II. TINJAUAN PUSTAKA
A. IDENTIFIKASI SUMBER PENCEMARAN UDARA DAN BAU Pengertian pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam udara dan atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. BAPEDAL (1999), mendefinisikan bahwa pencermaran udara adalah adanya kontaminasi atmosfer oleh gas, cairan atau limbah padat serta produk samping dalam konsentrasi dan waktu sedemikian rupa yang mengakibatkan gangguan, kerugian atau memiliki potensi merugikan terhadap kesehatan dan kehidupan manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan benda serta menciptakan ketidaknyamanan. Selain itu, dapat membahayakan daya penglihatan dan menghasilkan bau yang tidak menyenangkan. Pengertian lain dari Canter (1977) menyatakan bahwa pencemaran udara yaitu adanya atau masuknya satu atau lebih zat pencemar atau kombinasinya di atmosfer dalam jumlah dan waktu tertentu baik yang masuk ke udara secara alami maupun aktivitas manusia, yang dapat menimbulkan gangguan pada manusia, hewan, tumbuhan, dan terhadap harta benda atau terganggunya kenyamanan dan kenikmatan hidup dan harta benda. Pencemaran udara tidak mengenal secara tegas batas wilayah pengaruhnya, baik di kota maupun di daerah-daerah lainnya. Masalah yang ditimbulkan oleh pencemaran udara bahkan dapat meliputi ruang lingkup antar negara. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi penyebaran, seperti volume bahan pencemar, geografis, topografi, dan klimatologi. Jenis-jenis pencemaran udara, yaitu menurut bentuk (gas, partikel), menurut tempat (ruangan /indoor dan udara bebas /outdoor) dan menurut asal (primer, sekunder). Gangguan kesehatan yang ditimbulkan dapat berupa iritansia, asfiksia, anetesia, dan toksis. Bahan atau zat pencemaran udara dapat berbentuk gas dan partikel, pencemaran udara berbentuk gas dapat dibedakan menjadi: •
Golongan belerang terdiri dari sulfur dioksida (SO2), hidrogen sulfida (H2S) dan sulfat aerosol.
•
Golongan nitrogen terdiri dari nitrogen oksida (N2O), nitrogen monoksida (NO), amoniak (NH3) dan nitrogen dioksida (NO2).
• Golongan karbon terdiri dari karbon dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), hidrokarbon. • Golongan gas yang berbahaya terdiri dari benzen, vinyl klorida, air raksa uap. Pencemaran udara berbentuk partikel dibedakan menjadi: • •
Mineral (anorganik) dapat berupa racun seperti air raksa dan timah. Bahan organik terdiri dari ikatan hidrokarbon, klorinasi alkan, Benzen.
• Makhluk hidup terdiri dari bakteri, virus, telur cacing. Pencemaran udara menurut tempat dan sumbernya ada dua macam: •
•
Pencemaran udara bebas (Outdoor air pollution), sumber pencemaran udara bebas: alamiah, berasal dari letusan gunung berapi, pembusukan, dll. Kegiatan manusia, misalnya berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, asap kendaraan, dll.
Pencemaran udara ruangan (Indoor air pollution), berupa pencemaran udara di dalam ruangan yang berasal dari permukiman, perkantoran ataupun gedung tinggi. Pencemaran udara dapat pula dikelompokkan ke dalam:
•
Pencemar primer: Polutan yang bentuk dan komposisinya sama dengan ketika dipancarkan, lazim disebut sebagai pencemar primer, antara lain CO, CO 2, hidrokarbon, SO, nitrogen oksida, ozon serta berbagai partikel.
•
Pencemar sekunder: Berbagai bahan pencemar kadangkala bereaksi satu sama lain menghasilkan jenis pencemar baru, yang justru lebih membahayakan kehidupan. Reaksi ini dapat terjadi secara otomatis ataupun dengan cara bantuan katalisator, seperti sinar matahari. Pencemar hasil reaksi disebut sebagai pencemar sekunder. Contoh pencemar sekunder adalah Ozon, formal dehida, dan Peroxy Acyl Nitrate (PAN). Sumber pencemaran udara berdasarkan pergerakannya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (Krisnayya dan Bedi (1986) dan Sutamihardja (1985)): 1. Sumber pencemaran yang tidak bergerak (industri, pemukiman, dan pembangkit tenaga listrik) yang menghasilkan unsur-unsur polutan ke atmosfir sebagai berikut: kabut asam, oksida nitrogen, CO, partikel-partikel padat, hidrogen sulfida (H2S), metil merkatan (CH3SH), NH3, gas klorin, H2S, flour, timah hitam, gas-gas asam, seng, air raksa, kadmium, arsen, antimon, radio nuklida, dan asap. 2. Sumber pencemaran yang bergerak (kendaraan bermotor atau transportasi) yang menghasilkan CO, SO2, oksida nitrogen, hidrokarbon, dan partikel-partikel padat. Menurut Andrews (1972), penyebab pencemaran udara terbagi tiga kelompok, yaitu: 1. Gesekan permukaan, seperti menggergaji, menggali, gesekan (gosokan) dari beberapa bahan (aspal, tanah, besi, dan kayu) yang membuang partikel padat ke udara dengan berbagai ukuran. 2. Penguapan yang berasal dari cairan yang mudah menguap, seperti bensin, minyak cat, dan uap yang dihasilkan oleh industri logam, kimia dan lainnya. 3. Pembakaran, seperti pembakaran bahan bakar fosil (minyak, solar, bensin, batubara, pembakaran hutan, dsb.). Pembakaran tersebut merupakan proses oksidasi sehingga menghasilkan gas-gas CO2, CO, SOx, NOx, atau senyawa hidrokarbon yang tidak terbakar dengan sempurna. Hehanusa (1986) menjelaskan bahwa sumber pencemar udara terutama SOx dan NOx dibagi menjadi tiga kelompok yaitu dari alam, anthropogenik, dan campuran antara keduanya. Proses alam yang banyak menyebabkan peningkatan konsentrasi SOx dan NOx di udara adalah : (1) Proses dekomposisi biologis, (2) Kegiatan yang berhubungan dengan vulkanik, (3) Aktivitas geotermal, dan (4) Kilat atau petir. Sumber pencemar anthropogenik atau akibat aktivitas manusia adalah dipakainya secara besar-besaran bahan bakar fosil. Sumber pencemar campuran antara keduanya adalah pemakaian pupuk di bidang pertanian yang melalui proses biologis akan melepaskan SOx dan NOx ke udara dan pembakaran hutan. Dampak pencemaran udara dari berbagai sumber ini bisa mempengaruhi terhadap makhluk hidup baik secara langsung maupun tidak langsung (Tabel 1). Industri terutama industri-industri besar merupakan salah satu sumber utama bagi pencemaran udara lokal dan merupakan sumber yang harus diperhitungkan bagi pencemaran udara regional. Pencemaran industri dikombinasikan dengan pencamaran dari sumber-sumber lain seperti sampah perkotaan merupakan ancaman terhadap kesehatan dan kesejahteraan manusia. Industri-industri yang menjadi sumber polusi bau dapat dilihat pada Tabel 2.
4
No 1.
Tabel 1. Dampak pencemaran udara berupa gas Bahan pencemar Sumber Sulfur Dioksida (SO2)
Dampak/akibat pada individu/masyarakat
Batu bara atau bahan
Menimbulkan efek iritasi pada saluran nafas
bakar minyak yang
sehingga menimbulkan gejala batuk dan
mengandung Sulfur.
sesak nafas.
Pembakaran limbah pertanah. Proses dalam industri. 2.
Hidrogen Sulfa (H2S)
Dari kawah gunung
Menimbulkan bau yang tidak sedap, dapat
yang masih aktif.
merusak
indera
penciuman
(nervus
olfactory) 3.
4.
Nitrogen Oksida (N2O)
Berbagai jenis
Menggangu sistem pernapasan.
Nitrogen Monoksida
pembakaran. Gas
Melemahkan sistem pernapasan paru dan
(NO)
buang kendaran
saluran
Nitrogen Dioksida
bermotor. Peledak,
terserang infeksi.
(NO2)
pabrik pupuk.
Amoniak (NH3)
Proses Industri
nafas
sehingga
Menimbulkan
bau
paru
mudah
yang
tidak
sedap/menyengat. Menyebabkan
sistem
pernapasan,
Bronchitis, merusak indera penciuman. 5.
Karbon Dioksida (CO2)
Semua hasil
Menimbulkan
efek
sistematik,
karena
Karbon Monoksida
pembakaran. Proses
meracuni tubuh dengan cara pengikatan
(CO) Hidrokarbon
Industri
hemoglobin yang amat vital bagi oksigenasi jaringan tubuh akaibatnya apabila otak kekurangan oksigen dapat menimbulkan kematian.
Dalam
jumlah
kecil
dapat
menimbulkan gangguan berfikir, gerakan otot, gangguan jantung. Sumber: Yuwono (2003)
Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (SK.MENLH No. Kep.50/MENLH/11/1996), bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indra penciuman, sedangkan kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar dan waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan dan kenyamanan lingkungan. Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan.
5
Tabel 2. Sumber-sumber polusi bau di lingkungan Sumber bau Chemical and petroleum industries 1.
Senyawa atau kelompok bau
Hydrogen sulphide, sulphur dioxide, ammonia,
Refineries
Hydrocarbons,
organic
acids,
mercaptans,
aldehydes 2.
Inorganic
chemicals
(fertilisers,
phosphates production, soda ash, lime,
Ammonia, aldehydes, hydrogen sulphide, sulphur dioxide
sulfuric acids, etc.) 3.
Organic chemicals ( paint industry,
Ammonia,
plastics,
mercaptans, organic acid
rubber,
soap,
detergents,
aldehydes,
sulphur
dioxide,
textiles Pharmaceutical industry
Aldehydes, aromatic, phenol, ammonia, etc.
Rubber, plastics, glass industries
Nitro compounds (amines, axides), Sulphur oxides, aldehydes, ketones, phenol, alcohols, etc.
Composting facilities
Ammonia,
sulphur
containing
compounds,
terpene, alcohols, aldehydes, ester, ketones, volatile fatty acids (VFA) Animal feedlots
Ammonia,
hydrogen
sulphides,
alcohol,
mercaptan,
ammonia,
aldehydes, N2O Wastewater treatment plant
Hydrogen
sulphydes,
amines, skatoles, indoles, etc. Sumber: Yuwono (2003)
Yuwono dan Gardjito (2005), mengemukakan pada dasarnya senyawa yang berbau adalah senyawa kimia yang bersifat mudah menguap (volatile compound) dan pada umumnya berasal dari golongan alkohol (alcohols), aldehida (aldehyde), keton (ketones), asam karboksilat (carbocxylic acids), amina (amines), atau thiols (dengan gugus fungsional sulfhydryl). Contoh senyawa, rumus kimia, dan kesan bau dapat dilihat pada Tabel 3.
6
Tabel 3. Senyawa-senyawa bau dengan rumus kimia dan kesan baunya Nama senyawa Rumus kimia Kesan bau CH3CHO Pungent Acetaldehyde Ammonia
NH3
Pungent
Butyric asid
CH3CH2CH2COOH
Rancid
Diethyl sulphide
C2H5C2H5S
Garlic
Dimethyl amine
CH3CH3NH
Fishy
Dimethyl sulphide
CH3CH3S
Decayed cabbage
Ethyl mercaptan
C2H5SH
Decayed cabbage
Formaldehyde
HCHO
Pungent
Hydrogen sulphide
H2S
Rotten eggs
Methyl marcaptan
CH3SH
Decayed cabbage
Phenol
C6H5OH
Empyreumatic
Propyl marcaptan
C3H7SH
Unpleasant
Sulphur dioxide
SO2
Pungent
Trimethyl amine
CH3CH3CH3N
Fishy
Valeric acid
CH3CH2CH2CH2COOH
Body odour
Sumber : Yuwono (2003)
B. BAKU MUTU EMISI GAS Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (SK.MENLH No. Kep.50/MENLH/11/1996), pencemaran adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam air/udara, dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) air/udara oleh kegiatan manusia dan proses alam, sehingga kualitas air/udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukkannya. Pengelolaan lingkungan yang tercemari oleh gas polutan dibutuhkan pengendalian yang efisien dan efektif. Hal ini dikarenakan adanya cemaran dapat merusak lingkungan serta mengganggu kestabilan kehidupan makhluk hidup, terutama bagi manusia. Meningkatnya intensitas kegiatan penduduk dan industri perlu dikendalikan untuk mengurangi kadar kerusakan lingkungan di banyak daerah. Hal tersebut antara lain pencemaran industri, pembuangan limbah yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, penggunaan bahan bakar yang tidak aman bagi lingkungan, kegiatan pertanian, penangkapan ikan dan pengelolaan hutan yang mengabaikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Upaya pencegahan terjadinya pencemaran terhadap lingkungan oleh berbagai aktivitas industri dan aktivitas manusia memerlukan pengendalian terhadap pencemaran lingkungan dengan menetapkan baku mutu lingkungan. Dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan menyebutkan baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Baku mutu emisi gas dan ambang batas untuk beberapa jenis senyawa bau dalam udara yang diperbolehkan dan tidak mengganggu manusia serta kenyamanan lingkungan diatur dalam Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup untuk
7
baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan baku tingkat kebauan dapat dilihat pada Tabel 4 dan Tabel 5.
Tabel 4. Baku mutu emisi sumber tidak bergerak untuk jenis kegiatan lain Parameter Satuan Batas Maksimum Bukan Logam : (mg/m3)
1. Amoniak (NH3)
10
3
5
3
10
3
(mg/m )
1000
%
35
(mg/m )
2. Gas Klorin (Cl2)
(mg/m )
3. Hidrogen Klorida (HCl)
(mg/m )
4. Hidrogen Fluorida (HF) 5. Nitrogen Oksida (NO2) 6. Opasitas
3
350
3
800
3
35
(mg/m )
7. Partikel
(mg/m )
8. Sulfur Dioksida (SO2)
(mg/m )
9. Total Sulfur Tereduksi (H2S)
0.5
3
Sumber: (SK. MENLH No. Kep. 13/MENLH/3/1995)
1.
Tabel 5. Baku tingkat kebauan untuk beberapa jenis senyawa kimia Parameter Satuan Nilai Metode Peralatan Batas Pengukuran Amoniak ppm 2.0 Metode Indofenol Spektrofotometer
2.
Metil
No
ppm
0.002
Absorpsi gas
Gas khromatograf
ppm
0.02
Merkuri tiosianat
Spektrofotometer
Absorpsi gas
Gas khromatograf
Merkaptan 3.
Hidrogen Sulfida
4.
Metil
ppm
0.01
Absorpsi gas
Gas khromatograf
ppm
0.1
Absorpsi gas
Gas khromatograf
Sulfida 5.
Stirena
Sumber: (SK. MENLH No. Kep. 50/MENLH/11/1996)
1. 2. 3. 4. 5.
Dalam KEP-50/MENLH/11/1996 tentang baku mutu kebauan tertulis sebagai berikut: Bau adalah suatu rangsangan dari zat yang diterima oleh indra penciuman; Kebauan adalah bau yang tidak diinginkan dalam kadar waktu tertentu yang dapat mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; Baku tingkat kebauan adalah batas maksimal bau dalam udara yang diperbolehkan yang tidak mengganggu kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan; Sumber bau atau zat odoran adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rangsangan bau pada keadaan tertentu; Zat odoran adalah zat yang dapat berupa zat tunggal maupun campuran berbagai macam senyawa.
8
C. GAS AMONIAK (NH3) Amoniak (NH3) merupakan bahan dasar pembuatan pupuk yang berbasis nitrogen, senyawa ini digunakan sebagai penyedia nitrogen yang siap digunakan dibandingkan dengan nitrogen bebas yang merupakan senyawa inert karena lebih mudah dikonversi oleh tanaman. Amoniak mempunyai bau yang sangat menyengat. Titik didihnya sangat rendah (-33.35 oC) pada tekanan atmosfer sehingga berwujud gas yang tidak berwarna dan sangat mudah larut dalam air membentuk basa lemah amonium hidroksida (NH4OH). NH3(g) + H2O(l)
NH4OH(l)
Amoniak dapat berwujud cair jika berada pada tekanan tingi yaitu sekitar 10 atm. Sifatsifat amoniak dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Sifat-sifat fisik amoniak Karakteristik Nilai 17.03 Berat Molekul Titik Beku (oC) o
-77.07
Titik didih ( C)
-33.35
Densitas (g/mL)
0.817 (80 oC)
Viskositas (cP)
0.255 (-30 oC)
Panas Pembentukan (kJ/mol)
46.2 (18 oC)
Panas Penguapan (kJ/mol)
23.3 (-33.3 oC)
Panas spesifik (J/g oC)
2.225
Sumber: Perry (1999)
Emisi gas amoniak menyebabkan gangguan kesehatan gangguan pada saluran pernafasan, iritasi selaput lendir mata, pusing serta gangguan kesehatan yang lainnya (Tabel 7 dan Tabel 8) (Soemirat 2002). Amoniak merupakan produk dekomposisi senyawa organik yang tidak teroksidasi secara sempurna karena kondisi anaerobik. Amoniak memiliki nilai kesetimbangan untuk pH yaitu 9.26. Menurut Saeni (1989) reaksi kimianya adalah sebagai berikut: NH4+
H+ + NH3
Reaksi tersebut memiliki arti bahwa bila nilai pH lebih dari 9.26 maka keseimbangan terletak di sebelah kanan yaitu amoniak dalam bentuk NH3, sedangkan jika nilai pH kurang dari 9.26 maka keseimbangan akan terletak di sebelah kiri yaitu amoniak berbentuk NH4+ (Jenie dan Rahayu 2004). Amoniak mempunyai bau yang sangat menyengat, sangat korosif terhadap logam serta berbahaya bagi kesehatan manusia.
9
Tabel 7. Sifat-sifat bahaya amoniak Parameter Efek Jangka Pendek (Akut) Kesehatan
Bahaya Amoniak
Iritasi terhadap saluran pernapasan, hidung, tenggorokan dan mata terjadi pada 400 - 700 ppm, sedangkan pada 5000 ppm menimbulkan kematian. Kontak dengan mata dapat menimbulkan iritasi hingga kebutaan total. Kontak dengan kulit dapat menyebabkan luka bakar (frostbite). Efek Jangka Panjang (Kronis) Menghirup uap asam pada jangka panjang mengakibatkan iritasi pada hidung, tenggorokan dan paru-paru. Termasuk bahan teratogenik. Nilai Ambang Batas: 25 ppm (18 mg/m3) (ACGIH 1987-88) STEL 35 ppm (27 mg/m3). Toksisitas: LD 50 = 3 mg/kg (oral, tikus). LC 50 = 200 ppm (tikus menghirup 4 jam). Kebakaran
Dapat terbakar pada daerah mudah terbakar: 16-25 % (LFL-UFL). Suhu kamar: 651 oC.
Reaktivitas
Stabil pada suhu kamar, tetapi dapat meledak oleh panas akibat kebakaran. Larut dalam air membentuk ammonium hidroksida.
Sumber: Anonim (www.pupukkaltim.com 2010)
Tabel 8. Keselamatan dan Pengamanan Bahaya Amoniak Parameter Keselamatan dan Pengamanan Penanganan & Hindari gas berada dalam ruang kerja, hindari dari loncatan api dan sumber panas. Penyimpanan
Simpan pada tempat dingin, kering dan berventilasi dan jauh dari populasi. Hindarkan dari asam, oksidator, halida, etoksi, logam alkali dan kalium klorat.
Tumpahan &
Bila terjadi tumpahan atau bocoran, harus ditangani oleh orang yang terlatih
Bocoran
dengan memakai alat pelindung diri. Jauhkan dari sumber api. Kabut amoniak dapat disemprot oleh air.
Alat Pelindung
Paru-paru : Masker dengan Filter Amoniak atau respirator udara
Diri
Mata
: Safety goggles dan pelindung muka
Kulit
: Gloves (neoprene, karet, PVC karet butil)
Pertolongan Pertama
Terhirup
: Bawa ke tempat aman dan udara yang segar, beri pernapasan buatan jika perlu, segera bawa ke dokter.
Terkena mata : Cuci dengan air bersih dan mengalir selama 20 menit dan segera bawa ke dokter. Terkena kulit : Cuci dengan air bersih dan mengalir selama 20 menit, lepaskan pakaian yang terkontaminasi. Pemadam Api
Hentikan kebocoran gas dengan aman, gunakan semprotan air sebagai pendingin. Media pemadaman CO2, halon, bubuk bahan kimia kering.
Sumber: Anonim (www.pupukkaltim.com 2010)
10
Amoniak dapat langsung direaksikan dengan oksigen menjadi nitrit. Reaksi antara amoniak dengan asam nitrit dapat menghasilkan amonium nitrat yang memungkinkan diaplikasikan sebagai pupuk. Kotoran hewan yang membusuk juga dapat menghasilkan nitrat. Nitrifikasi merupakan konversi amonium menjadi nitrat secara biologis yang terjadi dari dua tahap yang melibatkan dua kelompok mikroorganisme yaitu Nitrosomonas sp dan Nitrobacter sp. Pada tahap pertama, amonium dikonversi menjadi nitrit dan pada tahap kedua nitrit dikonversi menjadi nitrat (Sutedjo et al. 1991). Tahapan yang terjadi yaitu: Tahap pertama: +
NH4 + 11 2 O2
Nitrosomonas sp
NO2- + 2H+ + H2O
Tahap kedua: Nitrobacter sp
-
NO2 + 1 2 O2
NO3-
Kedua reaksi tersebut menghasilkan energi yang dibutuhkan Nitrosomonas sp dan Nitrobacter sp untuk pertumbuhan dan perawatan sel. Reaksi energi secara keseluruhan dijabarkan sebagai berikut: NH4+ + 2O2
NO3- + 2H+ + H2O
Bersamaan dengan energi yang dihasilkan, sebagian dari ion amonium diasimilasi menjadi jaringan sel. Reaksi sintesis biomassa dijabarkan dengan persamaan sebagai berikut: 4CO2 + HCO3- + NH4+
C5H7O2N + 5O2
Proses nitrifikasi secara keseluruhan dapat dijabarkan dengan persamaan sebagai berikut: NH4+ + 1.86O2 + 1.98HCO(Sutedjo et al. 1991).
0.02C5H7NO2 + 0.98NO3- + 1.88H2CO3 + 1.04H2O
D. PENGGUNAAN NH3 DI INDUSTRI Beberapa industri menggunakan amoniak dalam jumlah besar, sehingga emisi amoniak yang dihasilkan juga dalam jumlah besar. Pabrik lateks pekat salah satu pabrik yang menghasilkan emisi amoniak. Menurut Saputra (2008), emisi pabrik lateks pekat untuk amoniak adalah 1-600 ppm. Industri lateks pekat menggunakan amoniak sebagai bahan anti koagulan untuk mencegah terjadinya prakoagulasi lateks serta desinfektan untuk pengawetan lateks. Selain industri karet, amoniak juga banyak dihasilkan oleh industri peternakan, industri petrokimia, manufaktur logam, industri makanan, pulp dan kertas, industri tekstil, pabrik pengolahan limbah, dan industri pupuk urea. Amoniak banyak digunakan dalam memproduksi asan nitrat, sebagai indikator universal untuk menguji gas yang berbeda-beda sehingga diketahui keberadaan gas tersebut, pupuk dengan mencampurkan amoniak dengan air tanpa proses kimiawi tambahan, amoniak banyak digunakan sebagai refrigerant sebelum ditemukannya dichlorodifluoromethane (Freon), amoniak juga digunakan sebagai desinfektan, dan amoniak cair digunakan sebagai bahan bakar pada roket (Busca 2003).
11
E. METODE PENGHILANGAN EMISI GAS Menurut Devinny et al. (1999), ada dua bentuk pengendalian emisi udara yang dapat diaplikasikan. Pengendalian sumber melibatkan pengurangan emisi melalui penggantian bahan baku, pengurangan maupun pendaurulangan. Bagaimanapun, mekanisme pengurangan ini mungkin dapat mengurangi kualitas produk atau meningkatkan biaya. Pengendalian yang kedua merupakan cara dengan melakukan pengolahan gas yang dihasilkan. Pemilihan teknologi sering ditentukan oleh desakan ekonomi ataupun ekologi. Beberapa batasan datang dari keadaan senyawa yang akan diolah, konsentrasi dan bentuk emisi dari aliran limbah gas.
1. Pengendalian Emisi Gas Seacara Fisik dan Kimia Metoda pemurnian gas buang secara fisik-kimia adalah berdasarkan pada perubahan fase gas diserap oleh fase gas lain, fase cair atau fase padat, sebagai berikut: a. Metode fase gas Metode ini sebenarnya bukan metode penghilangan gas atau bau, akan tetapi menyamarkan bau (busuk) yang tidak disukai dengan memberikan bau yang enak atau lebih disukai. b. Metode fase cair Gas buang dialirkan dan dipertemukan dengan senyawa penyerap gas (adsorban) dalam fase cair, pada umumnya menggunakan air. Metode ini sangat baik untuk gas-gas yang memiliki kelarutan yang tinggi terhadap zat cair (air). Adsorban yang sudah jenuh perlu dimurnikan kembali bila memungkinkan, dimanfaatkan untuk penggunaan lain atau dibuang. c. Metode fase padat Pada proses ini, gas dialirkan dan dipertemukan dengan senyawa penyerap gas dalam bentuk padat. Molekul-molekul gas akan terserap, terkondensasi dipermukaan adsorban, secara fisik maupun kimia. Arang aktif sudah banyak dikenal sebagai bahan penyerap bau yang relatif murah dan efektif. Arang aktif dalam bentuk butiran (granular activatedcarbon, GAC) sudah banyak dipergunakan sebagai bahan penyerap bau dan warna. Arang aktif dalam bentuk serat (activated carbon fiber, ACF) memiliki daya serap yang lebih besar dibandingkan dengan GAC. Daya serap ACF type FN-300GF-15 terhadap gas amoniak adalah 0.72g-NH3/kgdry AC sedangkan daya serap ACF-1300 terhadap senyawa organik yang mudah menguap (volatile organic carbon, VOC) seperti alkohol, aseton dan tetra-hidrofuran adalah 0.44gVOC/kg-dry ACF (Lens dan Pol 2000). Daya serap secara fisik-kimia ini hanya berlangsung dalam waktu yang relatif singkat sebelum mencapai titik jenuh. ACF atau GAC yang telah jenuh ini perlu dipanaskan pada suhu diatas 100 oC untuk melepaskan gasgas tersebut (regenerasi) dan kemudian dapat digunakan kembali. Dengan demikian polutan gas ini tidak dihilangkan, tetapi diubah menjadi bentuk lain, dan mungkin akan tetap menimbulkan polusi. d. Pembakaran Senyawa-senyawa gas organik dapat juga langsung dibakar dan menghasilkan karbon dioksida dan air pada tingkat suhu yang cukup. Metoda ini memerlukan biaya energi yang cukup besar, sehingga banyak dihindari.
12
Devinny et al. (1999) dan Lens dan Pol (2000) menambahkan beberapa metode yang dapat digunakan untuk menangani limbah gas secara fisik-kimia antara lain: 1. Kondensasi: limbah gas yang pekat dilakukan pendinginan dan dikompres. 2. Insinerasi: terdiri dari insinerasi termal (700-1400 oC) dan insinerasi katalis (300-700 oC dengan katalis platinum, palladium dan rubidium). Produksi NOx dan beberapa dioksin juga bisa terjadi. Teknologi ini sesuai untuk aliran limbah gas pekat dan laju alir sedang. 3. Adsorpsi: adsorpsi terjadi dalam bahan pada fixed atau fluidized bed seperti karbon aktif atau zeolite dan sangat efektif untuk uap dengan konsentrasi rendah. Regenerasi karbon dimungkinkan dengan cara recovery polutan dengan desorpsi menggunakan uap air atau udara panas. 4. Absorpsi: penghilangan limbah gas pencemar dengan larutan penyerap, seperti air maupun pelarut organik (minyak silikon). Kesuksesan ditentukan oleh afinitas polutan terhadap cairan. Menurut Nathanson (1997), metode ini disebut Flue Gas Desulfurization (FGD), dengan larutan penyerap dapat berupa kapur (CaO) atau batu kapur (CaCO 3).
5. Sistem membran: menggunakan perbedaan tekanan pada dua sisi membran. Tekanan aliran gas sekitar 310-1400 kPa. Membran yang digunakan biasanya merupakan membran hidrofobik mikroporous yang terbuat dari polietilen dan polipropilen.
2. Pengendalian Emisi Gas Secara Biologis Penghilangan gas secara biologis ini dilakukan dengan memanfaatkan aktivitas mikroba. Pertama, gas-gas buangan diserap oleh bahan pengisi tertentu, kemudian dioksidasi dan diuraikan atau digunakan sebagai sumber energi bagi mikroba. Mikroba memerlukan kondisi tertentu untuk hidup. Kebutuhan ini harus dipenuhi dengan menumbuhkannya dalam fase cair atau medium tertentu. Senyawa gas yang akan diolah dan sejumlah oksigen harus dialirkan dari fase gas ke dalam fase cair. Populasi mikroba dapat terdispersi secara bebas dalam fase cair, terimobilisasi pada suatu bahan pengepak atau bahan pengisi padat. Dengan demikian dapat dibedakan tiga metoda biologi sebagi berikut (Ottengraf 1986): (1) Bioscrubber, (2) Biotrickling filter, dan (3) Biofilter. 1. Bioscrubber: Kontaminan gas diabsorb dalam bentuk fase cair bebas. Fase gas yang dialirkan akan dicuci dengan scrubber. Absorbsi dan biodegradasi terjadi secara terpisah. Setelah kontaminan diabsorbsi secara fisik, degradasi terjadi dengan bantuan konsorsium mokroorganisme tersuspensi pada tempat terpisah. Absorpsi terjadi pada kolom filter, spray tower atau buble column. Air ditransfer ke vessel terpisah dimana kondisi lingkungan lebih optimal untuk biodegradasi. Pada sistem dilakukan aerasi untuk memastikan degradasi maksimal. 2. Biotrickling Filter: Kontaminan gas diabsorp sebagai fase cair bebas yang digunakan untuk biodegradasi baik dengan menggunakan bakteri yang tersuspensi maupun dengan bakteri terimobilisasi. Pada biotrickling filter, mikroba terjerap pada bahan organik yang bersifat inert/lembam sedangkan mikroba tersuspensi dalam fase cair yang mendegradasi polutan yang dilewatkan pada filter terkontaminasi. Udara yang dialirkan mengalami daur ulang sedangkan nutrient, keasaman dan kebasaan ditambahkan oleh operator, disesuikan dengan kondisi lingkungan agar polutan dapat dihilangkan secara optimal. Fenomena absorpsi dan biodegradasi terjadi dalam satu reaktor yang sama. Reaksi berkelanjutan pada media dalam fase gas.
13
3. Biofilter: Biofilter merupakan reaktor yang memiliki mikroorganisme terjerap pada media untuk mengolah polutan gas. Mikroorganisme yang tumbuh membentuk biofilm pada permukaan medium yang tersuspensi dalam fase air yang tersebar pada partikel media. Media yang digunakan mengandung bahan yang inert (kompos, gambut, serasah daun, dsb) yang memiliki luas permukaan untuk absorpsi dan penambahan nutrient. Gas dialirkan pada bahan pengisi, kontaminan pada fase gas dijerap ke dalam biofilm dan ke permukaan media tempat degradasi polutan. Biofilter merupakan kombinasi terhadap proses absorbsi, adsorbsi, degradasi dan desorpsi polutan gas. Biofilter membutuhkan penambahan air untuk mengontrol kadar air dan penambahan nutrient. Efektifitas secara keseluruhan dipengaruhi oleh karakteristik dan sifat fisiko-kimia media yang digunakan, dimana termasuk porositas, tingkat kepadatan media, kemampuan penyerapan air dan kemampuan penjerapan populasi mikroorganisme. Titik kristis kinerja biofilter dan parameter performansi terdiri dari pH media, suhu, kadar air media dan kandungan nutrient.
Tabel 9. Klasifikasi bioreaktor untuk pemurnian limbah gas Tipe Reaktor Mikroorganisme Fase Air Biofilter
Terjerap
Tidak bergerak
Biotrickling Filter
Terjerap
Bergerak
Tersuspensi
Bergerak
Bioscrubber Sumber: Devinny et al. (1999)
Gambar 1. Biofilter (a), biotrickling filter (b), dan bioscrubber (c) ( Yuwono 2003).
F. BIOFILTER Menurut Janni et al. (2000), ada beberapa metode penanganan yang digunakan untuk mengontrol emisi gas penyebab bau yang meliputi metode fisika, kimia maupun biologi antara lain adalah:
14
1. 2. 3. 4. 5. 6.
metode pengontrolan langsung dari sumbernya penambahan bahan kimia tertentu pada limbah penyebab bau menyimpan limbah pada storage (drum-drum penampungan) penambahan ozon (ozonisasi) teknologi plasma non thermal penerapan metode biofiltrasi Berdasarkan metode penanganan yang telah disebutkan, metode pada no. 1 hingga 5 termasuk dalam metode fisika-kimia. Dahulu metode ini banyak digunakan untuk menangani masalah gas penyebab kebauan, namun karena biaya operasional metode ini cukup tinggi, sulit dalam perawatan dan juga menimbulkan limbah sekunder, akhirnya metode ini telah banyak ditinggalkan (Sun et al. 2000). Metode no. 6 adalah metode penanganan emisi gas penyebab bau dengan biofiltrasi, metode ini merupakan pengembangan dari metode biologi. Menurut Sun et al. (2000), biofiltrasi adalah teknologi yang digunakan untuk mengolah gas dan bau yang biodegradable (dapat terurai oleh mikroorganisme). Metode biofiltrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu biofilter, bioscrubber dan biotrickling filter (Ottengraf 1986). Biofilter didefinisikan sebagai packed tower deodorization apparatus atau alat penghilang bau yang berupa tower dengan bahan pengisi didalamnya (Devinny et al. 1999). Teknik biofilter ini terus dikembangkan sebagai alternatif teknologi untuk menggantikan metode fisika-kimia. Jika dibandingkan dengan metode fisika dan kimia, beberapa keunggulan metode biologi antara lain adalah biaya investasi dan pemeliharaan yang rendah, mudah perawatan, operasional alat yang stabil pada jangka waktu lama serta tidak menimbulkan polusi baru (Cho et al. 2000). Ditambahkan oleh Hirai et al. (2001) bahwa biofilter merupakan salah satu teknik yang efektif sebab tidak membutuhkan wilayah konstruksi yang besar. Menurut Ottengraf (1986), kinerja biofilter dalam penanganan gas penyebab bau dapat dinilai berdasarkan beberapa hal berikut ini yaitu: 1. kapasitas penyerapan maksimum (g/kg-media kering/hari) 2. efisiensi penyerapan gas oleh media biofilter sekitar 95% dalam waktu yang relatif lama 3. kemampuan bahan pengisi dalam mempertahankan kondisi pH, suhu dan kadar air Mekanisme kerja dari biofilter ini adalah melewatkan gas penyebab bau ke dalam kolom biofilter. Pada awalnya gas-gas tersebut akan diserap oleh material padat dari bahan pengisi. Penyerapan yang terjadi ini sering disebut dengan penyerapan secara fisik. Setelah material padat jenuh dengan gas maka penyerapan gas akan dilanjutkan oleh mikroorganisme yang telah membentuk lapisan tipis (biofilm atau biolayer) di dalam biofilter. Target komponen gas akan larut atau terserap ke dalam lapisan biolayer ini, selanjutnya dioksidasi dan diuraikan oleh mikroorganisme yang hidup dalam bahan pengisi (Yani 1999). Mikroorganisme menggunakan gas penyebab bau sebagai sumber energi dan nutrient bagi kelangsungan hidupnya. Produk utama yang dihasilkan dari reaksi ini adalah H2O, CO2, garam mineral, beberapa senyawa organik dan sel-sel mikroorganisme (Degorce-Dumas et al. 1997).
G. BAHAN PENGISI Penentuan bahan pengisi yang tepat sangatlah penting diperhatikan untuk memaksimalkan efisiensi biofilter, sebab bahan yang dipilih akan menjadi media tempat tumbuh bakteri, sehingga bahan pengisi dipilih yang bisa mendukung kehidupan bakteri (Hirai et al. 2001). Bahan pengisi merupakan jantung dari sebuah biofilter (Ottengraf 1986). Hal tersebut
15
karena bahan pengisi atau packing material atau filter beds merupakan inti operasional suatu biofilter. Menurut Hirai et al. (2001), syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemilihan bahan pengisi untuk biofilter antara lain adalah: 1. mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi 2. mempunyai tingkat porositas yang tinggi 3. mempunyai daya memadat (compacting) yang rendah 4. tidak mengalami penurunan kinerja walaupun kadar air menurun 5. tidak berubah dalam jangka panjang 6. ringan 7. murah 8. mampu menyerap gas penyebab bau 9. mempunyai kapasitas penyangga yang tinggi terhadap produk akhir yang bersifat asam. Bahan pengisi biofilter secara kimiawi dibagi menjadi dua jenis yaitu bahan anorganik dan bahan organik. Bahan anorganik misalnya berasal dari kalsinat kristobalit, keramik, batu karang, arang aktif, lava dan sebagainya. Efisiensi penghilangan bau yang dicapai biofilter dengan menggunakan bahan pengisi anorganik ini cukup tinggi.
1. Tanah Lapisan tanah bagian atas mengandung bahan organik relatif lebih tinggi dibandingkan lapisan tanah bagian bawah. Pada lapisan atas (top soil) terdapat akumulasi bahan organik berwarna gelap dan subur yang sangat penting untuk kehidupan makhluk didalamnya. Tiga komponen tanah yang menyediakan nutrient adalah bahan organik, turunan bahan batuan induk dan serpih-serpih lempung. Umumnya partikel tanah menempati lebih dari separuh rongga dalam tanah. Rongga selebihnya yang terdapat antara partikel, disebut ruang pori, ditempati oleh air dan udara. Kepadatan tanah didefinisikan sebagai massa per satuan volume tanah kering yang juga mencerminkan ruang pori total dari tanah (Rao 1992). Tanah dapat digunakan sebagai bahan pengisi pada biofilter sebab sangat murah, sangat mudah didapat, tersedia dalam jumlah yang melimpah, serta mengandung populasi mikroba yang tinggi pula. Tanah secara alami bersifat hidrofilik dan kemampuan untuk menahan kehilangan air lebih tinggi bila dibandingkan dengan kompos dan gambut walaupun dalam kondisi yang kering. Namun kekurangan dari bahan pengisi tanah yaitu mempunyai daya penurunan tekanan yang besar dan sering terdapat garis-garis kecil pada media untuk lewat aliran udara. Tanah juga mempunyai permeabilitas yang cukup rendah terhadap gas. Tanah sangat bagus digunakan untuk open-bed biofilter (Devinny et al. 1999).
2. Kompos Bokashi Kompos merupakan bahan organik yang mempunyai keragaman dan kelimpahan mikroorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta pH yang netral. Bahan kompos mempunyai tahanan terhadap penurunan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan gambut. Kompos juga cepat memadat, maka untuk memperbesar pori media dapat ditambahkan bahan tambahan lain (Devinny et al. 1999). Kompos merupakan bahan organik yang berfungsi sebagai pupuk yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah karena tanah
16
menjadi remah dan mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat dapat hidup dengan subur (Wudianto 1996). Menurut Cosico (1985) pengomposan berarti suatu proses yang dapat mengakibatkan suatu campuran bahan-bahan organik akan terurai menjadi produk akhir (kompos) yang stabil di bawah kondisi yang optimum. Kompos tersebut dapat dipergunakan sebagai pupuk dan penyubur tanah. Harada et al. (1993), menyatakan bahwa bahan organik yang dikomposkan dan akan digunakan untuk tanah pertanian sebaiknya terdekomposisi dengan baik dan tidak menimbulkan berbagai efek yang merugikan terhadap pertumbuhan tanaman. Kompos dicirikan oleh sifat-sifat berikut: 1. berwarna coklat tua sampai hitam 2. tidak larut dalam air meskipun sebagian dari kompos dapat membentuk suspensi 3. sangat larut dalam pelarut alkali, natrium pirofosfat, atau larutan amoniak oksalat menghasilkan ekstrak berwarna gelap dan dapat difraksinasi lebih lanjut menjadi humic, fulfic, dan humin 4. nisbah C/N berkisar antara 10 – 20 (tergantung bahan baku dan derajat humidifikasi) 5. memiliki kapasitas pemindahan kation dan absorbsi air yang tinggi 6. jika digunakan pada tanah, kompos memberikan efek-efek menguntungkan bagi tanah dan pertumbuhan tanaman. Nilai pupuknya ditentukan oleh N, P, K, Ca, dan Mg. 7. tidak berbau 8. secara biokimiawi tidak stabil tetapi komposisinya berubah karena aktifitas mikroba, sepanjang kondisi lingkungannya sesuai (seperti suhu dan kelembaban), yang akan dioksidasi menjadi garam-garam anorganik, karbon dioksida, dan air. Mutu kompos dipengaruhi oleh tingkat kematangannya. Kompos yang telah matang akan memiliki kandungan bahan organik yang dapat didekomposisi dengan mudah dan nisbah C/N yang rendah. Kompos yang baik tidak mengandung bahan-bahan yang dapat merugikan pertumbuhan tanaman dan tidak menebarkan bau yang ofensif serta kandungan airnya mencukupi. Kompos juga bisa digunakan sebagai bahan pengisi organik, karena memiliki keragaman dan jumlah mikroorganisme yang tinggi, mempunyai kapasitas penyangga air yang tinggi serta pH yang netral. Bahan kompos mempunyai tahanan penurunan permukaan lebih tinggi dibanding gambut (Devinny et al. 1999).
3. Serasah Daun Karet Bahan organik tanah merupakan fraksi organik tanah yang berasal dari biomassa tanah dan biomassa luar tanah. Sumbangan biomassa tanah dan tinggalannya yang telah mati, mulamula berupa serasah yang kemudian secara berangsur digabungkan dengan tanah. Penggabungan dilakukan secara fisik oleh fauna tanah, khususnya makro fauna, atas serasah yang banyak sedikit masih utuh, oleh air resapan infiltrasi yang membawa masuk hasil dekomposisi serasah terlarutkan dan kolodial, serta gerakan kembang kerut tanah yang menarik masuk serasah dan dekomposisinya (Notohadiprawiro 1999). Serasah adalah daun-daun kering yang merupakan bahan pengisi tambahan yang ditambahkan dalam media pengisi biofilter yang berfungsi untuk meningkatkan porositas pada campuran bahan pengisi (Sun et al. 2000). Pemberian serasah daun karet dalam bahan pengisi, yaitu sebagai bahan pengisi tambahan untuk memperkaya kandungan organik dalam media
17
(Liang et al. 2000). Serasah daun karet mengandung sedikit air tetapi memiliki banyak karbon dan nitrogen (Djaja 2008).
H. ADSORPSI Adsorpsi adalah suatu peristiwa fisik atau kimia pada permukaan yang dipengaruhi oleh suatu reaksi kimia antara adsorben dan adsorbat. Adsorben adalah padatan atau cairan yang mengadsorpsi sedang adsorbat adalah padatan, cairan atau gas yang diadsorpsi. Jadi proses adsorpsi dapat terjadi antara padatan dengan padatan, gas dengan padatan, gas dengan cairan dan cairan dengan padatan (Ketaren 1986). Menurut Setyaningsih (1995), adsorpsi adalah proses terjadinya perpindahan massa adsorbat dari fase gerak (fluida pembawa adsorbat) ke permukaan adsorben. Adsorpsi terjadi karena adanya gaya tarik menarik antara molekul adsorbat dengan tempat-tempat aktif di permukaan adsorben. Adsorpsi merupakan peristiwa terjadinya perubahan kepekatan dari molekul, ion atau atom antara permukaan dua fase. Walstra (2003) mendefinisikan adsorpsi sebagai proses difusi suatu komponen pada suatu permukaan atau antar partikel. Komponen yang terserap disebut adsorbat dan bahan yang dapat menyerap disebut adsorben. Adsorben dapat berupa padatan atau cairan. Adsorbat terlarut dalam cairan atau berada dalam gas. Dalam proses adsorpsi terjadi proses pengikatan oleh permukaan adsorben padatan atau cairan terhadap adsorbat atom-atom, ion-ion atau molekul-molekul gas atau cairan lainnya yang melibatkan ikatan intramolekuler diantara keduanya (Osmonics 2000). Melalui proses pengikatan tersebut, maka proses adsorpsi dapat menghilangkan warna (Kadirvelu dan Namasivayam, 2003) dan logam (Rossi et al. 2003). Pari (1995) mengatakan bahwa ada dua metode adsorpsi yaitu adsorpsi secara fisik (physicosorption) dan adsorpsi secara kimia (chemoisorption). Adsorpsi secara fisik terjadi karena perbedaan energi atau gaya tarik menarik elektrik (gaya Van der Waals) sehingga molekul-molekul adsorbat secara fisik terikat pada molekul adsorben. Jenis adsorpsi ini umumnya adalah lapisan ganda (multi layer) dalam hal ini tiap lapisan molekul terbentuk di atas lapisan-lapisan yang proporsional dengan konsentrasi kontaminan. Makin besar konsentrasi kontaminan dalam suatu larutan maka makin banyak lapisan molekul yang terbentuk pada adsorben. Adsorpsi fisik ini bersifat dapat balik (reversible) yang berarti atom-atom atau ion- ion yang terikat dapat dilepaskan kembali dengan bantuan pelarut tertentu yang sesuai dengan sifat ion yang diikat. Sedangkan adsorpsi secara kimia, ikatan yang terjadi adalah ikatan kimia yang kuat dan bersifat tidak dapat balik (irreversible) karena pada pembentukannya diperlukan energi pengaktifan sehingga untuk melepaskannya diperlukan pula energi yang besarnya relatif sama dengan energi pembentukan. Menurut Setyaningsih (1995), mekanisme adsorpsi dapat diterangkan sebagai berikut: molekul adsorbat berdifusi melalui suatu lapisan batas ke permukaan luar adsorben (disebut difusi eksternal), sebagian ada yang teradsorpsi di permukaan luar, sebagian besar berdifusi lanjut di dalam pori-pori adsorben (disebut difusi internal). Proses adsorpsi pada bahan terjadi melalui tiga tahap dasar, yaitu: zat terjerap pada bagian luar, zat bergerak menuju pori-pori bahan dan zat terjerap ke dinding bagian dalam dari bahan. Suatu zat dapat digunakan sebagai adsorben untuk tujuan pemisahan bila mempunyai daya adsorpsi selektif, berpori (mempunyai luas permukaan per satuan massa yang besar) dan mempunyai daya ikat yang kuat terhadap zat yang hendak dipisahkan secara fisik maupun kimia (Setyaningsih 1995).
18
Kirk dan Othmer (1957) dalam Pari (1995) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi suatu bahan antara lain adalah: 1. Karakteristik fisik dan kimia adsorben, seperti luas permukaan, ukuran pori dan komposisi kimia permukaan bahan. 2. Karakteristik fisik dan kimia adsorbat, seperti ukuran molekul, kepolaran molekul dan komposisi kimianya. 3. Konsentrasi adsorbat dalam fase cair. 4. Karakteristik fase cair, yaitu pH dan temperatur. 5. Lamanya proses adsorpsi berlangsung. Kapasitas adsorpsi dipengaruhi oleh sifat adsorben. Struktur pori adsorben berhubungan dengan luas permukaan, semakin kecil pori-pori adsorben, mengakibatkan luas permukaan semakin besar. Dengan demikian kecepatan adsorpsi bertambah. Kinetika adsorbsi dalam penyerapan NH3 dapat digambarkan dengan model isotermis adsorbsi Freundlich. Teori isoterm adsorbsi Freundlich mengasumsikan bahwa permukaan pori adsorben bersifat heterogen dengan distribusi panas adsorbsi yang tidak seragam. Adapun bentuk persamaan Freundlich sebagai berikut (Gokce 2009): log x/m = log Kf + 1/n log Ce dimana: x = m = Ce = Kf = 1/n =
jumlah yang adsorbat diserap (mg) berat adsorben (g) konsentrasi kesetimbangan (mg/L) intersep, menunjukkan kapasitas penyerapan dari adsorbent slope yang menunjukkan keragaman adsorbsi dan konsentrasinya
x/m (mg/g adsorbat)
Kurva isotherm Freundlich
Kf
Ce (mg/L)
Gambar 2. Mekanisme adsorbsi berdasarkan isotherm adsobsi Freundlich (www.nature.com 2010)
19
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NH3 12.5%, HCl 0.1 N, H3BO3 5%, aquadest, dan bahan pengisi, yaitu tanah (bagian paling atas yang mengandung humus), kompos bokashi, dan serasah daun karet. Tanah yang digunakan berasal dari hutan di kawasan Cifor (Center for International Forestry Research), kompos bokashi yang digunakan berasal dari petani pembuat pupuk organik di Desa Cikarawang (Dramaga), dan serasah daun karet yang digunakan berasal dari perkebunan karet sekitar perumahan dosen IPB Dramaga. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan, oven, peralatan gelas, magnet bar, pH meter, buret, keran udara, air pump, toples berpenutup dan timbangan.
B. METODE PENELITIAN 1. Karakterisasi Bahan Pengisi Pada tahap ini dilakukan uji proksimat untuk masing-masing bahan yang akan dipergunakan. Bahan pengisi berupa tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet masingmasing akan di uji densitas, porositas, kadar air, pH, besarnya nilai C, N, dan P, C/N ratio, water holding capacity (WHC), ammonia holding capacity (AHC) (Lampiran 1). Hal ini dilakukan untuk mengetahui kualitas karakteristik dari masing-masing bahan. Bahan pengisi yang akan dipergunakan diperlihatkan pada Gambar 3.
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Bahan pengisi yang digunakan, (a) Tanah, (b) Kompos Bokashi, (c) Serasah Daun Karet
2. Penelitian Utama Bahan pengisi berupa tanah dan kompos bokashi tidak mendapat perlakuan apapun sebelum dilakukan pengujian. Serasah daun karet dicincang (diperkecil ukurannya) terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian untuk mempermudah penelitian. Ketiga jenis bahan pengisi ini akan dicampur atau dikombinasikan untuk mengetahui jenis kombinasi yang lebih baik terhadap tingkat penyerapan gas polutan NH3 berdasarkan karakteristik yang diperoleh. Dengan adanya kombinasi tersebut diharapkan akan lebih mudah mengetahui karakteristik komposisi jika dilakukan penambahan dan pengurangan bahan tertentu, baik itu tanah, kompos bokashi, atau serasah daun karet. Kombinasi tersebut di baca berurutan dari mulai tanah, kompos bokashi, dan serasah daun karet seperti terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Perbandingan Komposisi bahan pengisi Komposisi Bahan
Tanah : Kompos Bokashi : Serasah Daun Karet
Perbandingan Jumlah Bahan (gram) 1:1:1
Kode
1:1:2
K112
1:2:1
K121
1:2:2
K122
2:1:1
K211
2:1:2
K212
2:2:1
K221
K111
3. Analisis Parameter Uji a. Karakterisasi Campuran Bahan Pengisi Bahan pengisi yang sudah diformulasi masing-masing dari komposisi akan dilakukan uji densitas, porositas, kadar air, pH, besarnya nilai C, N, dan P, C/N ratio, water holding capacity (WHC), ammonia holding capacity (AHC) (Lampiran 1). Hal ini perlu dilakukan karena pada masing-masing bahan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga sifat dari komposisi/campuran bahan juga akan berbeda juga.
b. Daya Serap Bahan Pengisi Terhadap Gas Amoniak (NH3) Pada tahap ini masing-masing bahan pengisi dan masing-masing dari komposisi atau campuran bahan pengisi akan dilakukan uji daya serap bahan terhadap pulutan NH 3. Hal ini dilakukan untuk mengetahui seberapa besar daya serap masing-masing bahan pengisi dan masing-masing komposisi/campuran bahan pengisi (g-N/g-bahan kering). Caranya yaitu dengan meletakkan bahan pengisi dan campuran bahan pengisi di dalam wadah tertutup dan dilakukan penimbangan setiap satu jam (Gambar 4). Penimbangan dilakukan pada masing-masing bahan pengisi dan juga komposisi bahan hingga beratnya
21
konstan yang menandakan bahwa bahan tersebut sudah jenuh (sudah maksimal daya serapnya terhadap polutan NH3).
Penutup rapat
Rak tempat meletakkan bahan pengisi
Larutan gas amoniak (NH3) 12.5%
Gambar 4. Alat untuk menguji daya serap bahan pengisi
c. Penentuan Bahan Pengisi dan Campuran Bahan Pengisi Terbaik Pada tahap ini, semua data yang diperolah dari semua uji dilakukan uji ranking untuk mengetahui karakteristik yang terbaik dari masing-masing bahan dan juga campuran bahan. Metode ranking dilakukan dengan cara memberikan nomor urut dimulai dari angka 1, yaitu komposisi dengan hasil pengukuran karakteristik terbaik, seterusnya dilakukan hingga parameter uji yang telah ditentukan.
C. ANALISIS DATA Data yang diperoleh akan disajikan dengan menggunakan metode analisis deskriptif dengan grafik yang akan menggambarkan kondisi seluruh parameter selama penelitian dilaksanakan (Walpole 1995). Sedangkan pengolahan datanya akan dilakukan dengan software statistik yaitu Statistical Analysis System (SAS). Penentuan bahan pengisi terbaik dilakukan dengan menggunakan metode ranking dengan parameter uji, kadar air, densitas, porositas bahan, pH, rasio C/N, water holding capacity (WHC), dan ammonia holding capacity (AHC). Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 7 perlakuan dan 3 atau 2 ulangan. Tujuh perlakuan tersebut ditentukan dari tiga jenis bahan pengisi yang digunakan. Tiga ulangan dilakukan untuk uji densitas, porositas, kadar air, dan water holding capacity (WHC). Dua ulangan dilakukan untuk uji ammonia holding capacity (AHC) dan daya serap bahan terhadap amoniak (NH3). Model matematis Rancangan Acak Lengkap (RAL) dapat ditulis sebagai berikut: Yij = μ + αi + εij Dimana : i j
= Perlakuan ke 1, 2, ……, 6 = Ulangan ke 1, 2, dan 3
22
Yij = Nilai pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = Rataan umum αi = Pengaruh perlakuan ke-i εij = Pengaruh galat percobaan pada perlakuan ke-i dan ulanagn ke-j Data yang diperoleh diuji dengan uji F dan apabila menunjukkan pengaruh nyata maka akan dilakukan analisis uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) taraf 5% (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
23
D. DIAGRAM ALIR PENELITIAN
Tanah
Kompos Bokashi
Serasah Daun Karet
Karakterisasi Bahan Pengisi
Pembuatan formulasi bahan dengan perbandingan Tanah : Kompos Bokashi : Serasah Daun Karet 1:1:1, 1:1:2, 1:2:1, 1:2:2, 2:1:1, 2:1:2, 2:2:1
Karakterisasi Campuran Bahan Pengisi
Pengujian fisik-kimia: Kadar air Densitas, Porositas, pH, Kandungan C, N, P, Rasio C/N
Water Holding Capacity (WHC)
Ammonia Holding Capacity (AHC)
Penjenuhan dengan gas polutan NH3 Pengujian pH, Analisis penyerapan NH3 dan N
Hasil
Pengolahan data
Kesimpulan dan saran
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian
24