6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kepik Hijau (Nezara viridula L.)
Kepik hijau (N. viridula L.) sudah lama dikenal sebagai hama penting tanaman kedelai yang wilayah sebarannya cukup luas. Hama ini menyerang tanaman kacang-kacangan, kentang, cabai, kapas, dan tembakau. Menurut Tengkano et al., (2007), dari survei tahun 2003 diketahui bahwa kepik hijau merupakan salah satu dari tiga hama yang sangat penting dan penyebarannya meliputi di 32 lokasi survei di 8 kabupaten di Provinsi Lampung.
Menurut Kalshoven (1981), kepik hijau diklasifikasikan sebagai berikut. Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Arthropoda : Insekta : Hemiptera : Pentatomidae : Nezara : Nezara viridula L.
Serangga dewasa kepik hijau (Nezara viridula L.) berwarna hijau yang merata dan kadang-kadang berwarna kuning pada bagian kepala dan protorak, dan jarang sekali ditemukan yang seluruh tubuhnya berwarna kuning. Tubuhnya berbentuk segilima seperti perisai, panjang tubuh sekitar 1—1,5 cm, tipe mulut haustelata,
7
dan kepalanya bersungut. Nimfa kepik hjau memiliki warna yang berbeda-beda, awalnya berwarna coklat muda, kemudian berubah menjadi hitam dengan bintikbintik putih lalu menjadi hijau (imago) (Nurjanah, 2008).
Menurut Fortes et al. (2006, dalam Prayogo, 2012), seekor imago betina kepik hijau mampu menghasilkan telur berkisar 104-470 butir yang diletakkan secara berkelompok pada permukaan daun bagian atas maupun bawah. Setiap kelompok telur terdiri dari 10-50 butir. Telur akan menetas kurang lebih enam hingga tujuh hari setelah diletakkan imago. Telurnya berwarna kekuningan, kemudian berubah menjadi kuning, tetapi menjelang menetas warnanya berubah menjadi kemerahan (merah bata) dan telur berbentuk oval agak bulat seperti tong. Selanjutnya, nimfa yang telah menetas berwarna transparan dan mengkilat. Perkembangan dari telur sampai menjadi serangga dewasa kurang lebih selama 4-8 minggu (Nurjanah, 2008).
a
b
c
Gambar 1. (a) telur kepik hijau berwarna kuning, (b) nimfa,dan (c) dewasa.
Menurut Hidayat (2013), kepik hijau memiliki sayap depan setengah tipis, setengah tebal (sayap hemilitron), alat mulut menusuk-mengisap (haustelata), dan metamorfosisnya paurometabola. N. viridula ditemukan di seluruh daerah tropis
8
dan subtropis yang menghisap beberapa bagian dari tanaman, dan dikenal dari warna hijau yang seragam serta panjangnya sekitar 16 mm.
2.2 Jamur Entomopatogen Beauveria bassiana (Bals.) Vuill.
Jamur B. bassiana juga dikenal sebagai penyakit white muscardine karena miselium dan konidium (spora) yang dihasilkan berwarna putih, bentuknya oval, dan tumbuh secara zig zag pada konidiofornya (Indra, 2008 dalam Erlan, 2014) .
Cendawan entomopatogen menghasilkan beberapa jenis toksin, salah satunya adalah beauverin, dalam mekanisme kerjanya menyebabkan kenaikan pH hemolimfa, penggumpalan hemolimfa, dan terhentinya peredaran hemolimfa. Pengaruh infeksi jamur patogen tidak hanya bersifat mematikan tetapi juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan serangga dan menurunkan kemampuan reproduksinya (Wardoyo, 1988 dalam Surtikanti dan Yasin, 2006).
Salah satu cendawan entomopatogen yang dapat menyerang serangga adalah jamur entomopatogen Beauveria bassiana. Menurut Hughes (1971, dalam Erlan, 2014), B. bassiana dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Kingdom Filum Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Fungi : Ascomycota : Ascomycetes : Hypocreales : Clavicipitaceae : Beauveria (Bals.) : Beauveria bassiana (Bals.) Vuill
9
B.bassiana terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, suhu, kelembaban, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Secara umum, pada suhu di atas 300C kelembaban tanah akan berkurang dan adanya pestisida dalam tanah dapat menghambat pertumbuhan jamur B.bassiana (Surtikanti dan Yasin, 2006).
B. bassiana merupakan jamur yang membentuk koloni berwarna putih seperti kapas dengan pertumbuhan tidak teratur terlihat pada Gambar 2. Konidiofornya memiliki bagian fertil yang bercabang dengan bentuk zig-zag dan di ujungnya terbentuk konidia yang mirip bola yang memiliki dinding licin, diameter 2-3 μm, dan bersifat hidrofob. Hifa hialin, berbentuk massa yang berwarna putih atau kuning pucat, namun kadang berwarna merah muda atau kemerahan (Barnett, 1972 dalam Purnama et al., 2003).
b
c
a
Gambar 2. Morfologi B. bassiana: a. konidia; b. konidiofor; c.hifa yang bersekat (Purnama et al., 2003).
10
B. bassiana merupakan cendawan tanah yang sangat umum ditemukan di seluruh dunia. Sampai saat ini telah dikenal lebih dari 750 spesies cendawan entomopatogen dari sekitar 100 generasi cendawan (Purnama et al., 2003).
Semakin tinggi kerapatan jamur B. bassiana maka semakin cepat menginfeksi serangga dan terjadi kematian (Budi et al., 2013),. Kandungan pada media substrat perbanyakan jamur juga mempengaruhi pembiakan jamur pada media buatan. Selanjutnya media subsrat jagung dan beras merupakan substrat terbaik untuk pembiakan jamur B. bassiana, selanjutnya pengayaan media dengan penambahan tepung jangkrik yang kaya akan kandungan khitin pada media SDB dapat meningkatkan kerapatan spora B. bassiana (Herlinda et al., 2006).
Selain itu, jagung giling memiliki kandungan nutrisi yang cocok bagi pertumbuhan dan perkembangan jamur B. bassiana, karena jagung banyak mengandung protein dan karbohidrat. Pada pengujian di laboratorium, bahwa jenis jamur B. bassiana (Bals.) Vuill. disamping dapat menginfeksi imago serangga kepik hijau juga dapat membunuh stadia larva dan pupa, sebagai pengendali hayati yang memiliki keuntungan antara lain mampu menekan populasi hama tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan (Rahayuningtias, 2010).
Menurut Hasnah et al. (2012), aplikasi cendawan B. bassiana dengan konsentrasi tinggi dapat meningkatkan tingkat mortalitas hama, rata-rata waktu kematian yang kecil dan persentase penghambat makanan N. viridula tinggi. Selain itu, stadia nimfa lebih peka terhadap patogenitas cendawan B. bassiana dibandingkan stadia
11
imago. Konsentrasi yang paling efektif untuk mengendalikan nimfa adalah 6 g/l aquades.
Menurut Indriyati (2009), jamur B. bassiana bersifat patogenik dan dapat menyebabkan mortalitas kutu daun 78,8% dan dapat menyebabkan mortalitas pada kepik hijau sebesar 76%.
2.3 Babadotan (Ageratum conyzoides L.)
Babadotan merupakan tumbuhan dari famili Asteraceae. Nama babadotan sendiri merupakan sebutan oleh masyarakat Jawa, sedangkan di Sumatera dikenal sebagai daun tombak, dan di Madura disebut wedusan. Tumbuhan ini merupakan gulma atau herba menahun tumbuh tegak dengan ketinggian 30—80 cm dan mempunyai daya adaptasi yang tinggi, sehingga mudah tumbuh di mana-mana dan sering menjadi gulma yang dianggap merugikan petani (Sukamto, 2007).
Babadotan memiliki senyawa bioaktif yang berfungsi sebagai insektisida dan nematisida. Kandungan senyawa bioaktif di antaranya saponin, flavanoid, polifenol, dan minyak atsiri yang mampu mencegah hama mendekati tanaman (penolak) dan menghambat pertumbuhan larva menjadi pupa (Samsudin, 2008).
12
Menurut Moenandir (1993), tumbuhan babadotan dapat diklasifikasikan sebagai berikut. Divisi Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies
: Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledoneae : Asterales : Asteraceae : Ageratum : Ageratum conyzoides L.
Ekstrak daun babadotan mampu berfungsi sebagai insektisida nabati. Daunnya mengandung dua senyawa aktif precocene I dan precocene II. Kedua senyawa ini dikenal sebagai anti hormon juvenil, yaitu hormon yang diperlukan oleh serangga hama selama metamorfosis dan reproduksi. Senyawa tersebut diduga mengalami reaksi kimia dalam tubuh serangga sehingga menjadi reaktif dan menyebabkan terjadinya kerusakan sel protein dan kematian sel. Sel yang mengalami kematian adalah sel-sel kelenjar corpora allata yang menghasilkan hormon juvenil (Hasibuan dan Nainggolan, 2007).
Taba et al. (2007) menyatakan bahwa ekstrak daun babadotan kering 90 g/l efektif menekan intensitas serangan hama Kepik Hijau (Nezara viridula) dan Wereng Coklat (Nilaparvata lugens Stal) pada tanaman padi sebesar 12,96 % (57 HST) dan 15% (67 HST).
13
2.4 Kompatiblitas Jamur Entomopatogen dengan Pestisida Nabati
Kompatibilitas merupakan perpaduan yang antara dua jenis bahan yang dipadukan menjadi satu larutan atau dalam bentuk tepung untuk menghasilkan hasil yang selaras dan lebih baik dalam mengendalikan hama.
Kompatibilitas antara jamur entomopatogen dengan pestisida nabati kini sudah banyak yang meneliti dan membuktikannya, sebagian besar pencampuran kedua insektisida biologi tersebut dapat dikatakan berhasil. Dua contoh penelitian yang telah membuktikan, salah satunya adalah penelitian oleh Prayogo (2011), menyatakan bahwa kombinasi insektisida nabati serbuk daun pacar cina (Aglaia odorata), serbuk biji srikaya (Annona squamosa), dan serbuk biji jarak (Jatropha curca) dengan cendawan entomopatogen L. lecanii mampu meningkatkan efikasi pengendalian telur kepik coklat dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal. Insektisida serbuk biji srikaya (Annona squamosa) maupun serbuk biji jarak (Jatropha curcas) yang dikombinasikan dengan L. lecanii lebih sinergis dibandingkan dengan kombinasi insektisida SDA dengan L. lecanii dalam mengendalikan telur kepik coklat. Dosis insektisida nabati 50 g/l merupakan dosis yang tepat untuk dikombinasikan dengan L. lecanii dalam mengendalikan telur kepik coklat.
Selanjutnya menurut Trizelia dan Rusli (2012), kompatibilitas cendawan entomopatogen B. bassiana dengan minyak serai wangi , serai wangi dapat menghambat pertumbuhan koloni, daya kecambah konidia dan sporulasi
14
cendawan. Tingkat penghambatan bervariasi bergantung pada konsentrasi minyak. Semakin tinggi konsentrasi, maka tingkat penghambatan juga semakin tinggi. Minyak serai wangi tidak kompatibel dengan cendawan entomopatogen B. bassiana.
Berdasarkan beberapa penelitian di atas, maka dalam penelitian ini akan dilakukan uji coba dengan mengkombinasikan jamur entomopatogen B. bassiana dengan insektisida nabati dari ekstrak daun babadotan untuk mengendalikan hama kepik hijau dalam sekala laboratorium.