1
I . PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Demokrasi merupakan sebuah wacana yang dikembangkan dengan tujuan untuk menampung aspirasi yang terdapat dalam masyarakat. Secara sederhana demokrasi dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh rakyat, pemerintahan demokrasi adalah milik rakyat, dijalankan oleh rakyat dan diperuntukkan untuk rakyat. Pemilihan umum merupakan bagian dari perwujudan hak-hak asasi yaitu kebebasan berbicara dan berpendapat, juga kebebasan berserikat, melalui pemilihan ini pula rakyat membatasi kekuasaan pemerintah, sebab setiap
pemilih dapat menikmati kebebasan yang
dimilikinya tanpa intimidasi dan kecurangan yang membuat kebebasan pemilih terganggu.
Salah satu pertimbangan peralihan mekanisme pilkada oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi pilkada langsung adalah untuk memangkas adanya politik transaksional atau lebih dikenal dengan politik uang (money politics), pada prakteknya calon tidak punya kemampuan untuk membeli suara rakyat yang jumlahnya banyak. Namun, pada kenyataannya dengan adanya pemilihan secara langsung dimanfaatkan oleh calon kepala daerah untuk mempengaruhi masyarakat dengan cara-cara yang tidak diperkenankan dalam aturan pilkada yang berlaku.
2
Sewaktu pemilihan kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah politik uang juga mengemuka namun dalam pilkada secara langsung semakin meluas,
misalnya,
147
warga
Kampung
Bantarpanjang,
Kecamatan
Warudoyong, Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta pilkada (Kompas, 10 April 2008).
Uang ini digunakan mulai dari menentukan partai politik pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya mempengaruhi pilihan masyarakat. Haris mengatakan bahwa partai politik dalam mengusung calon di pemilihan kepala daerah lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang bersangkutan. Rekrutmen lebih terkesan para sang calon yang membutuhkan “perahu” partai politik (www.komunitasdemokrasi.or.id/pilkada, diunduh tanggal. 27 Maret 2014).
Disebutkan harga yang dipatok oleh partai politik antara Rp 1 miliar hingga 2 miliar bagi satu calon bupati yang didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (Kompas, 19 April 2005). Pada Pemilihan Gubernur Riau seorang kandidat harus menyediakan “uang pinangan” sedikitnya Rp 400 juta per kursi demi mendapatkan “perahu”. Dalam hal ini semakin strategis posisi parpol, jumlah uang lamaran semakin besar (Kompas, 6 Juli 2011).
Pada saat kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan masuknya dana ilegal. Modal yang dimiliki oleh masing-masing kandidat kepala daerah dan wakil kepala daerah cenderung merupakan kombinasi
3
antara modal pribadi dan bantuan donator politik (pengusaha), serta sumbersumber lain (Hidayat, 2006: 276).
Pendanaan berbagai biaya aktivitas kampanye, biaya menyewa pakar political marketing, biaya untuk membangun sarana fisik di kantungkantung pundi, biaya image building dan image bubbling (pensuksesan diri calon) dan banyak lagi), banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon kepala daerah acap kali mencari para pengusaha untuk bergabung sebagai investor politik. Sebagai imbalan investasi atas keikutsertaan mereka (sebagai investor politik) dalam menjayakan calon dalam pilkada, maka para pengusaha dijanjikan akan mendapat banyak hak istimewa (Agustino dan Yusoff, 2010: 25).
Pada dasarnya mereka yang berhutang untuk biaya pilkada, akan membalas jasa melalui berbagai kesepakatan kepada pihak yang mengongkosinya paska pilkada, dan pada akhirnya mengesampingkan aspirasi masyarakat luas. Situasi ini pula yang belakangan melahirkan perilaku korupsi para kepala daerah guna mengembalikan hutang-hutang semasa pilkada, karena seperti pendapat Prasojo, bahwa biaya yang dikeluarkan ini harus diganti oleh uang rakyat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada. Selain secara finansial merugikan masyarakat daerah dengan korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, praktik politik uang juga mencendarai terwujudnya pemilu yang demokratis. Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair elections) adalah pemilu yang bebas dari kekerasan, penyuapan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. (http: //ditpolkom.bappenas.go.id, diunduh tanggal 24 Maret 2014).
Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang permisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di
4
Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek money politics tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya, mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi.
Studi di Kecamatan Suruh misalnya, menemukan bahwa pemberian uang (money politics) sudah biasa berlangsung di tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali asih (Kana, 2001: 9). Perihal politik uang dari sudut pemilih di pilkada, dijelaskan bahwa politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya dialektika untuk mencari nilai-nilai ideal dan membangun visi bersama, lemahnya aturan main, dan seterusnya (Eko, 2004: 48). Pemilih lebih menyukai bentuk kampanye terbuka dan sebagian besar dari mereka menyarankan bagi yang ikut kampanye layak diberi uang saku sekitar Rp 50.000-Rp 100.000 pertiap kampanye (Yani, 2008: 15).
Salah satu politik transaksional dalam Pilkada adalah dengan adanya transaksi material. Transaksi material yang juga sering disebut sebagai politik transaksional. Politik transaksional berarti politik dagang. Ada yang yang diberi dan ada yang menerima. Tentu semuanya membutuhkan alat pembayaran yang ditentukan bersama. Jika dalam jual-beli, maka alat pembayarannya biasanya berupa uang tunai. Dalam beberapa kasus politik, politik transaksional juga berkaitan dengan jabatan dan imbalan tertentu di luar uang.
5
Praktik politik praktis hampir pasti ada politik transaksional, karena pada dasarnya politik adalah kompromi dan sharing kekuasaan. Harus dipahami bahwa dalam politik kenegaraan juga ada istilah pembagian kekuasaan, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia, karena memang politik adalah proses pembagian kekuasaan. Dimana seseorang atau sekelompok orang yang meraih kekuasaan akan berbagi kekuasaan dengan orang lain.
Salah satu bentuk dari politik transaksional dalam Pilkada di Kabupaten Lampung Utara yang paling banyak terjadi di masyarakat adalah seperti pemberian uang, sembako, sarung, media promosi seperti kalender, stiker dan kartu nama bergambar pasangan calon Bupati dan Wakil bupati dan fasilitas umum seperti pembuatan sumur bor dan mesin pertanian kepada kelompok tani. Seperti yang terjadi di Kelurahan Kelapa Tujuh Kecamatan Kotabumi Selatan, menurut salah satu warga yang bernama Jufan yang berstatus mahasiswa disalah satu perguruan tinggi di Lampung dan selaku warga asli di Kelurahan Kelapa Tujuh membenarkan bahwa ia mendapatkan uang sebesar Rp. 100.000 yang disertai oleh gambar salah satu calon bupati yang ikut dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Lampung Utara.
Selain itu penulis sendiri selaku warga di Kabupaten Lampung Utara, menemukan fakta di lapangan bahwa politik transaksional dilakukan oleh oknum mantan Lurah Tanjung Aman yang mengumpulkan warga dan memberikan sarung kepada masyarakat di sekitar Kelurahan Tanjung Aman dengan tujuan untuk memilih salah satu calon Bupati Lampung Utara dan diperkuat dengan putusan dari Pengadilan Negeri Kotabumi Kabupaten
6
Lampung Utara dengan Nomor Putusan 01/Pid.S/Pemilu Kada/2013/PN.KB yang menyatakan dan menindaklanjuti atas kecurangan yang diperbuat. Putusan tersebut menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Megarani Binti M Tohir dengan pidana penjara selama 3 (tiga) Bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) subsidair 10 (sepuluh) hari kurungan, dengan perintah agar terdakwa ditahan.
Politik transaksional yang terjadi di masyarakat pada umumnya dilakukan oleh pihak pemenangan calon kepala daerah kepada masyarakat dengan adanya perjanjian politik baik berupa imbalan materi maupun non materi seperti jabatan tertentu. Terdapat perbedaan pada masyarakat akan politik transaksional yang dilakukan oleh tim pemenganan calon kepala daerah, dimana ada masyarakat yang menerima dan memilih calon tersebut, namun ada juga masyarakat yang menerima tetapi tidak memilih calon tersebut.
Kondisi wilayah mempengaruhi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap politik transaksional yang terjadi pada masa pemilihan calon kepala daerah, dimana masyarakat di perkotaan akan lebih selektif dalam menerima pemberian atau perjanjian yang dilakukan dibandingkan dengan masyarakat yang ada di pedesaan yang lebih banyak menerima politik transaksional yang terjadi.
Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk meneliti fenomena permasalahan
yang terjadi dalam Pilkada Lampung Utara dengan judul
“Politik Transaksional Antara Calon Bupati dengan Masyarakat Pemilih di
7
Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara tahun 2013”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah: “Bagaimana politik transaksional antara calon bupati dengan masyarakat pemilih di Kecamatan Kotabumi Selatan pada Pemilihan Bupati Lampung Utara tahun 2013?”
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menggambarkan Politik Transaksional Antara Calon Bupati dengan Masyarakat Pemilih Di Kecamatan Kotabumi Selatan Pada Pemilihan Bupati Lampung Utara Tahun 2013.
D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah: 1. Secara teoritis, dari penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dalam bidang Akademik mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan dan menambah pengetahuan
politik,
khususnya
yang
berkaitan
dengan
politik
transaksional dalam pemilihan kepala daerah. 2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi masyarakat pada umumnya agar dapat dijadikan bahan evaluasi terhadap pemilihan kepala daerah.