Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA Oleh: Irdlon Sahil1 Abstract: Lajnah Bahtsul Masail NU is the agency which is in charge to solve fiqhiyyah problems that occur among NU members. In solving religious issues, qauliy ijtihad is still being used, it is a method of ijtihad in istinbat method to study the problems faced, then looking for the answers in the fiqh books from the four madzhabs, by directly referring and to the sound of the text. If the qauliy method can not be implemented because the texts from kutub muktarabah from the four madzhabs were not found, then by using what is so called ilhaqiy method, that is اﻟﻣﺳــــــــــــــــﺎﺋل اﻟﺣـــــــــــﺎق ( ﺑﻧظﺋﺮھـــــــــــــــﺎequating the law of a case that has not been answered by the book with a case that has been answered by the book ). Manhajiy method is a way of solving religious problem which was reached by following the mind path and determined norm of law that has been drafted by the madzhab imam, this method is used by the intellectual NU when both of the abovementioned methods cannot be implemented. Keywords: ijtihad, Nahdlatul Ulama
A. Pendahuluan Syariat Islam adalah aturan-aturan Allah SWT, yang diciptakan untuk umat Islam yang dimanifestasikan oleh para mujtahid dalam literatur kitab-kitab fiqh, sebagai pedoman
menuju kehidupan yang
bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Namun dalam kenyataannya produk-produk hukum yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh tersebut tidak mampu
menjawab
persoalan-persoalan
kontemporer
yang
sangat
kompleks. Oleh karenanya, tuntutan untuk melakukan ijtihad oleh para intelektual/ahli hukum Islam akan semakin mendesak, baik ijtihad secara individual (fardi) seperti pada masa-masa klasik maupun kolektif (jama`i). 1
Dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Syaichona Cholil Bangkalan
Madura. SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
127
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
Pada zaman modern ini, di berbagai negara Islam, praktek ijtihad yang kedua (kolektif), menjadi kecenderungan utama dan alternatif bagi kebanyakan para ulama` atau ahli yang terhimpun dalam lembagalembaga formal yang dibentuk oleh negara atau lembaga-lembaga non formal dalam sebuah organisasi. Termasuk Lajnah Bahtsul Masail di bawah struktur NU. Lajnah ini merupakan lembaga lembaga yang bertugas menyelesaikan persoalan-persoalan fiqhiyyah yang terjadi di kalangan warga NU. B. Pembahasan 1. Sejarah Singkat Lahirnya Nahdlatul Ulama` (NU) Jam`iyyah Nahdlatul Ulama` lahir setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hijaz, maka mereka mengubah nama negeri Hijaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya dari raja yang pertama, Ibnu Su`ud, mereka mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan bermasyarakat. Tata kehidupan keagamaan , mereka sesuaikan dengan tata cara yang dianut Wahabi, antara lain adalah ingin melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah. Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hijaz, yang menganut paham Ahlu Sunnah Wal Jamaah, dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar. Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama` di Jawa Timur SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
128
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh KH. Abdul Wahab Hasbulloh dan Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy`ari, diadakan pertemuan di langgar (musholla) H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hijaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.2 Semula Comite Hijaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hijaz untuk menghadap raja Ibnu Su`ud. Akan tetapi oleh karena suatu hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Su`ud. Pada tanggal 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1345 H, hari kamis, di Lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang diprakarsai oleh Comite Hijaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi nama “Jamiiyyah Nahdlatul Ulama`”3 dengan susunan pengurus HB (Hoof Bestuur) sebagai berikut: a. Rais Akbar
: Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy`ari
b. Wakil Rais
: KH. Said bin Shalih
c. Khatib awwal : KH. Abdul Wahab Hasbulloh d. Khatib Tsani
: Mas H. Alwi Abdul Aziz.
Kehadiran Jam`iyyah Nahdlatul Ulama` dimaksudkan sebagai organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlu Sunnah Wal Jamaah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar Ahlu Sunnah Wal Jamaah di Indonesia pasa khususnya dan di seluruh dunia pada umumnya, dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan Wahabi saja sebagaimana Comite Hijaz. Selain itu dimaksudkan sebagai organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-
2
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/riwayat-perjuangan-jamiyyahnahdlatul-ulama. 3 Martin Van Bruinessen, NU (Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru), Ter. Farid Wajidi, (Yogyakarta:LKIS, Cet I, 01,2008) hal 13. SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
129
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
tekanan yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada umat Islam di Indonesia.4 2. Sejarah Kemunculan Bahtsul Masail NU Dokumen-dokumen
yang
menginformasikan
kelahiran
dan
perkembangan lembaga bahtsul masail baik latar belakang, metode, obyek, maupun, pelaku sejarahnya masih sedikit.
KH. Abdu Aziz Masyhuri
pimpinan PP. Al-Aziziyah Mambaul Ulum Denanyar Jombang, salah satu tokoh pelaku sejarah dan membukukan sebagian keputusan Lembaga Bahtsul Masail, mengakui masih minim atau jarangnya warga nahdliyin yang mendokumentasikan hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas NU. Hal ini karena adanya sikap pragmatis warga nahdliyin, artinya, yang dipentingkan adalah hasilnya, sedangkan dokumen lain seperti latar belakang lahirnya, perdebatan yang terjadi di forum itu, serta para ulama` yang berperan di dalamnya tidak diarsipkan, sehingga yang ada sampai sekarang hanyalah hasil keputusan Lajnah Bahtsul Masail.5 Namun KH Sahal Mahfud mempunyai pendapat yang berbeda dengan keterangan di atas ia mengatakan: “secara historis forum bahtsul masail telah muncul sebelum NU berdiri. Saat itu sudah ada tradisi diskusi di kalangan pesantren yang melibatkan kyai dan santri yang hasilnya diterbitkan dalam buletin LINO (Lailatul Ijtima` Nahdlatul Oelama). Dalam LINO selain memuat hasil bahtsul masail juga menjadi ajang diskusi interaktif jarak jauh antar ulama`. Seorang kyai menulis lalu ditanggapi kyai yang lain, begitu seterusnya. Dokumen tentang LINO ini pada keluarga (alm KH Abdul Hamid Kendal). Lewat LINO ini ayah saya (KH Mahfudh Salam) saat itu bertentangan dengan Kyai Murtadlo Tuban, mengenai hukum menerjemahkan khutbah ke dalam bahasa Jawa atau 4
http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/riwayat-perjuangan-jamiyyahnahdlatul-ulama 5 Prof. Dr. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa`il 19261999 (LKIS:Yogyakarta, Cet I, XX, 2004) 67 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
130
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
Indonesia. Itu bukan berarti tukeran (konflik), tetapi hanya sebatas berbeda pendapat dan saling menghormati. KH Mahfudh memperbolehkan khutbah diterjemahkan sementara Kyai Murtadlo tidak.6 3. Lajnah Bahtsul Masail dan Ijtihad NU Sebelum membahas lebih jauh tentang Lajnah Bahtsul Masail dan Ijtihad NU (LBMNU), terlebih dahulu perlu dijelaskan hal-hal yang terkait dengan ijtihad itu sendiri sebagai kerangka dasar dalam penempatan posisi Lajnah Bahtsul Masail sebagai forum ijtihad NU. a. Definisi Ijtihad Diantara pengertian ijtihad yang dikemukakan para ulama ushul fiqh adalah definisi Al-Ghazali (450-505). Ia mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: 7
ﺑﺬل اﻟﻤﺠﺘﮭﺪ وﺳﻌﮫ ﻓﻰ طﻠﺐ اﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻻﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ
Artinya: Pengerahan kemampuan seorang mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara`. Pengertian di atas setidaknya mengandung tiga unsur ijtihad, yaitu: 1. Pengerahan segenap kemampuan, yang berarti ijtihad merupakan usaha jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu, maupun biaya dan bukan upaya ala kadarnya. 2. Seorang mujtahid, yang mengandung arti bahwa ijtihad hanya mungkin dan boleh dilakukan oleh orang memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai level mujtahid, dan bukan sembarang orang. 3. Guna untuk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara` yang mengandung arti bahwa pencapaian ijtihad adalah ketentuan
6
Dr. H.M. Djamaluddin Miri, Lc, MA, Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes Nahdlatul Ulama (19261999). (Surabaya:Lajnah Ta`lif Wan Nasyr (LTN) dan Diantama, Cet I, 01, 2005) hal X-XI 7 Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, al-Musthofa min `Ilm alUsul (Beirut: Darul al-Kutub al-Ilmuyyah, 1993) hal. 342 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
131
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
hukum yang menyangkut tingkah laku manusia dalam kaitan dengan pengamalan ajaran agama.8 Al-Amidi (551-631) memberikan definisi ijtihad sebagai berikut: 9ﻓﯿﮫ
اﺳﺘﻔﺮاغ ﻓﻰ طﻠﺐ اﻟﻈﻦ ﺑﺸﯿﺊ ﻣﻦ اﻻﺣﻜﺎم اﻟﺸﺮﻋﯿﺔ ﻋﻠﻰ وﺟﮫ ﯾﺤﺲ ﻣﻦ اﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ اﻟﻤﺰﯾﺪ
Artinya: Mencurahkan segenap kemampuan guna memperoleh dugaan kuat tentang sesuatu dari hukum syara` sampai batas dirinya merasa tidak mampu melebihi usahanya tersebut. Ada dua hal penting yang dapat diambil dari definisi di atas, yaitu: 1. Dalam memperoleh dugaan kuat, artinya semaksimal apapun usaha ijtihad itu, batas perolehan hukumnya adalah dugaan kuat saja, yang boleh jadi benar atau bahkan salah. 2. Sampai
batas
merasa tidak
mampu
melebihi
usahanya,
yang
menegaskan bahwa ijtihad itu haruslah merupakan usaha yang telah mencapai batas maksimal kemampuan seorang mujtahid yang tidak mungkin dilampauinya lagi. Sementara A-Shaukani (1172-1250 H) mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: 10
ﺑﺬل اﻟﻮﺳﻊ ﻓﻰ ﻧﯿﻞ ﺣﻜﻢ ﺷﺮﻋﻲ ﻋﻤﻠﻲ ﺑﻄﺮﯾﻘﺔ اﻻﺳﺘﻨﺒﺎط
Artinya: Mengerahkan segenap kemampuan guna memperoleh hukum syara` yang bersifat praktis dengan cara istimbat. Dalam definisi di atas ada satu penekanan mengenai cara berijtihad, yaitu dengan cara istimbat, yang artinya mengkaji dan mendalami makna suatu lafald yang dikeluarkan/ditetapkan hukumnya. Ini berarti usaha menetapkan hukum dari suatu nash yang secara jelas telah menunjukkan suatu hukum tidak bisa dinamakan ijtihad.
8
Prof. Dr. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa`il 19261999 (LKIS:Yogyakarta, Cet I, XX, 2004) hal. 97 9 Saifuddin Abi al-Hasan al-Amidi, al-Ihkam fi Usul al-Ahkam (Bairut: Dar alFikr, 1981) hal 3/204. 10 Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Shaukani, Irshad al-Fukhul (Bairut Dar al-Fikr) hal. 250 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
132
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
Dari tiga definisi tersebut di atas dapat dirangkum komponen pokok dari ijtihad, yaitu: 1. Ijtihad adalah suatu usaha maksimal 2. Ijtihad harus (daya hanya dapat) dilakukan oleh yang ahli 3. Wilayah ijtihad adalah hukum syara` 4. Ijtihad harus ditempuh melalui cara istimbat 5. Status hukum dari hasil ijtihad adalah dzanny (bersifat dugaan).11 b. Pembagian Ijtihad Ijtihad dapat dibagi menjadi berbagai macam bagian ditinjau dari berbagai sudut pandang. Ditinjau dari segi cakupan bidang yang menjadi obyeknya, ijtihad dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: 1. Ijtihad kully (menyeluruh) yaitu ijtihad yang merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat di bagi-bagi atau dipisah-pisah. Al-Shaukani cenderung memilih pendapat ini, karena seseorang yang tidak mampu berijtihad dalam sebagian masalah, berarti juga tidak mampu berijtihad dalam sebagian masalah yang lain. Sedangkan ilmu ijtihad itu berkaitan satu sama lainnya serta saling memberi dan menerima.12 2. Ijtihad juz`iy (sebagian) yaitu bahwa ijtihad merupakan sesuatu yang dapat dibagi. Al-Ghazali berpendapat bahwa seorang alim itu bisa saja mencapai derajat mujtahid pada sebagian hukum tertentu. Maka barang siapa yang mengetahui cara mencari dalil dengan menggunakan qiyas boleh baginya berfatwa dalam masalah-masalah qiyas, walaupun ia kurang menguasai Hadits.13 Pendapat Al-Ghazali ini diikuti oleh sebagian ulama`, di antaranya ialah Al-Shafi`iy Al-Hindy dan Ibnu Daqiq Al-Id (625-702 H). Bahkan Ibnu Daqiqi Al-Id mengatakan pendapat
Al-Ghazali
adalah
pendapat
yang
terbaik,
karena
11
Prof. Dr. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa`il 19261999 (LKIS:Yogyakarta, Cet I, XX, 2004) hal. 98-99 12 Al-shaukani, Irshad al-Fukhul, hal 255 13 Al-Ghazali, al-Musthofa, hal. 345 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
133
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
memungkinkan memberi perhatian pada suatu cabang di antara cabang-cabang fiqh, sehingga dapat mengetahui sumber hukumnya, yang begitu memungkinkan untuk dilakukan ijtihad.14 Dilihat dari segi orientasi (perhatian dan kecenderungan) mujtahid melakukan ijtihad untuk memutuskan suatu masalah, ijtihad dapat di golongkan menjadi dua, yaitu: 1. Ijtihad tradisional yaitu ijtihad yang dalam penggalian dan penetapan hukumnya lebih berorientasi pada ungkapan-ungkapan tersurat dalam al-Qur`an maupun Hadits. Pelaku ijitihad seperti ini populer dengan sebutan ahl al-Hadits atau juga disebut tekstualis. 2. Ijtihad rasional yauti ijtihad yang dalam pengkajian dan penetapan hukumnya lebih beriorentasi pada pendayagunaan nalar. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa hukum syara` merupakan sesuatu yang dapat ditelaah substansinya dengan memperhatiakan aspek-aspek kemaslahatan. Mujtahid kelompok ini bisa disebut ahl ra`iy atau kontekstualis.15 Bila dilihat dari sudut pandang jumlah pelakunya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Ijtihad fardy (individual), yaitu ijtihad yang dilakukan secara mandiri dan sendiri oleh seorang mujtahid, baik dalam hal metode dan prosedur penetapan hukum suatu masalah maupun dalam kaitan proses pengambilan keputusannya. Mujtahid jenis ini saat ini sangat jarang karena pada diri seseorang mujtahid fardy harus terdapat beberapa disiplin ilmu yang memadai sebagai persyaratan dan modal ijtihad. 2. Ijtihad jama`iy (kolektif) yaitu ijtihad yangdilakukan secara bersamasama oleh sekelompok mujtahid (ahli) dengan prestasi keahlian yang berbeda. Ijtihad jenis ini banyak mungkin dan dilakukan saat ini guna menutupi kekurangan/kelemahan pada diri masing-masing mujtahid 14
Al-Shaukani, Irshad al-Fukhul, hal 255 Prof. Dr. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa`il 19261999 (LKIS:Yogyakarta, Cet I, XX, 2004) hal 104-105 15
SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
134
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
(ahli), sekaligus menghimpun berbagai potensi guna mendapatkan hasil ijtihad yang memadai.16 Ditinjau dari segi metode, menurut Ma`ruf Al-Dawalibi yang dikutip Wahbah Al-Zuhaili, ijtihad dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: 1. Ijtihad bayaniy, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menetapkan hukumhukum syara` dengan cara mendasarkan argumentasi langsung pada buny nash syara` (al-Qur`an dan al-Sunnah) 2. Ijtihad qiyasiy, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menetapkan hukum syara` mengenai masalah-masalah baru yang tidak terdapat dalam alQur`an maupun Sunnah dengan cara mengqiyaskannya kepada sesuatu yang sudah ada ketetapannya dalam nash syara`. 3. Ijtihad istislahiy, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk menetapkan hukum syara` terhadap masalah baru yang tidak ditemukan dalilnya dalam alQur`an maupun Hadits dengan cara penalaran yang didasarkan pada asas kemaslahatan. Sedangkan kalau dikaitkan dengan materi atau objek yang akan menjadi sasaran kajian, maka ijtihad dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Ijtihad intiqa`iy atau tarjihiy, yaitu ijtihad yang dilakukan mujtahid (ahli) dengan menelaah pendapat para ulama` terdahulu mengenai suatu permasalahan yang tertulis dalam berbagai kitab, kemudian memilih dan menentukan pendapat yang lebih kuat dalil dan argumentasinya, serta lebih sesuai dengan kondisi di sekitarnya. 2. Ijtihad insha`iy
atau ibtida`iy, yaitu ijtihad yang dilakukan mujtahid
(ahli) untuk menetapkan suatu keputusan hukum mengenai persoalanpersoalan baru yang belum diselesaikan oleh para mujtahid terdahulu.17
16 17
Muhammad Ali Hasbulloh, Usul al-Tashri` al-Islami (Bairut: Dar al-Fikr) hal 107-108 Wahbah al-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami (Damaskus; Dar Fikr: 1986) hal 1040-1041. SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
135
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
c. Metode Ijtihad Muhammad Salam Mudhkur membagi metode ijtihad menjadi tiga macam, yaitu metode qiyasiy, bayaniy, dan istislahiy.18 1. Metode Bayaniy Metode ijtihadi bayaniy adalah suatu cara istimbat (penggalian dan penetapan hukum) yang bertumpu pada kaidah-kaidah lughawiyyah (kebahasaan) atau makna lafald.19 Metode ini membicarakan cara pemahaman suatu nash, baik al-Qur`an maupun al-Sunnah, dari berbagai aspek yang mencakup makna lafald sesuai bentuknya (am: umum, khas: khusus, mutlaq: tak terbatas, muqayyadah: terbatas, amr; perintah, nahiy: larangan, mushtarak: bermakna ganda), makna lafald sesuai pemakaiannya (haqiqah: makna asal/sebenarnya, majaz: bukan arti sebenarnya), analisis lafald sesuai kekuatannya dalam menunjukkan makna (muhkam, mufassar, nash, dan dhahir, atau mutashabih, mujmal, mushkil, dan khafiy) dan analisis dalalah suatu lafald yang menurut ulama` hanafiyah ada empat macam dalalah, yaitu al-ibarah, al-isyariyah, al-dalalah, al-iqtida`. Sedangkan menurut ulama` Malikiyah, Syafi`iyah dan Hanabilah ada dua macam, yaitu mantuq dan mafhum, yang masingmasing terbagi menjadi dua, yakni mantuq sarih dan ghairu sarih, serta mafhum muwafaqah dan mukhalafah.20 2. Metode Qiyasiy Metode
ijtihadi
qiyasiy
adalah
suatu
istimbat
hukum
dengan
menyamakan sesuatu yang belum diketahui hukumnya melalui nash (baik al-Qur`an dan as-Sunnah) dengan sesuatu yang sudah ada ketentuan hukumnya karena ada sifat-sifat yang mempersatukan keduanya.
Dalam
pelaksanaannya,
metode
ini
membutuhkan
terpenuhnya empat unsur, yaitu kejadian yang sudah ada nashnya 18
Muhammad Salam Madhkur, Al-Ijtihaf fi al-Tashri al-Islamy (Dar al-Nahdah al-Ilmiyah, 1984) hal 42-49 19 Muhammad Ali Hasbullah, Usul al-Tashri al-Islamy (Bairut Dar al-Fikr) hal 173 20 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, hal 112-113 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
136
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
(asli), kejadian baru yang belum ada ketetapan hukumnya (far`) sifatsifat husus yang mendasari ketentuan hukum (illat) dan hukum yang diletakkan pada kejadian atau peristiwa yang sudah ada nashnya (hukum al-asl) termasuk dalam kategori metode qiyasiy adalah istihsan, yaitu beralih dari suatu hasil qiyas yang lebih kuat pada hasil yang lain yang tidak kuat, atau mentakhsis hasil qiyas lebih kuat dengan hasil qiyas lain yang tidak kuat.21 Hamid Hasan mengutip al-Sarakhsiy menjelaskan bahwa istihsan pada hakikatnya melakukan dua kajian qiyas. Hasil kajian yang pertama cukup jelas kaitannya dengan asal tapi kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Dalam rangka mencari yang terbaik (istihsan), mujtahid beralih dari hasil qiyasiy pertama kepada hasil qiyasiy yang kedua.22 Hal ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan riil masyarakat yang sesuai dengan asas kemaslahatan. 3. Metode Istislahiy Metode ijtihad istislahiy adalah istimbat hukum mengenai suatu masalah yang bertumpu pada dalil-dalil umum, karena tidak adanya dalil mengenai masalah tersebut dengan berpijak pada asas kemaslahatan yang sesuai dengan maqasid al-syari`ah (tujuan pokok syari`ah Islam), hajiyat (penting), tahsiniyat (penunjang). Beberapa metode dapat dikategorikan sebagai metode istislahiy adalah al-masalah al-mursalah (kemaslahatan yang tidak terdapat acuan nashnya secara eksplisit), istishab (pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh), bara`ah aldimmah (pada dasarnya seseorang itu tidak terbebani hukum, yang populer dengan istilah asas praduga tidak bersalah), sadd al-dhari`ah (menutup jalan yang menuju terjadinya pelanggaran hukum), dan urf (adat kebiasaan yang baik). 21
Abd Wahhab Khallaf, Masadir al-Tasyri` al-Islamiy fi ma la Nassa fih (Dar Qalam, 1970) 22 Husain Hamid Hasan, Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islamiy (Bairut: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah, 1971) hal 587 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
137
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
Untuk dapat melaksanakan metode ijtihadi istislahiy ada beberapa persyaratan yang harus di penuhi, yaitu: a) Maslahah harus bersifat pasti dan bukan stereotype (klesi) b) Kemaslahatan harus menyangkut hajat orang banyak dan bukan pribadi atau golongan tertentu saja. c) Tidak berujung pada terabaikannya prisip-prinsip yang telah ditetapkan dalam al-Qur`an dan al-Sunnah.23 4. Metode Istimbat Hukum Lajnah Bahtsul Masa`il NU Dalam memahami Islam, NU terkesan sangat hati-hati dan tidak mau memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi dengan merujuk langsung kepada nash al-Qur`an maupun al-Sunnah. Hal ini tidak terlepas dari pandangan bahwa mata rantai perpindahan ilmu agama Islam tidak boleh terputus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Yang dapat dilakukan adalah menelusuri mata rantai yang baik dan sah pada setiap generasi. Demikian juga yang dilakukan terhadap sebagian besar persoalan keagamaan yang dibahas dan ditetapkan keputusan hukumnya oleh Lajnah Bahtsul Masa`il. Tradisi bermadzhab ini dilestarikan melalui lembaga pendidikan pesantren yang berada dibawah naungan NU. Oleh karena itu sikap dan pandangan yang demikian dalam memahami dan menafsirkan
ajaran
Islam,
para
pengamat
sering
menyebut
dan
mengelompokkan NU dalam golongan Islam tradisional.24 Ini bukan berarti bahwa NU tidak menghendaki ijtihad. Tetapi yang dikehendaki bahwa ijtihad hanyalah dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai mujtahid. Sedangkan orang-orang yang memiliki ilmu agama mendalam tetapi tidak memenuhi persyaratan mujtahid, lebih baik taqlid kepada ulama` yang memiliki kemampuan 23
Ali Yafi, Konsep-Konsep Istislah, Istislah dan Masalah al-Ammah” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Yayasan Paramadiana, 1994) hal 366-367 24 Ahmad Zahro,Tradisi Intelektual NU, hal 115-116 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
138
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
berijtihad karena telah memenuhi persyaratannya. Bagi NU taqlid tidak hanya berarti mengikuti pendapat orang lain tanpa mengerti dalilnya, melainkan juga mengikuti jalan pemikiran Imam madhab dalam menggali hukum.25 Faham taqlid bermadhab, menurut Sa`id Aqil Al-Munawwar sangat erat kaitannya dengan tradisi intelektual pesantren. Transisi ilmu pesantren berlangsung melalui pengajian kitab kuning. Kitab-kitab fiqh yang dipelajari mewariskan fatwa dari ulama generasi sebelumnya dengan sanad yang tidak terputus. Transmisi ilmu seperti ini diyakini memberikan jaminan untuk memperoleh kemurnian ajaran dari sumbernya yang pertama. Oleh karena itu, pintu ijtihad menurut NU hanya terbuka dalam kerangka pemikiran bermadhab.26 Jadi, dalam menyelesaikan suatu masalah, Lajnah Bahtsul Masa`il tidak menggunakan istilah ijtihad yang diyakini hanya layak bagi ulama` mujtahidin terdahulu, melainkan memakai istilah istinbat hukum dengan pendekatan madhaby. Artinya ulama yang tergabung dalam Lajnah Bahtsul Masa`il memecahkan persoalan keagamaan yang dihadapi warga NU dengan berorientasi pada madhab-madhab fiqh yang dibatasi pada fiqh empat madhab. Dalam mengaplikasikan pendekatan madhabiy Lajnah Bahtsul Masa`il mempergunakan tiga macam metode istinbat hukum yang diterapkan secara berjenjang, namun sebelum pemaparan tentang tiga metode istinbat hukum tersebut terlebih dahulu membahas prosedur pembahasan dan penyaringan masail diniyyah waqi`iyyah (persoalan-persoalan keagamaan yang terjadi) di lingkungan jam`iyyah Nahdlatul Ulama sebagai berikut: a. Penerimaan masail waqi`iyah dari tingkatan organisasi di bawahnya, perorangan atau kelompok masyarakat. b. Masa`il yang diajukan biasanya sudah pernah dibahas dalam forum bahtsul masa`il di tingkat bawah, namun belum pernah terpecahkan (mauquf) atau belum terjawab dengan jawaban yang memuaskan. 25
Mahfudh Shiddiq, Khittah Nahdiyyah (Surabaya: Balai Buku, 1980), hal 36-41 KH. Said Aqil Husain al-Munawwar, Pintu Ijtihad Terbuka dalam Kerangka Pemikiran Madhab, Warta NU. No. 37, Th, VII (Maret, 1991), hal 6. 26
SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
139
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
c. Identifikasi dan penyeleksian masail guna memilih dan memilah masail yang akan dibahas dalam majlis pembahasan. d. Pembahasan masail dengan merujuk pada kitab-kitab klasik maupun mu`asharah yang ditulis oleh madzhab empat khususnya madzhab Syafi`i. e. Jawaban masail beserta argumentasi dan kitab rujukannya dipandu pimpinan sidang dan pengawasan tim perumus dan dewan tasheh. f. Pimpinan
sidang
menyimpulkan
rumusan
jawaban
sesudah
mempertimbangkan hasil analisa jawaban oleh tim perumus dan selanjutnya
ditawarkan
kepada
peserta
bahtsul
masa`il
guna
mendapatkan persetujuan. g. Rumusan jawaban sedapat mungkin dilengkapi dengan dalil al-Qur`an beserta tafsirnya dan al-Hadits beserta syarahnya. h. Rumusan jawaban yang telah mendapat persetujuan lalu dimintakan tasheh dari dewan tasheh terdiri dari para ulama`/kyai di jajaran Syuriah. Adapun ketiga metode istinbat hukum yang di tetapkan oleh Lajnah Bahtsul Masa`il adalah sebagai berikut: a. Metode Qauliy Metode ini adalah suatu cara istinbat hukum yang digunakan ulama`/intelektual NU dalam LBM dengan mempelajari masalah yang dihadapi, kemudian mencari jawabannya pada kitab-kitab fiqh empat mazdhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Atau dengan kata lain, mengikuti pendapat-pendapat yang sudah jadi dalam lingkup mazdhab tertentu. Walaupun penerapan metode ini sudah berlangsung sejak lama, yakni sejak pertama kali dilaksanakan bahtsul masa`il (1926), namun hal ini baru secara eksplisit dinyatakan dalam keputusan Munas Alim Ulama` di Bandar Lampung (21-25 Juni 1992). Untuk
menjawab
masalah
yang
jawabannya
cukup
dengan
menggunakan ibarat kitab, dan dalam kitab tersebut hanya ada satu SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
140
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
qaul/wajah, maka yang ada dalam ibarah kitab itulah yang di gunakan sebagai jawaban. Bila dalam menjawab masalah masih mampu dengan menggunakan ibarat kitab, tetapi ternyata ada lebih dari satu qaul/wajah maka dilakukan taqrir jama`iy yang berfungsi untuk memilih satu qaul/wajah. Adapun prosedur pelaksanaan metode qauliy adalah sebagaimana dijelaskan dalam keputusan munas Bandar Lampung bahwa pemilihan qaul/wajah ketika dalam satu masalah dijumpai beberapa qaul/wajah dilakukan dengan memilih salah satu pendapat dengan ketentuan mengambil pendapat yang lebih maslahah dan; atau yang lebih kuat. Sedapat mungkin dengan melaksanakan ketentuan Muktamar I (1926), bahwa perbedaan pendapat diselesaikan dengan memilih: 1. Pendapat yang disepakati al-Syaikhain (Imam al-Nawawi dan al-Rafi`i). 2. Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi. 3. Pendapat yang di pegang oleh al-Rafi`i saja. 4. Pendapat yang didukung oleh manyoritas ulama. 5. Pendapat ulama yang terpandai. 6. Pendapat ulama yang paling wara`.27 Contoh penerapan metode qauliy adalah keputusan Muktamar I (Surabaya, 21-23 September 1926).28 S (soal): Bolehkah menggunakan hasil zakat untuk pendirian masjid, madrasah atau pondok (asrama) karena itu semua termasuk “sabilillah” sebagaimana kutipan Imam al-Qaffal? J (jawab): Tidak boleh. Karena yang di maksud “sabilillah” ialah mereka yang berperang dalam sabilillah. Adapun kutipan Imam al-Qaffal itu adalah lemah (Keterangan: dari kitab Rahmatul Ummah dan Tafsir alMunir juz I).
27
KH. A. Aziz. Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, (Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press), hal 364-367 28 Abu Hamdan Abd Djalil Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha`, juz I (Semarang: Toha Putra), hal 9 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
141
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
b. Metode Ilhaqiy Adapun metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat ditemukan jawaban tekstual dari suatu kitab mu`tabar, maka dilakukan apa yang disebut اﻟﺤﺎق اﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﺑﻨﻈﺎﺋﺮھﺎyakni, menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab oleh kitab (belum ada ketetapan hukumnya) dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab (yang sudah ada ketetapan hukumnya), atau menyamakan dengan pendapat yang sudah “jadi”.29 Sama dengan metode qauliy, metode ini secara operasional juga telah diterapkan sejak lama oleh para ulama NU dalam menjawab permasalahan keagamaan yang diajukan oleh umat, khususnya warga nahdliyyin, walaupun baru secara implisit dan tanpa nama sebagai metode ilhaqiy. Namun secara eksplisit dan resmi metode ilhaqiy baru terungkap dan dirumuskan dalam Munas Bandar Lampung yang mengatakan bahwa untuk menyelesaikan masalah yang tidak ada qaul/wajah sama sekali, maka dilakukan prosedur اﻟﺤﺎق اﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﺑﻨﻈﺎﺋﺮھﺎsecara ijmaliy oleh para ahlinya. Adapun prosedur ilhaq adalah dengan memperhatikan unsur (persyaratan) berikut: mulhaq bih (sesuatu yang belum ada ketetapan hukum), mulhaq alaih (sesuatu yang sudah ada ketetapan hukum), wajah ilhaq (faktor keserupaan antara mulhaq bih dengan hulhaq alaih) oleh para mulhiq (pelaku ilhaq) yang ahli.30 Metode ilhaq dalam prakteknya menggunakan prosedur dan persyaratan mirip qiyas, karenanya dapat juga dinamakan qiyasiy versi NU. Ada perbedaan antara qiyas dan ilhaq, yaitu kalau qiyas adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapannya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya berdasarkan nash al-Qur`an dan al-Hadits. Sedangkan ilhaq adalah menyamakan hukum sesuatu yang belum ada ketetapan hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada ketetapan 29 30
KH. A. Aziz. Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, hal 364 Ibid, hal 135-137. SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
142
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
hukumnya berdasarkan teks
suatu kitab (mu`tabar). Apakah hal itu
diperbolehkan atau tidak, lantaran adanya kemungkinan ilhaq terjadi terhadap qiyas manakala teks suatu kitab itu ternyata hasil qiyas, memang masih terjadi perdebatan. Akan tetapi ulama NU berketepatan demikian tentunya dengan pertimbangan sejauh mungkin menghindari ilhaq terhadap teks suatu kitab yang merupakan hasil produk qiyas.31 Contoh metode penerapan metode ilhaqiy adalah apa yang di putuskan dalam mu`tamar II (Surabaya, 9-11 Oktober 1927).32 Mengenai hukumnya jual beli petasan: S (soal): Sahkah jual beli petasan (mercon) untuk merayakan hari raya atau penganten dan lain sebaginya? J (jawab): Jual beli tersebut hukumnya sah. Karena ada maksud baik, ialah adanya perasaan
menggembirakan
hati
dengan
suara
petasan
tersebut.
Keterangan dalam kitab: 1) I`anah al-Thalibin juz III/70. )ﻗﻮﻟﮫ واﻣﺎﺻﺮﻓﮫ( اي اﻟﻤﺎل وھﻮ ﻣﻘﺎﺑﻞ اﻧﻔﺎﻗﮫ ﻓﻰ ﻣﺤﺮم )ﻗﻮﻟﮫ ووﺟﻮه اﻟﺨﯿﺮ( ﻣﻌﻄﻮف ﻋﻠﻰ اﻟﺼﺪﻗﺔ ﻋﻄﻒ ﻋﺎم ﻋﻠﻰ ﺧﺎص )ﻗﻮﻟﮫ اﻟﺘﻰ ﻻ ﺗﻠﯿﻖ ﺑﮫ( ﺻﻔﺔ ﻟﻠﺜﻼﺛﺔ ﻗﺒﻠﮫ )ﻗﻮﻟﮫ ﻓﻠﯿﺲ ﺑﺘﺒﺬﯾﺮ( اي ﻋﻠﻰ اﻻﺻﺢ وﻣﻦ ﺛﻢ ﻗﺎﻟﻮا ﻻ ﺳﺮف ﻓﻰ اﻟﺨﯿﺮ ﻛﻤﺎ ﻻ ﺧﯿﺮ ﻓﻰ.ﻻن ﻟﮫ ﻓﻰ ذﻟﻚ ﻏﺮﺿﺎ ﺻﺤﯿﺤﺎ وھﻮ اﻟﺜﻮب ﻟﻮ اﻟﺘﻠﺬذ اﻟﺴﺮف )اﻋﺎ ﻧﺔ اﻟﻄﺎﻟﺒﯿﻦ(ز 2. Al-Bajuriy 652-654 bab perdagangan )ﺑﯿﻊ ﻋﯿﻦ ﻣﺸﺎھﺪة( اي ﺣﺎﺿﺮ )ﻓﺠﺎﺋﺰ( اذاوﺟﺪت اﻟﺸﺮوط ﻣﻦ ﻛﻮن اﻟﻤﺒﯿﻊ طﺎھﺮا ﻣﻨﺘﻔﻌﺎ ﺑﮫ ﻣﻘﺪورا .(ﻋﻠﻰ ﺗﺴﻠﯿﻤﮫ ﻟﻠﻌﺎ ﻗﺪ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﻮﻻﯾﺔ )اﻟﺒﺎﺟﻮري 3. Al-jamal `ala fath al-wahhab juz III/24 واﻟﺤﻖ ﻓﻲ اﻟﺘﻌﻠﯿﻞ اﻧﮫ ﻣﻨﺘﻔﻊ ﺑﮫ ﻓ ﺎﻟﻮﺟﮫ اﻟﺬي ﯾﺸﺘﺮى ﻟﮫ وھﻮ ﺷﺮﺑﮫ اذ ھﻮﻣﻦ اﻟﻤﺒﺎ ﺣﺎت ﻟﻌﺪم ﻗﯿﺎم دﻟﯿﻞ ﻋﻠﻰ ﺣﺮﻣﺘﮫ ﻓﺘﻌﺎطﯿﮫ اﻧﺘﻔﺎع ﺑﮫ ﻓﻰ وﺟﮫ ﻣﺒﺎح وﻟﻌﻞ ﻣﺎ ﻓﻰ ﺣﺎ ﺷﯿﺔ اﻟﺸﯿﺦ ﻣﺒﻨﻲ ﻋﻠﻰ ﺣﺮﻣﺘﮫ وﻋﻠﯿﮫ .ﻓﯿﻔﺮق ﺑﯿﻦ اﻟﻘﻠﯿﻞ واﻟﻜﺜﯿﺮ ﻛﻤﺎ ﻋﻠﻢ ﻣﻤﺎ ذﻛﺮ ﻧﺎه ﻓﻠﯿﺮاﺟﻊ
31 32
Ahmad Zahro,Tradisi Intelektual NU, hal 121-122 Abu Hamdan Abd Djalil Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha`, juz II, hal 24-25 SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
143
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
Dari segi argumentasi yang mengacu pada kitab-kitab rujukan, tidak ada yang menyebut secara jelas mengenai dalil-dalil dan menggunakan petasan dalam bahasa arab disebut اﻟﻄﺮ طﻮﻗﮫdan اﻟﻔﺮﻗﯿﻌﺔ. yang jelas adalah uraian singkat mengenai hukum bolehnya mentasarrupkan harta untuk kebaikan dan kesenangan, sahnya menjual benda-benda yang dapat dihadirkan asal suci dan bermanfaat (al-Bajuriy), dan bolehnya membeli dan menghisap rokok karena tidak adanya dalil yang mengharamkannya (al-Jamal). Jadi keputusan ini didasarkan pada qiyas dengan illat suci dzat bermanfaatnya petasan sebagaimana rokok dan lain-lain.33 c. Metode Manhajiy Metode
manhajiy
adalah
suatu
cara
menyelesaikan
masalah
keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa`il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab.34 Sebagaimana metode qauliy dan ilhaqiy, sebenarnya metode manhajiy juga sudah pernah diterapkan oleh ulama NU terdahulu, walaupun tidak dengan istilah manhajiy dan tidak pula diresmikan melalui sebuah keputusan. Contoh penerapan hukum kongres/Muktamar I (1926).35 S (soal): Dapat pahalakah sedekah kepada mayat? J (jawab): Dapat! Keterangan: dalam kitab al-Bukhariy bab “janazah” dan kitab al-Muhadhdhab bab “wasiat”: روى اﺑﻦ ﻋﺒﺎس ھﻦ رﺟﻼ ﻗﺎل ﻟﺮﺳﻮل ﷲ ﺻﻠﻰ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠﻢ ھﻦ اﻣﻰ ﻗﺪ ﺗﻮﻓﯿﺖ اﯾﻨﻔﻌﮭﺎ ان اﺗﺼﺪق ﻋﻨﮭﺎ؟ ﻗﺎل . ﻗﺎل ﻓﺎن ﻟﻲ ﻣﺤﺮﻓﺎ ﻓﺎﺷﮭﺪك اﻧﻲ ﻗﺪ ﺗﺼﺪﻗﺔ ﺑﮭﺎ ﻋﻨﮭﺎ:ﻧﻌﻢ Keputusan di atas dikategorikan sebagai keputusan yang didasarkan pada metode manhajiy karena langsung merujuk pada Hadits yang merupakan dalil yang dipergunakan oleh keempat imam madzhab setelah al-Qur`an. 33
Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, hal 123-124 KH. A. Aziz. Masyhuri, Masalah Keagamaan NU, hal 364 35 Abu Hamdan Abd Djalil Khamid Kudus, Ahkam al-Fuqaha`, juz I, hal 16-17 34
SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
144
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
Contoh lain penerapan metode manhajiy adalah apa yang diputuskan dalam kongres/muktamar X pada tanggal 13-18 April 1935 di Surakarta: S (soal): Bagaimana hukumnya orang memelihara anak yatim, fakir miskin dan sebagainya, dengan harta benda hasil sepak bola, pasar malam, tonel (pertunjukan/sandiwara) dan sejenisnya? J (jawab):Kongres memutuskan bahwa jika permainan sepak bola, pasar malam, dan buka tonel (pertunjukan/sandiwara) itu hukumnya haram, maka haram juga apa yang dihasilkannya. Mengambil keterangan dari kaidah: دﻓﻊ اﻟﻣﻔﺎﺳد ﻣﻘدم ﻋﻠﻰ ( ﺟﻠب اﻟﻣﺻﺎﻟﺢmenghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan). Itulah jawaban LBM yang tidak mencantumkan dalil dari suatu kitab ataupun argumentasi detail. Dengan demikian dapat diyakini, bahwa diharamkannya hal tersebut di atas melalui proses: setelah tidak dapat dirujukkan pada teks suatu kitab mu`tabar, juga tidak dapat di-ilhaqkan kepada hukum suatu masalah, yang mirip, dan telah terdapat rujukannya dalam suatu kitab mu`tabar, maka digunakanlah metode manhajiy dengan mendasarkan jawaban mula-mula pada al-Qur`an, setelah tidak di temukan lalu pada Hadits, dan begitu seterusnya yang akhirnya sampailah pada jawaban dari kaidah fighiyyah:
دﻓﻊ اﻟﻣﻔﺎﺳد ﻣﻘدم ﻋﻠﻰ ﺟﻠب اﻟﻣﺻﺎﻟﺢ
(menghindari kerusakan lebih didahulukan dari pada upaya memperoleh kemaslahatan). Hal demikian dimungkinkan karena prosedur istinbat hukum bagi metode munhajiy adalah dengan mempraktekkan qowaid usuliyyah (kaidah-kaidah usul fiqh) dan qawaid fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Metode ini secara resmi baru dipopulerkan penggunaannya dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama Nudi Bandar Lampung. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa Munas Bandar Lampung adalah era kesadaran perlunya referensi dan reformasi arti bermadzhab. Era ini dapat dikatakan sebagai titik awal untuk bersikap lebih inklusif dalam
SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
145
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
pemahaman beragama, khususnya dalam Lajnah Bahtsul Masa`il menuju universalitas Islam dan era kesadaran perlunya”pabrik”pemikiran.36 Munas Bandar Lampung juga dapat dikatakan sebagai titik awal untuk mendobrak pemahaman jumud (stagnan) yang berupa ortodoksi pemikiran dengan mencukupkan pada apa yang telah diformulasikan oleh para ulama terdahulu yang sudah terkodifikasikan dalam kitab-kitab empat madzhab, khususnya syafi`iyyah. Atau paling tidak, Munas Bandar Lampung adalah era dimulainya gerakan kesadaran ulama dan intelektual NU, bahwa kitab-kitab madzhab empat tidaklah cukup dan perlu ada semangat reformasi menuju pemikiran madzhab yang luwes, luas, dan mampu menghadapi tantangan zaman. Munas Bandar Lampung adalah awal munculnya kesadaran pentingnya berijtihad untuk menghadapi tantangan zaman, walaupun ijtihad dalam formulasi sendiri. Memang Islam akan dianggap ortodoks, ketinggalan zaman dan tidak membumi ketika konsep ijtihad dibekukan dan tidak harus tetap diprioritaskan.37 Walaupun dalam memecahkan masalah yang dilakukan Lajnah Bahtsul Masail dalam munas ini secara praktis masih tetap sama dengan sebelum munas, namun ada kemajuan dengan adanya penegasan teoritis dalam hal metode dan prosedur istinbat hukum, terutama upaya penerapan metode manhajiy dari empat madzhab. Memang metode empat madzhab sampai saat ini masih dianggap representatif untuk menjawab persoalan keagamaan warga NU. KH. MA Sahal Mahfudh menjelaskan bahwa kaidah-kaidah pengambilan hukum yan dirumuskan ulama terdahulu masih relevan hingga kini. Jadi yang perlu dilakukan adalah pengembangan fiqh melalui kaidah-kaidah tadi, menuju fiqh yang kontekstual. Namun yang perlu diperhatikan adalah adanya perkembangan secara konseptual terkait dengan metode yang 36 37
Ahmad Zahro,Tradisi Intelektual NU, hal 126. Ibid., hal 126-127. SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
146
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
digulirkan oleh ulama reformis di kalangan NU. Momen ini makin mendapat angin segar setelah Munas Bandar Lampung yang menghasilkan keputusan tentang metode pemecahan masalah dalam bahtsul masa`il.38 C. Penutup Pada awal perjalanannya Lajnah Bahtsul Masa`il (LBM) NU dalam memecahkan persoalan-persoalan keagamaan masih menggunakan ijtihad qauliy yakni, sebuah metode ijtihad yang dalam metode istinbat hukumnya dengan
mempelajari
masalah
yang
dihadapi,
kemudian
mencari
jawabannya pada kitab-kitab fiqh dari empat madzhab, dengan mengacu dan merujuk secara langsung pada bunyi teksnya. Apabila metode qauliy tidak dapat dilaksanakan karena tidak ditemukan teks-teks dari kutub muktabarah dari empat madzhab, maka menggunakan metode apa yang disebut metode ilhaqiy, yakni ( اﻟﺤﺎق اﻟﻤﺴﺎﺋﻞ ﺑﻨﻈﺌﺮھﺎmenyamakan hukum suatu kasus yang belum dijawab oleh kitab dengan suatu kasus yang sudah dijawab oleh kitab). Metode manhajiy adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh LBM dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun oleh imam madzhab, metode ini digunakan oleh intelektual NU bilamana kedua metode di atas tidak dapat dilaksanakan.
38
Ibid., hal 127-128. SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
147
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amidi, Saifuddin Abi al-Hasan. 1981. Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, Bairut: Dar al-Fikr. Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad. 1993. al-Mustashfa min `Ilm al-Usul, Bairut: Darul al-Kutub al-Ilmuyyah. Al-Munawwar, Said Aqil Husain. 1990. Pintu Ijtihad Terbuka dalam Kerangka Pemikiran Madzhab, Warta NU. No. 37, Th, VII, Maret. Al-Shaukani. tt. Irshad al-Fukhul, al-Maktabah al-Shamilah Al-Shaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. tt. Irshad al-Fukhul, Bairut Dar al-Fikr. Al-Zuhaili, Wahbah. 1986. Usul al-Fiqh al-Islami, Damaskus; Dar Fikr. Bruinessen, Martin Van. 2008. Nahdlatul Ulama Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Ter. FaridWajidi, Yogyakarta:LKIS, Cet I, 01. Hasan, Husain Hamid. 1971. Nazariyyat al-Maslahah fi al-Fiqh alIslamiy,Bairut: Dar al-Nahdah al-Arabiyyah. Hasbulloh, Muhammad Ali. tt. Usul al-Tashri` al-Islami, Bairut: Dar al-Fikr. http://serbasejarah.wordpress.com/2009/05/31/riwayat-perjuanganjamiyyah-nahdlatul-ulama Khallaf, Abd Wahhab. 1970. Masadir al-Tasyri` al-Islamiy fi ma la Nassa fih, Dar al-Qalam. Kudus, Abu Hamdan Abd Djalil Khamid. tt. Ahkam al-Fuqaha`, Juz I, Semarang: Toha Putra Madhkur, Muhammad Salam. 1984. Al-Ijtihaf fi al-Tashri al-Islamy, Dar alNahdah al-Ilmiyah.
SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
148
Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam
Masyhuri, A. Aziz. Masalah Keagamaan NU, Surabaya: PP RMI dan Dinamika Press. Miri, Djamaluddin. 2005. Ahkamul Fuqaha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Kombes Nahdlatul Ulama (1926-1999) Surabaya: Lajnah Ta`lif Wan Nasyr (LTN) dan Diantama, Cet I, 01. Shiddiq, Mahfudh. 1980. Khittah Nahdiyyah, Surabaya: Balai Buku. Yafie, Ali. 1994. Konsep-Konsep Istislah, Istislah dan Masalah al-Ammah” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Paramadina. Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masa`il, 19261999 LKIS:Yogyakarta, Cet I, XX.
SYAIKHUNA Edisi 10 Nomor 2 Maret 2015
149