Ahmad, Kepemimpinan Visioner Kepala Sekolah, Kepemimpinan Diri Guru Dan Sekolah Efektif
229
IMPLEMENTASI PELAYANAN PERIZINAN TERPADU SATU PINTU Yuli Tirtariandi El Anshori, Enceng dan Anto Hidayat FISIP Universitas Terbuka , Jalan Cabe Raya, Pondok Cabe Pamulang, Tangerang Selatan, Banten 15418, e-mail:
[email protected] Abstract: The Implementation of Integrated Licensing Services. The purpose of the study is to find an overview of the implementation of OSS, especially in Bangka Regency. The research uses qualitative descriptive method. Then, The primary data are obtained from interviews and observations, and the secondary data are obtained from the documents. The analysis of the data using triangulation method. The results show that the commitment of the Bangka Regency head in implementing OSS is good, but the problem is found in terms of the functions of coordination. It arises as the impact of institutional forms. The impact of the pull of interests between the two institutions in the public service licensing can result in low confidence of the businessmen bureaucratic public service providers. Keywords: implementation, integrated public services, coordination Abstrak: Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu. Tujuan penelitian adalah menemukan gambaran tentang implementasi PTSP khususnya di Kabupaten Bangka. Metode yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Data primer diperoleh dari wawancara dan observasi. sedangkan data sekunder diperoleh dari studi dokumentasi. Analisis data menggunakan metode triangulasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komitmen pelaksanaan PTSP di Kabupaten Bangka dari kepala daerah sudah baik, tetapi kendala ditemukan dalam hal fungsi koordinasi antara lembaga pelaksana PTSP dengan SKPD teknis karena perbedaan eselonisasi. Imbas tarik menarik kepentingan antara kedua lembaga tersebut dalam pelayanan publik perizinan dapat berdampak pada rendahnya kepercayaan pelaku usaha terhadap birokrat pemberi pelayanan publik. Kata kunci: implementasi, pelayanan publik terpadu, koordinasi
PENDAHULUAN Pelaksanaan desentralisasi melalui otonomi daerah pada hakikatnya adalah sebuah upaya memperbaiki pelayanan kepada masyarakat. Dengan otonomi daerah diharapkan pelayanan publik dapat berlangsung secara lebih efisien dan efektif. Efisien dalam arti masyarakat tidak perlu membuang waktu dan biaya terlalu banyak untuk mengurus hal-hal yang diperlukan ke pusat, karena pemerintah daerah telah diberi wewenang mengurus urusannya. Efektif dalam arti masyarakat mendapat pelayanan yang berkualitas. Dalam prakteknya penyelenggaraan otonomi daerah sering diwarnai oleh kebijakan yang kontra investasi. Beragam pungutan liar menjadi keluhan para investor di daerah ketika mengurus per-izinan investasinya. Ditambah dengan ketidakpas-
tian waktu penyelesaian pelayanan perizinan menjadi masalah klasik dalam pelayanan perizinan di era otonomi daerah. Meskipun demikian, sebenarnya pemerintah pusat juga telah mendorong dan memfasilitasi perbaikan pelayanan perizinan ini dengan mengeluarkan kebi-jakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) melalui Permendagri Nomor 24 Tahun 2006. Kebijakan PTSP tersebut bertujuan meningkatkan kualitas pelayanan publik serta memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan publik. Selain Permendagri tersebut, beragam peraturan telah dikeluarkan pemerintah untuk mendorong daerah melaksanakan pelayanan perizinan yang efektif dan efisien. Diantaranya UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pin229
230
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014:229-240
tu di bidang Penanaman Modal, Peraturan Kepala BKPM Nomor 6 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan dan dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. Ma-salah PTSP ini juga diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam berbagai peraturan tersebut dijelaskan bahwa PTSP merupakan wujud dari sebuah sistem pelayanan terpadu dimana proses pengelolaan beberapa jenis pelayanan dilakukan secara terintegrasi dalam satu tempat. Bahkan dalam PP Nomor 96 Tahun 2012 khususnya Pasal 15 ayat (2) ditegaskan bahwa sistem pelayanan terpadu satu pintu wajib dilaksanakan untuk jenis pelayanan perizinan dan non-perizinan bidang penanaman modal. Dalam kenyataan di lapangan, masih terdapat banyak kepala daerah yang belum menunjukkan komitmen melaksanakan PTSP di bidang perizinan.Tarik menarik kewenangan bidang perizinan masih terjadi di daerah yang sudah membentuk lembaga PTSP. Beberapa sektor masih berada di bawah kendali dinas teknis ataupun langsung di bawah kendali kepala daerah. Hal ini diperparah oleh ketidakjelasan bentuk lembaga PTSP dimana masih ada pemisahan antara layanan perizinan dengan bidang penanaman modal. Pemisahan tersebut tentunya memberatkan investor karena harus berurusan dengan dua instansi yang berbeda. Hal ini sangat tidak efisien dari segi waktu maupun biaya. Data awal penelitian yang diperoleh terkait PTSP di Kabupaten Bangka ini memperlihatkan bahwa pada tahun 2013 fungsi pelayanan perizinan dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). Sedangkan pelayanan penanaman modal dilaksanakan oleh Badan Penanaman Modal (BPM). KPT Bangka sendiri dirikan sejak tahun 2008 dan terus mengalami peningkatan dalam volume perizinan yang ditangani. Tetapi fungsi koordinasi nampaknya mengalami kendala karena status lembaga PTSP yang masih berbentuk
kantor. Terkait hal itu, maka permasalahan penelitian adalah bagaimana implementasi pelayanan perizinan terpadu pada Pemerintah Kabupaten Bangka dan kendala-kendala apa yang mempengaruhinya? Sementara konsep PTSP sendiri adalah penyelenggaraan kegiatan perizinan dan non perizinan yang proses pengelolaannya dari mulai tahap permohonan sampai ke tahap penerbitan dokumen dilakukan secara terpadu dalam satu tempat. Dalam Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 disebutkan bahwa penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu ini ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi dengan memberikan perhatian lebih kepada usaha mikro, kecil dan menengah. Sedangkan Perangkat Daerah Penyelenggara Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PPTSP) adalah perangkat pemerintah daerah yang memiliki tugas pokok dan fungsi mengelola sernua bentuk pelayanan perizinan dan non perizinan di daerah dengan sistem satu pintu. Pada pasal 7 ayat (1) Permendagri tersebut dinyatakan bahwa ruang lingkup tugas PPTSP meliputi pemberian pelayanan atas semua hentuk pelayanan perizinan dan non perizinan yang menjadi kewenangan Kabupaten / Kota. Di beberapa daerah sudah terbentuk PTSP yang menangani semua jenis perizinan dan non perizinan termasuk di bidang penanaman modal. Tetapi di beberapa daerah lainnya, bidang penanaman modal ini masih ditangani oleh SKPD teknis, baik yang berbentuk Dinas/Badan maupun setingkat Kantor. Kriteria ataupun tolak ukur agar sebuah PTSP dapat digolongkan sebagai sebuah PTSP penanaman modal sesuai dengan Pasal 5 ayat (2) Perpres Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal adalah sebagai berikut: sumber daya manusia yang profesional dan memiliki kompetensi handal; tempat, sarana dan prasarana kerja dan media informasi; mekanisme kerja dalam bentuk petunjuk pelaksanaan PTSP di bidang penanaman modal yang jelas, mudah dipahami, dan mudah diakses oleh penanam
Yuli, Enceng dan Anto, Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
modal; layanan pengaduan (helpdesk) penanam modal; serta sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE). Bintoro (1997) mengemukakan pendayagunaan pelayanan publik oleh aparat birokrasi dapat dilakukan dengan cara (1) pengembangan pengukuran standar efisiensi, (2) perbaikan prosedur dan tata kerja rasional organisasi yang lebih efisien dan efektif dalam manajemen operasional yang proaktif, (3) mengembangkan dan memantapkan mekanisme koordinasi yang efektif, (4) mengendalikan dan menyederhanakan birokrasi dengan management by exception dan minimize body contact dalam pelayanan jasa. Pengendalian, penyederhanaan perizinan dan pengaturan yang perlu mendapat perhatian lebih adalah dalam hal investasi, kegiatan usaha, pengelolaan tanah dan bangunan, serta kelancaran lalu lintas barang. Penelitian Kriswantoro (2012) memperlihatkan bahwa pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta dilaksanakan oleh lembaga berbentuk Dinas yaitu Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Strategi pelayanan satu pintu (One Stop Service) menggunakan dua pola yaitu pola pelayanan terpadu satu pintu dan pelayanan terpadu satu atap. Kemudian salah satu temuan penting dari studi tersebut adalah adanya kecemburuan antara dinas lain di lingkungan Pemkot Yogyakarta terhadap Dinas Perizinan yang diberikan kewenangan melayani soal perizinan. Tetapi studi ini tidak membahas apakah masalah penanaman modal juga ditangani oleh dinas tersebut. Sementara penelitian yang pernah dilakukan oleh Prameswari (2012) di Kabupaten Purbalingga menunjukkan bahwa pada awalnya Pemerintah Kabupaten Purbalingga memaksimalkan potensi investasi di daerah dengan melakukan penggabungan antara bidang perizinan dengan bidang investasi melalui pembentukan Kantor Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu. Penelitian Pertiwi (2012) di Kota Bandung memperlihatkan bahwa masih ada dualisme dalam pengelolaan pelayanan perizinan
231
bidang penanaman modal. Pelayanan tersebut berada di dua lembaga yaitu Bappeda dan Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT). Hal ini bertentangan dengan Pasal 26 ayat (2) UU Penanaman Modal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi pelayanan perizinan terpadu pada Pemerintah Kabupaten Bangka dan kendala-kendala yang mempengaruhinya. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan adalah studi dokumen, pengamatan lapangan, serta wawancara mendalam. Informan berasal dari Kepala KPT Kabupaten Bangka dan staf, Sekretaris Badan Penanaman Modal, LSM, serta 30 orang pengguna jasa layanan perizinan di KPT Kabupaten Bangka. Untuk studi dokumentasi, dokumen yang ditelaah dan dianalisis adalah berbagai peraturan perundangan yang terkait dengan pelayanan terpadu satu pintu (PTSP) dan penanaman modal, seperti UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; PP Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik; Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang PTSP, Peraturan Kepala BKPM Nomor 6 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan, Pembinaan dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, Peraturan Daerah, dan beberapa dokumen terkait lainnya. Analisis data kualitatif dilakukan dengan fokus utama adalah mengeskplorasi suatu fenomena. Data diambil melalui wawancara mendalam dengan informan kunci, studi dokumen, dan studi pustaka. Data yang terkumpul dikategorisasi, dipetakan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasilnya adalah gambaran konkrit tentang model yang tepat dalam perizinan terpadu satu pintu. HASIL Struktur Organisasi Keberadaan KPT di Kabupaten Bang-
232
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014:229-240
ka diawali dengan langkah Pemerintah Daerah Kabupaten Bangka pada tanggal 3 Januari 2007 secara resmi membentuk Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPT–SP). Lembaga ini merupakan Unit Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang pertama kali dibentuk di Provinsi Bangka Belitung. Hal ini sekaligus memperlihatkan bahwa Pemerintah Kabupaten Bangka termasuk cepat dalam merespon Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 agar setiap daerah segera membentuk PTSP setahun setelah Permendagri tersebut berlaku. Berikutnya, untuk memantapkan status kelembagaan UPT-SP tersebut, maka berdasarkan Perda Kab. Bangka Nomor 17 Tahun 2007 tanggal 30 Juli 2007, status UPTSP yang pada awalnya merupakan unit atau bagian dari Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bangka (sekarang DPPKAD), ditingkatkan statusnya menjadi Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Bangka dalam rangka menghadirkan pelayanan publik yang berkualitas prima kepada masyarakat. Sesuai Perda tersebut maka Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Bangka merupakan SKPD sendiri setingkat Eselon IIIa. Pada tahun 2009, Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Bangka ditata kembali berdasarkan Perda Nomor 18 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Terpadu Kabupaten Bangka. Struktur Organisasi KPT Bangka berdasarkan Perda Nomor 18 Tahun 2009 dapat dilihat pada gambar 1. Mengacu kepada Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 tentang PTSP khususnya Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa “pemerik-
saan teknis di lapangan dilakukan oleh Tim Kerja Teknis di bawah koordinasi kepala PPTSP”. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah anggota tim teknis ditempatkan di lembaga PTSP? Pasal ini hanya menyebutkan tim berada di bawah koordinasi kepala PTSP. Dalam prakteknya, di KPT Bangka anggota tim teknis tidak berkantor di KPT tetapi tetap di SKPD Teknis. Mereka baru akan bekerja sesuai dengan permintaan atau undangan dari KPT Bangka. Hal ini menjadi kendala pelaksanaan tupoksi KPT mengingat kedudukan KPT Bangka yang setingkat eselon IIIa terkadang tidak diindahkan oleh SKPD Teknis yang memiliki eselonisasi setingkat di atasnya. KPT Bangka memmpunyai visi yakni terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas (cepat, murah, transparan, pasti dan terjangkau masyarakat) di bidang perizinan melalui pelayanan prima yang merupakan kewajiban aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Sedangkan misinya adalah meningkatkan kualitas pelayanan publik, memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk memperoleh pelayanan, meningkatkan citra aparatur dalam memberikan pelayanan prima, dan meningkatkan kualitas SDM aparatur Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) Kabupaten Bangka. Visi dan misi KPT Kabupaten Bangka tersebut sejalan dengan visi Kabupaten Bangka tahun 2009-2013 yaitu IDAMAN (Ideal dalam pelayanan, Amanah dalam pemerintahan dan Anti terhadap Kemiskinan), serta misi 231 kabupaten Bangka antara lain mewujudkan pelayanan prima bidang perizinan dan non perizinan serta mewujudkan peningkatan
Struktur Organisasi KPT Bangka
Kepala Kantor Subbag Tata Usaha
Seksi Pelayanan Perizinan
Seksi Monitoring dan Evaluasi
Gambar 1. Struktur Organisasi KPT Bangka
Seksi Survey dan pengaduan
Tim teknis
Seksi Informatika danPendataan Elektronik
Yuli, Enceng dan Anto, Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
233
kualitas kelembagaan dan sumber daya ma- menjadi 67 jenis perizinan. Kemudian adnusia aparatur. Sementara tugas pokok KPT ministrasi meliputi proses penerbitan, penKabupaten Bangka sesuai dengan Peraturan andatanganan, penomoran dan penarikan Bupati Bangka Nomor 6 Tahun 2010 adalah retribusi perizinan semuanya dilaksanakan melaksanakan koordinasi dan menyeleng- di KPT. Dengan demikian terjadi perubagarakan pelayanan administrasi di bidang han kewenangan Kepala KPT dalam menanperizinan secara terpadu dengan prinsip datangani perizinan, semula hanya 25 jenis koordinasi, integrasi, sinkronisasi, sim- perizinan berubah menjadi 67 jenis periziplikasi, keamanan dan kepastian. Mengenai nan. Di luar 67 jenis perizinan itu masih terkewenangan yang diberikan kepada KPT dapat 4 jenis pra-izin (non perizinan) yang Kabupaten Bangka adalah: a) Kepala KPT menjadi kewenangan SKPD Teknis yaitu: mempunyai kewenangan menandatangani (1) Persetujuan prinsip/pendaftaran penanaperizinan atas nama bupati berdasarkan pen- man modal (Badan Penanaman Modal); (2) delegasian wewenang dari Bupati, b) KPT Keterangan Kesesuaian Tata Ruang (Bappemempunyai kewenangan untuk menyeleng- da); (3) Dokumen Lingkungan (Badan garakan pelayanan administrasi di bidang Lingkungan Hidup); (4) Izin Lingkungan perizinan secara terpadu mulai dari permo- (Badan Lingkungan Hidup). Hingga Tahun 231 honan sampai terbitnya perizinan. 2013, jenis layanan perizinan di KPT yang Jumlah perizinan yang kewenangan dikenakan retribusi meliputi 5 macam yakni penandatanganannya didelegasikan kepada IMB, Izin gangguan (HO), Izin Trayek, Izin Organisasi KPT Bangka Kepala KPT sebanyak 25 jenisStruktur perizinan Usaha Perikanan, dan Izin Tempat Penjuasebagaimana diatur dalam Peraturan Bupati lan Minuman Beralkohol. Bangka Nomor 7 Tahun 2010.Kepala Pada Kantor tahun 2010 tersebut, sebanyak 35 jenis perizinan Mekanisme Layanan KPT Bangka Usaha mekanisme atau alur lainnya masih menjadi wewenang SKPD umum, Subbag SecaraTata teknis, dan 3 jenis perizinan ditandatangani layanan perizinan di KPT Bangka dapat dilangsung oleh Bupati Bangka. Kemudian lihat pada bagan berikut ini: Seksi Pelayanan Monitoring Seksi Survey Seksi Informatika berdasarkan Peraturan BupatiSeksi Nomor 11 dan TaDari alurdanlayanan tersebut dapat dilihat pengaduan Perizinan Evaluasi danPendataan Elektronik hun 2013 Tentang Pendelegasian Wewenang bahwa sebenarnya proses layanan periziPenerbitan Perizinan Dalam Rangka Pelak- nan di KPT Bangka sudah cukup sederhaTim teknis Gambar 1. Struktur Organisasi KPT Bangka sanaan Pelayanan Terpadu di Daerah maka na. Standar layanan prosedur yang ada jika Perizinan yang dilayani KPT bertambah diterapkan dengan konsisten sudah dapat
2
3
4
3A
1
5 7
6
Gambar 2. Alur layanan perizinan di KPT Bangka Tabel 1. Jumlah Pemohon dan Penerimaan Retribusi Layanan Perizinan di KPT Bangka No Tahun Jumlah penerimaan (Rp) Jumlah pemohon (orang) 1
2010
1.952.990.654,55
4708
234
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014:229-240
memberikan kepastian kepada permohon menjadi tugas mereka. Peran bupati sangat mengenai waktu proses, biaya, dan per- diperlukan sebagai pengambil kebijakan syaratan perizinan. Misalnya SOP yang ber- agar implementasi PTSP ini dapat berjalan laku untuk layanan SIUP yakni hanya 3 hari dengan semestinya. kerja dengan catatan semua persyaratan dari Pemberian kewenangan yang lebih bepemohon sudah lengkap. sar kepada KPT dalam melayani masalah Standar baku pelayanan yang ber- perizinan, memperlihatkan dua hal penting. laku untuk setiap jenis perizinan meliputi Pertama, Bupati Bangka mendukung langpersyaratan, biaya dan waktu sudah diso- kah-langkah inovatif dalam memberikan pesialisasikan melalui leaflet, website, maupun layanan publik yang prima. Kedua, komitinformasi melalui monitor TV dan TV touch men dari bupati untuk menciptakan sebuah screen (Kios-K) di kantor KPT. Kemudahan good governance dan rangkaian reformasi pelayanan yang tergambar dalam SOP men- birokrasi di Kabupaten Bangka. dorong laju permohonan perizinan di KPT Dalam kasus di Kabupaten Bangka, Bangka seperti tergambar dalam tabel beri- setidaknya sejak tahun 2007 upaya menkut ini: ciptakan good governance tersebut sudah Terjadi fluktuasi jumlah penerimaan dilakukan dengan membentuk Unit Pedan jumlah pemohon antara tahun 2010 layanan Terpadu Satu Pintu (UPT–SP), yang hingga 2012. Meskipun jumlah pemohon kemudian secara berangsur-angsur berubah pada tahun 2012 lebih sedikit daripada ta- menjadi KPT. Modernisasi birokrasi dilakuhun 2012 tetapi justru terjadi peningkatan kan dengan menata ulang struktur KPT pada jumlah penerimaan. (tabel 1). tahun 2009. Komitmen menegakkan hukum Tabel 1. Jumlah Pemohon dan Penerimaan diawali dengan melimpahkan kewenangan Retribusi Layanan Perizinan di melalui KPT untuk menghindari terjadinya Tabel 1. JumlahKPT Pemohon dan Penerimaan Retribusi Layanan Perizinan banyak di KPT Bangka Bangka pungutan liar di bidang perizinan. Proses perizinan yang terlalu banyak meleNo Tahun Jumlah penerimaan (Rp) Jumlah pemohon (orang) wati meja dan prosedur adalah awal dari 1 2010 1.952.990.654,55 4708 berbagai penyimpangan mal-administrasi 2 2011 670.269.618,95 4805 maupun praktek korupsi yang sering terjadi di birokrasi. Melalui PTSP maka berbagai 3 2012 823.681.748,25 3655 penyimpangan dapat diminimalisasi. Sumber: Buku Profil KPT Bangka, 2012 Pemberian kewenangan yang lebKomitmen Implementasi PTSP ih besar kepada KPT juga merupakan seJika melihat perjalanan lembaga PTSP buah langkah inovatif. Dengan terpusatnya Tabel 2.Kualifikasi Pendidikan Pegawai KPT Bangka di Kabupaten Bangka sejak awal berdiri layanan di KPT maka pemohon tidak perlu hingga menjadi lembaga berbentuk Kantor lagi mendatangi dinas teknis. Hal ini akan No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) saat ini, maka dapat dikatakan bahwa ada mendukung langkah menciptakan efekti1 Strata IItinggi dari Kepala Daerah 1 untuk komitmen vitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan 2 Strata I 7 melaksanakan amanat aturan perundang-unpemerintahan, sejalan dengan prinsip good dangan. Meskipun demikian, membutuhkan governance. 3 Diploma III 5 proses yang cukup lama untuk memberikan Selaras dengan hal tersebut, Bintoro 4 SMA 21 pelimpahanJumlah kewenangan yang lebih besar (1997) mengemukakan bahwa pendayagu34 kepada KPT Bangka dalam hal pelayanan naan pelayanan publik oleh aparat birokrasi Sumber : KPT Bangka, 2013 perizinan. Pelimpahan kewenangan seban- dapat dilakukan salah satunya dengan cara yak 3.Hasil 67 jenis kepada menyederhanakan birokrasi dengan memiTabel Survey perizinan IKM terhadap Kinerja KPT KPT Bangka Bangka membutuhkan komitmen politik yang nimalkan kontak langsung (minimize body Tahundari kepala Rata-rata daerah. IKM kuat SelaluKategori ada keeng- contact) antara pemohon dengan penyedia ganan dari dinas teknis untuk dalam pelayanan jasa. Penyederhanaan per2009 69,48 B (Baik) menyerahkan perizinan yang selama ini izinan dan pengaturan yang perlu mendapat 2010 kewenangan 67,25 B (Baik) 2011
82,66
A (Sangat Baik)
2012
85,38
A (Sangat Baik)
2013 84,82 Sumber: KPT Kab. Bangka, 2013
A (Sangat Baik)
Yuli, Enceng dan Anto, Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
235
perhatian lebih menurut Bintoro adalah da- kepada Perbup Nomor 7 Tahun 2010, ketika lam hal investasi. Keberadaan KPT sebagai perizinan belum sepenuhnya dilimpahkan penyelenggara PTSP di Kabupaten Bangka kepada KPT maka masih terdapat pelayanan akan meminimalkan kontak langsung. Pe- perizinan yang melebihi 15 hari kerja. Conmohon hanya berhubungan dengan front of- tohnya Izin Pembuangan Air Limbah semufice yaitu loket penerimaan berkas dan loket la membutuhkan 45 hari untuk proses perTabel 1. Jumlah Pemohondokumen dan Penerimaan Retribusi Layanan KPT BangkaKetika perizinan ini dilimpahkan pengambilan perizinan yangPerizinan su- di izinan. dah ditandatangani Kepala KPT. dari SKPD Teknis kepada KPT maka wakNo Tahun Jumlah penerimaan (Rp) Jumlah pemohon (orang) tu yang dibutuhkan hanyalah 15 hari kerja. 1 Kendala 2010 1.952.990.654,55 4708 Implementasi Penyelesaian layanan perizinan maksimal 2 Kondisi 2011 670.269.618,95 4805 Layanan 15 hari kerja sudah sejalan dengan aturan ini KPT Bangka yang termaktub di Pasal 11 Permendagri 3 2012 Saat 823.681.748,25 3655melayani 67 jenis perizinan yang ditangani oleh 34 orang Nomor 24 Tahun 2006 tentang PTSP yakSumber: Buku Profil KPT Bangka, 2012 pegawai, seperti terlihat pada tabel berikut ni “Jangka waktu penyelesaian pelayanan ini: perizinan dan non perizinan ditetapkan paTabel 2. Kualifikasi Pendidikan Pegawai ling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung Tabel 2.Kualifikasi Pendidikan Pegawai KPT Bangka KPT Bangka mulai sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh kelengkapannya”. No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) 1 Strata II 1 Keberadaan Tim Teknis 2 Strata I 7 Kendala lainnya yang dihadapi KPT Bangka adalah tentang keberadaan tim 3 Diploma III 5 teknis. Secara struktural terdapat tim teknis 4 SMA 21 di KPT Bangka yang bertugas melakukan Jumlah 34 pemeriksaan teknis di lapangan di bawah Sumber : KPT Bangka, 2013 koordinasi Kepala KPT. Tetapi yang menMengacu kepadaKinerja Pasal 13 Permen- jadi kendala bagi KPT Bangka adalah keTabel 3.Hasil Survey IKM terhadap KPT Bangka dagri Nomor 24 Tahun 2006, pegawai yang beradaan anggota tim teknis ini yang terseditugaskan di IKM lingkungan PPTSP bar di berbagai SKPD teknis. Hal ini tentu Tahun Rata-rata Kategori diutamakan69,48 mempunyai kompetensi di bidang- saja membutuhkan inisiatif ataupun kete2009 B (Baik) nya. Di KPT Bangka salah satu kendala gasan dari bupati mengenai tim teknis ini. 2010 67,25 B (Baik) implementasi PTSP adalah masih belum Tidak semua dinas teknis mau menyerahkan 2011 82,66 A (Sangat Baik) meratanya antara pegawai yang berkuali- orang-orang terbaiknya untuk ditempatkan 2012 85,38 A (Sangat Baik) (SMA). fikasi sarjana dengan non-sarjana secara permanen di KPT. Kendala ditemui 2013 A (Sangatbahwa Baik) jumlah Dari 84,82 data tersebut terlihat KPT Bangka ketika mengundang anggoSumber: KPT Kab.KPT Bangka,Bangka 2013 pegawai masih didominasi ta tim teknis untuk melakukan peninjauoleh pegawai berkualifikasi lulusan SLTA . an lapangan terkait permohonan perizinan Hal ini ke depannya perlu diperbaiki dengan yang masuk ke KPT. Terkadang undangan cara meningkatkan kualifikasi pendidikan tersebut sedikit diabaikan karena adanya pegawai melalui pendidikan lanjut. perbedaan eselon antara KPT dengan dinas Sementara itu terkait dengan kecepa- teknis. Hal inipun diakui oleh pihak KPT. tan pelayanan ataupun waktu penyelesaian Fakta tersebut jika dianalisis maka pelayanan perizinan, para pengguna jasa memperlihatkan bahwa fungsi koordinasi mengakui bahwa layanan di KPT sudah se- dari KPT terhadap keberadaan tim teknis suai dengan standar pelayanan. Dalam prak- tidak berjalan maksimal. Ini tidak lain diseteknya di KPT Bangka saat ini sesuai dengan babkan perbedaan kepangkatan (eselon) Perbup Nomor 12 Tahun 2013 sudah tidak antara Kepala KPT dengan Kepala SKPD ada lagi pelayanan perizinan yang melebi- Teknis. Kemudian keberadaan anggota hi 15 hari kerja. Sebelumnya jika mengacu tim teknis yang tersebar di masing-masing
236
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014:229-240
SKPD menyulitkan KPT untuk melakukan koordinasi dengan cepat dalam menyelesaikan permohonan perizinan terkait pemeriksaan lapangan. Kondisi yang dialami oleh KPT Bangka ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) Kota Tangerang Selatan. Personil tim teknis yang tidak ditempatkan di kantor BP2T menyulitkan BP2T memproses pelayanan perizinan sesuai SOP yang sudah ditetapkan. Persoalan ini tergambar dari arahan Walikota Tangerang Selatan pada rapat tanggal 11 April 2013. Salah satu kesepakatan dari pertemuan yang dihadiri berbagai SKPD termasuk BP2T tersebut adalah penempatan personil tim teknis minimal 2 orang dari tiap SKPD Teknis. Personil tersebut secara fisik ditempatkan di BP2T untuk menunjang pelaksanaan tupoksi BP2T. Penelusuran Dokumen Sesuai ketentuan Permendagri maka masyarakat pemohon dapat melakukan penelusuran posisi dokumen pada setiap proses. Terkait ketentuan pasal ini, hingga akhir tahun 2013 di KPT Bangka penelusuran posisi dokumen belum bisa dilakukan oleh pemohon secara online sebab menu tersebut belum tersedia di website KPT Bangka. Hasil observasi yang dilakukan langsung peneliti, di situs KPT Bangka tidak tersedia menu tersebut yang bisa diakses pemohon. Pihak KPT sendiri ketika diwawancarai tentang hal ini menyatakan bahwa mereka masih terkendala dengan tenaga ahli di bidang teknologi informasi. Hal ini seharusnya bisa segera diperbaiki oleh KPT Bangka untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Jika masyarakat tidak puas terhadap layanan KPT misalnya terkait masalah penelusuran dokumen, maka masyarakat dapat mengirimkan pengaduan. KPT wajib menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara tepat, cepat, dan memberikan jawaban serta penyelesaiannya kepada pengadu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja. Di KPT Bangka hal ini direspon melalui Peraturan
Bupati Nomor 12 Tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Perizinan Terpadu di Kabupaten Bangka. Pada pasal 12 disebutkan bahwa KPT menindaklanjuti berbagai pengaduan masyarakat paling lambat dalam 10 hari kerja. Sedangkan mekanisme layanan pengaduan masyarakat dapat melalui email, SMS layanan publik, telepon dan faks, kotak saran di kantor KPT, ataupun langsung ke loket pengaduan di kantor KPT. Persepsi pengguna Untuk mengukur persepsi pengguna maka peneliti melakukan wawancara mendalam kepada para pengguna jasa KPT yang meliputi beberapa dimensi yaitu dimensi Keandalan,daya tanggap, jaminan, empati, dan keterjangkauan.. Hasilnya menunjukkan rasa kepuasan yang baik terhadap pelayanan KPT. Salah seorang informan menyatakan bahwa sudah ada kejelasan biaya dan waktu pengurusan perizinan. Informasi yang disampaikan melalui SMS Center cukup jelas, dan biaya sesuai dengan rincian di Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD). Ini ditunjang Pelayanan KPT dinilai sudah sesuai dengan SOP yang ada. Meskipun demikian, masih ada informan yang mengaku bahwa pada tingkat pelaksanaan di lapangan, ada oknum yang kurang menjalankan SOP yang telah ditetapkan. Sementara mengenai hasil survei Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) yang dilakukan oleh KPT tiap tahun, sejalan dengan Pasal 20 Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa Penyelenggara PTSP wajib melakukan penelitian kepuasan masyarakat secara berkala sesuai peraturan perundang-undangan. Mengenai pasal ini, terdapat hal yang perlu dipertegas apakah pengukuran IKM tersebut cukup dilakukan sendiri oleh lembaga PTSP ataukah harus melibatkan pihak ketiga? Di KPT Bangka penelitian ataupun survei untuk mengetahui angka IKM tersebut dilakukan sendiri oleh pihak KPT tanpa melibatkan pihak ketiga. Alasan yang dikemukakan oleh pihak KPT adalah keterbatasan anggaran. Jika survey dilakukan PPTSP sendiri, dapat dipertanyakan masalah keakuratan mau-
1 Strata II
1
2 Strata I 3 Diploma III
7 Yuli, Enceng dan5Anto, Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
4 SMA
21
pun validitas hasilnya. Berikut pada Jumlah 34 tabel 3 dapat hasil2013 survey tersebut. Sumberdilihat : KPT Bangka, Tabel 3. Hasil Survey IKM terhadap KiTabel 3.Hasil Survey terhadap Kinerja KPT Bangka nerjaIKM KPT Bangka Tahun
237
Rata-rata IKM
Kategori
2009
69,48
B (Baik)
2010
67,25
B (Baik)
2011
82,66
A (Sangat Baik)
2012
85,38
A (Sangat Baik)
2013 84,82 Sumber: KPT Kab. Bangka, 2013
A (Sangat Baik)
Kelembagaan PTSP Selain Permendagri Nomor 24 Tahun 2006, terdapat peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan kelembagaan PTSP, diantaranya Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelayanan Perijinan Terpadu di Daerah. Pada Pasal 2 ayat (1) dari Permendagri Nomor 20 Tahun 2008 ini menyebutkan bahwa “Dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat di bidang perijinan dibentuk unit pelayanan perijinan terpadu dengan sebutan Badan atau Kantor”. Pemberian pilihan bentuk unit ini dalam prakteknya dapat membingungkan daerah dan menimbulkan efek negatif. Di Kabupaten Bangka, seperti telah disinggung sebelumnya bahwa pendirian PTSP dalam bentuk Kantor dapat menimbulkan beeberapa kendala seperti sulitnya menjalankan fungsi koordinasi dengan SKPD. Padahal dalam Pasal 4 Permendagri ini dinyatakan salah satu tugas PPTSP adalah melaksanakan fungsi koordinasi. Selain itu, pada Permendagri ini juga tidak disebutkan secara jelas apakah Badan/Kantor tersebut juga sekaligus melaksanakan fungsi promosi dan investasi untuk bidang penanaman modal. Hal inilah yang nampaknya mengakibatkan beberapa daerah masih memisahkan layanan perizinan dengan layanan penanaman modal. Kemudian Pasal 21 dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 96 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan UU Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik menyebutkan bahwa “kelembagaan sistem pelayanan terpadu dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.“ Dalam bagian penjelasan dari PP ini disebutkan bahwa yang menjadi acuan penentuan kelembagaan ini antara lain Perpres 27/2009 tentang pelayanan terpadu satu pintu bidang penanaman modal. Kenapa Permendagri tidak juga dijadikan acuan?. Padahal organisasi PTSP merupakan unit kerja pemerintah daerah yang notabene berada di bawah Kementerian Dalam Negeri. Ini mengesankan bahwa PP tersebut lebih mengedepankan PTSP versi BKPM. Sedangkan dalam penjelasan pasal 7 (ayat 3) dari PP Nomor 96 Tahun 2012 ini menyebutkan bahwa keputusan perizinan yang bersifat penetapan contohnya misalnya IMB dan SIUP. Dua contoh Ini mengacu kepada jenis perizinan yang dilayani PTSP versi Kemendagri. Jika dilihat aturan perundang-undangan yang berada di bawahnya pun seperti Perda Kabupaten Bangka maka selain Perpres, yang dijadikan acuan adalah Permendagri. Hal ini memperlihatkan seolah-olah ada saling tarik menarik kepentingan antara Kemendagri dengan BKPM terkait dengan struktur kelembagaan PTSP di daerah. Kebingungan daerah juga diungkapkan oleh informan di KPT Bangka. Pihak KPT mengharapkan ada kejelasan arahan tentang formula PTSP di Indonesia. Ini terkait bentuknya yang ideal karena PTSP versi BKPM dan PTSP versi Kemendagri berbeda. PEMBAHASAN Komitmen Implementasi PTSP Komitmen Pemerintah Kabupaten Bangka dalam upaya menciptakan good governance diawali dengan melimpahkan kewenangan melalui KPT guna menghindari terjadinya banyak pungutan liar dibidang perizinan. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Siti Ismayati (2010), bahwa dalam mewujudkan good governance melalui pelayanan publik, maka aspek-aspek yang perlu ditingkatkan adalah : pengakuan terhadap wewenang pelayan publik yang dimi-
238
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014:229-240
liki pemerintah; efektifitas pemerintah dan pejabatnya dalam melaksanakan tugasnya; pengurangan praktek korupsi; kolusi dan nepotisme. Proses pelayanan perizinan yang terlalu banyak melalui prosedur birokrasi yang panjang adalah awal dari timbulnya praktek korupsi yang terjadi di birokrasi pemerintahan. Untuk mengurangi atau meminimalkan praktek korupsi di birokrasi pemerintahan dalam pelayanan pablik adalah dengan menyederhanakan prosedur dengan meminimalkan kontak pribadi (minimize body contact) antara pemohon dengan penyedia dalam pelayanan jasa (Bintoro, 1997). Penyederhanaan pelayanan perizinan dan pengaturan yang perlu mendapat perhatian lebih menurut Bintoro adalah dalam investasi. Keberadaan KPT sebagai penyeleng-gara PTSP di Kabupaten Bangka akan meminimalkan kontak langsung. Pemohon hanya berhubungan dengan front office yaitu loket penerimaan berkas dan loket dokumen perizinan yang telah ditandatangani kepala KPT. Dengan pelimpahan wewenang pelayanan perizinan kepada KPT, maka penyelesaian pelayanan perizinan maksimal hanya 15 hari kerja, sesuai dengan aturan yang termaktub pada pasal 11 Permendagri No 24 Tahun 2006. Walaupun demikian masih ditemukan kendala dalam fungsi koordinasi dari KPT terhadap keberadaan tim teknis yang tidak berjalan secara maksimal. Kendala Implementasi PTSP Masalah tim teknis ini merupakan salah satu faktor penghambat pelayanan publik yang prima. Bintoro (1997) mengemukakan salah satu cara pendayagunaan pelayanan publik adalah mengembangkan dan memantapkan mekanisme koordinasi yang efektif. Masalah mekanisme koordinasi ini perlu menjadi perhatian serius bagi KPT Bangka ataupun membutuhkan campur tangan bupati. Tanpa koordinasi yang efektif, maka KPT maupun satuan kerja lainnya dapat kehilangan pandangan terhadap perannya dalam organisasi Pemkab secara total. Tujuan organisasi Pemkab secara makro
akan gagal dicapai. Untuk mewujudkannya salah satunya adalah dengan mensejajarkan kedudukan kepala KPT dengan SKPD Teknis, misalnya dengan menaikkan status KPT menjadi Badan. Sementara di tempat lain seperti Kota Tangerang Selatan fungsi pelayanan publik di bidang pelayanan perizinan dilaksanakan oleh Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T). Hasil penelitian Enceng dan yuli (2012) menunjukkan bahwa BP2T ini belum maksimal melaksanakan fungsi PTSP. Contohnya dalam hal waktu penyelesaian perizinan. Untuk IMB sesuai Standard Operating Procedure (SOP) yang dimiliki oleh BP2T Tangsel waktu penyelesaiannya adalah 30 hari. Hal ini bertentangan dengan Permendagri Nomor 24 Tahun 2006 yang menyebutkan bahwa jangka waktu penyelesaian pelayanan perizinan dan non-perizinan ditetapkan 15 hari kerja terhitung sejak diterimanya berkas permohonan beserta seluruh kelengkapannya. Kemudian pemohon masih harus meminta rekomendasi peruntukan lahan dari Dinas Tata Kota dan Permukiman Tangerang Selatan. Jika melihat praktek PTSP yang sudah dilaksanakan di tempat lain misalnya di Kabupaten Sragen, maka pemohon hanya berurusan dengan badan pelayanan terpadu dan tidak perlu mendatangi dinas teknis. Lembaga PTSP yang akan mengurus segala hal yang berkaitan dengan pemberian perizinan tersebut. Kriteria lain yang menyebabkan BP2T Tangerang Selatan belum tergolong PTSP terkualifikasi versi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) adalah belum semua layanan perizinan/non perizinan ditangani BP2T. Salah satu contohnya layanan non perizinan Angka Pengenal Impor (API). Untuk Kota Tangerang Selatan layanan API ini masih ditangani oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kemudian BP2T belum memiliki basis data dengan menggunakan sistem manajemen informasi yang dapat diakses masyarakat dan dunia usaha. Salah satu hal lain yang menyebabkan BP2T Tangerang Selatan belum termasuk PTSP yang terkualifikasi adalah belum menyatunya
Yuli, Enceng dan Anto, Implementasi Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu
BP2T dengan instansi penanaman modal. Saat ini di Kota Tangerang Selatan bidang penanaman modal masih ditangani oleh Kantor Penanaman Modal Daerah (KPMD). Hal ini merupakan salah satu kriteria penilaian standar kualifikasi PTSP di bidang penanaman modal sesuai Peraturan Kepala BKPM Nomor 6 Tahun 2011. Hal ini menjadikan BP2T Tangsel hingga tahun 2011 masih tergolong sebagai PTSP Non-Penanaman Modal (PTSP belum terkualifikasi). Kasus PTSP di tempat lain seperti di Kota Surakarta juga serupa. Awalnya Pemkot Surakarta tidak menggabungkan antara Kantor Penanaman Modal dengan lembaga perizinan terpadu. Pada tahun 2011 Pemkot Surakarta menggabungkan dua instansi tersebut dengan tujuan memudahkan investor mengurus izin di bidang penanaman modal (Prameswari 2012). Lembaga tersebut bernama Badan penanaman modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT). Studi tentang pelayanan perizinan yang pernah dilakukan oleh Silalahi (2011) menemukan bahwa pelayanan publik bidang perizinan di Kota Bandung kurang baik. Hal tersebut menimbulkan dampak rendahnya kepercayaan pelaku usaha terhadap birokrat pemberi layanan izin usaha. Beberapa jenis izin usaha seperti IMB, Izin HO ternyata waktu penyelesaiannya tidak sesuai dengan SOP yakni 12 hari, tetapi melebihi batas waktu. Dimensi yang dipergunakan untuk mengukur tingkat kepercayaan publik tersebut terdiri dari dimensi integritas, kompetensi, konsistensi, dan loyalitas birokrasi pemerintah dalam memberikan layanan izin usaha. SIMPULAN Pelayanan perizinan terpadu satu pintu di Kabupaten Bangka yang dilaksanakan oleh KPT Bangka tidak terlepas dari komitmen para pemangku kepentingan terkait. Masalah perizinan investasi selalu akan diwarnai dengan tarik-menarik kepentingan khususnya antara dinas teknis dengan lembaga PTSP, sehingga proses pelayanan perizinan menjadi lambat dan hal ini akan
239
berdampak pada rendahnya kepercayaan pelaku usaha terhadap birokrat pemberi pelayanan izin usaha. Diperlukan komitmen kuat dari kepala daerah untuk menerapkan PTSP secara optimal karena dapat mempengaruhi fungsi koordinasi dari lembaga PTSP tersebut. Ditinjau secara kelembagaan, perbedaan bentuk lembaga PTSP juga memberikan dampak dalam hal menjalankan fungsi koordinasi. Sebuah unit PPTSP berbentuk kantor akan mengalami kendala dalam hal menggerakkan tim teknis. Hal inilah yang terjadi di KPT Bangka. Ke depannya perlu dipertimbangkan menaikkan status KPT ini menjadi Badan agar fungsi koordinasi dapat dijalankan dengan baik yang akan bermuara kepada perbaikan pelayanan publik. Inkonsistensi implementasi aturan perundang-undangan juga mengakibatkan kelembagaan PTSP yang ideal masih sulit ditemukan di Indonesia. Selayaknya pemerintah pusat meliputi BKPM dan Kemendagri menyamakan persepsi tentang lembaga PTSP ini. Dengan demikian tidak menimbulkan bias ketika aturan perundang-undangan tentang PTSP diterapkan di daerah. DAFTAR RUJUKAN Enceng dan Yuli T. 2012. Kesenjangan dalam Pelayanan Publik. Jurnal Administrasi Pembangunan, 1 (2). Ismayati, Siti. 2010. Hubungan Motivasi Kerja Pegawai dengan Pelayanan Publik. Jurnal JIANA, 10 (2). Kriswantoro dan Sugi R. 2012. Strategi Reformasi Birokrasi Sektor Pelayanan Publik di Dinas Perizinan Kota Yogyakarta. Jurnal Adinegara, I (1). Pertiwi, DP. 2012. Analisis Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Pelayanan Perizinan Terpadu satu Pintu Bidang Penanaman Modal dalam Rangka Peningkatan Penanaman Modal di Kota Bandung. Repository Journal Fakultas Hukum Universitas Padjajaran http:// fh.unpad.ac.id (diakses 26 Februari 2013). Prameswari, Yoga P. 2012. Pelayanan Per-
240
Jurnal Ilmu Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014:229-240
ijinan Satu Pintu Kabupaten Purbalingga. http://cgi.fisipol.ugm.ac.id (diakses 21 Januari 2013). Silalahi, Ulber, 2011. Kepercayaan Publik
kepada Pemerintah Daerah Pasca Orde Baru. Jurnal JIANA, 11 (2). Tjokroamidjojo, Bintoro. 1997. Manajemen Pembangunan, Jakarta: Haji Masagung.