IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK SUMBER DAYA BIOMASSA DAN POTENSI BIO-PELET DI INDONESIA
SKRIPSI
HANANI FISAFARANI 0606076425
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA DEPOK JUNI 2010
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK SUMBER DAYA BIOMASSA DAN POTENSI BIO-PELET DI INDONESIA
SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik
HANANI FISAFARANI 0606076425
UNIVERSITAS INDONESIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA PROGRAM SARJANA DEPOK JUNI 2010
ii Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama
: Hanani Fisafarani
NPM
: 0606076425
Tanda Tangan
:
Tanggal
: 2 Juli 2010
iii Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini diajukan oleh Nama
: Hanani Fisafarani
NPM
: 0606076425
Program Studi
: Teknik Kimia
Judul Skripsi
: Identifikasi Karakteristik Sumber Daya Biomassa dan Potensi Bio-Pelet di Indonesia
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik Kimia pada Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI Pembimbing I
: Prof. Dr. Ir. Widodo W. Purwanto, DEA
Pembimbing II
: Ir. Dijan Supramono, M.Sc.
Penguji
: Dr. rer. nat. Ir. Yuswan Muharam, MT
Penguji
: Ir. Praswasti PDK Wulan, MT
Ditetapkan di
: Depok
Tanggal
: 2 Juli 2010
iv Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Teknik pada Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada: (1)
Prof. Dr. Ir. Widodo Wahyu Purwanto, DEA. selaku dosen pembimbing I dan Ir. Dijan Supramono, M.Sc. selaku dosen pembimbing II yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam penyusunan skripsi ini;
(2)
Orang tua dan seluruh keluarga yang telah memberikan dukungan yang sangat berarti baik berupa material dan moral;
(3)
Pihak Departemen Pertanian, Puslitbang TekMira, dan Biomaterial LIPI yang telah membantu dalam usaha memperoleh data yang saya perlukan;
(4)
Anin, Nita, Falah, dan Hadi yang telah sangat membantu dan mencurahkan perhatian, kasih sayang, dan kesabarannya sampai saat ini;
(5)
Mang Ijal, Kang Jajat dan semua staff departemen yang telah banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini;
(6)
Peby, sebagai teman satu perjuangan lantai 4 dan pensuplai tandan kosong kelapa sawit.
(7)
Teman-teman angkatan 2006 yang sama-sama saling memberi semangat dalam perjuangan menyelesaikan skripsi masing-masing.
Akhir kata, saya berharap Tuhan Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu. Depok, 2 Juli 2010 Penulis
v Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Hanani Fisafarani
NPM
: 0606076425
Program Studi : Teknik Kimia Departemen
: Teknik Kimia
Fakultas
: Teknik
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive RoyaltyFree Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul: Identifikasi Karakteristik Sumber Daya Biomassa dan Potensi Bio-Pelet di Indonesia beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif
ini
Universitas
Indonesia
berhak
menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di
: Depok
Pada tanggal : 2 Juli 2010 Yang menyatakan
(Hanani Fisafarani)
vi Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
ABSTRAK Nama : Hanani Fisafarani Program Studi : Teknik Kimia Judul : Identifikasi Karakteristik Sumber Daya Biomassa dan Potensi Bio-Pelet di Indonesia
Biomassa merupakan energi alternatif yang dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi krisis energi di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik sumber daya biomassa dan potensi bio-pelet yang terdapat di Indonesia, untuk mengetahui bahan baku yang dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai bio-pelet. Sumber daya biomassa yang memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan di Indonesia antara lain jerami, sekam, kayu kamper, kayu karet, serabut kelapa, tandan kosong kelapa sawit, dan bagas. Analisis yang dilakukan untuk mengetahui karakteristik tiap biomassa adalah analisis proksimat, ultimat, dan kandungan biopolimer. Tiap bahan baku biomassa dibentuk menjadi pelet silindris dengan diameter 0,8 cm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Indonesia memiliki potensi sebesar 1238,71 juta GJ/tahun terhadap produksi biopelet dari limbah biomassa. Nilai kalor yang paling tinggi adalah serabut kelapa dengan nilai 4161 kal/g, sedangkan temperatur pembakaran tertinggi dimiliki oleh jerami dengan nilai 712 oC. Kata kunci: karakteristik; biomassa; bio-pelet; pembakaran; nilai kalori; temperatur; emisi.
vii
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
ABSTRACT Name Study Program Title
: Hanani Fisafarani : Chemical Engineering : The Identification of Biomass Resources Characteristics and Bio-Pellet Potency in Indonesia
Biomass is an alternative energy that could become one of solution to overcome energy deficit in Indonesia. The goal of this research is to identify biomass resources characteristics and bio-pellet potency, so the best feedstock can be used optimally to made bio-pellet fuel. Biomass recources that have high potentials to be developed in Indonesia are rice straw, rice husk, kamper wood, rubber wood, coconut fiber, empty fruit bunches of palm oil, and bagasse. Type of analysis that have been done to acknowledge the characteristics of each biomass are ultimate, proximate and biopolymer analysis. Each biomass will be constructed as a cylindrical biomass pellet with d = 0,8 cm. The result of this research shows that Indonesia has 1238,71 million GJ/year potency for bio-pellet production from waste biomass. Coconut fiber have the highest heating value (4161 cal/g) and rice straw have the highest combustion’s temperature (712 oC). Key words: characteristics; biomass; bio-pellet; combustion; heating value; temperature; emission.
viii
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL................................................................................................ i HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................ iii KATA PENGANTAR ........................................................................................... iv HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................v ABSTRAK ............................................................................................................. vi ABSTRACT .......................................................................................................... vii DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1 1.1 Latar Belakang................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................2 1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................................3 1.4 Batasan Masalah .............................................................................................3 1.5 Sistematika Penulisan .....................................................................................3 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................5 2.1 Biomassa.........................................................................................................5 2.1.1 Definisi Biomassa ..................................................................................5 2.1.2 Sumber Daya Biomassa .........................................................................5 2.1.3 Kandungan Biomassa ............................................................................7 2.1.4 Sifat dan Karakteristik Biomassa ........................................................11 2.2 Metode Karakterisasi Biomassa ...................................................................15 2.2.1 Metode Analisis Proximate ................................................................15 2.2.2 Metode Analisis Ultimate ...................................................................17 2.2.3 Metode Scanning Electron Microscoep (SEM) ...................................18 2.3 Proses Konversi Biomassa ...........................................................................18 2.4 Pelet Biomassa..............................................................................................19 2.4.1 Kualitas Pelet Biomassa .....................................................................20 2.4.2 Perbandingan Pellet Biomassa di Dunia .............................................21 2.5 Proses Produksi Pelet Biomassa ..................................................................21 2.5.1 Mereduksi Ukuran Bahan Baku .........................................................22 2.5.2 Pengeringan ........................................................................................23 2.5.3 Pencampuran .......................................................................................23 2.5.4 Persiapan .............................................................................................23 2.5.5 Proses Pelletizing ................................................................................24 2.5.6 Pengayakan dan Pendinginan .............................................................26 2.5.7 Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan pada Proses Densifikasi .......27 2.6 Pembakaran Biomassa .................................................................................29 2.6.1 Tahap-Tahap Pembakaran ..................................................................29 2.6.2 Faktor Pengontrol Pembakaran ...........................................................32 2.6.3 Emisi Pembakaran Biomassa ..............................................................33 BAB 3 METODE PENELITIAN ........................................................................35 ix
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
3.1 Alat dan Bahan .............................................................................................36 3.1.1 Alat dan Bahan Tahap Persiapan Bahan Bakar ..................................36 3.1.2 Alat dan Bahan Tahap Pengujian Kandungan Biopolimer .................36 3.1.3 Alat dan Bahan Tahap Analisis Proksimat dan Ultimat .....................37 3.1.4 Alat dan Bahan Tahap Pengujian Nilai Kalori ...................................38 3.1.5 Alat dan Bahan Tahap Konstruksi Pelet Biomassa ............................38 3.1.6 Alat dan Bahan Tahap Pengujian Pembakaran ...................................38 3.2 Tahapan Penelitian .......................................................................................39 3.2.1 Tahap Preparasi Bahan Baku Biomassa .............................................39 3.2.2 Tahap Analisis Biomassa ....................................................................40 3.2.2.1 Pengujian Karakteristik Fisik Biomassa .................................40 3.2.2.2 Pengujian Karakteristik Kimia Biomassa ...............................40 3.2.2.3 Analisis Nilai Kalor .................................................................48 3.2.3 Pembuatan Pelet Biomassa .................................................................49 3.2.4 Pengujian Pelet Biomassa ...................................................................49 3.2.4.1 Pengujian Densitas Bulk ........................................................49 3.2.4.2 Pengujian Pembakaran ............................................................50 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................51 4.1 Hasil Preparasi Biomassa .............................................................................51 4.2 Sifat dan Karakteristik Biomassa ................................................................51 4.2.1 Morfologi Biomassa ...........................................................................51 4.2.2 Komposisi Biomassa ..........................................................................54 4.2.3 Nilai Kalor Biomassa ...........................................................................58 4.3 Potensi Proses Konversi Biomassa ...............................................................60 4.4 Pelet Biomassa .............................................................................................63 4.4.1 Densitas Bulk ......................................................................................64 4.5 Potensi Pelet Biomassa di Indonesia ............................................................66 4.6 Performa Pembakaran Pelet Biomassa ........................................................68 4.6.1 Profil Temperatur Pembakaran ...........................................................68 4.6.2 Profil Emisi Pembakaran ...................................................................71 4.6.3 Pembakaran pada Furnace Vs Aplikasi pada Kompor Biomassa ........74 BAB 5 KESIMPULAN ........................................................................................76 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................77 LAMPIRAN ..........................................................................................................80
x
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1. Contoh biomassa (a) jerami; (b) pohon karet; (c) tebu ...................5 Gambar 2.2. Potensi biomassa di Indonesia ........................................................6 Gambar 2.3. Komposisi lignin, hemiselulosa dan selulosa .................................8 Gambar 2.4. Struktur selulosa ..............................................................................9 Gambar 2.5. Struktur hemiselulosa ....................................................................10 Gambar 2.6. Struktur lignin ...............................................................................11 Gambar 2.7. Nilai kalor dari biomassa (LHV dan HHV) sebagai fungsi dari moisture content ............................................................................14 Gambar 2.8. SEM dari biomassa; a) mallee b) pine chip ..................................18 Gambar 2.9. Bentuk Pelet Biomassa ..................................................................20 Gambar 2.10. Skema proses produksi pellet biomassa ........................................22 Gambar 2.11. Flat die dan ring die ......................................................................25 Gambar 2.12. Pembakaran kayu ..........................................................................29 Gambar 3.1. Diagram alir penelitian ..................................................................35 Gambar 3.2. Mesin cold press ...........................................................................49 Gambar 4.1. Sampel biomassa setelah melalui tahap preparasi bahan baku: (a) jerami, (b) sekam, (c) kayu kamper, (d) kayu karet, (e) serabut kelapa, (f) TKKS, (g) bagas ..........................................................51 Gambar 4.2. Hasil SEM untuk masing-masing jenis biomassa: (a) jerami, (b) sekam, (c) kayu kamper, (d) kayu karet, (e) serabut kelapa (f) TKKS, (g) bagas ............................................................................52 Gambar 4.3. Densitas bulk serbuk biomassa (ukuran partikel 1 mm) ................53 Gambar 4.4. Hubungan antara kadar karbon dengan HHV ...............................59 Gambar 4.5. Perbandingan antara HHVpercobaan dengan HHVteoritis ....................60 Gambar 4.6. Pelet Biomassa kiri-kanan: jerami, sekam, kayu kamper, kayu karet, serabut kelapa, TKKS, bagas ...............................................64 Gambar 4.7. Cetakan pelet untuk proses densifikasi .........................................64 Gambar 4.8. Hubungan antara ∆densitas bulk dengan kandungan air ...............66 Gambar 4.9. Perbandingan temperatur pembakaran terhadap jenis pelet biomassa ........................................................................................69 Gambar 4.10. Hubungan antara ∆densitas bulk dengan temperatur puncak pembakaran ....................................................................................70 Gambar 4.11. Hubungan antara kadar air dengan waktu terjadinya temperatur puncak pembakaran .......................................................................71 Gambar 4.12. Profil emisi CO2 terhadap fungsi waktu ........................................72 Gambar 4.13. Profil emisi CO terhadap fungsi waktu .........................................73
xi
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel 2.2. Tabel 2.3. Tabel 2.4. Tabel 2.5. Tabel 2.6. Tabel 2.7. Tabel 2.8. Tabel 2.9. Tabel 2.10. Tabel 2.11. Tabel 2.12. Tabel 3.1. Tabel 4.1. Tabel 4.2. Tabel 4.3. Tabel 4.4. Tabel 4.5. Tabel 4.6. Tabel 4.7. Tabel 4.8.
Klasifikasi sumber daya biomassa ..................................................6 Potensi energi dari limbah biomassa di Indonesia ..........................7 Komposisi biopolimer biomassa .....................................................8 Kandungan sulfur dan klorida pada beberapa jenis biomassa ......12 Karakteristik biomassa dari tipe bahan bakar biomassa yang berbeda-beda ..................................................................................12 Komposisi unsur dari biomassa .....................................................13 Hasil uji analisis proksimat biomassa ............................................16 Contoh hasil uji analisis ultimat biomassa ....................................18 Konversi biomassa menjadi energi ...............................................19 Perbandingan 5 pelet biomassa di berbagai negara di dunia .........21 Ukuran biomassa yang tepat untuk berbagai jenis sistem pembakaran ....................................................................................23 Emisi dari pembakaran bahan baku biomassa ...............................34 Sampel biomassa ............................................................................39 Hasil analisis proksimat sampel biomassa setelah perlakuan awal 54 Hasil analisis ultimat sampel biomassa setelah perlakuan awal ....56 Hasil analisis kandungan biopolimer biomassa ............................57 Nilai Kalor Biomassa .....................................................................58 Rekomendasi tipe proses konversi untuk tiap jenis biomassa .......61 Densitas bulk pelet biomassa ........................................................65 Potensi Pelet Biomassa di Indonesia ..............................................67 Perbandingan pembakaran pelet kayu kamper pada furnace dan kompor biomasa ...........................................................................75
xii
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9
Perhitungan Densitas dan Massa ............................................... 77 Hasil Analisa Proksimat dan Ultimat ........................................ 78 Hasil Analisa Nilai Kalori ......................................................... 79 Hasil Analisa Kandungan Biopolimer ...................................... 80 Perhitungan Nilai Kalori Teoritis .............................................. 81 Data Temperatur Pembakaran Pelet Biomassa ......................... 82 Data Kalibrasi CO dan CO2 ..................................................... 85 Pengolahan Data Emisi Pembakaran ........................................ 87 Perhitungan Potensi Pelet Biomassa di Indonesia .................... 90
xiii
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Tidak dapat kita pungkiri bahwa sebagai makhluk hidup, kita tidak akan
dapat lepas dari energi. Di Indonesia, kebutuhan dan ketergantungan energi sangat tinggi dikarenakan populasi penduduk, jumlah pabrik, perkantoran, dan industri yang sangat besar (Susilaningsih dkk., 2008). Sampai saat ini, bahan bakar yang sering digunakan dalam rumah tangga adalah bahan bakar fosil seperti LPG dan minyak tanah, karena bahan bakar fosil ini memiliki nilai bakar (heating value) yang cukup tinggi dan mudah terbakar. Energy Information Administration (EIA) memperkirakan bahwa pemakaian energi dunia untuk waktu mendatang hingga tahun 2025 masih didominasi oleh bahan bakar dari fosil: minyak, gas alam dan batubara (Kedeputian Bidang Kajian Lemhannas RI, 2006). Namun pada kenyataannya, bahan bakar fosil memiliki sifat tidak dapat diperbaharui dan proses terbentuknya memerlukan waktu jutaan tahun. Oleh karena itulah, kita harus mencari alternatif energi lainnya sebagai solusi permasalahan krisis energi yang melanda bangsa ini. Salah satu alternatif yang sangat menarik adalah biomassa karena sifatnya yang dapat diperbaharui. Pada awalnya, penggunaan energi untuk masyarakat pedesaan sektor rumah tangga didominasi oleh penggunaan biomassa (solid fuels) melalui pembakaran langsung (tanpa diolah terlebih dahulu) yang berasal dari siklus biologis dan terbarukan (seperti limbah kayu, pertanian, dll). Selain itu, potensi dalam mengaplikasikan biomassa di Indonesia juga cukup besar. Hal ini dapat ditinjau dari ketersediaan biomassa di Indonesia yang melimpah tetapi belum dimanfaatkan secara optimal terutama untuk limbah biomassa. Produksi biomassa di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 123,5 juta ton per tahun dan setara dengan sekitar 1455,97 juta GJ/tahun. Sumber biomassa tersebut terutama berasal dari limbah tanaman padi sebesar 705 juta GJ/tahun, limbah kayu perkebunan karet sekitar 46,45 juta GJ/tahun, limbah tebu 91,19 sebesar 70,65 juta GJ/tahun, limbah kelapa sawit dengan jumlah 247,15 juta GJ/tahun, limbah 1 Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
2
kelapa sebesar 162,3 juta GJ dan sisanya sebesar 214,19 GJ/tahun berasal dari limbah kelapa, limbah industri kayu, dan limbah cair pabrik tapioka (ZREU, 2000). Namun, apabila biomassa tersebut hanya dibakar langsung maka akan timbul permasalahan, seperti nilai bakar yang rendah, nilai densitas bulk yang rendah, serta kadar emisi polutan yang tinggi. Untuk menyelesaikan masalah tersebut dan memperoleh hasil yang optimal, biomassa tersebut harus diolah terlebih dulu dengan memperhatikan faktor-faktor yang berpengaruh pada segi pembakaran. Karakteristik pembakaran biomassa sebagian besar dipengaruhi oleh komposisi dari bahan baku yang digunakan (Ohman, 2006). Namun, permasalahannya adalah tiap biomassa memiliki perbedaan karakteristik yang cukup signifikan dan memerlukan proses yang berbeda. Tanpa mengetahui karakteristik dari tiap biomassa, seperti komposisi dan sifat, maka kita juga tidak akan tahu proses apa yang optimal untuk jenis biomassa tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu identifikasi untuk mengetahui karakteristik dari biomassa tersebut. Untuk proses pembakaran langsung, proses densifikasi juga perlu dilakukan untuk memperoleh pelet biomassa dengan densitas bulk dan nilai bakar yang lebih tinggi, emisi yang rendah, porositas yang rendah, serta penggunaan yang praktis terutama dalam hal transportasi dan penyimpanannya. Pada proses densifikasi, lignin memiliki peran yang sangat penting, yaitu sebagai perekat biomassa (Ohman, 2006). Bahan baku dengan kadar lignin yang rendah dapat ditanggulangi dengan menambahkan zat perekat tambahan seperti minyak sayur dan kanji. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi karakteritik sumber daya biomassa di indonesia sehingga dapat diketahui jenis proses yang optimal untuk mengkonversi biomassa menjadi energi, serta mengidentifikasi potensi bio-pelet di Indonesia. Hal ini dilakukan agar diperoleh pelet biomassa dengan kualitas yang lebih baik, yaitu memiliki nilai bakar yang optimal dan dapat digunakan sebagai bahan bakar alternatif menggantikan bahan bakar fosil seperti LPG dan minyak tanah.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
3
1.2
Perumusan Masalah Rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana mengidentifikasi
jenis biomassa di Indonesia yang optimal untuk diproses menjadi bahan bakar dan bagaimana cara mengidentifikasi potensi bio-pelet di Indonesia sehingga didapatkan bio-pelet dengan nilai kalor dan temperatur pembakaran yang optimal.
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik sumber daya
biomassa dan potensi bio-pelet yang terdapat di Indonesia, untuk mengetahui bahan baku yang dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai bio-pelet sehingga didapatkan bio-pelet dengan nilai kalor dan temperatur pembakaran yang optimal.
1.4
Batasan Masalah Masalah yang dibahas dalam penelitian ini dibatasi sebagai berikut:
1.
Penelitian ini menggunakan bahan baku biomassa berupa jerami, sekam padi, serbuk gergaji kayu kamper, kayu pohon karet, serabut kelapa, tandan kosong kelapa sawit dan ampas tebu (bagas).
2.
Untuk mengetahui komposisi kandungan biomassa, dilakukan analisis proksimat, ultimat, dan kandungan biopolimer
3.
Pelet biomassa dibentuk silindris
4.
Uji pembakaran dilakukan pada sebuah pelet
5.
Pengidentifikasian konsentrasi emisi gas CO2 dilakukan dengan analisis Gas Cromatography dan konsentrasi emisi gas CO dilakukan dengan portable CO-detektor.
1.5
Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :
BAB 1 :
PENDAHULUAN Menjelaskan tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, dan sistematika penulisan.
BAB 2 :
TINJAUAN PUSTAKA
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
4
Menjelaskan tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan biomassa, pelet biomassa, proses pengolahan biomassa dari bahan mentah hingga menjadi pelet dan karakteristik biomassa yang mempengaruhi
proses
tersebut,
sproses
pembakaran
serta
karakteristik biomassa yang mempengaruhi proses tersebut, serta pengujian emisi. BAB 3 :
METODE PENELITIAN Menjelaskan diagram alir penelitian, alat dan bahan yang diperlukan, serta prosedur tiap tahap penelitian.
BAB 4 :
HASIL DAN PEMBAHASAN Memuat hasil dan pembahasan dari uji operasi peralatan dan analisis sampel.
BAB 5 :
KESIMPULAN Berisi tentang kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan percobaan yang dilakukan terkait dengan tujuan dari penelitian ini.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Biomassa
2.1.1 Definisi Biomassa Di dalam studi energi berkelanjutan, biomassa didefinisikan sebagai seluruh hal yang berkenaan dengan tanaman yang masih hidup termasuk limbah organik yang berasal dari tanaman, manusia, kehidupan laut, dan hewan. Biomassa merupakan istilah yang digunakan untuk jenis biomassa apapun dalam bentuk padat yang digunakan sebagai bahan bakar, terlebih kayu bakar, arang, kotoran hewan, limbah pertanian, dan limbah padat yang dapat terbiodegradasi.
(a)
(b)
(c)
Gambar 2.1. Contoh biomassa (a) jerami; (b) pohon karet; (c) tebu
2.1.2 Sumber Daya Biomassa 2.1.2.1 Klasifikasi Sumber Daya Biomassa Sumber daya biomassa dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian menurut sektor supplier, yaitu hutan, pertanian, industri, dan sampah. Untuk penjelasan lebih detail lagi dapat di lihat pada Tabel 2.1 di bawah ini.
5 Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
6
Tabel 2.1. Klasifikasi sumber daya biomassa (www.eubia.org)
Sektor supplier Hutan
Pertanian
Tipe Hutan khusus penghasil bahan baku biomass Hasil hutan Lignoselulosic kering Minyak, gula dan dan starch energy crops Residu pertanian Zat sisa makhluk hidup
Industri
Sisa industri Lignocellulosic kering
Sampah
Sampah yang telah terkontaminasi
Contoh Penanaman pohon yang memiliki waktu rotasi cenderung singkat (contoh: willow, poplar, eucalyptus) Balok kayu dan ranting Tanaman Herbaceous (contoh: miscanthus, reed canarygrass, giant reed) Minyak untuk metilester (contoh: rape seed, bunga matahari) Gula untuk etanol (contoh: sugar cane, sweet sorghum) Starch crops untuk etanol (contoh: jagung, gandum) Jerami, ranting-daun dari vineyards dan pohon buah Kotoran hewan, basah dan kering Sampah kayu industri, sawdust dari sawmills Sampah dari industri kertas Sampah dari taman dan kebun (contoh: rumput, daun, ranting) Limbah kayu yang telah rusak Fraksi organik dari limbah padat dari perkotaan Biodegradable landfilled waste, landfill gas Lumpur saluran air
Sumber Daya Biomassa di Indonesia Sumber daya biomassa di Indonesia sangatlah banyak. Hal ini salah satunya disebabkan Indonesia memiliki iklim tropis dan wilayah yang cukup luas. Sumber daya biomassa yang memiliki potensi yang cukup tinggi di Indonesia antara lain; pohon karet, kelapa, tebu, kelapa sawit, dll.
Gambar 2.2. Potensi biomassa di Indonesia (ZREU, 2000)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
7
Pada Gambar 2.2 dapat kita lihat peta persebaran potensi biomassa di Indonesia dengan nilai energi ekivalennya. Dari gambar tersebut, dapat kita lihat potensi biomassa yang tertinggi berada di pulau Sumatera dengan nilai energi ekivalen sebesar 590 MWe. Tabel 2.2 di bawah ini menunjukkan sumber daya biomassa yang terdapat di Indonesia dan jumlahnya.
Tabel 2.2. Potensi energi dari limbah biomassa di Indonesia
8,31
Jumlah Limbah (Juta ton/Tahun) 8,5
Potensi Energi (Juta GJ/ Tahun) 70,64
Crude Oil Equivalent (106 toe/ Tahun) 1,70
30
15,81
1,3
20,55
0,49
TKKS
27
8,16
12,9
105,26
2,53
Serat
15
11,34
6,7
75,98
1,82
Tempurung Limbah Kayu Karet
9
18,83
3,5
65,91
1,58
-
2,8
46,45
1,11
16,23
6,7
108,74
2,61
Rasio Limbah (%)
LHV (MJ/kg)
Bagas Daun dan Pucuk Tebu
32
Sumber Biomassa
Tebu
Kelapa Sawit Pohon Karet Kelapa Padi Ubi Kayu Industri Kayu
Limbah
Serabut Tempurung
16
17,93
3
53,79
1,29
Sekam Padi
23
12,69
13,5
171,32
4,11
Jerami Limbah Cair Pabrik Tapioka
40
10,9
49
534,10
12,82
-
-
7,3
133,13
3,20
-
-
8,3
70,11
1,68
123,5
1455,97
34,94
Limbah Kayu
TOTAL Sumber: FAO 1998; NREL 2008; ZREU 2000
2.1.3 Kandungan Biomassa Biomassa merupakan produk reaksi fotosintetik dari karbon dioksida dengan air, yang terdiri atas karbon, oksigen, dan hidrogen, yang terdapat dalam bentuk polimerik makroskopik kompleks. Bentuk-bentuknya adalah; Selulosa
( C6H10O5)x
Hemiselulosa
(C5H8O4)y
Lignin
(C9H10O3(CH3O)0.9-1.7)z
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
8
Gambar 2.3. Komposisi lignin, hemiselulosa dan selulosa (Shaw, 2008)
Komposisi senyawa-senyawa pokok di atas bervariasi untuk tiap spesies tanaman. Biasanya, biomassa mengandung 40-60% berat selulosa, 20-40% berat hemiselulosa, dan 10-25% berat lignin pada tiap basis kering. Untuk kasus degradasi termal, ketiga komponen ini yang paling mudah terdegradasi adalah hemiselulosa, kemudian selulosa dan yang paling sulit adalah lignin.
Tabel 2.3. Komposisi biopolimer biomassa
Jenis Biomassa Olive Residuea Sekam Padib Cron Stalkb Bagasc Tandan Kosong Kelapa Sawitd Jeramie Karetf Hardwoodg Softwoodg
Selulosa (%wt) 23,21 24,3 34,51 30 59,7 33,4 44 49,8 40,1
Hemiselulosa (%wt) 35,62 27,22 24,87 23 22,1 28,2 33,4 33,2 26,7
Lignin (%wt) 34,98 12,59 14 22 18,1 7,4 22,1 17 33,2
Sumber: aUzun, 2007; bZhang, 2009; cDawson, 2005; dSnell, 2005; eHe, 2008; fAlhasan 2010; g
Ranzi 2008;
A. Selulosa Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang. Bentuk polimer ini memungkinkan selulosa saling menumpuk/terikat menjadi bentuk serat yang sangat kuat. Panjang molekul selulosa ditentukan oleh jumlah unit glucan di dalam polimer yang disebut dengan derajat polimerisasi.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
9
Derajat polimerase selulosa tergantung pada jenis tanaman dan umumnya dalam kisaran 2000 – 27000 unit glucan. Selulosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dengan menggunakan asam atau enzim. Sebagai karbohidrat, sifat kimia selulosa memiliki kesamaan dengan sifat kimia alkohol. Oleh karena itu, selulosa dapat membentuk turunan alkohol seperti ester, eter, dll. Selulosa juga memiliki ikatan hidrogen yang kuat sehingga molekul-molekul pelarut mengalami kesulitan untuk melakukan penetrasi terhadap molekul selulosa sehingga selulosa sukar larut dalam pelarut biasa seperti air.
Gambar 2.4. Struktur selulosa (Shaw, 2008)
B. Hemiselulosa Hemiselulosa mirip dengan selulosa yang merupakan polimer gula. Namun, berbeda dengan selulosa yang hanya tersusun dari glukosa, hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon 5 (C-5) dan 6 (C6), misalnya: xylosa, mannose, glukosa, galaktosa, arabinosa, dan sejumlah kecil rhamnosa, asam glukoroat, asam metal glukoronat, dan asam galaturonat. Xylosa adalah salah satu gula C-5 dan merupakan gula terbanyak kedua di biosfer setelah glukosa. Kandungan hemiselulosa di dalam biomassa lignoselulosa berkisar antara 11% hinga 37 % (berat kering biomassa). Hemiselulosa lebih mudah dihidrolisis daripada selulosa, tetapi gula C-5 lebih sulit difermentasi menjadi etanol daripada gula C-6. Bentuk struktur dari hemiselulosa dapat dilihat pada Gambar 2.5.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
10
Gambar 2.5. Struktur Hemiselulosa (Shaw, 2008)
C. Lignin Lignin adalah molekul komplek yang tersusun dari unit phenylphropane yang terikat di dalam struktur tiga dimensi. Lignin adalah material yang paling kuat di dalam biomassa. Lignin memiliki titik leleh yang cukup rendah yaitu 140oC. Zat ini sangat resisten terhadap degradasi, baik secara biologi, enzimatis, maupun kimia. Lignin memiliki rasio dari C:O dan H:O lebih besar dibandingkan dengan fraksi karbihidrat lainnya di dalam biomassa. Hal inilah yang membuat lignin lebih pontensial untuk proses oksidasi. Kegunaan dari lignin cukp banyak, antara lain: Dispersants: ketika ter-adsorb pada partikel yang halus, muatan zat kimia dari
lignin membuat gaya tolak elektrostatik
yang menghalangi proses koagulasi. Binders:
Lignin dapat membentuk jaringan kimia dan fisika terhadap molekul disekitarnya Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
11
Sequesterants: Hidroksil, sulfonik, dan karboksil merupakan kelompok zat kimia ion logam kompleks yang terkandung dalam lignin Passivators: memberikan lapisan yang memiliki sifat resisten terhadap korosi Emulsifikasi: gaya tolak elektrostatik dan aksi pelapisan pada tetesan kecil dapat menstabilkan emulsi Humectants: lignin dapat mengikat air dan membuat formulasi tetap lembab Cement additives: lignin dapat mencegah aglomerasi selama proses penggilingan Drilling muds: meningkatkan ketebalan dan daya dispersi
Gambar 2.6. Struktur lignin (Shaw, 2008)
2.1.4 Sifat dan Karakteristik Biomassa Setiap biomassa memiliki perbedaan sifat dan karakteristik yang dapat mempengaruhi performa sebagai bahan bakar di dalam proses pembakaran. Sifat dan karakteristik yang paling penting terkait dengan konversi dari biomassa meliputi kandungan air, kandungan abu, kandungan zat volatil, komposisi elemen, nilai bakar, dan densitas bulk. Dalam mendefinisikan sifat dari biomassa, merupakan hal yang sangatlah penting untuk mengetahui bahwa biomassa terdiri dari air, abu, dan zat bebas abu. Contoh sifat dan karakteristik berbagai macam biomassa kering dapat dilihat dari tabel 2.4 dan 2.5 berikut.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
12
Tabel 2.4. Kandungan sulfur dan klorida pada beberapa jenis biomassa (Quaak dkk, 1999)
Tabel 2.5. Karakteristik biomassa dari tipe bahan bakar biomassa yang berbeda-beda (Quaak dkk, 1999)
A. Moisture Content Moisture content dari biomassa adalah kuantitas dari air di dalam materi dan diekspresikan sebagai persentase dari berat materi tersebut. Berat ini juga dapat disebut dengan basis basah, pada sebuah basis kering, dan juga pada basis kering dan bebas abu. Jika moisture content ditentukan oleh basis basah, maka berat air diekspresikan sebagai persentasi terhadap jumlah air, abu, dan zat kering dan bebas abu. Biomassa memiliki kandungan yang beragam dengan jarak yang luas (pada basis basah). Hal ini dilihat pada sekam yang hanya memiliki moisture content kurang dari 10 % hingga limbah hutan yang memiliki moisture content 50-70%.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
13
B. Kandungan Abu Komponen anorganik dapat dinyatakan dengan cara yang sama seperti halnya moisture content (pada basis basah, basis kering, dan basis kering dan bebas abu). Namun, umumnya kandungan abu dinyatakan dalam basis kering. Total kandungan abu di dalam dan biomassa dan komposisi kimia dari abu tersebut merupakan dua hal yang sama pentingnya. C. Kandungan Zat Volatil Zat volatil mengacu kepada bagian dari biomassa yang terlepas ketika biomassa
dipanaskan
(pada
temperatur
400o-500oC).
Selama
proses
pemanasan ini, biomassa terdekomposisi menjadi gas volatil dan arang padat. Secara umum, biomassa memiliki kandungan zat volatil yang tinggi (hingga 80%), dimana batu bara memiliki kandungan zat volatil yang rendah yaitu kurang dari 20%. D. Komposisi Unsur Komposisi dari komponen organik bebas abu relatif beragam. Komponen mayoritas yang ada dalam biomassa adalah karbon, oksigen, dan hidrogen. Sebagian besar, biomassa juga mengandung bagian kecil dari nitrogen. Tabel berikut ini menunjukkan jumlah rata-rata komposisi unsur di dalam biomassa.
Tabel 2.6. Komposisi unsur dari biomassa (Quaak dkk, 1999)
Unsur Karbon Hidrogen Oksigen Nitrogen Sulfur
Simbol C H O N S
% Berat (basis kering dan bebas abu) 44 - 51 5,5 - 6,7 41 - 50 0,12 - 0,6 0,0 - 0,2
E. Nilai Kalor Nilai kalor dari bahan bakar merupakan indikasi energi ikatan kimia di dalam
bahan
bakar
tersebut
sesuai
dengan
lingkungan
standar.
Standardisasinya meliputi temperatur, fasa air, dan produk pembakaran (CO2, H2O, dll). Kondisi standar ini sudah tersedia secara luas di literatur pada perhitungan nilai kalor. Energi ikatan kimia di dalam bahan bakar dinyatakan dengan nilai kalor dari bahan bakar dalam energi (J) per jumlah materi (kg).
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
14
Secara umum, nilai bakar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu LHV (lower heating value) dan HHV (high heating value). LHV merupakan nilai bakar ketika air (H2O) berada fasa gas, sedangkan HHV merupakan nilai bakar ketika air tersebut berada dalam fasa cair. Untuk semua jenis biomassa, nilai dari HHV pada basis kering dan bebas abu (HHVdaf) adalah 20.400 kJ/kg (± 15%). Biomassa selalu mengandung beberapa air yang akan dilepaskan sebagai uap ketika dipanaskan. Hal ini menandakan bahwa beberapa dari panas dilepaskan selama reaksi kimia diabsorb dengan proses evaporasi. Untuk alasan ini, nilai bakar netto (LHV) akan menurun selama moisture content meningkat. Gambar 2.5 mengilustrasikan hubungan antara nilai bakar (LHV dan HHV) terhadap moisture content.
Gambar 2.7. Nilai kalor dari biomassa (LHV dan HHV) sebagai fungsi dari moisture content (Quaak, 1999)
Beberapa penelitian sebelumnya telah menyimpulkan suatu persamaan dalam menentukan harga HHV suatu bahan bakar (Channiwala, 1992): HHV (kJ/g) = 0.3491C + 1.1783 H - 0.1034 O - 0.0211 A + 0.1005 S -0.0151 N (2.1) Dalam percobaan biasanya yang kita dapatkan adaah nilai HHV. Dengan adanya persamaan 2.1 kita dapat menghitung nilai HHV bila data ultimat dan proksimat sudah tersedia.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
15
Persamaan 2.2 merupakan persamaan untuk menentukan LHV suatu bahan bakar (Phyllis, 1995): LHVar = HHVar -2.442·{8.936 H/100 (1-w/100) + w/100}
(2.2)
F. Densitas Bulk Densitas bulk menunjukkan perbandingan massa pelet terhadap volume. Serupa dengan moisture content, densitas bulk biomassa juga menunjukkan variasi yang cukup ekstrem, dari sekam dengan densitas 150-200 kg/m3 hingga kayu padat dengan densitas 600-900 kg/m3.
2.2
Metode Karakterisasi Biomassa Banyak metode yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi biomassa.
Namun, dua metode yang paling sering digunakan untuk mengindentifikasi komposisi kimia biomassa adalah analisis ultimate dan analisis proximate. Analisis ultimate menganalisis seluruh elemen komponen biomassa, padat atau gas dan analisis proximate menganalisis hanya fixed carbon, bahan yang mudah menguap, kadar air dan persen abu. Analisis ultimate harus dilakukan di laboratorium dengan peralatan yang lengkap oleh ahli kimia yang terampil, sedangkan analisis proximate dapat dilakukan dengan peralatan yang sederhana. Kemudian, untuk mengetahui bentuk morfologi dari biomassa, kita dapat menggunakan uji SEM. Selain itu, kita juga perlu mengetahui kandungan biopolimer dari
2.2.1 Metode Analisis Proximate Analisis proximate menunjukan persen berat dari fixed carbon, bahan mudah menguap, abu, dan moisture content dalam batubara ataupun biomassa. Jumlah fixed carbon dan bahan yang mudah menguap secara langsung turut andil terhadap nilai panas biomassa. Fixed carbon bertindak sebagai pembangkit utama panas selama pembakaran. Kandungan bahan yang mudah menguap yang tinggi menunjukan mudahnya penyalaan bahan bakar. Kadar abu merupakan hal penting dalam perancangan grate tungku, volum pembakaran, peralatan kendali polusi
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
16
dan sistem handling abu pada tungku. Parameter-parameter tersebut digambarkan dibawah ini. Tabel 2.7. Hasil uji analisis proksimat biomassa
Kadar Air (%wt) 8,83 12 31,84
Kadar Abu (%wt) 5,12 3,5 6,35
Kadar Zat Volatil (%wt) 68,73 68,62 48,61
Fixed Carbon (%wt) 17,3 16,3 13,2
58,6
2,92
30,44
8,04
Sekam Padib
8,2
13,2
58,9
13,2
b
50,73 10
1,43 10,39
41,98 60,7
5,86 18,9
Biomassa Olive Residuea Tempurung Kelapa Sawitb Serabut Kelapa Sawitb Tandan Kosong Kelapa Sawitb Bagas Jeramib
Sumber: aUzun, 2007; bLaohalidanond, 2006
A. Fixed Carbon: Fixed carbon merupakan bahan bakar padat yang tertinggal dalam tungku setelah bahan yang mudah menguap didistilasi. Kandungan utamanya adalah karbon tetapi juga mengandung hidrogen, oksigen, sulfur dan nitrogen yang tidak terbawa gas. Fixed carbon memberikan perkiraan kasar terhadap nilai panas biomassa. B. Kandungan Zat Volatil (Volatile Matter): Bahan yang mudah menguap dalam biomassa adalah metana, hidrokarbon, hydrogen, karbon monoksida, dan gas-gas yang tidak mudah terbakar, seperti karbon dioksida dan nitrogen. Bahan yang mudah menguap merupakan indeks dari kandungan bahan bakar bentuk gas didalam biomassa. Kandungan bahan yang mudah menguap berkisar antara 20% hingga 35%. Bahan yang mudah menguap: Berbanding lurus dengan peningkatan panjang nyala api, dan membantu dalam memudahkan penyalaan biomassa Mengatur batas minimum pada tinggi dan volum tungku Mempengaruhi kebutuhan udara sekunder dan aspek-aspek distribusi
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
17
Mempengaruhi kebutuhan minyak bakar yang mungkin diperlukan untuk penyalaan awal
C. Kadar abu: Kandungan abu dipengaruhi pada tipe tanaman dan kontaminasi tanah di mana tanaman tumbuh. Abu: Mengurangi kapasitas handling dan pembakaran Meningkatkan biaya handling Mempengaruhi efisiensi pembakaran dan efisiensi boiler Menyebabkan penggumpalan dan penyumbatan D. Kandungan Air: Kandungan air dalam biomassa harus diminimalisasi, di-handling dan disimpan bersama-sama biomassa. Kadar air: Meningkatkan kehilangan panas, karena penguapan dan pemanasan berlebih dari uap Membantu pengikatan partikel halus pada tingkatan tertentu Membantu radiasi transfer panas
2.2.2 Metode Analisis Ultimate Analsis ultimate menentukan berbagai macam kandungan kimia unsurunsur seperti karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dll. Analisis ini berguna dalam penentuan jumlah udara yang diperlukan untuk pembakaran dan volum serta komposisi gas pembakaran. Informasi ini diperlukan untuk perhitungan suhu nyala dan perancangan saluran gas buang dll. Persamaan 2.3-2.5 menunjukkan hubungan antara analisis proximat dan analisis ultimat. Sehingga dengan persamaan ini, kita dapat mengetahui nilai analisis ultimat dengan mengetahui nilai analisis proximat terlebih dahulu. %C
=
0.97C + 0.7(VM - 0.1A) - M(0.6 - 0.01M)
(2.3)
%H
=
0.036C + 0.086 (VM - 0.1A) - 0.0035M2(1 - 0.02M)
(2.4)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
18
%N2
=
2.10 - 0.020VM
(2.5)
Dimana C = % fixed carbon
M
= %kadar air
A = %abu VM = %zat volatil Tabel 2.8. Contoh hasil uji analisis ultimat biomassa (Parikh, 2004)
Biomassa Olive Residuea Tempurung Kelapa Sawitb Serabut Kelapa Sawitb Tandan Kosong Kelapa Sawitb Sekam Padic Bagasd Jeramie
C (%daf) 49,08 53,78 50,27
H (%daf) 5,59 7,2 7,07
O (%daf) 44,19 36,3 36,28
N (%daf) 1,14 0 0,42
S (%daf) 0 0,51 0,63
48,79
7,33
40,18
0
0,68
45 44,1 35,97
5,8 5,26 5,28
48 44,4 43,08
0,93 0,19 0,17
0,2 0
Sumber: Uzun, 2007; bLi, 2007; cTeng, 1998; dJorapur, 1997; eParikh, 2005
2.2.3 Metode Scanning Electron Microscoep (SEM) Metode SEM dapat kita gunakan untuk mengetahui bentuk morfologi biomassa. Dengan melihat hasil uji SEM, kita dapat mengetahui kerapatan dari suatu biomassa.
Biomassa dengan struktur yang rapat menandakan bahwa
biomassa tersebut memiliki densitas yang cukup tinggi, sedangkan biomassa dengan struktur yang renggang menandakan bahwa biomassa tersebut memiliki densitas yang rendah. Gambar 2.8 berikut ini merupakan contoh hasil dari uji SEM.
Gambar 2.8. SEM dari biomassa; a) mallee b) pine chip (Garcia-Perez, 2008)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
19
2.3
Proses Konversi Biomassa Saat ini, sudah ada beberapa teknologi maju yang dapat mengkonversi
biomassa menjadi energi. Diantaranya adalah pembakaran langsung, gasifikasi, pirolisis, fermentasi, dan anaerobic digestion. Ringkasan proses konversi ini dapat dilihat pada Tabel 2.9 di bawah ini.
Tabel 2.9. Konversi biomassa menjadi energi (Energy Efficiency and Environmental News, 1991)
Tipe Pembakaran langsung (termokimia)
Gasifikasi (termokimia)
Pirolisis (termokimia)
Fermentasi (biokimia)
Anaerobic Digestion (biokimia)
2.4
Deskripsi Menggunakan biomassa dengan kandungan air yang rendah untuk menghasilkan panas yang dapat digunakan secara langsung atau mentrasfer panas ke fluida kerja, contoh: uap Konversi dari biomassa menjadi sebuah gas karier berenergi melalui oksidasi parsial pada temperatur tinggi Dekomposisi anaerobik dari biomassa yang dipanaskan hingga suhu 300-500 oC atau tekanan atmosferik terhadap biocrude hingga terkonversi secara katalitik menjadi gasoline Ragi mengkonversi gula menjadi etanol; gula tersedia di tanaman padipadian dan gula; lignin di lignocellulosic biomassa harus dipecahkan terlebih dahulu sebelum selulosa dan hemiselulosa terkonversi menjadi gula fermentasi Proses multi tahap dimana biomassa dikonversikan menjadi biogas (metana + CO2) dengan menggunakan bakteri yang memproduksi enzim
Keterangan Emisi yang dihasilkan memiliki nilai yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan batubara
Nilai Btu yang rendah; produk intermediet untuk produksi syngas; 5lbs biomassa kering = 1,5 kWh energi listrik + 30.000 Btu energi panas 1 ton biomassa kering menjadi 75 – 100 gal gasoline
Panas eksternal yang diperlukan; mendistilasi dan memproses 1 gal etanol memerlukan 50.000 Btu; 1 gal etanol memiliki 80.250 Btu; 1 ton lignocellulosic menghasilkan 100 gal ethanol Proses panas dihasilkan oleh bakteri
Pelet Biomassa Sebenarnya, Pelet telah diproduksi sejak seabad yang lalu. Dengan
menggunakan panas dan tekanan maka pelet kecil berbentuk silindris dapat
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
20
diproduksi dari berbagai macam materi untuk tujuan yang berbeda-beda. Pada tahun 1970-an, beberapa perusahaan yang tadinya menggunakan penggilingan pelet untuk memproduksi pakan ternak, mulai memproduksi pelet dari kayu untuk dijadikan bahan bakar. Beberapa ciri khas dari pelet biomassa adalah: memiliki densitas minimal 40lbs/ft3 mengalir seperti liquid dapat digunakan baik di kompor ataupun boiler mudah untuk digunakan, disimpan, dan ditransportasikan meningkatkan karakteristik pembakaran jika dibandingkan dengan bahan bakunya
Gambar 2.9. Bentuk pelet biomassa (www.pelheat.com)
2.4.1 Kualitas Pelet Biomassa Kualitas dari pelet yang dihasilkan dapat dilihat pada dua faktor, yaitu ketahanan mekanis dan moisture content. A. Ketahanan Mekanis Ketahanan mekanis secara sederhana dapat dinyatakan dalam seberapa rapat pelet tersebut dan seberapa baik pelet terbentuk. Pelet yang memiliki densitas lebih tinggi, tentunya lebih kuat dibandingkan dengan pelet dengan densitas rendah. Kelebihan pelet dengan densitas lebih tinggi yaitu, ketahanan pelet lebih tinggi ketika transportasi, dan kerja pelet lebih efisien pada pembakar pelet. Pelet dengan kualitas yang baik juga memiliki permukaan yang halus dengan tidak ada atau sedikit retakan ketika keluar dari penggilingan pelet. Jika terdapat retakan atau mengalami pertambahan luas, maka hal tersebut dikarenakan terlalu banyak jumlah air di dalam pelet atau kompresi yang buruk ketika proses penggilingan pelet. Pelet yang berkualitas memiliki Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
21
bentuk seperti crayon yang bersinar setelah proses pendinginan. Untuk menguji kualitas pelet, dapat dilakukan dengan cara menyentakkan pelet dengan permukaan keras untuk melihat apakah pelet tersebut remuk atau hancur dengan mudahnya dan kemudian terpisah. Panjang dari pelet tidak terlalu penting, namun apabila pelet terlalu panjang yaitu di atas 1 inch (2,54 cm), maka pelet dapat menyebabkan kerusakan di dalam pembakar. B. Moisture Content Semakin rendah nilai moisture content, maka semakin besar energi yang dihasilkan pada pembakar pelet. Pelet yang berkualitas memiliki nilai moisture content di bawah 10%. Pelet dengan nilai moisture content di atas 10% akan tetap dapat terbakar, namun memiliki efisiensi yang rendah.
2.4.2 Perbandingan Pellet Biomassa di Dunia Sebelumnya, pellet biomassa telah diproduksi pada beberapa negara dengan ukuran yang berbeda dan bahan baku yang berbeda pula. Tabel berikut ini menunjukkan perbandingan pellet biomassa pada berbagai negara.
Tabel 2.10. Perbandingan 5 pelet biomassa di berbagai negara di dunia Negara
Bahan Baku
d
Panjang
Kadar Air
Densitas
Rusia
100% Pine wood
8 mm
10mm 30mm
<7.5%
1.1-1.4 MT/m3
Hongkong
100% Bamboo sawdust
6 mm
10mm 30mm
<7.5%
>1.3 MT/m3
China
100% Hard wood sawdust
6 mm
10mm 30mm
<7.5%
>1.3 MT/m3
~
~
<5%
~
18000 kJ/Kg
<0.5 %
6 mm
~
7%
~
17700 kJ/kg
0.49 %
Sri Lanka Ukraina
100% Coconut shell 100% Softwood
Nilai Kalor 4600 kcal/kg 4800 kcal/kg 4200 kcal/kg 4500 kcal/kg 4200 kcal/kg 4500 kcal/kg
Ash <1.5 %
1.1% - 2%
1.1% - 2%
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
22
2.5
Proses Produksi Pelet Biomassa Untuk menghasilkan pelet biomassa yang memiliki kualitas yang baik,
tahapan prosesnya dapat ditunjukkan oleh Gambar 2.10 di bawah ini.
Gambar 2.10. Skema proses produksi pellet biomassa (www.eubia.org)
2.5.1 Mereduksi Ukuran Bahan Baku Ukuran biomassa yang benar merupakan salah satu kunci yang menjamin pembakaran yang efisien. Ukuran biomassa yang tepat, sesuai dengan sistem pembakaran yang digunakan, dapat membantu pembakaran, mengurangi kehilangan abu dan efisiensi pembakaran yang lebih baik. Ukuran biomassa diperkecil
dengan
penggilingan/crushing
dan
penghancuran/pulverizing.
Penggilingan awal biomassa ekonomis digunakan untuk unit yang lebih kecil, terutama untuk unit stoker-fired. Pada sistim handling biomassa, penggilingan dilakukan untuk biomassa dengan ukuran di atas 6 atau 4 mm. Peralatan yang umum digunakan untuk penggilingan adalah rotary breaker, roll crusher dan hammer mill. Sebelum penggilingan, biomassa sebaiknya diayak terlebih dahulu, sehingga hanya biomassa yang kelebihan ukuran yang diumpankan ke penggiling, sehingga dapat mengurangi konsumsi daya pada alat penggiling. Hal-hal praktis yang direkomendasikan pada penggilingan biomassa adalah: Penggunaan ayakan untuk memisahkan partikel kecil dan halus untuk menghindarkan
terbentuknya
partikel
yang
sangat
halus
pada
penggilingan. Penggunaan pemisah magnetis untuk memisahkan potongan besi dalam biomassa yang dapat merusak alat penggiling.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
23
Tabel 2.11. Ukuran biomassa yang tepat untuk berbagai jenis sistem pembakaran (UNEP, 2006)
No. 1
2
3 4
Jenis Sistem Pembakaran Hand Firing (a) Natural draft (b) Forced draft Stoker Firing (a) Chain grate i) Natural draft ii) Forced draft (b) Spreader Stoker Pulverized Fuel Fired Fluidized bed boiler
Ukuran (dalam mm) 25-75 25-40
25-40 15-25 15-25 75% dibawah 75 mikron < 10 mm
2.5.2 Pengeringan Untuk memproduksi pelet berkualitas tinggi persentase kelembaban dari bahan baku yang digunakan harus berada dalam rentang nilai 10-20%. Sebagian besar pelet berkualitas tinggi dihasilkan dengan nilai moisture content 15%. Jika bahan baku yang digunakan memiliki nilai moisture content di atas 20%, maka bahan baku tersebut perlu untuk dikeringkan terlebih dahulu.
2.5.3 Pencampuran Proses pencampuran ini dilakukan apabila pelet yang ingin dihasilkan berasal dari beberapa bahan baku. Salah satu fungsi dari proses pencampuran ini adalah untuk meningkatkan sifat pengikat dari biomassa tersebut. Beberapa biomassa memiliki sifat pengikat yang rendah dan akan bermasalah ketika proses densifikasi. Selain itu, kita juga dapat menurunkan nilai moisture content dengan cara mencampurkan biomassa dengan moisture content yang tinggi dan biomassa dengan moisture content yang rendah. Apabila kita melakukan proses pencampuran ini, maka kita tidak memerlukan proses pengeringan lagi.
2.5.4 Persiapan Untuk menghasilkan pelet berkualitas tinggi, bahan baku biomassa harus memenuhi beberapa kriteria. Beberapa zat aditif juga perlu ditambahkan untuk meningkatkan kualitas dari pelet yang ingin dihasilkan. Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
24
A. Kualitas Pengikat Pengikat berfungsi sebagai lem yang dapat menyatukan pelet dan menghasilkan sinar yang lembut. Beberapa biomassa telah memiliki jumlah lignin yang cukup untuk dijadikan pengikat ketika proses produksi pelet. Namun, apabila biomassa yang digunakan tidak memiliki pengikat yang cukup, maka zat aditif yang berfungsi sebagai pengikat perlu untuk ditambahkan. Salah satu pengikat yang mudah dicari dan dapat digunakan adalah minyak sayur. B. Steam Conditioning Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, materi seperti kayu memiliki lignin alami yang cukup untuk berfungsi sebagai pengikat. Lignin tersebut akan meleleh di bawah panas dan tekanan dari proses produksi. Untuk meningkatkan produktivitas skala besar, maka perlu dilakukan steam conditioning sebelum proses produksi pelet. Pada proses ini, bahan baku akan dikontakkan dengan steam kering dan air untuk mendapatkan temperatur yang sesuai sehingga kandungan air yang ada di dalam biomassa dapat mengaktifkan lignin sebagai perekat alami pelet dan untuk mendapatkan kekuatan yang dimiliki pelet. Proses steam conditioning ini hanya digunakan untuk produksi skala besar karena biaya dan risiko yang cukup tinggi.
2.5.5 Proses Pelletizing A. Prinsip Dasar Proses Densifikasi Proses pengolahan bahan baku biomassa menjadi pelet menggunakan prinsip dasar densifikasi. Proses ini mengakibatkan naiknya nilai kalorifik volumetri suatu bahan bakar, mengurangi biaya transportasi, dan dapat membantu meningkatkan penggunaan bahan bakar di daerah terpencil. Sesuai dengan prinsip dasar dari pengkompakan, teknologi pembuatan pelet biomassa dapat dibagi menjadi: 1. Pengkompakkan dengan tekanan tinggi 2. Pengkompakkan dengan tekanan sedang diiringi dengan pemanasan 3. Pengkompakkan
dengan
tekanan
rendah
menggunakan
perekat/pengikat Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
25
Pada semua teknik pengompakkan tersebut digunakan material padat sebagai bahan baku awal. Jika partikel ditekan dengan tekanan tinggi maka tidak dibutuhkan perekat. Kekuatan dari pengompakkan tersebut disebabkan oleh adanya gaya Van der Waals, atau interlocking. Komponen alami dari material, yaitu lignin akan teraktivasi oleh tingginya tekanan sehingga menjadi perekat alami. Namun, beberapa material tetap membutuhkan perekat meskipun dilakukan pengompakkan dengan tekanan tinggi. B. Milling (Pelletizing) Setelah tahap persiapan, partikel dipindahkan menggunakan conveyor ke sebuah pelet mill, dimana pelet akan dipoting-potong sesuai dengan panjang yang diinginkan. Ada dua macam pelet press, yaitu flat die dan ring die press.
Sumber: Amandus Kahl, Salmatec; Sprout Matador Gambar 2.11. Flat die dan ring die
C. Teknologi Pelletizing Terdapat beberapa teknologi yang umum digunakan dalam proses pelletizing, antara lain: Piston Press Teknologi ini banyak digunakan di India dan seringkali dikenal sebagai teknologi penekan dan pencetak. Biomassa dimasukkan ke dalam mesin pencetak diiringi menggunakan penekan dengan tekanan sangat tinggi sehingga menekan biomassa menjadi pelet. Mesin ini mempunyai kapasitas 700 kg/jam dan dibutuhkan daya sebesar 25 kW. Alat penekan bergerak sekitar 270 kali per menit pada proses ini.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
26
Screw Press Pada teknologi ini, bahan baku biomassa dihancurkan secara kontinu oleh alat penghancur lalu dimasukkan ke dalam alat pencetak dengan dilakukan pemanasan untuk mengurangi terjadinya friksi. Berikut merupakan kekurangan dan kelebihan dari teknologi screw press: 1. Produk dihasilkan secara kontinu dan pellet mempunyai ukuran yang seragam 2. Permukaan luar pelet dilapisi dengan karbon sehingga memudahkan dalam penyalaan awal api dan pembakaran. Hal ini juga melindungi pelet dari kelembaban udara luar. 3. Mesin lebih sederhana dibandingkan dengan piston press 4. Besar daya yang dibutuhkan lebih besar daripada piston press. Hydrolic Piston Pres Perbedaan teknologi ini dengan mechanical piston press adalah bahwa energy yang dibutuhkan oleh piston ditransmisikan dari mesin elektrikal melalui sistem tekan tinggi hidrolik. Mesin ini cukup sederhana tetapi produk yang dihasilkan lebih sedikit. Pelet yang dihasilkan mempunyai densitas kurang dari 1000 kg/m3 karena tekanan maksimal yang digunakan adalah 40-315 kg/h. Mesin ini dapat mentoleransi moisture content yang lebih tinggi daripada yang biasa diperbolehkan yaitu 15% untuk mechanical piston press. 2.5.6 Pengayakan dan Pendinginan Pada tahap ini, pelet dibersihkan dan dipisahkan dari pengotor-pengotor. Selanjutnya pelet perlu didinginkan pada temperatur ruang karna setelah proses penghancuran, pelet akan sangat panas (90-100oC). Hal ini membuat lignin menjadi perekat alami yang menambah kekuatan pelet, dan berkontribusi untuk tetap menjaga kekuatan dan kualitas pelet selama penyimpanan dan distribusi. Pelet yang telah bersih dan siap kemudian dipindahkan ke tempat penyimpanan atau pengemasan.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
27
2.4.7 Faktor-Faktor yang Perlu Diperhatikan pada Proses Densifikasi Untuk proses densifikasi biomassa, perlu diketahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses pembuatan pelet biomassa. Untuk teknologi pembuatan pelet yang berbeda, parameter yang harus dipenuhi oleh suatu bahan baku juga berbeda. Berikut ini akan dijelaskan tentang pengaruh ukuran partikel, kandungan air, temperatur bahan baku, temperatur mesin pencetak, dan penambahan zat aditif pada proses pembuatan pelet. A. Pengaruh Ukuran Partikel Ukuran dan bentuk partikel bahan baku biomassa sangat berpengaruh pada proses densifikasi. Telah disepakati bahwa material biomassa dengan ukuran 6-8 mm memberikan hasil yang paling baik. Meskipun teknologi screw press yang menggunakan tekanan tinggi (1000-1500 bar) dapat diaplikasikan pada material biomassa berukuran besar, proses pembuatan pelet tidak akan berjalan lancar dan penyumbatan dapat terjadi di bagian awal proses. Partikel biomassa yang lebih besar tidak akan terhancurkan dengan baik dan akan bertambah dan terakumulasi di bagian masuk dan steam yang dihasilkan akibat temperatur yang tinggi (sesuai dengan perputaran penghancur, panas yang dihasilkan dari alat pencetak, dan juga jika material dipanaskan terlebih dahulu) seputar mesin mulai terkondensasi dan terbentuk gumpalan sehingga menyebabkan terjadinya penyumbatan. Untuk menghindari hal tersebut, seringkali partikel yang lebih besar dihancurkan terlebih dulu sehingga didapatkan ukuran partikel yang bervariasi. Adanya variasi pada ukuran partikel meningkatkan dinamik susunan partikel saat pengompakkan dan berkontribusi kepada kekuatan statis yang tinggi. B. Pengaruh Kadar Air Persentase kadar air pada bahan baku biomassa yang masuk ke mesin pengepres merupakan faktor yang sangat penting. Secara umum, disimpulkan bahwa saat kadar air biomassa 8-10%, pelet akan mempunyai kadar air 6-8%. Pada kadar air demikian, pelet bersifat kuat dan bebas pecah/retak serta proses
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
28
pembuatan pelet akan berjalan lancar. Akan tetapi, bila kadar air kurang dari 10%, pelet akan bersifat lemah dan rapuh. Pada proses pembuatan pelet, air juga bertindak sebagai perekat dengan menguatkan ikatan pada pelet. Pada bahan baku biomassa, air membantu terjadinya ikatan Van der Waals dengan meningkatkan area kontak partikel. Kenyataannya, berhasil tidaknya proses pengompakkan bergantung pada kadar air yang dimiliki oleh bahan baku biomassa. Jumlah kadar air yang tepat mengakibatkan terjadinya ikatan alami dari komponen lignocelulosic. C. Pengaruh Temperatur Biomassa Dengan memvariasikan temperatur biomassa, maka densitas, kekuatan, kadar air pada pelet juga akan bervariasi. Di alat penghancur, temperatur tidak tetap konstan tapi bertambah. Friksi internal dan eksternal mengakibatkan pemanasan lokal dan material akan mengalami perekatan alami. Juga dapat diasumsikan bahwa kadar air yang terkandung pada material membentuk steam pada tekanan tinggi yang kemudian dapat menghidrolisis hemiselulosa dan lignin dalam biomassa menjadi karbohidrat dengan molekular rendah, produk lignin, polimer gula dan turunan lainnya. Produk-produk ini bila dikaitkan dengan panas dan tekanan pada alat pencetak, bertindak sebagai perekat adhesive. Temperatur tidak boleh lebih tinggi daripada temperatur dekomposisi biomas yaitu sekitar 30oC. D. Pengaruh Temperatur Alat Pencetak Adanya
baling-baling
penghancur
pada
teknologi
screw
press
mengakibatkan terjadi panas pada alat pencetak. Hal ini memberikan 2 keuntungan. Mesin dapat beroperasi dengan konsumsi daya yang lebih rendah dan umur manfaat dari alat pencetak akan lebih panjang. Temperatur alat pencetak harus dijaga pada rentang 280-290 oC. Jika temperatur alat pencetak lebih tinggi, friksi antara bahan baku dengan dinding alat pencetak akan menurun menyerupai pengompakkan yang terjadi pada tekanan yang lebih rendah yang menghasilkan hasil densifikasi yang lemah. Sebaliknya, temperatur rendah akan membutuhkan tekanan dan daya yang lebih tinggi sedangkan laju produksi menurun.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
29
E. Pengaruh Penambahan Zat Aditif Proses pembuatan pelet tidak dapat menambah nilai kalori dari bahan baku biomassa yang digunakan. Untuk menaikkan nilai kalori dan kemampuan pembakaran dari suatu pelet biasanya digunakan zat aditif tambahan seperti batubara dan arang. Telah disebutkan sebelumnya bahwa hanya teknologi screw press yang dapat mengakibatkan terjadinya karbonisasi. Tergantung oleh kualitas bubuk arang atau batubara, bermacam formulasi dapat dilakukan untuk hasil yang berbeda.
2.6
Pembakaran Biomassa
2.6.1 Tahap-Tahap Pembakaran Pembakaran biomassa dapat terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu: Pengeringan kandungan air dalam biomassa Pelepasan
zat-zat
volatil
yang
terkandung
dalam
biomassa
(devolatilisasi) Pembakaran gas volatil yang keluar dari biomassa Pembakaran arang
Skema prosesnya dapat dilihat dari Gambar 2.12 berikut.
Gambar 2.12. Pembakaran kayu
A. Pengeringan Pada tahap ini dilakukan pengeringan pada biomassa sehingga air yang terkandung dalam biomassa akan keluar dan membentuk uap air. Lamanya tahap ini tergantung pada tingkat kandungan air dalam biomassa. Semakin Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
30
tinggi kandungan air yang terdapat di dalam biomassa, maka akan semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk proses pengeringan ini. B. Devolatilisasi Biomas pada umumnya mempunyai kadar volatil yang tinggi sehingga pembakarannya dimulai pada temperatur yang rendah. Proses devolatilisasi pada biomas umumnya terjadi pada temperatur rendah dan hal ini mengindikasikan bahwa biomas mudah dinyalakan dan dibakar, meskipun pembakaran yang diharapkan terjadi sangat cepat dan bahkan sulit dikontrol. Bentuk umum dari persamaan devolatilisasi adalah sebagai berikut: Biomassa volatiles + fixed carbon
(2.6)
Karena kadar volatil yang tinggi pada biomas, maka pengetahuan detail pada proses devolatilisasi menjadi sangat penting. Selama proses devolatilisasi, kandungan volatil akan keluar dalam bentuk gas. Umumnya gas-gas yang keluar selama proses devolatilisasi dapat dikelompokkan kedalam gas yang dapat diembunkan dan gas permanen. Masuk dalam kelompok gas permanen utama selama proses devolatilisasi adalah CO, CO2, CH4 dan H2 .Komposisi gas selama devolatilisasi tergantung pada jenis bahan yang digunakan. C. Pembakaran Zat Volatil Biomassa mengandung komponen penyusun yang sangat kompleks dimana zat-zat volatil yang ada di dalamnya berbed untuk tiap jenis biomassa. Berikut ini merupakan reaksi pembakaran sederhana dari zat volatil yang seringkali terjadi pada proses pembakaran biomassa. H2 + ½ O2
H2O
+ 242 kJ/mol
(2.7)
CO + ½ O2
CO2
+ 283 kJ/mol
(2.8)
CH4 + 2 O2
CO2 + 2H2O + 35.7 kJ/mol
(2.9)
CH4 + H2O
CO + 3H2
- 206 kJ/mol
(2.10)
CO + H2O
CO2 + H2
+ 41.1 kJ/mol
(2.11)
Panas yang dihasilkan oleh reaksi eksotermis sangat penting dalam pelepasan zat volatil dan penyalaan api pada arang (karbon).
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
31
D. Pembakaran Arang Setelah devolatilisasi akan terjadi oksidasi bahan bakar padat (arang). Laju pembakaran arang tergantung pada konsentrasi oksigen, temperatur gas, bilangan Reynolds, ukuran dan porositas arang. Kenaikan konsentrasi oksigen dalam gas menimbulkan laju pembakaran bahan bakar padat yang lebih tinggi. Temperatur pembakaran bahan bakar padat yang lebih tinggi menaikkan laju reaksi dan menyebabkan waktu pembakaran bahan bakar padat yang lebih singkat. Kecepatan gas yang tinggi pada permukaan akan menaikkan laju pembakaran bahan bakar padat, terutama disebabkan karena laju perpindahan massa dari oksigen ke permukaan partikel yang lebih tinggi. Densitas pelet juga mempengaruhi watu pembakaran arang. Semakin besar densitas pelet maka waktu pembakaran arang akan semakin lama.
CO
CO + ½O2
CO2
C + ½ O2
C + CO2
C + H2 O
+ 122.9 kJ/mol
(2.12) (2.13)
2 CO
- 172 kJ/mol
(2.14)
CO + H2
- 131 kJ/mol
(2.15)
Arang karbon bereaksi dengan oksigen pada permukaan partikel membentuk karbon monoksida (CO) dan karbon dioksida (CO2), tetapi secara umum CO merupakan produk utama, selain itu juga permukaan arang karbon juga bereaksi dengan gas karbon dioksida dan uap air. Reaksi (2.12) merupakan reaksi oksidasi, reaksi (2.13) merupakan reaksi ketika tidak terdapat uap air dalam campuran, sedangkan reaksi (2.14) dan (2.15) merupakan reaksi reduksi yang pada umumnya berlangsung lebih lambat dari pada reaksi oksidasi dan untuk proses pembakaran yang menjadi perhatian penting adalah reaksi oksidasi. Akan tetapi ketika konsentrasi oksigen habis, barulah reaksi reduksi ini merupakan faktor penting. Pembakaran karbon sangat bergantung pada temperatur bahan bakar. Pada temperatur yang lebih rendah, oksigen akan menyelimuti permukaan karbon, diserap dan bereaksi disana. Produk utama dari reaksi permukaan ini adalah CO2 pada temperatur di bawah sekitar 800 K dan CO pada temperatur lebih
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
32
tinggi. Sehingga, pada reaksi (2.12) dapat terjadi secara baik jika temperatur permukaan dari karbon sekitar 800K sampai 4000K.
2.6.2 Faktor Pengontrol Pembakaran Faktor-faktor penting yang mempengaruhi pembakaran adalah; A. Sifat Fisika dan Kimia Fraksi komposisi selulosa, hemiselulosa, dan lignin mempengaruhi pembakaran (Dibahas dalam subbab 2.1.3). Lignin mempunyai nilai kalori yang paling besar. Bila sebuah biomassa mempunyai kandungan lignin yang tinggi maka diperkirakan nilai kalori biomassa tersebut juga tinggi. B. Kadar Air Semakin tinggi kadar air dalam biomassa menyebabkan temperatur pembakaran menurun dan kadar H2O meningkat. Dengan semakin tingginya kadar air juga mengakibatkan biomassa lebih sulit dibakar sehingga terjadi pembakaran tidak sempurna dan terbentuk CO yang tinggi di awal proses pembakaran. C. Ukuran dan Bentuk Bahan Bakar Dalam suatu penelitian diketahui bahwa pelet bentuk bola mempunyai luas permukaan yang paling kecil sehingga perpindahan panas terjadi dengan laju yang lebih lambat dibandingkan pelet berbentuk silindris dengan besar volume dan massa yang sama. Ukuran pelet biomassa yang dibakar mempengaruhi besar temperatur yang dihasilkan. Semakin kecil ukuran pelet maka temperatur pembakaran akan semakin besar dan waktu pembakaran semakin cepat. Hal ini berkaitan dengan laju perpindahan panas dari udara sekitar ke dalam biomassa yang semakin besar. D. Penyediaan Udara Primer dan Sekunder Udara yang masuk dari bagian bawah garangan (grate) disebut udara primer, sedangkan udara yang masuk ke bagian atas bahan bakar dan bereaksi dengan zat volatil disebut udara sekunder.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
33
E. Rasio Bahan Bakar / Udara Rasio bahan bakar / udara memainkan peranan penting dalam reaksi pembakaran. Pembakaran yang sempurna terjadi pada kondisi stoikiometri. Adapun pengaruh dari kondisi pembakaran dengan campuran kaya biomassa dapat dilihat dari peningkatan kadar CO khususnya di bagian depan ruang bakar Semakin besar laju alir biomassa ke ruang bakar menyebabkan kadar H2O meningkat tetapi tidak menyebabkan kenaikan kadar CO2 dengan semakin tingginya laju alir biomassa menyebabkan temperatur pembakaran tidak terlalu tinggi.
2.6.3 Emisi Pembakaran Biomassa Emisi yang dapat dihasilkan dari pembakaran biomassa dalam kompor dan dapat menyebabkan polusi udara antara lain adalah: karbon monoksida, partikulat, sulfur oksida, nitrogen oksida, dan hidrokarbon. Konsentrasi emisinya, secara kurang-lebih untuk berbagai sistem dan bahan bakar dapat dilihat dari tabel 2.12 berikut. A. Emisi dari Pembakaran Tidak Sempurna Bila pembakaran tidak berjalan dengan efisien, sejumlah hidrokarbon dan karbon monoksida tidak terbakar dan terdapat pada gas hasil pembakaran. Pada temperatur yang rendah, konsentrasi CO semakin tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa reaksi oksidasi CO menurun dengan penurunan temperatur. Penelitian lain menunjukkan bahwa konsentrasi CO semakin besar seiring dengan besarnya kandungan abu dalam biomassa walaupun temperatur pembakaran tetap konstan. Hal ini menunjukkan bahwa CO tidak hanya bergantung pada temperatur pembakaran tetapi juga pada kandungan biomassa. B. Emisi dari Komponen Inorganik Konsentrasi partikulat matter yang dihasilkan saat pembakaran berkaitan erat dengan besarnya kandungan abu dalam biomassa. Semakin besar kandungan abu maka partikulat matter (PM1.0) yang dihasilkan juga makin besar. Selain itu komponen K, Na, S, dan Cl juga memberikan kontribusi pada banyaknya PM1.0 yang dihasilkan. Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
34
Tabel 2.12. Emisi dari pembakaran bahan baku biomassa
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
BAB 3 METODE PENELITIAN Penelitian ini terdiri atas tahap preparasi bahan baku, tahap analisis biomassa, tahap konstruksi biomassa, tahap pengujian pelet biomassa, serta tahap analisis dan evaluasi data. Alur penelitian ditunjukkan oleh bagan di bawah ini
PREPARASI BAHAN BAKU Pengeringan, Reduksi ukuran bahan baku
ANALISIS BIOMASSA 1. Karakteristik Fisik: Morfologi (Uji SEM), Densitas Bulk 2. Nilai Kalori (Bomb Calorimeter) 3. Karakteristik Kimia Analisis Proksimat: Fixed carbon, Kadar air, Kadar Abu, Kadar Zat Volatil Analisis Ultimat: Komposisi C, H, O, N, S Analisis Kandungan Biopolimer: Lignin, Hemiselulosa, Selulosa
PEMBUATAN PELET BIOMASSA Pelet Silindris (Diameter: 0,8 cm, Panjang 2 cm
UJI PELET BIOMASA 1. Densitas Bulk 2. Uji Pembakaran: Temperatur dan Emisi Pembakaran
ANALISIS DAN EVALUASI HASIL Gambar 3.1. Diagram alir penelitian
35 Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
36
3.1
Alat dan Bahan Pada tahap perancangan, tidak dibutuhkan peralatan maupun bahan
penelitian sehingga yang dijabarkan di bawah ini hanya alat dan bahan yang dibutuhkan pada tahap preparasi dan pengujian.
3.1.1 Alat dan Bahan Tahap Persiapan Bahan Bakar Peralatan: Mesin crusher
Cetakan pelet
Mesin penepung
Alat pemotong kayu
Bahan: Limbah kehutanan: ranting pohon karet Limbah Industri: Sawdust kayu kamper Limbah Pertanian: sekam padi, jerami, residu tebu, residu kelapa (serabut kelapa), dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
3.1.2 Alat dan Bahan Tahap Pengujian Kandungan Biopolimer Peralatan: Oven
Mini magnetic stirer
Gelas filter IG3
Cawan petri penyangga ukuran
Cawan petri ukuran kecil
medium
Pipet mohr 10 mL
Erlenmeyer 300 mL
Labu takar 50 mL
Erlenmeyer 500 mL
Labu takar 100 mL 2 buah
Alumunium foil
Gelas ukur 100 mL
Sarang besi autoklaf
Gelas ukur 50 mL
Pompa vakum
Gelas ukur 250 mL
Sarung tangan tahan panas
Beaker glass 50 mL
Penjepit
Stirer plate
Gelas pengaduk
H2SO4 72%
Air panas
Aquades
NaOH pure pellets 17,5 gram
Bahan:
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
37
Asam asetat glasial 100%
3.1.3 Alat dan Bahan Tahap Analisis Proksimat dan Ultimat Peralatan: Botol timbang
Satu unit alat destilasi
Muffle furnace
Labu Kjeldahl
Carbolite furnace
Pemanas Listrik
Cawan porselen
Buret Schelbach 25 mL
Cawan silika tertutup (volume 10
Piala gelas 400 mL
– 20 mL, diameter 25 – 35 mm,
Pipet gondok 25 mL
tinggi 30 – 35 mm)
Labu semprot
Oven Pengering
Alat destruksi
Neraca analitik
Cawan perahu
Eksikator
Pengait cawan
Stopwatch
Pendingin tegak
Sudip
Kertas saring berabu
Pipa U
Kertas saring whatman no. 42
Flowmeter
Spektofotometer serapan atom
Satu unit furnace Leckho
Corong panjang
Combustion boat platina 25 x 5 x
Erlenmeyer 300 mL
5 mm
Labu ukur 250 mL
Combustion tube, fused silica
Penangas listrik
Rangkaian penyerap CO2 dan H2O Bahan: Oksigen murni
Pereaksi penyerap CO2, berupa
Pereaksi dalam combustion tube:
padatan
kasa CuO, kasa perak, dan
Mg(ClO4)2 anhidrat
platina quartz wool 25%
Pereaksi penyerap H2O, yaitu
natron
asbes
dan
anhidrat Mg(ClO4)2 Serat kaca (glass wool)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
38
Larutan H2SO4 pekat
Hablur terusi (CuSO4.5H2O)
Larutan HCl 0,1 N
Hablur selenium
Larutan HCl 2:3
Hablur K2SO4
Larutan HNO3 1:7
Hablur KMnO4
Larutan BaCl2 10%
Indikator campuran merah metil
Larutan NaOH 30%
0,125%
Larutan H3BO3 5%
0,083% (1:1) atau MM:MB
dengan
biru
metil
Larutan standar Fe 1000 ppm
3.1.4 Alat dan Bahan Tahap Pengujian Nilai Kalori Peralatan: 1 unit aromatic diabatic
Cawan kalorimeter
calorimeter
Gelas kimia 400 mL
Botol semprot 300 mL
Kawat nikrom
Bahan: Sampel biomassa
3.1.5 Alat dan Bahan Tahap Konstruksi Pelet Biomassa Peralatan: Besi Pengepress
Mesin pengepress
Cetakan pelet
Heater
Bahan: Serbuk sampel biomassa
3.1.6 Alat dan Bahan Tahap Pengujian Pembakaran Peralatan: Furnace
Bejana
GC TCD
Timbangan
Termokopel Bahan: Pelet biomassa
Air
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
39
3.2
Tahapan Penelitian
3.2.1 Tahap Preparasi Bahan Baku Biomassa Tahap preparasi merupakan tahap persiapan sampel sedemikian rupa sehingga menjadi suatu contoh yang siap diuji, dianalisis, dan dilakukan proses peletisasi. Tahap preparasi bahan baku biomassa meliputi beberapa tahap, antara lain: 1. Menyediakan bahan baku biomassa yang akan dijadikan sampel untuk diidentifikasi, yaitu: Limbah kehutanan: ranting pohon karet Limbah industri: sawdust kayu kamper Limbah Pertanian: sekam padi, jerami, residu tebu, serabut kelapa, dan tandan kosong kelapa sawit (TKKS) 2. Memberikan label dan nomor kepada tiap sampel biomassa Tabel 3.1. Sampel biomassa No. Sampel 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Biomassa Jerami Sekam sawdust kayu kamper Ranting kayu karet Serabut kelapa Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) Ampas batang tebu (bagas)
3. Memotong sampel 4 (ranting kayu karet), 6 (tandan kosong kelapa sawit), dan 7 (ampas batang tebu) sehingga memiliki panjang yang seragam, yaitu sekitar 1 cm. 4. Mengeringkan sampel 4 (ranting kayu karet), 6 (tandan kosong kelapa sawit), dan 7 (bagas) dengan cara menjemur bahan baku di bawah sinar matahari selama 5 jam. Hal ini dilakukan karena untuk mengoptimalkan kinerja mesin crusher dan hammer mill. 5. Memasukkan sampel ke dalam mesin crusher untuk mereduksi ukuran partikel sampel.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
40
6. Memasukkan sampel ke dalam mesin penepung untuk menghasilkan bahan dalam bentuk serbuk 7. Menyimpan tiap serbuk sampel biomassa ke dalam plastic wrap dan memberi label nama pada tiap sampel.
3.2.2 Tahap Analisis Biomassa Tahap ini merupakan tahap yang cukup vital dimana akan dilakukan identifikasi karakteristik dari sampel biomassa yang digunakan. Dengan mengetahui karakteristik kandungan tiap sampel biomassa, dapat diketahui jenis proses dan produk akhir apa yang sesuai untuk tiap sampel biomassa.
3.3.2.1 Pengujian Karakteristik Fisik Biomassa A. Pengujian Densitas Bulk Biomassa Langkah yang dilakukan untuk pengujian nilai densitas bulk dari biomassa adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan wadah dengan volume 100 ml 2. Menimbang massa kosong wadah tersebut 3. Memasukkan sampel ke dalam wadah hingga penuh 4. Menimbang massa wadah yang telah berisi sampel 5. Menghitung bulk density sampel dengan membagi massa sampel (massa wadah yang telah berisi sampel dikurang dengan massa wadah) dengan volume wadah B. Morfologi Biomassa Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan tenaga dari luar yaitu Laboratorium CMFD di Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, dengan alat Scanning Electron Microscop (SEM).
3.2.2.2 Pengujian Karakteristik Kimia Biomassa Pada tahap ini dilakukan tiga analisis utama yaitu analisis ultimate, analisis proximate, serta analisis kandungan biopolimer. Analisis ultimate dilakukan untuk menunjukan persen berat dari fixed carbon, bahan mudah menguap, abu, dan Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
41
kadar air. Analisis proximate dilakukan untuk ultimate menentukan berbagai macam kandungan kimia unsur-unsur seperti karbon, hidrogen, oksigen, sulfur, dll. Analisis kandungan biopolimer dilakukan untuk mengetahui kandungan ekstraktif, holoselulosa, hemiselulosa, selulosa, dan lignin. Analisis ultimat dan proksimat dilakukan di laboratorium pengujian Teknologi Mineral dan Batubara, sedangkan untuk analisis kandungan biopolimer dilakukan di laboratorium Biomaterial LIPI.
Analisis Proksimat A. Penetapan Kadar Air Metode: ISO 11722 ASTM D. 3173 Prinsip penentuan kadar air adalah menghitung kehilangan massa sampel biomassa setelah dipanaskan pada suhu dan waktu standar. Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menimbang 1 gram sampel 1 ke dalam botol timbang yang telah diketahui massa kosongnya 2. Memanaskan sampel ke dalam oven pada suhu 1050C selama 1 jam 3. Mendinginkan sampel ke dalam eksikator dan menimbang sampai massanya konstan 4. Menghitung kadar air dengan rumus:
(3.1) 5. Mengulangi tahap 1 – 4 untuk sampel 2, 3, 4, 5, 6, dan 7
B. Penetapan Kadar Abu Metode: ISO 1171 ASTM D. 3174 Prinsip penentuan kadar abu adalah mengabukan sampel biomassa pada kondisi standar sampai tercipta pengabuan sempurna. Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menimbang 1 gram sampel 1 ke dalam cawan porselen yang telah diketahui massa kosongnya
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
42
2. Memanaskan sampel pada suhu rendah (400 0C), kemudian perlahanlahan menaikkan suhu hingga (800 0C) 3. Melakukan pengabuan sampai sempurna selama 4 jam 4. Mendinginkan pada eksikator dan menimbangnya 5. Menghitung kadar abu dengan rumus
(3.2) 6. Mengulangi tahap 1 – 5 untuk sampel 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 C. Penetapan Kadar Zat Terbang Metode: ISO 562 Prinsip penentuan kadar zat terbang adalah memanaskan sampel biomassa tanpa oksidasi pada kondisi standar, kemudian melakukan koreksi terhadap kadar air. Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menimbang 1 gram sampel 1 ke dalam cawan silika yang telah diketahui massa kosongnya 2. Memanaskan sampel ke dalam carbolite furnace pada suhu 900 0C selama 7 menit (waktu diukur dengan menggunakan stopwatch) 3. Mendinginkan sampel ke dalam eksikator dan menimbangnya hingga massanya konstan 4. Menghitung kadar zat terbang dengan rumus:
(3.3) 5. Mengulangi tahap 1 – 4 untuk sampel 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 D. Penetapan Kadar Karbon Padat Untuk menetapkan kandungan kadar karbon padat dapat diperoleh berdasarkan perhitungan berikut ini: Kadar karbon padat = 100% - kadar air – kadar abu – kadar zat terbang (3.4)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
43
Analisis Ultimat A. Penetapan Kadar Karbon dan Hidrogen Metode: ISO 625 ASTM D.3178 Prinsip penentuan kadar karbon dan hidrogen adalah mengoksidasikan biomassa dalam combustion tube. Gas hasil oksidasi dialirkan melalui penyerap air dan karbondioksida, kemudian ditetapkan secara gravimetri. Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Meyalakan alat dengan cara menekan tombol on. 2. Menyiapkan rangkaian penyerap, dirangkaikan pada combustion tube dan memeriksanya jangan sampai ada kebocoran. 3. Membiarkan rangkaian penyerap selama 15 menit, kemudian menimbangnya dan menghubungkan dengan pipa pembakar. 4. Menimbang 0,1 gram biomassa dan memasukkannya ke dalam combustion boat yang telah diketahui massanya. 5. Memasukkan combustion boat ke dalam pipa pembakar pada bagiann yang dingin dari furnace 1 yang telah dipanaskan pada suhu 850 – 900 0
C.
6. Mengalirkan gas oksigen dengan laju 50 – 100 mL/menit dan membiarkan furnace 1 bergerak sampai tepat di atas sampel. 7. Mematikan motor penggerak dan membiarkan furnace 1 tepat di atas sampel dan membiarkannya selama 45 menit. 8. Mengembalikan furnace 1 pada posisi semula, menjalankan kembali motor dan melanjutkan mengalirkan gas oksigen selama 15 menit 9. Memisahkan
rangkain
penyerap
dari
pipa
pembakar
dan
mendinginkannya pada suhu kamar, kemudian menimbangnya. 10. Menghitung kadar hidrogen dan kadar karbon dengan menggunakan rumus:
3.5)
(3.6)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
44
B. Penetapan Kadar Nitrogen Metode: ISO 332 ASTM D.3179 Prinsip penentuan kadar nitrogen adalah mendestruksi biomassa dengan asam sulfat pekat dengan katalis campuran selen dan KMnO4 sehingga terbentuk
ammonium sulfat. Dengan menambahkan hidroksida alkali,
amoniak yang dilepaskan ditampung dengan H3BO3 membentuk NH4H2BO3 dan dapat ditetapkan secara titrimetri. Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menimbang 1 gram sampel ke dalam labu Kjehdal yang berisi 10 gram K2SO4, 0,7 gram terusi, dan 0,3 gram selen. Kemudian dibubuhi dengan 25 mL H2SO4 pekat, digoyang hingga homogen. 2. Mendestruksi sampai larutan berwarna hijau jernih. Jika sampel bekadar abu tinggi, larutan akan berwarna hijau keruh. 3. Mendinginkan dan membubuhi sedikit hablur KMnO4, kemudian larutan didestruksi kembali hingga hijau jernih. 4. Mendinginkan dan memasukkan ke dalam alat destilasi sambil dibilas. 5. Menambahkan air supaya tidak membeku, menyiapkan 25 mL larutan H3BO3 5% sebagai penampung dan alat destilasi dinyalakan. 6. Menambahkan NaOH setelah mendidih atau KOH 30% sedikit demi sedikit hingga larutan berwarna hitam coklat dan destilasi diteruskan. 7. Amoniak yang terbentuk ditampung dalam 25 mL larutan H3BO3 5% yang telah disiapkan dan dibubuhi indikator MM:MB 8. Setelah volume penampung mencapai 250 mL atau larutan berwarna ungu maka destilasi dihentikan. 9. Melakukan titrasi dengan larutan HCl 0,1 N sampai titik akhir berwarna hijau. 10. Melakukan analisis blanko 11. Menghitung kadar nitrogen dengan menggunakan rumus:
(3.7)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
45
C. Penetapan Kadar Belerang Metode: ASTM D.4239 Prinsip penetapan kadar belerang adalah meleburkan sapel pada suhu tinggi hingga membentuk SO3. Pada proses pembakaran, SO3 ditangkap kemudian dianalisis dengan alat leckho. Sehingga didapatkan kadar belerang total. Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Menimbang 0,25 gram contoh batubara dalam cawan perahu 2. Memasukkan cawan perahu yang berisi sampel ke dalam furnacae yang telah diset suhunya dan telah dialiri oleh gas oksigen 3. Mencatat hasil yang diperoleh pada komputer 4. Melakukan pengerjaan duplo D. Penetapan Kadar Oksigen Untuk menetapkan kandungan kadar karbon padat dapat diperoleh berdasarkan perhitungan berikut ini: %O = 100% - %C – %H – %N – %S
(3.8)
Analisis Kandungan Biopolimer A. Penetapan Kadar Lignin Metode: TAPPI TM T222 OM88 Langkah kerja yang dilakukan dalam penentuan kadar lignin adalah sebagai berikut: 1. Menyiapkan gelas filter IG3 kosong dan cawan ukuran kecil ke dalam oven minimal 3 jam sebelum pengujian 2. Memasukkan gelas IG3 kosong dan cawan tersebut ke dalam desikator sekitar 30 menit 3. Menimbang gelas IG3 kosong dan mengukur kadar air bagas bebas ekstraktif 4. Menyiapkan labu takar ukuran 50 mL dan membuat larutan H2SO4 72% 5. Memasukkan sampel bebas ekstraktif sebanyak 0,5 gram ke dalam beaker glass ukuran 50 mL
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
46
6. Memasukkan 7,5 mL larutan H2SO4 72% ke dalam beaker glass 7. Melakukan pengadukan dengan menggunakan magnetic stirer dan memasang angka 10 pada stirer plate selama 4 jam pada suhu kamar 8. Memasukkan sampel yang telah diaduk ke dalam erlenmeyer ukuran 300 mL 9. Menambahkan 280 mL akuades ke dalam erlenmeyer 10. Menutup erlenmeyer dengan alumunium foil rangkap dua dan di autoklaf dengan suhu 121 oC selama 15 menit 11. Menyaring langsung dengan menggunakan gelas filter IG3 12. Mencuci dengan air panas masing-masing 100 mL 13. Mengeringkan gelas IG3 yang telah berisi filtrat pada suhu 105 oC selama 16-24 jam 14. Mendinginkan
dalam
desikator
selama
30
menit
kemudian
menimbangnya
B. Penetapan Kadar Selulosa Metode: TAPPI TM T203 OM88 Langkah kerja yang dilakukan dalam penentuan kadar lignin adalah sebagai berikut: 1. Memasukkan gelas IG3 kosong dalam desikator selama 30 menit 2. Menimbang gelas IG3 kosong 3. Menyiapkan 2 labu takar 100 mL untuk membuat larutan NaOH 17,5% dan asam asetat glasial 10% 4. Memasukkan sampel hasil uji holoselulosa sebanyak 0,5 gram ke dalam beaker glass ukuran 50 mL 5. Menambahkan masing-masing 12,5 mL NaOH 17,5% 6. Meletakkan di atas cawan penyanngga yang telah dituang air di stirer plate yang dipasang pada angka 10 selama 30 menit 7. Menambahkan masing-masing 12,5 mL akuades, dan membiarkan selama 5 menit 8. Menyaring dengan menggunakan gelas filter IG3 9. Mencuci dengan akuades selama 3 menit
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
47
10. Mencuci dengan 20 mL asam asetat glasial 10% 11. Mencuci masing-masing dengan 500mL air panas 12. Mengeringkan gelas filter IG3 yang telah berisi filter pada suhu 105 oC selama 16-24 jam 13. Mendinginkan dalam desikator selama 30 menit dan kemudian menimbangnya.
C. Penetapan Kadar Selulosa Metode: TAPPI TM T223m Langkah kerja yang dilakukan dalam penentuan kadar hemiselulosa adalah sebagai berikut: 1.
Masukkan 1,5 gr ± 0,1 gr serbuk sampel ke dalam labu distilasi 300
2.
Tambahkan parafin untuk mencegah buih/peluapan dan beberapa potongan benda porous untuk mencegah peluapan.
3.
Menambahkan 100 ml HCl 12% lalu melakukan distilasi.
4.
Hasil distilat harus disaring dan dimasukkan ke gelas ukur.
5.
Tambahkan 30 ml HCl 12% setiap diperoleh distilat sebanyak 50 ml. Distilasi diakhiri jika sudah diperoleh 360 ml distilat.
6.
Pada
distilat
secara
berangsur-angsur
dimasukkan
larutan
floroglusinol – HCl yang sudah disaring (11 gr floroglusinol dalam 1500 ml HCl 12%) sambil diaduk. 7.
Diamkan distilat selama 16 jam, hingga endapan hitam dari furfural floroglusinol mengendap didasar gelas ukur.
8.
Periksa keasaman larutan dengan kertas aniline asetat, jika masih berwarna merah jambu berarti pengendapan belum sempurna sehingga perlu ditambahkan larutan floroglusinol – HCl lagi dan didiamkan selama 16 jam.
9.
Kumpulkan endapan dalam cawan saring yang sudah ditimbang.
10. Endapan dicuci dengan 100 ml aquadest, lalu dikeringkan dalam oven selama ± 2,5 jam pada suhu 100° - 105°C dan hasilnya ditimbang (a). 11. Berat hemiselulosa/pentosan adalah = (a + 0,0052) f, dimana : a = berat furfural floroglusinol dalam gr.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
48
f = 0,895 jika berat a kurang dari 0,03 gr. 0,887 jika berat a antara 0,03 – 0,3 gr. 0,882 jika berat a lebih besar dari 0,3 gr. 12. Kadar hemiselulosa/pentosan dihitung sebagai persen dari berat sampel kering tanur. Kadar hemiselulosa/pentosan = Bkt x (1 + kadar air) Bb 3.2.2.3 Analisis Nilai Kalor
(3.9)
Metode yang digunakan pada pengujian nilai kalori adalah ASTM D. 5865. Prinsip yang digunakan dalam menentukan nilai kalor adalah membakar sampel di dalam bomb calorimeter pada kondisi standar. Panas yang dihasilkan dihitung dengan kenaikan suhu setelah pembakaran, dikurangi beberapa nilai koreksi. Langkah kerja yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Menimbang 1 gram sampel ke dalam cawan kalorimeter
2.
Menghubungkan alat dengan arus listrik 220 V
3.
Menekan tombol sumber arus listrik, lalu lampu indikator akan menyala
4.
Menjalankan pompa aliran pendingin
5.
Mengisi bak air kalorimeter (Vessel) dengan air sebanyak 2 liter dengan suhu sesuai skala termometer (270C).
6.
Apabila suhu di dalam bak kalorimeter (Vessel) lebih tinggi dari suhu jucket, Heater akan menyala sampai suhu vessel dan suhu jaket setimbang (indikator amperemeter akan menunjukkan skala 6-8A)
7.
Membiarkan suhu sampai setimbang 10 – 12 menit
8.
Memasukkan bomb calorimeter yang sudah berisi 1 gram sampel kedalam Vessel
9.
Menghubungkan tombol arus alat dengan bomb calorimeter sampai lampu indikatornya menyala (ready to fire).
10. Menekan tombol fire sampai lampu indikator padam, dan suhu Vessel akan naik seperti yang ditunjukkan pada skala termometer. 11. Membiarkan sampai suhu setimbang selama 25 menit. 12. Setelah selesai melakukan analisis, saklar heater dimatikan dan Bomb diangkat dari Vessel 13. Mematikan alat (mains off) Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
49
3.2.3 Pembuatan Pelet Biomassa Pada tahap pembuatan pelet biomassa, prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1.
Memasukkan serbuk biomassa sampel 1 ke dalam alat pencetak.
2.
Memasukkan besi penekan kedalam alat pencetak
3.
Menyalakan pemanas dan mengatur temperatur pada suhu 150oC
4.
Memompa mesin cold press hingga tekanan yang ditujukkan mencapai 2 ton.
5.
Menunggu selama 2 menit untuk mengaktivasi lignin yang terkandung di dalam biomassa
6.
Mengeluarkan pelet yang berada di dalam alat pencetak.
7.
Mengulangi prosedur 1 – 6 untuk sampel 2,3,4,5,6, dan 7.
Gambar 3.2. Mesin cold press
3.2.4 Pengujian Pelet Biomassa 3.2.4.1 Pengujian Densitas Bulk Langkah yang dilakukan untuk pengujian nilai densitas bulk dari pelet biomassa adalah sebagai berikut: 1.
Menyiapkan wadah dengan volume 100 ml
2.
Menimbang massa kosong wadah tersebut
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
50
3.
Memasukkan pelet ke dalam wadah hingga penuh
4.
Menimbang massa wadah yang telah berisi pelet
5.
Menghitung bulk density pelet dengan membagi massa pelet (massa wadah yang telah berisi pelet dikurang dengan massa wadah) dengan volume wadah
3.2.4.2 Pengujian Pembakaran Pada pengujian terhadap performa pembakaran pelet biomassa, parameter yang akan di uji adalah temperatur dan emisi pembakaran. Prosedur dalam pengujian pembakaran adalah sebagai berikut. 1.
Melubangi pelet biomassa pada bagian tengah dengan bor berdiameter 1.5 mm
2.
Memasukkan sebuah termokopel ke dalam lubang pada pelet biomassa
3.
Meletakkan pelet biomassa yang telah terhubung dengan termokopel di atas cawan dan memasukkannya ke dalam furnace.
4.
Menghubungkan kedua termokopel pada data akuisisi yang telah terhubung ke komputer
5.
Mengeset temperatur furnace pada 250oC dan menyalakan furnace
6.
Mencatat temperatur pelet biomassa yang terbakar
7.
Menyalakan GC Shimadzu 8 – APT & C-R6A “Detektor TCD”
8.
Menyalakan Portable CO-Detector
9.
Pada selang waktu 5 menit mengukur emisi CO dengan Portable CODetector
10. Pada selang waktu 10 menit mengambil gas pembakaran sebanyak 1 ml dengan cara mendekatkan syringe ke lubang pada bagian atas furnace. 11. Menyuntikkan gas dalam syringe ke dalam kolom GC 12. Menekan tombol start dan menunggu munculnya peak sekitar 5 – 10 menit 13. Setelah semua peak sudah muncul maka selanjutnya adalah menekan tombol stop dan mengolah data yang keluar. 14. Pengujian dilakukan pada tiap sampel pelet biomassa.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Hasil Preparasi Biomassa Tahap preparasi merupakan tahap persiapan sampel sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu contoh yang siap diuji, dianalisis, dan dilakukan proses peletisasi. Tahap ini meliputi proses pengeringan dan reduksi bahan baku. Setelah melalalui proses pengeringan, tiap bahan baku dimasukkan ke dalam mesin crusher dan hammer mill. Hasil yang didapatkan adalah biomassa yang berbentuk serbuk dengan ukuran partikel 1 mm.
(a)
(b)
(e)
(d)
(c)
(f)
(g)
Gambar 4.1. Sampel biomassa setelah melalui tahap preparasi bahan baku: (a) jerami, (b) sekam, (c) kayu kamper, (d) kayu karet, (e) serabut kelapa, (f) TKKS, (g) bagas
4.2
Sifat dan Karakteristik Biomassa
4.2.1 Morfologi Biomassa Metode yang dilakukan untuk memperoleh bentuk morfologi dari bahan baku biomassa adalah dengan uji Scanning Electron Microscope (SEM). Uji ini dilakukan di laboratorium CMPFA, Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Universitas Indonesia. Gambar 4.2 berikut ini merupakan hasil dari uji SEM yang telah dilakukan terhadap sampel biomassa dengan perbesaran 200 x.
51 Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
52
30 µm
30 µm
(a)
(b)
30 µm
30 µm
(c)
(d)
30 µm
30 µm
(e)
(f) 30 µm
(g) Gambar 4.2.
Hasil SEM untuk masing-masing jenis biomassa: (a) jerami, (b) sekam, (c) kayu kamper, (d) kayu karet, (e) serabut kelapa (f) TKKS, (g) bagas
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
53
Hasil SEM memperlihatkan struktur serat dari tiap bahan baku biomassa. Dari hasil SEM tersebut, dapat kita lihat bahwa struktur serat yang paling padat adalah sekam, kemudian diikuti oleh kayu karet, kayu kamper, dan jerami. Serabut kelapa, tandan kosong kelapa sawit, dan tebu memiliki struktur yang lebih berpori. Hasil SEM dapat mengidentifikasikan bulk density awal dari tiap jenis biomassa. Struktur serat yang padat menunjukkan densitas bulk yang tinggi, sedangkan serat yang berpori menunjukkan densitas bulk yang rendah.
400
Densitas Bulk (kg/m3)
350 300 250 200 150 100 50 0
Gambar 4.3. Densitas bulk serbuk biomassa (ukuran partikel 1 mm)
Dari Gambar 4.3 di atas, dapat dilihat bahwa densitas bulk yang tertinggi adalah sekam dengan nilai 370 kg/m3, dan yang terendah adalah serabut kelapa dengan nilai 83,33 kg/m3. Hal ini sesuai dengan hasil SEM dari tiap biomassa dimana sekam memiliki struktur serat yang paling padat dan serabut kelapa memiliki struktur serat yang berpori. Nilai densitas bulk awal ini sangatlah berpengaruh terhadap densitas bulk pelet biomassa yang akan dihasilkan setelah proses densifikasi. Densitas bulk awal yang rendah akan membutuhkan energi yang lebih besar untuk menghasilkan densitas bulk pelet yang tinggi.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
54
4.2.2 Komposisi Biomassa A. Hasil Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungan air, kadar abu, kandungan zat volatil, dan fixed carbon. Tabel 4.1 di bawah ini merupakan hasil proksimat dari tiap sampel biomassa.
Tabel 4.1. Hasil analisis proksimat sampel biomassa setelah perlakuan awal
Jenis Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Kandungan air %, adb 11,98 7,78 15,52 10,85 10,27 10,45 8,76
Abu %, adb 17,42 21,84 1,21 4,29 3,27 3,43 1,34
Fixed Carbon %, adb 14,12 13,33 15,05 15,1 23,82 17,45 13,96
Zat Volatil %, adb 56,48 57,05 68,22 69,76 62,64 68,67 75,94
Untuk beberapa sampel biomassa (jerami dan sekam), hasil analisis proksimat yang dilakukan tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan hasil analisis proksimat dari literatur yang ada. Perbedaan ini kemungkinan dipengaruhi oleh perbedaan kondisi tiap sampel biomassa. Perbedaan hasil yang paling signifikan terletak pada sampel TKKS dan bagas, yaitu pada nilai kadar air. Hal ini dikarenakan, sampel yang dianalisis pada percobaan ini adalah sampel yang telah melalui proses pengeringan, sedangkan sampel yang ada pada literatur adalah sampel yang belum melalui proses pengeringan. Pada literatur, diketahui bahwa kadar air TKKS bernilai 58,6% dan bagas bernilai 50,73%. Setelah melalui proses pengeringan, kandungan air pada TKKS dapat diturunkan menjadi 10,45% dan bagas menjadi 8,76%. Dari Tabel 4.1 di atas, kita ketahui bahwa kandungan air yang tertinggi ada pada kayu kamper (15,52%) dan yang terendah adalah sekam (7,78%). Kandungan air yang paling optimal untuk proses densifikasi adala 8% – 15%. Kandungan air yang terlalu rendah dan terlalu tinggi akan sulit untuk merekat dan menghasilkan pelet yang rapuh. Sekam tersusun dari palea dan lemma (bagian yang lebih lebar) yang terikat dengan struktur pengikat yang menyerupai kait. Sel-sel sekam yang telah masak mengandung lignin dan silica dalam konsentrasi Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
55
tinggi. Kandungan silica diperkirakan berada dalam lapisan luar sehingga permukaannya keras dan sulit menyerap air, mempertahankan kelembaban, serta memerlukan waktu yang lama untuk mendekomposisinya. Kemudian, kandungan air juga memiliki peranan yang cukup penting pada nilai kalor dari tiap biomassa. Semakin besar kandungan air maka semakin rendah nilai kalornya, karena H2O tidak memiliki nilai kalor. Namun, nilai kalor tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan air saja. Selain itu, kandungan karbon, hidrogen, dan oksigen yang terdapat pada tiap biomassa. Sekam memiliki kadar abu yang tertinggi (21,84%), sedangkan kayu kamper memiliki kadar abu yang terendah (1,21%). Hal ini mengindikasikan bahwa ketika pelet dibakar, maka pelet yang terbuat dari sekam akan menghasilkan emisi abu (ash) dan partikulat matter yang paling banyak, sedangkan pelet yang terbuat dari kayu kamper menghasilkan emisi abu (ash) dan partikulat matter yang paling sedikit. Nilai kadar abu merupakan hal penting dalam perancangan grate tungku, volum pembakaran, peralatan kendali polusi dan sistem handling abu pada tungku. Kandungan bahan yang mudah menguap (volatile matter) yang tinggi menunjukkan mudahnya penyalaan bahan bakar. Biomassa yang memiliki kandungan zat volatil tertinggi adalah bagas (75,94%), sedangkan yang terendah adalah jerami (56,48%). Hal tersebut menandakan bahwa pelet yang terbuat dari bagas akan lebih mudah untuk terbakar atau lebih cepat untuk terignisi. Kandungan Fixed carbon yang tertinggi terdapat pada serabut kelapa (23,82%), sedangkan yang terendah terdapat pada sekam padi (13,33%). Fixed carbon memiliki peran sebagai pembangkit panas selama pembakaran. Maka, semakin banyak kandungan karbon padat menandakan bahwa semakin banyak pula zat yang dapat bereaksi dalam reaksi pembakaran sehingga memungkinkan reaksi pembakaran berjalan dengan lebih baik.
B. Hasil Analisis Ultimat Tabel 4.2 menyajikan data kandungan unsur-unsur kimia yang ditentukan dengan menggunakan analisis ultimat. Analsis ultimate menentukan berbagai macam kandungan unsur- unsur kimia seperti karbon, hidrogen, oksigen, sulfur,
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
56
dll. Analisis ini berguna dalam penentuan jumlah udara yang diperlukan untuk pembakaran dan volum serta komposisi gas pembakaran. Data ini juga sangat penting dalam menentukan nilai kalor tiap sampel biomassa.
Tabel 4.2. Hasil analisis ultimat sampel biomassa setelah perlakuan awal
Jenis Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Carbon (%, adb) 36,48 35,18 45,67 45,62 46,87 44,06 46,1
Hidrogen (%, adb) 4,7 4,46 5,74 5,57 5,77 6,06 6,1
Nitrogen (%, adb) 0,61 0,15 0,12 0,72 0,04 0,29 0,11
Belerang (%, adb) 0,09 0,01 Trace 0,04 0,08 0,11 0,17
Oksigen (%, adb) 40,7 38,36 47,26 43,76 43,97 46,05 46,18
Hasil analisis ultimat dari sampel biomassa yang dilakukan, tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan hasil yang diperoleh dari beberapa literatur. Pada literatur, untuk jerami kadar C bernilai 35,97%, kadar O bernilai 43,08%, dan kadar H bernilai 5,28%, sedangkan pada percobaan kadar C bernilai 36,48%, kadar O bernilai 40,7%, dan kadar H bernilai 4,7%. Selain itu untuk sampel TKKS, pada literatur kadar C bernilai 48,79%, kadar O bernilai 40,18% dan kadar H bernilai 7,33%, sedangkan pada percobaan kadar C bernilai 44,06%, kadar O bernilai 46,05%, dan kadar H bernilai 6,06%. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa data yang diperoleh pada percobaan ini cukup valid. Dari data di atas, dapat kita lihat bahwa kandungan nitrogen dan belerang sangat kecil. Hal ini merupakan salah satu keutamaan dari biomassa dibandingkan dengan batubara. Pada biomassa, kandungan nitrogen dan sulfur berada di bawah 1%, sedangkan kandungan nitrogen dan sulfur pada batubara bernilai sampai 3% (ASTM, 1981, op cit Wood et al., 1983). Oleh karena itu, apabila dilakukan pembakaran dengan temperatur dan laju alir udara yang sama antara batubara dan biomassa, maka jumlah emisi SOx dan NOx pada biomassa memiliki nilai yang lebih kecil dibandingkan dengan batubara.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
57
C. Kandungan Biopolimer Tabel 4.3 menyajikan data kandungan lignin, selulosa, dan hemiselulosa yang dimiliki oleh tiap sampel biomassa.
Tabel 4.3. Hasil analisis kandungan biopolimer biomassa
Jenis Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Lignin (%Dry Base)
Cellulose (%Dry Base)
12,87 26,11 26,01 22,68 35,57 18,27 21,98
40,54 35,31 35,97 47,89 26,93 45,38 39,29
HemiCellulose (%Dry Base) 20,80 22,60 20,57 26,88 25,49 23,97 27,63
Dari Tabel 4.3 di atas terlihat bahwa kandungan lignin yang terdapat pada biomassa cukup besar yaitu berada pada rentang 10%-35%. Pada proses densifikasi, lignin yang terkandung pada biomassa bertindak sebagai zat perekat alami. Pada suhu 140oC, lignin akan teraktivasi dan berfungsi secara optimal sebagai zat perekat. Dengan demikian, maka tidak diperlukan lagi perekat tambahan untuk proses densifikasi karena lignin yang terkandung di dalam sampel biomassa sudah cukup untuk menjadi zat perekat. Lignin memiliki rasio dari C:O dan H:O lebih besar dibandingkan dengan fraksi karbohidrat lainnya di dalam biomassa. Hal tersebut yang membuat lignin lebih pontensial untuk proses oksidasi. Pada proses pirolisis, lignin akan menghasilkan senyawa kimia aromatis yang berupa fenol, terutama kresol (Manuel Garcia-Perez, 2009). Pada proses fermentasi, lignin tidak bisa bereaksi dengan enzim, maka lignin tidak akan terkonversi menjadi etanol. Oleh karena itu, lignin hanya akan menjadi residu dengan jumlah yang sangat besar (Zhang, 2008). Selulosa adalah polimer glukosa (hanya glukosa) yang tidak bercabang. Pada proses pirolisis, selulosa menghasilkan produk perengkahan berupa levoglukosan, 5-hidroksimetilfurfural, hidroasetaldehid, asetol, dan formaldehid. Keberadaan selulosa yang tinggi akan memudahkan dekomposisi dari bahan baku
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
58
untuk melepaskan zat volatil light-hidrokarbon di bawah suhu 450 oC (Uzun, Basak Burcu, 2007). Pada proses fermentasi, awalnya selulosa akan dihidrolisis menjadi glukosa dengan nilai konversi 80%. Selanjutnya, glukosa akan difermentasi menjadi etanol dengan nilai konversi 95% (Zhang, 2008). Hemiselulosa tersusun dari bermacam-macam jenis gula. Monomer gula penyusun hemiselulosa terdiri dari monomer gula berkarbon 5 (C5) dan 6 (C6), misalnya xylosa, mannose, glukosa, galaktosa, arabinosa, dan sejumlah kecil rhamnosa, asam glukoroat, asam metal glukoronat, dan asam galaturonat. Pada proses pirolisis, hemiselulosa akan menghasilkan asam asetat, furfural, dan furan. Pada proses fermentasi, hemiselulosa mulanya akan dihidrolisis menjadi xylosa dengan nilai konversi 70%. Kemudian, xylosa akan difermentasi menjadi etanol dengan nilai konversi 60% (Zhang, 2008).
4.2.3 Nilai Kalor Biomassa Nilai kalor pada sampel biomassa ditentukan dengan menggunakan alat bomb calorimeter. Tabel 4.4 di bawah ini menunjukkan nilai kalor pada tiap sampel biomassa. Nilai kalor dari tiap biomassa ini sangat dipengaruhi oleh komponen unsur kimia yang terkandung di dalamnya, terutama kandungan karbon dan hidrogen. Dari tabel di atas, terlihat bahwa nilai kalor yang tertinggi ada pada serabut kelapa dengan nilai 4161 cal/g dan nilai kalor yang terendah adalah jerami dengan nilai kalor 3151 cal/g. Tabel 4.4. Nilai Kalor Biomassa
Jenis Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Nilai Kalor (HHV) Cal/g, adb 3151 3211 4017 4012 4161 3966 4128
Pada Gambar 4.4 di bawah ini, jelas terlihat hubungan antara kadar karbon yang terkandung di dalam biomassa dengan nilai kalor (HHV). Dari kedua Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
59
gambar itu terlihat bahwa semakin tinggi kadar karbon yang terkandung di dalam biomassa, maka akan semakin tinggi pula nilai kalor yang terbentuk. Pada reaksi pembakaran, karbon akan dioksidasi dengan oksigen dan menghasilkan energi. Oleh karena itulah mengapa hubungan antara kandungan nilai karbon berbanding lurus dengan nilai kalor. Nilai kalor tidak hanya dipengaruhi oleh kadar karbon, tetapi juga oleh hidrogen, oksigen, sulfur, nitrogen. Namun untuk kasus ini, hal yang paling dominan berpengaruh terhadap nilai kalor adalah kadar karbon.
4400 4200
HHV (cal/g)
4000 3800 3600 3400 3200 3000 34
36
38
40
42
44
46
48
Kadar Karbon (%adb) Jerami
Sekam
Kayu Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Kayu Karet
Gambar 4.4. Hubungan antara kadar karbon dengan HHV
Selain dengan menggunakan alat bomb calorimeter, kita juga dapat memprediksi nilai kalor suatu biomassa dengan menggunakan rumus: (Channiwala, 1992) HHV(kJ/g) = 0,3491C + 1,1783H – 0,1034 O – 0,0211 A + 0,1005 S -0.0151 N..(4.1)
dimana: C = kadar karbon (%adb)
S = kadar sulfur (%adb)
H = kadar hidrogen (%adb)
N = kadar Nitrogen (%adb)
O = kadar oksigen (%adb) A = kadar abu (%adb) Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
60
4400
HHV Percobaan (cal/g)
4200 4000 3800 3600 3400 3200 3000 3000
3200
3400
3600
3800
4000
4200
4400
4600
HHV Teoritis (cal/g) Jerami
Sekam
Kayu Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Kayu Karet
Gambar 4.5. Perbandingan antara HHVpercobaan dengan HHVteoritis
Dari persamaan 4.1 di atas, dapat kita lihat bahwa nilai kalor dipengaruhi oleh banyaknya unsur C, H, O, S, N, dan kadar ash dalam biomassa. Dengan demikian secara teoritis dapat dilihat bahwa semakin banyak unsur C, H, dan S maka semakin besar nilai kalornya. Namun semakin besar unsur O, N, dan kadar ash maka akan mengurangi nilai kalor. Dengan persamaan 4.1, kita dapat membandingkan nilai HHV percobaan dan HHV teoritis. Setelah menghitung nilai HHV teoritis, ternyata perbedaannya tidak terlalu signifikan dengan HHV percobaan. Perbedaan antara HHV percobaan dan HHV teoritis hanyalah sebesar (5 ± 3)%, sehingga masih dapat ditoleransi.
4.3
Potensi Proses Konversi Biomassa Setelah melakukan analisa untuk mengetahui komposisi dari tiap biomassa,
kita dapat mengetahui karakteristik atau keunikan dari tiap biomassa. Dengan mengetahui hal tersebut, kita juga dapat memprediksi jenis konversi energi apa yang paling sesuai untuk tiap jenis biomassa. Pada bab 3 sudah dijelaskan bahwa
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
61
proses konversi biomassa menjadi energi terbagi menjadi 5 bagian besar, yaitu pembakaran langsung, pirolisis, gasifikasi, fermentasi, dan anaerobic digestion. Pada sub bab ini akan dianalisa jenis konversi apa yang sesuai untuk diterapkan pada tiap sampel biomassa. Tabel 4.5 di bawah ini menjelaskan mengenai karakteristik tiap sampel biomassa dan jenis konversi yang sesuai. Tabel 4.5. Rekomendasi tipe proses konversi untuk tiap jenis biomassa Jenis Biomassa Jerami
Sekam Kayu Kamper
Kayu Karet
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Karakteristik Memiliki kadar selulosa yang tinggi Memiliki kadar abu yang tinggi Memiliki kadar air yang rendah Memiliki kadar air yang rendah Memiliki kadar abu yang sangat tinggi Memiliki kandungan silika yang sangat tinggi Memiliki nilai kalor yang tinggi Memiliki kadar abu yang rendah Memiliki nilai kalor yang tinggi Memiliki struktur yang padat Memiliki kadar selulosa yang tinggi Memiliki kadar abu yang rendah Memiliki kadar lignin yang tinggi Memiliki nilai kalor yang tinggi Memiliki kadar abu yang rendah Memiliki kadar selulosa yang rendah Memiliki kadar karbon yang tinggi Memiliki kadar air yang tinggi Memiliki kadar selulosa yang tinggi Memiliki kadar abu yang rendah Memiliki kadar air yang tinggi Memiliki kadar selulosa dan hemiselulosa yang tinggi Memiliki kadar abu yang rendah
Potensi Proses Fermentasi, Pembakaran Langsung Pembakaran Langsung, Gasifikasi Pembakaran Langsung, Gasifikasi Pembakaran Langsung, Fermentasi, Pirolisis, Gasifikasi
Pembakaran Langsung, Gasifikasi
Pirolisis, Fermentasi
Pirolisis, Fermentasi
Pada pembakaran langsung dengan proses densifikasi, jenis biomassa yang sesuai adalah biomassa dengan kadar air yang rendah, kadar zat volatil yang tinggi, dan kadar lignin yang tinggi. Kadar air akan mempengaruhi nilai kalor dan kinerja pembakaran. Nilai kadar air yang rendah akan meningkatkan nilai kalor dan meningkatkan kinerja pembakaran. Kemudian nilai zat volatil yang tinggi akan memudahkan dan mempercepat proses ignisi pada biomassa. Lalu untuk pembakaran langsung, nilai dari kandungan biopolimer ini tidak terlalu berpengaruh. Hal yang perlu diperhatikan pada proses pembakaran langsung pelet biomassa adalah kandungan lignin di dalam biomassa. Pada proses densifikasi, Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
62
lignin yang terkandung pada biomassa bertindak sebagai zat perekat alami. Pada suhu 140oC, lignin akan teraktivasi dan berfungsi secara optimal sebagai zat perekat. Oleh karena itu, jenis biomassa yang direkomendasikan untuk proses konversi melalui pembakaran langsung adalah jerami, sekam, kayu kamper, kayu karet, dan serabut kelapa. Untuk proses konversi dengan fermentasi, nilai dari kandungan biopolimer menjadi hal yang cukup penting. Kandungan biopolimer sangat berpengaruh pada yield produk yang dihasilkan. Pada proses fermentasi, selulosa dan hemiselulosa akan dikonversikan melalui hidrolisis menjadi gula dan nantinya akan difermentasi hingga menjadi etanol. Pada proses konversi ini, lignin tidak bisa bereaksi dengan enzim, maka lignin tidak akan terkonversi menjadi etanol. Oleh karena itu, lignin hanya akan menjadi residu dengan jumlah yang sangat besar (Zhang, 2008). Selulosa akan dihidrolisis menjadi glukosa dengan konversi 80% dan hemiselulosa menjadi xylosa dengan konversi 70%. Selanjutnya adalah proses fermentasi gula, dimana 95% glukosa dan 60% xylosa akan terkonversi menjadi etanol (Zhang, 2008). Dari keterangan tersebut dapat kita simpulkan bahwa untuk proses konversi menjadi etanol, jenis kandungan biopolimer yang memiliki peran penting adalah selulosa dan hemiselulosa dan lignin tidak akan terlibat dalam proses dan hanya akan menjadi residu saja. Oleh karena itu, jenis biomassa yang cocok untuk proses ini adalah jenis biomassa dengan nilai kandungan selulosa yang tinggi dan lignin yang rendah, yaitu jerami, kayu karet, tandan kosong kelapa sawit, dan bagas. Kemudian untuk proses konversi jenis pirolisis, komposisi biopolimer juga memiliki peran yang cukup penting. Pirolisis dapat mengkonversi biomassa pada temperatur sekitar 500 oC tanpa keberadaan oksigen, menghasilkan fraksi liquid (bio-oil), gas, dan solid (arang). Keberadaan selulosa yang tinggi akan memudahkan dekomposisi dari bahan baku untuk melepaskan zat volatil lighthidrokarbon di bawah suhu 450 oC (Basak Burcu Uzun, 2007). Kemudian, dari penelitian sebelumnya juga diketahui bahwa biomassa dengan kandungan holoselulosa (hemiselulosa dan selulosa) yang tinggi akan menghasilkan persentase yield liquid yang tinggi pula. (Scott, D.S., 1999) Oleh karena itu, jenis kandungan biopolimer yang sangat berperan pada proses pirolisis
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
63
ini adalah kandungan selulosa dan hemiselulosa yang terkandung di dalam biomassa. Selain itu, diketahui pula bahwa kadar zat abu yang tinggi akan menghasilkan bio-oil dengan kualitas yang rendah. Biomassa yang sesuai untuk proses konversi jenis ini adalah kayu karet, tandan kosong kelapa sawit, dan bagas. Gasifikasi adalah proses yang mengubah material karbon di dalam biomassa menjadi bentuk karbon monoksida dan hidrogen. Proses gasifikasi menggunakan media gasifikasi seperti udara, oksigen, dan steam. Pada proses gasifikasi terdapat proses oksidasi parsial yaitu suatu proses reaksi oksidasi dimana oksigen yang dipakai atau dibutuhkan dalam reaksi tersebut kurang dari kebutuhan teoritisnya atau dengan kata lain kurang darin proses pembakaran sempurna (Henry R. Bungay, 1981). Pada proses gasifikasi, hal yang paling berperan adalah kandungan karbon dan nilai kalori dari biomassa. Selain itu, kandungan biopolimer yang memiliki peranan yang cukup penting adalah lignin. Lignin memiliki rasio dari C:O dan H:O lebih besar dibandingkan dengan fraksi karbohidrat lainnya di dalam biomassa. Hal tersebut yang membuat lignin lebih pontensial untuk proses oksidasi. Biomassa yang seusai untuk proses konversi jenis ini adalah sekam, kayu kamper, kayu karet, dan serabut kelapa.
4.4
Pelet Biomassa Pelet yang dihasilkan berbentuk silinder dengan diameter 0,8 cm dan
panjang 2 cm. Pelet biomassa untuk tiap jenis bahan baku dapat dilihat pada Gambar 4.6 di bawah ini. Pada proses pembuatan pelet biomassa ini, diberikan beban yang sama yaitu 2 ton dan dipanaskan selama 3 menit dengan suhu 150oC. Penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Dwi Endah Lestari, 2009, menyatakan bahwa sekam tidak bisa dibentuk menjadi pelet tanpa proses pemanasan. Hal ini disebabkan karena sekam mengandung zat silica yang tinggi dan hemiselulosa yang rendah sehingga sulit untuk merekat.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
64
Gambar 4.6. Pelet Biomassa kiri-kanan: jerami, sekam, kayu kamper, kayu karet, serabut kelapa, TKKS, bagas
Proses pemanasan yang dilakukan berfungsi untuk melelehkan lignin. Sehingga lignin dapat berfungsi secara optimal sebagai pengikat ketika proses densifikasi. Alat pencetak pelet yang digunakan adalah tipe single-pelleter unit., dimana dalam sekali pengerjaan hanya dihasilkan 1 pelet. Desain alat pencetak pelet yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 4.7.
Gambar 4.7. Cetakan pelet untuk proses densifikasi
4.4.1 Densitas Bulk Densitas bulk menunjukkan perbandingan massa biomassa terhadap volume. Tabel 4.6 dibawah ini menunjukkan nilai densitas bulk dari biomassa.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
65
Tabel 4.6. Densitas bulk pelet biomassa Jenis Biomassa
Densitas Bulk Serbuk Biomassa (kg/m3)
Densitas Bulk Pelet Biomassa (kg/m3)
154,9 374,8 304,4 290,67 83,33 205,71 122,5
604,62 604,34 604,51 604,40 531,85 573,60 554,07
Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Densitas Bulk Pelet Biomassa : Densitas Bulk Serbuk Biomassa 3,90 1,61 1,99 2,08 6,38 2,79 4,52
Dari data di atas, terlihat bahwa dengan melakukan proses densifikasi, dapat dihasilkan densitas bulk yang 6 kali lebih besar dibandingkan dengan densitas bulk semula. Hal inilah yang merupakan tujuan dari proses densifikasi, yaitu meningkatkan nilai massa per unit volume. Dengan dilakukannya proses densifikasi, masalah-masalah yang ditimbulkan dari biomassa dengan nilai densitas bulk yang rendah, seperti tingginya biaya pengiriman, tidak efisien dalam penyimpanan, dan tingginya resiko bahan baku untuk tereduksi. Densitas bulk salah satunya dipengaruhi oleh kadar air. Kadar air yang tepat dalam biomassa menghasilkan pelet yang bersifat compact (padat). Kadar air optimal untuk proses densifikasi dan menghasilkan densitas bulk yang tinggi. Kadar air pada biomassa yang terlalu rendah akan menyebabkan biomassa sulit merekat sedangkan kadar air yang terlalu berlebih menyebabkan lignin tidak dapat berfungsi menjadi perekat bila pembuatan pelet dilakukan dengan tekanan dan temperatur yang sama sehingga pelet bersifat mengembang (tidak padat). Hal ini menghasilkan pelet dengan densitas bulk yang lebih kecil pada pelet dengan ukuran yang sama. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang telah terlebih dulu dilakukan oleh M.D. Shaw yang menyatakan bahwa pelet tanpa treatment awal memiliki sifat semakin rendah densitas bulk bila kandungan airnya semakin tinggi. Jumlah kandungan air yang paling optimal untuk dijadikan pelet adalah 812 % wb. Pelet biomassa dengan kandungan air yang kecil (≤ 4% wb), memiliki kecenderungan untuk menyerap air dari udara sekitar sehingga pelet akan mengembang secara signifikan dan menjadi sangat rapuh selama beberapa hari. Namun, densitas bulk pelet biomassa tidak hanya dipengaruhi oleh kandungan air saja, tetapi juga dipengaruhi oleh kandungan lignin dari tiap Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
66
biomassa. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, lignin berfungsi sebagai zat perekat alami yang akan mengikat selulosa dan hemiselulosa. 500 450
∆Bulk Density (kg/m3)
400 350 300 250 200 150 100 50 0 7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Kadar Air (%adb) Jerami
Sekam
Kayu Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Kayu Karet
Gambar 4.8. Hubungan antara ∆densitas bulk dengan kandungan air
Dari Gambar 4.8 dapat terlihat bahwa peningkatan densitas bulk tertinggi adalah jerami, kemudian diikuti oleh serabut kelapa, bagas, dan tandan kosong kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan densitas bulk tertinggi berada pada kandungan air yang optimal yaitu 8 – 12%. Namun hal tersebut tidak berlaku kepada kayu karet. Walaupun kandungan air dalam kayu karet bernilai 10,85%, namun kandungan lignin dari kayu karet lebih kecil dibandingkan dengan kayu kamper, tandan kosong kelapa sawit, jerami dan serabut kelapa. Oleh karena itulah mengapa peningkatan densitas bulk dari kayu karet tidak lebih tinggi dibandingkan dengan jerami.
4.5
Potensi Pelet Biomassa di Indonesia Seperti yang telah ditunjukkan pada Tabel 2.2 mengenai potensi sumber
daya limbah biomassa, kita ketahui bahwa Indonesia memiliki potensi yang tinggi dalam mengembangkan energi dari biomassa. Salah satu proses konversi energi Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
67
yang dapat dilakukan adalah mengubah bahan baku biomassa menjadi pelet biomassa. Tabel 4.7 di bawah ini menunjukkan jumlah pelet biomassa yang dapat diproduksi tiap tahunnya beserta energi yang dihasilkan. Tabel 4.7. Potensi Pelet Biomassa di Indonesia
Jenis Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
13,23 13,49
Produksi Pelet Biomassa (Juta ton/ Tahun) 44,1 12,15
Potensi Bio-Energi (Juta GJ/ Tahun) 583,63 163,86
Crude Oil Equivalent (106 boe/ Tahun) 99,11 27,83
8,3
16,87
7,47
126,03
21,40
2,8
16,85
2,52
42,46
7,21
6,7
17,48
6,03
105,38
17,90
12,9 8,5
16,66 17,34
7,74 5,1 85,11
128,93 88,42 1238,71
21,89 15,02 210,36
Jumlah Limbah (Juta ton/Tahun)a 49 13,5
HHV (MJ/kg)
TOTAL Sumber: NREL 2008
Data dari jumlah produksi limbah di Indonesia diperoleh dari National Renewable Energy Laboratory, sedangkan data dari nilai kalor pada Tabel 4.7 di atas menggunakan data nilai kalor yang didapatkan di penelitian ini. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada bagian tinjauan pustaka, proses peletisasi hanyalah mengkompakkan serbuk biomassa menjadi ukuran silindris dengan nilai densitas bulk yang lebih tinggi. Sehingga setelah melalui perlakuan awal (pengeringan dan reduksi ukuran partikel), massa sebelum dan setelah proses densifikasi tidak mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi hanyalah pada nilai densitas bulk dimana pada massa yang sama, volume yang dibutuhkan oleh biomassa menjadi semakin kecil. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa massa awal biomassa dan setelah proses densifikasi tidaklah mengalami perubahan yang signifikan. Massa dari biomassa hanya mengalami penurunan pada saat proses pengeringan, karena terdapat air yang terkandung di dalam biomassa akan teruapkan. Pada penelitian ini, nilai perkiraan produksi pelet untuk jenis sampel jerami, sekam, kayu kamper,
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
68
kayu karet, dan serabut kelapa didapatkan dengan cara mengalikan nilai konversi 90% dengan data jumlah limbah yang ada. Nilai kehilangan massa dari proses produksi pelet biomassa diasumsikan sejumlah 10% dari jumlah air yang teruapkan dan faktor loss ketika proses tersebut berlangsung (contoh: serbuk biomassa yang berterbangan). Untuk nilai produksi dari tandan kosong kelapa sawit dan bagas memiliki nilai konversi yang lebih kecil yaitu 60%. Hal ini karena tandan kosong kelapa sawit dan bagas memiliki nilai kadar air awal yang cukup tinggi yaitu hampir sekitar 50%. Oleh karena itulah, diasumsikan jumlah massa yang hilang untuk produksi pelet dari tandan kosong kelapa sawit dan bagas sejumlah 40%. Untuk melihat perhitungan lebih detail, dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari Tabel 4.7, dapat dilihat bahwa total energi yang dapat dihasilkan dari pembakaran langsung pelet biomassa adalah 1238,71 juta GJ/tahun setara dengan 210,36 juta boe/tahun atau 576 Mboe/hari. Total potensi minyak bumi di Indonesia adalah sebesar 8.219,22 MMSTB dengan produksi 850 MBOPD pada tahun 2008 (Kementrian ESDM, 2008). Nilai tersebut membuktikan bahwa energi biomassa memiliki potensi yang cukup tinggi di Indonesia untuk menjadi opsi pengganti bahan bakar fosil. Dengan mengoptimalkan potensi biomassa di Indonesia, kita dapat menutupi hingga 3/5 dari produksi minyak di Indonesia. Biomassa yang memiliki nilai potensi paling tinggi adalah jerami dengan total energi yang dihasilkan senilai 583,63 juta GJ/tahun, kemudian diikuti dengan sekam padi dengan nilai 163,86 juta GJ/tahun dan tandan kosong kelapa sawit dengan nilai 128,93 juta GJ/tahun.
4.6
Performa Pembakaran Pelet Biomassa
4.6.1 Profil Temperatur Pembakaran Pengujian temperatur pembakaran dilakukan dengan cara meletakkan pelet di dalam furnace dan men-setting temperatur furnace pada 250oC. Selama pelet berada di dalam furnace pelet akan ter-ignisi dan terbakar. Kemudian kita dapat membaca temperatur pelet dengan menggunakan termokopel.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
69
800 700
Temperatur (oC)
600 500 400 300 200 100 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Waktu (menit) Jerami
Sekam
Kayu Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Kayu Karet
Gambar 4.9. Perbandingan temperatur pembakaran terhadap jenis pelet biomassa
Pada Gambar 4.9, dapat kita lihat karakteristik pembakaran pelet biomassa pada tiap bahan baku yang berbeda. Karakteristik pembakaran dari berbagai tipe biomassa bervariasi tergantung pada komposisi kimia, sifat fisis, dan karakteristik abu dari bahan bakar tersebut. Pembakaran pelet biomassa terbagi didalam empat tahap. Tahap pertama adalah saat permukaan pelet melepaskan uap air dan gasgas (CO, CO2, CH4 dan H2), beberapa diantaranya gas yang mudah terbakar. Tahap pembakaran ini terjadi hingga temperatur 100 oC. Pada tahap kedua, yaitu pada rentang temperatur 100 oC hingga 400 oC, bahan mudah menguap pada pelet (volatile matter) mulai terbakar dan terjadi reaksi yang menghasilkan panas. Pada tahap ini belum terjadi api hingga temperatur naik. Pada tahap ketiga saat temperatur naik dari 400oC hingga 500 oC, gas-gas yang telah terlepas bereaksi kembali, terignisi sehingga membentuk api. Zat yang tersisa setelah semua gas habis bereaksi adalah karbon atau arang. Carbon atau arang inilah yang kemudian terbakar pada temperatur diatas 500 oC yaitu pada tahap keempat.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
70
730 710
Temperatur (oC)
690 670 650 630 610 590 570 550 540
550
560
570
580
590
600
610
620
Bulk Density (kg/m3) Jerami
Sekam
Kayu Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Kayu Karet
Gambar 4.10. Hubungan antara densitas bulk dengan temperatur puncak pembakaran
Menurut penelitian terdahulu, temperatur furnace dapat mempengaruhi temperatur pembakaran pelet yang dihasilkan. Jadi untuk dapat membandingkan temperatur pembakaran yang dihasilkan, pastikan bahwa temperatur furnace tepat sama pada masing-masing pengujian. Pada Gambar 4.10 dapat kita lihat bahwa temperatur tertinggi dimiliki oleh jerami (712,2 oC), kemudian diikuti oleh serabut kelapa (690,2 oC), kayu karet (687 oC), kayu kamper (676,3 oC), sekam (638,4 oC), TKKS (626,7 oC), dan bagas (576,5 oC). Temperatur puncak pembakaran merupakan temperatur yang dicapai pada saat stoikiometri. Pada percobaan, pelet yang menghasilkan temperatur puncak pembakaran tertinggi adalah pelet jerami dengan densitas bulk yang paling tinggi. Gambar 4.11 di bawah ini, menunjukkan hubungan antara densitas bulk dengan temperatur puncak pembakaran. Pada gambar tersebut, diketahui bahwa semakin tinggi densitas bulk dari suatu pelet biomassa, maka akan semakin tinggi pula temperatur puncak pembakaran yang terjadi. Hal ini dikarenakan densitas bulk mempengaruhi efisiensi pembakaran yang terjadi.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
71
25 24
Kadar Air(%adb)
23 22 21 20 19 18 17 16 15 7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Waktu (menit) Jerami
Sekam
Kayu Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Kayu Karet
Gambar 4.11. Hubungan antara kadar air dengan waktu terjadinya temperatur puncak pembakaran
Gambar 4.11 di atas menunjukkan hubungan antara kadar air yang terkandung di dalam biomassa dengan waktu terjadinya temperatur puncak pembakaran. Dari gambar tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa semakin besar kadar air yang terkandung, maka akan semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk mencapai temperatur puncak pembakaran. Hal ini dikarenakan pada pembakaran biomassa, tahap pertama merupakan tahap dimana pelet akan menguapkan air dan gas-gas (CO, CO2, CH4 dan H2). Maka, semakin banyak air yang terkandung di dalam pelet biomassa, semakin lama pula waktu yang dibutuhkan untuk menguapkan air tersebut.
4.6.2 Profil Emisi Pembakaran Emisi yang diuji adalah emisi CO dan CO2. Hal ini dikarenakan kedua gas tersebutlah yang memiliki konsentrasi paling dominan dalam pembakaran biomassa.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
72
A. Profil Emisi CO2 Penentuan kandungan emisi CO2 yang terdapat pada emisi pembakaran pelet biomassa dilakukan dengan menggunakan Gas Chromatography TCD untuk mengetahui profil emisi CO2 yang terbentuk. Pengujian hanya dapat dilakukan dalam selang waktu 10 menit karena waktu yang dibutuhkan untuk sekali penyuntikan sampel hingga hasil tercetak adalah 7 – 10 menit. Dari Gambar 4.12 terlihat bahwa untuk semua pelet biomassa emisi CO2 pada menit ke-10 bernilai rendah, kemudian meningkat pada menit ke-20, lalu mengalami penurunan lagi di menit ke-30. Konsentrasi CO2 yang rendah pada awal pembakaran dikarenakan temperatur pembakaran masih berada pada nilai yang rendah pula. Konsentrasi emisi CO2 yang tertinggi berada pada menit ke20. Dari data temperatur pembakaran pada sub bab 4.4.1, kita ketahui bahwa waktu rata-rata terjadinya temperatur puncak pembakaran adalah pada menit ke 20 dan temperatur puncak pembakaran terjadi ketika reaksi pembakaran berada pada titik stoikiometri. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa emisi CO2
CO2 (mg x 10 2/m3 flue gas)
yang tertinggi dihasilkan pada saat stoikiometri, yaitu pada menit ke-20.
1,84 1,82 1,8 1,78 1,76 1,74 1,72 1,7 1,68 1,66 1,64 1,62 5
10
15
20
25
30
35
Waktu (menit) Jerami
Sekam
Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Karet
Gambar 4.12 Profil emisi CO2 terhadap fungsi waktu
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
73
B. Profil Emisi CO Pengujian emisi CO dilakukan dengan menggunakan CO-portable detector. Hasil profil emisi yang didapatkan dapat dilihat pada Gambar 4.13 di bawah ini.
1200 1000
CO (ppmv)
800 600 400 200 0 0
5
10
-200
15
20
25
30
35
Waktu (menit)
Jerami
Sekam
Kayu Kamper
Serabut Kelapa
TKKS
Bagas
Kayu Karet
Gambar 4.13. Profil emisi CO terhadap fungsi waktu
Dari gambar di atas, dapat kita lihat bahwa emisi CO tertinggi berada pada menit ke-10 dan 15. Pada menit tersebut, reaksi pembakaran yang terjadi adalah pelet melepaskan uap air dan gas-gas (CO, CO2, CH4 dan H2) dan bahan mudah menguap pada pelet (volatile matter) mulai terbakar dan terjadi reaksi yang menghasilkan panas. Pada tahap tersebut pembakaran belum terjadi secara sempurna atau dapat dikatakan bahwa reaksi belum berada pada keadaan stoikiometri, salah satunya dikarenakan temperatur pembakaran belum berada pada nilai optimal. Ketika pembakaran dilaksanakan pada temperatur yang rendah, maka CO yang dihasilkan akan bernilai tinggi. Pada saat tersebut CO yang dihasilkan tinggi maka CO2 yang dihasilkan akan bernilai rendah. Pada menit ke-20 dan 25, konsentrasi CO mulai menurun. Hal ini disebabkan karena pada saat tersebut reaksi pembakaran sudah terjadi secara sempurna atau sudah pada keadaan stoikiometri, sehingga konsentrasi CO akan menurun dan Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
74
konsentrasi CO2 akan meningkat. Pada menit ke-25 dan 30, pelet sudah habis terbakar dan menghasilkan abu, sehingga CO yang dihasilkan berkurang dan pada akhirnya kembali ke nol. 4.6.3 Pembakaran pada Furnace Vs Aplikasi pada Kompor Biomassa Pada penelitian ini, pembakaran biomassa diuji pada furnace dengan mengatur temperatur pada suhu 250oC. Biomassa akan mengalami auto-ignisi dan terbakar hingga menjadi abu. Hal ini berbeda pada aplikasi pembakaran biomassa dengan menggunakan kompor biomassa. Pembakaran biomassa yang terjadi pada kompor tidak bersifat autoignisi, namun menggunakan trigger hingga nyala api terbentuk. Oleh karena itu, waktu tercapainya temperatur puncak pembakaran akan terjadi lebih cepat apabila menggunakan kompor biomassa dibandingkan dengan pembakaran biomassa di dalam furnace. Selain itu, perbedaan lainnya antara pembakaran biomassa pada furnace dan kompor terletak pada suplai udara. Ketika pembakaran dengan furnace, sumber udara yang ada hanyalah udara primer yang terdapat di dalam furnace. Ketika proses oksidasi mulai terjadi, kadar oksigen yang terdapat pada furnace perlahan akan berkurang seiring dengan waktu. Oleh karena itu, pembakaran akan berada pada kondisi miskin oksigen dan menyebabkan pembakaran tidak terjadi secara sempurna. Pada aplikasi kompor biomassa, suplai udara tidak hanya udara primer namun juga terdapat pula udara sekunder. Untuk mempertahankan kondisi kaya oksigen, biasanya pada kompor biomassa dipasang kipas dengan kecepatan tetap selama proses pembakaran. Dengan demikian, bisa dipastikan bahwa kondisi pembakaran pada kompor biomassa jauh lebih kaya oksigen apabila dibandingkan dengan pada pembakaran furnace. Karena kondisi yang kaya akan oksigen inilah, dapat dikatakan pula bahwa pembakaran yang terjadi pada kompor biomassa lebih sempurna dibandingkan dengan pembakaran pada furnace. Oleh karena itu, data temperatur pembakaran yang diperoleh pada uji pembakaran dengan menggunakan furnace di penelitian ini, akan memiliki nilai yang berbeda apabila pembakaran dilakukan dengan menggunakan kompor biomassa. Dapat di prediksikan bahwa data temperatur pembakaran yang diperoleh akan menunjukkan nilai yang lebih tinggi apabila menggunakan kompor biomassa. Selain temperatur pembakaran, nilai Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
75
emisi yang dihasilkan juga akan memiliki perbedaan. Konsentrasi CO2 akan meningkat dan konsentrasi CO akan menurun. Hal ini dikarenakan proses pembakaran terjadi pada keadaan kaya oksigen sehingga akan terjadi pembakaran yang sempurna.
Tabel 4.8. Perbandingan pembakaran pelet kayu kamper pada furnace dan kompor biomasa
Tpuncak Pembakaran o
Furnace a
Kompor Biomasa
Waktu Tercapainya
( C)
Tpuncak Pembakaran (menit)
676,3
24
789
13
Sumber: aNita Handayani, 2010
Dari Tabel 4.8 di atas, dapat kita lihat dengan jelas perbedaan pembakaran biomasa yang dilakukan di furnace dan kompor biomassa. Ketika menggunakan furnace, temperatur puncak pembakaran yang terbentuk adalah 676,3, sedangkan pada kompor biomassa nilainya meningkat hingga mencapai 789oC. Kemudian pada kompor biomassa, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai temperatur puncak pembakaran lebih singkat, yaitu sekitar 13 menit sedangkan pada furnace waktu yang dibutuhkan lebih lama, yaitu sekitar 24 menit. Hal ini membuktikan bahwa proses pembakaran pada kompor biomassa terjadi lebih sempurna dibandingkan proses pembakaran pada furnace.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
BAB 5 KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan, yaitu: 1. Potensi proses konversi yang dapat dilakukan oleh tiap biomassa adalah sebagai berikut; Jerami
: fermentasi, pembakaran langsung
Sekam
: pembakaran langsung, gasifikasi
Kayu kamper
: pembakaran langsung, gasifikasi
Kayu karet
: pembakaran langsung, fermentasi, pirolisis, gasifikasi
Serabut kelapa : pembakaran langsung, gasifikasi TKKS
: pirolisis, fermentasi
Bagas
: pirolisis, fermentasi
2. Total potensi bio-energi yang dapat dihasilkan di Indonesia dari pembakaran langsung pelet biomassa adalah 1238,71 juta GJ/tahun setara dengan 210,36 juta boe/tahun.. 3. Nilai kalor paling tinggi dimiliki oleh serabut kelapa dengan nilai 4161 cal/g 4. Temperatur puncak pembakaran yang paling tinggi ada pada pembakaran pelet jerami dengan nilai 712,2 oC, salah satunya dikarenakan pelet jerami memiliki densitas bulk tertinggi, yaitu 612,21 kg/m3 sehingga energi yang terdapat pada pelet jerami lebih tinggi dibandingkan pelet lainnya dengan volume yang sama. 5. Semakin kecil kadar air maka waktu ignisi biomassa akan semakin cepat pula. Hal ini dikarenakan semakin cepat waktu yang dibutuhkan untuk proses penguapan air dan zat volatil sehingga tercapai waktu ignisi yang lebih cepat. 6. Semakin besar kadar air maka panas yang dihasilkan oleh reaksi pembakaran banyak terserap oleh pengeringan air dalam pelet sehingga temperatur pembakaran dan nilai kalor turun. 7. Pada menit ke 10 dan 15, konsentrasi emisi CO berada pada nilai tertinggi dan konsentrasi CO2 berada pada nilai yang rendah karena pada saat tersebut temperatur pembakaran belum berada pada nilai optimum sehingga reaksi pembakaran belum terjadi sempurna. 76 Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
77
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Kamaruddin. Biomass Energy Potentials And Utilization In Indonesia. Laboratory of Energy and Agricultural Electrification, Department of Agricultural Engineering, IPB. Bogor. 2006. Alhasan, A.M., dkk. Combined effect of nitric acid and sodium hydroxide pretreatments on enzymatic saccharification of rubber wood (Heavea brasiliensis). Int. J. Chem. Technol. 2010, 2: 12-20. Barnes DF, Openshaw K, Smith KR, et al. What Makes People Cook with Biomass cookstove?-A Comparative International Review of Cookstove Programs. Washington DC, The World Bank, 1994. Bhattacharya SC, Albina DO, Khaing AM. Effects of Selected Parameters on Performance and Emission of Biomass-Fired Cookstoves. Biomass and Bioenergy. Thailand. 2002, 23: 387-395. Bhattacharya SC, Albina DO, Salam PA. Emission Factors of Wood and Charcoal-Fired Cookstoves. Biomass and Bioenergy. Thailand. 2002, 23: 453-469. Dawson, L. 2005. Optimization of Pretreatment Conditions for High Efficiency Ethanol Production from Post-harvest Sugarcane Residue. M.S. Thesis submitted to Nicholls State University, Thibodaux, LA. Endah L., Dwi. 2009. Perancangan Bahan Bakar Biomassa dengan Heating Value Tinggi dan Emisi Rendah untuk Masyarakat Urban. DTK FTUI. European Biomass Industry Association. www.eubia.org. 1 Maret 2009. 12:05 WIB. Handayani, Nita. 2010. Perancangan Kompor Biomassa untuk Masyarakat Urban dengan Prinsip Heat Recovery dan Integrasi Sistem Knock-Down pada Cerobong. DTK FTUI. He, Yanfeng. Physicochemical Characterization of Rice Straw Pretreated with Sodium Hydroxide in the Solid State for Enhancing Biogas Production. Energy & Fuels. 2008 Holman JP. Heat Transfer. Singapore: McGraw Hill Book Company, 1981. Incropera FP, DeWitts DP. Fundamentals of Heat and Mass Transfer. New York: John Wiley & Sons, 1981. Isroi.
“Karakteristik Lignosellulosa Sebagai Bahan Baku http://www.isroi.wordpress.com. 20 Maret 2009. 19:00 WIB.
Etanol”.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
78
Jorapur, Rajeev dan Anil K. Rajvanshi. Sugarcane Leaf-Bagasse Gasifiers for Industrial Heating Applications. Biomass and Bioenergy. 1997, 13(3): 141-146. Kirk and Othmer. Encyclopedia of Chemical Technology, “Fuels from Biomass”. Third Edition. USA: John Wiley & Sons Inc. 1990, 12: 16-103. Kirk and Othmer. Encyclopedia of Chemical Technology, “Fuels from Waste”. Third Edition. USA: John Wiley & Sons In. 1990, 12:110-124. Kirk and Othmer. Encyclopedia of Chemical Technology, “Wood”.Third Edition. USA: John Wiley & Sons Inc. 1990, 25: 627-659. Laohalidanond, Krongkaew. The Production of Synthetic Diesel from Biomass. KMITL Sci. Tech. J. Vol. 6 No. 1 Jan. - Jun. 2006. Li, Jianfen, dkk. Influence of Temperature on the Formation of Oil from Pyrolyzing Palm Oil Wastes in a Fixed Bed Reactor. Energy & Fuels. 2007, 21: 2398-2407. Mani, Sudhagar, dkk. Effects of Compressive Force, Particle Size and Moisture Content on Mechanical Properties of Biomass Pellets from Grasses. Biomass & Bioenergy. 30. 2006. pp 648-654. National Renewable Energy Laboratory (NREL). “Survey of Biomass Resource Assessments and Assessment Capabilities in APEC Economies”. Colorado. 2008. Niedziolka, Inacy. et. al. Characteristics of Pellet Produced From Selected Plant Mixes. Ol Pan, 8: 157 – 162. 2008. Nurhayati, Tjutju, dkk. Progress in the Technology of Energy Conversion from Woody Biomass in Indonesia. For. Stud. China. 8(3). 2006. pp 1-8. P.D. Grover & S.K. Mishra. Biomass Briqueting: Technology and Practices. FAO Regional Wood Energy Development Programme in Asia, Bangkok, Thailand. April 1996. Pambudi, Agung Nugroho. “Energi Berkelanjutan Itu Bernama Biomassa”. http://www.netsains.com. 10 Februari 2009. 20:00 WIB. Parikh, Jigisha, S.A. Channiwala, dan G.K. Ghosal. A Correlation for Calculating HHV from Proximate Analysis of Solid Fuels. Fuel. 2005, 84: 487–494. Quaak, Peter. 1999. Energy From Biomass: a Review of Combustion and Gasification. USA. Ranzi, Eliseo, dkk. Chemical Kinetics of Biomass Pyrolysis. Energy & Fuels. 2008, 22: 4292-4300.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
79
Shaw M.D., dkk. Physicochemical Characteristics of Densified Untreated and Stteam Exploded Poplar Wood and Wheat Straw Grinds. Biosystems Engineering. 2009. pp 1-10. Smith, Kirk R. Biomass Combustion and Indoor Air Pollution. in: Environmental Management. No. 10. 1987. Snell, R., Mott. L., Suleman, A. Sule, A. & Mayhead, G. 2005. Potassium-based pulping regimes for oil palm empty fruit bunch material. BC Paper, The BioComposites Centre, University of Wales, Bangor, Gwynedd, UK. Teng, Hsisheng dan Yun-Chou Wei. Thermogravimetric Studies on the Kinetics of Rice Hull Pyrolysis and the Influence of Water Treatment. Ind. Eng. Chem. Res. 1998, 37: 3806-3811. United Nations Energy. “The Energy Challenge for Achieving the Millennium Development Goals”. UN-Energy, 2005. United Nations Environment Programme. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia. 2006. Uzun, Basak Burcu, dkk. Rapid Pyrolysis of Olive Residue. 1. Effect of Heat and Mass Transfer Limitations on Product Yields and Bio-oil Compositions. Energy & Fuels. 2007, 21: 1768-1776. Zhang, Suping, dkk. Process Modeling and Integration of Fuel Ethanol Production from Lignocellulosic Biomass Based on Double Acid Hydrolysis. Energy & Fuels. 2009. ZREU (Zentrum fur Rationell Energieanwendung and Umwelt GmbH), 2000. Biomass in Indonesia-Business.
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
80
LAMPIRAN 1 PERHITUNGAN DENSITAS DAN MASSA
Volume Bejana: 100 mL Volume Pelet: 22/7 x (0,4:100)2 x 0,02 = 1,0057 x 10-6 m3
Perhitungan Densitas Pelet: Perhitungan Densitas Bulk Pelet: Perhitungan Densitas Bulk Serbuk Biomassa:
1. Densitas Bulk Serbuk Biomassa Jenis Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Densitas Bulk 3 (kg/m ) 154,90 374,80 304,40 290,67 83,33 205,71 122,50
2. Massa dan Densitas Bulk Pelet Biomassa Jenis Pelet Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Massa Pelet (g) 1,11 1,07 1,10 1,11 0,99 1,04 1,01
Densitas 3 (kg/m ) 1106,78 1065,71 1094,74 1100,71 981,39 1036,97 1001,68
Densitas Bulk 3 (kg/m ) 612,21 589,49 605,55 608,85 542,85 573,60 554,07
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
81
LAMPIRAN 2 HASIL ANALISA PROKSIMAT DAN ULTIMAT
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
82
LAMPIRAN 3 HASIL ANALISIS NILAI KALORI
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
83
LAMPIRAN 4 HASIL ANALISIS KANDUNGAN BIOPOLIMER
Jenis Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
Lignin (%Dry Base)
Cellulose (%Dry Base)
HemiCellulose (%Dry Base)
Kadar Ekstraktif
12,87 26,11
40,54 35,31
20,80 22,60
3,811
26,01 22,68
35,97 47,89
20,57 26,88
1,923
35,57 18,27 21,98
26,93 45,38 39,29
25,49 23,97 27,63
1,735
2,199
1,694
1,932 3,391
Kadar Holoselulosa
61,3395 57,9100 56,5429 74,7786 52,4233 69,3506 66,9199
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
84
LAMPIRAN 5 PERHITUNGAN NILAI KALORI TEORITIS
HHV (kJ/g) = 0.3491C + 1.1783 H - 0.1034 O - 0.0211 A + 0.1005 S -0.0151 N Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Serabut Kelapa TKKS Bagas
HHV (kJ/g) 13,70 13,11 17,79 17,87 18,55 17,69 18,49
HHV (cal/g) 3271,49 3130,80 4249,74 4267,44 4431,32 4226,28 4417,05
4400
HHV Percobaan (cal/g)
4200 4000
Jerami Sekam
3800
Kayu Kamper
3600
Kayu Karet
3400
Serabut Kelapa
3200
TKKS Bagas
3000 3000,00
3500,00
4000,00
4500,00
5000,00
HHV Teoritis (cal/g)
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
85
LAMPIRAN 6 DATA TEMPERATUR PEMBAKARAN PELET BIOMASSA
Jerami t (menit) T (C) 0 28,4 1 30,1 2 37,8 3 49 4 60,4 5 70,9 6 80,6 7 90,4 8 102,3 9 119,7 10 144,2 11 175,1 12 204,7 13 229,5 14 258 15 307,1 16 372,3 17 533,5 18 606,1 19 644,2 20 674,8 21 700,2 22 712,2 23 701,5 24 677,6 25 575,9 26 390,6 27 312,6 28 290,8 29 277,2 30 255,7 31 255,7 32 33 34 35
Sekam t (menit) T (C) 0 28 1 56 2 91,1 3 118,6 4 147,8 5 180 6 206,1 7 224 8 235,2 9 243 10 255,7 11 270,9 12 300,1 13 332,4 14 463,8 15 579,8 16 623,2 17 638,4 18 611,3 19 519,1 20 307,3 21 286,7 22 263,7 23 258,5 24 256,9 25 256,2 26 255,7 27 255,5 28 255,7 29 255,7 30 255,7 31 32 33 34 35
Kayu Kamper t (menit) T (C) 0 32 1 56 2 70,2 3 102,3 4 132,7 5 159,5 6 188,4 7 213,3 8 233,3 9 248,4 10 261,1 11 287,4 12 305,2 13 331,9 14 367,7 15 391,3 16 409,5 17 453,9 18 529,8 19 586 20 624,2 21 657 22 667,2 23 674,5 24 676,3 25 667,7 26 644,3 27 591,4 28 451,4 29 387,2 30 320 31 281,7 32 277,3 33 265,4 34 255,7 35 255,6
Kayu Karet t (menit) T (C) 0 27 1 57,2 2 79,7 3 100 4 124,7 5 155,9 6 186 7 205,3 8 221,6 9 241,4 10 267,6 11 307,6 12 346,8 13 382,4 14 412 15 444 16 481 17 537,3 18 599,3 19 625,6 20 655,6 21 678,4 22 687 23 678,7 24 663,6 25 634,3 26 565,1 27 421 28 360,4 29 311,4 30 287,3 31 263,4 32 253,1 33 34 35
Serabut Kelapa t (menit) T (C) 0 28,5 1 83,6 2 103,4 3 130,8 4 163,8 5 195,1 6 218,3 7 239 8 278,3 9 361,3 10 514,1 11 583,8 12 611,9 13 625,1 14 637,7 15 649 16 660,4 17 673,1 18 684 19 690,2 20 688,1 21 675,2 22 622 23 446,9 24 323,1 25 247,2 26 245,4 27 244,7 28 244,4 29 244,4 30 244,4
TKKS t (menit) T (C) 0 28 1 79 2 105,8 3 127,5 4 154,5 5 182,1 6 204,7 7 221,6 8 237,3 9 257,4 10 303,2 11 357,4 12 403,4 13 489,2 14 545,8 15 568,5 16 582,6 17 595,2 18 606,2 19 613,2 20 626,7 21 619,6 22 593 23 556,4 24 521,1 25 486,7 26 448,7 27 401,3 28 330,3 29 253,1 30 247,2 31 32 33 34 35
Bagas t (menit) T (C) 0 28 1 79 2 110,9 3 140,2 4 173,2 5 203 6 225 7 240,7 8 253,4 9 269 10 296,5 11 329,6 12 362,5 13 419 14 489,4 15 536,7 16 560,1 17 571,4 18 576,5 19 574,9 20 569,5 21 551,8 22 544,7 23 526,1 24 497,3 25 441,9 26 267,4 27 257,1 28 250,8 29 250,7 30 250,7
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
700
800 700 600 500 400 300 200 100 0
600 Temperatur (oC)
Temperatur (oC)
86
500 400 300 200 100 0
0
20 Waktu (menit)
40
0
800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
20 Waktu (menit)
800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
40
Kayu Kamper
20 Waktu (menit)
40
Kayu Karet
800 700 600 500 400 300 200 100 0
700 Temperatur (oC)
Temperatur (oC)
40
Sekam
Temperatur (oC)
Temperatur (oC)
Jerami
20 Waktu (menit)
600 500 400 300 200 100 0
0
20 Waktu (menit)
Serabut Kelapa
40
0
20 Waktu (menit)
40
TKKS
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
87
700
Temperatur (oC)
600 500 400 300 200 100 0 0
10
20
30
40
Waktu (menit)
Bagas
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
88
LAMPIRAN 7 DATA KALIBRASI CO DAN CO2 1. Laju Alir Gas Inert (Ar) No 1 2 3
Vol (mL) 5 5 5
Laju alir Ar t (s) v (mL/s) 4,45 1,12 4,63 1,08 4,54 1,10
mL/min 67,42 64,79 66,08
rata2 66,10
2. Kalibrasi CO2 RT = 5,2 No
Vol (mL)
1 2 3 4 5
Peak Area 1 0,8 0,6 0,4 0,2
206338 152525 102724 75201 25745
Concentration (%) 95,48 95,29 93,7 94,19 95,33
3. Kalibrasi CO RT = 1,6 No 1 2 3 4 5
Vol (mL)
Peak Area 1 0,8 0,6 0,4 0,2
356811 283903 193914 117288 55655
Concentration (%) 98,24 97,76 96,8 95,91 92,03
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
89
Kalibrasi CO2 1,2 y = 5E-06x + 0,091
Volume (mL)
1 0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
50000
100000
150000
200000
250000
Peak Area
Kalibrasi CO 1,2
Volume (mL)
1 y = 3E-06x + 0,077
0,8 0,6 0,4 0,2 0 0
50000 100000 150000 200000 250000 300000 350000 400000 Peak Area
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
90
LAMPIRAN 8 PENGOLAHAN DATA EMISI PEMBAKARAN
Data Emisi CO dengan Portable CO-detector Jenir Biomassa Jerami Sekam Kayu Kamper Kayu Karet Kelapa Kelapa sawit Tebu
0 0 0 0 0 0 0 0
5 21 40 57 31 43 33 26
Konsentrasi CO menit ke- (ppm) 10 15 20 25 30 434 999 88 59 28 999 615 71 46 40 999 399 257 56 27 999 493 157 43 20 999 490 114 39 31 999 379 282 248 23 999 577 294 167 49
40 0 0 0 0 0 0 0
Data Peak Area No
Jenis Biomassa
1
Jerami
2
Sekam
3
Kamper
4
Karet
5
Serabut Kelapa
6
TKKS
7
Tebu
Komponen
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2
Menit Ke10 20 272169 75603 343 1718 233537 76321 206 1377 227338 61237 912 2117 211198 72304 367 1827 213822 65423 843 1854 209928 56720 745 2047 138073 58902 347 2093
30 34211 1017 35233 213 30251 478 21698 513 32467 317 30436 717 30624 567
Data Volume (mL) No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Biomassa
Komponen
Jerami
CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2
Sekam Kamper Karet Serabut Kelapa TKKS Tebu
0
0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Menit Ke10 0,886507 0,092715 0,770611 0,09203 0,752014 0,09556 0,688594 0,092835 0,696466 0,095215 0,684784 0,094725 0,781365 0,092735
20 0,296809 0,09959 0,298963 0,097885 0,253711 0,101585 0,271912 0,100135 0,251269 0,10027 0,22516 0,101235 0,38551 0,101465
30 0,172633 0,096085 0,175699 0,092065 0,160753 0,096085 0,120094 0,09959 0,152401 0,092585 0,146308 0,094585 0,24412 0,093835
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
91
Data Massa (mg) P.V = n.R.T P = 1 atm T = 27oC = 300 K R = 83,14 atm.L/mol.K Mr CO2 = 44,01 Mr CO = 28,01
No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Biomassa Jerami Sekam Kamper Karet Serabut Kelapa TKKS Tebu
Komponen CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2 CO CO2
10 0,001009 0,000166 0,000877 0,000165 0,000856 0,000171 0,000784 0,000166 0,000792 0,00017 0,000779 0,000169 0,000889 0,000166
Menit Ke20 0,000338 0,000178 0,00034 0,000175 0,000289 0,000182 0,000309 0,000179 0,000286 0,000179 0,000256 0,000181 0,000439 0,000181
30 0,000196 0,000172 0,0002 0,000165 0,000183 0,000172 0,000137 0,000178 0,000173 0,000166 0,000166 0,000169 0,000278 0,000168
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
92
LAMPIRAN 9 PERHITUNGAN POTENSI PELET BIOMASSA DI INDONESIA
Faktor konversi: # 1 toe = 41,868 GJ # 1 toe = 7.11, 7.33, or 7.4 barrel of oil equivalent (boe)
Jumlah Limbah (Juta ton/Tahun)
HHV (MJ/kg)
Jerami
49
13,23
Produksi Pelet Biomassa (Juta ton/ Tahun) 44,1
Sekam Kayu Kamper
13,5
13,49
12,15
8,3
16,87
Kayu Karet Serabut Kelapa
2,8
Potensi BioEnergi (Juta GJ/ Tahun) 583,63
Crude Oil Equivalent 6 (10 toe/ Tahun)
Crude Oil Equivalent 6 (10 boe/ Tahun)
13,94
99,11
163,86
3,91
27,83
7,47
126,03
3,01
21,40
16,85
2,52
42,46
1,01
7,21
6,7
17,48
6,03
105,38
2,52
17,90
TKKS
12,9
16,66
7,74
128,93
3,08
21,89
Bagas
8,5
17,34
5,1
88,42
2,11
15,02
85,11
1238,71
29,59
210,36
Jenis Biomassa
TOTAL
Keterangan: Nilai Konversi Produksi Pelet selain TKKS dan Bagas: 90% Nilai Konversi Produksi Pelet untuk TKKS dan Bagas: 60% Faktor loss Produksi Pelet selain TKKS dan Bagas: 10% (proses pengeringan, proses reduksi partikel,dll) Faktor loss Produksi Pelet untuk TKKS dan Bagas: 40% (proses pengeringan, proses reduksi partikel,dll) Produksi Pelet Biomassa: Produksi Pelet Biomassa selain TKKS dan Bagas:
Produksi Pelet Biomassa untuk TKKS dan Bagas:
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010
93
Potensi Bio Energy:
Cadangan Minyak di Indonesia
Produksi Minyak di Indonesia
Universitas Indonesia
Identifikasi karakteristik..., Hanani Fisafarani, FT UI, 2010