Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya
Vol. 3 No. 2, Mei 2014
IMPLEMENTASI MODEL 5E LEARNING CYCLE UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP DAN KEMAMPUAN BERPIKIR KREATIF SISWA SMA Herra Risdiana1) Suyatno2) Sri Poedjiastuti3)
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya 3) Dosen Program Studi Pendidikan Sains, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya e-mail:
[email protected]
1)
2)
Abstract: The purposes of this study were to describe students’ concept mastery, creative thinking ability, profile of creative attitudes, and the correlation between creative thinking ability and concept mastery after implementing 5E Learning Cycle model. This research was the mixing of the quasy experiment with one group pre test-post test design and correlational study, which initiated by teaching materials development using the Dick & Carey model. The research was conducted at SMAN 1 Mojosari involving students of IPA-2 grade XI as subject. Instruments used in the research were teaching materials’ validation sheets, leson plan activity observation sheet, mastery concept sheet, creative thinking ability sheet, creative attitude observation sheet, and students’response questionaire. The data analyses of students’ concept mastery, creative thinking ability, and profile of creative attitudes were descriptively done, while analysis of correlation between creative thinking ability and concept mastery were using Pearson’s product moment correlation technique. Based on the data analysis, it could be described that results of the reasearch were (1) the students’ concept mastery and creative thinking ability on the salt hydrolysis topic after implementing 5E Learning Cycle model had reached high gains, (2) the creative attitudes appeared during the implementation of 5E Learning Cycle model including curiosity in engagement phase, complexity in exploration phase, curiosity in explanation phase, risktaking in elaboration phase, and risk-taking in evaluation phase were good, each had frequency more than 75%, and (3) there was a very strong and significant correlation between creative thinking ability and concept mastery. The conclusion of the research was chemistry learning on the salt hydrolysis topic using 5E Learning Cycle model had improved the students’ concept mastery and creative thinking ability. Keywords: 5E Learning Cycle, creative thinking, concept mastery Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, profil sikap kreatif dan hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa setelah implementasi model 5E Learning Cycle. Penelitian ini merupakan gabungan dari penelitian eksperimen semu jenis one group pre test-post test design dan penelitian korelasional, yang diawali pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model Dick & Carey. Penelitian ini dilaksanakan di SMAN 1 Mojosari dengan subyek siswa kelas XI IPA-2. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah lembar validasi perangkat pembelajaran, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP, lembar penilaian penguasaan konsep (LPPK), lembar penilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK), lembar pengamatan sikap kreatif, dan angket respon siswa. Analisis data tentang penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, dan profil sikap kreatif siswa dilakukan secara deskriptif, sedangkan analisis hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep dilakukan menggunakan teknik korelasi product moment Pearson. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat dipaparkan hasil penelitian ini yaitu (1) penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa pada topik hidrolisis garam setelah mengimplikasikan model 5E Learning Cycle telah mencapai gain tinggi, (2) sikap kreatif siswa pada implementasi model 5E Learning Cycle yaitu curiosity pada fase engagement, complexity pada fase exploration, curiosity pada fase explanation, risk-taking pada fase elaboration dan risk-taking pada fase evaluation adalah baik, masing-masing mempunyai frekuensi lebih dari 75%, (3) ada hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara berpikir kreatif dan penguasaan konsep. Kesimpulan penelitian ini adalah pembelajaran kimia pada materi pokok hidrolisis garam dengan model 5E Learning Cycle telah meningkatkan penguasaan konsep dan berpikir kreatif siswa. Kata-kata kunci: 5E Learning Cycle, berpikir kreatif, penguasaan konsep
PENDAHULUAN Kreativitas merupakan hal yang esensial untuk pertumbuhan dan pembangunan pribadi seseorang. Berdasarkan Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar
dan Menengah, lulusan SMA harus memiliki kemampuan pikir dan tindak yang efektif dan kreatif dalam ranah abstrak dan konkret sebagai pengembangan dari yang dipelajari di sekolah secara mandiri. Berpikir kreatif adalah kemampuan melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 367
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya suatu masalah (Guilford, 1967). Menurut Williams (Munandar, 2009), ciri kemampuan berpikir kreatif berkaitan dengan unsur aptitude (berhubungan dengan kognitif atau proses berpikir) maupun ciri non-aptitute (berhubungan dengan sikap dan perasaan). Ciri aptitude dalam kemampuan berpikir kreatif yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas empat aspek yakni berpikir lancar (fluency), berpikir luwes (flexibility), berpikir orisinil (originality), dan memerinci atau mengelaborasi (elaboration). Sementara itu, ciri nonaptitute yang paling sering teramati adalah rasa ingin tahu (curiosity), keberanian mengambil resiko (takingrisk), dan kecenderungan mengkombinasikan pemikiran dan tindakan (complexity) (Munandar, 2009). Kebutuhan berpikir kreatif dalam masyarakat modern semakin meningkat karena adanya revolusi teknologi. Sekolah sebagai miniatur masyarakat, seharusnya mampu membudayakan kemampuan berpikir kreatif siswa, sebab para siswa merupakan generasi penerus yang akan mengambil alih dunia dengan penemuan-penemuannya dalam bidang sains, bisnis, seni, dan bidang-bidang lainnya. Oleh karena itu, sangat perlu mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada anak-anak di sekolah (Rao & Prasad, 2009). Para pendidik memerlukan suatu strategi belajar mengajar yang dapat membantu siswa untuk memperkaya informasi, mengembangkan kemampuan mental dan melatih mereka menjadi kreatif dan inovatif. Kemampuan berpikir kreatif dapat dilatihkan dengan cara memberikan siswa kesempatan untuk mengungkapkan, membentuk dan menguji ide-idenya dengan menyediakan sumber-sumber pembelajaran yang sesuai, membangkitkan ketertarikan, dan memicu pemikiran mendalam siswa melalui strategi dan metode pembelajaran yang terbimbing dan bervariasi (Qarareh, 2012). Model 5E Learning Cycle merupakan model pembelajaran berbasis konstruktivis yang sesuai untuk mencapai standar kompetensi lulusan SMA sebagaimana yang disebutkan dalam Permendikbud Nomor 54 Tahun 2013. Model yang terdiri dari 5 fase yaitu Engagement (menarik minat siswa), Exploration (menyelidiki), Elaboration (merinci), dan Evaluation (menilai) (Trowbridge & Bybee, 1996) ini menawarkan suatu struktur yang menyediakan aktivitas yang menekankan pada peningkatan kemampuan belajar dan berpikir siswa, di mana siswa didorong untuk lebih dari sekedar menghafal fakta, tetapi juga menggabungkan pembelajarannya dengan kehidupan sehari-hari (Kolin, 2011). Siklus belajar ini melibatkan siswa secara langsung dalam aktivitas membangun pengetahuannya dengan menghadapi fenomena atau suatu permasalahan kemudian memahami (minds-on) dan menyelidikinya (hands-on) hingga menemukan bagaimana memecahkan
Vol. 3 No. 2, Mei 2014 permasalahan tersebut. Aktivitas itu sangat membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan proses sains dan kemampuan berpikir kreatifnya. Empat ciri aptitute kemampuan berpikir kreatif yang digunakan dalam penelitian ini terintegrasi dalam proses pembelajaran model 5E Learning Cycle, terutama pada fase exploration, explanation, dan elaboration. Pada fase exploration, siswa didorong untuk memikirkan cara-cara yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah (fluency), mengkaji caracara tersebut dari beberapa sudut pandang (flexibility), merancang langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut secara detil (elaboration) dan unik (originality). Fase ini membawa siswa pada tahap asimilasi Piaget. Pada fase explanation, siswa dituntut untuk mempresentasikan hasil kerja serta pengetahuan yang ditemukannya, sementara itu guru memperkenalkan siswa pada kosakata sains yang relevan (Ergin, 2012). Siswa merasa bangga bila hasil kerjanya bagus dan berbeda dengan kelompok lainnya (originality). Fase ini menggambarkan tahap akomodasi Piaget, tahap encoding dalam teori pemrosesan informasi, dan implementasi scaffolding dalam teori Vygotsky. Pada fase elaboration, siswa diminta untuk menerapkan dan merinci (elaboration) pengetahuan yang diperolehnya dalam menghadapi situasi yang berbeda tetapi serupa agar terbentuk pemahaman sains yang lebih dalam dan lebih luas (Ergin, 2012). Fase ini, sesuai dengan teori Piaget, digunakan sebagai pemantapan akomodasi informasi baru. Menurut teori pemrosesan informasi, fase ini dapat dikatakan sebagai tahap tindak lanjut dan respon untuk memfasilitasi penyimpanan informasi baru dalam memori jangka panjang. Proses belajar ini tentu akan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir siswa sehingga pengetahuan menjadi bermakna dan penguasaan konsep akan tercapai dengan baik, sebagaimana yang dinyatakan oleh Piaget (Slavin, 2006) bahwa belajar dapat diartikan sebagai tindakan kreatif pembentukan konsep dan bayangan melalui kegiatan berpikir tentang benda dan peristiwa serta kejadian-kejadian yang mereka alami. Siswa yang terlatih untuk berpikir kreatif cenderung lebih mampu menguasai suatu konsep tertentu. Artinya, ada hubungan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep, yaitu siswa dengan kemampuan berpikir kreatif yang tinggi akan mempunyai kemampuan penguasaan konsep yang baik. Penelitian mengenai model 5E Learning Cycle telah dilakukan oleh beberapa orang. Seyhan dan Morgin (2007) serta Yalḉin & Bayrakḉeke (2010) menunjukkan bahwa siswa yang belajar menggunakan model ini memperlihatkan sikap yang lebih positif terhadap kimia, lebih berhasil dalam pemahaman konsep dibandingkan siswa dalam kelompok kontrol,
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 368
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dan terjadi peningkatan aktivitas pembelajaran bermakna. Rahinawati (2011) dan Alfi (2012) membuktikan bahwa model ini mampu meningkatkan hasil belajar, kemampuan berpikir kreatif, aktivitas pembelajaran, dan motivasi siswa dalam belajar sains. Qarareh (2012) juga menemukan adanya perbedaan yang signifikan pada pencapaian akademik kelas eksperimen yang belajar sains menggunakan model ini dibandingkan dengan kelas kontrol yang belajar menggunakan metode tradisional (berpusat pada guru). Implementasi 5E Learning Cycle dalam pembelajaran terbukti dapat meningkatkan pemahaman konsep dan keterampilan proses sains siswa, didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Akar (2005) dan Coulson dalam Bybee et al. (2006). Penelitian mengenai hubungan kreativitas, kemampuan berpikir kreatif, dan kemampuan akademik telah dilaporkan oleh Torrance (1959), Getzels & Jackson (1962), dan Yamamoto (1964) yang menunjukkan bahwa kelompok siswa yang kreativitasnya tinggi tidak berbeda dengan prestasi sekolah dari kelompok siswa yang inteligensinya relatif lebih tinggi. Palaniappan (2007) dalam penelitiannya juga menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara kreativitas dan prestasi akademik siswa yang mempunyai IQ sampai 140. Penelitian tentang hubungan sikap dan kemampuan berpikir kreatif telah dilakukan oleh Guilford (1959) yang menunjukkan korelasi signifikan walaupun rendah antara ciri-ciri nonaptitude dengan empat ciri-ciri aptitude kreatif. Lee (2005) dalam penelitiannya juga melaporkan bahwa sikap kreatif terkait dengan kemampuan berpikir kreatif. Survey yang dilakukan peneliti terhadap para siswa kelas XI dan XII (tahun ajaran 2012-2013) di SMA Negeri 1 Mojosari, menunjukkan pendapat siswa bahwa materi hidrolisis garam merupakan materi yang sulit dipahami. Hasil wawancara dengan para guru kimia di SMA Negeri 1 Mojosari juga menunjukkan bahwa materi ini sulit dipahami oleh siswa. Setiap tahun rata-rata hanya 25% siswa yang mampu menguasai konsep hidrolisis garam dengan baik. Hidrolisis garam adalah reaksi antara suatu garam dengan air yang menghasilkan ion hidronium atau ion hidroksida atau keduanya (Stoker, 2012). Menurut tingkat penjenjangan berpikir kreatif oleh Siswono (2007), analisis tes berpikir kreatif yang dilakukan peneliti terhadap sampel 100 siswa kelas XI dan XII SMA Negeri 1 Mojosari dengan materi hidrolisis garam tahun ajaran 2012/2013 menunjukkan kemampuan berpikir kreatif para siswa pada kategori sangat kreatif 5%, kreatif 20%, kurang kreatif 30%, dan tidak kreatif 45%. Hasil ini menunjukkan kemampuan berpikir sebagian besar siswa SMA Negeri 1 Mojosari masih mengacu pada satu jawaban benar saja.
Vol. 3 No. 2, Mei 2014 Kemampuan berpikir kreatif dapat dilatihkan kepada siswa melalui pembelajaran berbasis konstruktivis, di mana siswa belajar menyelesaikan masalah sains berdasarkan pengetahuan yang mereka bangun sendiri melalui aktivitas pembelajarannya. Sesuai dengan teori konstruktivis, model 5E Learning Cycle mampu menggabungkan aktivitas hands-on dan mind-on dalam fase-fase pembelajarannya. Materi hidrolisis garam merupakan materi yang sarat dengan perhitungan, sehingga kurang menarik bagi siswa. Oleh karena itu, penyajian materi ini menggunakan model 5E Learning Cycle diharapkan dapat lebih menarik, menantang, memacu kemampuan berpikir siswa, dan tidak akan hanya membahas tentang rumus beserta soalsoal hitungannya, tetapi juga melibatkan siswa dalam penyelidikan untuk menyelesaikan masalah. Berdasarkan permasalahan yang ditemukan dan dipaparkan di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai implementasi model 5E Learning Cycle untuk meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif pada pembelajaran kimia materi hidrolisis garam siswa kelas XI SMA Negeri I Mojosari. Pembelajaran menggunakan model ini diharapkan mampu meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa. METODE Penelitian ini terdiri atas dua jenis yakni penelitian eksperimen semu dengan rancangan One Group Pretest-Posttest Design dan penelitian korelasional (Sugiyono, 2007). Penelitian eksperimen semu ditujukan untuk mendeskripsikan penguasaan konsep, kemampuan berpikir kreatif, dan profil sikap kreatif pada implementasi model 5E Learning Cycle, sedangkan penelitian korelasional ditujukan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa. Penelitian ini diawali dengan pengembangan perangkat pembelajaran berupa Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), handout, Lembar Kegiatan Siswa (LKS), lembar penilaian penguasaan konsep (LPPK), dan lembar penilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK), yang dikembangkan menggunakan model Dick & Carey (2009). Penelitian dilaksanakan di SMA Negeri 1 Mojosari pada semester genap Tahun Pelajaran 2013/2014. Subyek penelitian ini adalah siswa kelas XI IPA 2 SMAN 1 Mojosari Tahun Pelajaran 2013/2014. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data terdiri dari lembar validasi perangkat pembelajaran, lembar pengamatan keterlaksanaan RPP, lembar penilaian penguasaan konsep (LPPK), lembar penilaian kemampuan berpikir kreatif (LPKBK), lembar pengamatan sikap kreatif, dan angket respon siswa.
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 369
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Data hasil validasi perangkat pembelajaran, pengamatan keterlaksanaan RPP, respon siswa, penguasaan konsep, dan kemampuan berpikir kreatif dianalisis secara deskriptif. Besarnya peningkatan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif dianalisis dengan n-gain (gain ternormalisasi) (Hake, 2009). Korelasi antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep dianalisis secara inferensial menggunakan program SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Validitas Perangkat Pembelajaran Perangkat pembelajaran yang dikembangkan pada penelitian yakni RPP, handout, LKS, LPPK, dan LPKBK, dilakukan validasi oleh pakar sebelum diimplentasikan dalam pembelajaran. Skor validitas perangkat pembelajaran ditunjukkan pada Tabel 1. RPP mendapatkan skor validitas sangat baik karena telah dirancang secara rinci dalam mengikuti fase-fase model 5E Learning Cycle. Handout mempunyai validitas sangat baik karena dikembangkan berdasarkan dua sumber buku yang digunakan untuk materi lanjutan SMA, yaitu yang ditulis oleh Effendy (2008) dan Russo (2003), serta tiga lainnya direkomendasikan untuk pembelajaran tingkat universitas, yang ditulis oleh Stoker (2012), Chang (2007), dan Mittal & Mittal (2002). Handout ini juga dilengkapi gambar yang menarik dan menunjang pemahaman siswa mengenai materi hidrolisis garam. Tabel 1. Validitas Perangkat Pembelajaran Nama Aspek Skor Kete- Reliabil Perang Validit rang i-tas -kat as an (%) Kompon 4,70 SB en RPP Perencan 81,44 4,87 SB a-an Bahasa 4,33 SB Kelayaka 5,00 SB n Isi Hando Akurasi 4,67 SB 83,50 ut Materi Kebahas 4,42 SB a-an 4,00 – LKS SB 87,31 5,00 4,67 SB 81,14 LPPK Isi Bahasa/ 4,69 SB 83,50 penulisan LPKB Isi 4,80 SB 86,80 K Bahasa/ 4,87 SB 86,80 penulisan Keterangan: SB= sangat baik
Vol. 3 No. 2, Mei 2014 LKS mendapatkan nilai yang sangat baik, karena telah memuat rincian kegiatan pembelajaran yang berpusat pada siswa, bahasa yang digunakan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia yang benar, mudah dipahami, serta ajeg dalam pemakaian simbol dan istilah, juga mencerminkan rincian fase-fase dalam model 5E Learning Cycle. Penulisan setiap butir soal pada LPPK telah disusun dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang dirumuskan sebelumnya serta menunjukkan tingkatan kemampuan kognitif yang jelas sebagaimana yang dirumuskan oleh Anderson (2008), sehingga diperoleh kategori penilaian sangat baik. Lembar PKBK telah disusun sesuai dengan standar penilaian kemampuan berpikir kreatif sebagaimana yang dikembangkan oleh Torrance (1975) dalam Torrance Test of Creative Thinking (TTCT) dan penilaian kreatif produk yang digagas oleh Guilford (1967) dalam Structure of Intelect Test, yaitu fluency (kelancaran), flexibility (kelenturan), elaboration (memerinci), dan originality (keaslian), sehingga mendapatkan skor penilaian sangant baik. Dengan demikian perangkat pembelajaran yang dikembangkan layak digunakan dalam pembelajaran. Keterlaksanaan RPP Pembelajaran kimia berbasis model 5E Learning Cycle pada pokok bahasan hidrolisis garam ini dilaksanakan selama tiga kali pertemuan. Topik yang dibahas pada pertemuan pertama sampai pertemuan ketiga secara berurutan adalah (1) Pengertian Hidrolisis Garam, (2) Persamaan Reaksi Hidrolisis Garam, dan (3) pH Larutan Garam. Jumlah aspek keterlaksanaan RPP yang diamati sebanyak 25, terdiri dari 19 butir pengamatan KBM yang dirinci menjadi lima aspek kegiatan pendahuluan, dua belas aspek kegiatan inti, serta dua aspek kegiatan penutup, dan 6 butir pengelolaan kelas dan waktu. Keterlaksanaan RPP pada kegiatan pembelajaran dengan model 5E Learning Cycle, skor yang dicapai pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga berkisar pada kategori baik dan sangat baik (skor 4-5). Pada pertemuan ketiga, nilai keterlaksanaan RPP secara keseluruhan semakin meningkat dibandingkan dua pertemuan sebelumnya. Skor yang diperoleh dalam pertemuan ini baik dan sangat baik. Hal ini disebabkan guru mampu memperbaiki praktik yang kurang baik pada dua pertemuan sebelumnya dan siswa semakin mahir dalam melaksanakan fase-fase model 5E Learning Cycle. Pada fase engagement, siswa telah mampu menanggapi fenomena tentang pH sabun dan pH kulit yang disajikan guru dengan melontarkan apa yang diketahuinya. Ketika guru selesai mengemukakan permasalahan untuk diselidiki, yaitu bagaimana cara menentukan pH larutan garam, siswa dengan sigap
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 370
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya segera beralih ke fase exploration dan membagi tugas kelompok untuk melaksanakan penyelidikan penentuan pH larutan garam secara teoretis melalui handout dan secara empiris melalui percobaan. Pada fase explanation, masing-masing kelompok menyajikan hasil penyelidikan, kesimpulan sementara, dan skema rumus perhitungan pH. Diskusi kelas berlangsung sangat efektif, karena masing-masing kelompok mampu saling memberi dan menerima pendapat orang lain untuk mengklarifikasi hasil penyelidikannya, hingga diperoleh kesimpulan akhir. Pada fase elaboration, siswa dalam kelompoknya mampu mengaplikasikan cara menghitung pH larutan garam amonium sulfat, natrium sianida, amonium bromida, dan amonium sianida yang terdapat pada empat soal latihan. Pada fase evaluation, siswa benar-benar mengerjakan empat soal pilihan ganda perhitungan pH larutan garam secara individu. Fase ini mendapatkan skor 5 (sangat baik), karena siswa semakin efektif dalam melaksanakan pengecekan diri. Reliabilitas instrumen keterlaksanaan pembelajaran pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga berturut-turut adalah 90,1%; 83,5%; dan 87,9%. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen keterlaksanaan pembelajaran dengan model ini dalam kategori reliabel dan dapat digunakan untuk mengukur keterlaksanaan pembelajaran, sebab mempunyai koefisien reliabilitas instrumen (r) >75% (Borich, 1994). Ditinjau dari segi pengelolaan kelas dan waktu, pertemuan pertama, kedua maupun ketiga, telah memperoleh skor keterlaksanaan mendekati 5 (sangat baik). Meskipun demikian, pengelolaan waktu memperoleh nilai terendah di antara aspek penilaian pengelolaan lainnya. Hal ini disebabkan oleh antusias siswa yang sangat tinggi ketika mereka berada pada fase explanation, yaitu mengkomunikasikan hasil penyelidikan mereka dan mencari klarifikasi. Pada fase itu mereka melakukan diskusi dan brainstorming sampai hampir lupa waktu. Dalam hal ini, peran guru dalam mengorganisasi waktu sangat penting. Dalam angket respon siswa, 90% siswa merasa tertarik dengan suasana belajar pada model ini dan 100% siswa juga berminat untuk mengikuti kegiatan pembelajaran materi lainnya menggunakan model ini. Rasa tertarik dan minat siswa dalam pembelajaran ini dapat menimbulkan motivasi untuk belajar. Menurut Mayer (2008), motivasi belajar mampu membawa siswa pada pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Munandar (2009) juga menyatakan bahwa jika motivasi siswa meningkat maka kemampuan untuk berpikir kreatif juga meningkat. Dengan demikian model ini mempunyai potensi untuk meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa.
Vol. 3 No. 2, Mei 2014 Penguasaan Konsep Siswa Penguasaan konsep siswa pada materi hidrolisis garam diukur menggunakan LPPK. LPPK yang dikembangkan berupa soal uraian yang terdiri dari 14 butir soal. LPPK diujikan sebelum pembelajaran (pretest) dan setelah pembelajaran (posttest). Skor yang diperoleh siswa dari sebelum dan setelah pembelajaran secara visual disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1. Hasil Penilaian Penguasaan Konsep Sebelum dan Setelah Pembelajaran Berdasarkan Gambar 1 dapat dinyatakan bahwa tidak ada siswa yang tuntas pada saat pretest (ketuntasan = 0%) dan 100% siswa tuntas pada saat posttest. Data tersebut juga didukung oleh ketuntasan indikator pembelajaran yang mencapai 100%. Dari hasil analisis peningkatan skor hasil PPK pada pretest (skor rata-rata = 20,83) dan posttest (skor rata-rata = 81,70) diperoleh skor peningkatan (gain score) penguasaan konsep yang tinggi yakni 77%. Ketidaktuntasan individual maupun klasikal siswa pada pretest disebabkan karena siswa belum pernah mendapatkan pembelajaran tentang materi hidrolisis garam, sehingga siswa tidak dapat menjawab soal pretest dengan benar. Ketika dilakukan posttest, siswa telah terlibat dalam pembelajaran tentang hidrolisis garam melalui model 5E Learning Cycle, sehingga penguasaan konsep siswa menjadi meningkat dan ketuntasan klasikal mencapai 100%. Hal ini sesuai dengan teori Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan diperoleh dari tindakan (Slavin, 2006). Keterlibatan aktif siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama pada bagian exploration, explanation, dan elaboration dalam model ini, telah membantu terjadinya proses asimilasi dan akomodasi materi hidrolisis garam dalam struktur kognitif mereka. Menurut Vygotsky (Slavin, 2006), interaksi sosial dengan teman sebaya maupun orang yang lebih ahli mengenai tugas yang kompleks pada zona perkembangan terdekat siswa, akan mampu membuat siswa belajar lebih baik. Pada model pembelajaran ini, interaksi sosial telah dilakukan siswa dalam kelompok belajarnya ketika mereka berada dalam fase exploration, explanation, dan elaboration.
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 371
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Tingginya gain score menunjukkan bahwa model 5E Learning Cycle yang telah dilaksanakan dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Peningkatan hasil belajar siswa yang terjadi disebabkan oleh adanya pemrosesan informasi yang efektif. Gagne (1977) dengan teori pemrosesan informasinya, menegaskan bahwa informasi ditransfer secara keseluruhan dari lingkungan ke panca indera, kemudian masuk ke dalam suatu sensory register otak kita sebagai stimulus atau rangsangan. Pada model pembelajaran ini, stimulus diterima pada fase engagement, untuk dilakukan pengkodean melalui exploration dan explanation. Fase elaboration dan evaluation digunakan untuk menindaklanjuti informasi baru tersebut hingga dapat disimpan sebagai memori jangka panjang. Sementara itu respon siswa menunjukkan bahwa seluruh siswa tertarik terhadap materi pelajaran, lembar kerja siswa, cara guru mengajar dan suasana belajar, dengan nilai persentase berturut-turut sebesar 90%, 100%, 100%, dan 100%. Siswa juga berminat mengikuti pembelajaran pokok bahasan hidrolisis garam dengan menggunakan model 5E Learning Cycle (persentase 100%). Sebagian besar siswa merasa mudah dalam memahami materi hidrolisis garam, lembar kerja siswa, dan cara guru mengajar, yang ditunjukkan dengan nilai persentase masing-masing 80%, 100% dan 100%. Penyajian materi pembelajaran yang melibatkan aktivitas siswa untuk berpikir dan bekerja dalam seting model 5E Learning Cycle telah memotivasi siswa dalam mengikuti pembelajaran di kelas. Hal ini mendukung terjadinya peningkatan skor penguasaan konsep siswa, sebagaimana yang dinyatakan oleh Mayer (2008) bahwa motivasi belajar mampu membawa siswa pada pencapaian prestasi belajar yang tinggi. Kemampuan Berpikir Kreatif Kemampuan berpikir kreatif siswa diukur menggunakan LPKBK. Tes tersebut terdiri dari 5 butir soal berbentuk uraian (essay). Indikator Kemampuan berpikir kreatif yang diukur adalah fluency (kelancaran), flexibility (kelenturan), originality (keaslian), dan elaboration (kerincian) (Guilford, 1967; Torrance, 1975; Munandar, 2009). Seperti halnya LPPK, LPKBK juga diberikan sebelum pembelajaran (pretest) dan setelah pembelajaran (posttest). Skor hasil LPKBK sebelum dan setelah pembelajaran disajikan secara visual pada Gambar 2. Dari hasil analisis skor TKBK diketahui bahwa skor rata-rata pre test dan post test masing-masing sebesar 39,41 dan 83,81. Dengan demikian skor peningkatan (gain score) yang diperoleh sebesar 73% dengan kategori tinggi.
Vol. 3 No. 2, Mei 2014
Gambar 2. Hasil Penilaian Kemampuan Berpikir Kreatif Sebelum dan Setelah Pembelajaran Dalam penelitian ini berarti model 5E Learning Cycle dipadu dengan perangkat yang dikembangkan dapat digunakan untuk merangsang kemampuan berpikir kreatif siswa. Feldhusen dan Treffinger (Tan, 2007) menyatakan bahwa lingkungan yang kondusif untuk merangsang berpikir kreatif adalah ketika siswa diberi kesempatan dan didukung untuk mengungkapkan dan mengembangkan ide-idenya dalam menyelesaikan suatu masalah atau proyek pembelajaran. Lingkungan yang demikian terdapat dalam fase exploration dan explanation model 5E Learning Cycle, dimana siswa menggali pengetahuannya melalui penyelidikan kelompok yaitu ketika mereka harus menyelidiki sifat larutan garam, memprediksi sifat larutan garam melalui persamaan reaksi hidrolisisnya, dan menentukan pH larutan garam secara teoretis dan empiris; merancang prosedur percobaan untuk membuktikan hipotesis maupun teorinya, dan mengkomunikasikan temuannya untuk mendapatkan klarifikasi. Proses inilah yang menyebabkan terjadinya peningkatan kemampuan berpikir kreatif siswa. Peningkatan skor pada aspek berpikir kreatif terendah dicapai oleh aspek flexibility. Dalam berpikir kreatif, aspek flexibility memang paling sulit dicapai. Menurut Munandar (2009), aspek ini menuntut siswa untuk dapat menggolongkan hal-hal menurut kategori yang berbeda-beda serta mampu mengubah arah berpikir secara spontan. Spontanitas berpikir ini perlu dilatihkan secara kontinyu untuk mendapatkan aspek flexibility dari berpikir kreatif. Demikian pula halnya dengan aspek fluency, elaboration, dan originality, yang hanya mencapai peningkatan sedang. Hal ini disebabkan selama ini siswa belum pernah dibiasakan untuk secara kreatif. Department for Children, Schools, and Families of UK (2008) menyatakan bahwa setiap orang mampu berpikir kreatif pada lingkungan aktivitas yang berbedabeda bila kondisinya tepat dan mereka mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang relevan. Wilks (Ergin, 2012) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir tingkat tinggi, dalam hal ini berpikir kreatif, dapat
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 372
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya diajarkan dan dilatihkan kepada siswa semua usia. Dengan demikian model 5E Learning Cycle dapat digunakan untuk memfasilitasi kemampuan berpikir kreatif siswa. Profil Sikap Kreatif Siswa dalam 5E Learning Cycle Sikap kreatif yang diamati dalam 5E Learning Cycle ini mencakup tiga aspek, yaitu curiosity, risktaking, dan complexity. Sikap curiosity meliputi ketertarikan yang luas, ketertarikan untuk mencoba, ketertarikan untuk mendengarkan ide-ide orang lain, terbuka terhadap hal-hal yang tidak biasa, dan mencari situasi yang menarik. Sikap risk-taking mencakup keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru, keberanian untuk gagal, dan keberanian untuk berbeda. Sementara itu sikap complexity mengacu pada kecenderungan untuk mengkombinasikan pemikiran dengan tindakan yang mana sebagian orang memisahkannya (Stenberg, 1999; Tan, 2007, Munandar, 2009).
120 100 80 60 40 20 0
Pertemuan 1 Pertemuan 2 Pertemuan 3
Gambar 3. Profil Sikap Kreatif Siswa dalam 5E Learning Cycle Data pengamatan sikap kreatif yang terdapat pada Gambar 3 menunjukkan bahwa frekuensi sikap kreatif curiosity pada fase engagement yang muncul pada pertemuan pertama, kedua, dan ketiga mengalami kenaikan, yaitu berturut-turut adalah 66,67%; 83,33%; dan 83,33%. Pada fase exploration, explanation, dan evaluation, persentase sikap kreatif yang muncul dalam masing-masing fase pertemuan pertama, kedua, dan ketiga, berturut-turut yaitu complexity, curiosity, dan risk-taking, adalah sebesar 100%. Sikap kreatif risktaking yang muncul dalam fase elaboration pada pertemuan pertama adalah sebesar 83,33%, kemudian naik pada pertemuan kedua dan ketiga menjadi 100%. Pada fase engagement, guru menyajikan fenomena kehidupan sehari-hari seperti keberadaan tawas untuk menyerap deodoran, petani menggunakan prinsip hidrolisis garam dalam memupuk tanaman, dan pH kosmetik yang dibuat mendekati pH kulit, yang
Vol. 3 No. 2, Mei 2014 mengundang rasa ingin tahu, rasa tertarik, dan pertanyaan dari siswa. Guru mengharapkan siswa merespon dengan mengungkapkan apa yang mereka pikirkan mengenai fenomena tersebut, sehingga sikap kreatif curiosity (rasa ingin tahu) dominan muncul pada fase ini. Peningkatan frekuensi munculnya sikap curiosity dari pertemuan pertama sampai ketiga tersebut menunjukkan bahwa kemampuan siswa berpikir kreatif makin baik. Meskipun demikian, pada fase ini masih terdapat beberapa siswa yang masih pasif dan belum menunjukkan respon terhadap fenomena yang disajikan guru. Hal ini disebabkan siswa belum terbiasa menerima informasi baru yang menuntut siswa untuk berpikir dan menggali pengetahuan awal mereka. Pada fase exploration, frekuensi sikap kreatif complexity yang muncul tetap tinggi sejak pertemuan pertama sampai ketiga. Hal ini dikarenakan dalam fase ini siswa diberi kesempatan untuk berpikir secara bebas (tetapi masih dalam batasan konteks hidrolisis garam, persamaan reaksi hidrolisis garam, dan pH larutan garam), kemudian berdasarkan rumusan masalah yang ada, siswa menuangkan hasil pemikirannya ke dalam hipotesis. Selanjutnya, siswa dituntut untuk menguji hipotesis yang dibuatnya dan membuat prosedur pengujiannya. Siswa merancang percobaan untuk membuktikan sifat asam-basa dari garam-garam yang tersedia. Siswa juga diberi kesempatan untuk mencoba alternatif-alternatif penyelesaian masalah dan mendiskusikannya dengan teman satu kelompok. Keseluruhan aktivitas berpikir dan bekerja tersebut mempunyai kecenderungan untuk mengkombinasikan pemikiran dengan tindakan yang mengacu pada sikap kreatif complexity. Pada fase explanation, sikap kreatif yang diamati adalah curiosity. Frekuensi munculnya sikap ini relatif tinggi dan konstan selama pertemuan pertama, kedua, dan ketiga. Fase explanation memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan klarifikasi melalui debat dan diskusi, mendengarkan ide-ide orang lain, serta mempertanyakan umpan balik yang diberikan oleh guru yang menunjukkan sikap curiosity. Misalnya pada pertemuan kedua, ketika salah satu kelompok siswa mempresentasikan data temuan hubungan antara persamaan reaksi hidrolisis garam secara teoretis mapun empiris beserta kesimpulannya di depan kelas, kelompok-kelompok lainnya dengan rasa ingin tahu (curiosity) mengajukan pertanyaan seperti, “Mengapa hasil persamaan reaksi hidrolisis garam bisa sama dengan hasil pengujian sifat asam-basa larutan garam?”. Pada fase elaboration frekuensi munculnya sikap kreatif risk-taking mengalami kenaikan dari pertemuan pertama ke kedua, kemudian konstan sampai pertemuan ketiga. Fase ini menuntut siswa berani menggunakan informasi yang diperoleh sebelumnya untuk diterapkan
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 373
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya dalam situasi baru yang mengacu pada sikap risk-taking. Pada pertemuan pertama terdapat beberapa siswa yang kurang berani dalam mengambil resiko gagal atau salah dalam menerapkan pengetahuan tentang sifat garam yang terhidrolisis berkaitan dengan jenis hidrolisis garam yang telah dibahas pada fase explanantion, untuk menyelesaikan beberapa persoalan yang disajikan pada fase ini. Hal ini dapat diatasi oleh guru dengan memberikan banyak masukan dan umpan balik pada kelompok tersebut pada fase explanation pertemuan kedua dan ketiga, sehingga kelompok tersebut lebih percaya diri dalam mengambil keputusan dan menunjukkan sikap kreatif risk-taking. Pada fase evaluation, siswa hanya dituntut untuk mengerjakan soal pemahaman diri secara individual, sehingga muncul keberanian untuk mencoba sesuatu yang baru, keberanian untuk gagal, dan keberanian untuk berbeda yang mengacu pada sikap kreatif risktaking (berani mengambil resiko). Frekuensi sikap kreatif ini tetap tinggi dari pertemuan pertama sampai ketiga, artinya berdasarkan bekal pengetahuan yang diperoleh dari keempat fase sebelumnya, situasi evaluation mampu memacu kemampuan berpikir siswa. Dengan demikian dapat dikatakankan bahwa model 5E Learning Cycle mampu mendorong munculnya sikap kreatif siswa. Hubungan antara Kemampuan Berpikir Kreatif dan Penguasaan Konsep Dalam penelitian ini terdapat sebuah hipotesis yang akan diuji kebenarannya yaitu “Ada hubungan yang signifikan antara kemampuaan berpikir kreatif dengan penguasaan konsep siswa setelah implementasi model 5E Learning Cycle”. Sebelum menghitung korelasi antara dua variabel (kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep), terlebih dahulu harus dipastikan bahwa data masingmasing variabel itu terdistribusi normal (Fraenkel, 2009). Uji normalitas berupa uji Kolmogorov-Smirnov (KS) dan uji Shapiro-Wilk terhadap distribusi skor kemampuan berpikir kreatif siswa (variabel X) dan skor penguasaan konsep siswa (variabel Y) menyatakan bahwa data skor kemampuan berpikir kreatif dan data skor penguasaan konsep berdistribusi normal. Perhitungan koefisien Korelasi-Pearson antara kemampuan berpikir kreatif (variabel X) dengan penguasaan konsep siswa (variabel Y) menggunakan program SPSS, menghasilkan koefisien korelasi (r) sebesar 0,839 (lebih besar dari 0,799) artinya terdapat korelasi yang sangat kuat antara variabel X dan variabel Y (Sugiyono, 2007). Pengujian signifikansi koefisien korelasi menggunakan uji t menghasilkan harga t hitung= 8,16. Untuk kesalahan 5% uji dua pihak dengan dk 29, maka diperoleh t tabel = 2,045. Mengingat t
Vol. 3 No. 2, Mei 2014 hitung lebih besar dari t tabel, maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dengan demikian, hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir kreatif dan penguasaan konsep siswa setelah implementasi model pembelajaran 5E Learning Cycle” dapat diterima. Diterimanya hipotesis tersebut dapat diterjemahkan bahwa semakin tinggi kemampuan berpikir kreatif siswa, maka semakin tinggi pula tingkat penguasaan konsepnya. Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat dipaparkan hasil penelitian ini yaitu (1) penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa pada topik hidrolisis garam setelah mengimplikasikan model 5E Learning Cycle telah mencapai gain tinggi, (2) sikap kreatif siswa pada implementasi model 5E Learning Cycle yaitu curiosity pada fase engagement, complexity pada fase exploration, curiosity pada fase explanation, risk-taking pada fase elaboration dan risk-taking pada fase evaluation adalah baik, masing-masing mempunyai frekuensi lebih dari 75%, (3) ada hubungan yang sangat kuat dan signifikan antara berpikir kreatif dan penguasaan konsep. SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang telah dipaparkan maka dapat simpulan bahwa pembelajaran kimia menggunakan model 5E Learning Cycle pada pokok bahasan hidrolisis garam telah meningkatkan penguasaan konsep dan kemampuan berpikir kreatif siswa. DAFTAR PUSTAKA Akar, E. 2005. “Effectiveness of 5E Learning Cycle Model on Students’ Understanding of Acid-Base Concept”. Diunduh dari http://www.ifets.info/journals/12_4/29.pdf pada tanggal 8 Juli 2012. Alfi, I.R. 2012. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Siklus Belajar 5E dengan Strategi PBMP untuk Melatihkan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa”. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya. Anderson, L.W. and Krathwohl, D.R.. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assessing. New York: Addison Wesley Longman, Inc. Borich, G.D. 1994. Observation Skills for Effective Teaching. New York: McMillan Publishing Company. Bybee, R.W., Taylor, J.A. Gardner, Van Scotter, P., Powell, J.C., Westbrook, A., and Landes, N. 2006. "The BSCS 5E Instructional Model: Origins, Effectiveness, and Applications." Colorado Springs, CO: BSCS. Diunduh dari http://www.bscs.org/pdf/bscs5eexecsummary.pdf pada tanggal 14 Agustus 2012. Department for Children, Schools, and Families of UK. 2008. Developing Critical and Creative Thinking in Science. London: Department of Education.
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 374
Pendidikan Sains Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya Dick, W. and Carey, L. 2009. The Systematic Design of Instruction. USA: HarperCollinsPublisher. Effendy. 2008. A-Level Chemistry for High School Students Volume 2B. Malang: Bayumedia Publishing. Ergin, I. 2012. “Constructivist Approach Based 5E Model and Usability Instructional Physics”. Latin American Journal of Physics Education. Vol. 6 No. 1 March 2012, pp. 14-20. Fraenkel, J.R. and Wallen, N.E. 2009. How to Design and Evaluate Research in Education. Seventh Edition. New York: McGraw-Hill, Inc. Gagne, R.M. 1977. The Condition of Learning. Third Edition. New York: Holt, Rinehart and Winston. Getzels, J. W. & Jackson, P. J. (1962). Creativity and Intelligence: Explorations with Gifted Students. New York: John Wiley and Sons, Inc. Guilford, J.P. 1967. The Nature of Human Intelligence. New York: McGraw–Hill. Hake, R.R. 1999. “Analyzing Change/Gain Score”. AERA-D-American Educational Research Association’s Division. Measurement and Reasearch Methodology. Tersedia di http://www.physics.indiana.edu/~sdi/AnalyzingCh ange-Gain.pdf Kolin, M., Krusack, E.B., Stombaugh, A., Stow, R., and Brenner, G.H. 2011. “Designing “Learning” Lessons for the University Classroom.” Diunduh dari www.worcestes.edu/Currents/Archieves/Volume_ 4_Number_1/CURRENTSV4N1KolisP34.pdf. pada tanggal 3 Juli 2013. Lee, K. 2005.” The relationship between creative thinking ability and creative personality of preschoolers”. International Education Journal 2005, p. 194-199. Seoul: Shannon Research Press. Mayer, R.E. 2008. Learning and Instruction. Second Edition. USA: Pearson. Mittal, A. and Mittal, J. 2002. Objective Chemistry For lit Entrance. New Delhi: New Age International (P) Ltd. Publishers. Munandar, U. 2009. Pengembangan Kreativitas anak Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta. Palaniappan, A.K. 2007. “ Academic Achievement of Groups Formed Based on Creativity and Intelligence”. Diunduh dari http://www.ep.liu.se/ecp/021/vol1/020/exp2107020 .pdf pada 13 Nopember 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 54 Tahun 2013. “Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah”. Jakarta: Depdikbud. Qarareh, A.O. 2012. “The Effect of Using the Learning Cycle Method in Teaching Science on the Educational Achievement of the Sixth Graders”. International Journal of Educational Science, Vol. 4 No. 2, pp. 123-132. Rahinawati, Y. 2011. “Pengembangan Perangkat Pembelajaran Model Siklus Belajar dengan Strategi Pemberdayaan Berpikir Melalui Pertanyaan (PBMP) pada Pembelajaran Kimia”.
Vol. 3 No. 2, Mei 2014 Makalah Komprehensif, Universitas Negeri Surabaya. Rao, D.B and Prasad, S.S. 2009. Creative Thinking of School Students. New Delhi: Discovery Publishing House Pvt. Ltd. Russo, T. 2003. Chemistry Concepts and Applications. Laboratory Manual. Student Edition. Ohio: Glencoe/McGraw-Hill Companies. Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology: Theory and Practice. Sixth Edition. USA: Allyn and Bacon. Seyhan, H.G. and Morgin I. 2007. “The Effect of 5E Learning Model on Teaching of Acid-base Topic in Chemistry Education”. Journal of Science Education, ProQuest Education Journal, 8(2), pg. 120. Siswono, T.Y.E. 2007. “Penjenjangan Kemampuan Proses Berpikir dan Identifikasi Berpikir Kreatif Siswa dalam Memecahkan dan Mengajukan Masalah Matematika”. Disertasi. Surabaya: Unesa Pascasarjana Program Studi Pendidikan Matematika. Stenberg, R.J. 1999. Handbook of Creativity. New York: Cambridge University Press. Stoker, H.S. 2012. General, Organic, and Biological Chemistry. 6th Edition. USA: Cengage Learning. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Cetakan Ketiga. Bandung: Penerbit Alfabeta. Tan, A., and Wong, S. 2007. “Constructive Creativity in Education”. In Ai-Girl Tan (Ed.). Creativity A Handbook for Teachers, 485-506. Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. Torrance, E. P. 1959. Explorations in Creative Thinking in the Early School Year: VI. Highly Intelligent and Highly Creative Children in a Laboratory School. Minneapolis: Bur. Edu. Res. University of Minnesota. Torrance, E.P. 1975. “Creativity Research in Education: Still Alive”. In I.A. Taylor and J.W. Getzels (Eds.), Perspectives in Creativity. Chicago: Aldine. Trowbridge, L.W. and Bybee, R.W. 1996. Teaching Secondary School Science. Sixth Edition. New Jersey: Prentice – Hall, Inc. Yalcin, F.A. and Bayrakceke, S. 2010. “The Effect of 5E Learning Model on Pre-service Science Teachers’ Achievement of Acids-Bases Subject”. International Online Journal of Educational Sciences, Vol. 2 No. 2: pp. 508-531. Yamamoto, K. (1964). “A further analysis of the role of creative thinking in High-School Achievement”. The Journal of Psychology, 58, 277-283.
Implementasi Model 5E Learning Cycle untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa SMA
| 375