Idham Arsyad Sekretaris Jendral Konsorsium Pembaruan Agraria
Reforma Agraria, Jalan keluar dari sejumlah persoalan agraria yang
mendasar yang menjadi pangkal dari kemiskinan rakyat Indonesia, yang dilakukan dengan cara menata ulang atau re-strukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan kekayaan alam untuk kepentingan petani, buruh tani, masyarakat adat dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan. Reforma Agraria juga sebagai dasar pembangunan industrialisasi nasional. Suatu upaya untuk memperbaiki struktur agraria, yang terdiri atas sistem penguasaan tanah, metoda penggarapan tanah dan organisasi pengusahaannya, skala operasi usahanya, sewa menyewa, kelembagaan kredit desa, pemasaran, dan juga pendidikan dan pelatihan untuk menyesuaikan diri dengan tujuan-tujuan keadilan sosial dan produktifitas. (Tuma, 2001)
Tidak adanya konsentrasi yang berarti dalam
penguasaan dan pemanfaatan tanah beserta kekayaan alam yang menjadi hajat hidup orang banyak Terjaminnnya kepastian hak penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaaan alam Terjaminnya keberlangsungan dan kemajuan sistem produksi rakyat setempat yang menjadi sumber penghidupan mereka
Telah terjadi ketimpangan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan atas hutan dan kekayaan yang terkandung di dalamnya. Sumber daya hutan tumbuh menjadi industri kehutanan yang memberi kekayaan hanya pada segelintir orang. Kontrol negara atas hutan dengan cepat beralih ke tangan pengusaha dengan memberikan kemudahan izin. Menurut APHI (1991), pemerintah telah mengeluarkan izin konsesi sebanyak 567 unit dengan total penguasaan tanah mencapai 60,2 juta hektar. o Pasca reformasi, meskipun konsesi berkurang tetapi jumlahnya masih signifikan, terdapat 420 Iin dgn luas penguasaan 51,6 juta ha. o FWI (2006), sebanyak 154 unit perusahaan yang mendapatkan IUPHHK-HT dengan penguasaan tanah seluas 17,38 juta Ha. Di Jawa saja, Perhutani menguasai 1,78 juta ha. o Juga terjadi perubahan pola eksploitasi dari ekstrasi kayu dan hutan alami menjadi kehutatan perkebunan (HTI). Pada tahun 2001, total luas areal perkebunan kehutanan sekitar 67.000 hektar, namun selama lima tahun berikutnya naik sepuluh kali lipat, hingga mencapai total 606.000 hektar pada 2005. (Dianto & Gwr;2010). o
Tingginya jumlah konflik tenurial di wilayah hutan yang disertai dengan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, seperti pengusiran, penembakan, pembakaran rumah penduduk di dalam kawasan hutan. Data KPA menunjukkan, sampai tahun 2001 dari 1.753 kasus konflik agraria, terdapat 141 kasus karena pembangunan hutan produksi dan 44 kasus terkait dengan pembangunan hutan konservasi. Sebanyak 1.7 juta hektar luas tanah yang disengketakan. o Lidah Tani & LBH semarang mencatat bahwa dari tahun 1998-2008 telah terjadi penembakan dan penganiayaan terhadap 69 petani karena berkonflik dengan Perhutani. o
Banyaknya jumlah orang miskin yang bergantung pada sumber daya hutan. Saat ini, dari 180 juta daratan di Indonesia, 136,5 juta ditunjuk sebagai kawasan hutan. Sedikitnya 28.000 desa masuk ke dalam kawasan hutan. o Data CIFOR (2000) menyebutkan bahwa sekitar 48,8 juta orang tinggal di hutan negara dan sebanyak 10,2 juta dianggap miskin. 20 juta orang tinggal di Desa-desa dekat hutan dan 6 juta diantaranya kehidupannya bergantung dari hutan. o
1
Laju Degradasi dan deforestasi sumber daya hutan yang tak terkontrol telah mengakibatkan hancurnya sumber-sumber penghidupan rakyat. • •
•
•
•
Di era Soeharto laju kerusakan mencapai 1,7 juta per tahun, namun pasca reformasi mencapai lebih dari 2,8 juta hektar per tahun. Laju kerusakan hutan lindung lebih cepat, misalnya di Propinsi Sumsel, dari 569.310 hektar hutan lindung, sebanyak 300.000 ribu hektar (60% dari kawasan) yang mengalami kerusakan. Di Jambi, kerusakan hutan mencapai 180.305 hektar (45% DAS) mengakibatkan 224 desa di Batanghari daerah rawan banjir dan lonsor yang juga meliputi kawasan pertanian dan pemukiman. Tahun 2006, kerusakan hutan mengakibatkan 4 Kabupaten di Sulawesi Selatan mengalami banjir bandang dan longsor. Sekitara 200 orang tewas, ribuan hektar lahan pertanian, pemukiman dan ternak tersapu air. Walhi mencatat bahwa sepajang 2010 telah terjadi 286 bencana ekoogis.
Kebijakan politik kehutanan masih mencerminkan paradigma
pengelolaan hutan berbasis negara (state based). Hal ini ditandai dengan ; 1) kawasan hutan masih diklaim sebagai bagian tanah negara, 2) Adanya pembatasan bagi masyarakat untuk mengakses hasil hutan, khususnya kayu. Tidak adanya komitmen politik dari pemerintah (secara khusus Presiden) dalam menjalankan agenda reforma agraria secara menyeluruh, sehingga berdampak tidak terjadinya koordinasi dan komunikasi antara departemen dalam mengurus masalah sumber daya alam. Sektoralisme masing-masing sektor masih menjadi wajah dari pengelolaan sumber daya alam. Demikian pula benturan klaim antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola hutan. Adanya perbedaan pandangan antar semua stakeholder terkait dengan pengurusan masalah sumber daya hutan. (Misalnya; hutan sebagai sumber daya yang open acces atau tidak, penguasaan dan pemilikan atas sumber daya hutan, dsb)
UUTR
Bappenas
UUPA
UUPK
uang r a t Ta
BPN
KEMENHUT
HPH/HPHTI
HM HGB
HGU HP
HK
70%
30%
DKP
ESDM
UUPP
Sumber daya hutan adalah objek potensial dari
pelaksanaan reforma agraria, karena : 1) Sebagian besar penduduk miskin pedesaan hidup di wilayah hutan; 2) Banyak dari wilayah yang ditunjuk sebagai kawasan hutan tapi secara fisik bukan hutan (fungsi ekologis/konservasi); 3) Sebagian besar areal hutan yang telah dilekati hak tidak dikelola dengan baik oleh pemegang hak diterlantarkan. Sumber daya hutan sebagai objek reformasi agraria dapat menyelesaikan berbagai persoalan kehutanan dewasa ini, diantaranya : 1) Menghentikan laju deforestasi dan degradasi hutan, 2) Menekan terjadinya konflik tenurial, 3) Mengurangi jumlah orang miskin dan pengangguran di Pedesaan.
Foresrty Land Reform mempunyai makna dan fungsi
sebagai berikut : 1) menata ulang sistem kebijakan di sektor kehutanan dengan menempatkan UUPA 1960 sebagai basis dari pengelolaan hutan di Indonesia. Hal ini berarti bahwa sumber daya hutan tunduk kepada UUPA dalam hal penguasaan, dan semestinya kebijakan kehutanan hanya mengatur pada pemanfaatan. 2) Merombak paradigma pengelolaan hutan berbasis negara dan menjadikan tenurial sistem yang hidup di masyarakat sebagai basis pengelolaan dan penggunaan sumber daya hutan. 3) Sebagai sarana untuk merombak ketimpangan terkait dengan sumber daya hutan dan menyelesaikan konflik tenurial.