benakku terpikir, rusaknya pintu sel bukan tidak mungkin adalah ulah para tahanan kriminal sendiri. Akhirnya kami harus menempati sel lain. Aku termasuk ke dalam bagian yang berjumlah empat orang, mungkin karena postur tubuhku yang kecil, jadi aku di hitung setengah, dan seorang lagi yang juga berpostur tubuh kecil seperti aku, bernama Haji Effendi, melengkapi yang setengahnya lagi, pas, mungkin kami berdua di hitung jadi satu. Sekecil apapun, yang namanya tujuh orang harus menempati kamar berukuran untuk dua orang, tentu bisa dibayangkan bagaimana sempitnya. Akhirnya kami nggak tidur semalaman, kami hanya bersender di tembok, berkeliling, malam terasa amat panjang dan lama, panas, pengap dan sumpek sudah jelas. Pagi hari tiba, dan hari itu bertepatan dengan hari Senin, hari besukkan, walau nggak tidur semalaman, muka kami agak ceria, kenapa?. Apa lagi kalau bukan karena ada harapan datangnya kiriman dari keluarga, walaupun tak pasti, tapi toh diantara kami ada yang pasti datang kirimannya, lumayan. Barangkali ada solidaritas dari teman yang lain, yah dapat-dapat singkong sepotong dua atau rara ireng selintingan.
Benar juga, agaknya beberapa orang diantara kami menerima kiriman besukkan dari keluarga, termasuk Haji Effendi, ketika besukkan diterimanya, datang bergegas seorang tahanan kriminal, dengan menyodorkan omprengnya (piring alumunium tempat jatah makan para tahanan), dia menunjuk rantang yang berisi lauk, milik pak haji. “Entar dulu dong, bung. Ditata dulu biar rapi” Tapi si kriminal memaksa, watak berandalannya keluar, rantang milik pak haji direbutnya, pak haji mempertahankan. Terjadilah otot-ototan, saling adu tarik, akhirnya lauk tumpah, tak puas rantang alumunium diinjak-injak sampai gepeng oleh si kriminal. Keributan pun terjadi. Kepala blok, pak Alex datang melerai, si bocah Ambon pun ikut datang sambil mencaci kawannya yang berandalan. “Ee ose seng tahu malu, dorang punya keluarga kasih kirim, ose seng boleh ganggu, cukimai!, dasar ose punya mulut seperti lubang puki! (mulut vagina)” Di sinilah terlihat, ternyata biar hanya seujung kuku, bung Baho telah berhasil mengambil hati si bocah Ambon . Kurang lebih sebulan kami menghuni Blok-E, pagi itu kami harus pindah lagi ke blok lain. Kami dipilah, bung Baho dipindah entah kemana, aku nggak tahu. Bisa jadi beliau dikembalikan ke RTM (Rumah Tahanan Militer), atau ke Guntur-Pasar Rumput, beliau memang bukan tahanan yang berasal dari Budi Kemuliaan, yang pasti selama aku menghuni RTC, aku tak pernah lagi bertemu dengan Bung Baho. Aku dan pak Alex di pindah ke Blok-Q. Kata mas Kaslan Blok-Q adalah blok elite, blok VIP, Blok-Q juga disebut Blok Isolasi. Para tahanan di blok ini tidak boleh berolah raga di lapangan bersama-sama dengan tahanan dari blok lain, katanya takut kami “ngompol” (ngomongin politik). Dan yang juga termasuk blok isolasi adalah Blok-R, yang isinya kebanyakan orang-orang gede. Memang begitulah adanya, di Blok-Q ini ada yang namanya Hasyim Rahman, pemimpin Harian Bintang Timur, sekaligus beliau bertugas sebagai kepala blok. Ada juga orang-orang penting dari Kantor Berita Antara, tapi nggak ada yang aku kenal. * ose = kamu Lalu ada redaktur Harian Suluh Indonesia , Bung Satria Graha. Juga ada petinggi-petinggi Deparlu seperti , Mulyadi Wilono, Kartono Kadri, bahkan Jubir Deparlu Ganis Harsono melengkapi isi Blok-Q ini. Mereka itu adalah orang- orang yang gagah fisiknya, tinggi intelektualnya, dan gede kiriman besukkannya. Mereka biasa mendapat kiriman dari keluarga dengan bungkus kertas bergambar “Sarinah”, toserba (toko serba ada) termewah dan satusatunya yang ada di Jakarta saat itu. Berbeda dengan rombongan kami yang datang dengan fisik kerempeng, pendidikkan ala kadarnya dan kiriman besukkan yang kecil serta tak menentu pula, serba terbalik pokoknya. Dulu sebelum terjadi peristiwa besar 30 September 1965, ada ungkapan-ungkapan atau semboyan-semboyan revolusioner, yang mengatakan, “Perut boleh ke kanan, tapi Politik harus ke kiri” atau “Politik adalah Jendral. Hati lebih keras dari rasa lapar”. Ternyata kini setelah berada di dalam penjara semboyan-semboyan itu hanya tinggal
semboyan belaka, tidak pernah terjadi. Kalau toh terjadi, justru kebalikannya. “Perut tambah ke kanan, Politik juga makin ke kanan dan terus ke kanan”. Semuanya, apakah itu semboyan, ilmu, teori atau pun ungkapan, perlu diuji kebenarannya. Dan penjara adalah salah satu tempat ujiannya. Blok-Q, sudah ku huni selnya beberapa bulan, oplosing antar blok terus berjalan setiap kali. Ada orang-orang yang kuat kirimannya serta mampu dan mau menggendong (istilah penjara untuk menanggung) si minus kiriman, mendadak dipindah ke blok lain, si minus pun merasa kehilangan. Ada blok yang sudah banyak kehilangan orang-orang kuatnya, malah ditambahi orang-orang kere atau bahkan orang-orang yang telah putus hubungan dengan keluarganya. Bisa jadi karena keluarga memang sudah tak ada kemampuan untuk mengirim atau karena si istri dan keluarga meninggalkan tempat tinggalnya karena tak tahan menerima cemohan, sindiran atau hinaan dari orang-orang di sekeliling tempat tinggalnya. Karena hinaan yang mereka terima bukan hanya berupa kata-kata saja tapi juga hinaan secara fisik, seperti membuang muka atau bahkan meludahi bila mereka saling bertemu. Sungguh penderitaan yang luar biasa. Banyak pula istri-istri yang bercerai sepihak (rapak) dan kawin dengan orang bebas, menjadi istri kedua atau bahkan ketiga dari orang-orang berduit, hidung belang atau pun orang-orang yang saat itu sedang mempunyai kekuasaan. Tak urung Blok-Q pun mengalami tata ulang warganya, tambahan orang-orang minus makin banyak. Kalau sudah demikian repotlah kepala blok mengaturnya. Seorang yang biasa menerima besukkan tiga kali seminggu (Senin, Rabu dan Sabtu), diserahi untuk menggendong dua orang non besukkan atau satu orang non besukkan dan satu orang dengan besukkan seminggu sekali, itu pun sudah sangat sulit didapat. Yah, macam-macamlah cara kepala blok mengaturnya. Ada pula tiga orang non besukkan di kelompokkan jadi satu sel, lantas jatah makannya dimintakan dari mereka yang mampu atau sudi membantu, itu pun hanya bisa terjadi pada hari-hari datangnya kiriman besukkan. Waktu kami para tapol masih menjadi tahanan di luar Salemba, soal perut belum menjadi soal yang serius. Kami hanya menghadapi satu soal, yaitu siksaan fisik. Taruhlah seorang tahanan disiksa, digebukin setengah kelenger, dua tiga hari atau seminggu kemudian rasa sakit dan derita akibat siksaan berangsur berkurang, atau kalau disiksa sampai mati pun proses matinya cepat Tapi kalau mati karena lapar, prosesnya sangat lama, pelan-pelan sakitnya. Menanggung perut lapar eksesnya bisa berbagai bentuk, bisa frustasi lalu nekat bunuh diri masuk sumur, hal ini benar-benar pernah terjadi di Blok-Q, namanya Suroto, atau ada juga yang mencoba gantung diri. Oleh karena itulah maka benda-benda seperti ikat pinggang, tali sepatu atau benda-benda tajam dilarang dibawa masuk ke dalam sel, dan setiap sel harus diisi oleh minimal tiga orang tahanan, karena jika hanya diisi oleh dua orang saja maka dikhawatirkan terjadi hal-hal yang tidak baik, seperti homo sexual, misalnya. Kembali aku teringat pada kata-kata mbak Dian dulu, jika satu ruangan tertutup diisi oleh dua orang yang berlainan jenis, kalau ada setan lewat bisa berbahaya. Nah di penjara ini, jangan kan berlainan jenis, sesama jenis pun juga bisa berbahaya. Di Salemba menghadapi siksaan fisik relatif kecil, kalau tidak boleh dikatakan tidak ada. Tetapi perut lapar bukan main sakitnya. Bayangkan!, coba bayangkan, jatah makan para tahanan hanya dua kali sehari dengan menu nasi kira-kira sepuluh suapan anak kecil tanpa lauk, ditaruh dalam ompreng yang berdiameter 20 cm, cara mengangkutnya ditumpuktumpuk, sehingga nasi menjadi gepeng, tipis tidak lebih dari 1 cm tingginya, sayurnya bayem tanpa bumbu, kalau pun ada paling-paling bumbunya hanya garam dan salam laos.
Tak jarang terjadi sayur itu bercampur dengan paku, pecahan beling, karet sendal bodol atau bahkan tahi kering pun ikut masuk. Tanaman bayem memang disiram dengan air limbah wc, mungkin juru masak tak sempat lagi menyortir onggokkan sayur bayem itu, dan mungkin ia juga lupa untuk mencucinya sebelum dimasak, sehingga mungkin bayem -bayem itu hanya dirajang dan langsung masuk kuali, dan hal ini berjalan tahunan. Selama tidak kurang dari 2 ½ tahun aku menjadi penghuni RTC Salemba, menu jatah makan hampir tak pernah berubah. Kalau pun ada perubahan, itu bukan perubahan menjadi baik, tapi malah sebaliknya. Pernah satu saat jatah makan berupa bulgur (makanan kuda, di Amerika), itu pun tidak lebih dari 1 cm tingginya, tanpa lauk apa-apa, kalau sudah dimakan rupanya bulgur susah untuk dicerna dan kalau sudah keluar, tinjanya tetap berupa bulgur, susahnya kalau kami merasa ingin buang air besar, tak dapat ditahan. Jadi apanya yang bisa diserap oleh usus. Ada lagi bentuk jatah makan, berupa nasi campur jagung bulet, bukan menir tetapi benar-benar butiran jagung bulet. Bapak Ganis Harsono pun menerima jatah makan itu. Beliau sempat memisah jagung dari nasinya, sempat pula beliau hitung jagungnya, butiran jagung itu tidak lebih ada 90 biji, sedang nasinya dikepel menjadi sebesar bola bekel (mainan anak-anak perempuan). Akhirnya jagung dan nasi itu diberikannya pada tapol lain , tapol yang diberi pun sangat senang dan berucap terima kasih. Kejadian-kejadian semacam itu tak kunjung berhenti, jalan terus. Kemampuan keluarga untuk mengirim besukkan makin berkurang, makin menyusut, makin menipis dan akhirnya habis sama sekali. Derita tapol non besukkan dan beban si penggendong makin berat. Perut ke kanan, politik ke kiri betul-betul diuji kebenarannya. Tidak kurang dari ucapan seorang tapol, “Bung tahu nggak, besukkan ini bukan besukkan PKI, ini besukkan dari istriku, mungkin saja besukkan ini dibelinya dari uang hasil perlontean.” Ya, habislah!. Satu lagi kejadian yang cukup memalukan, kejadian itu terjadi di depan mataku sendiri. Seorang penyair yang cukup terkenal, sebut saja namanya “Hati”, kata orang, dialah yang menulis sajak yang berjudul “Hati lebih kuat dari lapar”. Oleh kepala blok, bung Hati ini dibebani satu orang non kiriman besukkan, dan sebut saja namanya “Malam”, mengingat kedua kawan ini satu profesi, yaitu sama-sama penyair, tentunya tak ada masalah dalam soal saling bantu. Tapi nyatanya bagaimana?. “Hati lebih keras dari lapar” tidak lulus ujian. Bung Hati melapor kepada kepala blok, bahwa ia tak sanggup lagi berkumpul satu sel dengan bung Malam. Alasannya bung Malam sangat mengganggunya, “Aku tak bisa tidur tiap malam, karena bung Malam kalau tidur selalu mendengkur dengan keras dan tanpa henti.” Mendengar hal ini karuan saja bung Malam jadi naik pitam, dengan marah ia pun menegur bung Hati, “Eh bung, jangan ngomong macam-macam alasan, bilang saja terus terang, aku tak sudi lagi membantu kau!”, selesai, jangan bikin aku berang, bisa aku banting, mati kau!. Aku tak pernah minta untuk kau bantu, kalau kau membantuku, itu karena kepala blok yang mengaturnya.” Hampir saja terjadi baku hantam di antara mereka, dan yang datang melerai mereka adalah pak Alex. Akibat dari kejadian itu, bung Malam dikumpulkan dengan pak Alex dan aku pun harus berpisah sel dengan pak Alex. Karena pak Alex dianggap mampu mengatasi manakala ada keributan. Bersambung ke:[KISAH PAHIT SEORANG TAHANAN G30S III] BULEMBANGBU Oleh N. Syam. H