Kosim
Hukum Pidana Islam
HUKUM PIDANA ISLAM DALAM KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DAN APLIKASINYA DI INDONESIA Kosim Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon Email:
[email protected]
Abstrak Secara umum, ada tiga sistem hukum besar yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Dalam tataran kenegaraan ketiga sistem hukum ini ikut mengisi dan mewarnai pelembagaan hukum nasional. Dalam hal ini terjadi konflik yang berkepanjangan yang berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga sekarang. Pasca Indonesia merdeka, tahun 1945, penyelesaian konflik di antara ketiga sistem hukum terus diupayakan, meskipun hingga sekarang belum tuntas. Konflik ini memang sengaja dibuat oleh pihak penjajah untuk menekan umat Islam dan sekaligus menghambat pemberlakuan hukum Islam yang lebih luas, atau bahkan lebih formal, di tengah masyarakat kita yang mayoritasnya beragama Islam. Jika hukum pidana Islam berhasil diterapakan di Indonesia, maka dalam pandangan filsafat hukum Islam tujuan yang akan dicapai adalah terwujudnya keadilan yang maksimal dan ketertiban, yang selanjutnya akan mewujudkan kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan dalam masyarakat karena hukum Islam berasal yang menciptakan bumi, langit Indonesia serta seluruh isinya yaitu Allah SWT. Kata kunci: hukum pidana Islam, filsafat hukum Islam, hukum nasional Abstract Generally, there are three major legal systems applicable in Indonesia, namely Islamic law, civil law (West), and the Customary law. In the third state level the legal system is involved in filling and coloring institutionalization of national law. In this case, the prolonged conflict began since the influx of Dutch colonialism in Indonesia, and continues until now. Post Indonesia's independence of 1945, resolving conflicts among the three legal systems continue to be pursued, although until now has not been completed. This conflict was deliberately created by the colonizers to suppress Muslims and simultaneously inhibits the imposition of Islamic law broader, or even more formal, in our society where the majority is Muslim. If successful Islamic criminal law be applicable in Indonesia, then in view of the philosophy of Islamic law objectives to be achieved is the realization of maximum fairness and order, which in turn will achieve peace, harmony, and well-being in the community because Islamic law is derived that created the earth, the sky Indonesia and the entire contents, namely Allah SWT. Keywords: Islamic criminal law, Islamic law philoshopy, national law
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
1
Kosim
Pendahuluan Merupakan fakta dan sejarah bahwa jauh sebelum pemerintahan kolonial Belanda menginjakkan kakinya di Indonesia, telah terbentuk masyarakat Islam yang kuat, di beberapa daerah di Indonesia, Islam bukan saja menjadi Agama yang resmi, tetapi juga merupakan hukum yang berlaku di daerah tersebut. Beberapa kerajaan di Indonesia, seperti kerajaan Sultan pasai di Aceh, kerajaan pagar Ruyung yang terkenal yang terkenal dengan rajanya Dang Tuangku dan Bundo Kanduang, kerajan Paderi dengan Tuanke Imam Bonjol di Minangkabau, kerajaan Demak, pajang Mataram dan sultan Ageng di Banten, bahkan malaka serta Brunai (sekarang Brunei Darussalam) di semenanjung melayu dan Hasanuddin di Makassar telah melaksanakan hukum Islam di wilayah kerajaanya. Sejumlah konsep tindak pidana dan sanksinya telah diterapkan di wilayahwilayah Indonesia saat itu, hukuman rajam misalnya pernah diterapkan di Aceh, hukuman potong tangan dan sebagainya pernah pernah menghiasi lembaran sejarah masa silam bangsa Indonesia. Ketika Belanda telah merasa lebih kuat, politik hukum Belanda mulai menerapkan apa yang dikenal dengan politik “belah bambu” yang secara padu hendak menyingkirkan hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Diciptakan teori represi dan ditemukanlah hukum adat. Hukum Islam yang telah mentradisi saat itu diberlakukan sebagai hukum adat bukan sebagai hukum Islam. Pemerintahan Hindia Belanda sejak awal abad ke-19 memberlakukan kodifikasi hukum pidana, yang pada mulanya masih prulalitas. Ada kitab undang-undang hukum pidana untuk orang-orang Eropa, dan ada kitab undang-undang hukum pidana untuk orang-orang pribumi dan yang dipersamakan (inlanders). Akan tetapi, mulai tahun 1918 diberlakukan satu kitab undang-undang hukum pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana). Dan itulah hukum
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Hukum Pidana Islam
yang berlaku sampe sekarang. Sejak kemerdekaan Indonesia, kitab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) unifikasi ini telah melenyapkan penerapan hukum Islam di bumi persada Indonesia. Namun, dewasa ini usaha mengembalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya seperti semula terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan. Perjuangan mereka dimulai sejak peletakan hukum dasar bagi negara kita, yaitu ketika mereka dalam wadah Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah bertukar pikiran melalui musyawarah, para pemimpin Indonesia yang menjadi perancang dan perumus UUD Republik Indonesia yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang dituangkan ke dalam satu piagam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Dalam Piagam Jakarta, yang kemudian diterima menjadi Pembukaan UUD 1945, dinyatakan antara lain bahwa negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Tujuh kata terakhir ini kemudian oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dihilangkan dan diganti dengan kata Yang Mahaesa.1 Meskipun usaha menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum dasar nasional tidak berhasil pada waktu itu, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya berbagai upaya dilakukan oleh para pemimpin dan pemikir Islam untuk menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum dalam pembangunan hukum nasional. Dalam hal ini hukum Islam banyak memberi kontribusi yang berarti bagi pembangunan hukum nasional.
1
Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj. oleh Rochman Achwan (Jakarta: LP3ES, 1989), 231.
2
Kosim
Hukum Pidana Islam
Pada tahun 1991 pemerintah Indonesia memberlakukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. KHI ini terdiri dari tiga buku yang semuanya merupakan bagian dari hukum perdata Islam, yakni buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku III tentang Hukum Perwakafan. KHI ini merupakan pegangan para hakim agama dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya di Pengadilan Agama. KHI ini hanya berlaku bagi umat Islam yang berperkara dalam hal perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Dengan demikian, jelaslah bahwa KHI yang merupakan kumpulan aturan-aturan mengenai hukum Islam di Indonesia belum menjangkau semua bidang yang ada dalam bagian hukum Islam. Salah satu bidang yang sama sekali tidak disinggung dalam hal ini adalah hukum pidana Islam. Oleh karena itu, jika umat Islam berperkara dalam hal pidana atau kriminal, tidak bisa ditemukan aturannya dalam KHI tersebut, bahkan Pengadilan Agama – tempat diterapkannya KHI – tidak mempunyai wewenang mengadili masalah-masalah yang menyangkut pidana yang dilakukan oleh umat Islam.2 Pertanyaan yang muncul adalah mengapa hukum pidana Islam tidak bisa atau belum bisa diberlakukan di Indonesia? Atau, mengapa hukum pidana Islam belum memberikan kontribusi bagi pembuatan hukum pidana nasional? Tulisan ini mencoba mengungkap prospek hukum pidana Islam di Indonesia dengan melihat kondisi Indonesia sekarang ini. Dari hari ke hari di tengahtengah masyarakat selalu diwarnai oleh tindak kriminal. Hukum pidana yang diberlakukan sekarang nampaknya belum dapat membuat para pelaku tindak kriminal jera dan takut, tetapi sebaliknya malah memberi peluang untuk melakukannya dengan cara dan taktik yang lebih canggih untuk dapat terhindar dari 2
Dr. Marzuki dalam makalah Hukum Islam di Indonesia.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
jeratan hukum pidana yang ada. Kalaupun sampai dipidana, para pelaku kejahatan tidak mendapatkan sanksi hukum yang berat. Kajian Ontologi Hukum Pidana Islam Pengertian Hukum Pidana Islam Istilah hukum Islam berasal dari tiga kata dasar, yaitu ‘hukum’, ‘pidana’, dan ‘Islam’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘hukum’ diartikan dengan peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa, pemerintah, atau otoritas; undangundang, peraturan, dsb. Untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat; patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa (alam dsb.) yang tertentu; dan keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan); vonis.3 Secara sederhana hukum dapat dipahami sebagai peraturan-peraturan atau norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat, baik peraturan atau norma itu berupa kenyataan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat maupun peraturan atau norma yang dibuat dengan cara tertentu dan ditegakkan oleh penguasa.4 Dalam wujudnya, hukum ada yang tertulis dalam bentuk undang-undang seperti hukum modern (hukum Barat) dan ada yang tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum Islam. Kata yang kedua, yaitu ‘pidana’, berarti kejahatan, (tentang pembunuhan, perampokan, korupsi, dan lain sebagainya); kriminal.5 Adapun kata yang ketiga, yaitu ‘Islam’, oleh Mahmud Syaltut didefinisikan 3
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 9 (Jakarta: Balai Pustaka. 1997), 360 4 Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia” dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj. oleh Rochman Achwan (Jakarta: LP3ES, 1989), 38 5 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 871
3
Kosim
Hukum Pidana Islam
sebagai agama Allah yang diamanatkan kepada Nabi Muhammad Saw. untuk mengajarkan dasar-dasar dan syariatnya dan juga mendakwahkannya kepada semua manusia serta mengajak mereka untuk memeluknya.6 Dengan pengertian yang sederhana, Islam berarti agama Allah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. untuk disampaikan kepada umat manusia untuk mencapai kesejahteraan hidupnya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dari gabungan ketiga kata di atas muncul istilah hukum pidana Islam. Dengan memahami arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad Saw. untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. Hukum Pidana Islam (HPI) dalam khazanah literatur Islam biasa disebut alahkam al-jinaiyyah, yang mengatur pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang mukallaf dan hukuman-hukuman baginya.7 Para ulama menggunakan istilah jinayah bisa dalam dua arti, yakni arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas, jinayah merupkan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat mengakibatkan hukuman had (hukuman yang ada ketentuan nash-nya seperti hukuman bagi pencuri, pembunuh, dll), atau ta’zir (hukuman yang tidak ada ketentuan nash-nya seperti pelanggaran lalu lintas, percobaan melakukan tindak pidana, dll). Dalam arti sempit, jinayah merupakan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Syara’ dan dapat menimbulkan hukuman
6
Dr. Marzuki, dalam makalah Hukum Islam di Indonesia. 7 ‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul alFiqh (Al-Qahirah: Dar al-‘Ilm li al- Thiba’ah wa alNasyr wa al-Tawzi’, 1978), 32.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
had, bukan ta’zir.8 Istilah lain yang identik dengan jinayah adalah jarimah. Konsep Pemberlakuan Hukum Pidana Islam Tujuan hukum Islam sejalan dengan tujuan hidup manusia serta potensi yang ada dalam dirinya dan potensi yang datang dari luar dirinya, yakni kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat, atau dengan ungkapan yang singkat, untuk kemaslahatan manusia. Tujuan ini dapat dicapai dengan cara mengambil segala hal yang memiliki kemaslahatan dan menolak segala hal yang merusak dalam rangka menuju keridoan Allah sesuai dengan prinsip tauhid. Menurut al-Syathibi, salah satu pendukung Mazhab Maliki yang terkenal, kemaslahatan itu dapat terwujud apabila terwujud juga lima unsur pokok. Kelima unsur pokok itu adalah agama, jiwa, keturunan, akal, dan harta. Menurut alSyathibi, penetapan kelima pokok kebutuhan manusia di atas didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan Hadis. Dalil-dalil tersebut berfungsi sebagai al-qawaid alkulliyyah (kaidah-kaidah umum) dalam menetapkan al-kulliyyah alkhamsah (lima kebutuhan pokok).9 Ayat-ayat al-Quran yang dijadikan dasar pada umumnya adalah ayat-ayat Makkiyah yang tidak dinasakh (dihapus hukumnya) dan ayat-ayat Madaniyah yang mengukuhkan ayat-ayat Makkiyah. Di antara ayat-ayat itu adalah yang berhubungan dengan kewajiban shalat, larangan membunuh jiwa, larangan meminum minuman keras, larangan berzina, dan larangan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak benar. Dengan dasar ayat-ayat itulah, maka al- Syathibi pada akhirnya berkesimpulan bahwa adanya lima kebutuhan pokok bagi manusia tersebut menempati suatu yang qath’iy (niscaya) 8 A. Jazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, cet. 3 (Jakarta: Rajawali Pers, 2000), 2. 9 Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut Al-Syatibi. Jakarta: Rajawali Pers. 1996), 71
4
Kosim
Hukum Pidana Islam
dalam arti dapat dipertanggungjawabkan dan oleh karena itu dapat dijadikan sebagai dasar menetapkan hukum.10 Dalam usaha mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok itu al-Syathibi mengemukakan tiga peringkat maqashid alsyari’ah (tujuan syariat), yaitu pertama adalah tujuan primer (maqashid aldaruriyyah), kedua adalah tujuan sekunder (maqashid al-hajjiyyah), dan ketiga tujuan tertier (maqashid al-tahsiniyyah). Atas dasar inilah maka hukum Islam dikembangkan, baik hukum pidana, perdata, ketatanegaraan, politik hukum, maupun yang lainnya.11 Diketahuinya tujuan-tujuan hukum Islam itu akan mempermudah ahli hukum dalam mempraktekkan hukum. Apabila ilmu hukum tidak dapat menyelesaikan hukum suatu peristiwa maka dengan memperhatikan tujuan-tujuan tersebut, setiap peristiwa hukum akan dengan mudah diselesaikan. Pengkategorian yang dilakukan oleh al-Syathibi ke dalam tujuan primer, sekunder, dan tertier seperti di atas menunjukkan begitu pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok tersebut dalam kehidupan manusia. Di samping itu, pengkategorian ini mengacu tidak hanya kepada pemeliharaan lima unsur, akan tetapi mengacu pula kepada pengembangan dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan manusia. Dengan mengacu kepada lima kebutuhan pokok manusia dan tiga peringkat tujuan syariat tersebut, dapatlah dipahami bahwa tujuan utama pemberlakuan hukum pidana Islam adalah untuk kemaslahatan manusia. Abdul Wahhhab Khallaf memberikan perincian yang sederhana mengenai pemberlakuan hukum pidana Islam yang dikaitkan dengan pemeliharaan lima kebutuhan pokok 10
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama) (Jakarta: Logos. 1997), 125126 11 Juhaya S. Praja, “Filsafat Hukum Islam” dalam Tjun Surjaman (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktik. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), 247
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
manusia dalam bukunya ‘Ilmu Ushul alFiqh12: 1. Memelihara agama (hifzh al-din) Agama di sini maksudnya adalah sekumpulan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang yang dibuat oleh Allah untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan juga mengatur hubungan antar manusia. Untuk menjaga dan memelihara kebutuhan agama ini dari ancaman musuh maka Allah mensyariatkan hukum berjihad untuk memerangi orang yang menghalangi dakwah agama. Untuk menjaga agama ini Allah juga mensyariatkan shalat dan melarang murtad dan syirik. Jika ketentuan ini diabaikan, maka akan terancamlaheksistensi agama tersebut, dan Allah menyuruh memerangi orang yang murtad dan musyrik. 2. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs) Untuk memelihara jiwa ini Allah mewajibkan berusaha untuk mendapatkan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal. Tanpa kebutuhan tersebut maka akan terancamlah jiwa manusia. Allah juga akan mengancam dengan hukuman qishash (hukum bunuh) atau diyat (denda) bagi siapa saja yang menghilangkan jiwa. Begitu juga Allah melarang menceburkan diri ke jurang kebinasaan (bunuh diri). 3. Memelihara akal (hifzh al-‘aql) Untuk menjaga dan memelihara akal ini Allah mengharuskan manusia mengkonsumsi makanan yang baik dan halal serta mempertinggi kualitas akal dengan menuntut ilmu. Sebaliknya, Allah mengharamkan minuman keras yang memabukkan. Kalau larangan ini diabaikan, maka akan terancam eksistensi akal. Di samping itu, ditetapkan adanya ancaman (hukuman dera 40 kali) bagi orang yang meminum minuman keras. 12
‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul alFiqh, 200-204.
5
Kosim
Hukum Pidana Islam
4. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl) Untuk memelihara keturunan Allah mensyariatkan pernikahan dan sebaliknya mengharamkan perzinaan. Orang yang mengabaikan ketentuan ini, akan terancam eksistensi keturunannya. Bahkan kalau larangan perzinaan ini dilanggar, maka Allah mengancam dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk seratus kali. 5. Memelihara harta (hifzh al-mal) Untuk memelihara harta ini disyariatkanlah tata cara pemilikan harta, misalnya dengan muamalah, perdagangan, dan kerja sama. Di samping itu, Allah mengharamkan mencuri atau merampas hak milik orang lain dengan cara yang tidak benar. Jika larangan mencuri diabaikan, maka pelakunya akan diancam dengan hukuman potong tangan. Dari uraian di atas jelaslah bahwa kelima kebutuhan pokok tersebut merupakan hal yang mutlak harus ada pada manusia. Karenanya Allah menyuruh untuk melakukan segala upaya bagi keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya, Allah melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari kelima kebutuhan pokok itu. Hukuman atau sanksi atas larangan itu bersifat tegas dan mutlak. Hal ini ditetapkan tidak lain hanyalah untuk menjaga eksistensi dari lima kebutuhan pokok manusia tadi. Atau dengan kata lain, hukuman-hukuman itu disyariatkan semata-mata untuk kemaslahatan manusia. Dengan ancaman hukuman yang berat itu orang akan takut melakukan perbuatan terlarang yang diancam dengan hukuman tersebut. Dengan demikian, pemberlakuan hukum pidana Islam itu juga untuk menciptakan kemaslahatan di antara umat manusia seluruhnya.13 Prospek Hukum Pidana Islam Indonesia dan Tantangannya 13
di
‘Abd al-Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul alFiqh, 200-204.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Harapan untuk mengembangkan syariat Islam di Indonesia sudah lama terniatkan, sejak hukum pidana positif berkembang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda. Para perumus bangsa (The Founding Fathers) kita sudah merencanakan untuk diberlakukannya syariat Islam di Indonesia. Namun, dengan mendasarkan pada pluralitas penduduk Indonesia, rencana itu tidak terwujud dan kemudian menjadian Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Perkembangan politik hukum di Indonesia sudah menjalani pertumbuhan dengan memperhatikan pengaruh dari faktor nilainilai kemasyarakatan dan keagamaan. Maka sudah waktunya para ulama dan kaum cendekiawan Muslim turut menegaskan kaidah agama, agar para penganutnya tidak lagi melanggar ajaran agamanya dengan cara self inforcement. Penegakan hukum (kaidah) agama secara preventif ini sangat membantu pemantapan pola penegakan hukum (law enforcement) negara secara preventive represive. Tujuannya adalah agar masyarakat memahami dan menaati kaidah hukum negara dan kaidah agama sekaligus. Dengan demikian, syariah Islam bukan hanya didakwahkan, tetapi juga dilaksanakan melalui penegakan hukum preventif (bukan represif) guna mengisi kelemahan hukum pidana positif.14 Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga sekarang ini masih merupakan warisan dari pemerintahan Hindia Belanda. Sejak awal abad ke-19 Hindia Belanda memberlakukan kodifikasi hukum pidana yang pada mulanya masih pluralistis, yakni Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra serta yang dipersamakan (inlanders). Mulai tahun 1918 di Indonesia diberlakukan satu Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk 14 A. Malik Fajar, “Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001), 18.
6
Kosim
Hukum Pidana Islam
seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana) hingga sekarang.15 Sejak Indonesia merdeka kitab hukum pidana itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). KUHP dinyatakan berlaku melalui dasar konstitusional pasal II dan IV Aturan Peralihan UUD 1945 dengan Undangundang No. 1 tahun 1946. Dalam pasal III disebutkan bahwa perkataan NederlanschIndie atau Nederlandsch-Indisch (e) (en) harus dibaca dengan “Indonesie” atau “Indonesche”, yang selanjutnya menjadi Indonesia. Dalam pasal VI (1) dinyatakan bahwa Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht. Kemudian dalam ayat (2) kitab hukum itu diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Inilah yang menjadi dasar sehingga UU No. 1 tahun 1946 disebut dengan UU KUHP. UU ini berlaku secara resmi untuk seluruh wilayah Indonesia dengan UU No. 73 tahun 1958.16 Untuk Hukum Pidana Islam (HPI), yang menurut asas legalitas dikategorikan sebagai hukum tidak tertulis, masih dapat diakui di Indonesia secara konstitusional sebagai hukum, dan masih terus berlaku menurut pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Namun demikian, ketentuan dasar itu belum ditindaklanjuti dengan instrument untuk masuk ke dalam wujud instrumen asas legalitas. Seperti halnya KUHP di atas, posisi HPI belum terdapat kepastian untuk
15
Bustanul Arifin, “Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah)”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001), 46. 16 Abdul Gani Abdullah, “Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional” dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001), 246.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
menjawab pertanyaan teoritis, mana hukum pidana yang dapat ditegakkan?.17 Ketiadaan HPI secara tertulis di Indonesia menjadi penyebab belum dapat terpenuhinya HPI secara legal sesuai dengan pertanyaan tersebut. Karena itulah HPI harus benar-benar disiapkan secara tertulis sebagaimana hukum positif lainnya, bukan langsung mendasarkannya pada sumber hukum Islam, yakni al-Quran, Sunnah, dan ijtihad pada ulama (kitab-kitab fikih). Hingga sekarang ini sebenarnya muncul keinginan di hati sebagian umat Islam Indonesia keinginan untuk diberlakukannya hukum Islam secara utuh di Indonesia, termasuk dalam bidang hukum pidana. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa dengan diberlakukannya hukum pidana Islam, maka tindak pidana yang semakin hari semakin merebak di tengah-tengah masyarakat sedikit demi sedikit dapat terkurangi. Sanksi yang tidak sepadan yang diberikan kepada para pelaku tindak pidana selama ini tidak membuat jera mereka untuk mengulanginya. Karena itu, sanksi yang tegas seperti yang ada dalam HPI nampaknya merupakan alternatif terbaik yang dapat mengatasi permasalahan tindak pidana di Indonesia.18 Telah bertahun-tahun di negara kita diupayakan pembuatan KUHP yang baru yang dapat disebut KUHP Indonesia. Upaya ini mendapatkan hasil dengan disiapkannya RUU KUHP yang baru. Dalam RUU ini juga termuat materi-materi yang bersumberkan pada hukum pidana Islam, meskipun tidak secara keseluruhan. RUU ini juga sudah beberapa kali dibahas dalam berbagai kesempatan, termasuk dalam forum sidang-sidang di DPR, namun hingga saat ini belum ada kata sepakat di kalangan para pengak hukum kita tentang materi atau pasal-pasal yang menjadi isi dari RUU tersebut.19
17 Abdul Gani Abdullah, “Eksistensi Hukum Pidana Islam…”, 246. 18 Abdul Gani Abdullah, “Eksistensi Hukum Pidana Islam…”, 246. 19 Abdul Gani Abdullah, “Eksistensi Hukum Pidana Islam…”, 246.
7
Kosim
Pengintegrasian HPI ke dalam hukum pidana nasional, seperti yang terlihat pada beberapa pasal dalam RUU KUHP, merupakan suatu pemikiran yang cukup bijak. Namun, jika secara eksplisit hal ini tidak bisa dilakukan, minimal prinsipprinsip utamanya dapat terwujud dalam hukum pidana kita. Misalnya, tindak pidana perzinaan dan meminum minuman keras tidak mesti harus dihukum dengan hukuman rajam atau hukuman cambuk empat puluh kali kepada pelakunya. Yang paling prinsip adalah bagaimana kedua contoh bentuk perbuatan itu dianggap sebagai tindak pidana yang tidak sesuai dengan prinsip dan moralitas Islam. Hal ini, menurut Masykuri Abdullah.20 merupakan proses dari strategi legislasi hukum Islam yang bersifat gradual yang sejalan dengan kaidah fikih: Ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan seluruhnya). Langkah ini bukanlah yang paling ideal, tetapi cukup memberikan harapan untuk dimulainya pemberlakuan HPI di Indonesia secara bertahap. Tawaran seperti ini barangkali juga dapat memuaskan sementara pihak yang kerap kali menolak setiap upaya pemberlakuan hukum Islam di Indonesia. Pandangan Masykuri seperti di atas belum tentu dapat diterima oleh semua kalangan umat Islam di Indonesia. Ada sebagian dari mereka yang menginginkan diberlakukannya HPI secara penuh sesuai dengan ketentuan yang pasti (qath’iy) dari al-Quran dan Sunnah Nabi. Pemberlakuan HPI dalam aspek fundamentalnya saja, seperti di atas, bukan harapan mereka, namun juga harus menyertakan aspek instrumentalnya. Karena itulah, yang mereka harapkan adalah dimasukkannya ketentuan-ketentuan pokok HPI dalam hukum pidana nasional, jika tidak bisa diberlakukan HPI secara khusus. Perlu 20 M. Arskal Salim, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang,Prospek, dan Tantangan (Jakarta: Pustaka Firdaus. 2001), 259.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Hukum Pidana Islam
ditambahkan bahwa pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan RUU KUHP sekarang ini harus diakui sebagai upaya untuk mengakomodasi aspirasi sebagian besar umat beragama di Indonesia.21 Berbagai delik tentang agama ataupun yang berkaitan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU tersebut, misalnya tentang penghinaan agama, merintangi ibadah atau upacara keagamaan, perusakan bangunan ibadah, penghinaan terhadap Tuhan, penodaan terhadap agama dan kepercayaan, dan lain sebagainya. Rumusan semacam ini tidak mungkin didapati dalam hukum pidana yang diberlakukan di negaranegara sekular, sebab urusan agama bukan urusan negara dan menjadi hak individu masing-masing warga negara. Selain beberapa pasal yang terkait dengan delik agama, dalam rancangan tersebut juga dimasukkan pasal-pasal baru yang berkaitan dengan delik kesusilaan, seperti berbagai bentuk persetubuhan di luar pernikahan yang sah atau yang melanggar ketentuan agama. Tentu saja masih banyak pasal-pasal lain yang terkait dengan materi HPI dalam RUU KUHP tersebut. Langkah seperti di atas merupakan upaya positif pemerintah untuk memberlakukan ketentuan hukum sesuai aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam.22 Namun, hingga sekarang langkah ini belum terwujud. Pembahasan masalah ini sudah memakan waktu yang cukup lama. Kajian Epistimologi Hukum Pidana Islam di Indonesia Secara umum, ada tiga sistem hukum besar yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Dalam tataran kenegaraan ketiga sistem hukum ini ikut mengisi dan mewarnai pelembagaan hukum nasional. Dalam hal ini terjadi konflik yang berkepanjangan yang berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, 21
M. Arskal Salim, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia…”, 259. 22 M. Arskal Salim, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia…”, 259.
8
Kosim
dan terus berlanjut hingga sekarang. Pasca Indonesia merdeka, tahun 1945, penyelesaian konflik di antara ketiga sistem hukum terus diupayakan, meskipun hingga sekarang belum tuntas. Konflik ini memang sengaja dibuat oleh pihak penjajah untuk menekan umat Islam dan sekaligus menghambat pemberlakuan hukum Islam yang lebih luas, atau bahkan lebih formal, di tengah masyarakat kita yang mayoritasnya beragama Islam. Namun demikian, selepas era penjajahan umat Islam tidak lagi mendapat tekanan ketika menerapkan aturan-aturan hukum Islam. Bahkan dalam perkembangannya umat Islam berhasil melakukan kodifikasi hukum Islam dan menjadikannya sebagai bagian yang tidak terpisah dari hukum nasioal. Namun hal ini sangat disayangkan, karena baru terbatas pada formalisasi hukum Islam yang bersifat keperdataan, seperti hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan, dan belum menyentuh hukum pidana. Hingga sekarang belum terlihat upaya yang jelas dari umat Islam atau negara yang mempercepat pemberlakuan hukum pidana (Islam) di negara kita. Nampaknya umat Islam Indonesia sendiri belum sepakat ke arah itu, apalagi umat lain yang jelas-jelas memiliki aturan agama yang berbeda dengan aturan hukum Islam. Salah satu alasan mengapa aturan hukum pidana Islam ini sulit diterapkan di Indonesia adalah materinya tidak cocok dengan masyarakat kita dan terlalu “kejam” serta bertentangan dengan HAM. Inilah barangkali alasan yang selama ini muncul ke permukaan, yang sebenarnya tidak benar jika dilihat dari filsafat hukum Islam. Misi utama disyariatkannya hukum Islam adalah untuk kemaslahatan (kesejahteraan) umat manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya. Karena itu, kecenderungan yang dominan dari hukum Islam adalah komunal. Komunal berbeda dengan sosialistik. Komunal memiliki pengertian yang lebih luas yang mencakup segi materi dan segi-segi lain yang meliputi seluruh hak dan kewajiban, sedang sosialistik
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Hukum Pidana Islam
mempunyai pengertian khusus yang terbatas pada materi. Kecenderungan hukum Islam yang komunal ini dapat terlihat dengan jelas baik dalam hal ibadah maupun muamalah. Semua aturan hukum Islam dalam kedua bidang ini bertujuan mendidik individu untuk mewujudkan kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Sebagai contoh dapat dilihat pada kewajiban shalat, puasa, zakat, dan haji dalam bidang ibadah, penghalalan jual beli dan pengharaman riba, perintah jual beli dan larangan riba, serta menegakkan hukuman hudud untuk melindungi masyarakat dalam bidang muamalah. Dari contoh-contoh tersebut jelaslah bahwa hukum Islam di dalam mewajibkan perintah dan mengharamkan larangan tidak hanya bertujuan untuk keselamatan dan kebahagiaan individu saja, tetapi juga untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat secara umum. Itulah watak dan kecenderungan hukum Islam yang hakiki sebagaimana yang kita jumpai dalam alQuran, Sunnah, dan putusan-putusan para ulama melalui ijtihad.23 Sangat berbeda halnya dengan hukum-hukum buatan manusia yang pada umumnya memiliki kecenderungan individual. Karena itu, aturan-aturan hukum positif banyak yang mengakibatkan benturan antar individu ketika kepentingan masing-masing individu itu berbeda. Inilah yang kemudian menjadi titik tolak hukum positif membenahi aturan-aturannya, sehingga pada akhirnya juga mempunyai watak komunal. Sebagai contoh, tidak ada hukum positif yang melarang praktek riba yang pada prinsipnya menguntungkan pemilik modal dan merugikan peminjam. Dengan demikian, hukum Islam memiliki misi universal yang bisa dijadikan pedoman bagi semua umat manusia dan aturanaturannya ada yang secara spesifik tertuju kepada umat Islam dan secara universal bisa memberikan kemaslahatan bagi semua umat manusia di muka bumi ini. Namun, 23 Dalam makalah Marzuki dosen PAI dan Hukum Islam UNY, disampaikan dalam kuliah umum tahun 2003.
9
Kosim
Hukum Pidana Islam
sayangnya misi ini tidak dipahami oleh semua orang, bahwa tidak sedikit umat Islam sendiri yang tidak faham akan hal ini. Masih banyak umat Islam yang alergi dengan hukum Islam, apalagi dengan hukum pidananya. Ini menunjukkan bahwa hambatan terbesar dalam pelembagaan hukum Islam di negara kita adalah umat Islam sendiri. Sekarang bagaimana institusi penegak hukum Islam yang ada di negara kita. Institusi negara formal yang memiliki kewenangan dalam pemberlakuan hukum Islam di negara kita adalah Peradilan Agama. Peradilan Agama memiliki wewenang untuk menyelesaikan permasalahan hukum Islam yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. Ketiga masalah ini merupakan bagian dari objek garapan fikih muamalah, dan secara integral merupakan bagian dari ruang lingkup hukum Islam.24 Hukum Islam sudah mengatur permasalahan hukum yang cukup detail. Aturan-aturan hukum Islam ini dijadikan sebagai pegangan oleh umat Islam di dalam menyelesaikan problematika yang muncul berhubungan dengan masalah hukum. Namun, karena muncul perbedaan pendapat dari para ulama mengenai kepastian aturan tersebut, maka seringkali problematika yang muncul tidak bisa diselesaikan dengan tuntas. munculnya hukum modern menuntut untuk diwujudkannya sumber atau landasan hukum yang formal di setiap negera sebagai rujukan dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul. Begitu juga, hukum Islam yang sudah ada dalam bentuk syariat maupun fikih masih dituntut untuk diformulasikan dalam bentuk kodifikasi hukum atau undang-undang agar mempunyai kekuatan hukum yang bisa mengikat setiap orang yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, di negara-negara Islam atau negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam bermunculan undang-undang untuk mengatur permasalahan hukum di negaranya masingmasing. Hal seperti ini juga terjadi di negara 24
Makalah Marzuki, disampaikan dalam kuliah umum tahun 2003.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
kita Indonesia. Kalau dilihat pelaksanaan hukum Islam di Indonesia, dapatlah dikatakan bahwa hukum Islam yang berlaku bagi umat Islam dapat dibagi menjadi dua, yaitu hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis dan hukum Islam yang berlaku secara normatif.25 Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis adalah hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lain dan mengatur hubungan manusia dengan benda di dalam masyarakat yang disebut dengan istilah mu’amalah. Hukum Islam ini menjadi hukum positif karena ditunjuk oleh peraturan perundangundangan. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis ini memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk menjalankannya secara sempurna dengan cara misalnya mendirikan Peradilan Agama yang menjadi salah satu unsure dalam sistem peradilan nasional. Adapun hukum Islam yang berlaku secara normative adalah hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan. Pelaksanaannya bergantung kepada kuat-lemahnya kesadaran masyarakat Muslim dalam berpegang kepada hukum Islam yang bersifat normatif ini. Hukum Islam seperti ini tidak memerlukan bantuan penyelenggara negara untuk melaksanakannya. Hampir semua hukum Islam yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dalam arti ibadah murni (‘ibadah mahdlah), termasuk dalam kategori hukum Islam ini, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Pelaksanaan hukum Islam yang normatif ini tergantung kepada tingkatan iman dan takwa serta akhlak umat Islam sendiri. Untuk menegakkan hukum Islam yang bersifat formal yuridis, pemerintah Indonesia telah membuat peraturan perundang-undangan, seperti UndangundangNo. 5 Tahun 1946, PP. No, 45 Tahun 25 Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.). Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj. oleh Rochman Achwan (Jakarta: LP3ES, 1989), 75.
10
Kosim
Hukum Pidana Islam
1957, Undang-undang No. 19 Tahun 1964, Undangundang No. 14 Tahun 1970, Undang-undang No. 1 Tahun 1974, Undang-undang No. 7 Tahun 1989, dan Kompilasi Hukum Islam 1991. Dengan undang-undang atau peraturan seperti ini diharapkan permasalahan yang berkaitan dengan hukum Islam, khususnya masalah keperdataan, dapat diselesaikan secara formal yuridis.26 Dari beberapa undangundang tersebut dapat dipahami bahwa permasalahan hukum Islam yang menyangkut keperdataan haruslah diselesaikan melalui suatu lembaga yang disebut Peradilan Agama. Melalui lembaga inilah perkara-perkara itu diproses dan diselesaikan. Dalam perjalanannya, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia mengalami berbagai persoalan. Kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang sangat merugikan eksistensi Peradilan Agama ternyata berlanjut sampai era pasca kemerdekaan. Baru tahun 1989, yaitu dengan keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UUPA), eksistensi Peradilan Agama di Indonesia bisa memenuhi harapan umat Islam Indonesia, terutama berkaitan dengan status hukum dan kewenangannya. Pengesahan UUPA merupakan peristiwa penting bagi umat Islam Indonesia. Dengan disahkannya UUPA tersebut semakin mantaplah kedudukan Peradilan Agama sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di tanah air kita dalam menegakkan hukum berdasarkan hukum Islam mengenai perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang sudah menjadi hukum positif di negara kita. Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa beberapa bagian hukum Islam dalam bidang muamalah (keperdataan) berdasarkan peraturan perundang-undangan secara formal yuridis telah menjadi bagian dari hukum positif kita. Untuk menegakkannya telah pula dimantapkan 26
Mohammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, 75.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
eksistensi Peradilan Agama, yang menjadi bagian dari system peradilan nasional, sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia. Dengan UUPA eksistensi Peradilan Agama sebagai lembaga penegak hukum Islam memiliki landasan hukum yang kuat.27 Di negara yang berdasarkan hukum, seperti Indonesia, hukum berlaku kalau didukung oleh tiga hal, yaitu lembaga penegak hukum yang diandalkan, peraturan hukum yang jelas, dan kesadaran hukum masyarakat. Inilah yang dikenal dengan doktrin hukum nasional yang kebenarannya juga berlaku bagi hukum Islam. Lembaga penegak hukum yang dimaksud di atas adalah Peradilan Agama, terutama hakimhakimnya. Para hakim Pengadilan Agama dipersyaratkan memiliki ijazah kesarjanaan baik sarjana hukum Islam maupun sarjana hukum umum. Dengan persyaratan seperti ini diharapkan para hakim Pengadilan Agama tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Pada masalah yang kedua, yakni peraturan hukum yang jelas, belum dijamin keberadaannya secara total, karena peraturan-peraturan hukum Islam (fikih) masih belum bisa terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga sangat sulit untuk mengarah kepada unifikasi hukum Islam.28 Oleh karena itu, keperluan akan adanya suatu kompilasi atau kodifikasi hukum sebenarnya adalah hal yang sangat wajar. Di sinilah perlunya kompilasi hukum Islam agar peraturan hukum Islam menjadi jelas dan terhindar dari perbedaan pendapat, sehingga dapat dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dengan mudah. Atas dasar inilah para ulama Indonesia kemudian membuat draf kompilasi hukum Islam yang memuat tiga kitab hukum, yaitu hukum perkawinan, hukum kewarisan, dan hukum perwakafan. Draf ini kemudian diresmikan
27
Dalam makalah Marzuki dosen PAI dan Hukum Islam UNY, disampaikan dalam kuliah umum tahun 2003. 28 Bustanul Arifin, “Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah)”, 56.
11
Kosim
berlakunya berdasarkan Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni1991.29 Namun, harus diakui bahwa perkaraperkara yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sangat terbatas, yakni hanyalah masalah-masalah keperdataan. Hingga sekarang ini belum ada upaya yang jelas yang mengarah kepada perluasan kewenangan Peradilan Agama. Bidang kewenangan yang sebenarnya sangat pokok dan segera untuk ditangani sampai sekarang belum pernah disinggung-singgung dalam wacana perdebatan nasional, yakni masalah pidana (hukum pidana). Semakin banyaknya tindak kriminalitas di negara kita saat ini barangkali juga akibat tidak adanya penanganan yang jelas dalam masalah ini, terutama dalam menerapkan sanksi terhadap tindakan kriminalitas tersebut. Umat Islam yang berperkara dalam masalah pidana ini masih berurusan dengan Pengadilan Negeri, padahal aturan yang dipakai di Pengadilan Negeri masih aturan-aturan pidana warisan pemerintah Belanda yang kurang sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam. Jika hukum pidana Islam ini ditetapkan di Indonesia sebagai hukum positif yang harus diterapkan dengan melibatkan Peradilan Agama sebagai institusi penegak hukumnya, maka kedudukan dan wewenang Peradilan Agama akan semakin mantap di negara kita dan eksistensi hukum Islam juga semakin kuat dan mengikat semua umat Islam di Indonesia. Karena kondisi seperti itulah, maka untuk suksesnya pelaksanaan hukum Islam di negara kita, yang sangat dibutuhkan sekarang adalah faktor yang ketiga, yaitu adanya kesadaran hukum yang tinggi dari umat Islam. Tanpa adanya kesadaran hukum ini, akan sulit bagi Pengadilan Agama untuk menegakkan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, kredibilitas Peradilan Agama sebagai institusi penegak keadilan sangat tergantung kepada umat Islam yang bertanggung jawab mengemban dan melaksanakan peradilan tersebut. Dalam 29 Abdurrahman. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Akademika Pressindo. 1992), cet. I, 50
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Hukum Pidana Islam
rangka inilah pembinaan organisasi, administrasi, personal, dan keuangan Peradilan Agama haruslah diusahakan dengan sebaik-baiknya agar eksistensi Peradilan Agama ini benar-benar mantap nantinya. Inilah tanggung jawab besar yang harus dipikul oleh Departemen Agama sebagai lembaga yang menaungi keberadaan Peradilan Agama di Indonesia.30
Kajian Aksiologi Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia Jika hukum pidana Islam berhasil diterapakan dalam Indonesia, maka tujuan yang akan dicapai adalah terwujudnya keadilan yang maksimal dan ketertiban, yang selanjutnya akan mewujudkan kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan dalam masyarakat, karena hukum Islam bertujuan sebagai berikut: 1. Mengangkat harkat dan martabat manusia, melalui penegakan hukum, prinsip persamaan dan kemerdekaan, yakni setiap manusia wajib menjunjung tinggi hukum, mentaati prinsip persamaan dan kemerdekaan, sehingga tidak seorangpun yang dapat merebut hak orang lain, baik dari aspek hukum dan pemerintahan, menurut pandangan Islam “bahwa kemerdekaan itu adalah hak setiap orang, maka perbudakan itu harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”31Pada muqaddimah UUD 1945 dinyatakan ”bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa kerena itu penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.32 2. Mengharmonisasikan hubungan dalam dalam kehidupan, melalui pembinaan persaudaraan, persatuan dan ukhuwah, serta berlaku sopan terhadap mereka yang beragama lainnya, sebelum 30
Dalam makalah Marzuki dosen PAI dan Hukum Islam UNY, disampaikan dalam kuliah umum tahun 2003. 31 QS. al-Isra ayat 70 32 Pembukaan UUD 1945 alinea keempat
12
Kosim
Hukum Pidana Islam
menerima Islam sebagai keyakinan (toleran), 3. Memberi perlindungan terhadap “hakhak Allah dan hak asasi manusia” dalam bentuk member perlindungan terhadap jiwa, agama, kehormatan, akal, dan harta benda, serta memelihara keamanan, dan ketentraman bangsa dan Negara melalui pengawasan teretorial dan penegakan hukum secara adil.33 4. Membangun kehidupan yang lebih baik dan modern juga merupakan sebuah kewajiban sebagai khalifah di bumi, yakni mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam dan lingkungan sebagai sumber kekayaan yang harus digali dan dikembangkan, yang dilakukan oleh sumber daya manusia yang professional untuk kemakmuran rakyat. Perlu diketahui bahwa penerapan hukum Islam di Indonesia juga akan berdampak pada jiwa nasionalisme kebangsaan. Hukum Islam perlu diterapkan dalam pembinaan dan pengembangan hukum nasional sebagai upaya pemberian perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan segala kebutuhan dan kepentingannya, sekaligus mengefektifkan hukum-hukum yang sudah diberlakukan sebagai upaya pemantapan pembinaan hukum nasional. Dari upaya-upaya tersebut diharapkan dapat terwujud keadilan, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan tidak munculnya berbagai perbuatan yang dapat memicu munculnya gejolak dalam masyarakat, yang dapat menjadi ancaman bagi Negara kesatuan Republik Indonesia. Perbuatan tersebut meliputi: 1. Segala bentuk perbuatan yang dapat menyebabkan cacat atau hilangnya jiwa, baik diri, keluarga, maupun orang lain.
2. Segala bentuk perbuatan yang trrindikasi mempermainkam agama, segala bentuk penodaan agama, melakukan tindakan yang dapat mengacau agama dan keberagamaan. (Islam tidak menganjurkan untuk mengajak orang yang beragama lain menganut Islam, demikian pula sebaliknya). 3. Segala bentuk perbuatan yang dapat menodai kehormatan, porgrafi, pornoaksi, dan segala bentuk pelecehan seksual. 4. Segala bentuk perbuatan yang dilakukan untuk memperoleh harta benda diluar hak. 5. Melarang mengkonsumsi segala bentuk dan jenis minuman yang dapat memabukkan atau mengganggu fungsi akal fikiran (seperti: minuman keras, obat-obatan terlarang dan lain-lain zat aditif pada makanan dan minuman pada konsentrasi tertentu). 6. Segala bentuk perbuatan pengkhianatan dan penyalagunaan amanah Negara yang dapat menyebabkan kesejahteraan rakyat terganggu. 7. Segala bentuk perbuatan yang dapat menyebabkan terganggu atau terancamnya keamana teritorial Negara dan ketentraman masyarakat atau rakyat, seperti bekerja sama dengan Negara tetangga untuk menyerobot wilayah Negara. Atau melindungi musuh yang berada dalam Negara , atau melakukan intimidasi dalam bentuk terorisme dan lain-lain. Kondisi Negara yang terhindar dari tujuh bentuk perbuatan diatas merupaka gambaran suatu Negara yang baldatun Thayyibatun warabbun Ghafur. Suatu Negara yang memiliki rakyat yang cinta akan pemimpinnya, rela berkorban untuk negaranya, dan hidup rukun saling menghormati dan saling menghargai. Kokoh dalam kesatuan menghadapi berbagai ancaman.34
33
Ambo Ase, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hadis Nabi saw, (Studi terhadap Perlindungan Jiwa, Agama, Harta, dan Kehormatan) (Makassar: Pidato pengukuhan guru besar, 2009), 1112.
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Penutup 34
Ambo Ase, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hadis Nabi saw, 11-12.
13
Kosim
Hukum Pidana Islam
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan dalam beberapa hal: 1. Dari gabungan ketiga kata yakni hukum, pidana, dan Islam muncul istilah hukum pidana Islam. Dengan memahami arti dari ketiga kata itu, dapatlah dipahami bahwa hukum pidana Islam merupakan seperangkat norma atau peraturan yang bersumber dari Allah dan Nabi Muhammad Saw. untuk mengatur kejahatan manusia di tengah-tengah masyarakatnya. Dengan kalimat yang lebih singkat, hukum pidana Islam dapat diartikan sebagai hukum tentang kejahatan yang bersumber dari ajaran Islam. 2. Secara umum, ada tiga sistem hukum besar yang berlaku di Indonesia, yaitu hukum Islam, hukum Sipil (Barat), dan hukum Adat. Dalam tataran kenegaraan ketiga sistem hukum ini ikut mengisi dan mewarnai pelembagaan hukum nasional. Dalam hal ini terjadi konflik yang berkepanjangan yang berawal sejak masuknya penjajahan Belanda di Indonesia, dan terus berlanjut hingga sekarang. Pasca Indonesia merdeka, tahun 1945, penyelesaian konflik di antara ketiga sistem hukum terus diupayakan, meskipun hingga sekarang belum tuntas. Konflik ini memang sengaja dibuat oleh pihak penjajah untuk menekan umat Islam dan sekaligus menghambat pemberlakuan hukum Islam yang lebih luas, atau bahkan lebih formal, di tengah masyarakat kita yang mayoritasnya beragama Islam. 3. Jika hukum pidana Islam berhasil diterapakan dalam Indonesia, maka tujuan yang akan dicapai adalah terwujudnya keadilan yang maksimal dan ketertiban, yang selanjutnya akan mewujudkan kedamaian, kerukunan, dan kesejahteraan dalam masyarakat. Daftar Pustaka Abdullah, Abdul Gani, “Eksistensi Hukum Pidana Islam dalam Reformasi Sistem Hukum Nasional”, dalam
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, cet. 1, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992. Ali, Mohammad Daud, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddique (ed.), Tradisi dan Kebangkitan Islam di Asia Tenggara, terj. oleh Rochman Achwan, Jakarta: LP3ES, 1989. Arifin, Bustanul, “Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Ase, Ambo, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Hadis Nabi saw (Studi terhadap Perlindungan Jiwa, Agama, Harta, dan Kehormatan), Makassar: Pidato pengukuhan guru besar, 2009. Bakri, Asafri Jaya, Konsep Maqashid Syari’ah menurut Al-Syatibi, Jakarta: Rajawali Pers, 1996. Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian Pertama), Jakarta: Logos, 1997. Fajar, A. Malik, “Potret Hukum Pidana Islam; Deskripsi, Analisis Perbandingan dan Kritik Konstruktif” dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Jazuli, A., Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), cet. 3, Jakarta: Rajawali Pers, 2000. Khallaf, ‘Abd al-Wahhab, ‘Ilm Ushul alFiqh, Al-Qahirah: Dar al-‘Ilm li alThiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1978.
14
Kosim
Marzuki, Hukum Islam di Indonesia, makalah disampaikan dalam kuliah umum tahun 2003. Praja, Juhaya S., “Filsafat Hukum Islam”, dalam Tjun Surjaman (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991. Salim, M. Arskal, “Politik Hukum Pidana Islam di Indonesia: Eksistensi
Mahkamah Vol. 9 No. 1 Januari-Juni 2015
Hukum Pidana Islam
Historis, Kontribusi Fungsional dan Prospek Masa Depan”, dalam Jaenal Aripin dan M. Arskal Salim GP (ed.), Pidana Islam di Indonesia: Peluang,Prospek, dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 9, Jakarta: Balai Pustaka. 1997.
15