II. TINJAUAN LITERATUR
2.1.
Prospek dan Permasalahan Kelapa Sawit di Lahan Gambut Perkembangan usaha dan infestasi kelapa sawit terus mengalami pertumbuhan
yang sangat pesat. Luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2009 diperkirakan mencapai 7.327.331 ha. Dari sekitar 26.32 juta ha lahan yang dapat ditanami kelapa sawit di Indonesia, sedikitnya ada 5.6 juta ha dintaranya lahan gambut yang dapat digunakan untuk perkebunan kelapa sawit. Secara agronomis lahan gambut dapat memungkinkan sebagai perluasan penanaman kelapa sawit, namun memiliki kendala yang lebih banyak dibanding dengan pengelolalaan perkebunan sawit di tanah mineral. Kendala yang dihadapi
oleh perkebunan di lahan gambut di antaranya;
pengelolaan tata air, penurunan permukaan tanah (subsidence), doyong dan tumbangnya pokok, kesuburan tanah rendah, permasalahan hama dan penyakit dan pembangunan infra struktur mahal dll. Namun demikian jika lahan gambut dikelola dengan baik, tanaman kelapa sawit juga dapat menghasilkan produksi yang tinggi. Menanam kelapa sawit di lahan gambut akan berhadapan dengan faktor pembatas utama, yaitu masalah drainase. Pada kondisi alami, gambut mengandung air yang berlebihan dengan kapasitas memegang air (water holding capactity) 20 – 30 kali dari beratnya, sehingga menimbulkan kondisi aerasi yang buruk. Keberhasilan penanaman kelapa sawit di lahan gambut dimulai dengan pembangunan sistem pengelolaan air (water management) yang baik. Pengelolaan air yang efektif adalah kunci untuk
Universitas Sumatera Utara
mendapatkan pertumbuhan dan produktivitas yang optimal sesuai potensi tanaman. Dengan mempertahankan ketinggian air 60–70 cm dari permukaan tanah diharapkan dapat memperbaiki zona perakaran sehingga penyerapan unsur hara menjadi lebih optimal. Selain itu, ketinggian permukaan air tersebut dapat membantu mengurangi laju penurunan permukaan gambut. Kelebihan air ini juga mungkin menjadi faktor pembatas akibat drainase yang sangat terhambat sehingga mengakibatkan genangan periodik maupun permanen. Kondisi ini akan mengakibatkan dampak buruk bagi tanaman, yaitu terhambatnya perkembangan akar akibat respirasi yang tertekan dan perubahan sifat kimia tanah sehingga mengakibatkan menurunnya ketersediaan hara untuk tanaman. Khusus pada tanaman kelapa sawit, kondisi ini akan mengakibatkan gejala defisiensi nitrogen dan hara lainnya pada tanaman yang ditandai dengan keragaman tanaman yang menguning pucat dan pertumbuhannya kerdil. Upaya teknis yang dilakukan untuk mengembangkan tanaman kelapa sawit di lahan gambut membutuhkan perhatian yang serius dengan investasi persiapan lahan yang cukup tinggi. Hasil percobaan penanaman kelapa sawit di areal pasang surut oleh Kanaphaty dalam Pangudijatno (1990) dengan teknik drainase yang baik mampu menghasilkan 25 ton TBS/ha/tahun. Hasil tersebut juga menunjukkan kemasaman tanah yang ditemui cukup tinggi antara 3,9-4,4.
Persiapan areal tersebut
membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu 3 tahun dengan biaya mencapai 25-30% lebih tinggi dibandingkan biaya replanting umumnya pada areal pantai. Menurut Toh et. al. (1989) kelapa sawit di lahan rawa pasang surut memiliki masa belum menghasilkan (TBM) lebih panjang yaitu 31-38 bulan, lebih lambat dibanding 26 –
Universitas Sumatera Utara
30 bulan pada lahan mineral secara umum. Namun demikian produktivitas tanaman pada areal rawa pasang surut di Carey Island, Semenanjung Malaysia dilaporkan sangat baik yaitu dapat mencapai 19 – 22 ton TBS/ha pada tanaman kelapa sawit umur 5 tahun. Pertumbuhan dan potensi produktivitas tanaman kelapa sawit di lahan gambut cukup beragam terngantung pada kondisi lahan dan tingkat pengelolaan yang dilakukan. Winarna et al. (2007) melaporkan bahwa produktivitas tanaman kelapa sawit pada lahan gambut saprik dapat mencapai 27 ton TBS/ha/thn jika dikelola dengan baik. Sementara Sutarta et al. (2008a) menyebutkan bahwa produktivitas kelapa sawit umur 5 tahun pada lahan pasang surut (sulfat masam) di Sumatera Selatan dengan pengelolaan lahan yang baik dapat mencapai 18,27 ton TBS/ha/tahun. Produktivitas tanaman kelapa sawit di tanah gambut juga dipengaruhi oleh ketebalan gambut. Tanah gambut dangkal < 1m umumnya memiliki tingkat kematangan dan kesuburan kimia yang lebih baik, sehingga menghasilkan produksi kelapa sawit yang lebih tinggi di banding dengan gambut sedang dan dalam. Produktivitas tanaman kelapa sawit di Malaysia menunjukkan hasil 19,1 ton/ha pada gambut dangkal, 16,5 ton/ha pada gambut sedang dan 11, 9 ton/ha pada gambut dalam (Dolmat, 1982). Selanjutnya menurut Pangudijadmo(1987) , potensi produksi tanaman kelapa sawit digolongkan pada kelas III (S3) dengan produksi rata-rata antara 12-18 ton/ha, sedangkan menurut Chan da Purba (1987) lahan gambut juga dapat digolongkan menjadi kelas II (S2) untuk kelapa sawit dengan produksi rata-rata mencapai 23 ton/ha/tahun pada umur 10 tahun.
Universitas Sumatera Utara
Manurung, et al (2002) melakukan pengamatan pertumbuhan kelapa sawit pada perkebunan PT Torganda. Pertumbuhan kelapa sawit di tanah gambut ternyata cukup normal dibanding dengan kelapa sawit di tanah mineral berkesuaian kelas III (S3). Lilit batang, pembentukan jumlah pelepah, panjang pelepah dan sex ratio ternyata adalah normal dibanding dengan pertumbuhan tanaman kelapa sawit di tanah mineral. Produksi tanaman kelapa sawit di tanah gambut memiliki rata-rata 23 ton/ ha/tahun. Hasil pengukuran lilit batang, jumlah pelepah yang terbentuk, panjang pelepah dan sex ratio ternyata normal dibanding dengan tanaman pada tanah mineral. Hasil penelitian Sidhu, dkk (2004), menyatakan bahwa produksi tanaman kelapa sawit masih dapat dicapai hingga lebih dari 30 ton per ha per tahun di gambut dalam jika dilakukan pengelolaan dan pemupukan secara optimal. Dari pengamatan penulis di beberapa kebun kelapa sawit di tanah gambut, tampak bahwa pertumbuhan kelapa sawit di gambut dangkal lebih baik dibanding dengan gambut sedang dan gambut dalam. Pada umumnya gambut dangkat memiliki tanah gambut yang sudah matang sehingga tingkat kesuburannya juga lebih baik. Pertumbuhan tanaman pada gambut dalam terutama pada daerah “peat dome” tampak jelas lebih jelek dan produksi tamanan lebih rendah, hal ini diperkirakan karena di daerah ini kondisi gambut secara umum masih mentah (fibrik) sehingga memiliki sifat fisika dan kimia yang lebih jelek dibanding gambut dangkal. Permasalahan air pada musim kemarau juga menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan jika pengelolaan air tidak dilakukan dengan baik. Pengelolaan lahan gambut yang baik seperti pembuatan drainase dan pemupukan yang intensive akan meningkatkan potensi lahan gambut untuk budidaya
Universitas Sumatera Utara
kelapa sawit. Produktivitas kelapa sawit yang dihasilkan cukup tinggi, menyamai produksi tanaman pada lahan kelas S3 dab S2. Hal ini antara lain disebabkan oleh ketersediaan air yang cukup pada lahan gambut sehingga menasilkan jumlah tandan yang lebih tinggi dibanding dengan tanah mineral sedangkan dekomposisi gambut akan meningkatkan ketersediaaan hara bagi tanaman kelapa sawit (Sugiono, et al., 1999). Kerapatan masa yang rendah pada lahan gambut menyebabkan pembuatan jalan dan jembatan pada lahan rawa pasang surut yang didominasi gambut memerlukan memerlukan persyaratan tertentu yang tidak dapat disamakan dengan lahan yang didominasi tanah mineral biasa serta memerlukan biaya yang lebih mahal untuk
pembangunannya.
Secara
umum,
investasi
yang
diperlukan
untuk
pembangunan infrastuktur pada lahan rawa pasang surut akan lebih besar dibandingkan dengan lahan yang didominasi tanah mineral biasa, meliputi biaya untuk pembangunan jaringan jalan dan jembatan, parit-parit drainase, dan pintu-pintu air. Untuk pembangunan pabrik dan perumahan diperlukan pemadatan tanah gambut sehingga lebih stabil atau pembangunan dilakukan pada lahan mineral (Sutarta, 2009).
2.2 Karakteristik Gambut yang Mempengaruhi Pertumbuhan Kelapa Sawit A. Karateristik Fisik Karakteristik fisik gambut yang penting dalam pemanfaatannya untuk tanaman kelapa sawit meliputi kadar air, berat isi (bulk density, BD), daya menahan
Universitas Sumatera Utara
beban (bearing capacity), subsiden (penurunan permukaan), dan mengering tidak balik (irriversible drying). Kadar air tanah gambut berkisar antara 100 – 1.300% dari berat keringnya (Mutalib et al., 1991). Artinya bahwa gambut mampu menyerap air sampai 13 kali bobotnya. Dengan demikian, sampai batas tertentu, kubah gambut mampu mengalirkan air ke areal sekelilingnya. Kadar air yang tinggi menyebabkan BD menjadi rendah, gambut menjadi lembek dan daya menahan bebannya rendah (Nugroho, et al, 1997). BD tanah gambut lapisan atas bervariasi antara 0,1 sampai 0,2 g cm-3 tergantung pada tingkat dekomposisinya. Gambut fibrik yang umumnya berada di lapisan bawah memiliki BD lebih rendah dari 0,1 g/cm3, tapi gambut pantai dan gambut di jalur aliran sungai bisa memiliki BD > 0,2 g cm-3 (Tie and Lim, 1991) karena adanya pengaruh tanah mineral. Volume gambut akan menyusut bila lahan gambut didrainase, sehingga terjadi penurunan permukaan tanah (subsiden). Selain karena penyusutan volume, subsiden juga terjadi karena adanya proses dekomposisi dan erosi. Dalam 2 tahun pertama setelah lahan gambut didrainase, laju subsiden bisa mencapai 50 cm. Pada tahun berikutnya laju subsiden sekitar 2 – 6 cm tahun-1 tergantung kematangan gambut dan kedalaman saluran drainase. Adanya subsiden bisa dilihat dari akar tanaman yang menggantung. Rendahnya BD gambut menyebabkan daya menahan atau menyangga beban (bearing capacity) menjadi sangat rendah. Hal ini menyulitkan beroperasinya peralatan mekanisasi karena tanahnya yang empuk. Gambut juga tidak bisa menahan pokok tanaman tahunan untuk berdiri tegak. Tanaman
kelapa sawit
seringkali
Universitas Sumatera Utara
doyong atau bahkan roboh . Tanaman kelapa sawit yang doyong ini akan mengalami stress selama 1-2 tahun sehingga semasa ini tanaman tidak mengasilkan produksi. Tanaman kelapa sawit yang tumbang secara umum terjadi pada tanah gambut yang sudah matang sehingga pertumbuhan tanaman sudah cukub baik dan memiliki bobot batang dan daun yang lebih besar sehingga tanah tidak cukup kuat untuk menahan bobot tanaman yang yang besar tersebut, sementara perakaran kurang kuat berjangkar di dalam tanah. Apalagi jika air tanah terlalu dangkal menyebabkan perakaran tidak berkembang optimal.
Hal ini menuntut pelaksanaan penanaman kelapa sawit
dilakukan dengan metode yang berbeda dibandingkan penanaman pada lahan mineral. Pemadatan jalur tanaman menggunakan alat mekanis maupun pembuatan hole in hole planting method dengan puncher merupakan upaya yang sering dilakukan oleh perkebunan besar.
Sementara pada perkebunan rakyat, sering
dijumpai petani menanam dengan sistem punggu (guludan/gundukan tanah), dimana gundukan ini semakin diperbesar hingga membentuk sistem surjan (Sutarta dan Purba, 1992). Sifat fisik tanah gambut lainnya adalah sifat mengering tidak balik. Gambut yang telah mengering, dengan kadar air <100% (berdasarkan berat), tidak bias menyerap air lagi kalau dibasahi. Gambut yang mengering ini sifatnya sama dengan kayu kering yang mudah hanyut dibawa aliran air dan mudah terbakar dalam keadaan kering (Widjaja-Adhi, 1988).
Universitas Sumatera Utara
B. Karakteristik Kimia Karakteristik kimia lahan gambut di Indonesia sangat ditentukan oleh kandungan mineral, ketebalan, jenis mineral pada substratum (di dasar gambut), dan tingkat dekomposisi gambut. Kandungan mineral gambut di Indonesia umumnya kurang dari 5% dan sisanya adalah bahan organik. Fraksi organik terdiri dari senyawa-senyawa humat sekitar 10 hingga 20% dan sebagian besar lainnya adalah 10 senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tannin, resin, suberin, protein, dan senyawa lainnya. Menurut Noor (2001) sifat utama tanah gambut meliputi ; (1) Kemasaman tanah, (2) Ketersediaan unsur hara, (3) Kapasitas tukar kation (KTK) (4) Kadar asam organik tanah dan (5) kandungan pirit. Gambut oligotropik, seperti banyak ditemukan di Kalimantan, mempunyai kandungan kation basa seperti Ca, Mg, K, dan Na sangat rendah terutama pada gambut tebal. Semakin tebal gambut, basa-basa yang dikandungnya semakin rendah dan reaksi tanah menjadi semakin masam (Driessen dan Suhardjo, 1976). Di sisi lain kapasitas tukar kation (KTK) gambut tergolong tinggi, sehingga kejenuhan basa (KB) menjadi sangat rendah. Gambut tergolong tanah marginal untuk tanaman kelapa sawit karena mempunyai drainase, sifat fisik dan kimia yang kurang baik. Sifat kimia yang kurang baik antara lain pH tanah yang sangat rendah sekitar 3,5-4.0, nisbah C/N yang tinggi, perimbangan K, Ca, Mg dapat dipertukarkan rendah di banding KTK gambut yang tinggi, perimbangan K, Ca dan Mg yang tidak baik serta ketersedian unsur mikro sangat rendah yang diikat oleh koloid organik dari tanah gambut.
Universitas Sumatera Utara
Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat kurang (Wong et al. 1986, dalam Mutalib,et al.1991.) Secara alamiah lahan gambut memiliki tingkat kesuburan rendah karena kandungan unsur haranya rendah dan mengandung beragam asam-asam organik yang sebagian bersifat racun bagi tanaman. Namun demikian asam-asam tersebut merupakan bagian aktif dari tanah yang menentukan kemampuan gambut untuk menahan unsur hara. Karakteristik dari asam-asam organik ini akan menentukan sifat kimia gambut. Tanah gambut juga mengandung unsur mikro yang sangat rendah dan diikat cukup kuat (khelat) oleh bahan organik sehingga tidak tersedia bagi tanaman. Selain itu adanya kondisi reduksi yang kuat menyebabkan unsur mikro direduksi ke bentuk yang tidak dapat diserap tanaman. Kandungan unsur mikro pada tanah gambut dapat ditingkatkan dengan menambahkan tanah mineral atau menambahkan pupuk mikro. Lignin yang mengalami proses degradasi dalam keadaan anaerob akan terurai menjadi senyawa humat dan asam-asam fenolat. Asam-asam fenolat dan derivatnya bersifat fitotoksik (meracuni tanaman) dan menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Asam fenolat merusak sel akar tanaman, sehingga asam-asam amino dan bahan lain mengalir keluar dari sel, menghambat pertumbuhan akar dan serapan hara sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil, daun mengalami klorosis
Universitas Sumatera Utara
(menguning) dan pada akhirnya tanaman akan mati. Turunan asam fenolat yang bersifat fitotoksik antara lain adalah asam ferulat, siringat , p-hidroksibenzoat, vanilat, p-kumarat, sinapat, suksinat, propionat, butirat, dan tartrat.
C . Tingkat kematangan dan Kedalaman Gambut. Pada fisiografi gambut, jenis tanah utama yang dominan adalah tanah gambut yang merupakan tanah organik. Untuk budidaya kelapa sawit, faktor pembatas yang umum dijumpai pada tanah gambut adalah tingkat kematangan gambut, kedalaman gambut, kedalaman muka air tanah yang optimal, dan defisiensi hara. Tingkat kematangan dan kedalaman gambut merupakan faktor pembatas permanen yang tidak dapat diperbaiki melalui tindakan-tindakan kultur teknis. Dengan demikian, apabila kedua faktor pembatas ini berada pada kategori berat, maka keputusan budidaya kelapa sawit pada lahan rawa pasang surut sebaiknya ditinjau kembali. Tingkat kematangan gambut yang merupakan faktor pembatas berat adalah pada tingkat fibric (gambut mentah), sedangkan kedalaman gambut >3 m dapat diklasifikasikan sebagai faktor pembatas berat untuk budidaya kelapa sawit. Menurut Widjaja (1988) tingkat kematangan fibrik adalah bahan organik tanah yang sangat sedikit terdekomposisi yang mengandung serat sebanyak 2/3 volume. Bobot volume fibrik lebih kecil dari 0.075 g cm-3 dan kandungan air tinggi jika tanah dalam keadaan jenuh air. Saprik adalah bahan organik yang terdekomposisi paling lanjut yang mengandung serat kurang dari 1/3 volume dan bobot isi saprik adalah 0.195 g cm3, sedangkan hemik adalah bahan organik yang mempunyai tingkat dekomposisi antara fibrik dengan saprik dengan bobot isi 0.075 sampai 0.195 g cm3.
Universitas Sumatera Utara
Pusat Penelitian Tanah (1983), memasukkan tanah gambut kedalam tanah organosol yang dibedakan kedalam tiga macam yaitu : 1) Organosol Fibrik, ialah tanah organosol yang didominasi oleh bahan fibrik sedalam 50 cm atrau berlapis sampai 80 cm dari permukaan; 2) Organosol Hemik ialah tanah organosol yang didominasi bahan hemik sedalam 50 cm atau berlapis sampai 80 cm dari permukaan; dan 3) Organosol Saprik, ialah tanah organosol selain organosol fibrik maupun hemik yang umumnya didominasi oleh bahan saprik. Salah satu faktor penentu tingkat kesuburan tanah gambut adalah kedalaman lapisan gambut, gambut dalam secara umum memiliki tingkat kesuburan relative lebih rendah dibanding dengan gambut dangkal. Gambut lapisan atas secara umum memiliki tingkat kesuburan yang berbeda dengan gambut lapisan bawah (di bawah muka air tanah) hal ini disebabkan karena tingkat mineralisasi pada lapisan atas lebih tinggi karena sudah mengalami oksidasi. Pada lapisan bawah gambut juga mengalami dekomposisi secara anaerobic namun proses mineralisasi ini berjalan lambat bila dibanding dengan dekomposisi pada lapisan atas. Menurut Hardjowigeno (1996) bahwa tingkat kesuburan gambut menurun seiring dengan meningkatnya ketebalan gambut, dari penelitian yang dilakukan pada enam kedalaman gambut disimpulkan bahwa pada gambut tebal pH tanah menurun (rendah), C organic yang masih tinggi, kadar N yang lebih rendah, nilai KTK yang tinggi dan kertersediaan unsur hara yang lebih rendah.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Perakaran tanaman kelapa sawit. Akar tanaman kelapa sawit berfungsi untuk (1) menunjang struktur batang di atas tanah, (2) Menyerap air dan unsur hara dari dalam tanah, (3) sebagai salah satu alat transpirasi tanaman. Sistem perakaran kelapa sawit merupakan sistem akar serabut, terdiri dari akar primer, sekunder, tersier dan kuarterner. Akar primer umumnya berdiameter 6-10 mm, keluar dari pangkal batang secara horijontal dan menghujam ke dalam tanah dengan sudut yang berbeda. Akar sekunder merupakan cabang yang keluar dari akar primer umumnya memiliki diameter 2-4 mm. Akar tersier mamiliki ukuran diameter 0,7-1,2 mm dan akar kuarterner merupakan cabang dari akat tersier dengan diameter 0,1-0,3 mm dan sering disebut feeding root atau akar penyerap utama. Sebagian besar perakaran kelapa sawit berada dekat permukaan tanah dan hanya sedikit akar kelapa sawit berada pada kedalaman 90 cm, walaupun permukaan air tanah (water table) cukup dalam, sistem perakaran yang aktif secara umum berada pada kedalaman 5-35 cm dan akar tersier berada pada kedalaman 10-30 cm (Iyung, 2007). Menurut Fauzi, et al., 2008, akar sekunder, tersier, dan kuarter tumbuh sejajar dengan permukaan tanah bahkan akar tersier dan kuarter menuju ke lapisan atas atau ke tempat yang banyak mengandung zat hara. Selain akar yang ada di dalam tanah akar kelapa sawit juga ada yang keluar ke permukaan tanah sebagai akar napas. Menurut Harley (1967), perakaran kelapa sawit terkonsentrasi pada 50 cm dari permukaan tanah dan disekliling batang. Konsentrasi akar yang tinggi terjadi di atas permukaan air tanah dan juga pada tempat dimana memiliki kesuburan dan
Universitas Sumatera Utara
17
kelembapan yang lebih baik misalnya dibawah rumpukan pelepah (Tailliez 1971 dalam Chan,__) Dari hasil penelitian Dr. Christophe Jourdan, disimpulkan bahwa 23 % dari total permukaan akar kelapa sawit merupakan akar absorpsi. Sebagian besar dari akar absorpsi tersebut (83,7%) terdiri dari akar tersier (28.9%) dan akar kuarter. Menurut Harahap (1999) mekanisme pergerakan akar kelapa sawit tumbuh dan berkembang pada tanah yang berkerapatan lindak tinggi dimulai dari masuknya akar tersier, kemudian diikuti oleh akar sekunder dan pada akhirnya baru dimasuki oleh akar primer. Akar primer dan sekunder kelapa sawit berfungsi sebagai jangkar sedangkan akar tersier berfungsi sebagai akar absorbsi air dan hara. Kelapa sawit dapat tumbuh pada kerapatan lindak yang tinggi selama perkembangan akar tidak terganggu. Pada tanah gambut kerapatan lindak (BD) tanah tidak merupakan suatu factor penghalang untuk perkembangan akar karena sangat mudah ditembus akar namun cengkraman akar rendah. Faktor penghambat perkembangan akar pada tanah gambut yang utama adalah asam–asam organik yang dapat meracuni dan merusak sel akar sehingga akar tidak berkembang.
Universitas Sumatera Utara