1 Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2017, Vol. 4 No. 1, hlm. 1 - 10
OPEN ACCESS
Indonesian Journal of Human Nutrition P-ISSN 2442-6636 E-ISSN 2355-3987 www.ijhn.ub.ac.id Artikel Hasil Penelitian
Asupan Serat dan IMT Wanita Usia Subur Suku Madura di Kota Malang Karina Muthia Shanti1*, Sri Andarini2, Mira Mutiyani1, Nia Novita Wirawan1, Widya Rahmawati1 1
2
Program Studi Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Laboratorium Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya *Alamat korespondensi:
[email protected]
Diterima: 1 Agustus 2015
Direview: 10 Oktober 2016
Dimuat: Juni 2017
Abstrak Konsumsi serat dapat berdampak positif terhadap kesehatan, salah satunya dapat menurunkan Indeks Massa Tubuh (IMT) melalui penurunan berat badan. IMT yang tinggi yaitu >23,0 kg/ m2 menunjukkan status gizi berada pada kondisi gizi lebih. Wanita Usia Subur (WUS) dengan kondisi gizi lebih dapat memberikan dampak pada siklus reproduksi wanita seperti infertilitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara asupan serat dengan IMT pada WUS suku Madura di Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional dilaksanakan pada sampel WUS usia 18-44 tahun suku Madura di Kecamatan Kedungkandang Kota Malang, selama Februari-Juni 2014. Sampel dipilih dengan teknik purposive sampling hingga diperoleh sejumlah 91 responden. Pengukuran tinggi badan dan berat badan dilakukan untuk memperoleh data IMT, sedangkan data asupan serat diperoleh dengan metode weighed food record pada satu hari biasa dan satu hari akhir pekan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata asupan serat sebesar 7,16±3,13 g/ hari. Proporsi status gizi responden yaitu 6,6% gizi kurang, 28,6% normal, 30,8% overweight, dan 31,4% obesitas. Berdasarkan uji korelasi Pearson, diperoleh hubungan positif yang sangat lemah dan tidak signifikan antara asupan serat total dengan nilai IMT (p= 0,255 dan r= 0,121). Kata kunci: asupan serat, indeks massa tubuh, wanita usia subur, suku Madura Abstract Dietary fiber intake can have a positive impact on health, one of which can reduce Body Mass Index (BMI) through weight loss. High BMI (>23.0 kg/m2) indicates overnutrition status. Overnutrition status on women of reproductive age (WRA) can impact the reproductive cycle such as infertility. This study aims to determine the correlation between total dietary fiber intake and BMI among Madurese women of reproductive age in Kedungkandang Malang. This observational research with cross sectional approach was conducted on Madurese women aged 18 to 44 years old in Kedungkandang Malang from February to June 2014. Samples were chosen by purposive sampling technique and obtained 91 respondents. Body height and weight measurements were performed to obtain BMI data, whereas fiber intake data were obtained using weighed food record method on a weekday and one day on weekend. The results showed an average fiber intake of 7.16 ± 3.13 g/day. The nutritional status proportions of respondents were 6.6% malnutrition, 28.6% normal, 30.8% overweight, and 31.4% obesity. The Pearson correlation test showed a very weak
1
2 Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2017, Vol. 4 No. 1, hlm. 1 - 11
and insignificant positive relationship between total fiber intake with BMI value (p=0.255 and r=0.121). Keywords: dietary fiber intake, body mass index, women of reproductive age, Madurese
PENDAHULUAN Serat pangan merupakan komponen bahan pangan nabati yang dapat dimakan, resisten terhadap pencernaan, dan absorpsi pada usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan pada usus besar [1]. Makanan berserat mudah diperoleh di Indonesia, terdapat dalam serealia, sayur, buah serta golongan kacang-kacangan. Serat pangan digolongkan atas serat larut air dan serat tidak larut air. Serat larut air, berupa pektin, gum, mukilase, glukan, dan algae, sedangkan serat tidak larut air dalam bentuk lignin, selulosa, dan hemiselulosa pada makanan [2]. Konsumsi serat secara adekuat dapat berdampak positif terhadap kesehatan melalui pencegahan terhadap risiko penyakit kardiovaskular, stroke, hipertensi, dan diabetes mellitus [3]. Melihat pentingnya manfaat serat bagi kesehatan tubuh, asupan serat perlu diperhatikan pada setiap individu. Kecukupan asupan serat di berbagai negara di dunia masih kurang dari rekomendasi WHO yaitu 25 gram per hari. Asupan yang sangat rendah hingga <15 g pada penduduk negaranegara di benua Amerika seperti Amerika Serikat dan Brazil. Negara di Asia dengan jumlah penduduk terbesar di dunia yaitu China, rata-rata asupan serat penduduknya sebesar 19 g [4]. Menurut hasil survei nasional tahun 2001, rata-rata penduduk Indonesia mengonsumsi serat 10,5 g/hari [5]. Kecukupan konsumsi sayur dan buah sebagai sumber serat pada penduduk usia >10 tahun hanya dapat dipenuhi oleh 6,3% penduduk di Indonesia, sedangkan di Jawa Timur sebesar 9,9% [6]. Skor Pola Pangan Harapan (PPH) konsumsi sayur dan buah masyarakat kota Malang berdasarkan survei pada tahun 2013
sebesar 12,92 dengan jumlah konsumsi 142,12 g/kapita/hari. Jika dibandingkan dengan standar yang disepakati pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004, skor Pola Pangan Harapan kelompok sayur dan buah adalah 30,00 dengan jumlah konsumsi 250 g/kapita/hari, menunjukkan konsumsi serat terutama dari sayur dan buah di kota Malang masih kurang [7]. Setiap individu perlu memperhatikan kecukupan asupan serat untuk menjaga kondisi kesehatan yang baik, termasuk pada Wanita Usia Subur (WUS). WUS adalah semua wanita yang telah memasuki usia 15-49 tahun, merupakan karakteristik kondisi siklus kehidupan yang prioritas karena menjadi salah satu sasaran pembangunan kesehatan [8]. Menurut tabel Angka Kecukupan Gizi (AKG) 2013, kebutuhan serat wanita usia 15-49 tahun berkisar antara 30-32 g [9]. Asupan serat yang cukup pada WUS dapat menurunkan Indeks Massa Tubuh (IMT), berat badan, lingkar pinggang, dan rasio lingkar pinggang dan pinggul dengan menurunkan akumulasi lemak tubuh [10]. Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan nilai yang mengindikasikan status gizi seseorang berdasarkan data antropometri yaitu dengan membandingkan antara berat badan dan kuadrat tinggi badan, sehingga diketahui berat badan yang ideal untuk tinggi badan tertentu. Dua studi cross-sectional dan empat studi kohort menunjukkan adanya hubungan negatif yang kuat antara asupan serat dan Indeks Massa Tubuh (IMT) yang berkaitan dengan obesitas. Studi tersebut menjelaskan bahwa konsumsi tinggi serat mengurangi risiko peningkatan IMT atau timbulnya obesitas sekitar 30%. Pemberian suplementasi serat juga
Karina, dkk, Asupan Serat dan IMT... 3
terbukti dapat menurunkan berat badan, dalam suatu studi randomized controlled trial pada kelompok intervensi yang diberi suplementasi serat 2,5 g tiga kali sehari dan pada kelompok kontrol yang diberi placebo [3]. Wanita Usia Subur dengan nilai IMT tinggi, dapat mengindikasikan adanya kelebihan berat badan (overweight) atau obesitas. Kondisi tersebut akan berdampak pada siklus reproduksi wanita yaitu menimbulkan infertilitas pada wanita akibat anovulasi, siklus menstruasi yang tidak teratur, Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), meningkatknya risiko keguguran, bahkan kematian janin [11]. Wanita Usia Subur dengan IMT kurang dari normal juga dapat memberikan dampak negatif bagi anak yang dilahirkan, yaitu rawan terhadap kejadian BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) serta berpengaruh pada perkembangan dan status kesehatan bayi yang dilahirkan [12]. Oleh karena itu, penting untuk mempertahankan Indeks Massa Tubuh WUS dalam batas normal karena WUS berada dalam masa prakonsepsi yaitu periode kritis yang berpengaruh pada anak atau keturunan saat dilahirkan maupun di kehidupan setelahnya. Jumlah Wanita Usia Subur (WUS) di kota Malang pada tahun 2012 mencapai 217.199 jiwa, sekitar 26% jumlah penduduk kota Malang [8]. Suku Madura merupakan suku pendatang di kota Malang yang cukup dominan, secara kuantitas merupakan populasi besar ketiga di Indonesia. Kejadian obesitas pada suku Madura yang berdiam di Jawa Timur sebesar 65,9%, lebih tinggi dibandingkan dengan suku Jawa sebesar 35,8% [13]. Pola konsumsi suku Madura memiliki perbedaan dengan suku Jawa, meskipun sebagai pendatang sudah mendiami pulau Jawa dalam jangka waktu lama. Misalnya suku Jawa mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok, sedangkan suku Madura lebih erat dikenal dengan konsumsi
jagung. Dalam kaitannya dengan asupan serat, masyarakat Madura jarang mengonsumsi sayur dan cenderung memenuhi kebutuhan serat melalui konsumsi buah [14]. Oleh karena itu berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan asupan serat dengan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) pada Wanita Usia Subur (WUS) suku Madura di kota Malang. METODOLOGI PENELITIAN Rancangan/ desain penelitian Desain penelitian yang digunakan adalah observasional dengan menggunakan studi korelasi. Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Kedungkandang kota Malang secara cross sectional pada Februari-Juni 2014 dengan mengukur Indeks Massa Tubuh (IMT) dan jumlah asupan serat pada rentang waktu tersebut. Sumber data Data yang digunakan dalam penelitian merupakan data primer yang diperoleh melalui beberapa metode. Data karakteristik responden yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan tingkat aktivitas fisik diperoleh dengan wawancara menggunakan instrumen kuesioner data umum. Tingkat aktivitas fisik juga dikaji dengan kuesioner data umum, dilakukan pengkajian berdasarkan olahraga yang dilakukan setiap minggu dengan intensitas >10 menit, dikelompokkan menjadi olahraga sedang yaitu bersepeda dan berenang, serta olahraga berat seperti senam aerobik, lari, bersepeda cepat, dan berenang cepat. Data Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh dengan cara mengukur berat badan dan tinggi badan responden, sedangkan data asupan serat diperoleh dengan melakukan penimbangan makanan responden yang kemudian dicatat pada formulir dietary assessment weighed food record. Penimbangan tersebut dilakukan
4 Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2017, Vol. 4 No. 1, hlm. 1 - 11
oleh enumerator terlatih, mencakup penimbangan seluruh makanan yang dikonsumsi responden yaitu makanan utama, snack, dan suplemen. Sasaran penelitian (populasi/ sampel/subjek penelitian) Populasi target dalam penelitian ini adalah Wanita Usia Subur (WUS) usia 1844 tahun yang bersuku Madura, sedangkan populasi terjangkau yang diteliti yaitu wanita usia subur usia 18-44 tahun yang bersuku Madura di wilayah Kedungkandang kota Malang. Sampel penelitian adalah WUS suku Madura yang dipilih dengan metode purposive sampling hingga diperoleh 91 responden. Pengembangan Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner data umum, formulir dietary assessment weighed food record, formulir estimated food record, timbangan makanan, microtoise, dan timbangan injak digital. Data Indeks Massa Tubuh (IMT) diperoleh melalui pengukuran antropometri berupa pengukuran berat badan dan tinggi badan. Metode yang valid untuk mengetahui proporsi risiko ketidakcukupan asupan serat pada populasi adalah dengan metode multiple weighed food record yang dilakukan pada hari yang tidak berurutan [15]. Multiple weighed food record dilakukan dengan menimbang seluruh makanan dan minuman serta identifikasi suplemen yang dikonsumsi responden selama 1 hari biasa dan 1 hari akhir pekan. Penimbangan makanan dilakukan pada pukul 06.00-20.00. Makanan yang dikonsumsi di luar jam tersebut dicatat oleh responden secara mandiri pada formulir estimated food record dengan sebelumnya diberikan petunjuk pengisian oleh enumerator. Dalam rangka validasi data estimated food record, enumerator memastikan dengan menanyakan kembali isi dari formulir tersebut.
Teknik analisis data Data karakterisik dan aktivitas fisik responden dianalisis secara deskriptif. Data asupan responden dianalisis dengan program Nutrisurvey 2007 untuk mengetahui jumlah serat yang dikonsumsi. Selanjutnya dilakukan analisis lanjutan dengan SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) for Windows 16. Kedua variabel masing-masing diuji dengan analisis univariat yaitu uji Kolmogorov Smirnov untuk mengidentifikasi distribusi data. Jika data terdistribusi normal, menunjukkan persyaratan uji parametrik terpenuhi sehingga analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel menggunakan uji statistik korelasi Pearson. Jika data tidak terdistribusi normal, maka menggunakan uji statistik korelasi Spearman. Nilai p<0,05 pada analisis bivariat menunjukkan signifikansi hubungan antara kedua variabel. HASIL PENELITIAN Karakteristik umum Karakteristik responden yaitu kelompok usia, tingkat pendidikan, dan pekerjaan pada WUS suku Madura Kecamatan Kedungkandang dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan hasil analisis, sebagian besar responden berusia 18-34 tahun dan sebagian besar memiliki tingkat pendidikan rendah. Menurut mata pencaharian atau pekerjaan responden, sebagian besar responden tidak bekerja. Asupan serat Data diperoleh dari hasil rata-rata metode penimbangan atau multiple weighed food record pada satu hari biasa dan satu hari akhir pekan. Rata-rata asupan serat responden sebesar 7,16±3,13 g/hari. Asupan serat responden tidak dikategorikan berdasarkan tingkat kecukupan karena tidak ada responden yang mengonsumsi cukup serat. Distribusi asupan serat responden per hari dibagi menjadi empat kategori, yaitu asupan 0-5 g/hari, 6-10 g/hari, 11-15 g/hari, dan 16-
Karina, dkk, Asupan Serat dan IMT... 5
20 g/hari, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Indeks Massa Tubuh (IMT) Rata-rata IMT dari seluruh responden yaitu 25,31±5,02 kg/m2 menunjukkan
kecenderungan terjadinya gizi lebih pada populasi. Berdasarkan klasifikasi status gizi menurut WHO untuk Asia Pasifik, distribusi status gizi responden dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Karakteristik Kategori Kelompok usia 18-34 tahun 35-44 tahun Tingkat pendidikan Tingkat pendidikan rendah (Tidak sekolah, SD, SMP) Tingkat pendidikan tinggi (SMA, perguruan tinggi) Pekerjaan Tidak bekerja Pedagang Buruh Petani Wiraswasta Guru Pegawai swasta
Frekuensi (n)
Persentase (%)
54 37
59,3% 40,7%
72
79,1%
19
20,9%
60 8 9 6 6 1 1
65,9% 8,8% 9,9% 6,6% 6,6% 1,1% 1,1%
Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Asupan Serat Kategori Asupan Serat 0-5 g/hari 6-10 g/hari 11-15 g/hari 16-20 g/hari
Frekuensi (n) 24 51 14 2
Persentase (%) 26,4% 56,0% 15,4% 2,2%
Tabel 3. Distribusi Status Gizi Responden Berdasarkan IMT IMT <18,50 18,50 – 22,99 23,00 – 27,49 >27,50
Status Gizi Gizi kurang Normal Overweight Obesitas
Frekuensi (n) 6 26 28 31
Persentase (%) 6,6% 28,6% 30,8% 34,1%
6 Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2017, Vol. 4 No. 1, hlm. 1 - 11
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Riwayat Overweight Orang Tua Riwayat Overweight Frekuensi (n) Ayah Ya Tidak Ibu Ya Tidak Riwayat Dari Kedua Orang Tua Ya Tidak Hanya Dari Salah Satu Orang Tua
Persentase (%) 21 70
23,1% 76,9%
35 56
38,5% 61,5%
16 50 25
17,6% 54,9% 27,5%
Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Aktivitas Fisik Aktivitas Fisik Olahraga Berat <75 menit/minggu 75-150 menit/minggu >150 menit/minggu Olahraga Sedang <75 menit/minggu 75-150 menit/minggu >150 menit/minggu Tidak berolahraga
Frekuensi (n) 10 5 2 3 4 3 1 0 81
Persentase (%) 10,9% 50% 20% 30% 4,4% 75% 25% 0% 89,0%
Tabel 6. Distribusi Responden berdasarkan Kategori Jumlah Asupan Serat dengan Kategori IMT Kategori Asupan Serat 0-5 g/hari 6-10 g/hari 11-15 g/hari 16-20 g/hari Total
Underweight n % 2 2,2 3 3,3 1 1,1 0 0,0 6 6,6
Status Gizi Normal Overweight n % n % 8 8,8 5 5,5 15 16,5 16 17,6 3 3,3 6 6,6 0 0,0 1 1,1 26 28,6 28 30,8
Riwayat status gizi overweight orang tua Status gizi responden dapat dipengaruhi berdasarkan genetik, yaitu riwayat status gizi orang tua. Berdasarkan data pada tabel 4, hampir 50% responden memiliki riwayat overweight baik dari salah satu atau kedua orang tua. Aktivitas Fisik Responden Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden tidak melaku-kan
Obesitas n % 9 9,9 17 18,7 4 4,4 1 1,1 31 34,1
Total n 24 51 14 2 91
% 26,4 56,0 15,4 2,2 100
olahraga secara rutin. Responden yang berolahraga secara rutin sekitar 15% baik berolahraga berat maupun berolahraga sedang. Durasi aktivitas fisik responden yang berolahraga berat dan sedang sebagian besar <75 menit per minggu. Hubungan Asupan Serat dan IMT Responden Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov,
Karina, dkk, Asupan Serat dan IMT... 7
data asupan serat dan IMT terdistribusi normal sehingga dapat dilakukan uji korelasi Pearson untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel. Berdasarkan hasil uji tersebut dengan taraf signifikansi (α) 0,05 atau derajat kepercayaan sebesar 95% antara variabel asupan serat dengan IMT, diperoleh p>0,05 yaitu p=0,255. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara asupan serat dengan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) pada responden penelitian. Gambaran antara tabulasi silang kategori jumlah asupan serat responden dengan kategori IMT responden disajikan pada tabel 6 untuk mengetahui distribusi data secara rinci. PEMBAHASAN Usia Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 91 orang WUS yang bersuku Madura dengan rentang usia dari 18 sampai 44 tahun di wilayah Kecamatan Kedungkandang Kota Malang. Berdasarkan hasil yang diperoleh, sebagian besar responden berusia 18-34 tahun. Menurut Eshak et al (2010), semakin dewasa usia seseorang akan lebih banyak mengonsumsi serat. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan rendahnya asupan serat responden. Tingkat Pendidikan Hasil penelitian terhadap tingkat pendidikan responden menunjukkan bahwa banyak responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Tingkat pendidikan berpengaruh terhadap kualitas bahan makanan yang dikonsumsi. Rendahnya tingkat pendidikan dapat mengurangi kemampuan dalam menyerap dan menerapkan informasi gizi sehingga menyebabkan konsumsi makanan yang kurang tepat [17]. Hasil studi di Perancis menunjukkan bahwa salah satu determinan rendahnya asupan sayur dan buah sebagai sumber serat adalah tingkat
pendidikan yang rendah [18]. Selain tingkat pendidikan, pengetahuan juga memiliki pengaruh terhadap konsumsi makanan. Spronk et al (2014) menyatakan bahwa tingkat pengetahuan terkait gizi berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas diet individu, terutama yang berkaitan dengan konsumsi sayur dan buah. Pekerjaan Berdasarkan data terkait mata pencaharian atau pekerjaan responden, sebagian besar responden tidak bekerja yaitu menjadi ibu rumah tangga. Dilihat dari pekerjaan responden, aktivitas fisik responden tergolong rendah, sebagian besar responden sehari-hari mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, menyapu, dan memasak. Responden juga sebagian besar menggunakan kendaraan bermotor untuk mobilisasi. Jenis pekerjaan yang tidak mengeluarkan banyak tenaga memberikan andil terhadap IMT, menimbulkan kegemukan atau obesitas karena kurangnya aktivitas fisik [20]. Asupan Serat Rata-rata asupan serat responden sebesar 7,16±3,13 g/hari, menunjukkan menunjukkan asupan serat populasi kurang dari kebutuhan. Angka kecukupan serat menurut tabel AKG 2013 untuk Wanita Usia Subur (WUS) adalah 30 g bagi perempuan usia 18 tahun, 32 g bagi perempuan usia 19-29 tahun, dan 30 g bagi perempuan usia 30-44 tahun [9]. Menurut WHO, kebutuhan serat untuk dewasa adalah 25 g/hari [4]. Hal ini sejalan dengan data yang diperoleh pada Skor Pola Pangan Harapan (PPH) konsumsi sayur dan buah sebagai sumber serat di kota Malang berdasarkan survei pada tahun 2013 sebesar 12,92 dengan jumlah konsumsi 142,12 g/kapita/hari [7]. Data tersebut menunjukkan konsumsi serat terutama dari sayur dan buah di Kota Malang belum
8 Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2017, Vol. 4 No. 1, hlm. 1 - 11
mencapai standar yang dianjurkan menurut Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII pada tahun 2004. Perpindahan orang Madura untuk merantau tidak mengubah sistem kebudayaan yang mereka anut. Warga Madura tetap membentuk komunitas budaya yang sudah mengakar ditanah leluhurnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada penduduk suku Madura yang bermigrasi ke daerah Jember, penduduk suku Madura memiliki kecenderungan kurang menyukai konsumsi sayur dan buah. Konsumsi sayur dan buah meningkat ketika seorang wanita dalam kondisi hamil karena hal tersebut merupakan budaya turun-temurun [21]. Status Gizi Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan terjadinya gizi lebih. Prevalensi gizi lebih yang tinggi dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti keturunan secara genetik, kurangnya aktivitas fisik atau gaya hidup sedentary, tingginya konsumsi makanan padat energi (tinggi lemak dan gula) serta kurang konsumsi makanan berserat [22]. Selain faktor-faktor tersebut, disebutkan dalam suatu studi pada WUS di Kota Surabaya pada tahun 2012, bahwa penggunaan alat kontrasepsi hormonal seperti suntik, pil, dan implan dapat menyebabkan peningkatan berat badan yang jika tidak dikontrol dapat menimbulkan kelebihan berat badan [23]. Kontribusi genetik dari kedua orang tua berpengaruh signifikan terhadap IMT. Penelitian ini telah mengkaji riwayat overweight dari orang tua responden dan diperoleh hampir separuh responden memiliki riwayat tersebut dari salah satu atau keuda orang tuanya. Orang tua dengan kondisi gizi lebih, cenderung memiliki anak dengan gizi lebih. Keluarga berada di lingkungan yang sama dan juga memiliki gen yang sama. Kontribusi genetik dan lingkungan yang ditinggali
bersama-sama terhadap IMT yaitu antara 60-84% [22]. Hubungan Asupan Serat dengan IMT Hasil uji statistik menggunakan uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara asupan serat total dengan IMT pada Wanita Usia Subur (WUS) suku Madura di Kota Malang (p=0,255). Banyaknya WUS dengan nilai IMT yang tinggi atau sebagai indikator terjadinya gizi lebih dapat disebabkan oleh karena faktor genetik atau riwayat overweight dari orang tua. Seringnya mengonsumsi makanan padat energi (tinggi gula dan lemak) juga mendukung terjadinya gizi lebih. Konsumsi makanan padat energi banyak terjadi pada populasi dengan ekonomi rendah dan tingkat pendidikan rendah karena mudah dijangkau secara akses dan ekonomi. Hal ini menyebabkan tingginya kejadian obesitas pada populasi tersebut [24]. Menurut suatu studi pada orang dewasa yang overweight dan obesitas, penurunan IMT secara signifikan akan terjadi jika konsumsi cukup serat disertai dengan penurunan konsumsi lemak selama 24 bulan [25]. Selain dari sisi konsumsi makanan, aktivitas fisik juga berpengaruh secara langsung terhadap IMT [22]. Aktivitas fisik yang ideal per minggu dilakukan selama 75 menit untuk olahraga berat dan 150 menit untuk olahraga sedang [26]. Berdasarkan data yang diperoleh, aktivitas fisik responden tergolong rendah. Sebagian besar responden adalah ibu rumah tangga, aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari yaitu pekerjaan rumah tangga seperti mencuci baju, menyapu lantai, dan memasak. Sekitar 15% responden melakukan olahraga setiap minggu namun intensitas atau durasinya belum ideal, sebagian besar responden berolahraga <75 menit per minggu baik pada olahraga berat maupun sedang. Rendahnya aktivitas fisik responden tersebut dapat menjadi
Karina, dkk, Asupan Serat dan IMT... 9
faktor yang menyebabkan terjadinya gizi lebih pada sebagian besar responden (20). Menurut penelitian yang dilakukan pada wanita usia 29-50 tahun di Tunisia tahun 2011, ada hubungan negatif yang kuat dan signifikan antara asupan serat dengan IMT yang dilakukan dengan metode weighed food record selama 7 hari dan dilakukan pada wanita dengan IMT>30 kg/m2 (27). Oleh karena itu, pada studi selanjutnya direkomendasikan untuk dilakukan observasi dengan periode hari yang lebih panjang agar diperoleh data rata-rata dan variasi asupan serat dari hari ke hari yang lebih representatif.
IMPLIKASI PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada dasarnya WUS suku Madura telah mengonsumsi sumber serat seperti sayur dan buah dalam konsumsi seharihari, tetapi dari segi kuantitas belum dapat memenuhi kebutuhan serat per hari. Edukasi kepada WUS suku Madura dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan, serta memperbaiki sikap dan perilaku terkait asupan serat yang harus dipenuhi per hari. Penduduk suku Madura saat ini masih mengonsumsi jagung sebagai makanan pokok meskipun sumber makanan pokok mulai bergeser pada konsumsi beras [14]. Kombinasi antara beras dan jagung, yaitu nasi jagung merupakan makanan pokok yang umum dikonsumsi suku Madura. Proporsi jagung pada nasi jagung dapat ditingkatkan untuk meningkatkan asupan serat, mengingat jagung adalah pangan yang kaya akan serat [28]. SIMPULAN Tidak ada hubungan antara asupan serat dengan Indeks Massa Tubuh pada Wanita Usia Subur (WUS) suku Madura di Kecamatan Kedungkandang kota Malang.
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada tim penelitian Hiperfas 2014 yang telah bekerjasama dalam pelaksanaan penelitian ini, serta kader-kader kesehatan dan responden WUS di Kecamatan Kedungkandang kota Malang. DAFTAR RUJUKAN 1. Howlett JF, Betteridge VA, Champ M, Craig SAS, Meheust A, Jones JM. The definition of dietary fiber Á discussions at the Ninth Vahouny Fiber Symposium: building scientific agreement. Food Nutr Res. 2010;54:1–5. 2. Santoso A. Serat Pangan (Dietary Fiber) dan Manfaatnya Bagi Kesehatan. Magistra. 2011;75:35–40. 3. Anderson JW, Baird P, Jr RHD, Ferreri S, Knudtson M, Koraym A, et al. Health benefits of dietary fiber. Nutr Rev. 2009;67(4):188–205. 4. Tate, Lyle. Innovative Solutions for Bridging the Fiber Intake Gap [Internet]. 2015 (Diunduh 16 Juni 2015). Available from: http://www.foodnutritionknowledge.i nfo/sites/foodnutritionknowledge/files /media/pdf/Fibre Fact Sheet_2015_Final_Digital.pdf 5. Saputra F, Paramita S, Rachmi E. Hubungan Pengetahuan dan Sikap tentang Serat Makanan dengan Konsumsi Serat Makanan pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. Tidak dipublikasikan [Tugas Akhir]. Samarinda: Universitas Mulawarman; 2013. 6. Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar: RISKESDAS 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013. p. 137. 7. BAPPEDA kota Malang. Buku Profil Pangan dan Gizi. Malang: Badan Perencanaan dan Pembangunan
10 Indonesian Journal of Human Nutrition, Juni 2017, Vol. 4 No. 1, hlm. 1 - 11
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Daerah kota Malang; 2013. BKKBN. Profil Pengendalian Kuantitas Penduduk Jawa Timur. Surabaya: Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Jawa Timur; 2013. Kementerian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2013 tentang Angka Kecukupan Gizi yang Dianjurkan bagi Bangsa Indonesia [Internet]. Indonesia: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2013 (Diunduh 22 Januari 2017). Available from: http://gizi.depkes.go.id/download/Ke bijakan Gizi/PMK 75-2013.pdf. Mikušová L, Šturdík E, Holubková A. Whole grain cereal food in prevention of obesity. Acta Chemica Slovaca. 2011;4(1):95–114. Lim SS, Davies MJ, Norman RJ, Moran LJ. The effect of obesity on polycystic ovary syndrome: a systematic review and meta-analysis. Obes Rev. 2013;4(2):95–109. Muthayya S. Maternal Nutrition and Low Birth Weight-What is Really Important. Indian J Med Res. 2009;130:600–8. Wirawan NN, Rahmawati W, Andarini S, Khasanah U, Sari PM. Predicting Obesity Among 2 Different Major Ethnic Groups in East Java. Prosiding dari IUNS 20th International Congress of Nutrition; 15-20 September 2013; Granada, Spain: Annals of Nutrition and Metabolism; 2013; 63(suppl1). p. 1499–500. Nawiyanto. Konsepsi Sosio Kultural Etnis Jawa dan Madura di EksKaresidenan Besuki tentang Pangan. Humaniora. 2011;23(2):125–39. Fahmida U, Dillon DHS. Nutritional Assessment. Jakarta: SEAMEO TROPMED RCCH Universitas Indonesia; 2007. p. 11-13. Eshak ES, Iso H, Date C, Kikuchi S,
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
Watanabe Y, Wada Y. Dietary Fiber Intake Is Associated with Reduced Risk of Mortality from Cardiovascular Disease among Japanese Men and Women. The Journal of Nutrition. 2010;140:1445–53. Darmon N, Drewnowski A. Does social class predict diet quality ? Am J Clin Nutr. 2008;87:1107-17. Bihan H, Castetbon K, Mejean C, Peneau S, Pelabon L, Jellouli F, et al. Sociodemographic Factors and Attitudes toward Food Affordability and Health Are Associated with Fruit and Vegetable Consumption in a Low-Income French Population. The Journal of Nutrition. 2010;823–30. Spronk I, Kullen C, Burdon C, Connor HO. Systematic Review Relationship between nutrition knowledge and dietary intake. Br J Nutr. 2014;111:1713–26. Wijaya A. Hubungan antara Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan Tekanan Darah pada Ibu-ibu di Kompleks Perumahan Kehakiman Kelurahan Sukasari Tangerang. Tidak dipublikasikan [Skripsi]. Jakarta: Universitas Esa Unggul; 2014. Karnasih IGA. The Influence of Local Value and Traditions on the Iron Supplement Consumption of Pregnant Women from Madura Tribe in Bintoro Village Jember District: Ethnography Study. Tidak dipublikasikan [Thesis]. Jakarta: Universitas Indonesia; 2009. Rossner S. Kelebihan Berat Badan dan Obesitas. In: Mann J, Truswell AS, editors. Buku Ajar Ilmu Gizi. 4th ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. p. 257–8. Sriwahyuni E, Wahyuni CU. Hubungan antara Jenis dan Lama Pemakaian Alat Kontrasepsi Hormonal dengan Peningkatan Berat Badan Akseptor. Indones J Public Heal. 2012;8(3):112–6. Drewnowski A. Obesity, diets, and
Karina, dkk, Asupan Serat dan IMT... 11
social inequalities. Nutr Rev. 2014;67(suppl1):S36–9. 25. Linde JA, Utter J, Jeffery RW, Sherwood NE, Pronk NP, Boyle RG. Specific food intake , fat and fiber intake , and behavioral correlates of BMI among overweight and obese members of a managed care organization. International Journal of Behavioral Nutrition and Physical Activity. 2006;3(42):1–8. 26. World Health Organization. Global Recommendations on Physical Activity for Health [Internet]. Switzerland; 2010 (Diunduh 22 Januari 2017). Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/1066 5/44399/1/9789241599979_eng.pdf 27. Slama F Ben, Jebali N, Chemli R, Ben C, Achour A, Fadhl M, et al. Dietary fiber in the diets of urban Tunisian women : Association of fiber intake with BMI , waist circumference and blood chemistry : Preliminary study. Clin Res Hepatol Gastroenterol. 2011;35(11):750–4. 28. Suarni. Pengembangan Pangan Tradisional Berbasis Jagung Mendukung Diversifikasi Pangan. Iptek Tanaman Pangan. 2013;8(1):39–47.