III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1. Penelitian Pendahuluan
3.1.1.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Selama Pemuasaan Kemampuan puasa benih nila BEST sebanyak 30 ekor dapat bertahan hidup dalam keadaan puasa selama 7 hari dengan SR 100%. Hasil uji dari kemampuan puasa ikan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Ikan nila BEST Selama Pemuasaan Hari Ke1 2 3 4 5 6 7
∑ ikan hidup 30 30 30 30 30 30 30
∑ ikan mati 0 0 0 0 0 0 0
SR (%)
pH
DO
Suhu
100 100 100 100 100 100 100
7,77 7,92 8,00 7,59 8,11 7,82 8,09
4,76 4,75 5,31 5,03 5,45 5,09 5,49
29,6 29,4 29,3 29,3 29,3 29,1 29,2
Tingkah Laku Ikan Berenang Aktif Berenang Aktif Berenang Aktif Berenang Aktif Berenang Aktif Berenang Aktif Berenang Aktif
Keterangan: dilakukan pergantian air pemeliharaan sebanyak 30-50% untuk menjaga kualitas air.
3.1.1.2 Tingkat Konsumsi Oksigen Hasil uji TKO diperoleh benih ikan nila BEST -1
sebesar 0,03±0.077 mgO2g
memiliki nilai TKO
-1
jam . Selama waktu pengangkutan yakni 16 jam
oksigen yang diperlukan tiap perlakuan adalah masing-masing 288, 480 dan 672 mgO2 (Lampiran 1). 3.1.1.3 Laju Eksresi Total Amoniak Nitrogen (TAN) Hasil uji laju eksresi TAN yang didapat dari pengujian setiap 12 jam selama 48 jam menunjukan bahwa benih ikan nila BEST mempunyai laju eksresi TAN sebesar 0,050 mgTAN.g-1.jam-1 (lampiran 2). Berdasarkan hasil pengujian laju eksresi TAN maka prediksi TAN ikan nila BEST tiap perlakuan 300 ekor/ℓ, 500 ekor/ℓ dan 700 ekor/ℓ selama 16 jam masing-masing 48, 80 dan 112 mg/ℓ.
8
3.1.1.4 Kapasitas Daya Serap Zeolit dan Karbon Aktif terhadap Amoniak
Pada uji kapasitas serap zeolit terhadap TAN terdapat hasil bahwa air yang mengandung TAN 1 mg/ℓ dapat diturunkan hingga mencapai konsentrasi 0 mg/ℓ dalam waktu 420 detik atau sekitar 7 menit (Lampiran 3). Pada uji karbon aktif didapat hasil bahwa air yang mengandung TAN 1 mg/ℓ dapat diturunkan hingga mencapai konsentrasi 0,114 mg/ℓ dalam waktu 7 menit (Lampiran 4). 3.1.2 Penelitian Utama 3.1.2.1 Tingkat Kelangsungan Hidup Benih Nila BEST Selama Pengangkutan Tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila BEST pada media pengangkutan dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil analisis statistik menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara perlakuan pada jam ke-0 sampai jam ke-4, namun terdapat perbedaan nyata pada jam ke-8 sampai jam ke-16. Ikan pada jam ke-0 sampai jam ke-4 untuk perlakuan 300 ekor/ℓ masih mencapai 100%, hanya saja untuk perlakuan 500 ekor/ℓ dan 700 ekor/ℓ mengalami kematian sehingga mengakibatkan SR turun masing-masing menjadi 96±5,23% dan 91±1,8%. Nilai SR 100% pada perlakuan 300 ekor/ℓ
hanya
bertahan sampai jam ke-4, sedangkan untuk perlakuan 500 ekor/ℓ dan 700 ekor/ℓ hanya bertahan sampai jam ke-0. Tabel 3. Tingkat kelangsungan hidup ikan nila selama pengangkutan jam ke0 4 8 16
SR (%) 300 ekor
500 ekor
700 ekor
100±0,00 100±0,00a 98±0,40a 96±1,41a
100±0,00 96±5,23a 93±3,54a 88±1.98b
100±0,00 91±1,8a 87±1,2a 79±0,7c
Keterangan: huruf superscrip di belakang nilai standar deviasi adalah berbeda pada setiap baris menunjukan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0.05)
Gambar 1. Menunjukan tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila BEST pada jam ke-16 untuk masing-masing perlakuan. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan dengan kepadatan 300 ekor/ℓ yang mencapai 96±0,47%. Tingkat kelangsunagn terendah adalah perlakuan 700 ekor/ℓ sebesar 79±0,7% selama masa pengangkutan 16 jam. Berdasarkan hasil perhitungan 9
statistik, peningkatan kepadatan ikan pada transportasi berberda nyata (P<0,05) antara perlakuan satu dengan yang lainnya. 100
96±0,47%
88±1,98%
79±0,7%
SR (%)
80 60 40
a
b
c
20 0 300 ekor 300 ekor
500 ekor Perlakuan 500 ekor
700 ekor 700 ekor
Gambar 1. Tingkat Kelangsungan hidup pada jam ke-16 3.1.5 Kualitas Air Media Pengangkutan Tabel 4 menunjukan bahwa konsentrasi TAN rata-rata dari setiap perlakuan pada jam ke-0, 4, 8 mengalami peningkatan konsentrasi TAN seiring bertambahnya waktu, namun terjadi penurunan pada jam ke-12. Pada jam ke 12 konsentrasi nilai TAN terendah terjadi pada perlakuan pada perlakuan 300 ekor/ℓ yang mencapai 0,502±0,049 mg/ℓ, kemudian meningkat pada masing-masing perlakuan 500 ekor/ℓ dengan konsentrasi TAN sebesar 0,744±0,047 mg/ℓ dan perlakuan 700 ekor/ℓ dengan konsentrasi TAN sebesar 0,792±,0,006 mg/ℓ. Tabel 4. Konsentrasi TAN rata-rata pada media air pengangkutan ikan nila BEST jam ke0 4 8 12
TAN (mg/L) 300 ekor
500 ekor
700 ekor
0,138±0,000 0,478±0,291a 0,814±0,039a 0,502±0,049a
0,138±0,000 0,717±0,265a 0,883±0,014ab 0,744±0,047b
0,138±0,000 0,773±0,009a 0,929±0,009c 0,792±,0,006b
Keterangan: huruf superscrip di belakang nilai standar deviasi adalah berbeda pada setiap baris menunjukan pengaruh perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05).
Nilai amoniak tidak terionisasi (NH3) diperoleh dari data TAN dengan memperhitungkan kondisi pH dan suhu pada setiap unit percobaan dengan menggunakan tabel persentase amoniak tidak terionisasi (Tabel 1). Gambar 2 menunjukan konsentrasi NH3 pada media pengangkutan untuk setiap perlakuan 10
dari jam ke-0 sampai jam ke 12 terlihat terjadi peningkatan konsentrasi dari waktu ke waktu. Konsentasi NH3 mulai meningkat pada jam ke-4 dengan nilai terendah pada perlakuan 500 ekor/ℓ sebesar 0,0082+0,016 mg/ℓ dan nilai tertinggi pada perlakuan 700 ekor/ℓ sebesar 0,146±0,016 mg/ℓ. Nilai NH3 pada jam ke-12 untuk semua perlakuan berkisar antara 0,0082+0,016-0,0415+0,003 mg/ℓ. Berdasarkan uji statistik tidak terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan pada jam ke 12. 0.050
Amoniak (mg/ℓ)
0.040 0.030 0.020 0.010 0.000 0
‐0.010
4
8
12
Waktu 300 ekor
500 ekor
700 ekor
Gambar 2. Nilai NH3 rata-rata pada media air Gambar 3. menunjukan suhu selama pengangkutan relatif stabil, diketahui bahwa suhu awal air dalam wadah penampungan yaitu 280C. Suhu kemudian diturunkan dengan penambahan es batu ke dalam boks Styrofoam. Suhu pengangkutan benih ikan nila pada penelitian ini berkisar antara 24-260C 27
Suhu 0C
26 25 24 0
8
12
Waktu 300 ekor
500 ekor
700 ekor
Gambar 3. Suhu media air pengangkutan Gambar 4. dapat terlihat bahwa nilai oksigen awal sebelum pengangkutan adalah 3,75 mg/ℓ. pada saat ikan ditransportasikan. DO media pada jam ke-4 mengalami kenaikan pada jam ke-4 karena adanya penambahan dan tekanan dari oksigen murni. Pada jam ke-8 kandungan DO mulai menurun, pada jam ke-12 11
nilai DO sebesar 3,56 mg/ℓ untuk kepadatan 300 ekor/ℓ, kemudian nilai DO sebesar 2,97 mg/ℓ untuk kepadatan 500 ekor/ℓ, dan nilai DO sebesar 2,92 mg/ℓ untuk kepadatan700 ekor/ℓ. Pengaruh secara nyata antar perlakuan terjadi pada jam ke-4 sampai akhir pengambilan sampel. 5.00 DO (mg/l)
4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0
4
8
12
500 ekor
700 ekor
Waktu
300 ekor
Gambar 4. DO media air pengangkutan Gambar 5. menunjukkan kisaran derajat keasaman (pH) selama pengangkutan masing-masing perlakuan selama pengangkutan, adapun kisaran pH selama pengangkutan adalah berkisar antara 6,84-7,30. Kisaran ini merupakan kisaran optimum pada pengangkutan benih ikan nila BEST. Nilai pH ini tidak
pH
terdapat perbedaan yang nyata antar perlakuan dari jam ke-0 sampai ke -12. 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00 0
4 300 ekor
Waktu 500 ekor
8
12 700 ekor
Gambar 5. pH media air pengangkutan Gambar 6. Menunjukan nilai CO2 selama pengangkutan mengalami peningkatan seiring bertambahnya waktu. Nilai CO2 berkisar antara 15,98 sampai 71,91 mg/ℓ. Pada jam ke 12, nilai CO2 relatif berbanding lurus dengan kepadatan. Nilai CO2 tertinggi terjadi pada padat tebar 700 ekor/ℓ dengan nilai konsentrasi 12
71,914±5,65 mg/ℓ. Adapun pada perlakuan 300 ekor/ℓ dengan nilai CO2 dari waktu ke waktu relatif stabil.
CO2 (mg/l)
100.0 80.0 60.0 40.0 20.0 0.0 0
4
8
12
Waktu 300 ekor
500 ekor
700 ekor
Gambar 6. Konsentrasi CO2 media air pengangkutan 3.1.6 Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Nila BEST pada Pemeliharaan Pasca Pengangkutan Tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila BEST yang dipelihara pasca pengangkutan memiliki nilai SR yang beragam. Pada awal pemeliharaan terjadi kematian ikan pada hari ke-3 dan ke-4 pada perlakuan dengan kepadatan 300 ekor/ℓ dan 700 ekor/ℓ. Tingkat kelangsungan (SR) tertinggi hingga akhir pemeliharaan selama 14 hari terdapat pada perlakuan 300 ekor/ sebesar 85%. Sedangkan tingkat kelangsungan terendah terdapat pada perlakuan 700 ekor/ℓ yaitu sebesar 63%. 120
SR (%)
100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
5
300 ekor
6
7
8
Hari ke-
9
500 ekor
10 11 12 13 14
700 ekor
Gambar 7. Tingkat kelangsungan hidup benih ikan nila BEST pada pemeliharaan pasca pengangkutan selama 14 hari 13
3.1.7 Laju Pertumbuhan Harian pada Pemeliharaan Pasca Pengangkutan Nilai laju pertumbuhan benih ikan nila BEST dapat dilihat pada Gambar 6. Dari gambar tersebut dapat dilihat Laju pertumbuhan harian (LPH) tertinggi terdapat pada perlakuan 300 ekor/
yaitu sebesar 5,96 %. Laju pertumbuhan
harian (LPH) terendah terdapat pada perlakuan 700 ekor/ yaitu sebesar 3,28%. Hasil uji statistik tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata antara masingmasing kepadatan 300 ekor/ , 500 ekor/ dan 700 ekor/ 7.00
5,96 0,007
6.00 4,69 0,035
SGR (%)
5.00 4.00 3.00
3,28 0,056
a a
2.00 1.00
a
0.00 300 ekor
500 ekor
700 ekor
Perlakuan
Gambar 8. Laju Pertumbuhan Harian benih ikan nila BEST pasca pengangkutan 3.1.8 Histopatologi insang benih ikan nila BEST selama pengangkutan Hasil pengamatan penelitian pada jam ke-16, menunjukan bahwa perlakuan dengan kepadatan 300, 500 dan 700 ekor/ menyebabkan perubahan mikroskopis pada organ insang. Pada perlakuan dengan kepadatan 300 ekor/ terdapat kerusakan mikroskopis berupa hiperemi. Perlakuan dengan kepadatan 500 ekor/ terdapat kerusakan insang berupa hiperplasia dan nekrosi. Sedangkan perlakuan dengan kepadatan 700 ekor/ menunjukan adanya kerusakan insang berupa kongesti dan nekrosi.
14
Hi LP LS 100 µm
A
190 µm
B K
Hp N
N 100 µm
C
50 µm
D
Keterangan: Hp=hiperplasia, K=Kongesti, N=nekrosis, Hi=hiperemi Gambar 9. Gambaran histolopatologi insang A (ikan kontrol dengan lamela sekunder (LS) dan lamela primer (LP)). B (perlakuan kepadatan 300 ekor/ , C (perlakuan kepadatan 500 ekor/ ) dan D (perlakuan kepadatan 700 ekor/ ).
15
3.1.9 Analisa biaya pengangkutan Tujuan transportasi pada penelitian ini diasumsikan ke Palembang, Sumatra Barat. Pengangkutan dilakukan dengan jalur darat dengan jarak tempuh selama 16 jam. Kantong yang ditransportasikan untuk masing-masing perlakuan berjumlah dua kantong packing. Berikut ini analisa biaya pengangkutan benih ikan nila BEST yang diangkut dengan kepadatan berbeda Tabel 5. Tabel 5. Biaya pengangkutan benih ikan nila BEST dengan kepadatan berbeda
Oksigen murni perkantong
Rp/kantong
Harga Satuan (Rp) 1000
Plastik packing
Rp/lembar
500
Komponen
Satuan
Perlakuan 300 e/ℓ (Rp) 2.000
500 e/ℓ (Rp) 2.000
700 e/ℓ (Rp) 2.000
2.000
2.000
2.000
Karet
buah
10
40
40
40
Es batu
buah
1,000
2.000
2.000
2.000
Karbon Aktif
Rp/kantong
150
300
300
300
Zeolit
Rp/kantong
50
100
100
100
ekor
50
15.000
25.000
35.000
Rp
0
5.000
5.000
5.000
26.440
36.440
46.440
SR pengangkutan
96%
88%
79%
Jumlah ikan hidup pasca pengangkutan (ekor)
576
880
1106
Harga beli benih nila BEST Transportasi per packing Total Biaya
Penerimaan (harga jual Rp120/ekor)
Rp
69.120
105.600
132.720
Keuntungan
Rp
42.680
69.160
86.280
Rata-rata biaya yang dikeluarkan/ekor pasca transportasi
Rp
45,903
41,409
41,989
Berdasarkan
hasil
perhitungan
keuntungan
yang
didapat
pada
pengangkutan benih ikan nila BEST berbeda setiap perlakuan Keuntungan yang paling tinggi terdapat pada pengangkutan benih ikan nila BEST perlakuan dengan kepadatan 700 ekor/ℓ sebesar Rp 86.280. Perlakuan dengan kepadatan 500 ekor/ℓ mempunyai keuntungan sebesar Rp. 69.160. Sedangkan keuntungan terendah terdapat pada perlakuan 300 ekor/ℓ sebesar Rp. 42.680. Dari segi biaya yang dikeluarkan setiap ekor benih ikan nila perlakuan 300 ekor/ℓ lebih ekonomis dari semua perlakuan sebesar Rp 45,90 dibandingkan biaya pengangkutan dengan kepadatan 700 ekor/ℓ yang lebih tinggi yaitu sebesar Rp 86.280. 16
3.2 Pembahasan 3.2.1 Penelitian Pendahuluan Hasil penelitian pendahuluan yaitu kemampuan puasa ikan (Tabel 2), menunjukan bahwa benih ikan nila BEST ukuran ±0.22 gram dapat bertahan hidup tanpa diberi pakan selama 7 hari dengan SR 100%. Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa ikan yang mati pada saat dilakukan pengangkutan bukan disebabkan karena faktor kelaparan. Jika hasil kemampuan puasa ikan ini dibandingkan dengan kemampuan puasa ikan manvis penelitian Mahbub (2010), hasil uji menunjukan bahwa ikan maanvis ukuran 2 g/ekor sebanyak 30 ekor dapat bertahan hidup dalam keadaan puasa selama 8 hari dengan SR sebesar 100%. Penelitian Maria (2010) menujukan hasil kemampuan puasa ikan gurame ukuran ± 1,7 gram sebanyak 30 ekor dapat bertahan hidup dengan selama 6 hari dengan tingkat kelangsungan hidup sebesar 100%. Jumlah konsumsi oksigen ditentukan untuk penyesuaian jumlah gas oksigen yang dimasukkan ke dalam kantong pengepakan. Hasil uji TKO menunjukan oksigen yang dimasukkan ke kantong sebesar 0,300 mgO2g-1.jam-1, dengan demikian selama waktu pengangkutan 16 jam oksigen yang diperlukan tiap perlakuan masing-masing adalah 288, 480 dan 672 mgO2. Penentuan laju eksresi TAN dilakukan untuk penggunaan zeolit dan karbon aktif sebagai penyerap TAN. Hasil uji laju eksresi TAN benih ikan nila BEST mempunyai laju eksresi TAN sebesar 0,050 mgTAN.g-1.jam-1. Dengan demikian selama waktu pengangkutan 16 jam dapat diprediksi kandungan TAN pada tiap perlakuan masing-masing 48, 80 dan 112 mg/ℓ. Dalam wadah pengangkutan eksresi TAN penting
diketahui
karena
akumulasinya
akan
berakibat
fatal
terhadap
kelangsungan hidup oerganisme dalam media pengangkutan. Hasil uji kapasitas serap zeolit terhadap TAN menunjukan air yang mengandung TAN 1 mg/ℓ dapat diturunkan hingga mencapai konsentrasi 0 mg/ℓ dalam waktu 420 detik atau sekitar 7 menit (Lampiran 3). Penurunan TAN terjadi karena daya serap dari zeolit masih tinggi serta kandungan NH4+ masih banyak terdapat di air. Sehingga zeolit dapat dengan mudah menukar ion-ion NH4+ dengan ion Ca+ atau ion Na+ yang terkandung dalam zeolit tersebut (Boyd 1990). Hasil uji karbon aktif didapat hasil bahwa air yang mengandung TAN 1 mg/ℓ 17
dapat diturunkan hingga mencapai konsentrasi 0,114 mg/ℓ dalam waktu 7 menit (Lampiran 4). Kapasitas karbon aktif dalam menyerap TAN tidak sebagus zeolit karena sifat absorpsi dan adsorpsi dari karbon aktif yang lebih lemah dibandingkan dengan zeolit (Sembiring dan Sinaga, 2003). 3.2.2 Penelitian Utama Penelitian utama saat pengepakan benih ikan nila BEST di dapat hasil tingkat kelangsungan hidup terendah yaitu perlakuan 700 ekor/ℓ sebesar 79%. Tingkat kelangsungan hidup yang rendah dikarenakan kepadatan ikan yang tinggi Selama pengangkutan ikan melakukan berbagai aktivitas seperti respirasi dan metabolisme seperti eksresi feses sehingga terdapat amonia yang dapat membahayakan fisiologi tubuh ikan. Hal ini sesuai pernyataan Bose et al. (1991) beberapa hal penyebab kematian ikan dalam pengangkutan yaitu menipisnya persediaan oksigen terlarut di media pengangkutan, akumulasi dari gas toksik seperti amonia, terjadi gesekan antar ikan yang mengakibatkan luka fisik yang mengakibatkan ikan stres, gerakan ikan yang hiperaktif di awal pengangkutan, fluktuasi suhu air mendadak dan penyakit. Tingkat kelangsungan hidup tertinggi terdapat pada perlakuan 300 ekor/ℓ sebesar 96%. Tingkat SR yang tinggi dikarenakan kepadatan ikan yang rendah dan konsentrasi DO, amonia dan CO2 dalam media pengangkutan masih dalam kisaran optimum sehingga ikan masih dapat mentolelir kondisi terebut. Kelangsungan hidup ikan selama pengangkutan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis ikan, ketersediaan oksigen terlarut dalam media, suhu, kandungan zat-zat buangan yang dieksresikan ikan yang bersifat toksik (amonia dan karbon dioksida) dan kepadatan ikan selama pengangkutan (Sendjaja dan Riski, 2002). Konsentrasi total amoniak nitrogen (TAN) rata-rata (Tabel 4) terjadi fluktuasi dengan konsentrasi meningkat hingga jam ke-8, namun turun pada jam ke-12. Konsentrasi TAN yang menurun dalam hal ini karena penggunaan zeolit sebagai penyerap TAN pada media transportasi terbukti di akhir perlakuan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Supendi (2006) salah satu cara mengurangi konsentrasi amoniak adalah menggunakan zeolit dan karbon aktif, dimana zeolit dan karbon aktif ini mampu mengadsorpsi sejumlah amoniak dalam waktu 18
tertentu. Selain itu peningkatan kandungan TAN disebabkan peningkatan laju eksresi ikan pada media pengangkutan. Hal ini sesuai pernyataan Frose (1985) dalam wadah pengangkutan laju metabolisme ikan lebih cepat sampai tiga kali dari metabolisme rutin, yang menyebabakan laju eksresi hasil metabolisme selama proses pengangkutan meningkat pula. Amoniak di dalam perairan terdapat dalam dua bentuk yaitu Amonium (NH4+ ) dan Amoniak (NH3). NH3 adalah bentuk amoniak yang lebih beracun bagi organisme perairan (Spotte, 1970). Konsentrasi NH3 tertinggi terdapat pada perlakuan 700 ekor/ℓ yaitu sebesar 0,0415±0,0002 mg/ℓ sehingga kematian ikan dapat dikatakan sebagian besar terjadi karena konsentrasi amonia pada media pengangkutan yang tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan McCarty dalam Effendi (2003) menyatakan bahwa kadar NH3 pada perairan tawar sebaiknya tidak melebihi 0,02 mg/ℓ, karena kadar NH3 yang melebihi 0,02 mg/ℓ bersifat toksik bagi beberapa jenis ikan. Konsentrasi NH3 yang melebihi 0,02 mg/ℓ dapat menurunkan kapasitas darah untuk membawa oksigen yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan. Peningkatan konsumsi oksigen disebabkan karena padatnya jumlah ikan sehingga terjadi stres dan metabolisme meningkat serta penggunaan oksigen semakin meningkat akan menghasilkan gas buangan berupa karbondioksida. Nilai CO2 relatif berbanding lurus dengan kepadatan, Semakin padat ikan, nilai CO2 semakin tinggi. Nilai CO2 selama transportasi berkisar antara 15,98-71,91 mg/ℓ. Konsentrasi CO2 selama transportasi ini masih berada pada kisaran optimal bagi ikan. Dalam hal ini ikan nila termasuk ikan tropis. Hal ini sesuai dengan pernyataan Boyd (1992) bahwa CO2 tidak begitu toksik, hal ini disebabkan kebanyakan ikan hidup beberapa hari pada air dengan kandungan CO2 lebih dari 60 mg/ℓ. Selanjutnya dikatakan konsentrasi CO2 lebih besar 50-100 mg/ℓ membutuhkan waktu yang realtif lama untuk membunuh ikan. Berka (1986) menambahkan bahwa nilai-nilai kritis untuk karbondioksida selama transportasi tertutup tergantung pada spesies, namun bervariasi antara 40 mg/ℓ untuk spesies ikan di daerah bermusim sampai dengan 140 mg/ℓ untuk ikan tropis. Penurunan nilai CO2 disebabkan penggunaan zeolit pada media yang dapat penyerap karbondioksida namun tidak sekuat terhadap penyerapan TAN. Hal ini sesuai 19
dengan pernyataan Mumpton (1999) bahwa zeolit dapat menyerap molekul polar dengan selektifitas yang tinggi dan CO2 merupakan salah satu molekul polar. Parameter kualitas air lainnya yaitu suhu, pH, dan DO selama penelitian masih dalam kisaran yang baik bagi kehidupan organisme. Suhu pengangkutan benih ikan nila pada penelitian ini berfluktuasi, berkisar antara 24-260C. Fluktuasi suhu yang terjadi tidak membahayakan bagi kelangsungan hidup ikan karean menurut Sticney (1979) menyatakan secara umum fluktuasi suhu yang membahayakan bagi ikan adalah 50C. dalam waktu 1 jam. Selain itu Frose (1998) dalam Emu (2010) mengatakan bahwa ikan tropis dapat bertahan pada saat pengiriman pada suhu yang sama dengan lingkungannya yaitu sekitar 22-300C. . pengangkutan jarak jauh dan lama (lebih dari 24 jam) oksigen harus selalu tersedia dan suhu tidak boleh melebihi 280C, adapun suhu yang ideal untuk pengangkutan ikan tropis adalah 20-240C (Jhingran dan Pullin, 1985). Nilai pH masih dalam kisaran optimum kehidupan untuk pengangkutan yaitu berkisar antara 7 – 8 (Djarijah, 2001). Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Pescod (1973) bahwa kriteria pH yang ideal adalah 6,5-8,5. Jadi dapat disimpulkan bahwa fluktuasi nilai pH pada media pengepakan tidak berbahaya bagi kelangsungan hidup benih ikan nila BEST. pH yang berfluktuasi selama pengakutan dapat dikarenakan adanya perubahan ion H+ ketika pH naik pada perlakuan 500 ekor/ℓ pada jam ke-8 terjadi perubahan kesetimbangan terhadap reaksi amonia dalam air yaitu ion H+ akan terlepas sehingga NH4+ turun sementara OH+ meningkat maka NH3 meningkat pula. Secara mekanisme pertukaran ion yang dilakukan oleh zeolit mampu menyerap ion selektif yaitu NH4+ terlepas. Nilai DO pada saat pengangkutan berkisar antara 2,92-4,76 mg/ℓ. Konsentrasi DO dalam media air pengepakan semakin menurun dengan bertambahnya waktu dan padat penebaran. Semakin tinggi kepadatan ikan, pemanfaatan oksigen juga tinggi, sehingga kepadatan yang paling tinggi tidak akan lebih besar menyerap oksigennya daripada kepadatan lebih rendah. Dalam media pengepakan seperti halnya yang dikemukan oleh Pescod (1973) kandungan oksigen terlarut yang baik untuk pengangkutan ikan harus lebih dari 2 mg/ℓ. Dengan demikian, kualitas air (suhu, pH, dan DO) dapat disimpulkan bahwa 20
selama penelitian, kualitas air tersebut masih layak untuk kehidupan benih ikan nila BEST. Kelayakan kualitas air tersebut digunakan untuk menjaga agar kelangsungan hidup benih ikan nila BEST air tawar tetap tinggi dalam media pengangkutan. Laju pertumbuhan harian merupakan salah satu data kegiatan produksi yang cukup penting diketahui, selain mengetahui tingkat kelangsungan hidup selama pengangkutan maka diperlukan data untuk mengetahui kelayakan produksi sebagai tahap setelah pengangkutan. Nilai LPH tertinggi adalah perlakuan dengan kepadatan 300 ekor/ℓ yakni 5,96%. Sedangkan nilai LPH terendah adalah perlakuan dengan kepadatan 700 ekor/ℓ yakni 3,28%. Rendahnya nilai LPH pada kepadatan 700 ekor/ℓ disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai dengan batas toleransi ikan sehingga proses fsiologis menjadi terganggu akibat padat tebar yang terlalu tinggi dan berpengaruh pada kematian. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wedemeyer (1996) menyatakan bahwa pertumbuhan ikan menurun diduga disebabkan oleh terganggunya proses fisiologis akibat kepadatan yang melewati batas tertentu. Hal ini juga sesuai dengan Goddard (1996) bahwa Pertumbuhan ikan bergantung pada beberapa faktor yaitu jenis ikan, sifat genetis, kemampuan memanfaatkan makanan, ketahanan terhadap penyakit serta di dukung oleh faktor lingkungan seperti kualitas air, pakan, dan ruang gerak atau padat penebaran. Berdasarkan data LPH dan SR setelah pengangkutan untuk semua perlakuan tidak berbeda nyata yang artinya perlakuan 700 ekor/ℓ pun mampu memberikan hasil produksi yang cukup bagus. Tingkat kelangsungan hidup pasca pengangkutan tertinggi terdapat pada perlakuan 300 ekor/ℓ yang mencapai 85%. Sedangkan nilai SR untuk perlakuan 500 ekor/ℓ dan 700 ekor/ℓ masing-masing 78% dan 63%. Nilai SR pasca pengangkutan menurun dapat disebabkan ikan mengalami stres pada saat pengangkutan yang diakibatkan guncangan maupun kepadatan yang terlalu tinggi. Pada keadaan packing ikan sudah terbiasa dengan lingkungan amonia dan CO2 yang tinggi serta DO rendah, sedangkan selama masa pemeliharaan ikan dituntut harus menyesuaikan pada lingkungan dengan kisaran DO, amonia dan CO2 yang optimum untuk pemeliharaan ikan normal.
21
Insang merupakan organ pertama yang bereaksi terhadap perubahan lingkungan. Kualitas air yang tidak sesuai atau melebihi batas toleransi ikan akan menyebabkan kerusakan mikroanatomi pada insang. Perubahan-perubahan yang ditemukan pada insang tersebut merupakan mekanisme pertahanan insang terhadap perubahan atau tekanan dari lingkungan. Pengamatan histologi pada organ insang bertujuan untuk memperlihatkan kondisi insang setelah diberi perlakuan terdapat kerusakan yang dapat menyebabkan terganggunya mekanisme pernafasan pada ikan seperti fusi, hiperplasia, hemoragi, lapisan epitel terangkat, hipertropi, dan neksrosis. Connel dan Miller (1995) dalam Aryanto (2011) menyatakan bahwa kerusakan insang akan mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan ikan budidaya. Perlakuan
pada benih ikan nila BEST dengan
kepadatan berbeda pada media pengangkutan (Gambar 9) terdapat kerusakan mikronantomi ikan pada masing-masing perlakuan yang berbeda. Perlakuan dengan kepadatan 300 ekor/ℓ terdapat kerusakan berupa hiperemi. Hiperemi adalah kondisi menggenang dari aliran darah arteri. Pada perlakuan dengan kepadatan 500 ekor/ℓ terdapat kerusakan jaringan berupa hiperplasia dan nekrosis. Menurut Takashima dan Hibiya (1995) hiperplasia pada lamela sekunder maupun primer pada umumnya disebabkan oleh adanya pengaruh dari parasit kronis, bakteri, atau iritasi yang dikarenakan kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Hiperplasi adalah pembentukan jaringan secara berlebihan karena bertambahnya jumlah sel. Perlakuan dengan kepadatan 700 ekor/ℓ menunjukan adanya kerusakan jaringan kongesti dan nekrosis. Menurut Ressang (1984), kongesti adalah terjadinya pembendungan darah yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi yang dapat mengakibatkan kekurangan oksigen dan zat gizi. Neksrosis adalah kematian yang terjadi secara cepat pada bagian yang terbatas pada suatu jaringan dari individu tertentu saat masih hidup. Gambaran mikroskopis ditandai oleh adanya perubahan warna jaringan (lebih pucat), perubahan konsistensi jaringan (lebih lunak); adanya batas yang jelas antara jaringan nekrosis dan jaringan yang normal serta adanya perubahan sel yang meliputi sitoplasma dan sel secara keseluruhan. Terjadinya kerusakan mikroanantomi pada semua perlakuan diakibatkan karena kondisi media yang melebihi batas toleransi ikan. Sehingga menyebabkan insang mengalami perubahan mikroanatomi sebagai usaha 22
pertahanan insang terhadap tekanan dari lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hardi (2003) reaksi sel, jaringan atau organ terhadap agen perusak dapat berbentuk adaptasi, penyesuaian terhadap rangsangan fisiologik atau patogenik tertentu seperti adanya reaksi berupa hipertropi, hiperplasia, hiperemi dan atropi. Dari data pada jam ke-16 dapat disimpulkan bahwa perlakuan dengan kepadatan 300 ekor/ℓ lebih bagus dibandingkan dengan perlakuan lainnya baik dilihat dari segi SR maupun kualitas airnya. Perlakuan dengan kepadatan 700/ℓ menunjukan hasil yang paling jelek apabila dilihat dari segi SR maupun kualitas airnya. Tetapi, perlakuan dengan kepadatan 700 ekor/ ℓ menunjukan hasil yang lebih besar diantara semua perlakuan jika dilihat dari segi keuntungan. Jika hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, mengenai pengangkutan tertutup dengan menggunakan zeolit dan karbon aktif penelitian ini jauh lebih baik, sebagai contoh hasil penelitian Susilawati (1991), pemberian zeolit sebanyak 25 g/ℓ pada pengangkutan udang galah berukuran 2 g/ekor dengan kepadatan 38 ekor/ℓ selama 12 jam hanya mampu menghasilkan SR sebesar 83,34%. Penelitian Supendi (2006), pemberian zeolit sebanyak 20 g/ℓ pada pengangkutan ikan corydoras berukuran 2 g/ekor dengan kepadatan 20 ekor/ℓ selama 120 jam menghasilkan SR sebesar 80%. Penelitian Maria (2010), pemberian zeolit 20 g/ℓ, C-aktif 10 g/ℓ pada pengangkutan ikan gurame berukuran ±1,7 g/ekor dengan kepadatan 20 ekor/ℓ selama 72 jam menghasilkan SR sebesar 91,67%. Penelitian Ghozali (2010), pemberian zeolit 20 g/ℓ, C-aktif 10 g/ℓ dan garam 4 g/ℓ pada pengangkutan ikan maanvis berukuran 2 g/ℓ dengan kepadatan 20 ekor/ℓ selama 120 jam menghasilkan SR sebesar 89%.
23