11
II. TINJAUAN PUSTAKA 4.1 Pencemaran Udara Konsep
pembangunan
berkelanjutan
(sustainable
development)
menghendaki agar setiap usaha pembangunan yang dilakukan tetap memelihara kondisi lingkungan. Salah satu aspek lingkungan adalah udara, dimana di dalamnya terkandung sejumlah oksigen yang merupakan komponen esensial bagi kehidupan baik manusia maupun makhluk hidup lainnya. Lebih jauh lagi udara juga sumber daya alam milik bersama yang besar pengaruhnya pada ekosistem global khususnya menyangkut pemanasan global yang terkait dengan masalah pencemaran udara. Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap tergantung pada keadaan suhu, tekanan dan lingkungan sekitarnya. Udara yang masih bersih dan bebas dari bahan pencemar merupakan campuran berbagai gas dengan berbagai konsentrasi. Nitrogen dalam bentuk N 2 terdapat sebanyak 78%, oksigen dalam bentuk O 2 terdapat sebanyak 21% sementara argon (Ar) hanya 1% dari total gas. Gas-gas karbondioksida (CO 2 ), helium (He), neon (Ne), xenon (Xe) dan kripton (Kr) masing-masing hanya terdapat sebanyak 0.01% dari total gas. Beberapa jenis gas terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dalam udara bersih. Gas-gas tersebut seperti Metana (CH 4 ), karbon monoksida (CO), amoniak (NH 3 ), dinitrogen monoksida (N 2 O), dan hidrogen sulfida (H 2 S). Gas-gas ini berpotensi sebagai pencemar, karena meningkatnya jumlah gas-gas ini di udara akan menyebabkan terjadinya pencemaran udara (ElFadel, 2004). Pencemaran udara saat ini telah menjadi salah satu masalah lingkungan utama baik di negara berkembang maupun negara maju. Pencemaran udara di daerah perkotaan merupakan fenomena baru dalam masalah perencanaan kota yang mendapat perhatian yang terus meningkat. Hal ini terutama disebabkan karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di seluruh dunia yang mendorong para pembuat kebijakan untuk melakukan pengelolaan terhadap pencemaran udara yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih kontaminan atau polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu
12
keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian manusia, tumbuhan, binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup (Fardiaz, 1992). Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara, pemanasan global, dan rusaknya infrastruktur bangunan (Cheng, 2006). Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitar. Kecepatan penyebaran akan tergantung pada keadaan geografis dan meteorologis setempat. Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Terjadinya kerusakan lingkungan berarti berkurangnya daya dukung alam yang selanjutnya akan mengurangi kualitas hidup manusia. Menurut
Soedomo
(2001),
sumber
Pencemar
udara
umumnya
dikelompokkan dalam beberapa golongan antara lain: (1) sumber titik, dimana yang termasuk dalam kelompok ini adalah titik cerobong asap industri, (2) sumber garis, yang merupakan integrasi dari sumber-sumbe titik yang tak terhingga banyaknya sehingga dapat dianggap menjadi sumber garis yang seluruhnya memancarkan pencemar udara misalnya jalan raya, dan (3) sumber area, yang merupakan integrasi dari banyak sumber titik dan sumber garis misalnya pada kawasan industri yang sejenis. Di samping itu menurut Fardiaz (1992) sumber pencemar udara berdasarkan sifat kegiatannya ada 4 (empat), yaitu: (1) sumber tetap, yang berasal dari kegiatan proses industri pengolahan, konsumsi bahan bakar dari industri dan rumah tangga, (2) sumber tetap spesifik, yang berasal dari kegiatan pembakaran hutan dan pembakaran sampah, (3) sumber bergerak, yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, dan (4) sumber bergerak spesifik yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kereta api, kapal laut, pesawat dan alat berat. Hasil kajian World Bank (2003) menyatakan bahwa 70% gas beracun yang ada di udara terutama di kota-kota besar, berasal dari kendaraan bermotor, sementara jumlah kendaraan di kota-kota besar terus meningkat hingga mencapai
13
15% per tahun. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan meningkatkan pemakaian bahan bakar, dan hal itu akan membawa resiko pada penambahan gas beracun di udara sementara 30% sumber pencemar udara berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pembakaran sampah.
4.2 Komponen dan Dampak Pencemar Udara Berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa partikel (debu, aerosol, timbal), dan gas (CO, NO 2 , SO 2 , H 2 S, HC). Sedangkan berdasarkan dari kejadian terbentuknya pencemar terdiri dari pencemar primer (diemisikan langsung oleh sumber) dan pencemar sekunder (terbentuk karena reaksi di udara antar berbagai zat). Dari beberapa macam komponen pencemar udara, maka yang paling banyak berpengaruh dalam pencemaran udara adalah komponen-komponen berikut: 1) Particulate Matter (PM 10 ) Partikulat adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Di samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru. Partikulat juga merupakan sumber utama kabut asap yang menurunkan visibilitas. Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernapasan akan disisihkan tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama. Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10 µm (PM 10 ). PM 10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penderita bronchitis (U.S. EPA, 2006). Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya. Partikel yang terhirup juga dapat merupakan partikulat sekunder, yaitu partikel yang terbentuk di atmosfer dari gas-gas hasil pembakaran yang mengalami reaksi fisik-
14
kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan nitrat yang terbentuk dari gas SO 2 dan NO x . Umumnya partikel sekunder berukuran 2.5 mikron atau kurang. Proporsi cukup besar dari PM 2.5 adalah amonium nitrat, ammonium sulfat, natrium nitrat dan karbon organik sekunder. Partikel-partikel ini terbentuk di atmosfer dengan reaksi yang lambat sehingga sering ditemukan sebagai pencemar udara lintas batas yang ditransportasikan oleh pergerakan angin ke tempat yang jauh dari sumbernya (Molina & Molina, 2004). Partikel sekunder PM 2.5 dapat menyebabkan dampak yang lebih berbahaya terhadap kesehatan bukan saja karena ukurannya yang memungkinkan untuk terhisap dan masuk lebih dalam ke dalam sistem pernafasan tetapi juga karena sifat kimiawinya. Partikel sulfat dan nitrat yang inhalable serta bersifat asam akan bereaksi langsung di dalam sistem pernafasan, menimbulkan dampak yang lebih berbahaya daripada partikel kecil yang tidak bersifat asam. Partikel logam berat dan yang mengandung senyawa karbon dapat mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi carrier pencemar toksik lain yang berupa gas atau semi-gas karena menempel pada permukaannya. Partikel inhalable adalah partikel Pb yang diemisikan dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar mengandung Pb. Timbal adalah pencemar yang diemisikan dari kendaraan bermotor dalam bentuk partikel halus berukuran lebih kecil dari 10 dan 2.5 µm. Partikulat diemisikan dari berbagai sumber, termasuk pembakaran bahan bakar minyak, (gasoline, diesel fuel), pencampuran dan penggunaan pupuk dan pestisida, konstruksi, proses-proses industri seperti pembuatan besi dan baja, pertambangan, pembakaran sisa pertanian (jerami), dan kebakaran hutan. Hasil data pemantauan udara ambien di 10 kota besar di Indonesia menunjukan bahwa PM 10 adalah parameter yang paling sering muncul sebagai parameter kritis (KNLH, 2006). 2) Carbon Monoxide (CO) CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernafasan dan diabsorpsi di dalam peredaran darah. Karbon monoksida akan berikatan dengan haemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi
15
carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan berikatan dengan haemoglobin sebesar 240 kali lipat kemampuannya berikatan dengan O 2 . Secara langsung kompetisi ini akan menyebabkan pasokan O 2 ke seluruh tubuh menurun tajam, sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian (U.S. EPA, 2006). CO diproduksi dari pembakaran bakan bakar fosil yang tidak sempurna, seperti bensin, minyak dan kayu bakar. Selain itu juga diproduksi dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk rokok. Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemaran lokal. CO kadangkala muncul sebagai parameter kritis di lokasi pemantauan di kota-kota besar dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya, tetapi pada umumnya konsentrasi CO berada di bawah ambang batas Baku Mutu PP.41 tahun 1999 (10 000 µg/m3/24 jam). Walaupun demikian CO dapat menyebabkan masalah pencemaran udara dalam ruang (indoor air pollution) pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat parkir bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan mobil yang berada di tengah lalulintas. 3) Nitrogen Oxide (NO x ) NO x adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NO x bereaksi dengan senyawa organic volatile membentuk ozon dan oksidan lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia dan dengan air hujan menghasilkan asam nitrat dan menyebabkan hujan asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang tua, dan berbagai gangguan sistem pernafasan, serta menurunkan visibilitas. Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan Bumi) dapat membahayakan tanam-tanaman, pertanian, ekosistem perairan dan hutan (Listyarini, 2008). Hujan asam dapat mengalir memasuki danau dan sungai lalu melepaskan logam berat dari tanah serta mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan
16
bahkan memusnahkan kehidupan air. NO x diproduksi terutama dari proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batubara dan gas alam. 4) Sulfur Dioxide (SO 2 ) SO 2 adalah gas yang tidak berbau bila berada pada konsentrasi rendah tetapi akan memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat. Sulfur dioksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak bumi dan batubara. Pembakaran batubara pada pembangkit listrik adalah sumber utama pencemaran SO 2 . Selain itu berbagai proses industri seperti pembuatan kertas dan peleburan logam-logam dapat mengemisikan SO 2 dalam konsentrasi yang relatif tinggi. SO 2 adalah kontributor utama hujan asam. Di dalam awan dan air hujan SO 2 mengalami konversi menjadi asam sulfur dan aerosol sulfat di atmosfer. Bila aerosol asam tersebut memasuki sistem pernafasan dapat terjadi berbagai penyakit pernafasan seperti gangguan pernafasan hingga kerusakan permanen pada paruparu. Pencemaran SO 2 pada saat ini baru teramati secara lokal di sekitar sumbersumber titik yang besar, seperti pembangkit listrik dan industri, meskipun sulfur adalah salah satu senyawa kimia yang terkandung di dalam bensin dan solar. Data dari pemantauan kontinu pada jaringan pemantau nasional pada saat ini jarang mendapatkan SO 2 sebagai parameter kritis, kecuali pada lokasi-lokasi industri tertentu. 4.3 Emisi Kendaraan Bermotor Kualitas udara wilayah perkotaan sangat penting karena berdampak langsung terhadap penduduk yang bermukim di kawasan tersebut. Polusi udara di wilayah perkotaan telah menjadi sumber berbagai permasalahan. Permasalahan utama menyangkut dampak kesehatan umumnya terkait dengan masalah pernafasan, kerusakan material gedung-gedung, kerusakan monumen bersejarah, dan terhadap vegetasi dalam kota. Emisi kendaraan bermotor merupakan salah satu sumber pencemaran udara yang penting di daerah perkotaan. Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Pada pembakaran sempurna, emisi paling signifikan yang dihasilkan dari kendaraan bermotor berdasarkan massa adalah gas karbon dioksida (CO 2 ) dan uap air, namun kondisi ini jarang terjadi. Hampir semua bahan bakar mengandung
17
polutan dengan kemungkinan pengecualian bahan bakar sel (hidrogen) dan hidrokarbon ringan seperti metana (CH 4 ). Polutan yang dihasilkan kendaraan bermotor yang menggunakan BBM antara lain CO, HC, SO 2 , NO 2 , dan partikulat. Hal ini dibuktikan oleh beberapa kajian bahwa sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar NOx, 15% dari total pencemar SO 2 dan 40% dari total pencemar PM 10 untuk tahun 1995 (JICA, 2004). Sementara kajian lain menyebutkan 73% dari total NO x dan 15% dari total PM 10 (World Bank, 2003) dan studi terakhir pada tahun 2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NO x , 17% dari total SO 2 dan 55% dari total PM 10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Darmantoro, 2005). Pengalaman dari negara-negara maju menunjukkan bahwa emisi zat-zat pencemar udara dari sumber transportasi dapat dikurangi secara substansial dengan perbaikan sistem pembakaran dan penggunaan katalis (catalytic converter) dan juga pengendalian manajemen lalu lintas. Walaupun diasumsikan bahwa di masa mendatang reduksi emisi per kendaraan per kilometer akan dapat tercapai sebagai hasil dari penerapan teknologi dan sistem kontrol emisi, namun emisi agregat akan tetap tinggi karena jumlah sumber individu yang terus meningkat secara signifikan. Hal ini berarti kontrol kualitas emisi harus diimbangi dengan kontrol jumlah sumber emisi (volume kendaraan). Hasil kajian Asian Developmen Bank (ADB) (2002), menyatakan bahwa tingginya emisi kendaraan bermotor disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah: (1) sistem kontrol emisi kendaraan bermotor tidak diterapkan, (2) pelaksanaan Pengujian Kendaraan Bermotor (PKB) berkala untuk kendaraan umum tidak berjalan efektif, (3) pemeriksaan emisi kendaraan di jalan sebagai bagian dari penegakan hukum (terkait dengan pemenuhan persyaratan kelaikan jalan) belum diterapkan, (4) kendaraan bermotor tidak diperlengkapi dengan teknologi pereduksi emisi seperti katalis karena tidak tersedianya bahan bakar yang sesuai untuk penggunaan katalis tersebut, (5) kualitas BBM yang rendah, (6) penggunaan kendaraan berteknologi rendah emisi yang menggunakan bahan bakar alternatif masih belum memadai, (7) pemahaman tentang manfaat perawatan kendaraan secara berkala yang dapat menurunkan emisi dan meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar masih kurang, dan (8) disinsentif terhadap
18
kendaraan-kendaraan yang termasuk dalam kategori penghasil emisi terbesar belum diperkenalkan. Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, tetapi juga menyebabkan kemacetan, pencemaran udara, kebisingan, tingginya konsumsi bahan bakar, berkurangnya infrastruktur kota dan lahan terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik. Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan kendaraan menurun, dimana kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas buang minimum (Gorham, 2002). 4.4 Faktor Penyebab Pencemaran Udara Masalah pencemaran udara pada umumnya hanya dikaitkan dengan sumber pencemar, namun menurut Shah and Nagpal (1997) banyak faktor-faktor lain yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap terjadinya pencemaran udara antara lain: (1) Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi Pertumbuhan penduduk dan laju urbanisasi yang tinggi merupakan salah satu faktor penyebab pencemaran udara yang penting di perkotaan. Pertumbuhan penduduk dan urbanisasi mendorong pengembangan wilayah perkotaan yang semakin melebar ke daerah pinggiran kota/daerah penyangga. Sebagai akibatnya, mobilitas penduduk dan permintaan transportasi semakin meningkat. Jarak dan waktu tempuh perjalanan sehari-hari semakin bertambah karena jarak antara tempat tinggal dan tempat kerja atau aktivitas lainnya semakin jauh dan kepadatan lalu lintas menyebabkan waktu tempuh semakin lama. Indikasi kebutuhan transportasi dapat dilihat pada pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang pesat, di mana meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan kebutuhan akan transportasi mengakibatkan bertambahnya titik-titik kemacetan yang akan berdampak pada peningkatan pencemaran udara. (2) Penataan ruang Pembangunan kantor-kantor pemerintah, apartemen, pusat perbelanjaan dan bisnis hingga saat ini masih terkonsentrasi di pusat kota. Bersamaan dengan
19
laju urbanisasi yang tinggi, kebutuhan akan perumahan yang layak di tengahtengah kota dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat banyak tidak dapat dipenuhi. Pembangunan perumahan akhirnya bergeser ke daerah pinggiran kota atau kota-kota penyangga karena harga tanahnya masih relatif lebih rendah dibandingkan dengan di pusat kota. Kota penyangga pada akhirnya menjadi pilihan tempat tinggal masyarakat yang sehari-hari bekerja di pusat kota. Permasalahan utama dalam hal ini adalah karena pembangunan kawasan perumahan tidak disertai dengan pembangunan sistem transportasinya. Akibatnya, banyak masyarakat yang tinggal di kawasan perumahan terpaksa menggunakan kendaraan pribadi karena ketiadaan sistem angkutan umum yang memadai. (3) Pertumbuhan ekonomi Pertumbuhan ekonomi juga mendorong perubahan gaya hidup penduduk kota sebagai akibat dari meningkatnya pendapatan. Walaupun bukan menjadi satu-satunya alasan, namun meningkatnya pendapatan ditambah dengan adanya kemudahan-kemudahan pembiayaan yang diberikan lembaga keuangan telah membuat masyarakat kota berupaya untuk tidak hanya sekedar dapat memenuhi kebutuhan pokok tetapi juga berupaya meningkatkan taraf hidup atau status sosial, misalnya dengan memiliki mobil, sepeda motor, dan barang-barang lainnya serta menggunakannya dengan frekuensi yang lebih sering sehingga pada akhirnya akan menambah konsumsi energi. (4) Ketergantungan pada bahan bakar minyak (BBM) Saat ini masyarakat perkotaan sangat tergantung pada sumber energi yang berasal dari minyak bumi dengan konsumsi yang terus-menerus menunjukkan peningkatan. Sektor transportasi merupakan konsumen BBM terbesar yang diakibatkan terjadinya lonjakan penjualan kendaraan bermotor. Sebagai konsekuensinya emisi gas buang kendaraan bermotor menyumbang secara signifikan terhadap polusi udara yang terjadi di perkotaan. Untuk waktu yang cukup lama, pemerintah Indonesia menerapkan kebijakan subsidi harga Bahan Bakar Minyak (BBM), sehingga menimbulkan perilaku penggunaan BBM yang boros dan tidak efisien antara lain mendorong orang untuk menggunakan kendaraan untuk melakukan perjalanan yang tidak perlu. Dalam rangka upaya diversifikasi sumber energi dan penurunan emisi gas
20
buang dari kendaraan bermotor maupun industri, pemerintah Indonesia telah memperkenalkan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG), serta Liquified Petroleum Gas (LPG) sebagai pengganti BBM. Pembakaran minyak bumi yang memiliki gugus rantai hidrokarbon yang panjang akan lebih sulit dibandingkan dengan pembakaran gas alam yang memiliki gugus rantai hidrokarbon yang lebih pendek, sehingga pembakaran yang dilakukan dalam ruang mesin tidak akan dapat dilakukan dengan sempurna, dan pada akhirnya tentu akan menghasilkan emisi gas buang yang lebih tinggi. Dengan demikian, menurunnya proporsi minyak bumi dalam bauran energi membawa keuntungan tersendiri terhadap upaya penurunan pencemaran udara. Disamping itu, Indonesia merupakan salah satu penghasil bahan bakar gas, maka selayaknya pemerintah memprioritaskan dan mengupayakan pemanfaatan bahan bakar gas tersebut di dalam negeri, karena selain akan dapat menurunkan pencemaran udara hal ini juga akan dapat mengurangi beban masyarakat, termasuk industri, karena harga bahan bakar gas lebih murah dibanding bahan bakar minyak. (5) Partisipasi masyarakat Partisipasi aktif masyarakat merupakan salah satu kunci keberhasilan pengendalian pencemaran udara, melalui kegiatan kampanye peningkatan kesadaran masyarakat mengenai polusi udara serta berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam menetapkan suatu kebijakan. Kendala utama pelaksanaan kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat oleh pemerintah adalah terbatasnya anggaran yang tersedia. Permasalahan lainnya adalah ketidaktersediaan sarana dan prasarana yang memadai bagi institusi-institusi yang bertanggung jawab dalam bidang informasi dan komunikasi. Kurangnya koordinasi antara institusi teknis terkait dengan institusiinstitusi di bidang informasi dan hubungan masyarakat juga merupakan kendala sehingga kegiatan peningkatan perhatian masyarakat tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Terbatasnya data dan informasi yang diperlukan oleh masyarakat untuk lebih memahami masalah pencemaran udara juga menjadi kendala. Pada beberapa kasus, meskipun data tersedia namun masyarakat sulit mendapatkannya.
21
4.5 Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor Pencemaran udara dari sektor transportasi
merupakan sumber yang
dominan di daerah perkotaan. Pengendalian harus mencakup upaya-upaya pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh, atau (2) penurunan jumlah dan kerapatan total kendaraan di dalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001). Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial yang ditimbulkan sekecil mungkin. Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana transportasi, serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara perkotaan adalah (Eggleston, 2000): (1) tidak seimbangnya prasarana lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang ada, (2) pola berkendara (driving pattern), dan (3) jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor. Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan dan yang paling efisien diarahkan kepada pengendalian pada sumber polutannya atau penyebab terjadinya pencemaran (ditunjukkan dengan garis terputus pada diagram dalam Gambar 2). Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara parsial dilakukan dengan pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan atau wilayah tertentu, misalnya kawasan satu arah dan pembatasan waktu melintas bagi truk dengan tonase tertentu, atau pemberlakuan jumlah penumpang minimum untuk suatu kawasan tertentu atau yang dikenal dengan kawasan three in one di Jakarta. Namun perlu diperhatikan bahwa pengendalian kepadatan lalu lintas di suatu kawasan tanpa upaya mengurangi volume kendaraan secara keseluruhan tidak akan mengurangi emisi gas buang total karena yang terjadi adalah pengalihan volume kendaraan dari suatu ruas jalan ke ruas jalan lain. Selain itu pola berkendaran (driving cycle) merupakan salah satu faktor transportasi penting yang akan secara langsung mempengaruhi jumlah dan intensitas emisi pencemar
22
udara yang dilepaskan oleh kendaraan bermotor ke atmosfer. Pola berkendara dan kecepatan rata-rata akan sangat mempengaruhi jumlah pelepasan senyawasenyawa pencemar tersebut. Indonesia hingga kini belum memiliki pola berkendara baku yang digunakan untuk pengujian kendaraan bermotor. Konsep umum pengendalian pencemaran udara yang bersumber dari kendaraan bermotor dapat dilihat pada Gambar 2.
Variabel Ekonomi
Perencanaan Kota
Sistem Transportasi
Pola Lalu Lintas BBM Jumlah Trip (Kend/km)
Jumlah Kendaraan
Faktor Emisi Emisi Pencemar
Pengendalian Emisi Kendaraan Bermotor Meteorologi
Baku Mutu
Dispersi-difusi
Konsentrasi Ambien
Reseptor Gambar 2. Konsep pengendalian pencemaran emisi kendaraan bermotor (Sumber: Soedomo, 2001)
23
4.6 Fungsi Dose-response Dampak pencemaran udara di wilayah perkotaan dapat berupa gangguan kesehatan pada manusia dan kerusakan pada lingkungan hidup lainnya. Karena itu, baku mutu udara ambien terbagi atas baku mutu untuk melindungi kesehatan manusia (primary) dan kesejahteraan umum (publik welfare) termasuk untuk melindungi menurunnya daya pandang, dampak pada hewan dan tumbuhan, dan gedung atau bangunan atau secondary (Wang et al. 2005) Pengaruh pencemaran terhadap kesehatan manusia dapat diestimasi menggunakan fungsi dose-response atau fungsi dosis tanggapan. Fungsi dosis tanggapan secara definisi merupakan hubungan antara setiap rangsangan yang dapat diukur baik secara fisik, kimiawi atau biologi, dan tanggapan mahluk hidup dalam arti reaksi yang dihasilkan terhadap ranah kuantitatif yang sama (Ostro et al., 1999). Tanggapan terhadap pencemaran akan berbeda sesuai hubungan antara pengaruh pencemaran tersebut dengan dosis yang diberikan sehingga kunci utama dalam fungsi dose-response adalah keberadaan dari ambang batas, kemiringan fungsi dose-response dan kurva dose-response (Aunan et al., 2004). Adanya ambang batas bagi toksikan merupakan bagian dari kemampuan lingkungan atau ekosistem dalam mempertahankan keseimbangan tarhadap gangguan yang masuk ke dalam ekosistem tersebut. Keadaan di mana pengaruh dari toksikan tidak menimbulkan kerusakan lingkungan disebut keadaan homeostatis.
Homeostasis
merupakan
istilah
yang
diterapkan
kepada
kecenderungan sistem-sistem biologi untuk bertahan terhadap perubahanperubahan dan tetap berada dalam keadaan keseimbangan. Keseimbangan tersebut terjadi karena adanya daya tampung lingkungan yang ditentukan oleh daya adaptasi unsur-unsur dalam ekosistem tersebut. Gangguan terhadap ekosistem yang melampaui daya adaptasi lingkungan akan merusak lingkungan tersebut (Soemarwoto, 2000). Respon yang dihasilkan akan berbeda untuk penambahan dosis dari zat pencemar. Untuk waktu kontak yang sama penambahan dosis zat pencemar akan menyebabkan meningkatnya jumlah penanggap (Ostro et al., 1999). Di samping itu penambahan dosis zat pencemar juga akan menggeser pengaruh zat pencemar pada penanggap. Dengan kata lain jumlah pencemaran yang meningkat akan
24
menyebabkan meningkatnya penduduk yang terkena dampak dan pengaruhnya juga akan meningkat misalnya dari yang sublethal ke lethal. (Xing et al., 2011; Zhang, 2010) Fungsi dose-response yang digunakan untuk mengestimasi dampak pencemaran pada kesehatan akan dipengaruhi oleh kondisi iklim, sosial budaya dari suatu wilayah. 4.7 Analytical Hierarchy Process (AHP) AHP merupakan suatu pendekatan yang digunakan untuk membuat keputusan yang efektif melalui strukturisasi kriteria majemuk ke dalam struktur hirarki, menilai kepentingan relatif setiap kriteria, membandingkan alternatif untuk tiap kriteria dan menentukan seluruh rangking dari alternatif-alternatif. AHP yang dikembangkan oleh Saaty (1993), merupakan suatu metode dalam memecahkan situasi kompleks dan tidak berstruktur kedalam bagian komponen yang tersusun secara hirarki baik struktural maupun fungsional. Proses sistemik dalam AHP memungkinkan pengambil keputusan mempelajari interaksi secara simultan dari komponen dalam hirarki yang telah disusun. Metode AHP dimulai dengan menstrukturkan suatu situasi yang kompleks tak struktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata komponen atau variabel ke dalam suatu hirarki, memberi nilai relatif tingkat kepentingan ada setiap variabel dengan pertimbangan subyektif dan mensintesis berbagai pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tertinggi dalam mempengaruhi hasil. Menurut Marimin (2005), prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, strategis, dan dinamik menjadi bagianbagiannya, serta menata dalam suatu hirarki. Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP, ada beberapa prinsip yang harus dipahami diantaranya: decompotition, comparative judgement, synthesis of priority, dan logical consistency. Prosedur melakukan sintesa berbeda menurut bentuk hirarki. Pengurutan elemen-elemen pertanyaan yang biasa diajukan dalam penyusunan skala kepentingan. Agar diperoleh skala yang bermanfaat ketika membandingkan dua elemen, responden yang akan memberikan jawaban perlu pengertian menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan relevansinya terhadap kriteria/tujuan yang ingin dicapai. Menurut Saaty (1993), teknik komparasi berpasangan yang digunakan
25
dalam AHP dilakukan dengan wawancara langsung terhadap responden. responden bisa seorang ahli atau bukan, tetapi terlibat dan mengenal baik permasalahan tersebut. Jika responden merupakan kelompok, maka seluruh anggota diusahakan memberikan pendapat (judgement). Nilai dan definisi pendapat kualitatif tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Skala komparasi pada Penilaian AHP Nilai Skala
Definisi
1
Sama pentingnya
3
Sedikit lebih penting
5
Jelas lebih penting
7
Sangat lebih penting
9
Mutlak lebih penting
2, 4, 6, 8
Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Sumber: Saaty (1993)
Keuntungan proses hirarki analitis menurut Marimin (2005) adalah: a. Konsistensi, mampu melacak konsistensi logis dari pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagaiprioritas. b. Sintesis, menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. c. Pengukuran, mampu memberi suatu skala untuk mengukur hal tak wujud dan suatu metode untuk menetapkan prioritas. d. Kompleksitas, mampu memadukan ancangan deduktif dan ancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan yang kompleks. e. Kesatuan, memberikan suatu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk aneka ragam persoalan tidak terstruktur. f. Saling ketergantungan, mampu menangani saling ketergantungan elemenelemen dalam suatu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. 4.8 Model dan Pemodelan Sistem Model didefinisikasn sebagai suatu abstraksi dari sebuah obyek atau situasi aktual, substitusi dari sistem nyata, abstraksi atau representasi dari suatu realitas atau sistem nyata (Eriyatno, 2003; Ford, 1999), dimana sistem nyata adalah sistem yang sedang berlangsung dalam kehidupan atau sistem yang
26
dijadikan titik perhatian dan dipermasalahkan. Model merupakan penyederhanaan sistem (Hartrisari, 2007). Karena sistem sangat kompleks, tidak mungkin membuat model yang dapat menggambarkan seluruh proses yang terjadi dalam sistem. Model dapat dikatakan lengkap jika dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Selain itu model merupakan representasi yang ideal bagi suatu sistem untuk menjelaskan perilaku sistem (DSF, 2011). Hartrisari (2007), mengelompokkan model dalam 2 (dua) kategori yaitu model fisik dan model abstrak atau model mental. Model fisik merupakan miniatur replika dari keadaan sebenarnya sehingga dapat menggambarkan perilaku sistem dengan variabel yang sama seperti yang digunakan pada sistem nyata. Model abstrak merupakan model yang bukan fisik tetapi dapat menjelaskan kinerja dari sistem. Baik model fisik maupun model abstrak dapat dibagi lagi menjadi model statis dan model dinamis. Model dinamis memberikan gambaran nilai variabel terhadap perubahan waktu, sedangkan model statis tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah. Pendekatan sistem merupakan suatu metodologi pemecahan masalah yang dimulai dengan mengidentifikasi serangkaian kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Menurut Eriyatno (2003) pada pendekatan sistem dalam penyelesaian suatu permasalahan selalu ditandai dengan: (1) pengkajian terhadap semua faktor penting yang berpengaruh dalam rangka mendapatkan solusi untuk pencapaian tujuan, dan (2) adanya model-model untuk membantu pengambilan keputusan lintas disiplin, sehingga permasalahan yang kompleks dapat diselesaikan secara komprehensif. Dalam merumuskan model, tahapan yang perlu dilakukan meliputi: a. Analisis kebutuhan Analisis kebutuhan merupakan permulaan pengkajian dari suatu sistem (Eriyatno, 2003). Dalam melakukan analisis kebutuhan, dinyatakan kebutuhankebutuhan yang ada, baru kemudian dilakukan tahap pengembangan terhadap kebutuhan yang dideskripsikan. b. Formulasi Masalah Adanya keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda diantara peran stakeholder, akan menimbulkan conflict of interest dalam sistem. Untuk
27
memetakan berbagai kepentingan stakeholder diperlukan analisis formulasi masalah sistem. c. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan masalah yang harus dipecahkan dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Tujuan identifikasi tersebut adalah memberikan gambaran tentang hubungan antara faktor-faktor yang saling mempengaruhi dalam kaitannya dengan pembentukan suatu sistem. Hubungan antar faktor digambarkan dalam bentuk diagram lingkar sebabakibat (causal loop), kemudian dilanjutkan dengan interpretasi diagram lingkar ke dalam konsep kotak gelap (black box). Dalam penyusunan black box jenis informasi dikategorikan menjadi tiga golongan yaitu peubah input, peubah output dan parameter-parameter yang membatasi struktur sistem. d. Simulasi Model Simulasi adalah peniruan perilaku suatu gejala atau proses. Simulasi bertujuan untuk memahami gejala atau proses tersebut, membuat analisis dan peramalan perilaku gejala atau proses tersebut di masa depan. Simulasi dilakukan melalui tahap-tahap: (1) penyusunan konsep, (2) pembuatan model, (3) simulasi, dan (4) validasi hasil simulasi (Muhammadi et al.2001). e. Pengujian model Model merupakan penyederhanaan dari sistem. Dalam pengkajian sistem perlu ditetapkan tolok ukur model yang baik untuk meyakinkan bahwa model yang dibangun sesuai untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dan tujuan yang ingin dicapai, sehingga dapat digunakan untuk pengambilan keputusan ataupun kebijakan (Hartrisari, 2007). Menurut Muhammadi et al. 2001), ada beberapa pengujian yang dilakukan terhadap model, antara lain: 1) Uji validitas struktur Uji ini dilakukan untuk mengetahui struktur model dengan konsep teori empirik. 2) Uji validitas kinerja
28
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah model yang dikembangkan dapat diterima secara akademik atau tidak. Pengujian dilakukan dengan cara memvalidasi output model, yaitu dengan membandingkan output model dengan data empirik. Ada beberapa teknik uji statistik yang dapat digunakan antara lain AME (absolute mean error) dan AVE (absolute variation error) dengan batas penyimpangan yang dapat ditolerir adalah 5 sampai 10%. 3) Uji kestabilan model Uji ini dilakukan untuk melihat kestabilan atau kekuatan model dalam dimensi waktu. Uji dilakukan dengan cara menguji struktur model agregat yang diwakili oleh sub-submodel (variabel utama). Pengujian dilakukan terhadap output masing-masing model. Model dikatakan stabil jika struktur model agregat dan disagregat memiliki kemiripan. 4.9 Metode Sistem Dinamik Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi et al., 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu teori umpan balik, cybernetic, dan simulasi komputer (Soebagjo, 2007). Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing-masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi. Sistem dinamik merupakan salah satu metode yang bisa digunakan untuk mengilustrasikan sistim yang kompleks serta menganalisis implikasi-implikasi relatif dari suatu kebijakan. Sistem dinamik mengkaji sistem sebagai suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai elemen-elemen yang saling berinteraksi dan menentukan kinerja sistem secara keseluruhan. Sistem dinamik dapat memberikan informasi lebih mendetail yang berguna untuk mengungkap mekanisme yang tersembunyi dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan. Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 (empat) tahap, yaitu : 1) Tahap seleksi konsep dan variabel
29
Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan (cognitif map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi-asumsi, serta konsistensinya terhadap variabel dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan akan diabaikan. 2) Konstruksi model (tahap pengembangan model) Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam model dinamiknya dengan bantuan perangkat lunak (software). Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi. 3) Tahap analisis sensitivitas Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel-variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci. 4) Analisis kebijakan Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model. Pada variabel sistem dinamik dikenal variabel level atau stok, variabel rate, dan variabel auxiliary. Level merupakan hasil akumulasi dari aliran-aliran dalam diagram alir dan menyatakan kondisi sistem setiap saat. Persamaan powersim untuk aliran level adalah: Init LEV Flow LEV dimana: LEV RM RK dt Init Flow
= kondisi awal = -dt*(RK) + dt*(RM) = level (unit) = rate (laju) masukan = rate (laju) keluaran = interval waktu simulasi (satuan waktu) = initial (nilai awal) = aliran untuk variabel level
30
Rate merupakan suatu aliran yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya suatu level. Rate terdiri dari 2 jenis, yaitu rate masuk dan rate keluar. Rate masuk akan menambah akumulasi di dalam suatu level dan dilambangkan dengan katub dan panah yang menuju level, sedangkan rate keluar ditunjukkan dengan katub yang dihubungkan dengan panah yang sink. Simbol awan menunjukkan source dan sink suatu material mengalir ke dalam atau keluar level. Aliran informasi dalam powersim dilambangkan dengan tanda panah yang tegas. Aliran ini merupakan penghubung antar sejumlah variabel dalam suatu sistem. Jika aliran informasi keluar dari level, aliran tersebut tidak akan mengurangi akumulasi yang terdapat di dalam level. Variabel auxiliary adalah suatu penambahan informasi yang dibutuhkan dalam merumuskan persamaan atau variabel rate, atau suatu variabel yang membantu untuk memformulasikan variabel rate. Variabel auxiliary digambarkan dengan suatu lingkaran penuh. Simbol belah ketupat dalam powersim menggambarkan konstanta, yaitu suatu besaran yang nilainya tetap selama proses simulasi. Gambar 3 berikut merupakan contoh gambaran umum diagram alir model dinamik dengan aplikasi perangkat lunak powersim.
Gambar 3. Diagram alir model sistem dinamik menggunakan program powersim