14
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pembahasan dalam bab ini akan difokuskan pada beberapa subbab yang berupa belajar dan pembelajaran, teori belajar konstruktivisme, kaitan teori belajar konstruktivisme dengan kemampuan berpikir kritis menggunakan model pembelajaran portofolio, kemampuan berpikir kritis siswa, model pembelajaran portofolio, pendidikan kewarganegaraan, dan IPS kaitan dengan PKn. Untuk lebih jelasnya pembahasan tiap subbab akan diuraikan sebagai berikut.
2.1 Belajar dan Pembelajaran 2.1.1
Belajar
Belajar merupakan suatu kegiatan yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap orang, baik disadari maupun tidak disadari selalu melaksanakan aktivitas belajar. Kegiatan harian yang dimulai dari bangun tidur sampai dengan tidur kembali akan selalu diwarnai oleh aktivitas belajar. Dengan belajar, manusia dapat mengembangkan potensi-potensi yang dibawanya sejak lahir. Aktualisasi potensi ini sangat berguna bagi manusia untuk dapat menyesuaikan diri demi pemenuhan kebutuhannya.
Menurut R. Gagne (1989) dalam Susanto (2013: 1) belajar dapat didefinisikan sebagai suatu proses dimana suatu organisme berubah perilakunya sebagai akibat
15 pengalaman. Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dua konsep ini menjadi terpadu dalam satu kegiatan dimana terjadi interaksi antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa pada saat pembelajaran berlangsung.
Bagi Gagne, belajar dimaknai sebagai suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, keterampilan, kebiasaan, dan tingkah laku. Selain itu, Gagne juga menekankan bahwa belajar sebagai suatu upaya memperoleh pengetahuan atau keterampilan melalui instruksi. Instruksi yang dimaksud adalah perintah atau arahan dan bimbingan dari seorang pendidik atau guru. Selanjutnya, Gagne dalam teorinya yang disebut The domains of learning, menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat dibagi menjadi lima kategori sebagai berikut ini. 1.
Keterampilan motoris (motor skill): keterampilan yang diperlihatkan dari berbagai gerakan badan, misalnya menulis, menendang bola, bertepuk tangan, berlari, dan loncat.
2.
Informasi verbal: informasi ini sangat dipengaruhi oleh kemampuan otak atau inteligensi seseorang, misalnya seseorang dapat memahami sesuatu dengan berbicara, menulis, menggambar, dan sebagainya yang berupa simbol yang tampak (verbal).
3.
Kemampuan intelektual: selain menggunakan simbol verbal, manusia juga mampu melakukan interaksi dengan dunia luar melalui kemampuan intelektualnya, misalnya mampu membedakan warna, bentuk, dan ukuran.
4.
Strategi kognitif: Gagne menyebutnya sebagai organisasi keterampilan internal (internal organized skill) yang sangat diperlukan untuk belajar
16 mengingat dan berpikir. Kemampuan kognitif ini lebih ditujukan ke dunia luar, dan tidak dapat dipelajari dengan sekali saja memerlukan perbaikan dan latihan terus-menerus yang serius. 5.
Sikap (attitude), sikap merupakan faktor penting dalam belajar karena tanpa kemampuan ini belajar tak akan berhasil dengan baik. Sikap seseorang dalam belajar akan sangat memengaruhi hasil yang diperoleh dari belajar tersebut. Sikap akan sangat tergantung pada pendirian, kepribadian, dan keyakinannya, tidak dapat dipelajari atau dipaksakan, tetapi perlu kesadaran diri yang penuh.
Adapun menurut Burton (1993: 4) dalam Susanto (2013: 3) belajar dapat diartikan sebagai perubahan tingkah laku pada diri individu berkat adanya interaksi antara individu dengan individu lain dan individu dengan lingkungannya sehingga mereka lebih mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Sementara menurut E.R. Hilgard (1962), belajar adalah suatu perubahan kegiatan reaksi terhadap lingkungan. Perubahan kegiatan yang dimaksud mencakup pengetahuan, kecakapan, tingkah laku, dan ini diperoleh melalui latihan (pengalaman). Hilgard menegaskan bahwa belajar merupakan proses mencari ilmu yang terjadi dalam diri seseorang melalui latihan, pembiasaan, pengalaman dan sebagainya.
Kingsley membagi hasil belajar menjadi tiga macam, meliputi: (1) keterampilan dan kebiasaan; (2) pengetahuan dan pengertian; dan (3) sikap dan cita-cita. Sedangkan Djamarah dan Zain (2002: 120) menetapkan bahwa hasil belajar telah tercapai apabila telah terpenuhi dua indikator sebagai berikut. 1.
Daya serap terhadap bahan pengajaran yang diajarkan mencapai prestasi tinggi, baik secara individual maupun kelompok.
2.
17 Perilaku yang digariskan dalam tujuan pengajaran/instruksional khusus telah dicapai oleh siswa baik secara individu maupun kelompok.
Hamalik (2003) dalam Susanto (2013: 3) menjelaskan bahwa belajar adalah memodifikasi atau memperteguh perilaku melalui pengalaman (learning is defined as the modificator or strengthening of behavior through experiencing). Menurut pengertian ini, belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan dan bukan merupakan suatu hasil atau tujuan. Dengan demikian, belajar itu bukan sekadar mengingat atau menghapal saja, namun lebih luas dari itu merupakan mengalami. Hamalik juga menegaskan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu atau seseorang melalui interaksi dengan lingkungannya. Perubahan tingkah laku ini mencakup perubahan dalam kebiasaan (habit), sikap (afektif), dan keterampilan (psikomotorik). Perubahan tingkah laku dalam kegiatan belajar disebabkan oleh pengalaman atau latihan.
Adapun pengertian belajar menurut Winkel (2002) dalam Susanto (2013: 4) adalah suatu aktivitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif antara seseorang dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap yang bersifat relatif konstan dan berbekas. Perubahan ini terjadi dari tidak tahu menjadi tahu dan mampu menggunakannya dalam materi lanjut atau dalam kehidupan sehari-hari.
Definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa belajar adalah segenap rangkaian kegiatan atau aktivitas yang dilakukan secara sadar oleh seseorang dan mengakibatkan perubahan dalam dirinya berupa penambahan pengetahuan atau kemahiran berdasarkan alat indera dan pengalamannya. Oleh sebab itu apabila
18 setelah belajar peserta didik tidak ada perubahan tingkah laku yang positif dalam arti tidak memiliki kecakapan baru serta wawasan pengetahuannya tidak bertambah maka dapat dikatakan bahwa belajarnya belum sempurna.
2.1.2
Pembelajaran
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik. Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku dimanapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda.
Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik. Pembelajaran yang diidentikkan dengan kata “mengajar” berasal dari kata dasar “ajar” yang berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut) ditambah dengan awalan “pe” dan akhiran “an” menjadi “pembelajaran”,
19 yang berarti proses, perbuatan, cara mengajar atau mengajarkan sehingga anak didik mau belajar (KBBI).
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik. Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta didik agar dapat belajar dengan baik.
Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku dimanapun dan kapanpun. Pembelajaran mempunyai pengertian yang mirip dengan pengajaran, walaupun mempunyai konotasi yang berbeda. Dalam konteks pendidikan, guru mengajar supaya peserta didik dapat belajar dan menguasai isi pelajaran hingga mencapai sesuatu objektif yang ditentukan (aspek kognitif ), juga dapat mempengaruhi perubahan sikap (aspek afektif), serta keterampilan (aspek psikomotor) seseorang peserta didik. Pengajaran memberi kesan hanya sebagai pekerjaan satu pihak, yaitu pekerjaan guru saja. Sedangkan pembelajaran juga menyiratkan adanya interaksi antara guru dengan peserta didik.
Menurut Lefrancois (1988: 370) dalam Yamin (2011: 70) pembelajaran (instruction) merupakan persiapan kejadian-kejadian eksternal dalam suatu situasi belajar dalam rangka memudahkan pelajar belajar, menyimpan (kekuatan mengingat informasi), atau mentransfer pengetahuan dan keterampilan.
20 Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar (UU No.20/2003, Bab I Pasal Ayat 20).
Pendapat lain menurut Miarso (2004: 545) dalam Yamin (2011: 70) pembelajaran adalah suatu usaha yang disengaja, bertujuan dan terkendali agar orang lain belajar atau terjadi perubahan yang relatif menetap pada diri orang lain. Usaha tersebut dapat dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kemampuan atau kompetensi dalam merancang dan atau mengembangkan sumber belajar yang diperlukan. Dapat pula dikatakan bahwa pembelajaran adalah usaha yang dilakukan oleh pendidik atau orang dewasa lainnya untuk membuat pelajar dapat belajar dan mencapai hasil belajar yang maksimal.
Kesimpulannya, bahwa pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha. Dengan demikian dapat diketahui bahwa kegiatan pembelajaran merupakan kegiatan yang melibatkan beberapa komponen, sebagai berikut. 1.
Siswa, seorang yang bertindak sebagai pencari, penerima, dan penyimpan isi pelajaran yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
2.
Guru, seseorang yang bertindak sebagai pengelola, katalisator, dan peran lainnya yang memungkinkan berlangsungnya kegiatan belajar mengajar yang efektif.
3.
21 Tujuan, pernyataan tentang perubahan perilaku (kognitif, psikomotorik, afektif) yang diinginkan terjadi pada siswa setelah mengikuti kegiatan pembelajaran.
4.
Materi pelajaran, Segala informasi berupa fakta, prinsip, dan konsep yang diperlukan untuk mencapai tujuan.
5.
Metode, cara yang teratur untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk mendapat informasi yang dibutuhkan mereka untuk mencapai tujuan.
6.
Media, bahan pengajaran dengan atau tanpa peralatan yang digunakan untuk menyajikan informasi kepada siswa.
7.
Evaluasi, cara tertentu yang digunakan untuk menilai suatu proses dan hasilnya.
2.1.3
Ciri - ciri Pembelajaran
Berikut ini ada lima ciri-ciri pembelajaran yang efektif, seperti dibawah ini. 1.
Siswa menjadi pengkaji yang aktif terhadap lingkungannya melalui mengobservasi, membandingkan, menemukan kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan serta membentuk konsep dan generalisasi berdasarkan kesamaan-kesamaan yang ditemukan.
2.
Guru menyediakan materi sebagai fokus berpikir dan berinteraksi dalam pelajaran, aktivitas-aktivitas siswa sepenuhnya didasarkan pada pengkajian.
3.
Guru secara aktif terlibat dalam pemberian arahan dan tuntunan kepada siswa dalam menganalisis informasi.
4.
Orientasi pembelajaran penguasaan isi pelajaran dan pengembangan keterampilan berpikir; serta
5.
22 Guru menggunakan teknik mengajar yang bervariasi sesuai dengan tujuan dan gaya mengajar guru (Kauchak, 1998).
2.2 Teori Belajar Konstruktivisme
Teori belajar konstruktivistik merupakan teori belajar yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botolbotol kecil yang siap diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Adapun perkembangan kognitif itu dipengaruhi oleh tiga dasar, yaitu asimilasi, akomodasi, dan ekuilibrasi. Asimilasi adalah perpaduan data baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki. Akomodasi adalah penyesuaian struktur kognitif terhadap situasi baru, dan ekuilibrasi adalah penyesuaian kembali yang secara terus menerus dilakukan antara asimilasi dan akomodasi.
23 Jadi teori ini menegaskan bahwa pengetahuan itu mutlak diperoleh dari konstruksi/pembentukan pemahaman dalam diri seseorang terhadap bahan yang mereka pelajari dan juga melalui pengalaman yang diterima oleh pancaindra.
2.2.1 Tokoh-tokoh Aliran Konstruktivisme
Teori ini berkembang dari beberapa teori psikologi kognitif seperti teori Piaget, dan teori Brunner. Berikut ini penjelasan dari teori-teori tersebut.
1.
Teori Piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif sebagian besar bergantung pada seberapa besar anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip Piaget dalam pengajaran diterapkan dalam program-program yang menekankan; pertama, pembelajaran melalui penemuan dan pengalamanpengalaman nyata dan pemanipulasian langsung alat, bahan, atau media belajar yang lain. Kedua, peranan guru sebagai seseorang yang mempersiapkan lingkungan yang memungkinkan siswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar yang luas.
Perkembangan kognitif bukan merupakan akumulasi dari kepingan informasi yang terpisah, namun lebih merupakan pengkonstruksian oleh siswa suatu kerangka mental untuk memahami lingkungan mereka. Guru seharusnya menyediakan diri sebagai model dengan cara memecahkan masalah tersebut dan membicarakan hubungan antara tindakan dan hasil. Guru seharusnya hadir sebagai nara sumber, dan seharusnya bukan menjadi penguasa kelas yang memaksakan jawaban yang benar. Siswa harus bebas membangun pemahaman
24 mereka sendiri. Pendidik juga harus belajar dari siswa. Mengamati siswa selama aktivitas meraka dan mendengarkan secara seksama pertanyaan mereka yang banyak mengungkapkan minat dan tingkat belajar mereka. Solusi siswa terhadap masalah dan pertanyaan mereka mencerminkan pandangan mereka.
2.
Teori Brunner
Belajar penemuan (discovery learning) dari Jerome Brunner adalah model pengajaran yang dikembangkan berdasarkan kepada pandangan kognitif tentang pembelajaran dan konstruktivisme. Siswa belajar melalui keterlibatan aktif dengan konsep-konsep
dan
prinsip-prinsip,
dan
guru
mendorong
siswa
untuk
mendapatkan pengalaman dengan melakukan kegiatan yang memungkinkan mereka menemukan konsep dan prinsip untuk diri mereka sendiri.
Pada pengembangan model pengajaran kurikulum berbasis kompetensi, teori konstruktivisme ini banyak memberikan sumbangan terhadap pengembangan model pembelajaran kooperative dan model pembelajaran berdasarkan masalah.
2.2.2 Aplikasi Teori Belajar Konstruktivisme
Adapun unsur penting yang harus diperhatikan dalam lingkungan pembelajaran konstruktivis, seperti berikut ini.
1.
Memperhatikan dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa
Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan. Siswa didorong untuk mengkonstruksi pengetahuan baru dengan memanfaatkan pengetahuan awal yang telah dimilikinya. Oleh karena itu
25 pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan awal siswa dan memanfaatkan teknik-teknik untuk mendorong agar terjadi perubahan konsepsi pada diri siswa.
2.
Pengalaman belajar yang autentik dan bermakna
Segala kegiatan yang dilakukan di dalam pembelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga bermakna bagi siswa. Oleh karena itu minat, sikap, dan kebutuhan belajar siswa benar-benar dijadikan bahan pertimbangan dalam merancang dan melakukan pembelajaran. Hal ini dapat terlihat dari usaha-usaha untuk mengaitkan pelajaran dengan kehidupan sehari-hari, penggunaan sumber daya dari kehidupan sehari-hari, dan juga penerapan konsep.
3.
Adanya lingkungan sosial yang kondusif
Siswa diberi kesempatan untuk bisa berinteraksi secara produktif dengan sesama siswa maupun dengan guru. Selain itu juga ada kesempatan bagi siswa untuk bekerja dalam berbagai konteks sosial.
4.
Adanya dorongan agar siswa bisa mandiri
Siswa didorong untuk bisa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya. Oleh karena itu siswa dilatih dan diberi kesempatan untuk melakukan refleksi dan mengatur kegiatan belajarnya.
5.
Adanya usaha untuk mengenalkan siswa tentang dunia ilmiah
Sains bukan hanya produk (fakta, konsep, prinsip, teori), namun juga mencakup proses dan sikap. Oleh karena itu pembelajaran sains juga harus bisa melatih dan
memperkenalkan
siswa
tentang
“kehidupan”
ilmuwan.
26 Pembelajaran
kontruktuvisme merupakan pembelajaran yang cukup baik dimana siswa dalam pembelajaran terjun langsung tidak hanya menerima pelajaran yang pasti seperti pembelajaran behavioristik. Misalnya saja pada pelajaran PKn, tentang tolong menolong dan siswa ditugaskan untuk terjun langsung dan terlibat mengamati suatu lingkungan bagaimana sikap tolong menolong terbangun. Dan setelah itu guru memberi pengarahan yang lebih lanjut. Hal tersebut membuat siswa lebih mamahami makna ketimbang konsep.
2.2.3 Kelebihan dan Kekurangan Teori Konstruktivistik
Adapun kelebihan dan kekurangan dalam teori konstruktivistik dijabarkan sebagai berikut ini.
1.
Kelebihan Teori Belajar Konstruktivistik
Pemecahan masalah dan penemuan memberikan pengetahuan yang dapat bertahan lama, mudah diingat. Dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir. Memberikan motivasi siswa untuk belajar secara terus menerus sampai pertanyaan mereka terjawab.
2.
Kekurangan Teori Belajar Konstruktivistik
Membutuhkan pemahaman guru yang konvensional yang menekankan belajar untuk mendapatkan jawaban yang benar, sehingga menghilangkan kreativitas siswa dalam mengungkapkan pendapatnya. Sulit membangun kesadaran
27 pemahaman siswa untuk belajar. Belajar memecahkan masalah dan penemuan memerlukan waktu sehingga akan mengganggu struktur pembelajaran bidang lain.
Berbagai macam teori belajar telah dikemukakan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa teori belajar konstruktivisme yang paling cocok dengan kemampuan berpikir kritis siswa karena siswa dapat bebas dalam menggali pengetahuan serta dapat mengkonstruksi pengalaman mereka sendiri. Dalam proses belajarnya pun, memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga siswa menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
2.3 Kaitan Teori Belajar Konstruktivisme Dengan Kemampuan Berpikir Kritis Menggunakan Model Portofolio
Alasan peneliti menggunakan teori belajar konstruktivisme dengan kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam model pembelajaran portofolio karena dalam teori ini peserta didik dapat mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri, untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga peserta didik menjadi lebih kreatif dan imajinatif serta dapat menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Teori konstruktivisme juga menekankan peserta didik untuk membentuk dan membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya serta menggali pengetahuan peserta didik untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mereka yang telah diupayakan pendidik dengan berbagai pendekatan seperti: media surat kabar, internet, dan wawancara dengan pejabat terkait.
28 2.4 Kemampuan Berpikir Kritis Siswa 2.4.1 Berpikir Kritis
Berpikir tidak terlepas dari aktivitas manusia karena berpikir merupakan ciri yang membedakan antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Berpikir pada umumnya didefinisikan sebagai proses mental yang dapat menghasilkan pengetahuan. Keterampilan berpikir dikelompokkan menjadi keterampilan berpikir dasar dan keterampilan berpikir tingkat tinggi. Berpikir ternyata mampu mempersiapkan peserta didik berpikir pada berbagai disiplin serta dapat dipakai untuk pemenuhan kebutuhan intelektual dan pengembangan potensi peserta didik.
Berpikir kritis adalah suatu kegiatan melalui cara berpikir tentang ide atau gagasan yang berhubung dengan konsep yang diberikan atau masalah yang dipaparkan. Berpikir kritis juga dapat dipahami sebagai kegiatan menganalisis idea atau gagasan kearah yang lebih spesifik, membedakannya secara tajam, memilih, mengidentifikasi, mengkaji, dan mengembangkannya ke arah yang lebih sempurna. Berpikir kritis berkaitan dengan asumsi bahwa berpikir merupakan potensi yang ada pada manusia yang perlu dikembangkan untuk kemampuan yang optimal.
Menurut Ennis (1981) dalam Susanto (2013: 121), berpikir kritis adalah suatu berpikir dengan tujuan membuat keputusan masuk akal tentang apa yang diyakini atau dilakukan. Berpikir kritis merupakan kemampuan menggunakan logika. Logika merupakan cara berpikir untuk mendapatkan pengetahuan yang disertai pengkajian kebenaran berdasarkan pola penalaran tertentu. Selanjutnya, Ennis menyebutkan ada enam unsur dasar dalam berpikir kritis, yang disingkat dengan
29 FRISCO, yaitu focus (fokus), reason (alasan), inference (menyimpulkan), situation (situasi), clarity (kejelasan), dan overview (pandangan menyeluruh).
Menurut Halpen (1966) dalam Susanto (2013: 122), berpikir kritis adalah memberdayakan keterampilan atau strategi kognitif dalam menentukan tujuan. Proses tersebut dilalui setelah menentukan tujuan, mempertimbangkan, dan mengacu langsung kepada sasaran. Berpikir kritis merupakan bentuk berpikir yang perlu dikembangkan dalam rangka memecahkan masalah, merumuskan kesimpulan, mengumpulkan berbagai kemungkinan, dan membuat keputusan ketika menggunakan semua keterampilan tersebut secara efektif dalam konteks dan tipe yang tepat. Berpikir kritis juga merupakan kegiatan mengevaluasimempertimbangkan kesimpulan yang akan diambil manakala menentukan beberapa faktor pendukung untuk membuat keputusan. Berpikir kritis juga biasa disebut directed thinking, sebab berpikir langsung kepada fokus yang akan dituju.
Pendapat senada dikemukakan Anggelo (1955: 6) dalam Susanto (2013: 122), berpikir kritis adalah mengaplikasikan rasional, kegiatan berpikir yang tinggi, yang meliputi kegiatan menganalisis, mensintesis, mengenal permasalahan dan pemecahannya, menyimpulkan, dan mengevaluasi.
Menurut Tapilouw (1997) dalam Susanto (2013: 122), berpikir kritis merupakan cara berpikir disiplin dan dikendalikan oleh kesadaran. Cara berpikir ini mengikuti alur logis dan rambu-rambu pemikiran yang sesuai dengan fakta atau teori yang diketahui. Tipe berpikir ini mencerminkan pikiran yang terarah.
30 Berpikir kritis dapat diinterpretasikan dalam berbagai cara. Fister (1995) dalam Susanto (2013: 122) misalnya, mengemukakan bahwa proses berpikir kritis adalah menjelaskan bagaimana sesuatu itu dipikirkan. Belajar berpikir kritis berarti belajar bagaimana bertanya, kapan bertanya, dan apa metode penalaran yang dipakai. Seorang siswa hanya dapat berpikir kritis atau bernalar sejauh ia mampu menguji
pengalamanya,
mengevaluasi
pengetahuan,
ide–ide,
dan
mempertimbangkan argument sebelum mencapai suatu justifikasi yang seimbang. Menjadi seorang pemikir yang kritis juga meliputi pengembangan sikap–sikap tertentu, seperti keinginan untuk bernalar, keinginan untuk ditantang, dan hasrat untuk mencari kebenaran.
Pada prinsipnya, orang yang mampu berpikir kritis adalah orang yang tidak begitu saja menerima atau menolak sesuatu. Mereka akan mencermati, menganalisis, dan mengevaluasi informasi sebelum menentukan apakah mereka menerima atau menolak informasi. Jika belum memiliki cukup pemahaman, maka mereka juga mungkin menangguhkan keputusan mereka tentang informasi itu. Dalam berpikir kritis siswa dituntut menggunakan strategi kognitif tertentu yang tepat untuk menguji kendala gagasan, pemecahan masalah, dan mengatasi masalah serta kekurangannya.
Baron dan Sternberg (1987: 10) dalam Susanto (2013: 123) mengemukakan lima kunci dalam berpikir kritis, yaitu: praktis, refleksi, masuk akal, keyakinan, dan tindakan. Proses berpikir dapat dikelompokan dalam berpikir dasar dan kompleks. Berpikir dasar
merupakan gambaran dari proses berpikir rasional yang
mengandung sejumlah langkah dari sederhana menuju yang kompleks. Aktivitas
berpikir
rasional,
meliputi
menghafal,
membayangkan,
31 mengelompokan,
menggeneralisasi, membandingkan, mengevaluasi, menganalisis, mensinteris, mendekdusi, dan menyimpulkan.
Fisher (1995) dalam Susanto (2013: 123) membagi strategi berpikir kritis ke dalam tiga jenis, yaitu: strategi efektif, kemampuan makro, dan keterampilan mikro. Ketiga jenis strategi ini satu sama lain saling berkaitan. Pertama, strategi efektif bertujuan untuk meningkatkan berpikir independen dengan sikap menguasai atau percaya diri; misalnya, saya dapat mengerjakannya sendiri.siswa harus didorong untuk mengembangkan kebiasaan selfquestioning seperti: apa yang saya yakini? bagimana saya dapat meyakininya? Apakah saya benar- benar menerima keyakinan ini? untuk mencapainya, siswa perlu suatu pendamping yang mengrahkan pada saat mengalami kebuntuan, memberikan motivasi pada saat mengalami kejenuhan dan sebagainya, misalnya guru.
Kedua, kemampuan makro adalah proses yang terlibat dalam berpikir, mengorganisasikan keterampilan dasar yang terpisah pada saat urutan yang diperluas dari pikiran, tujuannya tidak untuk menghasilkan suatu keterampilanketerampilan yang
saling terpisah, tetapi terpadu dan mampu berpikir
komprehensif.
Ketiga , keterampilan mikro adalah keterampilan yang menekankan pada kemampuan global. Guru dalam melakukan pembelajaran harus memfasilitasi siswa dalam mengembangkan proses berpikir kritis, melakukan tindakan yang merefleksikan kemampuan, dan disposisi seperti yang direkomendasikan.
32 Klasifikasi berpikir kritis menurut Ennis dibagi ke dalam dua bagian, yaitu aspek yang berkaitan dengan materi pelajaran. Pertama, yang berkaitan dengan aspek umum, terdiri atas aspek sebagai berikut. 1.
Aspek kemampuan (abilities) yang meliputi: (a) memfokuskan pada suatu isu spesifik; (b) menyimpan maksud utama dalam pikiran; (c) mengklasifikasi dengan pertanyaan–pertanyaan; (d) menjelaskan pertanyaan–pertanyaan; (e) memperhatikan
pendapat
siswa,
baik
salah
maupun
benar,
dan
mendiskusikannya; (f) mengkoneksikan pengetahuan sebelumnya dengan yang baru; (g) secara tepat menggunakan pernyataan dan symbol; (h) menyediakan informasi dalam suatu cara yang sistematis, menekankan pada urutan logis; (i) kekonsistenan dalam pertanyaan– pertanyaan. 2.
Aspek disposisi (disposition), yang meliputi: (a) menekankan kebutuhan untuk mengidentifikasikan tujuan dan apa yang harus dikerjakan sebelum menjawab; (b) menekankan kebutuhan untuk mengidentifikasikan informasi yang diberikan sebelum menjawab; (c) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mencari informasi yang diperlukan; (d) memberikan kesempatan kepada siswa untuk menguji solusi yang diperoleh; dan (e) memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempresentasikan informasi dengan menggunakan tabel, grafik, dan lain–lain.
33 Kedua, aspek yang berkaitan dengan materi pelajaran, meliputi: konsep, generalisasi, dan algoritme, serta pemecahan masalah. Berikut ini merupakan indikator–indikator dari masing–masing aspek berpikir kritis yang berkaitan dengan materi pelajaran, seperti berikut ini. 1.
Memberikan penjelasan sederhana, yang meliputi: (a) memfokuskan pertanyaan; (b) menganalisis pertanyaan; (c) bertanya dan menjawab tentang suatu penjelasan atau tantangan.
2.
Membangun keterampilan dasar, yang meliputi: (a) mempertimbangkan apakah sumber dapat dipercaya; (b) mengamati dan mempertimbangkan suatu laporan hasil observasi.
3.
Menyimpulkan, yang meliputi: (a) mendeduksi dan mempertimbangkan hasil deduksi; (b) menginduksi dan mempertimbangkan hasil induksi; (c) membuat dan menentukan nilai pertimbangan.
4.
Memberikan penjelasan lanjut, yang meliputi: (a) mendefinisikan istilah dan pertimbangan definisi dalam tiga dimensi; (b) mengidentifikasi dengan orang lain.
5.
Mengatur strategi dan taktik yang meliputi: (a) menentukan tindakan; (b) berinteraksi dengan orang lain.
Pengembangan kemampuan berpikir kritis yang optimal mensyaratkan kelas yang interaktif. Agar pembelajaran dapat interaktif, maka desain pembelajarannya harus menarik sehingga siswa dapat terlibat aktif dalam proses pembelajaran. Dalam pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berpikir kritis lebih melibatkan siswa sebagai pemikir, bukan seorang yang diajar. Adapun pengajar
34 berperan sebagai mediator, fasilitator, dan motivator yang membantu siswa dalam belajar dan bukan mengajar.
Keterampilan berpikir kritis perlu dikembangkan dalam diri siswa karena melalui keterampilan berpikir kritis, siswa dapat lebih mudah memahami konsep, peka akan masalah yang terjadi sehingga dapat
memahami dan menyelesaikan
masalah, dan mampu mengaplikasikan konsep dalam situasi yang berbeda. Pendidikan perlu mengembangkan peserta didik agar memiliki keterampilan hidup, memiliki kemampuan bersikap dan berperilaku adaptif dalam menghadapi tantangan dan tuntutan kehidupan sehari–hari secara efektif. Pengembangan keterampilan berpikir kritis dalam proses pembelajaran memerlukan keahlian guru. Keahlian dalam memilih media yang tepat merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa.
Model pembelajaran yang selama ini dilakukan secara konseptual dapat dikembangkan untuk lebih menekankan pada peningkatan menumbuhkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis yang sesuai dengan tingkat perkembangan usianya. Menurut sutisyana (1997) dalam Susanto (2013: 127) kemampuan berpikir kritis siswa dapat ditumbuhkembangkan melalui proses mengamati, membandingkan,
mengelompokan,
menghipotesis,
mengumpulkan
data,
menafsirkan, menyimpulkan, menyelesaikan masalah, dan mengambil keputusan.
Dalam proses pembelajaran, misalnya dalam pembelajaran IPS, dapat dijadikan sarana yang tepat dalam menumbuhkan kemampuan berpikir kritis siswa. Karena dalam pembelajaran IPS banyak konsep atau masalah yang ada di lingkungan
35 siswa, sehingga dapat dijadikan suatu objek untuk dapat menumbuhkan cara berpikir kritis siswa.
Untuk dapat menumbuhkan berpikir kritis siswa dapat diterapkan suatu bentuk latihan-latihan yang mengacu pada pola pikir siswa. Latihan–latihan ini dapat dilakukan secara kontinu, intensif, serta terencana sehingga pada akhirnya siswa akan terlatih untuk dapat menumbuhkan cara berpikir yang lebih kritis.
Upaya untuk menumbuhkan berpikir kritis siswa merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan guru. Dalam proses pembelajaran guru harus dapat melahirkan cara berpikir yang lebih kritis pada siswa. Guru dapat memberikan kesempatan dan dukungan kepada siswa untuk dapat menumbuhkan kemampuan berpikir kritisnya dengan memberikan metode pembelajaran yang sesuai diharapkan dan dapat membantu siswa menumbuhkan pengetahuan keterampilan nalar yang nantinya dapat berpengaruh pada kemampuan untuk berpikir kritis. Guru harus dapat mengembangkan suasana kelas dimana siswa berpartisipasi selama proses belajar berlangsung. Kegiatan kelas yang mengacu pada aktivitas siswa adalah dengan mengisi lembar kerja atau dengan mengadakan tanya jawab yang dikembangkan guru. Hal ini dapat berupa mengingat kembali informasi yang telah disampaikan. Pemahaman secara luas atau
mendalami tersebut dapat
melatih siswa dalam mengembangkan berpikir kritisnya.
Dalam kaitannya dengan pengembangan kemampuan berpikir kritis siswa, hakikat pembelajaran yang dilakukan guru berarti interaksi langsung antara guru dengan siswa, guru dalam pembelajaran dapat berperan sebagai mediator antara siswa dengan apa yang dipelajarinya.guru bukan hanya memberi informasi saja tetapi
36 juga dapat memberi petunjuk agar siswa dapat berpikir secara kritis sehingga siswa
mampu
menyelesikan
setiap
permasalahan
yang
muncul
dalam
kehidupanya. Savage dan Amstrong mengembangkan empat pendekatan yang dapat mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir kritis dalam pembelajarannya, yaitu: 1) kemampuan berpikir kreatif (creative thinking); 2) kemampuan berpikir kritis (critical thinking); 3) kemampuan memecahkan masalah (problem solving); 4) kemampuan mengambil keputusan (decision making).
Upaya yang dapat dilakukan guru dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran yang bersifat student- centered, yaitu pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam pembelajaran yang berpusat pada siswa ini, guru memberikan kebebasan berpikir dan keleluasan bertindak kepada siswa dalam memahami pengetahuan serta dalam menyelesaikan masalahnya. Guru tidak lagi mendoktrin siswa untuk menyelesaikan masalah hanya dengan cara–cara baru. Dalam hal ini, siswa diberi kesempatan untuk mengkontruksi pengetahuan oleh dirinya sendiri, tidak hanya menunggu transfer dari guru.
Untuk mengajarkan atau melatih siswa agar mampu berpikir kritis harus ditempuh melalui beberapa tahapan. Tahapan–tahapan ini sebagaimana yang dikemukakan oleh arief (2004) dalam Susanto (2013: 129), sebagai berikut. 1.
Keterampilan menganalisis, yaitu suatu keterampilan menguraikan sebuah struktur kedalam komponen–komponen agar mengetahui pengorganisasian struktur tersebut. Dalam keterampilan tersebut tujuan pokoknya adalah
37 memahami sebuah konsep global dengan cara menguraikan atau memerinci globalitas tersebut kedalam bagian- bagian yang lebih kecil dan terperinci. Kata–kata operasional yang mengindikasikan keterampilan berpikir analitis, diantaranya:
menguraikan,
mengidentifikasi,
menggambarkan,
menghubungkan, dan memerinci. 2.
Keterampilan menyintesis, yaitu keterampilan yang berlawanan dengan keterampilan menganalisis, yakni keterampilan menggabungkan bagian– bagian menjadi sebuah bentukan atau susunan yang baru. Pertanyaan sintesis menuntut pembaca untuk menyatupadukan semua informasi yang diperoleh dari materi bacaannya, sehingga dapat menciptakan ide- ide baru yang tidak dinyatakan secara eksplisit di dalam bacaannya.
3.
Keterampilan mengenal dan memecahkan masalah, merupakan keterampilan aplikatif konsep kepada beberapa pengertian baru. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk memahami bacaan dengan kritis sehingga setelah kegiatan membaca selesai siswa mampu menangkap beberapa pikiran pokok bacaan, sehingga mampu mempola sebuah konsep. Tujuan keterampilan ini bertujuan agar pembaca mampu memahami dan menerapkan konsep–konsep ke dalam permasalahan atau ruang lingkup baru.
4.
Keterampilan
menyimpulkan,
yaitu
kegiatan
akal
pikiran
manusia
berdasarkan pengertian atau pengetahuan yang dimilikinya, dapat beranjak mencapai pengertian atau pengetahuan (kebenaran) baru yang lain. Keterampilan ini menuntut pembaca untuk mampu menguraikan dan memahami berbagai aspek secara bertahap agar sampai kepada suatu formula baru yaitu sebuah simpulan.
5.
38 Keterampilan mengevaluasi atau menilai. Keterampilan ini menuntut pemikiran yang matang dalam menentukan nilai sesuatu dengan berbagai criteria yang ada. Keterampilan menilai menghendaki pembaca agar memberikan penilaian tentang nilai yang diukur dengan menggunakan standar tertentu.
Hal yang perlu diperhatikan dalam pengajaran keterampilan berpikir kritis ini adalah bahwa keterampilan tersebut harus dilakukan melalui latihan yang sesuai dengan tahap perkembangan kognitif anak. Suprapto (2008) dalam Susanto (2013: 130) mengemukakan tahapan tersebut, sebagai berikut. 1.
Identifikasi komponen–komponen procedural, yakni siswa diperkenalkan pada keterampilan dan langkah–langkah khusus yang diperlukan dalam keterampilan tersebut. Ketika mengajarkan keterampilan berpikir, siswa diperkenalkan pada kerangka berpikir yang digunakan untuk menuntun pemikiran siswa.
2.
Instruksi dan pemodelan langsung, yakni guru memberikan instruksi dan pemodelan secara eksplisit, misalnya tentang kapan keterampilan tersebut dapat digunakan. Instruksi dan pemodelan ini dimaksudkan supaya siswa memiliki gambaran singkat tentang keterampilan yang sedang dipelajari, sehingga instruksi dan pemodelan ini harus relative ringkas.
3.
Latihan terbimbing, yakni dimaksudkan untuk memberikan bantuan kepada anak agar nantinya bisa menggunakan keterampilan tersebut secara mandiri. Dalam tahapan ini, guru memegang kendali atas kelas dan melakukan pengulangan–pengulangan.
4.
39 Latihan bebas, yaitu dengan cara guru mendesain aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat melatih keterampilannya secara mandiri, misalnya berupa pekerjaan rumah (PR). Latihan mandiri (PR) tidak berarti sesuatu yang menantang, melainkan sesuatu yang dapat melatih keterampilan yang telah diajarkan.
Antara kemampuan berpikir kreatif, kemampuan berpikir kritis, dan kemampuan memecahkan masalah saling berhubungan satu sama lain. Dengan adanya kemampuan berpikir kreatif akan melahirkan ide–ide baru dalam menghadapi masalah. Adapun untuk menguji kebenaran diperlukan keterampilan berpikir kritis. Dalam memecahkan masalah yang dihadapi diperlukan keterampilan berpikir kreatif dan kritis, sehingga dapat mengambil keputusan secara reflektif. Pengambilan keputusan yang dilakukan dapat bermanfaat bagi kehidupan dalam masyarakat, bangsa, dan Negara sebagai komunitas.
Menurut Dewey (1909: 9) dalam Fisher (2009: 2) berpikir kritis adalah pertimbangan yang aktif, persistent (terus-menerus) dan teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetahuan yang diterima begitu saja dipandang dari sudut alasan-alasan yang mendukungnya dan kesimpulan-kesimpulan lanjutan yang menjadi kecenderungannya. Sedangkan menurut Glaser (1941: 5) dalam Fisher (2009: 3) yang mengembangkan gagasan Dewey mendefinisikan berpikir kritis sebagai: (1) suatu sikap mau berpikir secara mendalam tentang masalahmasalah dan hal-hal yang berada dalam jangkauan pengalaman seseorang; (2) pengetahuan tentang metode-metode pemeriksaan dan penalaran yang logis; dan (3) semacam suatu keterampilan untuk menerapkan metode-metode tersebut.
40 Berpikir kritis menuntut upaya keras untuk memeriksa setiap keyakinan atau pengetahuan asumtif berdasarkan bukti pendukungnya dan kesimpulankesimpulan lanjutan yang diakibatkannya.
Salah satu kontributor terkenal bagi perkembangan tradisi berpikir kritis adalah Robert Ennis (1989) dalam Fisher (2009: 4) yang berpendapat bahwa berpikir kritis adalah pemikiran yang masuk akal dan reflektif yang berfokus untuk memutuskan apa yang mesti dipercaya atau dilakukan.
Pendapat yang berbeda juga dari Richard Paul (1993: 4) dalam Fisher (2009: 4) yang mendefinisikan berpikir kritis sebagai mode berpikir mengenai hal, substansi atau masalah apa saja dan dimana si pemikir meningkatkan kualitas pemikirannya dengan menangani secara terampil struktur-struktur yang melekat dalam pemikiran dan menerapkan standar-standar intelektual padanya.
Pendapat terakhir menurut Scriven (1997: 21) dalam Fisher (2009: 10) mendefinisikan berpikir kritis adalah interpretasi dan evaluasi yang terampil dan aktif terhadap observasi dan komunikasi, informasi dan argumentasi.
Keterampilan penting dalam pemikiran kritis yang dikemukakan oleh Glaser (1941: 6) dalam Fisher (2009: 7) yaitu kemampuan untuk: (a) mengenal masalah, (b) menemukan cara-cara yang dapat dipakai untuk menangani masalah-masalah itu, (c) mengumpulkan dan menyusun informasi yang diperlukan, (d) mengenal asumsi-asumsi dan nilai-nilai yang tidak dinyatakan, (e) memahami dan menggunakan bahasa yang tepat, jelas, dan khas, (f) menganalisis data, (g) menilai fakta dan mengevaluasi pernyataan-pernyataan, (h) mengenal adanya
41 hubungan yang logis antara masalah-masalah, (i) menarik kesimpulan-kesimpulan dan kesamaan-kesamaan yang diperlukan, (j) menguji kesamaan-kesamaan dan kesimpulan-kesimpulan yang seseorang ambil, (k) menyusun kembali pola-pola keyakinan seseorang berdasarkan pengalaman yang lebih luas; dan (l) membuat penilaian yang tepat tentang hal-hal dan kualitas-kualitas tertentu dalam kehidupan sehari-hari.
Terdapat enam tingkatan berpikir menurut taksonomi Bloom (2003) yaitu: a) mengetahui
(knowing)
pada retensi (menyimpan)
adalah dan
suatu
proses
berpikir
retrieval (mengeluarkan
yang kembali)
didasarkan sejumlah
pengetahuan yang pernah didengar atau dibacanya; b) memahami (understanding) adalah suatu proses berpikir yang sifatnya lebih kompleks yang mempunyai kemampuan dalam penterjemahan, interpretasi, ektrapolasi, dan asosiasi; c) menerapkan (application) adalah kemampuan untuk menerapkan pengetahuan, fakta,
teori,
dan
lain-lain
untuk
menyimpulkan,
memperkirakan,
atau
menyelesaikan suatu masalah; d) menganalisis (analysis) juga berpikir secara divergen yaitu kemampuan menguraikan suatu konsep atau prinsip dalam bagianbagian atau komponen-komponennya; e) mengevaluasi (evaluation) disebut juga intelectual judment, yaitu pengetahuan yang luas tentang sesuatu pengertian dari apa yang diketahui serta kemampuan analisa dan sintesis sehingga dapat memberikan penilaian atau evaluasi, dan f) mensintesis (synthesis) adalah kemampuan untuk melakukan suatu generalisasi atau abstraksi dari sejumlah fakta, data, fenomena, dan lain-lain. Dengan kata lain akumulasi dari semua kemampuan berpikir dibawahnya merupakan kemampuan untuk menilai (evaluasi).
42 Tujuan berpikir kritis adalah menciptakan suatu semangat berpikir kritis, yang mendorong peserta didik mempertanyakan apa yang mereka dengar dan mengkaji pikiran mereka sendiri untuk memastikan tidak terjadi logika yang tidak konsisten atau keliru (Ahmad , 2007).
Menurut Beyer dalam Ahmad (2007), ada 10 ketrampilan berpikir kritis yang dapat digunakan peserta didik dalam mempertimbangkan validitas (keabsahan) tuntutan, argument, memahami periklanan, dan sebagainya, yaitu sebagai berikut. 1.
Membedakan fakta–fakta yang dapat diversifikasi dan tuntutan nilai- nilai yang sulit diversifikasi (diuji kebenarannya).
2.
Membedakan antara informasi, tuntutan, atau alasan yang relevan dengan yang tidak relevan.
3.
Menentukan kecermatan faktual.
4.
Menentukan kredibilitas (dapat dipercaya) dari suatu sumber.
5.
Mengidentifikasikan tuntutan atau argumen yang mendua.
6.
Mengidentifikasikan asumsi yang tidak dinyatakan.
7.
Mendeteksi biasa.
8.
Mengidentifikasi kekeliruan- kekeliruan logika.
9.
Mengenali ketidakkonsistenan logika dalam suatu jalur penalaran.
10. Menentukan kekuatan suatu argumen atau tuntutan.
Menurut Krulik dalam Achmad (2007), indikator kemampuan berpikir kritis ada 8 yaitu sebagai berikut ini. 1.
Kemampuan menganalisis, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari permasalahan.
43 2.
Kemampuan melakukan pemusatan pada bagian permasalahan.
3.
Kemampuan mengumpulkan dan mengatur informasi.
4.
Kemampuan memeriksa kebenaran suatu informasi.
5.
Kemampuan menentukan alasan dari suatu jawaban.
6.
Kemampuan mengingat dan menghubungkan dengan pembelajaran yang terdahulu.
7.
Kemampuan menarik kesimpulan.
8.
Kemampuan menganalisis dan merefleksinya secara alami.
2.5 Model Pembelajaran Portofolio Portofolio berasal dari bahasa Inggris “portofolio” yang berarti dokumen atau surat-surat dapat juga diartikan sebagai kumpulan kertas-kertas berharga dari suatu pekerjaan tertentu. Jadi, pengertian portofolio di sini adalah suatu kumpulan pekerjaan siswa dengan maksud tertentu dan terpadu yang di seleksi menurut panduan-panduan
yang telah ditentukan. Panduan-panduan ini beragam
tergantung pada mata pelajaran dan tujuan penilaian portofolio. Biasanya portofolio merupakan karya terpilih dari seorang siswa tetapi dalam model pembelajaran, setiap portofolio berisi karya terpilih dari satu kelas siswa secara keseluruhan yang bekerja secara komparatif, memilih, membahas, mencari data, mengolah, menganalisis, dan mencari pemecahan terhadap suatu masalah yang dikaji.
Portofolio sebenarnya dapat diartikan sebagai suatu wujud benda fisik, sebagai suatu proses sosial pedagogis, maupun sebagai adjektif. Sebagai suatu benda fisik portofolio itu adalah bundel, yakni kumpulan atau dokumentasi hasil pekerjaan
44 peserta didik yang disimpan pada suatu bundel. Misalnya, hasil tes awal (pretest), tugas-tugas, catatan anekdot, piagam penghargaan, keterangan melaksanakan tugas terstruktur, hasil tes akhir (posttest), dan sebagainya. Sebagai suatu proses sosial pedagogis, portofolio adalah collection of learning experience yang terdapat di dalam pikiran peserta didik baik yang berwujud pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), maupun nilai dan sikap (afektif). Adapun sebagai suatu adjective portofolio sering kali disandingkan dengan konsep lain, misalnya dengan konsep pembelajaran dan penilaian. Jika disandingkan dengan konsep pembelajaran, maka dikenal istilah pembelajaran berbasis portofolio (portofolio based learning), sedangkan jika disandingkan dengan konsep penilaian maka dikenal istilah penilaian berbasis portofolio (portofolio based assessment) Setiap portofolio harus memuat bahan-bahan yang menggambarkan usaha terbaik siswa dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan kepadanya, serta mencakup pertimbangan terbaiknya tentang bahan-bahan mana yang paling penting untuk ditampilkan.
Tampilan portofolio berupa tampilan visual dan audio yang disusun secara sistematis, melukiskan proses berpikir yang didukung oleh seluruh data yang relevan. Secara utuh melukiskan “integrated learning experience” atau pengalaman belajar yang terpadu dan dialami oleh siswa dalam kelas sebagai suatu kesatuan. Portofolio sebagai model pembelajaran merupakan usaha yang dilakukan guru agar siswa memiliki kemampuan untuk mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya sebagai individu maupun kelompok. Kemampuan tersebut diperoleh siswa melalui proses belajar sehingga memiliki kemampuan mengorganisir informasi yang ditemukan, membuat laporan, dan menuliskan apa
45 yang ada dalam pikirannya dan selanjutnya dituangkan secara penuh dalam pekerjaannya atau tugas-tugasnya.
Model pembelajaran berbasis portofolio adalah teori belajar konstruktivisme yang pada prinsipnya menggambarkan bahwa siswa membentuk atau membangun pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya (Fajar, 2010). Pembelajaran berbasis portofolio dapat juga diartikan sebagai upaya mencetak siswa pada objek yang dibahas pengajaran yang menjadikan materi yang dibahas secara langsung dihadapkan kepada siswa atau siswi secara langsung mencari informasi tentang hal yang dibahas ke dalam atau masyarakat sekitar. Pada hakekatnya dengan pembelajaran berbasis portofolio disamping memperolah pengalaman fisik terhadap objek dalam pembelajaran, siswa juga memperoleh pengalaman atau terlibat
mental.
Pengalaman
fisik
dalam
arti
melibatkan
siswa
atau
mempertemukan siswa dengan objek pembelajaran.
Pada hakekatnya terdapat dua bentuk portofolio, yaitu portofolio produk dan portofolio proses. Guru harus mampu membedakan tahapan portofolio proses dan portofolio produk. Berbagai bentuk portofolio tergantung pada darimana dan untuk apa portofolio itu digunakan.
Pada umumnya portofolio dapat dibedakan ke dalam dua bentuk yang banyak dikenal dewasa ini, yaitu tinjauan proses (process orientid) dan tinjauan hasil (product orientid). a.
Tinjauan Proses (process orientid) portofolio proses (process Orientid) adalah portofolio yang menekankan pada tinjauan bagaimana perkembangan siswa dapat diamati dan dinilai dari waktu ke waktu. Pendekatan ini lebih
46 menekankan pada bagaimana siswa belajar, berkreasi, termasuk melalui dari draft awal, bagaimana proses awal itu terjadi, dan tentunya sepanjang siswa dinilai. Supranata dan Hatta menyatakan dalam portofolio proses berbagai macam tugas yang setara atau yang berbeda disajikan pada peserta didik. Siswa boleh memilih tugas-tugasnya yang dianggap cocok untuk mereka atau guru memutuskan apa yang harus dikerjakan oleh siswa atau boleh juga siswa bekerjasama dengan siswa lain dalam mengerjakan tugas tertentu. Hasil kerja siswa dalam portofolio jenis ini biasanya proses pembuatan suatu karya atau pekerjaan didiskusikan antara siswa dan guru maupun siswa dengan siswa lainnya. Proses ini akan membuat semua pihak, guru maupun siswa mengenal kemajuan yang telah dicapai oleh peserta didik.
Dengan demikin guru dapat menolong siswa untuk mengidentifikasi kelemahan dan kelebihan pekerjaan yang telah dilakukan. Salah satu bentuk tujuan proses adalah portofolio kerja, yaitu bentuk yang digunakan untuk memilih koleksi evidence siswa yang dilakukan dari hari ke hari. Dengan demikian, portofolio kerja dikembangkan untuk mengkoleksi seluruh pekerjaan siswa. Dalam dunia pendidikan hasil pekerjaan siswa yang paling baik menjadi petunjuk apakah siswa telah menguasai kompetensi yang telah ditentukan dan dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi guru, baik untuk mengetahui pencapaian kompetensi dasar maupun indikator berbagai alat penilaian formatif. Hal-hal yang harus dilakuakan siswa dan dinilai dalam portofolio kerja antara lain, proses pembuatan draft, pekerjaan yang belum selesai, atau pekerjaan pekerjaan yang terbaik yang biasa dilakukan peserta didik. Keberhasilan portofolio kerja tergantung kepada
47 kemampuan untuk merefleksikan dan mendokumentasikan kemajuan proses pembelajaran.
b.
Tinjauan Hasil (Product Orientid) Portofolio ditinjau dari hasil (Product Orientid) adalah portofolio yang menekankan pada tinjauan hasil terbaik yang telah dilakukan siswa, tanpa memperhatikan bagaimana proses untuk mencapai evidence tersebut. Portofolio semacam ini bertujuan untuk mendokomentasikan dan merefleksikan kualitas prestasi yang telah dicapai.
Dalam usaha mencapai tugas-tugas pembelajaran ditempuh melalui enam tahap langkah-langkah kegiatan pembelajaran portofolio sebagai berikut. Tahap I: mengidentifikasi masalah kebijakan publik di masyarakat. Tahap II: memilih satu masalah untuk kajian kelas. Tahap III: mengumpulkan informasi tentang masalah yang akan dikaji di kelas. Tahap IV: membuat portofolio kelas. Tahap V: menyajikan portofolio. Tahap VI: refleksi terhadap pengalaman belajar.
Dalam pembelajaran PKn yang berbasis portofolio, kelas dibagi kedalam empat kelompok. Setiap kelompok bertanggung jawab untuk membuat satu bagian portofolio kelas. Setiap kelompok memiliki tugas yang berbeda, namun mulai kelompok pertama sampai keempat harus saling terkait dan merupakan satu kesatuan. Adapun tugas mereka dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Kelompok portofolio satu: menjelaskan masalah Kelompok portofolio satu ini bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah dipilih untuk dikaji oleh kelas. Kelompok ini pun harus menjelaskan
48 mengapa masalah tersebut penting dan mengapa lembaga pemerintahan tersebut harus menangani masalah tersebut.
2. Kelompok portofolio dua: menilai kebijakan alternative yang diusulkan untuk memecahkan masalah Kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan kebijakan saat ini dan/atau kebijakan alternative yang dirancang untuk memecahkan masalah.
3. Kelompok portofolio tiga: membuat satu kebijakan public yang akan didukung oleh kelas Kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat satu kebijakan public tertentu yang disepakati untuk didukung oleh mayoritas kelas serta melakukan justifikasi terhadap kebijakan tersebut.
4. Kelompok portofolio empat: membuat suatu rencana tindakan agar pemerintah mau menerima kebijakan kelas Kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat suatu rencana tindakan yang menunjukkan bagaimana warga Negara dapat mempengaruhi pemerintah untuk menerima kebijakan yang didukung oleh kelas.
Bahan-bahan dalam portofolio memuat dokumentasi terbaik yang telah dikumpulkan oleh kelas dan kelompok dalam meneliti masalah. Bahan-bahan dalam portofolio itu pun hendaknya memuat bahan-bahan tulis tangan asli dan/atau karya seni asli para siswa.
49 Menurut Syaripuddin (1989: 11), didalam model pembelajaran berbasis portofolio terdapat kelebihan dan kekurangan. Adapun kelebihan dalam model pembelajaran portofolio ini sebagai berikut. 1.
Pencapaian target tujuan pembelajaran dari ketiga ranah/ domain lebih mudah dilakukan dalam proses belajar mengajar.
2.
Siswa mendapat stimulasi untuk menggali dan mengkaji hakekat dari konsep dan nilai.
3.
Strategi pelajaran dari guru pemberi informasi menjadi menekan siswa aktif untuk mencari dan mengolah.
4.
Pelajaran berubah dari teacher centered menjadi informasi student centered, guru tidak mendominasi kegiatan belajar mengajar.
5.
Dapat membentuk dan mengembangkan pengendalian konsep pada diri siswa.
6.
Meningkatkan siswa belajar dan menganggap guru bukan satu-satunya sumber belajar.
7.
Dapat mengembangkan bakat atau kecakapan diri individu.
8.
Menghindarkan cara belajar konvensional.
9.
Dapat memperkaya dan memperdalam materi.
Sedangkan kekurangan dalam model pembelajaran berbasis portofolio ini seperti berikut ini. 1.
Mengubah kebiasaan cara belajar siswa yang bisa menerima informasi bukan hal yang mudah.
2.
Mengubah cara mengajar dari pemberi menjadi fasilisator bukan hal yang mudah.
3.
Menuntut bimbingan guru lebih baik.
4.
50 Pemecahan masalah sering bersifat formal dan membosankan hingga tidak memberi arti.
Portofolio
termasuk
salah
satu
metode
pembelajaran
kooperatif.
menurut Kauchack dan Eggen dalam Azizah (1998), pembelajaran kooperatif merupakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa untuk bekerja secara kolaboratif dalam mencapai tujuan. Kolaboratif sendiri diartikan sebagai falsafah mengenai tanggung jawab pribadi dan sikap menghormati sesama. Peserta didik betanggung jawab atas belajar mereka sendiri dan berusaha menemukan informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dihadapkan pada mereka dan guru hanya bertindak sebagai fasilitator.
Model pembelajaran berbasis portofolio termasuk kedalam pembelajaran kooperatif karena memiliki ciri-ciri yang sesuai seperti berikut ini. 1) Siswa bekerja dalam kelompok secara kooperatif untuk menuntaskan materi belajarnya. 2) Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang dan rendah. 3) Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya, suku, jenis kelamin yang berbeda. 4) Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu.
Portofolio
dalam
pembelajaran
pendidikan
kewarganegaraan
merupakan
kumpulan informasi yang tersusun dengan baik yang menggambarkan rencana kelas siswa berkenaan dengan suatu isu kebijakan publik yang telah diputuskan untuk dikaji mereka, baik dalam kelompok kecil maupun kelas secara
51 keseluruhan. Menurut Winataputra (2007: 17), portofolio kelas berisi bahan-bahan seperti pernyataan-pernyataan tertulis seperti: peta, grafik, fotografi, dan karya seni asli. Bahan-bahan ini menggambarkan sebagai berikut. 1. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan suatu masalah yang telah mereka pilih. 2. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan alternatif-alternatif pemecahan terhadap masalah tersebut. 3. Kebijakan publik yang telah dipilih atau dibuat oleh siswa untuk mengatasi masalah tersebut. 4. Rencana tindakan yang telah dibuat siswa untuk digunakan dalam mengusahakan agar pemerintah menerima kebijakan yang mereka usulkan.
Model ini potensial untuk mengembangkan kompetensi kewarganegaraan karena mengambil keputusan mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan publik secara nalar (kritis, kreatif, antisipatif) dan bertanggung jawab secara demokratis. Kompetensi ini bersifat integratif yang didalamnya termasuk seluruh dimensi kompetensi kewarganegaraan (civic knowledge, civic disposition, civic skills) dalam konteks cita-cita demokrasi konstitusional sesuai Pancasila sila ke IV yang berbunyi “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” dan pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.”
Portofolio juga akan dapat menimbulkan beberapa efek positif pada diri peserta didik dan pada diri guru itu sendiri, sehingga proses pembelajaran yang dilaksanakan guru bersama peserta didik menjadi proses yang menyenangkan, kreatif, integratif dan reflektif.
52 Menurut Yamin (2011: 283), terdapat efek positif yang timbul pada diri peserta didik dan guru, adapun efek positif peserta didik seperti berikut ini. 1. Peserta didik merasa bangga terhadap hasil karya yang telah dilaksanakan 2. Merefleksi strategi kerja 3. Menentukan tujuan 4. Termotivasi 5. Mengontrol pekerjaannya 6. Mendapat penguatan 7. Terbangun harga diri 8. Bekerja sesuai dengan kemampuan. Sedangkan efek positif pada diri guru, seperti berikut ini. 1. Berkesempatan memikirkan kembali pekerjaan peserta didiknya 2. Termotivasi mengembangkan lebih lanjut sesuai dengan perkembangan peserta didik 3. Memperbaharui komitmennya.
Menurut Surapranata dan Hatta (2004: 72), dalam penggunaan model portofolio terdapat hal yang menarik, seperti berikut ini. 1.
Adanya kerjasama yang terpadu antara peserta didik dengan peserta didik lainnya atau antara peserta didik dengan guru.
2.
Peserta didik dapat memperbaiki dan menyempurnakan evidence mereka.
3.
Peserta didik dan guru bekerja berkonsentrasi pada karya individual maupun karya kelompok.
4.
Peserta didik memahami dan menggunakan standar yaitu kompetensi dasar dan indikator yang terdapat dalam kurikulum untuk menilai evidence mereka, baik perorangan maupun kelompok.
5.
Peserta didik memiliki kebanggaan dapat mempublikasikannya dan memamerkan evidence mereka.
53 Jadi, pembelajaran menggunakan model portofolio adalah suatu pembelajaran yang dibagi atas kelompok yang mana siswa dituntut untuk dapat menuangkan pemikirannya, ide, dan memahami materi yang telah diajarkan secara bertanggung jawab.
2.6 Pendidikan Kewarganegaraan 2.6.1 Sejarah Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan
Peraturan menteri pendidikan nasional nomor 22 tahun 2006 tanggal 7 juni 2006 tentang standar isi bahwa pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional.
Peraturan pemerintah nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 6 ayat (1) menyatakan bahwa kurikulum untuk jenis pendidikan umum, kejuruan, dan khusus pada jenjang pendidikan dasar dan menengah salah satunya kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian. Cakupan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian dimaksudkan untuk peningkatan kesadaran dan wawasan peserta didik akan status, hak, dan kewajibannya dalam
54 kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta peningkatan kualitas dirinya sebagai manusia.
Kesadaran dan wawasan termasuk wawasan kebangsaan, jiwa dan patriotisme bela negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, ketaatan membayar pajak, dan sikap serta perilaku anti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Prinsip pengembangan kurikulum berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya. Salah satunya kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan.
Prinsip pelaksanaan kurikulum dilaksanakan dengan menegakkan kelima pilar belajar, seperti: (a) belajar untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, (b) belajar untuk memahami dan menghayati, (c) belajar untuk mampu melaksanakan dan berbuat secara efektif, (d) belajar untuk hidup bersama dan berguna bagi orang lain, dan (e) belajar untuk membangun dan menemukan jati diri, melalui proses pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.
55 Melalui pendidikan kewarganegaraan, warga Negara NKRI ini diharapkan mampu dalam hal berikut ini. 1. Memahami, menganalisa dan menjawab masalah-masalah yang dihadapi oleh
masyarakat, bangsa dan Negara secara berkesinambungan dan konsisten dengan cita-cita serta tujuan nasional seperti yang digariskan dalam pembukaan UUD 1945;
2. Mempertahankan jati diri bangsa yang berjiwa patriotik dan cinta tanah air
didalam perjuangan nonfisik sesuai dengan prospesinya masing-masing.
2.6.2 Hakikat Pembelajaran PKn
Pendidikan Kewarganegaraan (Citizenship) merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosiokultural, bahasa, usia dan suku bangsa untuk menjadi warga negara yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945 (Kurikulum
Berbasis
Kompetensi,
2004).
Pendidikan
kewarganegaraan
mengalami perkembangan sejarah yang sangat panjang, yang dimulai dari Civic Education,
Pendidikan
Moral
Pancasila,
Pendidikan
Pancasila
dan
kewarganegaraan, sampai yang terakhir pada kurikulum 2004 berubah namanya menjadi mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan.
Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memang mengalami perubahan nama dengan sangat cepat karena mata pelajaran tersebut memang rentan terhadap perubahan politik, namun ironisnya nama berubah
56 berkali-kali, tetapi secara umum serta pendekatan cara penyampaianya kebanyakan tidak berubah.
Dari sisi isi misalnya lebih menekankan pengetahuan untuk dihafal dan bukan materi pembelajaran yang mendorong berpikir apalagi berpikir kritis siswa. Dari segi pendekatan yang lebih ditonjolkan adalah pendekatan politis dan kekuasaan. Dari segi pembelajaran atau sistem penyampaiannya lebih menekankan pada pembelajaran satu arah dengan dominasi guru yang lebih menonjol sehingga hasilnya sudah dapat diduga, yaitu verbalisme yang selama ini sudah dianggap sangat melekat pada pendidikan umumnya di Indonesia.
Pendidikan kewarganegaraan adalah program pendidikan berdasarkan nilai-nilai pancasila sebagai wahana untuk mengembangkan dan melestarikan nilai luhur dan moral yang berakar pada budaya bangsa Indonesia yang diharapkan menjadi jati diri yang diwujudkan dalam bentuk prilaku dalam kehidupan sehari-hari para siswa baik sebagai individu maupun anggota masyarakat dan makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan usaha untuk membekali siswa dengan pengetahuan dan kemampuan dasar berkenaan dengan hubungan antar warga dengan negara serta pendidikan pendahuluan bela negara agar menjadi warga negara yang dapat diandalkan oleh bangsa dan negara.
Menurut Azyumardi Azra (2005) dalam Susanto (2013: 226), pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang mengkaji dan membehas tentang pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, HAM, hak dan kewajiban warganegara serta proses demokrasi. Adapun menurut Zamroni, pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk
57 mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis. Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mendidik generasi muda menjadi warganegara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang dialogial.
Adapun menurut ICCE UIN Jakarta, pendidikan kewarganegaraan adalah suatu proses yang dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang mempelajari orientasi, sikap dan perilaku politik sehingga yang bersangkutan memiliki political knowledge, awareness, attitude, political efficacy, dan political participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional.
Definisi pendidikan kewarganegaraan dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan kewarganegaaan adalah pendidikan yang memberikan pemahaman dasar tentang pemerintahan, tata cara demokrasi, tentang kepedulian, sikap, pengetahuan politik yang mampu mengambil keputusan politik secara rasional, sehingga dapat mempersiapkan warga negara yang demokratis dan partisipatif melalui suatu pendidikan yang berorientasi pada pengembangan berpikir kritis dan bertindak demokratis. Jadi, pendidikan kewarganegaraan adalah usaha sadar dan terencana dalam proses pembelajaran agar peseta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kecerdasan, kecakapan, keterampilan serta kesadaran tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, kemajemukan bangsa, pelestarian lingkungan hidup, kesetaraan gender, demokrasi, tanggung jawab sosial, ketaatan pada hukum, serta ikut berperan dalam percaturan global.
58 Ada tiga alasan yang melandasi kenapa pendidikan kewarganegaraan perlu diajarkan kepada anak sebagaimana dikemukakan oleh Djahiri (1996: 8-9) dalam Susanto (2013: 228), seperti berikut ini. 1.
Bahwa sebagai makhluk hidup, manusia bersifat multikodrati dan multifungsi peran (status), manusia bersiafat multikompleks atau neopluralistis. Manusia memiliki kodrat Ilahi, sosial, budaya, ekonomi, dan politik.
2.
Bahwa setiap manusia memiliki sense of atau value of, dan conscience of, sense of menunjukkan integritas atau keterkaitan atau kepedulian manusia akan sesuatu. Sesuatu ini bisa material, imateriel, atau kondisional atau waktu.
3.
Bahwa manusia ini unik (uniqe human), hal ini karena potensinya yang multipotensi dan fungsi peran serta kebutuhan atau human desire yang multiperan serta kebutuhan.
Sejalan dengan pendapat Djahiri, Dasim Budimansyah dan Sapriya (2012: 1) dalam Susanto (2013: 229) juga sependapat bahwa pendidikan PKn ini sangat penting dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, sehingga pendidikan PKn ini harus dibangun atas dasar tiga paradigma, seperti berikut ini. 1.
PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggungjawab.
2.
PKn secara teoritis dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluens atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai,
59 konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. 3.
PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntutan hidup bagi warganegara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
Menurut Dasim dan Sapriya (2012: 3) dalam Susanto (2013: 230) mengemukakan beberapa permasalahan kurikuler yang mendasar dan menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas pendidikan PKn, sebagai berikut. 1.
Penggunaan alokasi waktu yang tercantum dalam struktur kurikulum pendidikan dijabarkan secara kaku dan konvensional sebagai jam pelajaran tatap muka terjadwal sehingga kegiatan pembelajaran PKn dengan cara tatap muka dikelas menjadi sangat dominan.
2.
Pelaksanaan pembelajaran PKn yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi terbengkalai. Selain itu, pelaksanaan pembelajaran diperparah lagi dengan keterbatasan fasilitas media pembelajaran.
3.
Pembelajaran yang terlalu menekankan pada dimensi kognitif itu berimplikasi pada penilaian yang juga menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja sehingga mengakibatkan guru harus selalu mengejar target pencapaian materi.
60 Hasil kajian kebijakan kurikulum, berkesimpulan bahwa pemahaman guru terhadap standar kompetensi dan kompetensi dasar masih sangat beragam. Sesuai dengan kondisi yang dialami dalam pembelajaran PKn diperlukan upaya menemukan model pembelajaran yang dapat memecahkan masalah pembelajaran.
Khususnya pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, sekolah seyogyanya dikembangkan sebagai pranata atau tatanan sosial-pedagogis yang kondusif atau memberi suasana bagi tumbuh kembangnya berbagai kualitas pribadi peserta didik. Sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat perlu dikembangkan sebagai pusat pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, yang mampu member keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran demokratis.
Dalam kerangka semua itu mata pelajaran PKn harus berfungsi sebagai wahana kurikuler pengembangan karakter warga negara Indonesia yang demokratis dan bertanggung jawab. Peran PKn dalam proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sepanjang hayat, melalui pemberian keteladanan, pembangunan kemauan, dan pengembangan kreatifitas peserta didik dalam proses pembelajaran. Melalui PKn sekolah perlu dikembangkan sebagai pusat pengembangan wawasan, sikap, dan keterampilan hidup dan berkehidupan yang demokratis untuk membangun kehidupan demokrasi.
61 Konsep dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa paradigma pendidikan demokrasi melalui PKn yang perlu dikembangkan dalam lingkungan sekolah adalah pendidikan demokrasi yang bersifat multidimensional atau bersifat jamak. Sifat multidimensionalnya itu terletak pada hal-hal sebagai berikut. 1. Pandangan yang pluralistik–uniter (bermacam-macam tetapi menyatu) dalam pengertian Bhineka Tunggal Ika. 2. Sikapnya dalam menempatkan individu, Negara, dan masyarakat global secara harmonis. 3. Tujuannya yang diarahkan pada dimensi kecerdasan (spiritual, rasional, dan sosial). 4. konteks (setting) yang menghasilkan pengalaman belajarnyayang terbuka, fleksibel atau luwes, dan bervariasi kepada dimensi tujuannya.
Dalam program pendidikan , paradigma ini menuntut hal-hal sebagai berikut. 1.
2.
3.
4.
Memberikan perhatian yang cermat dan usaha yang sungguh-sungguh pada pengembangan pengertian entang hakikat dan karekteristik aneka ragam demokrasi, bukan hanya yang berkembang di Indonesia. Mengembangkan kurikulum dan pembelajaran yang sengaja dirancang untuk memfasilitasi siswa agar mampu mengeksplorasi sebagaimana citacitademokrasi telah diterjemahkan kedalam kelembagaan dan praktik diberbagai belahan bumi dan dalam berbagai kurun waktu. Tersedianya sumber belajar yang memungkinkan siswa mampu mengekplorasi sejarah demokrasi di negara untuk dapat menjawab persoalan apakah kekuatan dan kelemahan demokrasi yang diterapkan di negaranya itu secara jernih. Tersedianya sumber belajar yang dapat mempasilitasi siswa untuk dapat memahami penerapan demokrasi di negara lain sehingga mereka memiliki wawasan yang luas tentang ragam ide dan sistem demokrasi dalam berbagai konteks (Prof. Dr. H. Kaelan, M.s. “Pendidikan kewarganegaraan “ PARADIGMA, Yogyakarta. 2007: 1-3).
Situasi sekolah dan kelas dikembangkan sebagai democratic laboratory atau lab demokrasi dengan lingkungan sekolah/kampus yang diperlakukan sebagai micro
62 cosmos of democracy atau lingkungan kehidupan yang demokratis yang bersifat micro dan memperlakukan masyarakat luas sebagai open global classroom atau sebagai kelas yang terbuka dengan cara itu akan memungkinkan siswa dapat belajar demokrasi dalam stuasi yang demokratis dan membangun kehidupan yang lebih demokratis. Itulah makna dari konsep “learning and for democracy,and for democracy”.
Menurut Sudjana (2003: 4), secara garis besar mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan memiliki 3 dimensi sebagai berikut. 1.
Dimensi pengetahuan kewarganegaraan (civics knowledge) yang mencakup bidang politik, hukum dan moral.
2.
Dimensi keterampilan kewarganegaraan (civics skills) meliputi keterampilan partisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3.
Dimensi nilai-nilai kewarganegaraan (civics values) mencakup antara lain percaya diri, penguasaan atas nilai religius, norma dan moral luhur.
Berdasarkan pendapat diatas bahwa PKn bertujuan mengembangkan potensi individu warga negara, dengan demikian maka seorang guru PKn haruslah menjadi guru yang berkualitas dan profesional, sebab jika guru tidak berkualitas tentu tujuan PKn itu sendiri tidak tercapai.
Berdasarkan uraian di atas peneliti berpendapat bahwa dalam mata pelajaran PKn, seorang siswa bukan saja menerima pelajaran berupa pengetahuan, tetapi pada diri siswa juga harus berkembang sikap, keterampilan dan nilai-nilai.
63 2.7 Ilmu Pengetahuan Sosial Kaitan Dengan PKn 2.7.1 Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial
Secara sederhana IPS ada yang mengartikan sebagai studi tentang manusia yang dipelajari oleh anak didik di tingkat sekolah dasar dan menengah. Dalam kenyataannya bidang studi tersebut sering disebut dengan istilah-istilah antropologi-sosiologi, ekonomi, geografi, sejarah, ilmu politik, psikologi ataupun psikologi sosial.
Istilah ilmu pengetahuan social (IPS) dan keberadaannya, tidak terlepas dari perkembangan dan keberadaan social studies (studi sosial). Studi sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin bidang akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang pengkajian tentang gejala dan masalah social. Dalam kerangka kerja pengkajian studi sosial menggunakan bidang-bidang keilmuan yang termasuk bidang-bidang ilmu sosial. Pendidikan IPS bukan hanya mengajarkan pengetahuan sosial secara konsep keilmuan, tetapi juga makna dari konsep-konsep ilmu sosial dan kemaslahatan kehidupan manusia serta berbagai kemampuan yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya.
2.7.2 Tujuan Pendidikan IPS
Tujuan utama pendidikan IPS pada dasarnya adalah mempersiapkan siswa sebagai warga Negara yang dapat mengambil keputusan secara reflektif dan partisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sosialnya sebagai pribadi, warga masyarakat, bangsa, dan warga dunia. Menurut Banks (1990), ada 4 kategori yang berkontribusi terhadap tujuan utama pendidikan IPS, yaitu; 1) knowledge, 2)
64 skills, 3) attitudes dan values, and 4) citizen action. Mata pelajaran IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut. 1) Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya. 2) Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inquiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial. 3) Memiliki
komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai
sosial
dan
kemanusiaan. 4) Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama, dan berkompetisi dalam masyarakat majemuk, ditingkat lokal, nasional dan global.
Sesuai dengan tujuan tersebut maka jelaslah bahwa pendidikan IPS dimaksudkan untuk membimbing tingkah laku sosial tertentu (behavior), mendorong pembentukan motivasi dan sikap-sikap tertentu (attitude), mempersiapkan kecakapan-kecakapan atau hubungan sosial tertentu (skill), dan menambah pengetahuan-pengetahuan sosial tertentu (knowledge). Sehingga setiap warga Negara mempunyai kepedulian dan komitmen yang tinggi, bertanggung jawab dan kritis terhadap diri dan lingkungan sosial maupun lingkungan hidup yang berpengaruh terhadap situasi kehidupan baik secara lokal maupun global.
2.7.3 Hakekat dan Karakteristik Mata Pelajaran IPS
Di masa yang akan datang peserta didik akan menghadapi tantangan berat karena kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat oleh karena itu, mata pelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan,
65 pemahaman dan kemampuan analisis terhadap kondisi social masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis.
Tujuan utama pendidikan IPS pada dasarnya adalah mempersiapkan siswa sebagai warga Negara agar dapat mengambil keputusan secara reflektif dan partisipasi sepenuhnya dalam kehidupan sosialnya.
Pendidikan IPS sebagai program pendidikan sekolah di tingkat dasar mungkin lebih sulit dalam pembelajarannya ketimbang yang monodisiplin. Ada dua karakteristik utama IPS, yaitu sebagai bidang kajian penelitian yang ditujukan untuk membentuk warga Negara yang baik, dan kajian terpadu terhadap banyak penelitian. Akan tetapi secara rinci karakteristik pendidikan IPS menurut (Banks, 1990) adalah sebagai berikut. 1. Social studies programs have as a major purpose the promotion of civic competence which is the knowledge, skills and attitude required of tdutends to be able to assume “the office of citizen” (as Thomas Jefferson called) in our democratic republic. (Program pendidikan IPS mempunyai tujuan utama membentuk warga Negara yang memiliki pengetahuan, keterampilan-keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan siswa dalam suatu masyarakat yang demokratis). 2. Social studies programs help students construc a knowledge base and attitude drawn from academic disciplines as specialized ways of viewing reality. (Program pendidikan IPS membantu siswa dalam mengkonstruk pengetahuan dan sikap dari disiplin akademik sebagai suatu pengalaman khusus). 3. Social studies programs reflect the changing nature of knowledge, fostering, entirely new and highly integrated approaches to resolving issues of significance to humanity. (Program pendidikan IPS mencerminkan perubahan pengetahuan, pengembangan sesuatu yang baru dan menggunakan pendekatan terintegrasi untuk memecahkan isu secara manusiawi).
66 2.7.4 Keterkaitan PKn Dengan Pendidikan IPS
Keterkaitan Pendidikan Kewarganegaraan dengan Pendidikan IPS dapat dikaji melalui konsep social studies sebagai pendidikan kewarganegaraan (citizenship transmission). Konsep ini bermakna bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan subsistem (bagian) dari pendidikan IPS (sistem) yang memfokuskan diri
pada
pembentukan
warganegara
yang
demokratis,
khususnya
mengembangkan siswa untuk menjadi warganegara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan yang memadai untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi.
Pendidikan kewarganegaraan sebagai subsistem dari pendidikan IPS, tidak lepas bahkan tetap membutuhkan ilmu-ilmu sosial atau mata pelajaran dalam pendidikan IPS (social studies) dan humaniora yang diseleksi sesuai dengan tujuan pendidikan kewarganegaraan. Sejarah diseleksi yang memfokuskan pada menanamkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat masa lampau hingga masa kini yang dapat menumbuhkan rasa kebangsaan dan cinta tanah air serta bangga sebagai warga bangsa Indonesia. Ekonomi diseleksi yang memfokuskan memberikan pengetahuan konsep dan teori ekonomi sederhana untuk menjelaskan fakta, peristiwa, dan masalah ekonomi yang dihadapi dalam rangka mencapai kesejahteraan (cerdas dan rasa kebangsaan). Geografi yang memusatkan untuk memberikan bekal kemampuan dan sikap rasional yang bertanggungjawab dalam menghadapi gejala alam dan kehidupan di muka bumi serta permasalahannya yang timbul akibat interaksi antara manusia dengan ligkungannya (cinta tanah air diwujudkan kepedulian lingkungan). Sosiologi yang memfokuskan memberikan
67 kemampuan memahami secara kritis berbagai persoalan dalam kehidupan seharihari yang muncul seiring dengan perubahan masyarakat dan budaya, menanamkan kesadaran perlunya ketentuan masyarakat dan mampu menempatkan diri dalam berbagai situasi sosial budaya sesuai dengan kedudukan, peran, norma, dan nilai social
yang berlaku dimasyarakat (rasa kebangsaan). Tatanegara yang
memfokuskan meningkatkan kemampuan memahami penyelenggaraan Negara sesuai dengan tata kelembagaan Negara, tata peradilan, sistem pemerintahan Negara Indonesia. Hukum yang memfokuskan pada fungsinya sebagai sarana untuk
menciptakan
kehidupan
yang
tertib
dan
damai.
Pendidikan
kewarganegaraan juga perlu dilandasi oleh suatu falsafah atau ideologi bangsa.
Pendidikan kewarganegaraan suatu social studies atau pendidikan IPS yang memfokuskan pada pembentukan pengetahuan, sikap, dan keterampilan untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi, pada akhirnya harus memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda dengan karakteristik ilmu-ilmu social atau mata pelajaran yang tergabung dalam pendidikan IPS.
Tujuan
mata
pelajaran
pendidikan
kewarganegaraan
adalah
untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan sebagai berikut. 1.
Berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2.
Berpartisipasi secara aktif dan bertanggung jawab serta bertindak secara cerdas dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
3.
68 Berkembang secara positf dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lainnya.
4.
Berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain dalam percaturan dunia serta langsung atau tidak langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
Hakekat
pendidikan
kewarganegaraan
merupakan
mata
pelajaran
yang
memfokuskan pada pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosiokultural, bahasa, usia, dan suku bangsa untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.
Landasan konsep yang melandasi pendidikan kewarganegaraan yaitu manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan insan sosial politik yang terorganisasi dengan tujuan agar manusia Indonesia memiliki kemauan dan kemampuan untuk: 1.
Sadar dan patuh terhadap hukum;
2.
Sadar dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
3.
Memahami dan berpartisipasi dalam pembangunan nasional;
4.
Cinta bangsa dan tanah air.
69 Karakteristik pendidikan kewarganegaraan dengan paradigma baru bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan suatu bidang kajian ilmiah dan program pendidikan dipersekolahan sebagai wahana utama serta essensi pendidikan demokrasi yang dilaksanakan melalui: 1.
Civic Intelegence (kecerdasan warganegara), yaitu kecerdasan dan daya nalar warga Negara baik, dalam dimensi spiritual, rasional, emosional maupun social.
2.
Civic Responsibility (tanggung jawab warganegara), yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warganegara yang bertanggung jawab
3.
Civic
Participation
(partisipasi
warganegara),
yaitu
kemampuan
berpartisipasi warganegara atas dasar tanggung jawab, baik secara individual, social maupun sebagai pemimpin masa depan.
Kompetensi-kompetensi yang hendak diwujudkan melalui mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu sebagai berikut. 1.
Kompetensi
untuk
menguasai
pengetahuan
kewarganegaraan
(civic
knowledge) a. Memahami tujuan pemerintahan dan prinsip-prinsip dasar konstitusi pemerintahan Indonesia. b. Mengetahui struktur, fungsi, dan tugas pemerintahan daerah dan nasional serta bagaimana keterlibatan warganegara membentuk kebijakan publik. c. Mengetahui hubungan Negara dan bangsa Indonesia dengan Negaranegara
dan
bangsa-bangsa
dunia/internasional.
lain
beserta
masalah-masalah
70 2.
Kompetensi untuk menguasai keterampilan kewarganegaraan (civic skill) a. Mengambil atau menetapkan keputusan yang tepat melalui proses pemecahan masalah dan inkuiri. b. Mengevaluasi kekuatan dan kelemahan suatu isu tertentu. c. Menentukan atau mengambil sikap guna mencapai suatu posisi tertentu. d. Membela atau mempertahankan posisi dengan mengemukakan argument yang kritis, logis dan rasional. e. Memaparkan suatu informasi yang penting kepada khalayak umum. f. Membangun koalisi, kompromi, negosiasi dan consensus
3.
Kompetensi untuk menguasai karakter kewarganegaraan (civic disposition) a. Memberdayakan dirinya sebagai warganegara yang independen, aktif, kritis, dan bertanggung jawab untuk berpartisipasi secara efektif dan efisien dalam berbagai aktivitas masyarakat, politik dan pemerintahan pada semua tingkatan. b. Memahami bagaimana warganegara melaksanakan peranan, hak dan tanggung jawab personal untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat pada semua tingkatan. c. Memahami, mengkhayati dan menerapkan nilai-nilai budi pekerti, demokrasi, HAM dan nasionalisme dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. d. Memahami dan menerapkan prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan sehari-hari.
71 Berdasarkan landasan konsep utama pendidikan kewarganegaraan, maka dimensi pendidikan kewarganegaraan secara umum sebagai berikut. 1.
Sebagai pendidikan nilai dan moral pancasila. Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan nilai dan moral karena yang disampaikan sebagai substansi isi pendidikan kewarganegaraan adalah nilai-nilai moral yang diperlukan oleh seorang warga Negara dalam berkehidupan sebagai warganegara dan warga masyarakat.
2.
Sebagai pendidikan politik. Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang memungkinkan siswa mengetahui yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warganegara.
3.
Sebagai pendidikan kewarganegaraan. Pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang diharapkan dapat menumbuhkan pengertian dan pemahaman siswa terhadap fungi dan peran warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menurut
Wahab
(2010:
3.5-3.14),
sebagai
pendidikan
hukum
dan
kemasyarakatan, pendidikan kewarganegaraan adalah pendidikan yang bukan hanya mendidik siswa memiliki pengetahuan yang menjadi hak dan kewajibannya sebagai warganegara, tetapi juga dapat menggunakannya atau menerapkannya dalam menghadapi berbagai persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
72 2.7.5 Letak PKn Dalam Kajian IPS Menurut Soemantri dalam bukunya “Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS” (2001: 159, 161, 299), mengartikan PKn sebagai berikut: 1.
PKn adalah seleksi dan adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan,
humaniora,
dan
kegiatan
dasar
manusia
yang
diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS. 2.
PKn merupakan bagian atau salah satu tujuan pendidikan IPS, yaitu pendidikannya diorganisasikan secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sosial. Humaniora, dokumen negara terutama Pancasila, UUD 1945, GBHN dan perundangan negara dan bahan pendidikan yang berkenaan dengan bela negara.
3.
PKn adalah program pendidikan yang berintikan demokrasi politik yang diperluas dengan sumber-sumber pengetahuan lainnya, pengaruh-pengaruh positif dari pendidikan sekolah, masyarakat, dan orang tua yang kesemuanya itu diproses guna melatih para siswa untuk berpikir kritis, analistis, bersikap dan bertindak demokratis yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Uraian diatas dapat disimpulkan bahwa letak PKn yang sangat strategis dalam pembentukan karakter bangsa juga ada kaitannya dengan 10 tema utama didalam kajian ilmu IPS yang berfungsi sebagai mengatur alur untuk kurikulum social di setiap tingkat sekolah. Kesepuluh tema tersebut terdiri dari, (1) budaya, (2) waktu, kontinuitas dan perubahan, (3) orang, tempat dan lingkungan, (4) individu, pengembangan dan identitas, (5) individu, kelompok dan lembaga, (6) kekuasaan,
73 wewenang dan pemerintahan, (7) produksi, distribusi, dan konsumsi, (8) sains, teknologi dan masyarakat, (9) koneksi global dan (10) cita-cita dan praktek warganegara (National Council for The Social Studies, 1994: 19).
Letak PKn dengan tema tersebut mengenai tentang cita-cita dan praktek warganegara yang merupakan bagian daripada pendidikan kewarganegaraan. PKn juga telah beberapa kali perubahan nama bahkan secara substansi banyak dimanfaatkan sebagai wahana untuk tujuan-tujuan tertentu sesuai dengan kepentingan rejim yang sedang berkuasa. Mengingat pentingnya kedudukan PKn bagi bangsa Indonesia, maka perlu ada kejelasan tentang keberadaan dan kenyataan PKn yang sesuai dengan prinsip-prinsip akademik dan tuntutan budaya bangsa Indonesia yang sedang mengalami perkembangan begitu cepat khususnya dalam lingkup ketatanegaraan. Hal ini sejalan dengan pendapat John J. Cogan (1999) yang menyatakan bahwa “civic education” refers generally to the kinds of course work taking place within the contexs of the formalized schooling structure the fundantional course”. Dengan demikian pelajaran civic memberikan dasar bagi para pemuda agar kelak setelah dewasa mereka dapat berperan di lingkungannya.
Margaret Branson (1999: 8) mengatakan bahwa PKn merupakan pendidikan yang mengandung tiga komponen utama yang cocok untuk dikembangkan pada masyarakat yang demokratis yaitu pengetahuan warga negara (civic knowledge), kecakapan warga negara (civic skills), dan watak-watak warga negara (civic disposition).