IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PEMBELAJARAN TERPADU Slamet Suyanto FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta (e-mail:
[email protected]; HP: 08164267848) Abstract: The Implementation of Character Education through Integrated Learning. The government’s plan to develop character education must be supported by all institutions in this country, including schools and higher educational institutions. Character education is necessary and required to prevent moral and social degradations that have multiple impacts. Many current issues of demoralization, such as corruption, judicial mafia, injustice, and tax abuse, have become people’s concern. Ironically such immoral behaviors are carried out by educated people who have good positions in the government. The questions are as follows. (1) Does education build nation character? (2) What does character education look like? (3) What characters should be developed through education? How can character develop through education? This article tries to answer these questions. Keywords: character education, integrated learning
PENDAHULUAN Kewibawaan Sistem Pendidikan Nasional di dalam mengentaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan dan keterpurukan masih dipertanyakan. Mengapa Indonesia yang luas dan subur termasuk negara yang miskin dan tertinggal? Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau yang terbentang sepanjang 5.110 kilometer dengan lebar sekitar 1.600 kilometer atau sebesar 9.8 juta kilometer persegi di sepanjang katulistiwa. Sebagian besar wilayah itu adalah tanah yang subur dengan hutan hujan tropis terbesar kedua setelah Brasil. Selain itu, Indonesia juga memiliki sumberdaya manusia yang terbesar keempat di dunia dengan jumlah penduduk mencapai 226 juta jiwa, dengan kekayaan
budaya yang tak ternilai, lebih 14 grup etnik besar dengan 300 grup bahasa etnis dan 6 agama besar (Kamanto, 2001). Ironisnya, wilayah yang begitu luas, subur, penuh kekayaan alam dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, dan jumlah penduduk yang besar, memiliki banyak masyarakat yang miskin, buta huruf, dan tertinggal. Indeks Kemiskinan Indonesia (HPI) mencapai 25% tahun 1999 dan turun menjadi 22.7% pada tahun 2000 atau sekitar 55 juta orang miskin (BPS, Bappenas dan UNDP, 2004:715; BPS, 2009:1). Sebanyak 15% penduduk meninggal dunia di bawah usia 40 tahun, 10% orang dewasa buta huruf, 45% penduduk tidak memperoleh air bersih, 22% penduduk tidak memperoleh layanan kesehatan, dan 25% anakanak salah makan. Wajar jika HDI atau
97
98 indeks pembangunan sumber daya manusia Indonesia hanya memiliki skor rerata 71, berada di bawah Thailand dan Vietnam, dengan skor tertinggi DKI Jakarta (77.38) dan terendah Papua dan NTT (64.53) (BPS, Bappenas dan UNDP, 2009). Kondisi kehidupan bangsa juga sarat dengan tindak kriminal. Indonesia menempati ranking kedua negara terkorup di dunia, dan turun menjadi ranking keempat, bukan karena korupsinya turun tetapi karena jumlah negara yang dikaji bertambah. Perselisihan antaretnis, ras, dan agama yang menyebabkan kematian masih sering terjadi. Demikian pula kasus pembunuhan, bunuh diri, bencana alam dan kriminalitas lainnya menyebabkan sekitar 1.4 juta orang terbunuh pada tahun 2001. Berbagai persoalan yang mengemuka akhir-akhir ini, seperti kasus Bank Century, makelar kasus (markus), penggelapan pajak, dan korupsi membuktikan adanya kebobrokan moral. Mengapa Indonesia yang subur makmur termasuk negara yang miskin dan tertinggal? Pertanyaan tersebut perlu dijawab oleh seluruh sistem negara, baik politik, ekonomi, pemerintahan, dan pendidikan. Bagi sistem pendidikan, jawaban dari persoalan tersebut adalah rendahnya kualitas dari sistem pendidikan nasional sehingga belum mampu mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan bangsa Indonesia. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah:
“… mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa … mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.” (Bab II, Pasal 3)
Jadi, tujuan utama pendidikan adalah membentuk watak dan peradaban bangsa, aklak mulia, dan keimanan serta ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun demikian, sistem pendidikan nasional belum mampu mengentaskan bangsa dari kemiskinan, kebodohan, dan persoalan moral. Sistem pendidikan belum mampu membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang jaya dengan keimanan, kemanusiaan, demokrasi, kemakmuran, dan keadilan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan karakter untuk membangun karakter bangsa. PENDIDIKAN KARAKTER Pendidikan karakter adalah esensi pendidikan, sejak zaman dulu pendidikan mengembangambangkan karakter yang baik. Pada tahun 1993, Josephson Institute of Ethics mensponsori pertemuan di Aspen, Colorado, USA untuk mendiskusikan penurunan moral dan cara mengatasinya. Sebanyak dua puluh delapan orang pemimpin merumuskan nilai-nilai universal yang diturunkan dari nilai-nilai kultural, ekonomik, politik, dan agama. Hasil pertemuan itu kemudian dikenal dengan Aspen Declaration on Character Education (DeRoche, 2009:1). Momentum itu dikenal sebagai kebangkitan kembali pendidikan karak-
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
99 ter yang dahulu pernah ada. Sejak deklarasi itu, pengertian pendidikan karakter terus berkembang dan lebih dari empat puluh program pendidikan karkater dilaksanakan di USA. Berikut beberapa kutipan pengertian pendidikan karakter. “According to the Declaration, effective character education is based on core ethical values rooted in democratic society, in particular, respect, responsibility, trustworthiness, justice and fairness, caring, and civic virtue and citizenship.” (Murphy, 1998:22). “Character education is an umbrella term loosely used to describe the teaching of children in a manner that will help them develop variously as moral, civic, good, mannered, behaved, non-bullying, healthy, critical, successful, traditional, compliant and/ or sociallyacceptable beings. Concepts that now and in the past have fallen under this term include social and emotional learning, moral reasoning/cognitive development, life skills education, health education, violence prevention, critical thinking, ethical reasoning, and conflict resolution and mediation. Many of these are now considered failed programs i.e., "religious education", "moral education", "values clarification." (D’Alessandro & Power, 2005: 110-115). “Character includes the emotional, intellectual and moral qualities of a person or group as the demonstration of these qualities in prosocial behavior. Character education is an inclusive term encompassing all aspects of how schools, related social institutions and parents can support the positive character development of children and adults. Character education teaches the habits ofthought and deed that help people live and work together as families, friends, neighbors, communities and nations.” (US Department of Education, 2008:1). “Good character consists of understanding, caring about, and acting upon core ethical
values. The task of character education therefore is to help students and all other members of the learning community know "the good," value it, and act upon it.” (Lickona, 2005:1). “Character is a complex system of habits that support or impede the development of a person’s unique potential for excellence.“ (Cunningham, 2007:5) “Character education seeks to develop virtue—human excellence—as the foundation of a purposeful, productive, and fulfilling life and a just, compassionate, and flourishing society.” (Center of 4th & 5th RS, 2009:1).
Berdasarkan kutipan di atas, karakter yang dibangun melalui pendidikan karakter antara lain diambil dari ideologi negara (seperti Pancasila), nilai-nilai budaya bangsa, agama, dan etnik yang diterima oleh masyarakat sehingga tidak menimbulkan konlfik. Karakter yang diajarkan di sekolah adalah kepanjangan dari karakter, moral atau nilai ideal yang ada dan dihargai di masyarakat, seperti kemerdekaan, kemanusiaan, keadilan, demokratis, hormat, bertanggungjawab, dapat dipercaya, kepedulian, nilai-nilai kemasyarakatan dan kewarganegaraan. Pendidikan karakter memiliki peran membantu siswa dan komunitas sekolah untuk memahami nilai-nilai yang baik dan berperilaku berdasarkan nilai-nilai tersebut. Melalui pendidikan karakter diharapkan diperoleh insan yang baik yang mampu mengembangkan potensi dirinya, bangsa, dan negaranya. PENTINGNYA PENDIDIKAN KARAKTER BAGI BANGSA Pentingnya pendidikan dalam pembangunan bangsa ditegaskan UNESCO
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Terpadu
100 (Delors. et al. 1996:13) yang menyatakan bahwa “...education has a fundamental role to play in personal and social development…to foster a deeper and more harmonious form of human development and thereby to reduce poverty, exclusion, ignorance, oppression and war.” Jadi, pendidikan memiliki peran fundamental di dalam pengembangan personal dan sosial untuk mempercepat laju pembangunan manusia yang harmonis sehingga dapat mengentaskan manusia dari kemiskinan, ketertinggalan, kebodohan, kekerasan, dan peperangan. Pentingnya pendidikan di dalam memajukan kesejahteraan bangsa juga dikemukakan Kotler (1997:55-56) dalam buku The Marketing of Nations. Hasil penelitiannya di negara-negara Asia Timur menunjukkan bahwa investasi di bidang pendidikan ternyata memberi hasil yang baik bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan bangsa. Dengan demikian, tujuan pendidikan karakter adalah mengembangkan karakter bangsa agar bangsa Indonesia memiliki jati diri, derajat, dan nilai universal yang sederjat dengan bangsa-bangsa lain. Untuk itu, bangsa Indonesia harus cerdas, maju, sejahtera, dan bermartabat, jauh dari kebodohan, ketertinggalan, dan kemiskinan yang dibangun melalui pendidikan karakter bangsa. PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH Sekolah merupakan institusi paling strategis untuk menerapkan pendidikan karakter. Bennett dan LeCompte (1995: 1-25) mengatakan bahwa dari sudut pandang sosiologi, terdapat empat teori yang menjelaskan fungsi dan tujuan se-
kolah, yaitu (1) teori fungsionalisme; (2) teori konflik; (3) teori reproduksi; dan (4) teori interpretatif-kritis. Menurut teori fungsionalisme, sekolah dapat dikelompokkan ke dalam empat kategori fungsi,, yaitu sebagai agen intelektual, politik, ekonomik, dan sosial. Sebagai agen intelektual, fungsi dan tujuan sekolah meliputi (1) membantu siswa dalam mengembangkan kecakapan kognitif (membaca, berhitung, menulis, dan sebagainya); (2) membantu siswa dalam memeroleh pengetahuan; dan (3) membantu siswa dalam menguasai kemampuan inkuiri. Tujuan sekolah sebagai agen politis adalah (1) mendidik calon warga negara masa depan; (2) memupuk jiwa patriotism; dan (3) menegakkan aturan, kesantunan, dan hukum. Sebagai agen ekonomik, fungsi sekolah adalah (1) menyiapkan siswa agar nantinya dapat bekerja; dan (2) melatih keterampilan calon tenaga kerja. Sebagai agen sosial, fungsi sekolah adalah (1) menumbuhkan jiwa sosial dan tanggung jawab moral; (2) sebagai tempat latihan memecahkan persoalanpersoalan social; dan (3) mendukung fungsi agen sosial lain seperti institusi keagamaan dan keluarga. Selain itu, sekolah mendidik sikap, keterampilan, dan perilaku sosial yang diperlukan siswa di tempat kerja. Pendidikan karakter memuat semua fungsi tersebut di atas dengan menekankan pada pengembangan karakter bangsa. Dengan kata lain, pendidikan karakter merupakan salah satu bagian dari tujuan pendidikan yang secara khusus mengembangkan karakter bangsa. Dari sudut pandang teori sosial tersebut, pendidikan karakter tercakup sebagai agen politis dan agen sosial,
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
101 tetapi esensinya adalah membangun manusia Indonesia agar memiliki nilai-nilai universal, seperti ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, demokrasi, dan sosial.
Akhir-akhir ini banyak persoalan remaja, narkoba dan penyakit menular yang juga menjadi fokus pengembangan karakter di sekolah (Bagan 1).
Bagan 1. Sekolah yang Mengembangkan Karakter secara Terpadu IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH Piaget dan Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral yang dapat menjadi acuan pendidikan karakter. Menurut Piaget (1965:401-411), perkembangan moral meliputi tiga tahap, yaitu (1) premoral; (2) moral realism; dan (3) moral relativism. Sementara, Kolhberg (Power, Higgins, & Kohlberg, 1989:1-5) menyatakan bahwa perkembangan moral mencakup (1) preconventional (premoral); (2) conventional; dan (3) postconventional. Esensi kedua teori tersebut sama, yaitu pada tahap awal anak belum mengenal aturan, moral, etika, dan susila. Kemudian, berkembang menjadi individu yang mengenal aturan, moral, etika, dan susila dan bertindak sesuai aturan tersebut. Pada akhirnya, moral, aturan, etika dan susila ada dalam diri
setiap anak. Perilaku ditentukan oleh pertimbangan moral dalam dirinya, bukan oleh aturan atau oleh keberadaan orang lain; meskipun tidak ada orang lain ia malu melakukan hal-hal yang tidak etis, asusila, dan amoral. PRINSIP IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH Character Education Partnership (CEP) (2010:1-3) mengadaptasikan teori Likona tentang implementasi pendidikan karakter yang efektif di sekolah. Ada sebelas prinsip pendidikan karakter yang efektif, yaitu sebagai berikut. Sekolah dengan segenap komunitasnya mengembangkan nilai etika dasar dan perilaku yang diyakini sebagai karakter yang baik.
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Terpadu
102 Sekolah mendefinisikan karakter secara komprehensif meliputi cara berpikir, bersikap, dan berperilaku. Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, mendalam dan proaktif untuk mengembangkan karakter. Sekolah mengembangkan komunitas yang peduli. Sekolah memberi kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan nilai-nilai moral. Sekolah mengembangkan kurikulum yang bermakna dan menantang yang menghormati semua siswa, mengembangkan nilai, dan membantu siswa untuk sukses. Sekolah membantu siswa dalam mengembangkan motivasi diri. Staf sekolah merupakan komunitas belajar etika yang dapat menjadi contoh dan tauladan bagi siswa. Sekolah mengembangkan kepemimpinan bersama dan berbagai pendukung pendidikan karakter. Sekolah melibatkan orangtua dan komunitas sekolah sebagai patner pengembangan karakter. Sekolah secara reguler melakukan asesmen terhadap kultur dan iklim sekolah dan staf dalam pendidikan karakter di mana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Implementasi pendidikan karakter di sekolah secara garis besar dilakukan melalui tiga cara, yaitu (1) ekslusif; (2) inklusif (terpadu); dan (3) campuran. Penerapan pendidikan karakter secara ekslusif selama ini sudah dilakukan, yaitu melalui mata pelajaran tersendiri, seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Kewarga-
negaraan, dan Pendidikan Budi Pekerti. Akhir-akhir ini, muncul “Kantin Kejujuran” yang dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran pada diri siswa. Model ekslusif ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu mudah dilakukan, baik dari segi pengadaan guru, buku pelajaran, dan penilaian. Kelemahannya adalah tidak ada integrasi nilai-nilai yang dikembangkan antarmata pelajaran. Kemungkinan saling tindih (overlap) nilai-nilai yang dikembangkan tinggi dan di sisi lain banyak karakter yang tidak dikembangkan. Selain itu, karena tidak ada kesepakatan nilai-nilai (karakter) yang dikembangkan sekolah, sulit bagi sekolah untuk mengukur sejauh mana karakter yang dikembangkan sekolah telah tumbuh di dalam diri siswa. Implementasi pendidikan karakter secara inklusif merupakan alternatif yang patut dicoba. Pada model inklusif, karakter yang dikembangkan sekolah dirumuskan bersama oleh semua civitas sekolah dan dilaksanakan bersama oleh semua mata pelajaran yang ada melalui model pembelajaran terpadu (integrated learning). Fogarty (1991:75-85) dalam bukunya The mindful school: How to Integrate the Curricula mengidentifikasi sembilan model pembelajaran terpadu dan satu model pembelajaran terpisah. Salah satu model pembelajaran terpadu adalah Integrated Model (model pembelajaran terpadu). Model ini mengintegrasikan semua mata pelajaran dalam mengembangkan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif. Model ini tampaknya sesuai untuk mengembangkan karakter di sekolah. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa: (1) nilai-nilai atau karakter yang akan dikembangkan
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
103 sekolah dalam diri anak didik harus dirancang, disetujui, dan dilaksanakan bersama oleh seluruh komponen sekolah; (2) ada pembagian peran guru mata pelajaran terhadap pengembangan karakter tertentu. Terdapat lima tahapan pola pengembangan pendidikan karakter melalui model pembelajaran terpadu, yaitu (1) identifikasi; (2) perencanaan; (3) pelaksanaan; (4) pembiasaan; dan (5) evaluasi. Berikut uraian dari masing-masing tahapan. Tahap Identifikasi Pada tahap ini sekolah mengidentifikasi karakter yang akan dikembangkan sekolah. Sebaiknya, sekolah dan guru memperoleh wawasan tentang pendidikan karakter dan tatacara implementasinya terlebih dahulu sebelum melakukan identifikasi. Proses identifikasi karakter dilakukan bersama oleh seluruh civitas sekolah. Dasar pemilihan karakter antara lain adalah nilai
universal (global), karakter yang telah diidentifikasi oleh direktorat, kepentingan siswa, dan kepentingan sekolah. Secara global, ada sepuluh nilai universal, yaitu trustworthiness, respect, responsibility, fairness, caring, citizenship, honesty, courage, diligence, integrity (Sichel, 1988: 3, www.goodcharacter.com). Sekjen PBB Koffi Annan (2003:3) menyampaikan pidato atas penghargaan Nobel yang ia terima di Tubigen University mengenai global ethics dan menyatakan adanya lima nilai universal yaitu: peace, freedom, social progress, equal rights, and human dignity. Direktorat Pendidikan Tinggi konon telah mengidentifikasi 400 nilai yang baik. Tentu akan sulit jika semua karakter tersebut harus dikembangkan oleh guru di sekolah. Oleh karena itu, Direktorat PSMP (2010:5) mengidentifikasi 49 sembilan karakter utama yang penting untuk dikembangkan di sekolah. Duapuluh dua di antaranya adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Karakter Utama 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Religius Berperikemanusiaan Demokratis Nasionalis Adil Menghargai keberagaman Patuh pada hukum Jujur Disiplin Kerja keras Ingin tahu
12. Bertanggung jawab 13. Percaya diri 14. Santun 15. Mandiri 16. Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif 17. Menghargai karya dan prestasi orang lain 18. Bergaya hidup sehat 19. Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain 20. Peduli sosial dan lingkungan 21. Cinta ilmu 22. Berjiwa wirausaha
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Terpadu
104 Tahap Perencanaan Berdasarkan hasil identifikasi, diperoleh sejumlah karakter atau nilai yang akan dikembangkan di sekolah. Misalnya, dari duapuluh dua karakter tersebut, sekolah pada tahap awal mengembangkan 16 karakter. Kemudian, didefiniskan dan disusun indikator perilaku yang dapat diamati dari karakter tersebut. Di antara 16 karakter tersebut selanjutnya ditetapkan sejumlah karakter utama, karakter penting, dan karakter mata pelajaran. Karakter utama adalah karakter yang merupakan unggulan sekolah dan akan dikembangkan bersama oleh semua mata plajaran, misalnya karakter nomor 1,2,3,4, dan 5. Karakter penting adalah karakter yang di bawah karakter utama yang dipandang penting. Karakter penting dikembangkan oleh dua atau tiga mata pelajaran, mi-
salnya IPA dan IPS bersama-sama mengembang karakter nomor 16. Karakter mata pelajaran adalah karakter yang akan dikembangkan oleh mata pelajaran tertentu. Mata pelajaran IPA akan mengembangkan karakter tertentu yang berbeda dengan mata pelajaran IPS, misalnya karakter nomor 11, 8, dan 9. Semua karakter tersebut dipetakan dalam matriks pembelajaran terpadu mengacu pada Fogarty (1991:80) (Bagan 2). Karakter yang berada di tengah (nomor 15) adalah karakter utama, yang dikembangkan bersama oleh semua mata pelajaran di sekolah. Di luar itu (area abuabu tua) adalah karakter penting yang dikembangkan bersama oleh dua atau lebih mata pelajaran. Area terluar adalah karakter yang dikembangkan oleh masing-masing pelajaran.
Bagan 2. Matriks Pengembangan Karakter secara Terpadu Mengacu pada Fogarty (1991, p.80)
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
105 Langkah selanjutnya adalah menyusun program tahunan dan program semester pengembangan karakter. Untuk karakter yang dikembangkan oleh dua atau lebih mata pelajaran, guru mata pelajaran yang terkait harus mengembangkan program semester dan tahunan bersama. Secara bersama-sama, guru menentukan kapan karakter tersebut akan dikembangkan, berapa lama waktunya, dan apa bentuk kegiatannya. Langkah selanjutnya tahap perencanaan, yaitu menyusun perangkat pembelajaran, seperti silabi. RPP, media, dan penilaian mata pelajaran dengan memperhatikan Standar Isi dan matriks pendidikan karakter di atas. Direktorat PSMP (2010) telah menyusun contoh format silabi dan RPP pendidikan karakter yang dapat menjadi salah satu acuan bagi guru. Guru mata pelajaran menyisipkan karakter yang harus dikembangkan ke dalam silabi, dan menjabarkannya di dalam RPP, dan memasukkannya di dalam skenario pembelajaran. Guru perlu memilih materi yang sesuai dengan karakter yang akan dikembangkan, menyusun kegiatan pembelajaran, media pembelajaran, dan instrumen evaluasi. Tahap Pelaksanaan Pelaksanaan pembelajaran untuk pendidikan karakter terintegrasi di dalam pembelajaran mata pelajaran. Kegiatan pembelajaran berlangsung sebagaimana jadwal pelajaran. Hal yang sangat penting dan harus senantiasa disadari guru adalah bahwa pembelajaran tidak berhenti pada pengetahuan dan keterampilan, tetapi sampai pada inter-
nalisasi nilai-nilai atau karakter yang dikembangkan. Guru biologi, misalnya, tidak hanya membahas apa itu kloning dan bagaimana teknik kloning, tetapi nilai-nilai kerja keras dan pantang menyerah para peneliti kloning; karena keberhasilan kloning pada sel soma dewasa dicapai setelah percobaan yang ke 277. Biasanya orang sudah putus asa dan menyerah setelah mencoba 3-5 kali dan tidak berhasil. Sifat kerja keras dan pantang menyerah inilah yang ditanamkan ke dalam diri siswa. Tahap Pembiasaan Setelah siswa memahami nilai-nilai atau karakter yang dikembangkan di sekolah, langkah selanjutnya adalah membiasakan siswa agar menerapkan nilainilai/karakter tersebut. Guru memiliki peran ganda di dalam pendidikan karakter. Pertama, ia menjadi model atau contoh perilaku yang sesuai dengan karakter yang dikembangkan. Kedua, guru mengontrol perilaku siswa agar sesuai dengan karakter yang diinginkan. Teguran, sapaan, dan peringatan mungkin diperlukan terhadap siswa yang perilakunya tidak sesuai dengan karakter yang dikembangkan sekolah. Demikian pula pujian, nilai plus, dan hadiah perlu diberikan agar member motivasi siswa berbuat baik, tetapi tidak boleh menjadi tujuan (tidak boleh siswa berperilaku baik agar mendapat hadiah). Tahap Evaluasi Evaluasi pendidikan karakter meliputi dua hal yaitu evaluasi hasil dan evaluasi program (Stoll & Jennifer, 1998: 73). Evaluasi hasil pendidikan karakter
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Terpadu
106 dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran melalui mata pelajaran yang bersangkutan. Guru dapat menggunakan teknik nontes seperti lembar observasi, daftar cek, anecdotal record, event sampling, penilaian antarteman dan sebagainya. Penilaian nontes penting karena karakter siswa dapat diamati dalam perilaku sehari-hari. Selain itu, guru dapat juga menggunakan tes perbuatan dan tes wawancara. Pada teknik ini, guru perlu menyusun rubrik penilaian karakter. Evaluasi program dilakukan oleh sekolah dan oleh rumpun mata pelajaran di tempat karakter tersebut dikembangkan. Evaluasi program oleh sekolah ditujukan untuk mengetahui seberapa jauh karakter yang dikembangkan dicapai, apa kelebihan dan kekurangan program, dan bagaimana cara memperbaikinya. Kegiatan ini dapat dilakukan setiap triwulan, semester, dan satu tahunan. Evaluasi program oleh rumpun mata pelajaran dilakukan oleh guru mata pelajaran yang bersangkutan dan dapat dilakukan setelah karakter yang dikembangkan bersama telah dilakukan (National Education Association. 1934:15). KIAT PENYUKSESAN DAN PENGHINDARAN KEGAGALAN PENDIDIKAN KARAKTER CEP (2005:3) menyatakan bahwa “Character education is a national movement creating schools that foster ethical, responsible and caring young people by modeling and teaching good character through emphasis on universal values...” Menurut kutipan di atas, agar pendidikan karakter berhasil dengan baik, ia harus menjadi gerakan nasional. Pemerin-
tah melalui Kementerian Pendidikan Nasional merencanakan, mengorganisasikan, menyusun panduan dan aturan, kebijakan dan dasar hukum, serta pembiayaan pelaksanaan pendidikan karakter. Kedua, pemerintah menciptakan sekolah yang mengembangkan pendidikan karakter. Cara ini dapat dilakukan melalui ujicoba terlebih dahulu seperti pilot proyek, hibah bersaing, sekolah model, dan penelitian. Best practice dan hasil penelitian pendidikan karakter tersebut kemudian dikemas menjadi buku panduan pendidikan karakter yang kemudian disosialisasikan ke berbagai sekolah. Model pendidikan karakter tersebut harus memberi ruang kepada sekolah untuk menentukan karakter sekolah sesuai dengan jiwa KTSP dan MPMBS. Lickona dan Davidson (2005:1-5) mendiskripsikan bahwa karakter memiliki dua unsur utama: performance character (disiplin diri, kerja keras, dan pantang menyerah yang dibutuhkan untuk pencapaian keberhasilan), dan "moral character" (jujur, hormat, can peduli yang diperlukan dalam etika pergaulan). Sekolah harus mengembangkan keduanya secara seimbang dan membantu siswa agar sukses. Menurut Davis (2003:5), terdapat tiga faktor penghambat keberhasilan pendidikan karakter, yaitu ketidakjelasan konsep, kekurangan data empiris, dan kelemahan proses pembelajaran. Konsep pendidikan karakter yang dikembangkan di suatu sekolah dan bentuk perilaku nyata dari karakter tersebut kadang tidak jelas. Hal itu menyulitkan guru dalam proses pengembangan dan pengamatan hasil belajarnya. Oleh karena
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
107 itu, setiap jenis karakter harus didefinisikan dengan jelas, termasuk indikator pencapaiannya. Proses pengembangan karakter juga sering dibebankan kepada beberapa mata pelajaran, seperti Agama, Pancasila, PKn; padahal mata pelajaran lain seharusnya ikut bertanggung jawab. Sering guru menilai karakter siswa dengan nilai Amat Baik atau Baik berdasarkan satu-dua pengamatan yang tidak tercatat dengan baik. Hal itu terjadi karena tidak mudah mengamati 500-900 siswa dalam satu sekolah dan mencatat data karakter setiap anak dengan baik. Oleh karena itu, perlu ada pembagian tanggung jawab tiap guru terhadap siswa dan karakter yang diamati. Thomas, Ronald S. (1991:3) menambahkan sulitnya melakukan asesmen pendidikan karakter karena setiap anak menganut sistem nilai yang berbeda. Selain itu, jika anak mengetahui kalau ia berbuat sesuatu nilainya tinggi, ia akan melakukannya, meskipun dalam dirinya sebenarnya tidak menyukai hal itu.
tahap identifikasi, perencanaan, pelaksanaan, pembiasaan, dan evaluasi. Agar pendidikan karakter berhasil dengan baik di sekolah maka harus ada: kejelasan konsep, jenis karakter yang dikembangkan, indikator, dan cara penilaian yang dapat dijadikan acuan bagi semua komponen sekolah.
PENUTUP Implementasi pendidikan karakter dapat dilakukan secara terpisah, semi terpadu, dan terpadu. Implementasi pendidikan karakter secara terpadu dipandang lebih menjanjikan daripada model yang lain mengingat nilai-nilai atau karakter yang akan dikembangkan sekolah dirancang, disetujui, dan dilaksanakan bersama oleh seluruh komponen sekolah. Ada lima tahapan implementasi pendidikan karakter secara terpadu yaitu
DAFTAR PUSTAKA
UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih yang tak terhingga, saya ucapkan kepada para Guru MAN3 Yogyakarta dan MAN 1 Sabdodadi Bantul atas sharing pengembangan dan penilaian pendidikan karakter yang telah dilakukannya. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Tim Pengembangang Pendidikan Karakter Direktorat Pendidikan Menengah atas sharing wawasan dan konsep mengenai grand desain Pendidikan Karakter. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada para kepala sekolah, guru, dan staf SMP RSBI yang telah membantu penelitian ini.
Bennett, Katleen P. & Margaret D. Le Compte. 1995. The Way Schools Work. New York: Longman. Berkowitz, Marvin & Melinda C. Bier. What Works in Character Education: A Research-Driven Guide for Educators. http://www.characterandcitizenship.org/research/wwcefor practitioners.pdf. Bohlin, Karen, Deborah Farmer, & Kevin Ryan. 2001. Building character
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Terpadu
108 in Schools Resource Guide. San Francisco: Jossey-Bass. BPS, Bappenas dan UNDP. 2004. The Economics of Democracy: Financing Human Development in Indonesia. Jakarta: Indonesian Human Development Report. BPS. 2009. Human Development Index (HDI) by Province and National 1996 – 2009.http://dds.bps.go.id. Center for the 4th and 5th Rs (Respect and Responsibility). 2009. What Is Character Education? http://www2.cortland.edu/centers/character/. Character Education Partnership (CEP). 2010. Eleven Principles of Effective Character Education. http://www.character.org/elevenprinciples. Cunningham, Craig A. 2007. Character Education in Public Schools: The Quest for a Suitable Ontology. National-Louis University. http://cuip.uchicago.edu/~cac/pubs.htm. Davis, Michael. 2003. “What's Wrong with Character Education?” American Journal of Education, volume 110.http://www.journals.uchicago .edu/cgi-bin/resolve? Delors, Jacques. et al. 1996. Learning: The Treasure Within. Report to UNESCO of the International Commission on Education for the Twenty-first century. Australia: UNESCO Publishing.
DeRoche, E. and Williams, M. 2009. The What, Why, and How of Character Education. http://www.csee.org/products/108. Elias, Maurice J. et al. (Eds). 1997. Promoting Social and Emotional Learning: Guidelines for Educator. ASCD, Gaithersburg, Md.: Aspen Publications 45-57. Fogarty, Robin. 1991. The Mindful School: How to Integrate the Curricula. Palatine, Illinois: Skylight Publishing, Inc. Higgins, A. De-Alessandro. 2006. Moral Functioning, Moral Identity, and Moral Self-Concepts. http://cee.nd.edu/news/documents/HigginsDASummary.pdf. Higgins-D’Alessandro, A. & Power, F.C. 2005. “Character, Responsibility, and the Moral Self”. In D.K. Lapsley and F.C. Power (Eds.) Character Psychology and Character Education. Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, pp. 101-120. Koffi Annan. 2003. Global Ethics: "Do We Still Have Universal Values?". 3rd Global Ethic Lecture of the Global Ethic Foundation, given by Kofi Annan Secretary General of the United Nations (1997–2007) Nobel Peace Prize Laureate 2001, at the University of Tübingen, 12 December 2003. Kotler, Philip, Somkid Jatusripitak & Suvit Maesincee 1997. The Mar-
Cakrawala Pendidikan, Mei 2011, Th. XXX, Edisi Khusus Dies Natalis UNY
109 keting of Nations. New York, NY.: The Free Press. Lickona, Thomas & Matthew Davidson. 2005. Smart & Good High Schools: Integrating Excellence and Ethics for Success in School, Work, and Beyond. Cortland, NY: The Character Education Partnership. www.cortland.edu/character/highschool. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character. New York: Bantam Books. Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character: How Our Schools can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books. Lickona, Tom, Eric Schaps, and Catherine Lewis. 1994. Eleven Principles of Effective Character Education. Washington, DC: Character Education Partnership. Madison, James, 2003. Character Education. http://www.freedomforum.org/publications/first/findingcom monground/B13.CharacterEd.pdf Murphy, M. 1998. Character Education in America’s Blue Ribbon Schools Lancaster, PA: Technomic Publishing. National Education Association. 1934. Education for Character; Part II: Improving the School Program, NEA Research Bulletin 12(3). Washington: Research Division of the NEA. Piaget, Jean. 1965. The Moral Judgment of The Child. New York: The Free Press.
Power, F. C.; Higgins, A., & Kohlberg, L. 1989. Lawrence Kohlberg's Approach to Moral Education. New York: Columbia University Press. Richard A Fabes. et al. 1989. Effects of Rewards on Children's Prosocial Motivation: Socialization Study, Developmental Psychology, vol. 25, 1989. Ronald, S. Thomas. 1991. “Assessing Character Education: Paradigms, Problems, and Potentials”. Eric Clearing House 65(1), 1991: 51-55. Ryan, K. and Bohlin, K.1999. Building Character in Schools. San Francisco, CA: Jossey-Bass. Sichel, Betty A. 1988. Moral Education: Character, Community, and Ideals. Philadelphia: Temple University Press. Stoll, Sharon Kay & Jennifer M. Beller. 1998. Can Character be Measured?” JOPERD The Journal of Physical Education, Recreation & Dance. January 01, 1998. http://www.accessmylibrary.com. Sunarto, Kamanto dkk. (eds). 2001. “Multicultural Education in Indonesia and South Asia”. Jakarta: Jurnal Antropologi Indonesia. US Department of Education. 2008. Partnerships in Character Education: State Pilot Projects, 1995–2001 Lessons Learned. http://www.ed.gov/programs/charactered/lesson s.html.
Implementasi Pendidikan Karakter melalui Pembelajaran Terpadu