IMAM SALAT PEREMPUAN BAGI LAKI-LAKI (Kajian Hadis Ahkam) Oleh: Tobibatussaadah Abstract Some Hadith shows that women should be priests to other women as it is commonly done by several wives apostle of Allah. About women becoming priests pray for the men there were traditions that indicate that the women should be priests pray for the families at home. While women become priests prayed for men who are not members of the family, no tradition is expressly prohibited. There are only traditions that forbid a priest in the Friday prayers. This research is interesting because it relates to the function and role of women in the realm of worship. This research was conducted by the research method approach Hadith yan done with a model approach to historical research. This is because the text books of hadith is one of the studied historical documents. The study was conducted simultaneously with critiquing the quality of tradition based on information from the books of Hadith rijalul assembly. Based on research, that the hadith that forbids women to the priesthood Prayer Hadith da'eef status. In addition, these traditions with respect to Friday prayers. While the Friday prayers for women are not required. While the tradition of female imams pray for men, bersetatus hasan lighairihi. Context of tradition, women become priests pray for these men in the area of domestic or family environment. As for the public there is no hadith that prohibits or who ordered it. In the context of the terminology of usul in fact permissible under the law. Keywords: Hadits, Imam dan Perempuan
Penulis adalah dosen Tafsir Ahkam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro Lampung. Sekarang sedang diberi amanah menjadi ka Prodi Hukum Keluarga pada Prog. Pascasarjana STAIN Jurai Siwo Metro. Jenjang pendidikan yang pernah dilalui sarjana (S1) pada Fakultas Syari’ah jurusan Peradilan Agama IAIN Sunan Gunung Djati Bandung Lulus 1994. Pascasarjana (S2) pada Konsentrasi Syari’ah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (sekarang UIN), lulus tahun 1999. Pascasarjana (S3) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Syari’ah lulus tahun 2009. Hp. 081541285730
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
67
A. PENDAHULUAN Dewasa ini berbicara mengenai perempuan dalam berbagai perannya selalu menarik, apalagi ketika diperhadapkan dengan wilayah peran laki-laki. Gugatan tentang peran serta perempuan dalam wilayah publik sudah lama disuarakan diseluruh dunia. Padahal bila direnungkan tidak mungkin Tuhan menciptakan berbagai makhluk dalam hanya satu peran yang sama, akan tetapi dalam perannya masing-masing. Sehingga satu sama lain salaing melengkapi dan saling menyempurnakan. Hanya saja semua memiliki kewajiban yang sama yakni untuk tunduk dan taat kepada titah-Nya. Demikian juga dalam masalah 'ubûdiyah (ibadah), ketika siapa yang boleh memimpin ibadah salat, apakah harus laki-laki atau boleh perempuan untuk memimpinnya, menjadi masalah yang menarik untuk dikaji. Mayoritas ulama sepakat bahwa shalat disunatkan dilakukan secara berjamaah. Bahkan, kelompok ulama Dzahiriah menghukuminya sebagai fardu ‘ain bagi setiap orang yang baligh dan berakal.1 Shalat berjamaah ini sedikitnya dilakukan dua orang yang salah satunya bertindak sebagai imam dan yang lain menjadi makmum. Pada kebiasaannya yang bertindak sebagai imam shalat adalah laki-laki. Namun, sekitar bulan Pebruari tahun 2004 terdapat berita tentag seorang perempuan yang bernama Amina Wadud Muhsin menjadi imam sekaligus menjadi khathib shalat Jum’at. Penelitian ini tidak untuk memberikan legitimasi hukum terhadap kasus tersebut, akan tetapi hendak membahas bagaimana sebenarnya imam perempuan dalam shalat dengan melalui pendekatan hadits. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hadis, dengan pendekatan sejarah (Historical Approach). 1 Abu al-Wâlid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi, Bidâyah al-Mujtahid Wa Nihâyah al-Muqtashid, (Indonesia: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, Tt), h. 102 Menurut al-Khathib, shalat jamaah itu hukumnya fardu kifayat bagi laki-laki, sedang bagi perempuan tidak dihukumi sunnah (Muhammad al-Khathib al-Syarbiniy, Mughnî al-Muhtaj, [Mesir: Dâr alFikr, tt] Juz I, h. 229).
68
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
Yang menjadi objek kajiannya adalah kitab-kitab hadis dan kitabkitab rijal al-Hadis. Penelitian dilakukan dengan simultan untuk menemukan hadis-hadis yang dijadikan objek kajian, kemudian dengan metode penelitian hadis, hadis tersebut dikritisi untuk menentukan status kualitas hadis yang dijadikan objek kajian. Dengan mengetahui kualitas hadis tersebut dapat diambil kesimpulan tentang hukum perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki. B. KAJIAN TEORI Secara etimologi kata imam berasal dari akar kata ًؤً –اٝ – اٍاٍحyang mempunyai arti ٔ تٙقرذٝ ٍِ (orang yang diikuti).2 Sedangkan menurut istilah imam shalat berati seseorang yang diangkat untuk memimpin pelaksanaan shalat berjamaah. 3 Pengertian imam ini sesuai dengan hadits Nabi sebagai berikut: ٔؤذٌ تٞٔ ٗسيٌ اَّا جعو االٍاً ىٞ هللا عيٚ قاه سس٘ه هللا صي: هللا عْٔ قاهٜشج سضٝ ٕشٚعِ ات فارا مثش فنثشٗا ٗاراسجذ فاسجذٗا ٗارا سفع فاسفع٘ا ٗارا قاه سَع هللا ىَِ دَذٓ فق٘ى٘ا ستْا ٗىل 4)ٌ قاعذا فصي٘ا قع٘دا اجَعُ٘(سٗآ ات٘ داٗد ٗ ٍسيٚاىذَذ ٗارا صي Artinya: Dari Abi Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya seseorang dijadikan imam itu untuk diikuti, maka apabila imam takbir bertakbirlah, apabila imam sujud maka lakukanlah sujud, apabila imam bangkit maka bangkitlah, apabila imam mengucapkan “sami‟allahu liman hamidah” maka ucapkanlah “rabbana walakal hamdu”, apabila imam shalat sambil duduk maka lakukanlah shalat sambil duduk,” Untuk dapat diangkat menjadi imam shalat, sesorang harus memiliki syarat-syarat tertentu. Dalam konteks fiqh, Abdu al-Rahman al-Jaziri mengemukakan beberapa syarat seseorang dapat dijadikan imam shalat. Syarat-syarat tersebut adalah 2 Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: Dâr al-Masyruk, 1986), h. 17.; Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta, Pustaka Progressif, 1984), h. 44. 3 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Inter Masa, 1998), Jilid II, h. 705. 4 Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats, Sunan Abû Dâwud, (Mesir: Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halbi Wa Auladuh, 1952), Juz I, h. 164. ;Imam Muslim, Shahih Muslim, (Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, Tt.), Juz I, h. 175; Muhammad bin Ismâil bin Ibrahim al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî. (Kairo: Maktabah al-Syuruk al-Dauliah, 2003), h. 106
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
69
pertama, beragama Islam. Ulama sepakat bahwa imam shalat haruslah seorang yang beragama Islam. Kedua, baligh, ulama juga sepakat bahwa orang yang sudah baligh sah menjadi imam shalat. Akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang anak kecil yang sudah mumayiz menjadi imam. Imam Syafi’i berpendapat bahwa anak kecil yang mumayiz sah menjadi imam shalat fardu kecuali shalat jum’at. Berbeda dengan Imam Syafi’î, Imam Mâlik, Imam Abu Hanifah dan Imam Hanbali berpendapat bahwa anak kecil meskipun sudah mumayiz tidak sah menjadi imam shalat fardu. Bahkan, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak kecil tidak sah menjadi imam sekalipun imam shalat sunat. Ketiga, berakal. Ulama sepakat bahwa yang menjadi imam haruslah orang yang mempunyai akal yang sehat. Keempat, laki-laki. Ulama sepakat bahwa laki-laki dipandang sah menjadi imam baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Ulama berbeda pendapat tentang hukum perempuan menjadi imam shalat.5 Pembahasan tentang imam perempuan ini secara gamblang akan dibahas di bawah. C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Hadis-Hadis tentang Perempuan Menjadi Imam Shalat Hadits yang menunjukkan imam shalat perempuan terdapat tiga kategori. Pertama Hadits yang melarang perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki. Kedua, hadits yang memberikan indikasi bolehnya perempuan menjadi imam shalat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan. Ketiga, hadits tentang perempuan menjadi imam bagi perempuan. Berdasarkan takhrîj atau penelusuran yang penulis lakukan terhadap hadits-hadits tersebut, penulis menemukan hadits yang memberikan indikasi larangan perempuan menjadi imam shalat
5Abdu al-Rahman alJaziri, Kitâb al-Fiqh Ala Madzâhib al-Arba‟ah, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), h. 368.; Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islamî Wa Adillatuh (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), Juz II, h. 173; Abu al-walid Muhammad bin Ahmad bin Rusydi. Bidâyayatul Mujtahid…, h. 105.
70
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
bagi laki-laki diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan al-Baihaqi.6 Sedangkan hadits yang mengindikasikan bolehnya perempuan menjadi imam shalat baik bagi laki-laki maupun bagi perempuan diriwayatkan oleh Abu Dâwud dan Ahmad Ibn Hanbal.7 Dan hadits yang mengindikasikan perempuan boleh menjadi imam bagi perempuan diriwayatkan al-Daruquthni dari Aisyah ra. dan Umu Salâmah ra. a. Hadits yang melarang perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki adalah sebagai berikut: Pertama, hadits riwayat Ibnu Mâjah: ٙٗ عثذ هللا تِ ٍذَذ اىعذْٜش ات٘ جْاب دذشٞذ تِ تنٞش شْا اى٘ىَّٞ ِدذ شْا ٍذَذ تِ عثذ هللا ت ٔٞ اىيئ عيٚة عِ جاتش تِ عثذ هللا قاه خطثْا سس٘ه هللا صيٞذ تِ اىَسٞذ عِ سعٝ تِ صٚعِ عي هللا قثو اُ ذَ٘ذ٘ا ٗتادسٗا تاالعَاه اىصاىذح قثو اُ ذشغي٘اٖٚا اىْاط ذ٘ت٘ا اىٝااٝ ٗسيٌ فقاه ح ذشصق٘اّٞ اىسش ٗاىعالِٚ ستنٌ تنصشج رمشمٌ ىٔ ٗمصشج اىصذقح فْٞنٌ ٗتٞ تٙٗصي٘ا اىز ٜ ٕزا فٍٜ٘ٝ ٚ ٕزا فٍٜ ٍقاٜنٌ اىجَعح فٞٗذْصشٗا ٗذجثشٗا ٗاعيَ٘ا اُ هللا قذ افرشض عي ٗىٔ اٍاً عاده اٗ جاءسٛ اٗ تعذٜاذٞ دٜاٍح فَِ ذشمٖا فًٞ٘ اىقٝ ٚ ٕزا ٍِ عاً ٕزا اىٛشٖش اٍشٓ اال ٗال صالج ىٔ ٗال صماجٜاسرخفافا تٖا اٗ جذ٘دا ىٖا فال جَع هللا ىٔ شَئ ٗال تاسك ىٔ ف ٔ اال ال ذؤٍِ اٍشأج سجالٞر٘ب فَِ ذاب ذاب هللا عيٝ ٚىٔ ٗال دج ىٔ ٗال صً٘ ىٔ ٗال تش ىٔ در 8 ٔفٔ ٗس٘طٞخاف سٝ ُقٖشٓ تسيطاٝ ُؤً فاجشا ٍؤٍْا اال اٝ ؤً ٍٖاجشا ٗالٝ ٗال Artinya: Ibnu Majah (berkata), Muhammad bin Abdullah bin Numair menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-walid bin Bukair Abu Jannab menyampaikan kepada kami, (bahwa) Abdullah bin Muhammad al-„Adwi menyampaikan kepadaku, (riwayat) dari “ali bin Zaid, dari Sa‟id bin alMusayyab, dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: Rasulullah saw. memberikan khutbah kepada kami seraya bersabda: “Wahai manusia bertaubatlah kepada Allah sebelum kalian meninggal dunia, dan bersegeralah mengerjakan amal shalih sebelum kamu semua sibuk. Jalinlah komunikasi dengan Tuhan dengan memperbanyak dzikir, dan shadaqah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terangterangan, niscaya Allah akan memberikan rizki, akan menolong, dan akan melindungimu. Ingatlah bahwa Allah telah mewajibkan shalat 6 Abu Hajar Muhammad al-Said bin Basyûni Zaghlûl, Athrâf al-hadîs alnabawî al-Syarîf, (Beirut: ‘Alim al-Thurab, 1989), Juz ll, h. 414. 7 Wensink, Al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfâzh al-Hadîs al-Nabawî, (Leiden: E.J. Bril, 1936), h. 86. 8 Abi Abdillah Muhammad bin Yazîd al-Qazwinî Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah. (Mesir: Dâr al-Fikr, 1952), Juz I, h. 343, Kitâb Iqâmah al-Shalat Wa al-Sunnah Fîhâ.
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
71
Jum‟at pada tempat, hari, bulan, dan tahun ini sampai hari kiamat. Barang siapa meninggalkannya pada masaku atau setelah aku wafat sedangkan ada imam yang adil atau tidak adil, menganggap enteng atau mengingkarinya, maka Allah tidak akan melindungi dan tidak akan memberikan berkah. Ingatlah tidak ada shalat, tidak ada zakat, tidak ada haji, tidak ada puasa dan tidak ada kebaikan sampai ia bertaubat. Barang siapa bertaubat maka Allah akan menerima taubatnya. Ingatlah, janganlah menjadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki. Janganlah orang Arab menjadi imam bagi orang yang berhijrah dan janganlah orang yang berdosa menjadi imam bagi orang mukmin kecuali kekuasaan memaksanya dengan ancaman pedang atau cemeti”. Kedua, hadits riwayat al-Baihaqî: شْا ٍذَذ تِ عثذِٙ تِ تششاُ اىعذه اّثأ ات٘ جعفش ٍذَذ تِ عَشٗ تِ اىثخرشٞاخثشّا ات٘ اىذس ِ عثذ هللا تْٜش دذشٞذ تِ تنٞ اى٘ىْٜو تِ ٍشصٗق دذشٞذ تِ ٕاسُٗ اّثأ فضٝضٝ شْاٚقٞاىَيل اىذق ٚة عِ جاتش تِ عثذ هللا قاه سَعد سس٘ه هللا صيٞذ تِ اىَسٞذ عِ سعٝ تِ صٍٚذَذ عِ عي هللا عض ٗجو قثو اُ ذَ٘ذ٘ا ٗتادسٗاٖٚا اىْاط ذ٘ت٘ا اىٝا اٝ : ق٘هٝ ٓ ٍْثشٚٔ ٗسيٌ عيٞهللا عي اىسشِٚ ستنٌ تنصشج رمشمٌ ىٔ ٗمصشج اىصذقح فْٞنٌ ٗتٞ تٛتاالعَاه اىصاىذح ٗصي٘ا اىز ضحٝنٌ اىجَعح فشٞح ذ٘جضٗا ٗذذَذٗا ٗذشصق٘ا ٗاعيَ٘ا اُ هللا عض ٗجو قذ فشض عيّٞٗاىعال َِال فٖٞا سثٞاٍح ٍِ ٗجذ اىًٞ٘ اىقٝ ٚ ٕزا اىٍٜ عاٜ ٕزا فٛ شٖشٜ ٕزا فٍٜ ٍقاٍٜنر٘تح ف ٔ جذ٘دا تٖا ٗاسرذفافا تٖا ٗىٔ اٍاً عاده اٗ جائش فال جَع هللا ىٔ شَيٛ اٗتعذٜاذٞ دٜذشمٖا ف اٍشٓ اال ٗال صالج ىٔ ٗال ٗضؤ ىٔ اال ٗال صماجاال ٗال دج ىٔ اال ٗال ٗذشٜاال ٗال تاسك هللا ىٔ ف ٍٖا جشا االٚؤٍِ اعشاتٝ ٔ اال ٗال ذؤٍِ اٍشأج سجال اال ٗالٞر٘ب فاُ ذاب ذاب هللا عيٝ ٚىٔ در 9ٔفٔ ٗس٘طٞخاف سٝ ُقٖشٓ سيطاٝ ُؤٍِ فا جشا ٍؤّد اال اٝ ٗال Artinya: Al-Baihaqi (berkata), Abu al-Husain bin Basyranal-„Adli menyampaikan kepada kami, (bahwa) Abu Ja‟far Muhammad bin Umar al-Bakhtari menyampaikan kepada kami, (bahwa) Muhammad bin Abdu al-Muluk al-Daqiqi menyampaikan kepada kami, (bahwa) Yazid bin Harun menyampaikan kepada kami, (bahwa) Fudail bin Marzuk menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-Walid bin Bukair menyampaikan kepadaku, (bahwa) Abdullah bin Muhammad menyampaikan kepadaku (riwayat) dari „Ali bin Zaid, dari Sa‟id bin al-Musayyab, dari Jabir bin Abdillah, dia berkata: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda di atas mimbar, “Wahai manusia bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah „Aza Wajalla sebelum kamu meninggal dunia, dan bersegeralah mengerjakan 9 Abi Bakar Ahmad bin al-Husain Bin ‘Ali al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra (Mesir: Dâr al-Fikr, 1952), Juz III, h. 90.
72
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
amal shalih. Jalinlah komunikasi antara kamu dengan Tuhanmu dengan memperbanyak dzikir dan shadaqah baik secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan. Niscaya Allah akan memberikan pahala dan rizki kepadamu. Ketahuilah bahwa Allah „Aza Wajalla telah mewajibkan shalat Jum‟at kepadamu pada tempat, bulan dan tahun ini, sampai hari kiamat. Barang siapa meninggalkannya pada masaku atau setelah aku wafat dengan mengingkarinya tau menganggap enteng sedangkan ada imam yang adil atau tidak adil maka Allah tidak akan melindunginya. Ingatlah tidak ada keberkahan, tidak ada shalat, tidak ada wudlu, tidak ada zakat, tidak ada haji dan tidak ada witir kecuali dia bertaubat. Barang siapa bertaubat, niscaya Allah akan menerima taubatnya. Ingatlah, janganlah menjadikan perempuan sebagai imam bagi laki-laki dan janganlah orang Arab menjadi imam bagi orang yang berhijrah, dan janganlah orang yang berdosa menjadi imam bagi orang yang beriman kecuali kekuasaan memaksanya dengan ancaman pedang atau cemeti”. b. Hadits perempuan menjadi imam shalat baik bagi perempuan maupun bagi laki-laki adalah sebagai berikut: Pertama, hadits riwayat Abû Dâwud terdiri dari dua jalur periwayatan, yaitu: ْٜع قاه دذشَٞذ تِ عثذ هللا تِ جٞع تِ اىجشاح شْا اى٘ىٞثح شْا ٗمٞ شٜ دذشْا عصَاُ تِ ات.1 ٌٔ ٗسيٞ صيىاهلل عيٜ عِ اً ٗسقح تْد ّ٘فو اُ اىْثٙ ٗعثذ اىشٍِ تِ خالداالّصاسٜجذذ ُ هللا اٚ اىغضٍٗعل اٍشض ٍشضامٌ ىعيٜ فٚا سس٘ه هللا ائزُ ىٝ ٔىَا غضا تذسا قاىد ى ذجٖٞ اىشَٚشصقل اىشٖادج قاه فناّد ذسٝ ٚرل فاُ هللا ذعاىٞ تٜ فٛ شٖادج قاه قشْٚشصقٝ داسٕأٜ ٗسيٌ اُ ذرخذ فٞ هللا عيٚ صيٚقاه ٗماّد قذ قشأخ اىقشآُ فاسرأر ّد اىْث فح ىٖاٞو فغَإا تقطٖٞا تاىيٞح فقاٍا اىٍٝؤرّا فأرُ ىٖا قاه ٗماّد دتشخ غالٍا (ىٖا) ٗجاس ٍِ ِٗ غيٌ اٝ اىْاط فقاه ٍِ ماُ عْذٓ ٍِ ٕزٜ ٍاذد ٗرٕثا فاصثخ عَش فقاً فٚدر 10 ْحٝئ تَٖا فاٍش تَٖا فصيثا فناُ اٗه ٍصي٘ب تاىَذٞجٞسإٓا في Artinya: Abu Dâwud (berkata), Utsman Ibnu Syaibah menyampaikan kepada kami, (bahwa) Waki‟ bin al-Jarh menyampaikan kepada kami, (bahwa) al-Walid bin Abdullah bin Jumai‟ menceritakan kepada kami, dia berkata: kakekku dan Abdu al-Rahman bin Khalad al-Anshari telah menyampaikan kepadaku, (riwayat) dari Umi Waraqah binti Naufal bahwasannya Nabi saw. pada waktu perang Badar (mengunjunginya). Umi Waraqah berkata: “Wahai Rasulullah izinkan aku untuk mengikuti 10
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats. Sunan Abu Daud…, h. 161.
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
73
perang bersamamu agar aku dapat merasakan sakit sebagaimana engkau merasakannya. Selain itu, supaya Allah memberikan predikat Syahidah”. Rasulullah berkata: “Tinggallah engkau di rumah, karena Allah telah memberikan predikat al-Syahidah”. ia berkata, Umi Waraqah disebut juga sebagai Syahidah dan Umi Waraqah membaca al-Qurân, kemudian Nabi saw menjadikan seorang muadzin beradzân untuk Umi Waraqah di rumahnya. Lalu Umi Waraqah melaksanakan shalat malam bersama seorang pembantu laki-laki dan seorang pembantu perempuan yang membunuhnya dengan membekap menggunakan beludru sutra. Kedua pembantu itu lari setelah berhasil membunuhnya. Pada pagi harinya Umar ra. mengumumkan bagi siapa saja yang menemukan kedua pembantu tersebut untuk melaporkannya. Setelah kedua pembantu tersebut ditemukan kemudian mereka berdua disalib. Merekalah orang yang pertama dikenakan hukum salib di Madinah. ع عِ عثذَٞذ اتِ جٞو عِ اى٘ىٞ شْا ٍذَذ تِ فضٍٚ اىذسِ تِ دَاد اىذضشْٜ دذش.2 س قاه ٗماُ سس٘ه هللاٝاىشدَِ تِ خالد عِ اً ٗسقح تْد عثذ هللا اىذشز تٖزااىذذ ؤرُ ىٖا ٗأٍشٕا اُ ذؤً إٔوٝ رٖا ٗجعو ىٖا ٍؤرّاٞ تٜضٗسٕا فٝ ٌٔ ٗسيٞ هللا عيٚصي 11 شاٞخا مثٞد ٍؤرّا شٝداسٕا قاه عثذ اىشدَِ فاّا سأ Artinya: Abu Dâwud (berkata), al-Hasan bin Hamad al-Handrami menyampaikan kepada kami, (bahwa) Muhammad bin Fudail menceritakan kepada kami, (suatu riwayat) dari al-Walid ibnu Jumai‟ dari Abdu al-Rahman bin Khalad, dari Umi Waraqah binti Abdullah bin al-Hirtsi, dia berkata bahwasannya Rasulullah saw. mengunjungi Umi Waraqah di rumahnya dan menjadikan seorang muadzin baginya dan menyuruh menjadi imam bagi anggota keluarganya. Abdu al-Rahman berkata: “Aku melihat Muadzin tersebut seorang kakek yang sudah tua” Kedua, hadits riwayat Ahmad bin Hanbal, عِ أً ٗسقح تْد اىذشزٜ جذذْٜذ قاه دذشٌٞ قاه شْا اى٘ىٞ شْا ات٘ ّعٜ اتْٜدذشْا عثذ هللا دذش ٔ ٗسيٌ قذ أٍشٕا اُ ذؤً إو داسٕاٞ هللا عيٚ صيٜ ٗماّد قذ جَعد اىقشآُ ٗماُ اىْثٙاالّصاس 12 ٗماُ ىٖا ٍؤرُ ٗماّد ذؤً إو داسٕا Artinya: Ahmad bin Hanbal (berkata), bahwa Abdullah (berkata), (bahwa) ayahku menyampaikan kepadaku, (bahwa) Abu Nuaim menyampaikan kepada kami, ia berkata, (bahwa) kakeku menyampaikan Ibid. 162 Ahmad bin Muhammad Hanbal bin Hilal, Musnad Ahmad bin Hanbal, (Mesir: Dâr al-Fikr, Tt.), Juz VI, h. 405. 11 12
74
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
kepada kami, (riwayat) dari Ummi Waraqah binti Abdullah bin al-Hirtsi al-Anshârî yang telah mengumpulkan al-Qurân dan Nabi saw telah memerintahkan dia untuk menjadi imam bagi anggota keluarganya dan menjadikan seorang muadzin baginya, lalu Umi Waraqah menjadi imam bagi keluarganya. c. Hadits Perempuan Menjadi Imam bagi Perempuan ,ُاٞ اخثشّا سف,ٌٞ دنٚذ تِ اتٝضٝ شْا, شْا ادَذ تِ ٍْص٘س,ٙسات٘سْٞ دذشْا ات٘ تنش اى.1 ِْٖٚ فٞ اٍرْا عائشح فقاٍد ت:ح قاىدٞطح اىذْفٝ عِ س,ٙة اىْٖذٞسشج تِ دثٍٞ ْٚدذش 13اىصالجاىَنر٘تح Artinya: Al-Daruthnî (berkata), (bahwa) Abu bakar al-Naîsâburî telah menyampaikan kepada kami, (bahwa) Ahmad bin Mansur telah menyampaikan kepada kami, (bahwa) yazid bin Hakim menyampaikan kepada kami, (bahwa) Sufyan memberitakan kepada kami, (bahwa) maisarah binti Habib al-Nahdy menyampaikan kepada kami, dari Raithah al-Hanafiyah dia berkata: “Aisyah telah menjadi imam bagi kami dalam shalat fardu dan ia berdiri diantara kami. ِ عْٕٚاُ عِ عَاس اىذٞ٘سف اىسيَىصْا عثذ اىشدَِ ّا سفٝ ِ دذشْا ات٘ تنششْا ادَذ ت.2 14 ْْاٞ صالجاىعصشفقاٍد تٚ اٍرْا اً سيَح ف:ِ قاىدٞشج تْد دصٞدج Artinya: Al-daruquthni (berkata), (bahwa) Abu Bakar telah menyampaikan kepada kami, (bahwa) Ahmad bin Yusuf al-Salmi telah menyampaikan kepada kami, (bahwa) Abdu al-Rahman telah menyampaikan kepada kami, (bahwa) Sufyan telah menyampaikan kepada kami, dari „Amar al-Duhnî, dari Hajirah binti Hushain dia berkata: “Umi Salâmah telah menjadi imam bagi kami dalam shalat Ashar dan ia berdiri diantara kami.”
2. Analisis a. Kualitas Hadits Dari segi kualitas sanad hadits, al-Daruquthni berpendapat bahwa hadits Aisyah ra.dan hadits Umi Salâmah ra. merupakan hadits yang berkualitas hasan. Sedangkan hadits Umi Waraqah dan Jabir bin Abdillah merupakan hadits dhaif. 15 13 Ali Bin Umar al-Daruquthnî, Sunan al-Daruquthnî, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1996), Juz I, h. 388. 14 Ibid 15 ‘Ali bin Umar al-Daruquthnî, Sunan al-Daruqutni…, h. 388; Ismâ’il alAmirî al-Yamani al-Shan’anî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm Min Jami‟ Adilah al-Ahkâm, (Beirut, Dâr al-Jail, tt), Juz II, h. 426 dan 437.
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
75
Adapun dari segi jumlah periwayat, baik hadits Umi Waraqah maupun hadis jabir bin Abdillah merupakan hadis Ahad.16 Demikian juga hadits Umi Salâmah ra. dan hadits Aisyah ra. merupakan hadits ahad. Hadits Umi Waraqah berkualitas dhaîf karena salah seorang perawinya yang bernama Abdu al-Rahman bin Khallad menurut ulama al-jarh Wa al-Ta'dîl merupakan periwayat yang majhul (tidak dikenal).17 Sedangkan menurut Mansyur al-Syauriy, pentakhrij Sunan al-Daruqutny, ke-dhaîf-an hadis Umi Waraqah disebabkan oleh neneknya al-Walid yakni Laila binti Malik merupakan orang yang tidak dikenal.18 Namun, berbeda dengan penilaian di atas, Ibnu Khuzaimah memberikan penilaian terhadap hadits Umi Waraqah sebagai hadits yang shahîh.19 Sedangkan hadits Jabir dipandang sebagai hadits yang dhaîf karena dua alasan. Pertama, adanya keterputusan sanad para perawinya pada beberapa thabaqah. Putusnya rangkaian sanad 16 Imam Syafî dan imam Abu Hanifah menetapkan syarat-syarat tertentu untuk hadis ahad yang dapat dijadikan hujah. Imam Syafî menetapkan lima syarat bagi hadis ahad yang dapat dijadikan hujjah. Pertama, Periwayat merupakan orang yang terpercaya dalam agamanya. Kedua, jujur dalam periwayatannya. Ketiga, memahami apa yang diriwayatkannya. Keempat, mengetahui lapadz-lapadz yang dapt mengubah arti hadis. Kelima, cakap meriwayatkan hadis kata demi kata bukan dengan maknanya saja. Menurut alSyatibi, selain syarat-syarat di atas, bahwa kandungan makna hadis ahad tersebut tidak bertentangan dengan al-Qurân. (Muhammad bin Idrîs al-Syafi’î. Al-Risalâh, [Beirut: Al-Maktabah al-Ilmiah, tt], h. 370.; Abi Ishaq Ibrahîm bin Musa al-Syâthibî, Al-Muwafaqât Fi Ushû al-Ahkâm, [Beirut: Dâr al-Fikr, tt], h. 9) Sedangkan menurut Abu Hanifah diantara syarat dapat dijadikanya hujjah hadis ahad apabila tidak bertentangan dengan kaidah hukum syara’, sanadnya bersambung dan si periwayat hadis ahad tidak menyalahi periwayatannya dalam beramal. (Abi Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal al-Sarkhasî, AlMabsuth, [Tp, 2001], h. 15.; Abi Ishaq Ibrahîm bin Musa al-Syathibi, alMuwafaqât…, h. 11) 17 Abu Hatim al-Râzî, al-Jarh Wa al-Ta‟dîl, (Matba’ah Dâr al-Ma’ârif alUtsmaniyah al-Hindî, 1952), h. 230. 18 ‘Ali bin Umar al-Daruquthnî, Sunan al-Daruqutnî…, h. 388. 19 Abi Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah al-Salmî al-Naisaburî, Shahih Ibnu Khuzaimah, (Beirut: al-Maktab al-Islamî, 1980), Juz III, h. 89.
76
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
tersebut dimulai dari Ali bin Zaid bin Jud’an, periwayat hadits thabaqah ke IV kepada Abdullah bin Muhammad al-‘Adwi, periwayat hadits thabaqah ke VII. Kemudian sanadnya terputus lagi dari al-Walid bin Bukair, thabaqah ke VIII kepada Muhammad bin Abdullah bin Numair, thabaqah X.20 Kedua, adanya kecacatan dari segi kredibilitas periwayat hadits tersebut. Menurut ulama al-jarh wa al-Ta‟dîl, Ali bin Zaid merupakan periwayat yang dhaîf, laisa bi al-quwa, wahin dan layin al-hadîts.21 Selain, Ali bin Zaid, Abdullah bin Muhammad dan alWalid bin Bukair juga di Jarh-kan oleh Abu Hatim al-Razi dan Ibnu Hajar.22 b. Kandungan Hukum Ulama berbeda pendapat mengenai perempuan menjadi imam shalat. Imam Syafi’î dalam kitabnya al-Umm berpendapat bahwa perempuan syah menjadi imam shalat bagi perempuan baik dalam sahalat sunat maupun dalam shalat fardu berdasarkan hadits Aisyah r.a di atas dan hadits Umi Salâmah.23 Sependapat dengan Imam Safi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan ulama Hanafiah memandang syah perempuan menjadi imam shalat bagi perempuan. Hanya saja ulama Hanafiah menghukuminya makruh yang diharamkan (karahah Tahrîm).24 Berbeda dengan pendapat di atas yang memandang sah perempuan menjadi imam bagi perempuan lainnya, ulama Malikyah berpendapat bahwa perempuan tidak syah menjadi imam shalat bagi perempuan lainnya baik dalam shalat fardu 20 Ibnu Hajar, Tahdzîb al-Tahdzîb, Juz VII, h. 283 dan Juz VI, h. 190.; Abdu al-Gaffâr Sulaiman al-Bandarî, Mausû‟ah Rijâl al-Kutub al-Tis‟ah, (Beirut: Dâr alKutub al-Ilmiah, 1993) Juz III, h. 98. 21 Abdu al-Gaffâr Sulaiman al-Bandari, Mausu‟ah Rijal..., h. 69; Syamsuddîn Muhamad bin Ahmad bin Utsmân al-Dzahabî, Al-Kâsif Fi Ma‟rifati Man Lahu Riwayah Fi Kutub al-Sitah, (Mesir: Dâr al-Kutub al-Haditsah, tt), Juz III, h. 239. 22 Abu Hatim al-Râzî, al-Jarh..., Juz IV. Tarjamah 1021; Ibnu Hajar alAsqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb. Juz VI, h. 191. 23 Muhammad bin Idrîs al-Syafi’î, Al-Um, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1993), h. 292.; Abdu al-Rahman al-Jaziri, al-Jarh…, h. 372. 24 Abdu al-Rahman al-Jazirî. Ibid.; Hasan Sulaiman al-Nurî, Ibânah alAhkâm Syarh Bulûgh al-Maram, (Tanpa penerbit dan Tahun Terbit), Juz II, h. 29.;
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
77
maupun dalam shalat sunat. Hal ini disebabkan menurut mereka syarat imam itu adalah laki-laki, dan syarat ini muthlak adanya.25 Dari pendapat para ulama di atas, dapatlah disimpulkan bahwa jumhur ulama selain ulama Malikyah, memandang syah perempuan menjadi imam shalat bagi perempuan lainnya berdasarkan hadits Aisyah dan Umi Salâmah di atas. Sedangkan hadits Umi Waraqah, memberikan indikasi bahwa selain perempuan dipandang syah menjadi imam bagi perempuan, juga dipandang syah menjadi imam bagi anggota keluarganya yang laki-laki. Hal ini didasarkan kepada hadis Abu Dâwud di atas yang menjelaskan bahwa yang menjadi keluarga (ahla dariha) dalam hadis tersebut terdiri dari seorang pembantu perempuan (jariah) dan pembantu laki-laki (ghulâm). Selain itu, berdasarkan hadis Abu Dâwud yang kedua terdapat juga seorang muadzin yang sudah tua. Berdasarkan keumuman redaksi hadis ini, mengandung pengertian bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi perempuan dan laki-laki yang menjadi anggota keluarganya.26 Namun, Imam Syafi’î berpendapat bahwa perempuan tidak syah menjadi imam bagi laki-laki dalam keadaan apapun. Alasan Imam Syafi’î dalam hal ini adalah al-Qurân Surah al-Nisa ayat 34, ) (الرجال قوامون على النسآء.27 Berkenaan dengan masalah perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki, sebagian ulama Malikiyah berpendapat bahwa perempuan tidak sah menjadi imam shalat bagi laki-laki baik dalam shalat fardu maupun dalam shalat sunat. Hadits Umi Waraqah merupakan hadits yang berlaku khusus untuk Umi Waraqah dan tidak berlaku bagi perempuan lainnya. Akan tetapi, sebagian ulama Malikyah lainnya berpendapat, bahwa perempuan boleh menjadi imam bagi lakilaki dalam shalat tarâwîh. Mereka menjadikan hadis Umi Waraqah 25Abdu al-Rahman al-Jazirî. Ibid.; Hasan Sulaimân al-Nurî. Ibid.; Nuruddin ‘Atar, I‟lam al-Anam Syarh Bulûgh al-Marâm min Ahâdits al-Ahkâm. (Damaskus: Tanpa Penerbit, 2000), h. 59. 26 Nuruddin ‘Atar. Ibid. 27 Muhammad bin Idris al-Syafi’î, al-Umm…, h. 292.
78
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
sebagai dasar hukumnya. Menurutnya, hadits tersebut bersifat umum bagi laki-laki dan perempuan.28 Menurut al-Shan’aniy, hadits Umi Waraqah merupakan hadits yang mengandung pengertian umum yakni membolehkan perempuan menjadi imam bagi keluarganya meskipun dalam keluarga tersebut terdapat laki-laki. Dalam kasus Umi Waraqah, dirumahnya terdapat seorang laki-laki tua sebagai muadzin, seorang pembantu laki-laki dan seorang pembantu perempuan. Umi Waraqah menjadi imam bagi mereka.29 Dengan hadits Umi Waraqah di atas, Abu Tsaur, al-Muzanny dan al-Thabary berpendapat bahwa perempuan dipandang syah menjadi imam shalat bagi laki-laki. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sebaliknya.30 Menurut Jumhur ulama, yang dimaksud ahla dâriha dalam hadits Umi Waraqah di atas adalah perempuan bukan mencakup laki- laki. Hal ini disebabkan ada dalil bahwa bila perempuan datang berjamah dengan laki-laki, maka perempuan harus diletakan pada shaf yang paling belakang dari jama’ah shalat. Selain itu, hadits Umi Waraqah dari segi sanadnya merupakan hadits dhaîf.31 Adapun hadits Jabir, menurut al-Shan’anî merupakan hadits tentang perempuan tidak syah menjadi imam bagi laki-laki. Pendapat ini merupakan pendapat madzhab Hanafiah dan Syafi’iyah. Bahkan, ulama Malikyah berpendapat bahwa perempuan tidak syah menjadi imam karena perempuan itu merupakan jenis (makhluk) yang mempunyai sifat kurang akalnya dan agamanya sehingga tidak syah menjadi imam. Akan tetapi, alThabari membolehkan perempuan menjadi imam bagi laki-laki
28 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisî, AlMughnî Libni Qudamah, (Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadîts, 1981), Juz II, h. 199. 29 Muhammad bin Ismâil al-Amîrî al-Yamaniy al-Shan’anî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm (Beirut:, Dâr al-Jail, tt), Juz II, h. 437. 30 Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisî. Juz II, h. 199.; Muhammad bin Ismail al-Amiry al-Yamaniy al-Shan’aniy. Ibid. 31 Nuruddin ‘Atar, I‟lam al-Anam..., h. 59.
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
79
dalam shalat tarawih, apabila dalam jamaah tersebut tidak terdapat orang yang hafal al-Qurân selain perempuan.32 Selain itu, hadits Jabir merupakan hadis yang berkenaan dengan masalah shalat Jum’at. Sedangkan perempuan tidak diwajibkan melaksanakan shalat Jum’ah berdasarkan hadits Jabir sebagai berikut: من كان يؤمن باهلل واليوم االخر فعليو اجلمعة: عن جابر رضى اهلل تعاىل عنو قال قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم 33)اال مسافر ومملوك وصبىوامرأة ومريض فمن استغىن عنها بلهو او جتارة استغىن اهلل عنو واهلل غىن محيد (رواه الدارقطىن Artinya: Dari Jabir ra. dia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, maka (diwajibkan) untuk melaksanakan shalat Jum‟at kecuali bagi orang yang sedang berada diperjalanan, hamba sahaya, anak kecil, perempuan dan orang sakit. Maka barang siapa yang menganggap enteng dengan bermain-main atau berjualan, maka Allah-pun akan meremehkannya, sedangkan Allah Maha Kaya Lagi Maha Terpuji. Demikianlah sikap para ulama dalam menetapkan hukum yang bersumber dari hadits-hadits di atas. Dari pembahasan di atas, dapat penulis simpulkan bahwa ulama yang berpendapat bolehnya perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki berdalil dengan keumuman hadits Umi Waraqah. Sedangkan ulama yang berpendapat sebaliknya membatasi hadis umi waraqah dengan hadits lainnya. Pada dasarnya ulama yang memandang tidak syah perempuan menjadi imam bagi laki-laki tidak menyangkal keberadaan hadis Umi Waraqah, hanya berusaha mengkompromikan hadits tersebut dengan hadits lainnya. Selain itu terdapat hadits riwayat al-Hakim yang diterima dari Umu Salâmah sebagai berikut: عن ابن مسعود عن ام سلمة ان النيب صلى اهلل عليو وسلم قال صالةاملرأة يف بيتهاافضل من صالهتا يف 34حجرهتاوصالهتاىف خمدعهاافضل من صالهتاىف بيتها
32 Muhammad bin Idris al-Syafi’î, al-Umm…, h. 292; al-Shan’anî, Subul alSalâm…, h. 426.; Hasan Sulaiman al-Nurî, Ibânah al-Ahkâm. Juz II, h. 29 33 ‘Ali bin Umar al-Daruquthnî…, Juz II, h. 3 34 Jalaluddin bin Abi Bakar al-Suyuthi, Al-Jâmi‟ al-Shaghîr Fi Ahâdits alBashîr al-Nadhir, (Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiah, tt), Jilid II, Nomor Hadits. 5091, h. 314.
80
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
Artinya: Dari Ibnu Mas‟ûd, dari Umu Salâmah bahwasanya Nabi saw dia berkata: “Shalat perempuan di rumahnya lebih utama daripada shalatnya dikamarnya, dan shalatnya di tempat yang khusus untuk shalat, lebih utama daripada shalatnya di rumahnya. Hadits di atas memberikan pengertian bahwa shalat perempuan dirumah jauh lebih baik daripada shalat mereka ditempat-tempat terbuka seperti masjid yang merupakan pasilitas umum untuk shalat. Berdasarkan hadis Aisyah dan Umi Salâmah di atas, maka posisi imam perempuan dalam shalat jamaah berada diantara para jamaah lainnya. Akan tetapi, menurut Imam Syafi’î, bila jamaahnya banyak maka imam perempuan berdiri di shaf kedua atau imam perempuan dibolehkan juga berada di depan jamaahnya sebagaimana posisi laki-laki ketika menjadi imam shalat.35 Sementara mengenai posisi imam perempuan dalam jamaahnya bersama laki-laki maka imam perempuan berada diantara jamaah yang perempuan dan laki-laki berada di depan mereka.36 Dengan demikian jelaslah posisi imam perempuan, meskipun dia menjadi imam keluarganya yang laki-laki, imam perempuan berada pada barisan jamaah perempuan tidak berada di depan jamaah shalatnya. Hal ini dapat dimaklumi, ketika perempuan menjadi imam bagi perempuan lainnya saja ia berada diantara jamaah perempuan, sebagaimana dicontohkan Siti Aisyah r.a dan Umu Salâmah r.a. Hanya saja imam Syafi’i membolehkan imam perempuan berada didepan jemaahnya yang perempuan dan ini menurut hemat penulis tidak menyalahi hadits Aisyah r.a dan Umu Salâmah r.a di atas. D. SIMPULAN Dari pembahasan di atas dapat penulis simpulkan beberapa hal sebagai berikut: Pertama, perempuan syah menjadi imam shalat bagi perempuan berdasarkan hadits Aisyah ra. , Muhammad bin Idris al-Syafi’î, al-Umm.., h. 293. Hasbi Al-Shiddiqy, Kuliah Ibadah, Ibadah Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Hikmahnya (Jakarta: Bulan Bintang, Alaska, 1954), h. 157. 35 36
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
81
hadits Umu Salâmah ra., hadits Umi Waraqah, dan hadits Jabir, baik dalam shalat sunat maupun dalam shalat fardu. Posisi imam perempuan dalam hal ini bisa berada diantara jamaah dan boleh juga berada di depan jamaahnya. Kedua, Perempuan syah menjadi imam shalat bagi keluarganya berdasarkan hadits Umi Waraqah dan berdasarkan keumuman hadits tentang orang yang paling berhak menjadi imam. Posisi imam shalat bagi keluarga berada diantara jamaah perempuan lainnya dalam keluarga, apabila sebagian jamaah dalam keluarga tersebut ada laki-laki. Ketiga, Perempuan tidak syah menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat fardu di masjid-masjid yang terbuka untuk umum berdasarkan makna hadits-hadits di atas. Keempat, Shalat perempuan di rumahnya lebih baik daripada shalatnya di luar rumahnya, berdasarkan makna hadits-hadits di atas, Kelima, hukum dasar imam adalah laki-laki, sedangkan hadits Umi Waraqah adalah hadits yang bersifat khusus kepada Umi Waraqah dan tidak dapat diberlakukan kepada selain Umi Waraqah. DAFTAR PUSTAKA Abdu al-Gaffâr Sulaiman al-Bandarî, Mausû‟ah Rijâl al-Kutub al-Tis‟ah, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1993. Abdu al-Rahman alJaziri, Kitâb al-Fiqh Ala Madzâhib al-Arba‟ah, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Inter Masa, 1998. Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisî, AlMughnî Libni Qudamah, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Hadîts, 1981. Abi Abdillah Muhammad bin Yazîd al-Qazwinî Ibnu Mâjah, Sunan Ibnu Mâjah, Mesir: Dâr al-Fikr, 1952. Abi Bakar Ahmad bin al-Husain Bin ‘Ali al-Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra, Mesir: Dâr al-Fikr, 1952. Abi Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal al-Sarkhasî, Al-Mabsuth, Tp, 2001.
82
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
Abi Bakar Muhammad bin Ishak bin Khuzaimah al-Salmî al-Naisaburî, Shahih Ibnu Khuzaimah, (Beirut: al-Maktab al-Islamî, 1980. Abi Ishak Ibrahîm bin Musa al-Syâthibî, Al-Muwafaqât Fi Ushû al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Abu al-Wâlid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi, Bidâyah al-Mujtahid Wa Nihâyah al-Muqtashid, Indonesia: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, Tt. Abu Dawud Sulaiman bin al-Asyats, Sunan Abû Dâwud, Mesir: Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa al-Babi al-Halbi Wa Auladuh, 1952. Abu Hajar Muhammad al-Said bin Basyûni Zaghlûl, Athrâf al-hadîs alnabawî al-Syarîf, Beirut: ‘Alim al-Thurab, 1989. Abu Hatim al-Râzî, al-Jarh Wa al-Ta‟dîl, Matba’ah Utsmaniyah al-Hindî, 1952.
Dâr al-Ma’ârif al-
Ahmad bin Muhammad Hanbal bin Hilal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Mesir: Dâr al-Fikr, Tt. Ahmad Warson Munawir, Al-Munawwir Yogyakarta, Pustaka Progressif, 1984.
Kamus
Arab
Indonesia,
Ali Bin Umar al-Daruquthnî, Sunan al-Daruquthnî, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1996. Hasan Sulaiman al-Nurî, Ibânah al-Ahkâm Syarh Bulûgh al-Maram, Tanpa penerbit dan Tahun Terbit. Hasbi Al-Shiddiqy, Kuliah Ibadah, Ibadah Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Hikmahnya (Jakarta: Bulan Bintang, Alaska, 1954. Imam Muslim, Shahih Muslim, Semarang: Maktabah Usaha Keluarga Semarang, Tt. Ismâ’il al-Amirî al-Yamani al-Shan’anî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh alMarâm Min Jami‟ Adilah al-Ahkâm, Beirut, Dâr al-Jail, tt. Jalaluddin bin Abi Bakar al-Suyuthi, Al-Jâmi‟ al-Shaghîr Fi Ahâdits alBashîr al-Nadhir, Beirut: Dâr Kutub al-Ilmiah, tt. Louis Ma’luf, al-Munjid, Beirut: Dâr al-Masyruk, 1986. Muhammad al-Khathib al-Syarbiniy, Mughnî al-Muhtaj, Mesir: Dâr alFikr, tt).
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011
83
Muhammad bin Idrîs al-Syafi’î, Al-Um, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiah, 1993. Muhammad bin Idrîs al-Syafi’î. Al-Risalâh, Beirut: Al-Maktabah alIlmiah, tt. Muhammad bin Ismâil al-Amîrî al-Yamaniy al-Shan’anî, Subul al-Salâm Syarh Bulûgh al-Marâm, Beirut:, Dâr al-Jail, tt. Muhammad bin Ismâil bin Ibrahim al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Kairo: Maktabah al-Syuruk al-Dauliah, 2003. Nuruddin ‘Atar, I‟lam al-Anam Syarh Bulûgh al-Marâm min Ahâdits alAhkâm, Damaskus: Tanpa Penerbit, 2000. Syamsuddîn Muhamad bin Ahmad bin Utsmân al-Dzahabî, Al-Kâsif Fi Ma‟rifati Man Lahu Riwayah Fi Kutub al-Sitah, Mesir: Dâr al-Kutub al-Haditsah, tt. Wahbah al-Zuhailî, Al-Fiqh al-Islamî Wa Adillatuh, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989. Wensink, Al-Mu‟jam al-Mufahras Li Alfâzh al-Hadîs al-Nabawî, Leiden: E.J. Bril, 1936.
84
Tapis Vol. 11, No. 01 Januari-Juni 2011