II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Manfaat Nannochloropsis sp 2.1.1. Menyerap emisi Karbondioksida Isu lingkungan yang menjadi permasalahan internasional saat ini adalah pemanasan global (global warming), yang disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca di atmosfer, seperti CO2 menyebabkan terjadinya efek rumah kaca (green house effect) (Ikawati, 2009). Peningkatan CO2 berasal dari pembakaran bahan bakar fosil seperti pemakaian bensin dan solar pada kendaraan, batu bara untuk industri. Dampak dari meningkatnya CO2 di atmosfer antara lain: meningkatnya suhu permukaan bumi, naiknya permukaan air laut, anomali iklim, timbulnya berbagai penyakit pada manusia dan hewan (Astin,2008). Berbagai upaya dilakukan untuk menekan laju peningkatan emisi CO2 di atmosfer. Upaya terbesar untuk mengatasi peningkatan emisi CO2 di tingkat internasional adalah dengan meratifikasi Protokol Kyoto tahun 1997 dalam persetujuan Internasional mengenai pemanasan global. Semua negara di dunia diwajibkan untuk mendukung terwujudnya Protokol Kyoto dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya yang ada. Salah satu sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mengurangi emisi CO2 adalah lautan (Ikawati, 2009). Didalam lautan terdapat berbagai organisme laut yang dapat menyerap CO2, diantaranya adalah fitoplankton atau mikroalga. Mikroalga merupakan
7
organisme autotrof yang mempunyai klorofil sehingga dapat melakukan proses fotosintesis. Mikroalga sebagai tumbuhan mikroskopis bersel tunggal yang hidup di lingkungan yang mengandung air, tumbuh dan berkembang dengan memanfaatkan sinar matahari sebagai sumber energi dan nutrien anorganik sederhana seperti CO2, komponen nitrogen terlarut dan fosfat. Fitoplankton dapat dimanfaatkan secara optimal untuk mengurangi emisi CO2 karena meskipun jumlah biomasa fitoplankton hanya 0,05% biomassa tumbuhan darat namun jumlah karbon yang dapat digunakan dalam proses fotosintesis sama dengan jumlah C yang difiksasi oleh tumbuhan darat (~50-100 PgC/th) ( Bishop dan Davis, 2000). Fitoplankton mampu memanfaatkan CO2 dari cerobong asap, melalui mekanisme fotosintesis. Hal tersebut terbukti dengan perubahan konsentrasi gas CO2 yang terlarut dalam media kultur fitoplankton dari konsentrasi awal gas CO2 sebesar 10 % berkurang menjadi di bawah 5% setelah hari ke-5, dan pada hari ke10 telah berada di bawah 3% (Setiawan dkk, 2008). Salah satu jenis fitoplankton yang mudah dibudidayakan dan cepat berkembang biak adalah Nannochloropsis sp. 2.1.2. Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Bahan bakar nabati dari mikroalga (fitoplankton) menjadi salah satu alternatif energi bersih andalan masa depan. Sebagai biofuel, mikroalga mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan biofuel lainnya ( Rusyani, 2010). Beberapa kelebihan tersebut antara lain dapat tumbuh cepat, bahkan dalam waktu tujuh hari sudah bisa dipanen. Sementara tanaman jarak pagar misalnya, enam bulan baru bisa dipanen, dengan waktu efektif mencapai tiga tahun. Luas lahan budidaya
8
mikroalga juga dapat dimaksimalkan dengan bantuan teknologi fotobioreaktor. Mikroalga merupakan mikroorganisme laut dengan kandungan minyak tinggi mencapai lebih dari 50% ( Susilaningsih dkk, 2009), dan sampai saat ini masih menjadi sumber minyak terbaik di dunia. Hampir semua minyak yang kita peroleh dari perut bumi berasal dari sisa mikroalga yang hidup ribuan tahun lalu (Bachtiar, 2007). Selain itu Mikroalga memiliki fungsi serupa dengan kebanyakan tumbuhan, yakni memanfaatkan karbondioksida dari atmosfer dan menghasilkan oksigen melalui fotosintesis. Tubuh mikroalga terkandung protein, lemak, dan karbohidrat, yang semuanya dapat dimanfaatkan antara lain lemak diolah menjadi minyak diesel melalui proses ekstraksi, karbohidrat dari mikroalga diolah menjadi etanol (alkohol) dengan proses fermentasi (Sebayang, 2006, dan Kabinawa, 2001). Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana cara menumbuhkan mikroalga yang bisa memenuhi konsumsi energi dunia. Metode yang dikembangkan untuk menumbuhkan mikroalga berbasis pada daratan, yakni kolam-kolam, bioreaktor tertutup, dan kolam terbuka berbentuk terusan dangkal. Sejak 2006, Mujizat Kawaroe dan timnya dari Surfactant and Bioenergy Research Center Institut Pertanian Bogor (SBRC-IPB) telah menemukan bukti tingginya keragaman mikroalga dan produktivitasnya ( Suara karya, 2008). Empat lokasi pesisir yang diteliti selama dua tahun terakhir, yaitu Kepulauan Seribu, Manado, Kawasan Laut Arafura, dan Pulau Batam, ditemukan 11 spesies mikroalga. Mikroalga yang potensial sebagai BBN diantaranya Chlorella memiliki kandungan minyak mentah maksimal 32 persen, Dunaliella 23 persen, Isochrysis galbana 35 persen, dan Nannochloropsis oculata 68 persen ( Susilaningsih dkk, 2009).
9
Kelebihan mikroalga adalah mampu menyerap karbondioksida dan nutrien secara efektif dan dapat tumbuh cepat, bisa dipanen dalam empat hingga sepuluh hari, produktivitasnya 30 kali lebih banyak dibanding tumbuhan darat (Zuhdi, 2003). Kelapa sawit, misalnya, perlu waktu 5 bulan, sedangkan jatropa atau jarak pagar perlu 3 bulan. Jika dibanding minyak bumi yang sulit mencari sumbernya dan perlu proses yang rumit dan mahal dalam pengolahannya, maka mikroalga merupakan pilihan yang lebih tepat. Pada 1 hektar ladang minyak bumi hanya bisa disedot 0,83 barrel minyak per hari, sedangkan pada luas yang sama budidaya mikroalga menghasilkan 2 barrel BBN (Sukardi, 2005). Kelebihan lain dari mikroalga merupakan sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan. Pada tahap budidaya, perkembangbiakan mikroalga juga meningkat 2,5 kali bila ke dalam kolom air dipasok CO2 , dibandingkan hanya dengan aerasi atau suplai O2 ( Astin, 2008). Hal ini berarti kultivasi mikroalga berpeluang mengatasi masalah lingkungan global, karena selama ini CO2 jadi gas pencemar dominan yang menyebabkan efek rumah kaca penyebab pemanasan global. Pada tahap pengolahan mikroalga menjadi BBN, tidak menimbulkan pencemaran karena limbahnya 100 persen jadi pakan ternak (Bahtiar, 2007). 2.1.3. Sebagai Penunjang Budidaya Perikanan Pakan merupakan salah satu faktor pembatas bagi organisme yang dibudidayakan. Dalam kondisi normal di alam, keanekaragaman pakan alami (fitoplankton dan zooplankton) tersedia dalam jumlah yang cukup dan dapat dimanfaatkan oleh setiap trophic level dengan efisien. Bagi jenis ikan kebutuhan
10
akan pakan dapat tercukupi, karena ikan mempunyai daya jelajah pada spektrum yang relatif luas. Permasalahan akan kebutuhan pakan biasanya baru muncul pada saat organisme berada dalam lingkungan budidaya. Ketersediaan pakan sangat bergantung pada manusia yang memelihara baik dari jumlah, jenis maupun waktu pemberian. Masalah pakan makin kompleks, jika organisme yang dipelihara masih dalam stadia larva. Sebagian besar stadia awal larva ikan (fin fish non fin fish), memerlukan pakan hidup baik fitoplankton atau zooplankton. Menurut Fulks and Main (1991), fitoplankton (mikroalga) sangat dibutuhkan dalam kegiatan budidaya yang bersifat komersial, seperti pada jenis ikan (larva dan atau dewasa), Crustacea (stadia awal larva), Holothuriide (larva, juvenil dan dewasa), Bivalvia dan Moluska (larva, juvenil dan dewasa). Menurut Coutteau (1996), fitoplankton merupakan dasar dari suatu mata rantai dalam ekosistem perairan laut, dapat dimanfaatkan langsung untuk pakan organisme budidaya non finfish dan sebagai pakan zooplankton. Saat ini, lebih dari 40 spesies fitoplankton yang telah berhasil dibudidayakan, guna menunjang kegiatan pembenihan ikan. Pemilihan jenis pakan hidup untuk organisme budidaya merupakan prakultur yang harus dicermati dengan baik. Menurut Villegas (1995), spesies yang dikultur di unit pembenihan harus berpedoman pada spesies target. Beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pakan hidup adalah : ukuran harus sesuai dengan bukaan mulut, mudah dicerna, tidak beracun, mudah dikultur secara massal, dan mengandung nutrisi tinggi (Brown et al, 1997 ; Fulks and Main 1991). Dalam pembenihan ikan laut seperti kerapu dan kakap, pakan hidup Brachionus sp.
11
merupakan pakan utama pada larva stadia awal, karena memang memenuhi persyaratan seperti yang telah disebutkan ( Yuwana dkk, 1999). Fungsi pakan hidup pada tingkatan tertentu masih belum dapat digantikan oleh pakan buatan, karena kemampuan larva mencerna pakan buatan masih sangat terbatas ( Rusyani dkk, 2007). Pakan hidup yang diperlukan dalam pembenihan kerapu terdiri atas dua jenis yaitu fitoplankton dan zooplankton. Pada pemeliharaan larva fitoplankton tidak langsung dimanfaatkan sebagai pakan larva tetapi sebagai pakan zooplankton. Disamping itu, fitoplankton ditambahkan ke dalam media pemeliharaan untuk mengurangi intensitas cahaya yang masuk dan dapat mengurangi gas beracun yang ada dalam media pemeliharaan, merupakan penstabil kualitas air dalam media pemeliharaan larva ( Coutteau, 1996). Persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh pakan hidup yang diperuntukkan sebagai jasad pakan adalah sebagai berikut : mudah dibudidayakan secara massal, cocok ukuran, mudah dicerna dan bernilai gizi tinggi. Fitoplankton yang sudah dikembangkan untuk menunjang kegiatan pembenihan ikan laut antara lain: Nannochloropsis sp., Tetraselmis sp., Dunaliella sp., Chaetoceros sp., Isochrysis sp. dan Scenedesmus sp. (Martosudarmo dan Wulani, 1990) 2.1.4. Sebagai biosorben logam berat Dalam pengolahan limbah industri yang mengandung logam berat, pemanfaatan alga baik dalam bentuk biomassa bebas maupun yang terimmobilisasi sebagai biosorben tidak diragukan lagi, karena metode ini sangat efisien, biaya relatif murah, hasil samping tidak berbahaya, biosorben dapat diregenerasi, dan ion logam yang teradsorpsi dapat di-recovery kembali (Putra, 2007a)
12
Biomassa alga dari beberapa spesies alga efektif untuk mengikat ion logam pada lingkungan aquatik. Berberapa spesies alga yang umumnya dimanfaatkan biomassanya adalah dari jenis alga coklat dan alga hijau. Pemilihan biomassa alga ini sebagai biosorben dilakukan karena spesies alga ini memiliki toleransi yang tinggi terhadap pengambilan logam berat, mudah dibudidayakan, dan dapat diperoleh dari sejumlah laboratorium-laboratorium pengkoleksian kultur di berbagai negara (Zipora dkk, 2008). Pemanfaatan sistem adsorpsi untuk pengambilan logam-logam berat dari perairan telah banyak dilakukan. Beberapa spesies alga telah ditemukan mempunyai kemampuan yang cukup tinggi untuk mengadsorpsi ion-ion logam, baik dalam keadaan hidup maupun dalam bentuk sel mati (biomassa). Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa gugus fungsi yang terdapat dalam alga mampu melakukan pengikatan dengan ion logam. Gugus fungsi tersebut terutama adalah gugus karboksil, hidroksil, sulfudril, amino, iomodazol, sulfat, dan sulfonat yang terdapat didalam dinding sel dalam sitoplasma (Putra, 2007b ). Nannochloropsis sp. merupakan salah satu contoh biomassa alga yang potensial sebagai biosorben seperti pada tabel 1. Tabel 1. Biomassa Alga yang Potensial sebagai Biosorben Biomassa Alga
Logam Berat
Sumber Rujukan
Desulfovibrio
Cu
Chen et al., 2000
desulfuricans
Cu
Muraleedharan et al., 1995
Ganoderma lucidum Cd
Yang and Volesky (1999)
Sargassum sp.
Cu, Cr, dan Ni
Barkhordar dan Ghiasseddin (2004)
Pb, Cd, Cu
Mutia Rachmayanti (2007)
13
Cd, Zn, Cu
Valdman and Leite (2000)
Sargassum
Cu
Davis et al., 2000
filipendula
Cu
Davis et al., 2000
Sargassum fluitans
Fe
Figueirira et al., 1999
Cu
Davis et al., 2000
Sargassum vulgare
Cu
Vijayaraghavan et al., 2005
Ulva reticulata
Cu
Gang and Welxing, 1998
Sunflower stalk
Pb, Cd, Cu
Buhani (2003)
Chlorella sp.
Pb
Nurmalina Syafitri (2003)
Cd
Agung Sasongko (2002)
Nannochloropsis sp. Pb, Cu
Yelni (2005)
Sumber : Putra (2007) 2.1.5. Kesehatan Alga hijau, alga merah ataupun alga coklat merupakan sumber potensial senyawa bioaktif yang sangat bermanfaat bagi pengembangan industri farmasi seperti sebagai anti bakteri, anti tumor, anti kanker atau sebagai reversal agent dan industri agrokimia terutama untuk antifeedant, fungisida dan herbisida. Kemampuan alga untuk memproduksi metabolit sekunder terhalogenasi yang bersifat sebagai senyawa bioaktif dimungkinkan terjadi, karena kondisi lingkungan hidup alga yang ekstrem seperti salinitas yang tinggi dan ancaman predator (Nybakken, 1992). Sepuluh tahun terakhir ini, berbagai variasi struktur senyawa bioaktif yang sangat unik dari isolat alga merah telah berhasil diisolasi. Namun pemanfaatan sumber bahan bioaktif dari alga belum banyak dilakukan. Berdasarkan proses biosintesisnya, alga laut kaya akan senyawa turunan dari oksidasi asam lemak yang disebut oxylipin. Melalui senyawa ini berbagai jenis senyawa metabolit sekunder diproduksi (Borowitzka, 1988).
14
Nannochloropsis sp. mengandung komponen antioksidan yang tinggi seperti karotenoid, astaxantin, kantaxantin, flavoxantin, loraxanthin, neoxantin, dan sebatian fenolik (Hasegawa, 1990). Penelitian di Malaysia melaporkan bahwa Nannochloropsis sp. berkhasiat sebagai antikanker pada sel hepar (Mukti dalam Bahtiar, 2007) 2.2. Biologi Fitoplankton Nannochloropsis sp. 2.2.1. Klasifikasi dan Morfologi a. Klasifikasi Klasifikasi Nannochloropsis sp. menurut Adehog (2001) dan Garofalo (2009) adalah sebagai berikut : Kingdom : Protista Super Divisi : Divisi
Eukaryotes : Chromophyta
Kelas
: Eustigmatophyceae
Ordo
: Eustigmatales
Familia Genus Spesies
: Monodopsidaceae : Nannochloropsis : Nannochloropsis sp
b. Morfologi Fitoplankton Nannochloropsis sp. ini berukuran 2 – 4 m, berwarna hijau (Wikipedians, 2001), memiliki dinding sel, mitochondia, kloroplast dan nukleus yang dilapisi membran (gambar 1). Nannochloropsis sp. termasuk jenis alga yang dapat berfotosintesis karena memiliki klorofil-a, karakteristik organisme ini ialah
15
memiliki dinding sel yang terbuat dari komponen selulosa (Sleigh, 1989 ; Brown et al, 1997).
Gambar 1. gambar morfologi sel Nannochloropsis sp (Adehoog, 2001) Nannochloropsis sp bersifat kosmopolit dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt, salinitas optimum untuk pertumbuhannya adalah 25-35 ppt, suhu 25-30oC merupakan kisaran suhu yang optimal, kisaran pH 8-9,5 dan intensitas cahaya 1000 - 10000 lux (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Nannochloropsis sp lebih dikenal dengan nama Chlorela laut dikultur untuk pakan zooplankton karena mengandung Vitamin B12 dan Eicosapentaenoic acid (EPA) masing - masing 30,5 % , total kandungan omega 3 Higly unsaturated Fatty acids (HUFAs) sebesar 42,7%, serta mengandung protein 57,02 % dan vitamin B12, yang sangat penting untuk pertumbuhan populasi zooplankton (rotifer) dan EPA penting untuk nilai nutrisinya sebagai pakan larva dan juvenile ikan laut (Fulks dan Main 1991). Komposisi asam lemak pada Nannochloropsis sp. dibandingkan jenis fitoplankton yang lain dapat dilihat pada tabel 2. Selain itu, Nannochloropsis sp. mudah dikultur secara masal, tidak menimbulkan racun atau kerusakan ekosistem di bak pemeliharaan larva, pertumbuhannya relatif cepat dan memiliki kandungan antibiotik (Fulk and Main, 1991).
16
Tabel 2. Komposisi Asam Lemak Beberapa Jenis Fitoplankton EPA
TOTAL 3 HUFAs
Tetraselmis
6,4
8,1
Nannochloropsis
30,5
42,7
Pavlova
13,8
23,5
Isochrysis galbana
3,5
22,5
Phaeodactylum
8,6
9,6
Skeletonema
13,8
15,5
JENIS FITOPLANKTON
Sumber : (Fulk and Main, 1991) 2.3. Pola Pertumbuhan Fitoplankton Pertumbuhan adalah biosintesis yang menyebabkan bertambahnya substansi atau protoplasma berupa perbanyakan sel, pembesaran sel, dan penggabungan berbagai materi dari sekitar sel. Untuk organisme satu sel seperti Nannochloropsis sp. pertumbuhan diartikan sebagai pertambahan jumlah sel (Dwijoseputro, 1994). Pertumbuhan suatu jasad dapat ditinjau dari dua segi, yaitu pertumbuhan dari segi sel sebagai individu dan pertumbuhan dari segi kelompok sebagai satu populasi. Pertumbuhan sel diartikan sebagai adanya penambahan volume sel serta bagian – bagian sel lainnya, yang diartikan juga penambahan kuantitas isi atau kandungan di dalam selnya. Pertumbuhan populasi merupakan akibat dari adanya pertumbuhan individu, misalnya satu sel menjadi dua sel, dari dua sel menjadi empat sel dan seterusnya hingga jutaan jumlahnya (Lakitan, 2007).
17
Pelczar et al (1986) menjelaskan bahwa pertumbuhan dan produktivitas sel jasad hidup, termasuk mikroba dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Perubahan – perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mengakibatkan perubahan sifat morfologi dan sifat fisiologi. Faktor lingkungan tersebut antara lain ; a. Faktor biotik meliputi : bentuk sel (individu), sifat jasad dari mikroalga dan , pertumbuhan (kepadatan sel, nilai gizi, dan kemampuan jasad untuk menyesuaikan diri). b. Faktor abiotik meliputi : susunan dan jumlah senyawa di dalam media, dan faktor lingkungan seperti temperatur, cahaya, tekanan osmosis serta senyawa – senyawa yang mungkin dapat bersifat toksik Perkembanganbiakan Nannochloropsis sp. terjadi secara aseksual yaitu dengan pembelahan sel atau pemisahan autospora dari sel induknya. Reproduksi sel ini diawali dengan pertumbuhan sel yang membesar. Periode selanjutnya adalah terjadinya peningkatan aktifitas sintesa sebagai bagian dari persiapan pembentukan sel anak, yang merupakan tingkat pemasakan awal. Tahap selanjutnya terbentuknya sel induk muda yang merupakan tingkat pemasakan akhir, yang disusul dengan pelepasan sel anak (Borowitzka, 1988). Pertumbuhan fitoplankton dalam kultur dengan media terbatas sangat dipengaruhi oleh kondisi cahaya, suhu, aerasi, dan nutrisi. Dalam budidaya Nannochloropsis sp. kualitas bibit dan padat penebaran awal sangat berpengaruh terhadap kecepatan pertumbuhan populasinya. Bibit yang terbaik yang berasal dari akhir fase pertumbuhan (Laven and Soorgeloos, 1996). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Laboratorium Pakan Hidup BBPBL tahun 2008 diperoleh data rata – rata pertumbuhan Nannochloropsis sp. pada hari ke 7
18
mengalami penurunan, dan mencapai fase puncak pertumbuhan pada hari ke 5. Padat penebaran yang ideal berkisar antara 3 – 5 juta sel/ml (Rusyani dkk, 2007). Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kepadatan tertinggi bervariasi, tergantung pada beberapa faktor, yaitu ; kualitas bibit, padat penebaran, intensitas cahaya, pupuk, dan kualitas air. Pertumbuhan Nannochloropsis sp. dalam kultur dengan media yang terbatas umumnya sangat dipengaruhi oleh suhu, salinitas, cahaya, pH, aerasi dan nutrisi. Pertambahan sel dalam kultur tersebut akan mengikuti pola tertentu, yaitu kurva s atau sigmoid. Pelczar et al (1986) membagi pola pertumbuhan atau kurva pertumbuhan tersebut menjadi lima fase pertumbuhan seperti gambar 2 ;
Gambar 2. Pola Pertumbuhan Fitoplankton (sumber Laven and Sorgeloos, 1996) Keterangan : 1. fase lag Fase ini ditandai dengan peningkatan populasi yang tidak nyata. Fase ini disebut sebagai fase adaptasi terhadap kondisi lingkungan, karena sel alga sedang beradaptasi terhadap media tumbuhnya. Pada fase ini sel alga tersebut tetap
19
hidup, namun tidak berkembang biak. Lamanya fase lag tergantung pada inokulan yang dimasukkan. Sel – sel yang diinokulasikan pada awal fase logaritmik akan mengalami fase lag yang amat singkat. Inokulan yang berasal dari kultur yang sudah tua akan mengalami fase lag yang lama, karena membutuhkan waktu untuk menyusun enzim – enzim yang tidak aktif lagi (Pelzar et al, 1986). 2. Fase Logaritmik / eksponensial Fase ini ditandai dengan naiknya laju pertumbuhan hingga kepadatan populasi meningkat beberapa kali lipat. Fase eksponensial karena pesatnya laju pertumbuhan hingga kepadatan populasi meningkat melalui pembelahan sel dan apabila dihitung secara matematis membentuk fungsi logaritma. Pada fase ini sel alga sedang aktif berkembang biak. Ciri metabolisme selama fase eksponensial ini adalah tingginya aktivitas yang berguna untuk pembentukan protein dan komponen penyusun plasma sel yang dibutuhkan dalam pertumbuhan. (Laven and Soorgeloos, 1996). 3. Fase penurunan laju pertumbuhan Fase ini ditandai dengan terjadinya penurunan laju pertumbuhan jika dibandingkan dengan fase eksponensial. Fase penurunan karena terjadi penurunan pertambahan populasi persatuan waktu bila dibandingkan dengan fase eksponensial (Pelczar et al, 1986). 4. Fase Stasioner Fase ini ditandai dengan seimbangnya laju pertumbuhan dengan laju kematian. Fase statis karena pertambahan kepadatan populasi seimbang dengan laju kematian sehingga sepertinya tidak ada lagi adanya pertumbuhan populasi.
20
Jumlah sel cenderung tetap diakibatkan sel telah mencapai titik jenuh. Pertumbuhan sel yang baru dihambat oleh keberadaan sel yang telah mati dan faktor pembatas lainnya. Faktor lain yang dapat menghambat pertumbuhan kultur yang terlalu padat sehingga terbentuk bayangan oleh mikroalga itu sendiri, sehingga terjadi pembatasan dalam bentuk penggunaan cahaya (laven and Sorgeloos, 1996). 5. Fase Kematian Fase ini ditandai dengan kepadatan populasi yang terus berkurang, hal ini dikarenakan laju kematian yang lebih tinggi dari pada laju pertumbuhan (Pelczar et al, 1986). 2.4. Media Pertumbuhan Dalam budidaya fitoplankton media kultur digunakan sebagai tempat untuk bertumbuh dan berkembang biak. Menurut Suriawira (1985), susunan bahan baik bahan alami maupun bahan buatan yang digunakan untuk perkembangan dan perkembangbiakan mikroba dinamakan media. Media yang digunakan dalam budidaya fitoplankton berbentuk cair yang di dalamnya terkandung beberapa senyawa kimia (pupuk) yang merupakan sumber nutrien untuk keperluan hidupnya. Berbagai kegiatan baik yang terjadi di dalam sel ataupun yang terjadi pada keseluruhan kehidupan, memerlukan sumber energi dan elemen atau unsur yang menjadi motor segala dari kegiatan kehidupan. Semua sumber untuk kegiatan tersebut yang datang dari luar serta sangat berpengaruh untuk berbagai kegiatan, berbentuk senyawa organik ataupun senyawa anorganik, yaitu senyawa yang tersusun dari unsur makro ataupun unsur mikro.
21
Kimbal (1999) menjelaskan, tidak semua bahan yang telah tersedia secara langsung dapat diserap dan dipergunakan oleh sel. Beberapa persyaratan sangat diperlukan antara lain: 1. Bentuk dan sifat bahan. 2. Konsentrasi bahan . 3. Enzim. 4. Lingkungan yang menyertainya. Media atau substrat tempat tumbuh dan berkembangnya alga, terdiri dari komponen kimia yang diramu atau dikombinasikan sedemikian rupa dalam bentuk formula media, sehingga akan menghasilkan pertumbuhan dan produksi sel yang tinggi. Seperti halnya pada semua mahluk hidup, untuk dapat berkembang biak dan melakukan aktifitas secara wajar memerlukan sumber makanan yang lengkap dan seimbang. Jika salah satu unsur nutrien berlebihan atau kurang maka pertumbuhanpun akan terganggu. Media tersusun oleh unsur-unsur makro dan mikro yang sesuai dengan kandungan unsur-unsur tersebut di dalam sel mikroba. Masing-masing jenis fitoplankton berbeda pula medianya kulturnya. Berdasarkan jenis yang telah dibudidayakan di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut Lampung, ternyata hampir semua jenis fitoplankton tumbuh dengan cepat dalam media sintetik anorganik seperti jenis Nannochloropsis sp., Tetraselmis sp., Dunaliella sp., Chaetoceros sp., Isochrysis galbana, dan Nitzschia sp. Berbagai kegiatan baik yang terjadi di dalam sel ataupun yang terjadi pada keseluruhan kehidupan, memerlukan sumber energi dan elemen atau unsur yang menjadi motor segala dari kegiatan kehidupan. Semua sumber untuk kegiatan tersebut yang datang dari luar
22
serta sangat berpengaruh untuk berbagai kegiatan, berbentuk senyawa organik ataupun senyawa anorganik, yaitu senyawa yang tersusun dari unsur makro ataupun unsur mikro. Selanjutnya menurut Chen and Shetty (1991) menyatakan bahwa, pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton memerlukan berbagai nutrien yang diabsorbsi dari luar (media). Hal ini berarti ketersediaan unsur makro nutrien dan mikro nutrien dalam media tumbuhnya mutlak diperlukan. Menurut Round (1973), media kultur bagi fitoplankton berupa unsur utama (macro elememts) seperti N, P, K, S, dan Mg, serta unsur – unsur tambahan yana dibutuhkan dalam jumlah kecil (trace elements atau micro elements) seperti Si, Zn, Cu, Mn, Co, Fe, dan Bo. Masing – masing spesies kebutuhan unsur tesebut tidak sama, tergantung pada komposisi kimia. Berdasarkan studi penelitian dinyatakan bahwa unsur N dalam bentuk nitrat dan P dalam bentuk Fosfor merupakan dua unsur pokok yang harus tersedia dalam media kultur fitoplankton (Laven and Soorgeloos, 1996 , Fogg, 1987, dan Bougis, 1979). Sedangkan formula yang dianggap cocok untuk kultur Nannochloropsis sp. antara lain formula EDTA (Kurniastuty dan Julinasari, 1995), formula Alen-Nelson dan formula Miquel (Borowitzka, 1988), formula Guillard ( Laven and Sorgeloos, 1996), dan Media Conwy (Brown, 1997). Suriawiria (1985), menjelaskan bahwa agar organisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di dalam media, diperlukan persyaratan tertentu yaitu : 1. Di dalam media harus tersedia unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan. 2. Media harus mempunyai tekanan osmose, tegangan permukaan dan pH yang
23
sesuai. 3. Media harus dalam keadaan steril. Jasad hidup memerlukan bahan makanan untuk keperluan hidupnya. Juga fitoplankton, untuk kehidupannya memerlukan bahan-bahan organik dan anorganik yang diambil dari lingkungannya. Bahan-bahan tersebut dinamakan nutrien, sedang penyerapannya disebut nutrisi. Bahan-bahan yang telah diserap kedalam sel akan digunakan oleh sel melalui proses yang disebut metabolisme, menurut Campbell et al (2004) terbagi menjadi dua yaitu katabolisme dan anabolisme. Katabolisme atau disimilasi atau bioenergi adalah reaksi yang mengurai molekul senyawa organik untuk mendapatkan energi, sedangkan anabolisme atau asimilasi atau biosíntesis adalah reaksi yang merangkai senyawa organik dari molekul- molekul tertentu untuk diserap oleh tubuh. Pada proses bioenergi nutrien berfungsi sebagai sumber energi atau penerima electron. Energi yang dihasilkan berupa energi kimia yang berfungsi untuk aktifitas sel misalnya : perkembangbiakan, pembentukan spora, pergerakan, biosintesis dan sebagainya. Pada biosintesis nutrien berfungsi sebagai bahan baku , tanpa adanya nutrien proses biosintesis tidak akan berjalan (Lakitan, 2007). Semua proses biologis seperti nutrisi, bioenergi dan biosintesis memerlukan biokatalisator yang disebut enzim. Reaksi yang terjadi didalam sel hanya dapat berlangsung dengan pertolongan enzim tersebut yang dihasilkan oleh sel, berbentuk senyawa protein. Fungsi utama bahan makanan (nutrien) ialah sebagai sumber energi, bahan pembangun sel dan sebagai aseptor elektron didalam reaksi bioenergetik atau reaksi yang menghasilkan energi (Dwijoseputo, 1994). Karenanya sesuai dengan fungsi fisiologis dari masing-masing komponen
24
nutrien (bahan makanan) yang terdapat di dalam media harus terdiri dari : air, sumber energi, sumber karbon, sumber aseptor elektron, sumber mineral dan faktor pertumbuhan (vitamin atau asam amino). Unsur nutrien yang diperlukan fitoplankton dalam jumlah besar yang disebut makro nutrien adalah : Nitrogen, Fosfor, Sulfur, Magnesium, Kalium dan Kalsium. Sedangkan unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlah yang relatif sedikit ( Mikro nutrien) adalah : Tembaga, Mangan, Seng, Boron, Besi Molibdenum, dan Cobalt (Borowitzka, 1988). 2.4.1. Unsur Makro Nutrien a. Nitrogen (N) Unsur N merupakan komponen utama dari protein sel yang merupakan bagian dasar kehidupan organisme. Nitrogen yang dibutuhkan untuk media kultur terdiri dari beberapa substansi berikut : KNO3 ; NaNO3 ; NH4CI ; (NH2)2CO (urea), dan lain-lain ( Chen and Shetty, 1991). b. Fosfor (P) Unsur P sangat dibutuhkan dalam proses protoplasma dan inti sel. Fosfor juga merupakan bahan dasar pembentuk asam nukleat, fosfolifida, enzim dan vitamin. Fosfor sangat berperan nyata dalam semua aktifitas kehidupan fitoplankton. Fosfor yang dibutuhkan untuk kultur fitoplankton dapat diperoleh dari : KH2PO4 ; NaH2PO4 ; Ca3PO4 (TSP) dan lain-lain. Menurut Dwijoseputro (1994), P dibutuhkan untuk pembentukan pospolipida dan nukleoprotein. Posporilasi dalam fotosintesis juga banyak melibatkan P untuk membentuk senyawa berenergi tinggi.
25
c. Besi (Fe) Unsur Fe berperan penting dalam pembentukan kloroplas dan sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Unsur besi juga merupakan bahan dasar sitrokrom dan heme atau nonheme protein, kofaktor untuk beberapa enzim. Pada kultur alga komponen besi dapat diperoleh dari : FeCI3 ; FeSO4 dan FeCaH5 O7 ( Brown, 1997). d. Kalium (K) Unsur K selain berperan dalam pembentukan protoplasma juga berperan penting dalam kegiatan metabolisme, satu kation anorganik utama di dalam sel dan kofaktor untuk beberapa koenzim (Kurniastuty dan Julinasari ,1995). Sumber K dapat di peroleh dari : KCL ; KNO3 dan KH2PO4. Unsur K juga dapat di jumpai secara melimpah dalam air laut. Penggunaan K sangat di butuhkan dalam media kultur jika akan di gunakan air laut buatan (Brown et al, 1997., Chen and Shetty, 1991., Watanabe et al, 1985., dan Suriawiria,1985). e. Magnesium (Mg) Unsur magnesium merupakan kation sel yang utama dan bahan dasar klorofil . Kation sel yang utama, kofaktor anorganik untuk banyak reaksi enzimatik berfungsi di dalam penyatuan substrat dan enzim. Dari hasil penelitian Chen and Shetty (1991), kandungan Mg pada air laut sangat tinggi yaitu 1200 ppm/liter.
26
f. Sulfur ( S) Sulfur juga merupakan salah satu elemen penting yang di butuhkan dalam pembentukan protein. Sulfur untuk media kultur alga dapat diperoleh dari NH4SO4 (ZA) ; CUSO4 dan lain –lain (Watanabe, 1985). g. Kalsium (Ca) Unsur Ca berperan dalam penyelarasan dan pengaturan aktifitas protoplasma dan kandungan pH di dalam sel. Sumber Ca antara lain : CaCl2 dan Ca (NO3)2. (Chen and Shetty, 1991 ) 2.4.2 Unsur Trace Element (Mikro Nutrien) Unsur mikro nutrien juga dibutuhkan untuk kehidupan fitoplankton, meskipun dibutuhkan dalam jumlah sedikit namun keberadaannya sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton (Chen and Shetty, 1991). Beberapa unsur hara mikro tersebut dalam penggunaannya pada media kultur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Jenis dan sumber unsur hara mikro untuk budidaya Fitoplankton No
Trace element
Sumber material
1
Boron
H3BO3
2
Mangan
MnCL2
3
Seng
ZnCL2
4
Kobalt
COCI2
5
Molibdenum
(NH4) 6MO7O24.4H2O
6
Tembaga
CuSO4.5H2O.
27
2.4.3. Faktor-faktor Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap pertumbuhan Nannochloropsis sp. Pertumbuhan fitoplankton sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta kondisi lingkungan di dalam media kulturnya. Faktorfaktor lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton antara lain cahaya, suhu, pH, kandungan CO2 bebas dan salinitas. a. Cahaya Fitoplankton merupakan organisme autotrof yang mampu membentuk senyawa organik dari senyawa-senyawa anorganik melalui proses fotosintesis. Dengan demikian cahaya mutlak diperlukan sebagai sumber energi. Proses fotosintesis pada fitoplankton dapat dituliskan dalam persamaan reaksi sebagai berikut (Borowitzka,1988a): cahaya 6 CO2 + 6 H2O ---------------- C6H12O6 + 6O2 Dimana H2O bertindak sebagai donor hidrogen, sedangkan C6H12O6 adalah glukosa. Proses ini memerlukan energi yang diperoleh dari penyerapan cahaya oleh pigmen-pigmen fotosintetik. Pada alga hijau pigmen yang menyerap cahaya adalah klorofil-a, disamping pigmen lain seperti karatinoid, xantofil pada jenis fitoplankton lainnya (Borowitzka, 1988a). Pada budidaya fitoplankton di dalam laboratorium, cahaya matahari dapat digantikan dengan sinar lampu TL (tube luminescent) dengan intesitas cahaya antara 5000 - 10.000 lux. Intesitas cahaya adalah jumlah cahaya yang mengenai satu satuan permukaan, satuannya adalah foot-candle atau lux. Kisaran optimum
28
intesitas cahaya bagi pertumbuhan fitoplankton adalah 2000-8000 lux (Laven and Sorgeloos, 1996). b. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan laju pertumbuhan fitoplankton. Suhu secara langsung mempengaruhi efisiensi fotosintesis dan merupakan faktor yang menentukan dalam pertumbuhan fitoplankton. Kondisi labotorium, perubahan suhu air dipengaruhi oleh suhu ruangan dan intesitas cahaya, sedangkan kondisi di luar ruangan dalam kultur skala massal, suhu dipengaruhi oleh keadaan cuaca (Coutteau, 1996). Lakitan (2007), menjelaskan di dalam reaksi kimia kenaikan suhu akan menaikan kecepatan reaksi. Setiap kenaikan 10 0C dapat mempercepat reaksi 2-3 kali lipat. Di dalam proses metabolisme terjadi suatu rangkaian reaksi kimia maka kenaikan suhu sampai pada batas nilai tertentu, dapat mempercepat proses metabolisme, tetapi pada suhu tinggi yang melebihi suhu maksimum akan menyebabkan denaturasi protein dan enzim. Hal ini akan menyebabkan terhentinya proses metabolisme dalam sel. Menurut pendapat DwijoSeputro (1994) temperatur tinggi 400 C dapat menon-aktifkan atau mematikan enzim di dalam tubuh organisme. Kisaran suhu optimum bagi pertumbuhan fitoplankton umumnya adalah 25 0 C – 32 0 C. c. pH Kebanyakan sel, termasuk fitoplankton sangat peka terhadap derajat keasaman cairan yang mengelilinginya. Derajat keasaman diukur pada skala
29
satuan pH (Kimball, 1999). Batas pH untuk pertumbuhan jasad merupakan suatu gambaran dari batas pH bagi kegiatan enzim (Van Den Hoek, 1995). Selanjutnya dijelaskan oleh Dwijoseputro (1994) ion H + sangat berpengaruh terhadap kegiatan enzim. Jika suatu enzim menunjukkan kegiatannya pada pH tertentu, kenaikan atau penurunan pH dapat menyebabkan kegiatan enzim itu berubah. Pada pH tertentu suatu enzim mengubah substrat menjadi hasil akhir, maka perubahan pH dapat membalik aktifitas enzim dengan merubah hasil akhir kembali menjadi substrat. Umumnya fitoplankton dapat tumbuh baik pada kisaran pH 8,0 - 8,5. d. Kandungan CO2 Bebas Tersedianya CO2 di dalam media kultur merupakan faktor penting untuk fitoplankton, karena secara langsung dipakai sebagai bahan untuk membentuk molekul-molekul organik melalui proses fotosintesa. Dalam Budidaya fitoplankton suplai O2 terlarut ke dalam media kultur biasanya dilakukan dengan pemberian aerasi melalui blower (pompa udara), aerasi juga berfungsi untuk meratakan sebaran nutrien yang ada (Burkhard and Riebesell, 1999). e. Salinitas Sebagai salah satu organisme yang hidup di dalam air, salinitas merupakan salah satu faktor pembatas bagi pertumbuhan dan perkembangan fitoplankton. Fluktuasi salinitas secara langsung menyebabkan perubahan tekanan osmosis di dalam sel fitoplankton. Salinitas yang terlampau tinggi atau terlampau rendah, menyebabkan tekanan osmosis di dalam sel menjadi lebih rendah atau lebih tinggi, sehingga aktifitas sel menjadi terganggu. Hal ini dapat mempengaruhi pH sitoplasma sel dan menurunkan kegiatan enzim di dalam sel. Umumnya
30
fitoplankton air laut hidup normal pada salinitas optimum 25 – 35 ‰ (Rusyani dkk, 2007) 2.5. Kultur Nannochloropsis sp. 2.5.1. Isolasi Prinsip dasar isolasi adalah usaha untuk memurnikan spesies mikroalga yang tercampur jenis lain, atau memilih spesies mikroalga tertentu apabila diperoleh dari perairan alam. Teknik isolasi yang biasa dilakukan ada 3 macam yakni : metode mikro pipet, media agar dan kultur berulang (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). 2.5.2. Kultur Murni Pada dasarnya persiapan kultur fitoplankton adalah sama yaitu sterilisasi alat dan media kultur yang bertujuan untuk membunuh organisme yang tidak diinginkan. Peralatan yang digunakan, harus dalam keadaan bersih, kemudian disterilisasi dengan oven atau autoclave. Sedangkan media kultur yang akan digunakan dapat digunakan media air laut buatan atau media air laut biasa. Sterilisasi air media dapat menggunakan autoclave, memasak air laut maupun sterilisasi secara kimiawi (Chlorinisasi), kemudian dinetralisir dengan Natrium Thiosulfate ( Matosudarmo dan Wulani, 1990). Kultur murni merupakan rangkaian kegiatan pengadaan fitoplankton dalam ruangan terkendali, biasanya di laboratorium, sehingga didapatkan monospesies fitoplankton dalam jumlah cukup sebagai stok pengembangan di kultur skala massal. Bibit kultur murni ini diperoleh dari hasil isolasi, di mulai dari tabung reaksi volume 10–15 ml, kemudian erlemeyer 100 ml, 250 ml, 500 ml, botol
31
kultur 1 liter, 3 liter, dan 5 liter, dengan pemberian pupuk yang sesuai (Rusyani dkk, 2007). 2.6. Molase Menurut Utami (tahun 2009) Molase merupakan bahan sisa dari industri pembuatan gula dan industri yang biasa memanfaatkan molase adalah pabrik alkohol dan MSG ( Monosodium Glutamat). United Molases mendefinisikan molase sebagai “end product” pembuatan gula yang tidak mengandung lagi gula yang dapat dikristalkan dengan cara konvensional (Olbrich, 1973). Molase adalah sejenis sirup yang merupakan sisa dari proses pengkristalan gula pasir. Molase tidak dapat dikristalkan karena mengandung banyak glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan. Molase mengandung sejumlah besar gula, baik sukrosa maupun gula pereduksi. Total kandungan gula berkisar 48-56% dan pHnya sekitar 5,5-5,6 (Sa’id, 1987). Pada industri gula (molase) termasuk kategori limbah dengan kandungan energi tinggi, tetapi rendah kandungan nitrogen. Selain itu, molase juga tinggi akan kandungan karbohidrat tetapi rendah kandungan protein (Pramana, 2008). Komposisi kimia molase dapat dilihat pada tabel 4 dan 5. Tabel 4. Komposisi kimia Molase Komposisi Presentase (%) 77 – 84 Bahan Kering 52 – 67 Total Gula sebagai gula invert C 0,4 – 1,5 N 0,6 – 2,0 P2O5 0,1 – 1,1 CaO 0,03 – 0,1 MgO 2,6 – 5,0 K2O SiO2 Al2O3 Fe2O5 7 – 11 Total Abu Sumber : (http://www.wikipwdia.com., 2006)
32
Tabel 5. Komposisi molase (Dellweg, 1983) : Komponen Air
Analisa
%
Gravimetri
20
Sakarosa
Somoghi – Nelson
32
Glukosa
Somoghi – Nelson
14
Fruktosa
Somoghi – Nelson
16
Senyawa nitrogen
Kjeldahl
10
SiO2
Titrimetri
0,5
K2O
Titrimetri
3,5
CaO
Titrimetri
1,5
MgO
Titrimetri
0,1
P2O5
Titrimetri
0,2
Na2O
Titrimetri
-
Fe2O3
Titrimetri
0,2
Al2O3
Titrimetri
-
Senyawa organik ; Gula :
Senyawa anorganik
Residu soda dan karbonat (sebagai CO2)
1,6
Residu sulfat (sebagai SO3)
0,4
Menurut Meade and Chem (1977) molase dari tebu dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu molase kelas 1, kelas 2 dan kelas 3. Molase kelas 1 didapatkan saat pertama kali jus tebu dikristalkan. Saat dikristalkan terdapat sisa jus yang tidak mengkristal dan berwarna bening. Jus ini diambil sebagai molase kelas 1. Molase kelas 2 diperoleh saat kristalisasi kedua. Warnanya agak kecoklatan sering disebut juga dengan istilah “Dark”. Molase terakhir atau kelas 3 diperoleh dari kristalisasi terakhir, berwarna mendekati hitam (coklat tua) sehingga disebut “Black strap” sesuai dengan warnanya. Black strap memiliki
33
kandungan yang bermanfaat, zat – zat tersebut antara lain kalsium, magnesium, potassium, dan besi (Chapman et al, 1965 dan Simanjuntak, 2009). Pemilihan molase sebagai bahan baku industri didasarkan pada hal-hal berikut : 1. Pabrik gula di Indonesia cukup banyak, sehingga limbah molase yang dihasilkan juga banyak. 2. Memanfaatkan limbah industri menjadi produk yang bersifat komersial 3. Kandungan unsur hara dalam molase bisa sebagai media tumbuh fitoplankton 4. Produk asam sitrat yang didapatkan dalam industri menggunakan limbah padat, sehingga perlu diusahakan pembuatan dari bahan cair secara komersial. Asam sitrat merupakan salah satu asam organik yang banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman (60 % dari total produksi), antara lain berfungsi sebagai pemberi rasa asam, antioksidan dan pengemulsi. Flavor sari buah, ekstrak sari buah, es krim, marmalade diperkuat dan diawetkan dengan menambahkan asam sitrat. Selain itu juga banyak digunakan dalam industri farmasi, kosmetik dan detergent. Dalam industri farmasi (10 % dari total produksi), digunakan sebagai bahan pengawet dalam penyimpanan darah atau sebagai sumber zat besi dalam bentuk Feri-sitrat. Pada industri kimia 25 % dari total produksi digunakan sebagai antibuih dan bahan pelunak (Rahman, 1992). 2.7. Penggunaan Molase Untuk Pupuk Molase dapat digunakan sebagai pupuk organik untuk meyuburkan tanah dan tanaman, karena merupakan sumber besar karbohidrat yang merangsang pertumbuhan mikroorganisme yang menguntungkan tanaman (Priyono, 2009). Jenis molase yang baik dan banyak digunakan sebagai pupuk adalah jenis blackstrap molasses (unsulphered) karena mengandung nutrisi yang lebih baik
34
dibandingkan dengan jenis yang lain. Black strap mengandung konsentrasi terbesar belerang, potasium, besi, dan mikronutrien dari bahan tebu asli. Jadi bukan hanya isi gula yang membuat molase berguna, namun trace mineral (unsur hara mikro). Molase juga merupakan agent chelating yang sangat baik, yang berarti bahwa hal itu dapat membantu mengubah beberapa nutrisi kimia menjadi bentuk yang mudah tersedia untuk organisme tumbuhan. Molase (unsulphered) adalah pupuk cair yang dapat digunakan sendiri, atau sebagai komponen yang ditambahkan dengan bahan lain dan dapat menjadi tambahan penting untuk pemupukan organik (Anwar dan Suganda, 2002).
35