I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejahatan merupakan salah satu fenomena sosial yang selalu ada dan melekat pada setiap kehidupan masyarakat terbebas dari kejahatan. Kejahatan disini dapat dilakukan oleh pelaku dengan tindakan ancaman dan kekerasan. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kejahatan yang dilakukan dengan kekerasan tarhadap perempuan, ini terjadi karena adanya niat tertentu, peluang serta pembentukan psikologi massa yang seolah-olah membolehkan tindakan dilakukan hingga melipat gandakan terjadinya perbuatan tersebut.
Perempuan korban pemerkosaan pada dasamya mengalami penderitaan yang sangat dilematis. Secara fisik, berarti mereka telah hilang keperawanan (Virginitas) atau kemungkinan korban hamil, secara psikis (emosional) pemerkosaan berarti trauma dan penderitaan seumur hidup oleh karena kehilangan harapan akan masa depan. Pandangan masyarakat yang cenderung "menyalahkan korban" (blamed in the victim) semakin membuat korban tidak dipedulikan keberadaannya. Keadaan demikian membuat korban lebih sulit dalam menentukan jalan hidup, korban menjadi tidak berdaya dan putus Korban menjadi tidak bersemangat nasibnya bila tidak mendapat dukungan dari lingkungan sekitar. Peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan makin meningkat dari tahun ketahun, baik secara kualitas maupun kuantitas hal ini ditandai dengan terjadinya tindak pidana pemerkosaan yang disertai tindak pidana lain hal ini seharusnya mulai menjadi masalah serius terutama diwilayah Bandar Lampung, dimana pada tahun 2008 sampai dengan bulan November 2011 ada 71 kasus kekerasan seksual dalam bentuk pemerkosaan.
Angka ini akan bertambah besar dengan kejadian yang tidak terpantau oleh media massa atau korban tidak melaporkan kejadian. Tindakan ini dilakukan karena, rasa malu korban dan keluarga, korban malu dan merasa bahwa proses peradilan pidana terhadap kasus ini tidak menjamin dipidananya pelaku, lebihlebih bila secara sosial maupun ekonomi kedudukan pelaku dan keluarga pelaku lebih tinggi.
Prosedur pemeriksaan sejak dari penyidikan, penuntutan hingga pemeriksaan pengadilan yang harus dilalui oleh korban menambah daftar penderitaan bagi korban karena hanya menjadi saksi dalam hal ini adalah saksi korban. Melihat sudut kepentingan korban, jelas bahwa pendekatan hukum pidana tidak memadai karena mengandung kelemahan-kelemahan prosedural seperti keharusan adanya dua saksi, visum atau alat bukti lain, tetapi hukum pidana juga tidak menaruh perhatian akan penderitaan traumatik pada korban.
Menyikapi peristiwa pemerkosaan yang terjadi, pelaku rata-rata mendapatkan pidana dari 2 (dua) tahun 8 (delapan) bulan atau denda paling banyak lima ratus rupiah pasal 281 KUHP. Pidana ini dirasakan ringan bila dibandingkan dengan derita dan depresi yang dialami korban seumur hidup. Tidak terlepas dari produk hukum yang ada, bahwa hukum masih sarat dengan nilai kekuasaan. Perlu kiranya pengetahuan demi kepastian dan tertib hukum untuk mengembangkan wibawa hukum serta penguasa sebagai abdi dan pengayom masyarakat (Arif Gosita, 1985:41).
Perempuan korban pemerkosaan dapat menuntut ganti kerugian akibat perbuatan pelaku jika perbuatan yang menjadi dasar dakwaan didalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadiian Negeri menimbulkan kerugian bagi korban. Pengajuan dapat dilakukan selambat-
lambatnya sebelum Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana, tetapi masih berlaku pandangan bahwa kalau korban ingin menuntut ganti rugi maka dia (korban) harus menempuh jalan yang tidak mudah dan pada kenyataan hanya sekedar formalitas saja
Berlangsungnnya budaya kekuasaan saat ini menggambarkan hubungan hukum yang tidak menjamin kepastian kepentingan publik, karena seperti apapun kepandaian ahli hukum dalam menyusun hukum tetulis dan memberikan sanksi berat terhadap pelanggaran hukum. Hal ini tetap tidak akan merubah keadaan dimana hukum akan berlaku sejauh hubungan dengan orang yang tidak mampu, sedangkan bagi golongan elit, hukum berada dalam genggaman tangan mereka (Setiawan, 1997;71)
Pasal 285 Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan satu-satunya pasal yang secara eksplisit menyebut kata pemerkosaan. Pasal ini dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak menetukan adanya pidana minunal yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemerkosaan, menurut Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP Pun pidana minimal yang diberikan hanya 3 (tiga) tahun penjara. Hal ini dirasakan masih jauh dari harapan korban pernerkosaan untuk kembali merasa normal dalam kehidupan bermasyarakat selanjutnya.
Atas pemikiran yang telah tetuang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas dan melakukan penelitian skripsi berjudul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Undang Undang nomor 13 Tahun 2006. (Studi Pada Kepolisian Resort Kota Bandar Lampung)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1.
Permasalahan
Permasalahan yang akan diajukan penulis dalam skripsi ini adalah : 1. Bagaimana
perlindungan
hukum
diberikan
terhadap
korban
tindak
pidana
pemerkosaan berdasarkan undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban? 2. Apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan perlindungan hukum?
2.
Ruang Lingkup
Ruang lingkup subtansi penelitian ini tidak terlalu luas dan tersusun secara sistematis maka penulis membatasi ruang Iingkup hukum pidana, terutama mengenai pembahasan permasalahan perlindungan terhadap wanita yang menjadi korban tindak pidana pemerkosaan setelah berlakunya undang-undang nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban beserta peraturan pelaksanaannya. Adapun lokasi penelitian adalah pada kepolisian Resort Kota Bandar Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1.
Tajuan penelitian
Berdasarkan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum diberikan terhadap korban tindak pidana pemerkosaan berdasarkan undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang perlindungan saksi dan korban? 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan perlindungan hukum?
2.
Kegunaan Penelitian
Secara garis besar sesuai dengan tujuan penelitian, maka kegunaan penelitian ini dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu : a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dibidang ilmu hukum khususnya hukum pidana yang berkaitan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Dikaitkan Dengan Undang-Undang nomor 13 Tahun 2006. b. Kegunaan Praktis
'
Penelitian ini untuk menambah wawasan berpikir dan mampu memberikan, bahan bacaan dan sumber informasi serta bahan kajian kepada pihak-pihak yang memerlukan dan dapa.t dijadikan bahan awal guna dilakukannya penelitian lebih lanjut.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1) Kerangka Teoritis Penegakan hukum terdapat didalamnya pasangan nilai-nilai yang perlu diserasikan umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai
ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi.
Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran secara lebih konkret lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran secara lebih konkret terjadi di dalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Di dalam bidang hukum tata negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak melakukannya. Di dalam kebanyakan kaidah hukum pidana tercantum larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sedanglcan di dalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehankebolehan, Kaidahkaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi dari pada penegakan hukum secara konsepsional.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut: 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan mi akan dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dan penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum. Dengan demikian, maka kelima faktor tersebut akan dibahas di sini, dengan cara mengetengahkan contoh-contoh yang diambil dan kehidupan masyarakat Indonesia.
2) Koseptual Setiap Penelitian merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep dan merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah atau pengertian. Konsepsional dijadikan sebagai kerangka acuan, pada dasarnya untuk pemahaman terhadap permasalahan yang timbul dalam penelitian ini.
Agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pokok permasalahan dan pembahasan dalam penelitian ini, maka di bawah ini terdapat beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan istilah-istilah yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami penelitian ini, antara lain:
1.
Korban kejahatan adalah mereka (perempuan) yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kebutuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan hak asasi yang menderita (Arif Gosita, 1985:41).
2.
Pemerkosaan adalah suatu usaha melampiaskan nafsu seksual oleh seorang laki-laki atau lebih terhadap seorang perempuan dengan cara yang menurut dan atas hukum yang berlaku adalah melanggar (Sooetandyo, W).
3.
Kejahatan Kesusilaan adalah kejahatan yang dilakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja telah melanggar norma-norma kehidupan (HAM) yang mana sifatnya mutlak dimiliki setiap manusia sejak lahir, dengan terjadinya kejahatan kesusilaan tersebut maka harga diri dan masa depan seseorang tidak ada lagi (Wirjono prodjodikoro, 1984:115-116).
4.
Perkosaan merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap wanita/perempuan yang merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan kejahatan terhadap kamanusiaan serta kekerasan dapat terjadi di dalam masyarakat, tempat kerja atau lingkungan sosial (LSM DAMAR).
5.
Tidak ada seorang perempuan yang diperkosa karena penampilannya, melainkan karena kemauan pelaku yang tinggi/besar untuk memperkosa perempuan tersebut (ELSAPA, 1997).
6.
ELSAPA adalah lembaga Advokasi Perempuan dan Anak yang terbentuk atas keprihatinan terhadap semakin bertambahnya pelaku kekerasan, ketidakadilan dan tidak demokrasinya terhadap perempuan dan anak-anak.
7.
LSM DAMAR adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam bidang sosial khususnya pemerhati masalah wanita dan anak-anak, DAMAR merupakan nama baru dari ELSAPA yang berganti nama pada tanggal 10 Februari 2000.
8.
Rumah Aman adalah Rumah/tempat yang dipergunakan untuk mengamankan dan memulihkan kondisi traumatik korban pemerkosaan (kesusilaan). Unit PPA (Perlindungan Perempuan dan Anak) merupakan bagian dari Satuan Reskrim polri yang khusus menangani tindak pidan kesusilaan.
E. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam skripsi ini memuat uraian secara keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh gambaran yang menyeluruh tentang skripsi ini. Sistematika tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
I.
PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengapa penulis membuat jadwal " Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2006 Tentang perlindungan Saksi dan Korban ". Kemudian akan dirumuskan permasalahan dan ruang lingkup untuk mencapai tujuan dan kegunaan penelitian.
Selanjutnya diuraikan kerangka teoritis dan konseptual yang diakhiri dengan sistematika penulisan.
II.
TINJAUAN PUSTAKA Bab ini berisikan pemahaman kepada pengertian-pengertaian tentang pokok bahasan dalam ha1 ini, pokok bahasan memuat pengertian korban kejahatan pemerkosaan, perempuan sebagai korban pemerkosaan, faktorfaktor yang mempengaruhi upaya hukum. Faktor-faktor pendukung dan penghambat fungsionalisasi hukum pidana dan upaya-upaya fungsionalisasi hukum pidana.
III.
METODE PENELITIAN Pada bab ini diuraikan metode yang dipergunkan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau tata cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, data dan sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data.
IV.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini berisikan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan yang memuat tentang proses Perlindungan Hukum Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan Berdasarkan Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, apakah faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam memberikan perlindungan hukum.
V.
PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan secara singkat dari hasil penelitian dan beberapa saran penulis dengan pemecahan permasalahan yang dibahas.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahaatan, Akademika Pressinda. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian tlukum, Iii Press, Jakarta ----------------------,Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafindo Persada, 2011 Rama K, Tri. 2001. Kamus Lengkap Bahasa Indondesia. Karya Agung. Surabaya Lembaga Swadaya Masyarakat ( LSM.DAMAR ) ELSAPA, 1997. Lembaga Advokasi Perempuan dan Anak.