INDUSTRI PERBANKAN SYARIAH MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) MAKALAH Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Seminar Akuntansi Syariah
Oleh: AKUNTANSI B
Ari Ardiansyah
133403082
Hilmi Mardani Sunarya
133403092
Ilham Satria Nugraha
133403086
Muhamad Nur Roby
133403084
Nur Azis Djuhara
133403105
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SILIWANGI 2016
ABSTRAK Pada pembahasan ini mengenai perkembangan, perbandingan, peluang dan tantangan industri perbankan syariah di Indonesia dalam menghadapi MEA yaitu industri perbankan syariah di Indonesia diprediksi berkembang dengan pesat karena Indonesia merupakan negara dengan umat muslim yang besar dan pada saat ini customer tertarik dengan perbankan syariah karena merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada ALLAH S.W.T. Perbandingan, peluang , dan tantangan yang dihadapi industri perbankan syariah yaitu di negara lain perbankan syariah lebih banyak di danai
oleh
pemerintah,
sedangkan
di indonesia
tergantung
dari
banyaknya nasabah perbankan tersebut, peluang perbankan syariah di Indonesia dalam menghadapi MEA yaitu perbankan syariah tahan terhadap krisis membuat perbankan syariah menarik banyak perhatian customer sedangkan tantangan yang akan di hadapi yaitu kurangnya sumber
daya
insani
yang
baik
dan
kurangnya
inovasi
dalam
perkembangan produk perbankan syariah. In these discussions regarding the development, comparison, opportunities and challenges of Islamic banking industry in Indonesia in the face of MEA that Islamic banking industry in Indonesia is predicted to grow rapidly because Indonesia is a country with Muslims were great and at this time the customer interested in Islamic banking because it is one way to draw closer to the ALLAH S.W.T. In comparison, the opportunities and challenges facing the Islamic banking industry is in other countries Islamic banking more funded by the government, while in Indonesia depends on the number of banking customers the opportunity of Islamic banking in Indonesia in the face of MEA that Islamic banking resistant to the crisis made islamic banking attract customer attention while the challenges to be faced is the lack of good human resources and lack of innovation in the development of islamic banking products.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya, sehingga dapat memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah
Seminar
Akuntans
Syariah,
dengan
pembahasan
Industri
Perbankan Syariah Menghadapi MEA ( Masyarakat Ekonomi ASEAN ). Tidak lupa shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada nabi besar nabi Muhammad SAW, beserta para sahabatnya, keluarganya dan juga umatnya hingga akhir zaman. Penulis tidak akan dapat menyelesaikan sebuah makalah ini tanpa adanya bantuan dari pendapat beberapa ahli, maupun kaum muda yang aktif di dunia maya seperti: 1. Ibu
Euis Rosidah,
selaku
dosen mata
kuliah
yang telah
mengarahkan mahasiswanya untuk membuat makalah ini; 2. Teman satu kelompok yang selalu memberikan kontribusinya dalam pengerjaan makalah ini; 3. Orang tua yang selalu mendukung dan memberi dorongan terhadap penyelesaian makalah ini dengan baik; 4. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebut satu per satu. Semoga Allah swt. memberikan pahala yang berlipat ganda. Makalah ini bukanlah makalah yang sempurna untuk dinikmati oleh pembaca,namun penulis merasa puas dengan terselesaikannya
makalah
ini.
Oleh
karena
itu
penulis
mengharapkan kritik dan saran agar dapat tersempurnakannya makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan gambaran tentang
penjabaran
dalam
pembahasannya
bagi
pembaca,terutama untuk penulis. Tasikmalaya, 13 September 2016 Penulis
DAFTAR ISI ABSTRAK.....................................................................................................
i
KATA PENGANTAR .....................................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................
iii
DAFTAR TABEL dan GRAFIK ......................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ..................................................................................
1
B. Rumusan Masalah ...........................................................................
2
C. Tujuan Makalah ...............................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Masyarakat Ekonomi Asean .........................................
3
B. Perkembangan dan Perbandingan Industri Perbankan Syariah di Indonesia dengan Negara Lain .......................................................
4
C. Peluang dan Tantangan Industri Perbankan Syariah Mengadapi MEA ................................................................................................
12
BAB III PENUTUP A. Simpulan .........................................................................................
19
B. Saran...............................................................................................
19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. ........
20
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
TABEL 1.1 : Jaringan Kantor Perbankan Syariah.........................................
4
TABEL 1.2 : Perkembangan Bank Syariah Indonesia...................................
5
TABEL 1.3 : Indikator Utama Perbankan Syariah.........................................
5
TABEL 1.4 : Perbandingan Terhadap Total Bank.........................................
6
TABEL 1.5 : Komposisi Pembiayaan Bank Syariah......................................
7
TABEL 1.6 : Perbandingan Strategi Pengembangan Bank Syariah.............
8
TABEL 1.7 : Jumlah Aset Bank Syariah Indonesia dan Malaysia.................
8
TABEL 1.8 : Peringkat Negara Berdasarkan Aset Syariah...........................
9
GRAFIK 2.1 : ROA Bank Syariah Indonesia.................................................
11
GRAFIK 2.2 : ROA Bank Syariah Malaysia...................................................
11
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Tepat pada tanggal 1 Januari 2015 yang lalu bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara atau lebih dikenal dengan ASEAN akan memasuki era baru dalam hubungan integrasi perekonomian dan perdagangan dalam bentuk MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Siap atau tidak siap semua negara di kawasan ASEAN sudah harus meleburkan batas territorial negaranya dalam satu pasar bebas
yang
diperkirakan
akan
menjadi
tulang
punggung
perekonomian di kawasan Asia setelah China. Tak terkecuali dalam industri perbankan syariah akan mendapatkan efek
dari terciptanya MEA (Masyarakat Ekonomi
Asean), terlebih Indonesia termasuk negara dengan penduduk muslim terbesar seharusnya dapat menjadi pelopor atau kiblat pengembangan industri keuangan syariah di dunia. Hal yang paling penting dalam perbankan syariah adalah memiliki potensi yang besar untuk bersaing dengan perbankan konvesional karena telah terbukti perbankan syariah tahan terhadap krisis, bahkan setelah kegagalan sistem kapitalis perbankan syariah dipandang sebagai alternatif dan solusi untuk menyelesaikan masalah-masalah perekonomian dunia. Industri perbankan syariah telah membuktikan ketika Krisis Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami negative spread, namun bank Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan tahan terhadap krisis dan memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Bank Indonesia pun memberikan perhatian yang serius dalam mendorong perkembangan perbankan syariah, dikarenakan keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa ‘maslahat’
bagi
peningkatan
ekonomi
dan
pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah memberikan
dampak yang lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena lebih dekat dengan sektor riil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari krisis keuangan global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat membuat rumusan masalah sebagai berikut : 1. Apa yang dimaksud dengan MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) ? 2. Perkembangan dan perbandingan perbankan syariah di Indonesia dengan negara lain? 3. Peluang dan tantangan industri perbankan syariah di indonesia dalam menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) ?
C. TUJUAN PEMBAHASAN Sejalan dengan rumusan masalah di atas makalah ini disusun untuk mengetahui: 1. Pengertian MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2. Perkembangan
dan
perbandingan
perbankan
syariah
di
Indonesia dengan negara lain? 3. Peluang dan tantangan industri perbankan syariah dalam menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean)
BAB II PEMBAHASAN
1) Pengertian MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) 1. Pengertian MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) secara umum Secara umum, Masyarakat Ekonomi Asean diartikan sebagai sebuah masyarakat yang saling terintegrasi satu sama lain (maksudnya antara negara yang satu dengan negara yang lain dalam lingkup ASEAN) dimana adanya perdagangan bebas diantara negara-negara anggota ASEAN yang telah disepakati bersama antara pemimpin-pemimpin negara-negara ASEAN untuk mengubah ASEAN menjadi kawasan yang lebih stabil, makmur dan kompetitif dalam pembangunan ekonomi. 2. Pengertian
MEA
(Masyarakat
Ekonomi
Asean)
menurut
ASEAN.ORG Halaman resmi organisasi internasional ASEAN menyatakan bahwa MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) merupakan tujuan dari integrasi ekonomi regional kawasan Asia Tenggara yang diberlakukan pada tahun 2015. Karakteristik MEA sendiri meliputi: (1) berbasisi pada pasar tunggul dan produksi, (2) kawasan
ekonomi
yang
sangat
kompetitif,
(3)
wilayah
pembangunan ekonomi yang adil, dan (4) kawasan yang begitu terintegrasi dalam hal ekonomi global. 3. Pengertian
MEA
(Masyarakat
Ekonomi
Asean)
menurut
wikipedia Halaman
Wikipedia
memberikan
pengertian
Masyarakat
Ekonomi Asean sebagai sebuah integrasi ekonomi ASEAN dalam menghadapi perdagangan bebas yang berlaku diantara negara-negara anggota ASEAN. Hal tersebut karena para pemimpin negara ASEAN telah menyepakati perjanjian ini. MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) dirancang untuk mewujudkan Vision ASEAN ditahun 2020.
Tujuan dibuatnya Ekonomi ASEAN 2015 yaitu untuk meningkatkan stabilitas
perekonomian dikawasan ASEAN,
dengan dibentuknya kawasan ekonomi ASEAN 2015 ini diharapkan mampu mengatasi masalah-masalah
dibidang
ekonomi antar negara ASEAN, dan untuk di Indonesia diharapkan tidak terjadi lagi krisis moneter seperti tahun 1998.
2) Perkembangan dan Perbandingan Perbankan Syariah di Indonesia dengan Negara Lain Tabel 1.1 Jaringan Kantor Perbankan Syariah Indikator
2005
Bank Umum Syariah - Jumlah Bank - Jumlah Kantor Unit Usaha Syariah - Jumlah Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS - Jumlah Kantor Bank Pembiayaan Rakyat Syariah - Jumlah Bank - Jumlah Kantor Total Kantor
2006
2007
2008
2009
2010
2011
bank
2014
3 349
3 401
5 581
6 711
11 1215
11 1401
11 1745
11 1998
11 2139
19 154
20 183
26 196
27 241
25 287
23 262
24 336
24 517
23 590
23 425
92 92 550
105 105 637
114 185 782
131 202 1024
138 225 1223
150 286 1763
155 364 2101
158 401 2663
163 402 2990
163 425 2989
Indonesia berkembang dengan pesat dari tahun ke tahun. Hal ini bahwa
2013
3 304
Dari tabel diatas terlihat perkembangan perbankan syariah di
menunjukan
2012
syariah
dapat
bersaing
dengan
bank
konvesional dan menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi bank syariah di tengah menjamurnya bank-bank konvesional. Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvesional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvesional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Undang- Undang Pengganti No. 7 tahun 1992 tersebut
mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh banyak Syariah.
Tabel 1.2 Perkembangan Bank Syariah Indonesia 1998 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Indikasi KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS KP/UUS BUS 1 2 3 3 3 3 5 6 UUS – 8 15 19 20 25 27 25 BPRS 76 84 88 92 105 114 131 139 Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009.
Tabel
1.2
menunjukkan
perkembangan
perbankan
syariah
berdasarkan laporan tahunan BI 2009 (Desember 2009). secara kuantitas, pencapaian perbankan syariah sungguh membanggakan dan terus mengalami peningkatan dalam jumlah bank. Jika pada tahun 1998 hanya ada satu Bank Umum Syariah dan 76 Bank Perkreditan Rakyat Syariah, maka pada Desember 2009 (berdasarkan data Statistik Perbankan Syariah yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia) jumlah bank syariah telah mencapai 31 unit yang terdiri atas 6 Bank Umum Syariah dan 25 Unit Usaha Syariah. Selain itu, jumlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) telah mencapai 139 unit pada periode yang sama.
Tabel 1.3 Indikator Utama Perbankan Syariah (dalam milyar rupiah) Indikasi 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Aset 7.945 15.210 20.880 28.722 36,537 49.555 DPK 5.725 11.718 15.584 20.672 28.011 36.852 Pembiayaan 5.561 11.324 15.270 20.445 27.944 38.198 FDR 97,14% 96,64% 97,76% 98,90% 99.76% 103.65% NPF
2,34%
2,38%
2,82%
4,75%
4,07%
3.95%
2009 66.090 52.271 46.886 89.70% 4.01%
Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009.
Perkembangan
asset
perbankan
syariah
meningkat
sangat
signifikan dari akhir tahun 2008 sampai dengan akhir tahun 2009 sebesar lebih dari 33.37 %. Penghimpunan dana dan pembiayaan mencapai
peningkatan sebesar 41.84 % dan 22.74 %. Jika dilihat dari rasio pembiayaan yang disalurkan dengan besarnya Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dinyatakan dengan nilai Financing to Deposit Ratio (FDR), maka bank syariah memiliki rata-rata FDR sebesar 97.65 %. Berbeda denga tahun-tahun sebelumnya dan tahun sesudahnya pada tahun 2008 Financing to Deposit Ratio perbankan syariah lebih dari 100%, tingginya tingkat FDR tersebut karena pembiayaan yang disalurkan selama bulan Maret – November 2008 lebih besar dari Dana Pihak Ketiga. Yang perlu dicatat disini adalah meskipun pembiayaan yang disalurkan lebih besar dari DPK tetapi tingkat kegagalan bayar atau yang dinyatakan dalam Non Performing Financing (NPF) ternyata lebih sedikit dari periode tahun 2006-2007, yakni hanya sebesar 3.95% masih dibawah batas ketentuan minimal sebesar 5 % . Artinya bank
syariah
betul-betul
menjalankan
fungsinya
dengan
tidak
mengabaikan prinsip kehati-hatian. Selain itu juga, secara keseluruhan perbankan
syariah
relatif
lebih
sehat.
Tabel 1.4. Perbandingan Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank Islamic Total Islamic Total Bank Bank(Des 08) Bank Bank(Des 09) Nominal Share Nominal Share Total 49,56 2.14% 2,310.60 66,09 2.61% 2,534.10 Asset Deposit 36,85 2.10% 1,753.30 52,27 2.65% 1,973.00 Fund Credit Financial 38,20 – – 46,88 – – Extended FDR/LDR 103.66% – – 89.70% – – Sumber : BI, Statistik Perbankan Syariah, 2009
Pada tabel 1.4 terlihat bahwa pangsa perbankan syariah meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2008 pada bulan yang sama, yaitu asset menjadi 2.61% meningkat sebesar 0.47% , Deposit Fund atau DPK juga
mengalami pertumbuhan menjadi 2,02%, meningkat 0,24%. hal ini menunjukkan
kinerja
dan
potensi
perbankan
syariah
mengalami
perkembangan yang baik. Tabel 1.5. Komposisi Pembiayaan Bank Syariah
Pada table 1.5 terlihat bahwa persentase pembiayaan murabahah dengan
prinsip
jual-beli
yang
dilakukan
oleh
perbankan
syariah
mendominasi jauh di atas dari pembiayaan mudharabah dan musyarokah. Pada tahun 2003 terjadi perberdaan terbesar dimana persentase pembiayaan mudharabah dan musyarokah hanya sebesar 14,36 dan 5,53 persen sedangkan pembiayaan murabahah sebesar 70,81 persen. Namun sayangnya, meskipun pembiayaan dengan prinsip jual – beli selalu mengalami penurun setiap tahunnya namun jumlah persentasenya tidak pernah kurang dari lima-puluh persen. Semestinya, pembiayaan dengan akad mudharabah dan akad musyarakah harus lebih banyak. Karena pada akad inilah karakteristik dasar perbankan syariah terbentuk. Kedua akad tersebut merupakan akad dengan sistem bagi hasil. Perbankan syariah dengan sistem bagi hasil inilah yang menjadi pembeda dengan bank konvensional.
Tabel 1.6 Perbandingan Strategi Pengembangan Bank Syariah Strategi Pengembangan Bank Syariah di Indonesia dan Negara Lain Pengembangan Negara Kebijakan Sistem/Jaringan Sosialisasi SDM - Dual - Bank Makro + Banking : Sentral + Indonesia Ada Mikro Full Perbanka Branch n - Bank - Dual Makro + Sentral + Malaysia Banking : Tidak Ada Mikro Perbanka Windows n - Bank - Islamic Makro + Sentral + Sudan Tidak Ada Banking Mikro Perbanka n - Dual Banking : Jordan Mikro Full Tidak Ada - Tidak ada - Islamic Bank Makro + - Islamic - Bank Iran Tidak Ada Mikro Bank Sentral - Islamic - Bank Pakistan Mikro Tidak Ada Bank Sentral - Dual - Bank Bahrain Mikro Tidak Ada Banking : Sentral Windows Tabel di atas menjelaskan perbedaan strategi dari setiap negara dalam pengembangan industri perbankan syariah Tabel 1.7 Perbandingan jumlah asset bank syariah Indonesia dan bank syariah Malaysia tahun 2010-2014 Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
Indonesia (RM juta) 2.859.934,1 3.395.806 4.158.800,6 4.792.599,4 5.343.294,8
Jumlah Asset Bank Syariah Persentase Malaysia (%) (Miliar rupiah) 2.836.264 18,78 3.663.884 22,47 4.893.970 15,24 6.075.764 11,49 6.845.674
Persentase (%) 29,18 33,57 24,15 12,67
Data diatas merupakan data perkembangan asset bank syariah antara Indonesia dan Malaysia dari tahun 2010 sampai 2014, dari data diatas bahwa jumlah asset bank syariah dari kedua negara terus meningkat
dari
tahun
ke
tahun.
Hal
ini
menunjukan
baiknya
perkembangan industri perbankan syariah di kedua negara. Tabel 1.8 Peringkat Negara Berdasarkan Aset Syariah tahun 2009 dan 2010
Sumber: Maris Strategies & the Banker (2010) Dari tabel tersebut pada tahun 2009 Indonesia berada di peringkat 17 dan pada tahun 2010 naik menjadi peringkat 13, Indonesia dalam aset syariah masih kalah jauh dibandingkan dengan Malaysia yang berada di peringkat 3. Hal ini membuat malaysia menjadi saingan ketika meghadapi MEA. Sebagai negara dengan penduduk terbanyak di ASEAN dan mayoritas bergama islam Indonesia harusnya bisa menjadi kiblat dalam
industri perbankan syariah ini, tetapi faktanya Indonesia masih kalah oleh malaysia dalam hal ini. Dilihat dari tabel Urutan Negara Berdasarkan Aset Syariah, Malaysia menduduki peringkat ketiga setelah Iran dan Saudi Arabia. Terlihat pada tabel tersebut, total aset keuangan syariah Malaysia meningkat dari US$86,2 miliar pada tahun 2009 menjadi US$102,6 miliar pada tahun 2010, walaupun peringkat tetap pada posisi ketiga. Melalui peringkat yang cukup tinggi ini menjadikan Malaysia termasuk global player dalam industri keuangan syariah dunia. Malaysia yang tergolong tinggi ini didorong oleh dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total aset Malaysia tergolong besar. Selain itu, tiga bank syariah Malaysia mampu menempatkan diri pada Urutan 25 Bank Syariah dengan Aset Terbesar 2009-2010, Tiga bank tersebut antara lain, Bank Rakyat Malaysia yang berada pada urutan ke-15 pada tahun 2010, Maybank Islamic Berhad yang berada pada urutan ke-17 pada tahun 2010, dan CIMB Holdings yang berada pada urutan ke-23 pada tahun 2010 Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$ 5,4 miliar sehingga belum ada yang maasuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan.
Grafik 2.1 ROA bank syariah Indonesia tahun 2010-2014
Sumber: www.bi.go.id (data diolah)
Grafik 2.2 ROA bank syariah Malaysia tahun 2010-2014
Sumber: www.bnm.gov.my (data diolah)
Dari data diatas dapat disimpulkan bahwa perbankan syariah di Indonesia dan Malaysia memiliki prospek yang baik dalam menghadapi MEA dan juga industri perbankan syariah harus terus ditingkatkan agar dapat bersaing dengan perbankan konvesional dan memperbaiki sistem dari syariah tersebut agar sesuai dengan ajaran-ajaran islam dan membawa kesejahteran bagi masyarakatnya.
3) Peluang dan Tantangan Industri Perbankan Syariah Menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) ? Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan industri keuangan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan ‘impian yang mustahil’ karena potensi dan peluang Indonesia untuk menjadi global player keuangan syariah sangat besar khususnya dalam mengahdapi MEA, diantaranya : (i)
Jumlah penduduk muslim yang besar menjadi potensi nasabah industri keuangan syariah;
(ii)
Prospek ekonomi yang cerah, tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (kisaran 6,0%-6,5%) yang ditopang oleh fundamental ekonomi yang solid
(iii)
Peningkatan
sovereign
credit
rating
Indonesia
menjadi
investment grade yang akan meningkatkan minat investor untuk berinvestasi di sektor keuangan domestik, termasuk industri keuangan syariah (iv)
Memiliki sumber daya alam yang melimpah yang dapat dijadikan sebagai underlying transaksi industri keuangan syariah.
Pengembangan keuangan syariah di Indonesia yang lebih bersifat market driven dan dorongan bottom up dalam memenuhi kebutuhan masyarakat sehingga lebih bertumpu pada sektor riil juga menjadi keunggulan tersendiri. Berbeda dengan perkembangan keuangan syariah di Iran, Arab Saudi, dan Malaysia sebagai salah Negara di kawasan ASEAN, di mana perkembangan keuangan syariahnya lebih bertumpu pada sektor keuangan, bukan sektor riil, dan peranan pemerintah sangat dominan. Selain dalam bentuk dukungan regulasi, penempatan dana pemerintah dan perusahaan milik negara pada lembaga keuangan syariah membuat total asetnya meningkat signifikan, terlebih ketika negara-negara tersebut menikmati windfall profit dari kenaikan harga minyak dan
komoditas. Keunggulan struktur pengembangan keuangan syariah di Indonesia lainnya adalah regulatory regime yang dinilai lebih baik dibanding dengan negara lain. Di Indonesia kewenangan mengeluarkan fatwa keuangan syariah bersifat terpusat oleh Dewan Syariah Nasional (DSN) – Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang merupakan institusi yang independen. Sementara di negara lain, fatwa dapat dikeluarkan oleh perorangan ulama sehingga peluang terjadinya perbedaan sangat besar. Di Malaysia, struktur organisasi lembaga fatwa ini berada di bawah Bank Negara Malaysia (BNM), tidak berdiri sendiri secara independen. Halim (2012) dalam sebuah kajiannya menyatakan bahwa peningkatan peranan industri keuangan syariah Indonesia menuju global player juga terlihat dari meningkatnya ranking total aset keuangan syariah dari urutan ke-17 pada tahun 2009 menjadi urutan ke-13 pada tahun 2010 dengan nilai aset sebesar US$7,2 miliar (Tabel 1). Dengan melihat perkembangan pesat keuangan syariah, terutama perbankan syariah dan penerbitan sukuk, total aset keuangan syariah Indonesia pada tahun 2011 diyakini telah melebihi US$20 miliar sehingga rankingnya akan meningkat signifikan. Hal yang paling pokok adalah bahwa industri perbankan sayraiah memiliki peluang yang besar karena terbukti tahan terhadap krisis. Bahkan setelah kegagalan sistem ekonomi kapitalis, sistem syariah dipandang sebagai sebuah alternatif dan solusi untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dunia. Menjamurnya lembaga-lembaga keuangan syariah merupakan sebuah bukti bahwa sistem ini memiliki ketahanan terhadap krisis. Hal ini pun telah dibuktikan ketika Krisis Ekonomi 1988, di saat bank konvensional mengalami negative spread, namun bank Syariah tampil sebagai perbankan yang sehat dan tahan terhadap krisis dan memperlihatkan eksistensinya hingga sekarang. Bank Indonesia pun memberikan perhatian yang serius dalam mendorong perkembangan perbankan syariah, dikarenakan keyakinan bahwa perbankan syariah akan membawa ‘maslahat’ bagi peningkatan ekonomi dan pemerataan
kesejahteraan masyarakat. Pertama, bank syariah memberikan dampak yang lebih nyata dalam mendorong pertumbuhan ekonomi karena lebih dekat dengan sektor riil sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Kedua, tidak terdapat produk-produk yang bersifat spekulatif (gharar) sehingga mempunyai daya tahan yang kuat dan teruji ketangguhannya dari krisis keuangan global. Ketiga, sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang menjadi ruh perbankan syariah yang akan membawa manfaat yang lebih adil bagi semua pihak. Bank syariah terbesar di Indonesia saat ini baru mampu membukukan aset sekitar US$5,4 miliar sehingga belum ada yang masuk ke dalam jajaran 25 bank syariah dengan aset terbesar di dunia. Sementara tiga bank syariah Malaysia mampu masuk ke dalam daftar tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa skala ekonomi bank syariah Indonesia masih kalah dengan bank syariah Malaysia yang akan menjadi kompetitor utama. Belum tercapainya skala ekonomi tersebut membuat operasional bank syariah di Indonesia kalah efisien, terlebih sebagian besar bank syariah di Indonesia masih dalam tahap ekspansi yang membutuhkan biaya investasi infrastruktur yang cukup signifikan. Selain itu, di tengah perkembangan industri perbankan syariah yang pesat di Indonesia, perlu disadari masih adanya beberapa tantangan yang harus diselesaikan agar perbankan syariah dapat meningkatkan kualitas pertumbuhannya
dan
mempertahankan
akselerasinya
secara
berkesinambungan. Tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka pendek (immediate) antara lain: 1. Pemenuhan gap sumber daya insani (SDI), baik secara kuantitas maupun kualitas. Ekspansi perbankan syariah yang tinggi ternyata tidak diikuti oleh penyediaan SDI secara memadai sehingga secara akumulasi diperkirakan
menimbulkan
gap
mencapai
20.000
orang.
Hal
ini
dikarenakan masih sedikitnya lembaga pendidikan (khususnya perguruan tinggi) yang membuka program studi keuangan syariah. Selain itu, kurikulum pendidikan maupun materi pelatihan di bidang keuangan syariah juga belum terstandarisasi dengan baik untuk mempertahankan
kualitas lulusannya. Untuk itu perlu dukungan kalangan akademis termasuk Kementrian Pendidikan untuk mendorong pembukaan program studi keuangan syariah. Industri perbankan syariah secara bersama-sama juga dapat melakukan penelitian untuk mengidentifikasi jenis keahlian yang dibutuhkan sehingga dapat dilakukan ‘link and match’ dengan dunia pendidikan. 2. Inovasi pengembangan produk dan layanan perbankan syariah yang kompetitif dan berbasis kekhususan kebutuhan masyarakat. Kompetisi di industri perbankan sudah sangat ketat sehingga bank syariah tidak dapat lagi sekedar mengandalkan produk-produk standar untuk menarik nasabah. Pengembangan produk dan layanan perbankan syariah tidak boleh hanya sekedar ‘mengimitasi’ produk perbankan konvensional. Bank syariah harus berinovasi untuk menciptakan produk dan layanan yang mengedepankan uniqueness dari prinsip syariah dan kebutuhan nyata dari masyarakat. Namun disadari bahwa lifecycle dari suatu inovasi produk dan layanan perbankan syariah sangat pendek karena dengan mudah dan segera dapat ditiru oleh bank-bank lainnya sehingga mengurangi minat bank untuk berinovasi. Untuk itu, perlu dibentuk semacam working group yang beranggotakan praktisi perbankan syariah untuk memikirkan secara bersama-sama inovasi produk yang dapat dikembangkan. Mekanisme lain yang dapat diambil untuk mendorong inovasi produk dan layanan adalah memberikan patent selama beberapa tahun agar tidak ditiru oleh bank yang lain. 3. Kelangsungan program sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat. Kegiatan untuk menggugah ketertarikan dan minat masyarakat untuk memanfaatkan produk dan layanan perbankan syariah harus terus dilakukan. Namun disadari bahwa kegiatan ini merupakan cost center bagi bank syariah. Selama ini kegiatan sosialisasi dan edukasi perbankan syariah didukung oleh Bank Indonesia melalui program ‘iB Campaign’ baik melalui
media
masa
(iklan
layanan
masyarakat),
syariah
expo,
penyelenggaraan workshop/seminar, dsb. Peran Bank Indonesia dalam hal
ini
akan
berkurang
seiring
dengan
pengalihan
kewenangan
pengaturan dan pengawasan sektor perbankan (termasuk perbankan syariah) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk itu, industri perbankan syariah perlu meningkatkan ‘kemandirian’, baik dalam hal formulasi program maupun pembiayaannya sehingga program ‘iB Campaign’ dapat terus berlangsung secara berkelanjutan. Sementara tantangan yang harus diselesaikan dalam jangka panjang antara lain: 1.
Perlunya
kerangka
hukum
yang mampu
menyelesaikan
permasalahan keuangan syariah secara komprehensif. Sistem keuangan syariah
secara
konvensional,
karakteristik
terdapat
berbeda
beberapa
dengan
kekhususan
sistem yang
keuangan
tidak
dapat
dipersamakan sehingga penggunaan kerangka hukum konvensional menjadi kurang memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi syariah juga dapat menggunakan jalur pengadilan agama, namun tatanan peradilan agama untuk dapat menyelesaikan transaksi keuangan juga dinilai belum memadai. Penyelesaian perselisihan transaksi keuangan syariah dengan menggunakan ‘hukum fiqh’ masih dapat menimbulkan perbedaan interpretasi karena perbedaan mazhab (lack of convergence of sharia interpretation). Untuk itu, perlu semacam kompilasi hukum ekonomi/keuangan islam yang disepakati bersama untuk dijadikan rujukan dan disahkan oleh negara. Upaya penyempurnaan kerangka hukum ini juga perlu dilakukan dalam skala global untuk menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi dalam transaksi keuangan syariah antar negara. Penyempurnaan kerangka hukum akan memberikan suasana yang kondusif bagi pengembangan keuangan syariah, baik secara nasional maupun global. 2. Perlunya kodifikasi produk dan standar regulasi yang bersifat nasional dan global untuk menjembatani perbedaan dalam
‘fiqh
muammalah’. Jika kita perhatikan secara jeli dalam pengembangan keuangan syariah di beberapa negara, kita dapat melihat adanya perbedaan yang nyata dalam pemahaman ‘fiqh muammalah’. Di satu sisi
terdapat negara yang terlalu berhati-hati (konservatif), namun di sisi lain terdapat negara yang terlalu longgar (liberal) dalam aplikasi ‘fiqh muammalah’ tersebut sehingga peluang akan terjadinya perbedaan dan perselisihan
sangat
terbuka.
Walaupun
perbedaan
pendapat
diperbolehkan dan dianggap sebagai rahmat dalam pandangan Islam, namun perbedaan tersebut jika terkait dengan transaksi keuangan akan menimbulkan risiko. Untuk itu, perlu penyelarasan produk secara nasional maupun global sangat diperlukan agar keuangan islam dapat tumbuh bersama di berbagai negara, tidak saling memproteksi karena perbedaan mazhab. Hadirnya lembaga internasional seperti, International Financial Services Board (IFSB), International Islamic Financial Market (IIFM),
dan
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), yang menghadirkan regulasi yang dapat diadopsi secara global perlu terus didukung dan dikembangkan agar tercipta ‘global regulation convergency’. 3. Perlunya referensi nilai imbal hasil (rate of return) bagi keuangan syariah. Nilai imbal hasil yang dibagikan (sharing) dalam sistem keuangan syariah, termasuk perbankan syariah, hendaknya merupakan hasil yang nyata dari aktivitas bisnis. Sayangnya, referensi nilai imbal hasil tersebut belum tersedia sehingga institusi keuangan syariah seringkali melakukan penyetaraan dengan suku bunga dalam sistem konvensional. Selain bersifat kurang adil, perilaku ini dapat menimbulkan risiko reputasi bagi sistem keuangan syariah karena tidak ada perbedaan yang hakiki dengan sistem konvensional. Bank Indonesia telah mulai melakukan kajian mengenai referensi nilai imbal hasil untuk sektor pertanian dan pertambangan, dan masih terus disempurnakan validitasnya. Untuk itu, perlu dukungan dan peran serta dari kalangan akademisi dan asosiasi para pakar seperti IAEI untuk melakukan kajian lebih lanjut dan komprehensif mengenai hal ini. Oleh karena itu, untuk menjaga momentum pertumbuhan industri
jasa keuangan syariah di Indonesia, OJK dan seluruh stakeholder terkait akan terus melakukan berbagai upaya strategis dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Pertama, OJK akan secara terus-menerus melakukan edukasi dan capacity building bagi industri jasa keuangan syariah Indonesia. Kedua, OJK harus mendorong terciptanya sinergi dan kerja sama di antara pelaku pasar di industri keuangan syariah, yaitu pasar modal syariah, perbankan syariah, asuransi syariah, koperasi syariah, dan lembaga keuangan mikrosyariah lainnya. Ketiga, OJK akan mendorong penguatan infrastruktur manajemen risiko dan budaya risiko di industri untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya gejolak/volatilitas ekonomi di masa depan. Keempat, OJK bakal secara kontinu menyiapkan kerangka regulasi serta pengaturan dan pengawasan terhadap industri jasa keuangan syariah. Kelima, OJK akan terus meningkatkan kerja sama dengan semua pihak, baik di level domestik maupun internasional, untuk senantiasa mengikuti arah perkembangan kebijakan keuangan syariah di dunia internasional. Saat ini OJK juga sedang menyusun masterplan pengembangan keuangan syariah. Dengan begitu, pengembangan industri jasa keuangan syariah Indonesia ke depan dapat dilaksanakan secara optimal. Khususnya dalam menyambut era MEA 2015 untuk IKNB syariah dan pasar modal syariah serta MEA 2020 untuk perbankan syariah
BAB III SIMPULAN DAN SARAN
SIMPULAN Berbagai
peluang
dan
tantangan
diatas
menunjukkan
dibutuhkannya upaya keras dari perbankan syariah Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Mengingat adanya peluang besar untuk mengembangkan perbankan syariah Indonesia dan juga
untuk
menghadapi
berbagai
tantangan
atas
terlaksananya
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), maka perbankan syariah Indonesia harus
mampu
dan
yakin
dalam
menjalankan
berbagai
strategi
pengembangan. Untuk itu, peran semua pihak dalam pengembangan perbankan syariah Indonesia diharapkan mampu menjadikan perbankan syariah Indonesia memiliki prospek yang baik, semakin berkualitas dan mampu bersaing dengan negara-negara Asean dalam menghadapi ekonomi pasar global Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) . SARAN Dengan dibuatnya makalah ini maka penulis memberi saran agar kita sebagai masyarakat asean bisa meningkatkan skill dan kemampuan sehingga dapat bersaing dengan masyarakat Negara lain. Dengan peningkatan kemampuan tersebut kita tidak akan sulit berkompetisi di era MEA ini dengan kebebasan perdagangan maupun sektor lain.
DAFTAR PUSTAKA Association of southeast ASEN Nations. 2008. ASEAN Economic Comunitiy blue print. Jakarta: asean secretariat azizon.2012analisa perbandingan kesiapan perbankan syariah indonesia dengan malaysia dalam menghaapi masyarakat ekonomi asean 2015. http://azizonbinjamaan.wordpress.com/?s=sarjana.Diakses pada tanggal 13 September
2016 Alamsyah, Halim. 2012. Perkembangan dan Prospek Perbankan Syariah Indonesia: Tantangan Dalam Menyongsong MEA 2015. Ceramah Ilmiah Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), Milad ke-8 IAEI, 13 April 2012 Baskoro, Arya. 2013. Peluang, Tantangan, dan Risiko Bagi Indonesia Dengan Adanya Masyarakat Ekonomi ASEAN. http://crmsindonesia.org/node/624. Diakses pada tanggal 13 September 2016 Fernandez, R. A. 2014. Yearender: Asean Economic Community To Play Major Role In SEA Food Security. IAEI.2014. MEA 2015: Tantangan dan Peluang Bagi Industri Keuangan dan Perbankan
Islam
Indonesia.
http://iaei-pusat.org/agenda/agenda-rutin-
iaei/mea-2015-tantangan-dan-peluang-bagi-industri-keuangan-danperbankan-islam-indonesia-1?language=id. September 2016
Diakses
pada
tanggal
13