I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami oleh negara-negara di Asia Tenggara sejak pertengahan tahun 1997. Pilihan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa sektor pertanian telah berulang kali membuktikan diri sebagai sektor yang tahan terhadap krisis perekonomian dan merupakan suatu aset kekayaan dasar bagi kesejahteraan masyarakat serta bagi kegiatan pembangunan perekonomian secara keseluruhan. Di samping itu resources based negara Indonesia memang terletak pada sektor-sektor primer (termasuk pertanian dalam arti luas), baik dari sisi kelimpahan potensi sumber daya alam maupun besarnya potensi tenaga kerja yang tersedia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus tetap mengembangkan sektor pertanian karena mempunyai peranan penting sebagai penghasil bahan makanan, penghasil devisa, memberikan kesempatan kerja dan juga sebagai pasar bagi produk-produk industri. Bidang peternakan sebagai salah satu sub sektor dari sektor pertanian merupakan bidang usaha yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Hal ini terkait dengan kesiapan sub sektor peternakan dalam menyediakan bahan pangan hewani masyarakat, mutlak untuk perkembangan dan pertumbuhan. Kandungan gizi hasil ternak dan produk olahannya sampai saat ini mempunyai nilai yang lebih baik dibandingkan dengan kandungan gizi asal tumbuhan. Dalam rangka mencapai tujuan pembangunan peternakan untuk memenuhi kebutuhan gizi, maka pembangunan peternakan saat ini, telah diarahkan
pada pengembangan peternakan yang lebih maju melalui pendekatan kewilayahan, penggunaan teknologi tepat guna dan penerapan landasan baru yaitu efisiensi, produktivitas dan berkelanjutan (sustainability). Di samping itu, pembangunan sub sektor peternakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan pertanian, harus dilaksanakan secara bertahap dan berencana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan antara lain melalui peningkatan produksi ternak sehingga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat peternak dari waktu ke waktu. Untuk itu, pemerintah perlu mendorong peternak agar tetap mampu bersaing baik pada skala lokal, regional, nasional maupun internasional (Saragih, 2000). Sejalan dengan itu, sektor pertanian pun masih menjadi salah satu sektor strategis dalam perekonomian Indonesia, yang ditunjukkan oleh kontribusinya terhadap PDB nasional seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1. Kontribusi PDB sektor pertanian termasuk perikanan dan kehutanan dalam kurun waktu 2004-2009 ialah sebesar (13-15 persen) dari nilai total PDB nasional. Angka tersebut dapat dikatakan relatif besar, mengingat kontribusi sektor pertanian tersebut menempati urutan ketiga setelah sektor industri pengolahan (sekitar 27 persen) dan sektor perdagangan, hotel dan restaurant yang mencapai 16 persen. Pada tahun 2008, kontribusi sektor pertanian bahkan berada pada urutan kedua di bawah sektor industri pengolahan. Perkembangan sub sektor peternakan tersebut, dapat terlihat dari persentase kontribusi sub sektor peternakan terhadap PDB sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan yang relatif stabil berada dikisaran 12 persen. Salah satu jenis usaha pada sub sektor peternakan yang cukup mendapat perhatian yaitu usaha sapi perah yang dikembangkan untuk memenuhi permintaan susu yang semakin meningkat dari tahun ke tahun dan juga melihat tendensi
pertambahan jumlah penduduk, pendapatan dan meningkatnya kesadaran sebagian masyarakat akan pentingnya gizi. Tabel 1. Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (Persentase) LAPANGAN USAHA
2004
2005
2006
2007
2008*
2009**
Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan
14,34
13,13
12,97
13,71
14,46
15,29
Tanaman Bahan Makanan
50,30
49,79
49,48
48,92
48,85
48,82
Tanaman Perkebunan
15,08
15,50
14,63
15,07
14,80
13,11
Peternakan
12,35
12,14
11,79
11,32
11,55
12,12
Kehutanan
6,16
6,20
6,94
6,67
5,64
5,24
Perikanan
16,11
16,38
17,16
18,03
19,17
20,71
Pertambangan dan Penggalian
8,94
11,14
10,98
11,17
10,92
10,54
Industri Pengolahan
28,07
27,41
27,54
27,06
27,89
26,38
Listrik, Gas, & Air Bersih
1,03
0,96
0,91
0,88
0,82
0,83
Konstruksi
6,59
7,03
7,52
7,73
8,48
9,89
Perdagangan, Hotel & Restoran
16,05
15,56
15,02
14,92
13,97
13,37
Pengangkutan dan Komunikasi
6,20
6,51
6,93
6,69
6,31
6,28
Keuangan, Real Estate & Jasa Perusahaan
8,47
8,31
8,06
7,73
7,43
7,20
Jasa-jasa
10,32
9,96
10,07
10,11
9,73
10,22
100
100
100
100
100
100
Produk Domestik Bruto
*angka sementara **angka sangat sementara Sumber : BPS (2009) (diolah)
Pada perkembangannya, sub sektor peternakan dituntut untuk berperan serta dalam rangka pemenuhan kebutuhan gizi dengan meningkatkan produksi melalui proses pengembangan budi daya. Meskipun produksi susu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan tetapi belum bisa mengimbangi pertumbuhan permintaan susu di dalam negeri yang mencapai 1,5 miliar liter per tahun dimana 67 persen masih harus diimpor karena peternak sapi lokal hanya mampu menghasilkan sekitar 500 juta liter susu per tahun. Hal ini menunjukkan antara persediaan dan permintaan susu di Indonesia terjadi kesenjangan yang cukup besar. Kebutuhan atau permintaan jauh lebih besar daripada ketersediaan susu yang ada sehingga menyebabkan tingginya tingkat impor terutama untuk susu.
Tingginya tingkat impor terutama pada sektor peternakan dapat dilihat pada Tabel 2, dimana dapat diketahui bahwa dalam kurun 2006-2008, sektor peternakan masih menyumbang tingkat impor yang cukup tinggi bila dibandingkan dengan tingkat ekspornya. Tabel 2. Neraca Ekspor-Impor Subsektor Peternakan Indonesia 2006-2008 TAHUN 2006 2007 2008
EKSPOR VOLUME NILAI 198.407 388.939 458.900 748.531 413.770 782.992
IMPOR VOLUME NILAI 880.430 1.190.396 950.518 1.695.459 733.951 1.653.914
NERACA VOLUME NILAI -682.023 -801.457 -491.618 -946.928 -320.181 -870.922
Sumber : BPS (2009)
Tingginya tingkat konsumsi susu Indonesia yang relatif meningkat dari tahun ke tahun, ternyata bila dibandingkan dengan konsumsi susu negara lainnya di kawasan Asia Tenggara, tingkat konsumsi susu penduduk Indonesia masih terbilang sangat rendah. Hal ini diketahui dari tingkat konsumsi susu yang hanya 10 liter per kapita per tahunnya, yang artinya penduduk Indonesia dalam satu tahun rata-rata hanya minum 55 gelas susu. Tingginya tingkat impor produk susu tersebut tidak lain juga karena disebabkan oleh fluktuasi harga susu dunia yang tentu saja akan berpengaruh terhadap harga susu lokal. Saat ini, harga susu dunia berada pada level 3000-4000 US Dollar per ton. Sementara untuk di tingkat lokal sendiri, rata-rata mengalami penurunan hingga Rp. 200 per liternya. Penurunan harga dikarenakan daya serap susu oleh IPS (Industri Pengolahan Susu) yang menurun karena harga susu impor lebih menguntungkan dibandingkan dengan membeli susu dari peternak/koperasi. Walaupun terdapat perbedaan harga antara harga susu lokal dengan harga susu dunia, tetapi masyarakat cenderung untuk lebih mengkonsumsi produk susu impor karena masyarakat relatif lebih mempercayai kualitas susu impor. Dengan perbedaan yang tentunya tidak terlalu signifikan tetapi tingkat impor
yang masih relatif tinggi jelas berakibat kepada rendahnya kesejahteraan peternak sapi perah. Belum lagi bila ditambah dengan peraturan pemerintah mengenai bea masuk susu impor yang relatif sangat rendah bahkan mendekati nihil, sehingga membuat tingginya peredaran susu impor di kalangan masyarakat. Selain permasalahan dari segi impor susu yang relatif banyak serta rendahnya tingkat harga yang diterima oleh peternak. Kendala lain yang dihadapi peternak sapi perah ialah biaya produksi peternak yang cenderung terus meningkat. Misalnya, biaya pakan konsentrat berkisar antara Rp 1.600-Rp 2.000 per kilogram, padahal pada runtun waktu 2006-2007 sebelum kenaikan harga komoditas, biaya pakan konsentrat pada kisaran Rp 1.000-Rp 1.200 per kilogram. Lebih lanjut lagi, jika bahan baku susu di industri dan peternak turun Rp 100-Rp 200 per liter dan harga pakan konsentrat naik Rp 100-Rp 200 per kilogram, maka tingkat keuntungan peternak menurun pada kondisi saat ini, dari 18,3 persen menjadi 7,7 persen. Sementara industri persusuan tingkat keuntungannya meningkat dari 46,1 persen menjadi 52,1 persen dan pedagang ritel pun tingkat keuntungannya meningkat dari 27,5 persen menjadi 31,1 persen. Kenyataan ini memberikan indikasi bahwa dampak kebijakan insentif stimulus fiskal tersebut hanya menguntungkan IPS dan pedagang ritel. Kondisi ini tidak menciptakan iklim kondusif bagi pembangunan peternakan nasional (Ditjennak, 2009). Oleh karena itu, seluruh aktor yang terlibat dalam industri susu harus terus berupaya untuk selalu melakukan introspeksi dan melakukan pengembangan sehingga dapat meminimalisir segala bentuk hambatan yang terjadi dan pada akhirnya tentu dapat meningkatkan kesejahteraan semua pihak. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan senantiasa selalu melakukan analisis rantai nilai, dimana seluruh aktor yang
terlibat dalam kegiatan perusahaan dianalisis secara mendetail untuk mengetahui dimana titik terlemah dalam kegiatan perusahaan. Analisis rantai nilai pun bertujuan untuk meminimalisir berbagai hambatan yang terjadi, dan ketika perusahaan mengetahui dimana titik yang menjadi hambatan bagi perusahaan, maka perusahaan dapat dengan segera untuk melakukan perbaikan bukan hanya dari segi produksi, melainkan perbaikan dari semua bagian, baik dari segi process, product, functional, channel, serta intersectoral. Cisarua Mountain Dairy atau yang biasa dikenal sebagai Cimory, sudah paham mengenai berbagai hambatan yang selama ini menghadang industri susu. Sebagai salah satu pemain lama dalam industri susu, bukan menjadi jaminan bila Cimory dapat mengatasi seluruh hambatan tersebut. Apalagi, dengan kondisi Cimory saat ini, yang sama sekali tidak memiliki sapi perah sendiri dan sangat bergantung kepada para peternak sekitar, sehingga membuat Cimory merasakan dampak secara tidak langsung bila terjadi goncangan yang menghambat perkembangan peternak sapi perah. Berdasarkan kondisi Cimory tersebut, ditambah dengan visi dan misi perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak sapi perah, maka sudah sewajarnya bila perusahaan terus berupaya memberikan proses maksimal agar pada akhirnya dapat dinikmati oleh peternak sapi perah. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi dari rantai nilai Cimory secara keseluruhan, dimana dengan menggunakan analisis rantai nilai, perusahaan dapat mengetahui dengan pasti dimana titik terlemah yang menjadi hambatan perusahaan selama ini. Ditambah dengan adanya regulasi pemerintah yang semakin mengizinkan adanya peredaran susu impor, tentunya analisis rantai nilai ini dapat berguna bagi perusahaan setidaknya untuk terus dapat
konsisten bersaing dengan produk lokal lainnya. Selain dengan menggunakan analisis rantai nilai, penelitian ini juga akan menggunakan analisis pengelolaan rantai nilai, dimana dengan menggunakan analisis rantai nilai, perusahaan dapat meningkatkan loyalitas serta kerjasama yang terjalin diantara berbagai aktor yang terlibat sehingga ke depannya bisa tercipta hubungan yang lebih baik. 1.2. Rumusan Masalah Seiring dengan adanya tuntutan mengenai hidup sehat yang berdampak terhadap peningkatan kebutuhan konsumsi susu masyarakat, maka Cimory sebagai salah satu pemain dalam industri pengolahan susu, diharuskan untuk selalu melakukan inovasi dalam pengembangan produk olahan. Proses inovasi tersebut menjadi penting, mengingat produk olahan yang dihasilkan oleh Cimory yang berupa susu pasteurisasi, memiliki tingkat kadaluarsa yang cukup cepat. Hal ini menyebabkan Cimory harus bisa memaksimalkan pasokan susu segar yang ada dengan menciptakan produk olahan dengan tingkat kadaluarsa yang lebih lama, salah satunya yakni memaksimalkan produk olahan keju, yang diyakini semakin lezat bila susu yang digunakan telah melalui proses penyimpanan yang cukup lama. Selain masalah inovasi tersebut, terbatasnya pasokan susu segar dari peternak yang dikirim ke Cimory, dapat menghambat produktivitas dari Cimory. Dengan adanya informasi dari pihak manajemen Cimory bahwa hingga saat ini, pasokan susu segar yang dikirim ke Cimory masih di bawah kapasitas produksi dari Cimory, sehingga masih dibutuhkan pasokan susu segar yang diharapkan dapat terus meningkat. Apalagi dengan rencana pihak Cimory yang berencana untuk melakukan ekspansi pabrik pengolahan susu segar ke daerah Sentul dengan kapasitas yang lebih tinggi, yang tentunya membutuhkan
lebih banyak pasokan susu segar dari peternak. Selain itu, beragamnya kualitas dari susu segar yang dihasilkan oleh peternak menjadi hambatan tersendiri bagi Cimory, mengingat adanya keterbatasan modal serta teknologi yang digunakan oleh para peternak sapi perah yang terbilang masih di bawah rata-rata standar normal. Hal ini tentunya akan berdampak terhadap beragamnya kualitas susu segar yang dihasilkan oleh para peternak, yang secara tidak langsung tentunya akan berdampak terhadap tingkat harga yang didapatkan oleh para peternak sapi perah disesuaikan dengan kualitas dari pasokan sapi perah tersebut. Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, menjadi sangat menarik bila penelitian ini berupaya untuk menganalisa mengenai analisis rantai nilai dari Cimory. Beberapa perumusan masalah dari penelitian ini ialah : 1. Bagaimana peta rantai nilai yang diterapkan oleh Cimory saat ini ? 2. Bagaimana pengelolaan rantai nilai yang dilakukan oleh Cimory ? 3. Bagaimana tingkat efisiensi produksi para peternak pemasok Cimory ? 4. Atribut apa sajakah yang menjadi penghambat dalam rantai nilai Cimory ? 5. Strategi apakah yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hambatan yang dialami oleh Cimory ? 1.3. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini ialah : 1. Memetakan rantai nilai produk olahan susu segar di Cimory. 2. Menganalisa pengelolaan rantai nilai produk olahan susu segar yang dilakukan oleh Cimory. 3. Menganalisa tingkat efisiensi produksi para peternak pemasok Cimory. 4. Menganalisa atribut-atribut yang menjadi hambatan bagi Cimory.
5. Merumuskan strategi yang tepat untuk meminimalisir hambatan yang dialami oleh Cimory.
Untuk Selengkapnya Tersedia di Perpustakaan MB-IPB