II. TINJAUAN PUTAKA
2.1 Keberadaan Konstitusi Konstitusi dalam konteks hukum tata negara merupakan hukum yang tertinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi merupakan sumber legitimasi terhadap otoritas suatu pemerintahan untuk menjalankan fungsinya. Keberlakuan kostitusi terletak pada kesepakatan umum atau persetujuan di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan negara.13 Organisasi negara diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut negara. Konstitusi terkait dengan keberadaannya sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan pada kedaulatan yang dianut oleh suatu negara. Jika negara itu menganut paham kedaulatan rakyat maka sumber legitimasinya itu adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Keberlakuan tersebut sering disebut sebagai
13
Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, 2009, Memahami Hukum dari Konstruksi sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 219.
11
constituent power yang merupakan kewenangan di luar dan sekaligus di atas system yang diaturnya.14 Menurut C.F Strong15 “Constitusion is a collection of principles according to which the power of the government, the rights of the governed, and the relations between the two are adjusted”. Artinya, konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang menyelenggarakan: a.
Kekuasaan pemerintahan (dalam arti luas),
b.
Hak-hak dari yang diperintah,
c.
Hubungan antara pemerintah dan yang diperintah (menyangkut di dalamnya masalah hak asasi manusia).
Indonesia mengatur penyelenggaraan dan hubungan yang dimaksud oleh C.F Strong dalam UUD 1945. UUD 1945 secara umum mengatur kekuasaan dan fungsi lembaga-lembaga negara, hubungan di antara mereka, dasar negara, hak asasi manusia, dan kewajiban warga negara. Menurut Jimly Asshidiqie16, UUD 1945 di samping sebagai konstitusi politik, juga merupakan konstitusi ekonomi karena memuat ketentuan yang berkaitan dengan kesejahteraan sosial. Selain itu, Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan RI juga menetapkan bahwa UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan RI. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa adanya konfigurasi politik, yang dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan para pelaku politik, juga berpengaruh 14
Jimly Asshiddiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konpress, Jakarta, Hal. 18. 15 Dahlan Thaib, 2008, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 12. 16 Jimly Asshiddiqie, loc. Cit., Hal. 26.
12
terhadap produk hukum suatu negara. Bahkan Mahfud dalam studinya menyatakan bahwa jika ada pertanyaan tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik atau sebaliknya, maka paling tidak ada tiga macam
jawaban dapat
menjelaskannya, sebagai berikut: "Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk kepada hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendakkehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum." 17 Dalam studinya tersebut, Mahfud mengambil perspektif yang kedua. Dalam hubungan tolak tarik antara politik dan hukum, maka hukumlah yang terpengaruh oleh politik, karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum. Hukum dalam proses pembuatannya lebih terpengaruh kepada kepentingan politiknya sehingga dikatakan konsentrasi energi politik lebih besar daripada hukum.18 Namun demikian, harus diakui pula bahwa dalam melaksanakan kehidupan bernegara sehari-hari, setiap orang baik para pelaku politik dalam negara hukum, akan terikat dengan sistem yang telah diatur dalam konstitusi. Karena konsep negara hukum atau yang dikenal dengan konsep rule of law dinegara-negara yang berlaku sistem Anglo Saxon dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan penguasa
17
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum Di Indonesia Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 8. 18 Ibid.
13
negara agar tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuse of power, abuse de droit.19 Dalam negara hukum, sistem bernegara yang terdiri dari sistem pembagian kekuasaan, perlindungan hak-hak asasi manusia, dan hal-hal lain yang mengenai pengambilan keputusan publik dan interaksi antara keseluruhan institusi-institusi politik yang ada, diatur dalam suatu konstitusi. Penyelenggara negara mendasarkan tugasnya berdasarkan konstitusi. Bahkan karena hak untuk menyatakan pendapat dan berserikat sebagai bagian dari HAM juga diatur dalam konstitusi, maka institusi yang tumbuh dalam masyarakat yang memiliki peranan politik seperti pers dan pressure groups/interest groups juga akan ditentukan keberadaan dan peranannya dalam konstitusi. Berkaitan dengan hal ini, Miriam Budiardjo20 menyatakan bahwa dalam gagasan konstitusionalisme, undangundang dasar dianggap sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus, yaitu menentukan dan membatasi kekuasaan pemerintah di satu pihak dan menjamin hak-hak asasi warga negaranya di lain pihak. Konstitusi dianggap sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah sekalipun, sesuai dengan dalil “Government by laws, not by men”. Lebih lanjut lagi, E.C.S Wade21 juga menyatakan bahwa konstitusi adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Dengan demikian, perilaku politik yang terjadi dalam suatu negara akan sangat dipengaruhi oleh konstitusi. Berdasarkan argumentasi yang telah 19 20
Hal. 113.
21
Munir Fuadi, 2009, Teori Negara Hukum Moderen, Refika Aditama, Jakarta, Hal. 2. Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik Edisi Revisi, PT Gramedia, Jakarta, Ibid, Hal. 170.
14
dikemukakan, konstitusi merupakan hal yang terpenting dalam negara hukum, sehingga pelaksanaan pemerintahan negara dilandasi atau sangat dipengaruhi oleh ketentuan dalam UUD 1945. Konstitusi sendiri dalam perkembangannya dibagi dalam dua bentuk, yaitu konstitusi yang fleksibel dan kosnstitusi kaku.22 Konstitusi kaku dapat dilihat dari proses perubahannya yang tidak memerlukan prosedur khusus atau syarat yang ketat untuk melakukan perubahan. Sedangkan konstitusi kaku merupakan konstitusi yang perubahannya memerlukan proses khusus untuk merubahnya yang dimuat dalam konstitusi itu sendiri. Inggris yang konstitusinya dikatakan fleksebel, dapat dilihat dari peroses untuk mengubah konstitusi berada di tangan parlemen.23 Kekuasan parlemen yang tidak terbatas memberi ruang gerak kepada parlemen sehingga tidak ada kekuasaan dalam negara yang membatasinya. Parlemenlah yang memutuskan konstitusi diubah atau dibatalkan begitu juga dengan penafsiran hakim dapat dikatakan salah oleh parlemen. Dengan supremasi parlemen tersebutlah sehingga dapat dilihat konstitusi suatu negara fleksibel atau kaku. Sedangkan UUD yang kaku biasanya menganut supremasi konstitusi yang dibuat oleh suatu konstituante sehingga kekuasan parlemen berada dibawah kekuasaan konstitusi.24 Untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi diperlukan proses khusus yang diatur secara ketat dalam UUD yang bertujuan agar perubahan konstitusi tidak terlalu sering terjadi. Untuk melakukan perubahan konstitusi 22
C.F. Strong, 2010, Konstitusi-Konstitusi Politik Moderen Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk (diterjemahkan oleh Derta Sri Widowatie), Nusa Media, Jakarta, Hal.90. 23 Miriam Budiardjo, Op Cit. hal 193. 24 Ibid, Hal 194.
15
sendiri ada beberapa metode utama yang digunakan dalam konstitusi modern, yaitu: 1. Melalui lembaga legislatif biasa, tetapi di bawah batasan-batasan tertentu; 2. Melalui rakyat lewat referendum; 3. Melalui suara mayoritas dari seluruh unit pada negara federal; 4. Melalui konvensi istimewa.25 Pada umumnya hanya ada dua metode yang sering digunakan dari keempat metode diatas. Pertama, dilakukan oleh lembaga legislatif menurut batasanbatasan khusus dan yang kedua yaitu dilakukan oleh rakyat dalam situasi khusus, sedangkan dua metode lainya digunakan pada negara federal.26 Masing-masing metode tersebut dapat dilihat dari bentuk negara dimana konstitusi tersebut berlaku. 2.2. Perubahan UUD 1945 Perubahan konstitusi yang terjadi di Indonesia telah membawa perubahan yang cukup besar terhadap sistem pemerintahan di Indonesia. Desakan reformasi yang begitu besar telah mendorong agar dilakukan perubahan terhadap UUD 1945 yang merupakan salah satu penyebab mandeknya pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Pasal 37 UUD 1945 adalah cela untuk dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945. Menurut Sri Soemantri ada tiga norma yang mendukung untuk dilakukannya amandemen berdasarkan pasal 37 yaitu: 1. Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai Lembaga Negara Tertinggi; 2. Bahwa untuk mengubah UUD kuorum yang harus dipenuhi sekurangkurangnya adalah 2/3 dari seluruh jumlah anggota MPR;
25 26
C.F. Strong, Op Cit, Hal. 209. Ibid, Hal. 211.
16
3. Bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR yang hadir.27 Dengan penafsiran terhadap pasal 37 maka MPR dapat melakukan perubahan terhadap UUD. Sistem perubahan terhadap UUD dapat dilakukan melalui beberapa bentuk yaitu: 1. Pembaharuan naskah (perubahan dalam teks menyangkut hal-hal tertentu); 2. Pergantian naskah (materi perubahan cukup mendasar dan banyak; 3. Melalui naskah tambahan (annex atau addendum) menurut Amandement Amerika Serikat.28 Sistem yang pertama, dilakukan perubahan langsung terhadap pasal-pasal dalam naskah UUD-nya kemudian akan berlaku UUD baru secara keseluruhan. Sistem yang kedua, secara keseluruhan dibentuk naskah yang sama sekali baru dengan naskah yang lama sehingga terbentuklah UUD yang baru. Sedangkan sistem yang ketiga adalah dengan cara amandemen, perubahan dilakukan pada pasal-pasalnya tetapi tidak langsung pada UUD yang lama. Hasil amandemen yang dilakukan dicantumkan diakhir bagian UUD tetapi tidak terpisah dengan UUD yang lama. Indonesia menggunakan sistem perubahan UUD yang ketiga, yaitu dengan sistem amandemen yang mencantumkan hasil amandemennya di belakang naskah lama tetapi tetap satu dengan naskah UUD yang aslinya. Hal tersebut dituangkan dalam kesepakatan yang dibuat oleh Fraksi-Fraksi di MPR, yaitu: 1. Tidak mengubah pembentukan UUD 1945; 2. Tetap mempertahanakan NKRI; 3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensil; 27
Budiman N.P.D Sinaga, 2009, Hukum Tata Negara Perubahan UUD, Tatanusa, Jakarta, Hal. 12. 28 Ibid, Hal 47.
17
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam penjelasan dimasukkan ke dalam pasal-pasal; 5. Perubahan dilakukan dengan cara addendum.29 Stelah ada kesepakatan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945 di MPR dilakukanlah amamdemen yang pertama yang mulai berlaku tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua tanggal 18 Agsutus 2000, amandemen ketiga pada tanggal 9 November 2001 dan amandemen keempat pada tanggal 10 Agustus 2002. Secara substansi perubahan UUD 1945 selama empat kali amandemen mencakup tiga substansi, yaitu: 1. Ketentuan mengenai HAM, hak dan kewajiban warga negara, serta mekanisme hubungannya dengan negara dan prosedur untuk mempertahankannya apabila hak-hak itu dilanggar; 2. Prinsip-prinsip dasar tentang demokrasi dan rule of law serta mekanisme perwujudan dan pelaksanaannya, sperti melalui pemilu dan lain-laian; 3. Format kelembagaan negara dan mekanisme hubungan antar organ negara serta sistem pertanggungjawabannya.30 a. Perubahan pertama UUD 1945 Perubahan pertama terhadap UUD 1945 lebih terfokus pada pengembalian tugas dan fungsi masing-masing lembaga negara khsusnya kekuasaan presiden dan, DPR dan MPR. Menurut Sri Soemantri, dalam amandemen UUD 1945 yang pertama dilakukan upaya untu mengurangi/mengendalikan kekuasaan presiden dan pengembalian kekuasaan legislatif kepada DPR.31 Ada beberapa pasal yang dirubah dalam amandemen pertama yaitu: Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal
29
Hal.144..
30
Ni’matul Huda, 2007, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
Jimly Asshiddiqie,2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Bhuana Ilmu popular, Jakarta, Hal. 115. 31 Titik Triwulan Tutik, 2008, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Cerdas Pustaka, Jakarta, Hal.194.
18
13 ayat (2) dan (3), Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, Pasal 21. b. Perubahan kedua UUD 1945 Perubahan kedua mencakup beberapa substansi yaitu: i. pemerintahan Daerah; ii. Wilayah Negara; iii. Warganegara dan penduduk; iv.HAM,; v. pertahanan dan keaamnan negara; vi. Bendera, bahasa, lambang negara dan lagu kebangsaan; vii. Lembaga DPR, khususnya tentang keanggotaan, fungsi, hak, maupun tentang cara pengisian,.32 Amandemen kedua ini lebih menekankan kepada ketentuan Hak Asasi Manusi yang diatur dalam bab dan pasal tersendiri. Pasal-pasal yang terkait dengan substansi tersebut adalah sebagai berikut :Pasal 18, Pasal 18 A, Pasal 18 B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20 A, Pasal 20 B, Pasal 25 E, Pasal 26 ayat (2) dan (3), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 A-J, Pasal 30, Pasal 36A, Pasal 36 Bdan C.
c. Perubahan ketiga UUD 1945 Perubahan yang ketiga lebih terkait kepada susunan ketatanegaraan yang sifatnya mendasar, seperti: pembentukan lembaga negara yang baru, pemegang kedaulatan rakyat, kedudukan MPR sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya, hubungan antar lembaga negara dan lain sebagainya. Pasal-pasal yang dirubah pun cukup banyak dan ada beberapa pasal yang di tambahkan kedala UUD 1945, pasal-pasal tersebut adalah :Pasal 1 ayat (2) dan (3); Pasal 3 ayat 1, 3, 4; Pasal 6 ayat (1) dan (2); Pasal 6A ayat (2), (3), (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1-7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1), (2); Pasal 11 (2), (3); Pasal 17 (4); Bab VIIA Pasal 22C ayat (1-4); Pasal 22D ayat (1-4); Pasal 22E ayat (1-6); Pasal 23 ayat (1-3); Pasal 23A; Pasal 23C; Bab VIIIA Pasal 23E ayat (1-3); Pasal
32
Ibid.
19
23F ayat (1) dan (2); Pasal23G ayat (1) dan (2); Pasal 24 ayat (1) dan (2); Pasal 24A ayat (1-5); Pasal 24B ayat (1-4); Pasal 24C ayat (1-6). d. Perubahan keempat UUD 1945 Substansi yang mencakup dalam perubahan yang keempat yaitu: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Keanggotaan MPR; Pemilihan presiden dan wakil presiden; Kemugkinan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap; Kewenangan presiden; Hal keuangan negara dan bank sentral; Pendidikan dan kebudayaan; Perekonomian nasional dan kesejahtraan sosial; Aturan tambahan dan aturan peralihan Kedudukan penjelasaan UUD 1945.33
Berdasarakan perubahan yang keempat terjadi perubahan pola hubungan antar lembaga negara yang tujuannya adalah menyeimbangkan antar lembaga negara agar tidak terlalu dominan terhadap lembaga negara yang lain. Yaitu fungsi pengawasaan yang dilekatkan kepada masing-masing lembaga negara sehingga ada kontrol antar lembaga negara yang ada. Pasal-pasal yang dirubah dan ditambah dalam amandemen keempat yaitu: Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Pasal 31 ayat (1-5); Pasal 32 ayat (1) dan (2); Pasal 33 ayat (4) dan (5); Pasal 34 ayat (1-4); Pasal 37 ayat (1-5); Aturan peralihan Pasal I, II, III; Aturan Tambahan Pasal I dan II. Secara keseluruhan mulai dari perubahan yang pertama samapai keempat dapat dibuatkan tabelnya sebagai berikut:
33
Ibid, Hal. 196.
20
Tabel 1 Perubahan I, II, III dan IV UUD 1945 Perubahan I Pasal 5 (1) Pasal 7 Pasal 9 Pasal 13 (2), (3) Pasal 14 Pasal 15 Pasal 17 (2) Pasal 17 (3) Pasal 20 Pasal 21
Perubahan II
Perubahan III
Pasal 18 Pasal 18A
Pasal 1 (2), (3) Pasal 3 (1), (3), (4) Pasal 18B Pasal 6 (1), (2) Pasal 19 Pasal 6A (2), (3), (5) Pasal 20 (5) Pasal 7A Pasal 20A Pasal 7B (1-7) Pasal 22A Pasal 7C Pasal 22B Pasal 8 (1), (2) Bab IXA Pasal Pasal 11 (2), (3) 25E Bab XA Pasal 26 Pasal 17 (4) (2), (3) Pasal 27 (3) Bab VIIA Pasal 22C (1-4) Bab XA Pasal Pasal 22D (1-4) 28A-J Bab XII Pasal 30 Pasal 22E (1-6)
Perubahan IV Pasal 2 (1) Pasal 6A (4) Pasal 8 (3) Pasal 23B Pasal 23D Pasal 24 (3) Pasal 31 (1-5) Pasal 32 (1), (2) Pasal 33 (4), (5) Pasal 34 (1-4) Pasal 37 (1-5) Aturan peralihan Pasal I, II, III Aturan Tambahan Pasal I dan II
Bab XV Pasal Pasal 23 (1-3) 36A Bab XV Pasal36B, Pasal 23A 36C Pasal 23C Bab VIIIA Pasal 23E (1-3) Pasal 23F (1), (2) Pasal23G (1), (2) Pasal 24 (1), (2) Pasal 24A (1-5) Pasal 24B (1-4) Pasal 24C (1-6)
Sumber : Budiman N.P.D Sinaga, Hukum Tata Negara, Tatanusa, 2009. Hal.8.
21
2.3 Sistem Pemerintahan Sistem pemerintahan adalah gabungan dua istilah yang terdiri dari ‘sistem’ dan ‘pemerintahan. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya.34 Hubungan-hubungan tersebut menimbulkan satu keterkaitan antara bagian-bagian yang ada agar suatu bagian tertentu dapat bekerja dengan baik dan apabila salah satu bagian itu tidak bekerja dengan baik atau hilang maka bagian yang lainnya tidak akan dapat bekerja dengan baik. Pendekatan sistem ini lebih melihat kepada prinsip-prinsip organisasi dasar dimana semua itu terintegrasi dan sifatnya tidak dapat direduksi menjadi yang lebih kecil lagi. Pemerintahan berasal dari kata pemerintah yang kata dasarnya adalah perintah. Dalam kamus bahasa Indonesia perintah adalah perbuatan yang bermaksud menyuruh melakakukan sesuatu, pemerintah adalah sistem menjalankan wewenang dan kekuasaan mengatur kehidupan sosial, ekonomi dan politik suatu negara atau bagian-bagiannya, sedangkan pemerintahan adalah proses, cara, perbuatan memerintah. Yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kekuasaan eksekutif, yudikatif dan legislatif. Sedangkan menurut C.F.Strong35, pemerintahan dalam arti luas mempunyai kewenangan untuk memelihara kedamaian dan keamanan negara. Untuk memelihara kedamaian dan keamanan bukan hanya
34
, Titik Triwulan Tutik, 2006, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Cerdas Pustaka, Jakarta, Hal. 97. 35 Inu Kencana Syafiie dan Andi Azikin, 2007, Perbandingan Pemerintahan, PT Refika Aditama, Jakarta, Hal. 8.
22
tugas eksekutif saja tetapi di dalamnya juga ada tugas legislatif sebagai pembuat undang-undang dan yudikatif. Sistem pemerintaha diartikan sebagai suatu tatanan utuh/terintegrasi yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan/lembaga-lembaga negara yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan. Lembaga-lembaga negara yang dimaksud adalah yudikatif, legislatif
dan
eksekutif
yang
saling
berhubungan
dalam
menjalankan
kekuasaannya masing-masing. Hubungan antara lembaga-lembaga negara yang dimaksud di atas melahirkan adanya
suatu
sistem
pemerintahan.
Sri
Soemantri36
memaknai
sistem
pemerintahan berkenaan dengan sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif, ada tidaknya hubungan antara eksekutif dengan legislatif akan melahirkan adanya sistem pemerintahan presidensil dan sistem pemerintahan parlementer. Sedangkan dalam kepustakaan dikenal ada tiga sistem pemerintahan yang utama, yaitu37: (1) sistem pemerintahan parlementer, (2) sistem pemerintahan presidensil, dan (3) sistem pemerintahan kolegial.38
2.3 Sistem Pemerintahan Negara
36
Titik Triwulan Tuti, Op. Cit., Hal. 175. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi ‘Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Hal. 25. 38 Arend Lijphart. 1995. Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensil. RajaGrafindo, Jakarta . Hal 9. 37
23
Sistem pemerintahan negara merupakan sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara. Sistem pemerintahan negara dibeberapa negara di dunia dimuat secara tegas dalam konstitusinya. Menurut Douglas V. Verney, pada dasarnya sistem pemerintahan negara dibagi menjadi dua model alternatif utama yang didasarkan pada hubungan badan eksekutif dan badan legislatifnya 39, yaitu : 1. sistem pemerintahan presidensial; 2. sistem pemerintahan parlementer. Negara-negara di dunia pada dasarnya menganut salah satu sistem pemerintahan tersebut. Tapi dalam prakteknya ada yang menggabungkan unsur-unsur sistem pemerintahan preidensil dengan sistem pemerintahan parlementer sehingga sistem pemerintahan yang dianut bukan sistem pemerintahan presidensil ataupun sistem pemerintahan parlementer. Sistem ini merupakan variasi dari sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensil yang dianggap memiliki kelemahan sehingga dicari bentuk baru yang sering disebut dengan sistem pemerintahan semi presidensil atau quasi presidensil.40 Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif. Dalam sistem pemerintahan presidensial, badan eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem pemerintahan parlementer. 39 40
Ibit, Hal. 3. Titik Triwulan Tuti, Op. Cit., Hal. 174 - 175.
24
Mereka dipilih oleh rakyat secara terpisah dalam Pemilihan Umum yang diselenggarakan untuk pergantian Presiden dan anggota parlemen dalam waktu tertentu sesuai dengan yang diatur dalam konstitusi yang dibuat dalam suatu undang-undang.41 Model sistem pemerintahan presidensil yang banyak dicontoh oleh negara-negara lain di dunia adalah model sistem pemerintahan presidensil yang diterapkan oleh Amerika serikat. Amerika Serikat menerapkan sistem pemerintahan presidensil dengan sistem dua partai sehingga yang memimpin menjadi presiden adalah pemenang pemilu yang mempunyai suara mayoritas di Parlemen. Di Amerika Serikat Presiden memiliki hak Veto terhadap undang-undang yang akan disahkan jika dianggap tidak mendukung kinerja pemerintahannya. Parlemen di Amerika serikat secara tegas menganut sistem dua kamar yang terdiri dari Senate dan house of representative.42 Selain sistem pemerintahan presidensil, sistem pemerintahan yang juga banyak diterapkan di beberapa negara di dunia adalah sistem pemerintahan parlementer. Model sistem pemerintahan parlementer yang dikenal di dunia adalah Inggris, dia disebut sebagai induk parlementaria (mother of parliament)43. Inggris pertama kali menciptakan suatu parlement yang workable, yaitu sebuah dewan perwakilan yang dipilih oleh rakyat dengan kekuasaan untuk memecahkan problem-problem sosial dan ekonomi melalui perdebatan yang bebas dan mengarah pada pembuat undang-undang. Inggris adalah negara yang berentuk negara kesatuan yang
41
Ibid, Hal 3-7. Miriam Budiardjo, Op.Cit, Hal. 321. 43 Erna Sari, “Beberapa Model Sistem Pemerintahan,” (Disampaikan dalam kuliah Perbandingan Hukum Tata Negara TA. 2009/2010 – Universitas Lampung 2009), Hal ___. 42
25
dipimpin oleh seorang Ratu dimana ratu hanya sebagai kepala negara yang merupakan symbol keagungan, kedaulatan, dan kesatuan nasional. Parlemen Inggris terdiri dari dua Kamar yaitu House of Commons dan House of Lords.44 Sedangkan sistem pemerintahan presidensil yang dijadikan contoh dan acuan bagi negara-negara di Dunia adalah sistem pemerintahan presidensil Amerika Serikat. Sistem pemerintahan presidensial seringkali dihubungkan dengan teori pemisahan kekuasaan yang populer pada abad ke-18 ketika UUD Amerika Serikat disusun. Douglas V. Verney mengemukakan sebelas ciri-ciri pemerintahan presidensial, sebagai berikut.45 a. Majelis tetap sebagai majelis saja. Teori parlementer menyatakan bahwa fase kedua dan perkembangan konstitusi, di mana majelis dan badan yudikatif menyatakan batas yurisdiksi masingmasing di samping eksekutif, memberi jalan ke arah fase ketiga di mana majelis dan pemerintahan dilebur ke dalam satu parlemen. Sedangkan teori presidensialis menuntut agar majelis tetap terpisah seperti dalam fase kedua. b. Eksekutif tidak dibagi, melainkan hanya ada seorang presiden yang dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu pada saat majelis dipilih. Penetapan eksekutif yang terpisah dimungkinkan karena eksekutif tidak terbagi sebagaimana yang terjadi dalam sistem parlementer. Presiden dipilih untuk masa jabatan yang pasti, hal ini mencegah majelis memaksa pengunduran dirinya, kecuali dengan tuduhan pelanggaran yang serius, dan sekaligus menuntut presiden untuk bersedia dipilih kembali melalui pemilihan umum jika ia ingin terus memegang jabatannya, namun sebaiknya masa jabatan presiden ini dibatasi pada beberapa kali masa jabatan. Hal yang juga penting adalah pemilihan presiden pada saat bersamaan dengan pemilihan majelis, mekanisme ini akan menghubungkan dua cabang pemerintahan, mendorong persatuan partai dan memperjelas berbagai masalah. c. Kepala pemerintahan adalah kepala negara. Jika dalam monarki praparlementer kepala negara juga merupakan kepala pemerintahan, maka dalam sistem presidensial kepala pemerintahan menjabat sebagai kepala negara. Ini merupakan satu perbedaan penting karena perbedaan ini menarik perhatian ke arah kedudukan yang terbatas dan keadaan di seputar 44
Miriam Budiardjo, Op.Cit, Hal 321-322. Arend Lijphart. Op.Cit, Hal. 43.
45
26
jabatan presiden. Presiden mempunyai sedikit konsekuensi hingga ia dipilih sebagai pemimpin politik oleh para pemilihnya dan ia tidak lagi memegang kekuasaan apapun setelah masa jabatannya berakhir. Aspek seremonial dari kedudukannya sebagai kepala Negara hanya mencerminkan prestise politiknya. d. Presiden mengangkat kepala departemen yang merupakan bawahannya. Perdana menteri dalam sistem pemerintahan parlementer mengangkat menterimenteri yang merupakan rekan-rekannya di parlemen untuk bersama-sama membentuk pemerintahan. Sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden mengangkat menteri-menteri untuk dijadikan kepala departemen eksekutif di bawahnya. Dalam aturan formal yang berlaku di Amerika Serikat dan Filipina, pengangkatan menteri oleh presiden harus mendapatkan persetujuan dari majelis atau salah satu organnya (di Amerika Serikat adalah Senat dan di Filipina adalah Komisi Pengangkatan), sehingga pemilihan oleh presiden terbatas pada orangorang yang disetujui oleh badan itu. Hal ini menghindarkan presiden untuk mengangkat orang-orang yang diragukan kapabilitas pribadinya. e. Presiden adalah eksekutif tunggal. Dalam sistem pemerintah presidensial, kekuasaan pemerintahan dipegang oleh satu orang, yakni presiden. Berbeda dengan sistem pemerintahan parlementer yang bersifat kolektif, perdana menteri berkedudukan setara dengan menterimenteri lainnya. f. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintah dan sebaliknya. Dalam konvensi atau aturan parlementer negara-negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer, kecuali Belanda dan Norwegia, seseorang dibolehkan untuk menduduki jabatan eksekutif dan legislative sekaligus. Dalam sistem pemerintahan presidensial, orang yang sama tidak boleh menduduki dua jabatan tersebut. g. Eksekutif bertanggung jawab kepada konstistusi. Sistem pemerintahan presidensial menuntut presiden untuk bertanggung jawab kepada konstistusi, bukan kepada majelis sebagaimana dalam sistem parlementer. Biasanya majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada konstitusi melalui proses dakwaan berat atau mosi tidak percaya,namun hal ini tidak berarti ia bertanggung jawab kepada majelis seperti dalam pengertian parlementer. Dakwaan ini menuntut kepatuhan hukum dan sangat berbeda dengan pelaksanaan kontrol politik atas tindakan presiden. h. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa majelis. Majelis dalam sistem presidensial tidak dapat memberhentikan presiden, begitu pula sebaliknya presiden tidak dapat membubarkan majelis dan oleh karena itu mereka juga tidak dapat saling memaksa. Hal ini, menurut pendukung sistem presidensial, merupakan keadaan yang mendukung mekanisme check and balance agar berjalan secara optimal.
27
i. Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian pemerintahan lain dan tidak ada peleburan bagian eksekutif dan legislatif seperti dalam sebuah parlementer. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, dalam sistem presidensial terlihat seperti ada kecenderungan tidak adanya lembaga yang dominan atas lembaga lain, karena presiden dan majelis sama-sama independen. Namun dalam praktek ada hal-hal yang justru memperlihatkan bahwa majelis berkedudukan lebih tinggi dari lembaga-lembaga lain termasuk lembaga yudikatif. Salah satu contohnya adalah bahwa majelis dengan dasar UUD dapat menjatuhkan hukuman kepada presiden dalam proses dakwaan berat. Contoh lainnya adalah kekuasaan mejelis untuk mengubah UUD menempatkan majelis sebagai lembaga yang dapat berbuat apa saja dalam mengatur kekuasaan lembagalembaga lain dalam negara. Dalam sistem parlementer, konstitusi harus diubah dengan persetujuan pemerintah dan parlemen, sedangkan dalam sistem presidensial majelis dapat merubah UUD tanpa persetujuan presiden. j. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada para pemilih. Dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden dipilih oleh rakyat, baik secara langsung atau melalui badan pemilihan, sedangkan perdana menteri dalam sistem parlementer dipilih oleh badan legislatif. Konsekuensi dari sistem ini adalah presiden akan merasa lebih kuat kedudukannya dari pada para wakil rakyat, karena ia dipilih oleh seluruh rakyat sedangkan para wakil rakyat dipilih oleh sebagian rakyat. Di beberapa negara Amerika Latin dan Perancis di masa de Gaulle, presiden dapat melangkah lebih jauh dari batas kekuasaannya dengan menggunakan alasan ini. k. Tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik. Apabila dalam sistem parlementer kegiatan politik bertumpu pada parlemen, maka dalam sistem presidensial tidak ada lembaga yang menjadi konsentrasi kekuasaan, karena pada kenyataannya kekuasaan menjadi terbagi dan masingmasing lembaga memiliki kewenangan yang dikontrol oleh lembaga lainnya.
Menurut Jimly Assiddiqie ada lima prinsip dalam sistem pemerintahan presidensil, yaitu46: a. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan eksekutif negara yang tertinggi di bawah UUD. Dalam sistem ini tidak dikenal dan tidak perlu dibedakan adanya kepala negara dan kepala pemerintahan. Keduanya adalah Presiden dan Wakil Presiden. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggungjawab politik berada ditangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President). 46
Jimly Assiddiqie, 2003, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan keempat UUD 1945,” (Makalah disampaikan pada SEMINAR PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL VIII TEMA PENEGAKAN HUKUM DALAM ERA PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN, Denpasar, 14-18 Juli 2003).hal 7-10
28
b. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan karena itu secara politik tidak bertanggungjawab kepada MPR atau lembaga parlemen, melainkan bertanggungjawab langsung kepada rakyat yang memilihnya. c. Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum konstitusi. Dalam hal demikian, Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dituntut pertanggungjawaban oleh DPR untuk disidangkan dalam MPR, yaitu sidang gabungan antara DPR dan DPD. Namun, sebelum diberhentikan, tuntutan pemberhentian Presidendan/atau Wakil Presiden yang didasarkan atas tuduhan pelanggaran atau kesalahan, terlebih dulu harus dibuktikan secara hukum melalui proses peradilan di Mahkamah Konstitusi. Jika tuduhan bersalah itu dapat dibuktikan secara hukum oleh Mahkamah Konstitusi, barulah atas dasar itu, MPR bersidang dan secara resmi mengambil putusan pemberhentian. d. Para Menteri adalah pembantu Presiden, Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan karena bertanggung-jawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Kedudukannya tidak tergantung kepada parlemen. Disamping itu, para Menteri itulah yang pada hakikatnya merupakan para pemimpin pemerintahan dalam bidang masing-masing. Karena itu, kedudukannya sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan; e. Untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukannya dalam sistem presidentil sangat kuat sesuai dengan kebutuhan untuk menjamin stabilitas peerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan. Di samping itu, beberapa badan atau lembaga negara dalam lingkungan cabang kekuasaan eksekutif ditentukan pula independensinya dalam menjalankan tugas utamanya. Lembaga-lembaga eksekutif yang dimaksud adalah Bank Indonesia sebagai bank sentral, Kepolisian Negara dan Kejaksaan Agung sebagai aparatur penegakan hukum, dan Tentara Nasional Indonesia sebagai aparatur pertahanan negara. Meskipun keempat lembaga tersebut berada dalam ranah eksekutif, tetapi dalam menjalankan tugas utamanya tidak boleh dipengaruhi oleh kepentingan politik pribadi Presiden. Untuk menjamin hal itu, maka pengangkatan dan pemberhentian Gubernur dan Wakil Gubernur Bank Indonesia, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung, dan Panglima Tentara Nasional Indonesia hanya dapat dilakukan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Pemberhentian para pejabat tinggi pemerintahan tersebut tanpa didahului dengan persetujuan DPR hanya dapat dilakukan oleh Presiden apabila yang bersangkutan terbukti bersalah dan karena itu dihukum berdasarkan vonis pengadilan yang bersifat tetap karena melakukan tindak pidana menurut tata cara yang diatur dengan UndangUndang.
29
Kelima prinsip di atas dilihat dari sistem pemerintahan yang selama ini diterapkan di Indonesia dan ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidensil yang terkandung di dalam UUD 1945. Di era Reformasi terjadi pergeseran dari eksekutif ke Legislatif dan banyak tumpang tindih kekuasaan lembaga-lembaga negara, sehingga ada lembaga yang dihilangkan dan ada lembaga-lembaga baru yang dibentuk. Dengan melihat sejarah sistem pemerintahan Indonesia yang dulunya banyak kelemahan, UUD 1945 pun di amandemen dan setelah diamandemen kekuasaan presiden pun dipertegas kembali dengan batas kekuasaan yang telah ditetapkan oleh UUD 1945. Inggris sebagai mother of parliament yang menjadi model acuan untuk sistem pemerintahan parlementer di dunia memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan sistem pemerintahan presidensil di Amerika Serikat. Menurut Douglas V. Verney ada sebelas ciri-ciri utama pemerintahan parlementer seperti sistem parlementer yang dianut oleh Inggris , yaitu :47 a. Majelis menjadi parlemen. Dalam teori sistem pemerintahan, terdapat tiga fase kekuasaan pemerintahan, meskipun peralihan dari fase satu ke fase yang lain tidak selalu tampak jelas. Pada awalnya, pemerintahan dipimpin oleh seorang raja yang bertanggung jawab atas seluruh sistem politik atau sistem kenegaraan. Kemudian muncul sebuah majelis dengan anggota yang menentang hegemoni raja. Terakhir, majelis mengambil alih tanggung jawab atas pemerintahan dengan bertindak sebagai parlemen sehingga raja kehilangan sebagian besar kekuasaan tradisionalnya. b. Eksekutif dibagi ke dalam dua bagian. Salah satu konsekuensi penting dari perubahan majelis ke dalam parlemen adalah bahwa sekarang eksekutif menjadi terbagi dua, perdana menteri atau kanselir menjadi kepala pemerintahan dan raja atau presiden yang bertindak sebagai kepala negara. Biasanya raja menduduki tahta karena keturunan (meskipun ada raja yang dipilih, misalnya di Malaysia), sedangkan presiden dipilih oleh parlemen. 47
Arend Lijphart. Op.Cit, Hal. 36.
30
c. Kepala Negara mengangkat Kepala Pemerintahan Dalam sistem parlementer yang membagi eksekutif menjadi dua bagian (kepala negara dan kepala pemerintahan), kepala pemerintahan diangkat oleh kepala negara. Jika para pemilih melakukan tugas ini, secara langsung atau melalui lembaga pemilihan seperti di Amerika Serikat atau I Finlandia, maka sistem ini akan menjadi sistem presidensial. d. Kepala pemerintahan mengangkat menteri Salah satu ciri yang menarik dari parlementerisme adalah perbedaan antara perdana menteri dan para menteri lain. Perdana Menteri diangkat oleh kepala negara, sedangkan para menteri dipilih oleh Perdana Menteri setelah ia diangkat. e. Kementerian (pemerintah) adalah badan kolektif Peralihan dari pemerintahan monarki ke dewan menteri mengandung arti bahwa seseorang (seorang penguasa) digantikan oleh sebuah badan kolektif. Di bawah rejim lama, kekuasaan ini dipegang oleh raja (le roi le veult), di bawah parlementarisme, perdana menteri merupakan orang pertama di antara pemegang jabatan yang setara (primus inter pares), meskipun beberapa perdana menteri lebih berkuasa dari perdana menteri lain. f. Menteri biasanya merupakan anggota parlemen Para anggota pemerintahan memainkan peranan ganda dalam sistem parlementer. Mereka tidak saja menjadi menteri tetapi juga menjadi anggota parlemen, yang dipilih (kecuali anggota Majelis Tinggi Inggris) seperti para anggota majelis dan juga bergantung pada kehendak pemilih mereka. Karena parlemen terdiri dari pemerintah dan majelis, maka seorang anggota pemerintahan adalah anggota parlemen secara ipso facto, tetapi ia tidak dapat menjadi anggota majelis. Di negara-negara dengan sistem parlementer penuh, seperti di Inggris di mana para menteri adalah anggota parlemen, tampak sulit untuk membedakan antara pemerintah, parlemen, dan majelis dengan jelas. g. Pemerintah bertanggung jawab secara politik kepada majelis Dalam sistem parlementer, pemerintah bertanggung jawab kepada majelis yang mungkin menolak memberikan dukungan jika majelis berpendapat bahwa pemerintah bertindak tidak bijaksana atau bertindak bukan atas dasar konstitusi. Melalui mosi tak percaya atau dengan menolak usulan penting dari pemerintah, majelis dapat memaksa pemerintah untuk mengundurkan diri dan mendorong kepala negara untuk menentukan pemerintahan yang baru. h. Kepala pemerintahan dapat memberikan pendapat kepada kepala Negara untuk membubarkan parlemen. Dalam monarki pra-parlementer di Eropa, jika tidak puas dengan majelisnya, raja dapat membubarkan salah satu atau kedua badan legislatif dalam maksud untuk mengamankan pemilihan para wakil yang lebih bertanggung jawab setelah pemilihan baru. Saat inipun, di mana pemerintahan dibagi dua, kepala
31
negara tetap membubarkan parlemen, tetapi ia melakukannya hanya atas permintaan kepala pemerintahan. i. Parlemen sebagai suatu kesatuan memiliki supremasi atas kedudukan yang lebih tinggi dari bagian-bagiannya pemerintah dan Majelis, tetapi mereka tidak saling menguasai. Konsep supremasi parlemen sebagai suatu kesatuan atas bagian-bagiannya merupakan satu ciri khas dari sistem parlementer. Pemerintah bergantung pada dukungan majelis jika pemerintahan ingin terus berkuasa, tetapi majelis tidak memiliki supremasi karena pemerintah dapat membubarkan parlemen dan mengadakan pemilihan umum. Banyak sistem parlementer gagal karena satu atau beberapa unsurnya menyatakan supremasi, dan parlemen sebagai suatu kesatuan tidak berkuasa atas pemerintah dan majelis. Pada prakteknya, sifat supremasi parlemen ini berbeda-beda dari satu negara ke negara lain. Di Inggris dan Skandinavia, tekanan diberikan pada peranan pemerintah di parlemen, dan di Britania sistem ini disebut “pemerintahan kabinet”. Di negara-negara lain, terutama di Republik Ketiga dan Keempat Perancis, peranan dominan di parlemen telah dimainkan oleh majelis. j. Pemerintah sebagai suatu kesatuan hanya bertanggung jawab secara tak langsung kepada para pemilih. Meskipun bertanggung jawab langsung kepada majelis, pemerintah parlementer hanya bertanggung jawab secara tak langsung kepada pemilih. Pemerintah secara keseluruhan tidak dipilih secara langsung oleh para pemilih tetapi diangkat secara tak langsung dari para anggota majelis. Di masa lalu hubungan langsung antara raja dan rakyat di mana individuindividu boleh mengajukan petisi kepada raja mereka telah hilang ketika parlementarisme diperkenalkan. Memang benar bahwa para anggota pemerintahan, seperti juga anggota parlemen lainnya, harus mewakili para pemilih. Namun mereka bukan merupakan anggota pemerintahan kecuali sebagai calon anggota majelis. Tanggung jawab untuk menjadikan mereka (setelah dipilih) sebagai menteri terletak di tangan perdana menteri saja (dan tentunya di tangan raja). k. Parlemen adalah fokus kekuasaan dalam sistem politik. Penyatuan kekuasaan eksekutif dan legislatif di parlemen menyebabkan penumpukan kekuasaan parlemen dalam tatanan politik. Verney mengibaratkannya sebagai drama. Di panggung parlemen ini drama politik dipentaskan; parlemen merupakan forum untuk mengajukan berbagai gagasan bangsa dan merupakan sekolah tempat para calon pemimpin politik dididik. Agar parlementarisme berhasil, maka pemerintah tidak boleh banyak omong terhadap penolakan parlemen atas programnya, atau bergerenyit atas kritik yang dilontarkan kepada penyelenggara pemerintahannya. Kemudian majelis harus menahan diri untuk tidak menjalankan fungsi pemerintah. Di sini terdapat keseimbangan kekuasaan tanpa mencari keuntungan bagi setiap institusi.
32
Sistem pemerintahan Presidensil dan sistem Pemerintahan dalam penerapannya ternyata memiliki kelemahan dan kekurangan sehingga beberapa negara di dunia mengelaborasikan antara sistem pemerintahan presidensi dengan sistem pemerintahan parlementer untuk meminimalkan kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing sistem pemerintahan tersebut. Sistem pemerintahan ini disebut sistem pemerintahan semi presidensil atau quasi parlementer
48
.
Dikatakan semi atau quasi karena sistem ini bukan sistem pemerintahan presidensil atau pun sistem pemerintahan parlementer seutuhnya tetapi gabungan antara dua sistem tersebut. Masing-masing negara mengembangkan sistem campuran sesuai dengan kesesuaian dengan negara masing-masing. Pengembangan sistem yang dipakai di suatu negara belum tentu bias dipraktekkan di negara lain. Namun dalam prakteknya masing-masing negara yang menggunaka sistem campuran ini akan menonjolkan salah satu sistem antara sistem presidensilnya atau parlementer. Melihat struktur kelembagaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 ada lima cabang kekuasaan. Lima kekuasaan yang dimaksud antara lain :49 kekuasaan Eksaminatif (Inspektif), Kekuasaan Legislatif, kekuasaan Konsultatif (DPA), Kekuasaan Pemerintah dan Kekuasaan Yudikatif (Kehakiman). Lima kekuasaan tersebut terlembaga dalam beberapa lembaga Negara yang tingkat dan kedudukannya diatur menurut Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
48 49
Ibid. hal 175 Kansi, C.S.T, Christine S.T. Kansil. Op.cit. hal 57.
33
Hubungan antar Lembaga Negara tersebut adalah ada yang secara Vertikal dan Hrizontal. Secara Vertikal hubungan MPR - Lembaga Tertinggi Negara sebagai pemegang Kedaulatan Rakyat - dengan Lembaga Tinggi Negara sedangkan secara Horizontal adalah hubungan antar Lembaga Tinggi Negara yang lainnya dibawah MPR. Lembaga-lembaga Tinggi Negara tersebut antara lain: (1) Presiden/Wakil Presiden, (2) Dewan Pertimbangan Agung disingkat DPA, (3) Dewan Perwakilan Rakyat disngkat DPR, (4) Badan Pemeriksa Keuangan disingkat BPK, dan (5) Mahkamah Agung disingkat MA. Hubungan tata kerja anatar lembaga-lembaga tinggi negara diatur sebagai berikut:50 1. Presiden ialah penyelenggara kekuasaan pemerintahan Negara tertinggi di bawah Majelis, yang didalamnya melakukan kewajiban dibantu oleh Wakil Presiden. 2. Hubungan kerja antara Presiden dan Wakil Presiden diatur dan ditentukan oleh Presiden dibantu oleh Wakil Presiden. 3. Presiden bersama-sama DPR membentuk undang-undang termasuk menetapkan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. 4. Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, memuat perdamaian dan perjanjian dengan Negara lain. 5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. 6. Presiden tidak dapat membubarkan Parlemen. 7. Presiden harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
50
Ibid.