HUKUM PIDANA ADAT DALAM SISTIM HUKUM INDONESIA ADAT CRIMINAL LAW IN INDONESIAN LEGAL SYSTEM I Made Widnyana Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR) & Arbitrase di Universitas Bhayangkara Jaya Jakarta, Universitas Mpu Tantular Jakarta, Universitas Panca Sila Jakarta, Universitas Warmadewa Denpasar Bali dan Ketua Program Magister Ilmu Hukum Iniversitas Bhayangkara Jaya (UBJ) Jakarta serta Arbiter BANI Arbitratin center Email :
[email protected] (Diterima tanggal 25 Juni 2015, direvisi tanggal 3 Juli 2015, disetujui tanggal 15 Juli 2015) Abstrak Hukum Pidana Adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang sudah ada sejak lama dan mendapat pengaruh berbagai agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hukum Pidana Adat hingga saat ini tetap eksis dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat adat di daerah Bali berdasarkan peraturan lokal yaitu adanya 4 (empat) buku hukum (Agama, Adi Agama, Purwa Agama dan Kutara Agama) dan Awig-awig Desa Adat di Bali, serta berbagai aspirasi yang bersumber dari kebijakan legislatif nasional setelah kemerdekaan, kesepakatan ilmiah dalam pelbagai seminar atau pertemuan ilmiah lain yang bersifat nasional, dan aspirasi yang bersifat sosiologis. Dengan diberikan dasar hukum bagi penerapan hukum pidana adat melalui Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951 maka makna asas legalitas tidak lagi hanya bermakna formal (tertulis/ berdasarkan undang-undang) saja, tetapi juga bermakna materiil (berdasarkan hukum tidak tertulis). Hukum Pidana Adat mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka pembaharuan hukum pidana, karena keberadaan hukum pidana adat mempengaruhi pembentukan hukum pidana nasional khususnya dalam rangka pembentukan KUHP. Hal ini dapat diketahui dari dimasukkannya beberapa jenis tindak pidana adat yang berlaku di daerah Bali ke dalam RUU KUHP, seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha (Pasal 483 sub e), Kumpul Kebo (Pasal 485) dan Gamia Gamana/Incest (Pasal 487), serta dirumuskannya tindak pidana pencurian benda-benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk kepentingan keagamaan (Pasal 603) dan perusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk beribadah (Pasal 348) ke dalam RUU KUHP. Tindak pidana adat dan yang berhubungan dengan agama ini perlu dipertahankan dengan alasan: a). tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsur-unsurnya juga dikenal di daerah lain; b). untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif karena hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi; c). mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai sudut pandang yang sama, bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum; d). untuk adanya kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, sebagaimana diamanatkan oleh GBHN, dengan memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/ berkembang dalam masyarakat; e). melindungi derajat kaum wanita agar tidak dihina dan dipermainkan oleh kaum pria; f). menghindari lahirnya anak dengan status anak bebinjat (anak luar kawin). Sanksi/kewajiban pemenuhan adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagai pidana tambahan (Pasal 67 ayat (1 e) RUU KUHP, perlu tetap dipertahankan karena dipandang mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. Kata kunci: hukum pidana adat, eksistensi, landasan hukum, sistim hukum Indonesia. Abstract Adat criminal law is original unwritten Indonesian law contains religious values, followed and respected by the community over time and from generation to generation. Adat criminal law is still exist and applied in community life in Bali based on local regulations (four law books i.e. Agama, Adi Agama, Purwa Agama, Kutara Agama and Adat Village Regulations or Awig-awig Desa Adat), national aspirations, i.e. legislation policy, the results of national seminars, and sociological aspiration. Based on Law Number 1/Drt/1951, the principle of legality has two meanings i.e. not only in a formal sense (written law in legislations) but also in a material sense (unwritten law or living law). Adat criminal law has a significant influence in renewal criminal law, because the existence of adat criminal law recognized in accordance with the establishment of national criminal law especially in relation to the Draft of Criminal
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
259
Code. It can be knowing, especially from some of the Balinese adat criminal acts which have been included into the draft of Indonesian Criminal Code, e.g. sex offence (Article 483 sub e), living together in one house like husband and wife under no marital status (Article 485), incest (Article 487), the stealing sacred paraphernalia or elements that are used for religious purposes (Article 603), the ruining of religious sacred paraphernalia or elements that are used for praying (Article 348). The reasons for including these articles are: a). these kinds of criminal acts are not only fount in Bali. Its meaning and elements are recognized in other areas also; b). to maintain justice and the certainty of law because there are many law breakers in regions outside Bali who have not been punished by positive criminal law and their acts have also not been punished under the local customary law in those regions when community morality says they should be; c). since Indonesian people recognize their customs and have a strong religious perceptions, they indeed, have the same point of view that this sort of immoral behavior should be punished in the name of justice and the certainly of law; d). for the codification and unification purposes of criminal law as stipulated in GBHN (Broad Outlines of Nation’s Direction) by including unwritten law and living law that exists in community; e). to protect the women; f). to avoid illegitimate born of child. Adat punishment or customary duty fulfillment as an additional penalty (Article 67 part 1 sub e), would continue in force because it has an important role in conflict resolution, restoring the balance because of criminal acts and cause to be brought in peaceful in the community. Keywords: adat criminal law, existency, legal basis, Indonesian legal system
I.
PENDAHULUAN.
A. Masa Sebelum Kemerdekan Apabila ditinjau sejarah perkembangan hukum di Indonesia, pada awalnya hanya berlaku Hukum Adat yang asli beserta segenap tatanan dan kelembagaannya. Orang Minangkabau memiliki Sistem Hukum Adatnya sendiri dengan asas-asas dan filsafah yang dianggap benar di daerah tersebut. Asasasas dan filsafah ini berbeda dengan asas dan filsafah di Jawa Timur (Maja Pahit), berbeda dengan asas-asas dan filsafah di Sulaweasi, atau di Bali, atau di Flores, atau di Mentawai, atau di Aceh, atau di Alor, atau di Papua. Pada saat itu hanya ada 2 (dua) unsur saja yang sama dari semua sistem Hukum Adat yang ada, yaitu sifat kekeluargaan (komunitas) dan sifat tidak tertulis (kecuali Hukum Majapahit, Hukum Adat Bali, Hukum Wajo, dan beberapa daerah lainnya). Van Vollenhoven menyatakan ada 3 (tiga) unsur yang sama, yaitu commun, contant dan concrete.4
Van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan Hukum Adat.1 Selain itu, menurut Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan sebagaimana adanya (taken for granted) tanpa mengenal bentukbentuk pemisahan, seperti dikenal dalam wacana hukum barat bahwa individu merupakan entitas yang terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, hukum adat diliputi dengan semangat kekeluargaan, individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan. Corak demikian mengindikasikan bahwa kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan individu2. Van Vollenhoven has been called the ‘discoverer of adat law’. According to Van Ossenbruggen, ‘the most important fact is expressed in one allembracing word: Van Vollenhoven elevated adat law to a science. Though much that preceded his work was of value -- I need but mention Snouck Hurgronje, Wilken and Liefrinck – a science of adat law did not exist before Van Vollenhoven and without him would probably not yet have been created’3
Baru sekitar abad ke-7 Hukum Adat meresepsi unsur-unsur Agama Hindu. Karena itu keadaan hukum di kepulauan Nusantara sampai pada abad ke-14 banyak meresepsi hukum Hindu5. Dengan berjalannya waktu, kondisi tersebut mulai abad ke-14 berubah lagi dengan penambahan unsur-unsur Hukum Islam ke dalam Hukum Adat di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Aceh, Banten, Sulawesi Selatan, Lombok, dan lain-lain. Ada pula daerah yang lebih banyak mempertahankan sifat keasliannya, seperti Nias dan Mentawai, Toraja dan Asmat; dan ada daerah yang tetap
Selanjutnya perkembangan hukun adat di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut: 1 H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, PT. Alumni Bandung, 2001, hlm. 7. 2 Ibid, hlm. 8 3 J. F. Holleman, Van Vollenhoven on Indonesian Adat Law, The Hague – Martinus Nijnhoff, Netherlands, 1981, hlm. L.
260
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
4 5
BPHN Departemen Kehakiman R.I., 1995/1996, op.cit., hlm. 12 Ibid.
mempertahankan Agama Hindu seperti Jawa Tengah dan Bali6. Dalam periode berikutnya sekitar abad ke-17 banga Portugis, Belanda serta bangsa asing lainnya mulai menginjakkan kakinya ke beberapa daerah di Indonesia, maka selain produk hasil industrinya mereka juga mempengaruhi masyarakat setempat dengan ajaran-ajaran agamanya, sehingga hukum adat setempat, seperti di Batak, di Sulawesi Utara, di Maluku, di Irian Jaya, di Flores, di Timor, yang pada waktu itu sebenarnya masih lebih asli daripada sistem-sistem Hukum Adat yang sudah terpengaruh oleh Agama Hindu dan Islam itu mulai meresepsi unsur-unsur Hukum Eropa dan Agama Kristen/Katolik dalam hukum adatnya7. Hukum asli yang sudah meresepsi unsur agama ini terus berkembang dan berlaku yang oleh Snouck Hurgronje pada tahun 1893 disebut sebagai hukum adat. Istilah hukum adat ini selanjutnya oleh van Vollenhoven dipandang sebagai hukum positip bagi masyarakat adat yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. The term adat-law (adatrecht) was used for the first time in 1893 by Snouck Hurgronje to describe Indonesian folk law; adat that has legal consequences. Carpentier Alting calls it ‘native rules of law formed through custom, resolutions of native organizations and the institutions connected with the religion, between all the natives or the Foreign Orientals, and sometimes by separate native or Foreign Oriental groups or parts of them. Cassuto understands adat law as ‘thelaw,that rooted in the old country law, has developed itself through time in the native community and is felt to be the law’. Van Vollenhoven, who is without a doubt one of the most authoritative sources in the matter, describes adat law as ‘a body of rules of behavior for natives and Foreign Orientals, which on the one hand are enforced by sanction (therefore “law”) and on the other hand uncodified (therefore “adat”). Initially by ‘sanction’ he meant a more or less ‘official sanction’ by some institution with authority to punish, later however Van Vollenhoven modified this definition to include ‘recommendation’ and ‘disapproval’ as sanctions.8 6
Ibid. Ibid 8 Roelof H. Haveman, The Legality of Adat Criminal Law In Modern 7
Eksistensi hukum pidana adat dapat diketahui dari masih dilaksanakan, diikuti dan ditaati oleh masyarakat adat dalam kehidupan sehari-hari. Di samping itu juga telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, Ketetapan MPR-RI Nomor II/ MPR/1999, Ketetapan MPR-RI Nomor III/ MPR/2000, yang pada intinya menentukan masih eksisnya hukum tidak tertulis. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo. Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, dalam beberapa pasalnya (Pasal 14 ayat 1, 23 ayat 1, 27 ayat 1) terdapat ketentuan yang dapat dijadikan dasar bagi hukum pidana adat. Dalam beberapa kali Seminar Hukum Nasional, telah pula menghasilkan berupa resolusi, kesimpulan dan laporan, yang tetap mengakui hukum tidak tertulis di samping hukum tertulis. Dari uraian di atas tampak jelas bahwa pengembangan dan pembangunan hukum nasional bersumber dan harus digali dari nilainilai hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) agar hukum nasional di masa yang akan datang mampu mencerminkan nilainilai sosial, budaya, dan susunan masyarakat Indonesia Melalui proses sejarah, pada waktu peraturan Indische Staatsregeling (S 1855-2) dinyatakan berlaku, hukum dan segenap aspeknya di Indonesia berdasarkan pasal 163 jo 131 Indische Staatsregeling dibedakan ke dalam 3 (tiga) sub-sistem hukum (norma) beserta tatanan dan kelembagaannya yaitu yang berdasarkan: 1. Sistem Hukum Barat, 2. Sistem Hukum Adat dan 3. Sistem Hukum Islam. Tampaklah, bahwa bukan hanya seluruh hukum yang berlaku di Indonesia bersifat heterogen, tetapi akibat sejarah yang panjang tiap-tiap bagian hukum yang berlaku dengan masing-masing daerah di Indonesia juga bersifat heterogen. B. Masa setelah Proklamasi Kemerdekaan. Sampai pada saat Proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945, kondisi keanekaragaman hukum itu masih tetap berlaku melalui Indonesia, PT. Tatanusa Jakarta, 2001, hlm.5.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
261
ketentuan Pasal II aturan Peralihan UUD 1945, ditambah dengan produk-produk Hukum Nasional (yang berlandaskan UUD 1945) yang sejak tahun 1945 hingga sekarang semakin bertambah jumlahnya. Keanekaragaman hukum ini masih terus berlangsung, karena masih banyaknya berbagai peraturan kolonial yang masih berlaku ataupun belum tercabut, meskipun sesungguhnya tidak seluruhnya masih diperlukan lagi. Karena itu perlu dilakukan: 1. Perubahan, pembaharuan, dan penyesuaian atau penggantian peraturan kolonial itu oleh peraturan Hukum Nasional, dan 2. Secara konseptual dan mendasar perlu dilaksanakan transformasi Hukum Barat, Hukum Islam maupun Hukum Adat ke dalam Sistem Hukum Nasional, sehingga menjadi bagian yang utuh dan tidak terpisah-pisahkan dari Sistem Hukum Nasional kita yang berfilsafatkan Pancasila dan berdasarkan UUD 1945.9 Pada saat ini Hukum Positif masih terdiri dari unsur-unsur: 1. Hukum Adat, 2. Hukum Islam, 3. Hukum Barat, dan 4. Hukum Nasional yang disusun setelah Proklamasi Kemerdekaan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena itu Hukum Positif Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan nilai-nilai Pancasila dan UUD 194510. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki peraturan perundangundangan, jadi belum ada hukum yang berlaku di wilayah yang baru diproklamasikan. Sehari setelah proklamasi, tanggal 18 Agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang dan menetapkan UUD Negara Republik Indonesia (yang kini dikenal dengan nama UUD 1945). Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, menentukan bahwa : Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. 9
Ibid., hlm. 16. 10 Ibid
262
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Ini berarti, bahwa segala lembaga dan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada zaman Hindia Belanda dinyatakan tetap berlaku di wilayah Republik Indonesia merdeka, sehingga dapat dihindari adanya kekosongan hukum, termasuk dengan sendirinya Stb. 1915 No. 732 tersebut di atas dinyatakan pula tetap berlaku. Di samping itu, Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, menentukan: Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut undang-undang dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional. Berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945 tersebut, selanjutnya Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 2 pada tanggal 10 Oktober 1945 yang antara lain menentukan sebagai berikut: Untuk ketertiban masyarakat, bersumber akan Peraturan Peralihan Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Pasal II berhubung dengan Pasal IV, kami Presiden, menetapkan peraturan sebagai berikut: Pasal 1: Segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Negara RI pada tanggal 17 Agustus 1945, selama sebelum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut. Dalam perjalanan selanjutnya, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946 pada tanggal 26 Pebruari 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal I Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946, menentukan: Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tanggal 10 Oktober 1945 Nomor 2 menetapkan, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku, ialah peraturan-peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka hukum pidana yang berlaku di Republik
Indonesia adalah peraturan hukum pidana yang berlaku pada zaman Hindia Belanda yaitu Wetboek van Strafrect voor Nederlandsch Indie. Sedangkan peraturan perundangundangan pidana lainnya yang diadakan pada masa pendudukan Jepang dinyatakan tidak berlaku. Pada saat berlakunya Konstitusi RIS ketentuan yang sama diatur dalam Pasal 192, demikian pula di era UUDS 1950 ketentuan serupa diatur dalam Pasal 142, sampai kembali lagi ke UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sehingga Wetboek van Strafrecht voor Indonesia (Stb. 1915 No. 732) tetap berlaku sampai hari ini. Meskipun demikian, lagi-lagi masih tetap berlaku dualisme W.v.S., karena untuk Daerah Jakarta dan sekitarnya yang masih dikuasai dan diduduki oleh tentara Belanda berlaku W.v.S dengan versi perubahan Pemerintah Hindia Belanda melalui Stb. 1945 No. 135. Sebaliknya Pemerintah Republik Indonesia yang berkedudukan di Yogyakarta kemudian dengan Undang Undang No. 1 tahun 1946 tetap memberlakukan W.v.S. Stb 1915 No. 732, antara lain dengan merobah namanya menjadi Wetboek van Strafrecht (WvS) atau bisa disebut dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Undang-Undang No. 1 tahun 1946 antara lain menentukan beberapa perubahan penting, seperti: 1. Pasal V menentukan bahwa Peraturan Hukum Pidana yang seluruhnya atau sebagian tidak dapat dijalankan atau bertentangan dengan kedudukan Indonesia sebagai negara merdeka atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap tidak berlaku (dekriminalisasi). 2. Pasal VI menentukan perubahan resmi nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie menjadi Wetboek van Strafrecht saja, yang dapat disebut sebagai Kitab Undang Undang Hukum Pidana disingkat KUHP. 3. Pasal VIII memuat ketentuan yang memuat perubahan kata-kata dan penghapusan beberapa pasal-pasal KUHP. 4. Adanya kriminalisasi yang dimuat dalam Pasal IX sampai dengan Pasal XVI.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (Berita Negara Republik Indonesia II Nomor 9), Wetboek van Strafrecht voor NederlandschIndie disebut sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan dinyatakan berlaku untuk Pulau Jawa dan Madura., sedangkan untuk daerah-daerah lain akan ditetapkan kemudian oleh Presiden. Usaha untuk mewujudkan adanya kesatuan hukum pidana untuk seluruh Indonesia ini, secara de facto belum dapat terwujud karena terdapat daerah-daerah pendudukan Belanda sebagai akibat aksi Militer Belanda I dan II di mana untuk daerahdaerah tersebut masih berlaku Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (Staatsblad 1915 No. 732) dengan segala perubahannya. Dengan demikian, dapat dikatakan setelah kemerdekaan tahun 1945 terdapat dualisme hukum pidana yang berlaku di Indonesia. Guna menghilangkan dualisme dari KUHP tersebut, Pemerintah R.I. lalu mengundangkan Undang Undang No. 73 tahun 1958 (L.N. No. 127 tahun 1958), yang antara lain menentukan bahwa Undang-Undang No. 1 tahun 1946 dengan segala perubahan dan penambahannya berlaku untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian, mulai tahun 1958 terjadi unifikasi dalam hukum pidana, artinya sudah tidak ada dualisme lagi dalam hukum pidana dan berlakulah hukum pidana materiil yang seragam untuk seluruh Indonesia yang bersumber pada hukum yang berlaku pada tanggal 8 Maret 1942 yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie, yang untuk selanjutnya disebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dalam KUHP yang hingga kini masih berlaku, tidak ada ketentuan yang secara tegas memberikan landasan hukum bagi dapat dipidananya tindak pidana adat, karena untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, berlaku suatu asas dalam hukum pidana yang namanya “asas l;egalitas” sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang menentukan: Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dipidana, kecuali atas perundang-undangan pidana yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan”. Ini berarti, bahwa hanya tindak pidana yang sudah ditentukan dalam perundang-undangan pidana yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana. Tindak pidana adat adalah tindak pidana yang tidak diatur dalam perundang-undangan hukum
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
263
pidana. The principle of legality became particularly important at the end of the 18th century, in the US through its constitution of 1783, and on the European continent after the French revolution through its Declaration des droits de l‘homme et du citoyen (1789), in which it was stated that11 Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang fundamental. Pertama kali asas ini dituangkan dalam Konstitusi Amerika 1783, dan sesudah itu dalam Pasal 8 Declaration de droits de l’homme et du citoyen 1789. Asas legalitas ini kemudian tercantum dalam KUHP berbagai negara di dunia. Di Prancis asas ini pertama kali termuat dalam Pasal 4 Code Penal yang disusun oleh Napoleon Bonaparte (tidak ada pelanggaran, tidak ada delik tidak ada kejahatan yang dapat dipidana berdasarkan aturan hukum yang ada, sebelum aturan hukum itu dibuat terlebih dulu), di Belanda asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Wetboek van Strafrecht yang dengan tegas menentukan “Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling”. Menurut Machteld Boot, asas legalitas mengandung beberapa syarat: Pertama, nullum crimen, noela poena sine lege praevia, yang berarti, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini adalah menentukan bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut. Kedua, nullum crimen, nulla poena sine lege scripta, artinya, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari makna ini, adalah bahwa semua ketentuan pidana harus tertulis. Ketiga, nullum crimen, nulla poena sine lege certa, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi dari makna ini, adalah harus jelasnya rumusan perbuatan pidana sehingga tidak bersifat multitafsir yang dapat membahayakan kepastian hukum Keempat, nullum crimen, noela poena sine lege stricta, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Konsekuensi dari makna ini secara implicit adalah tidak diperbolehkannya analogi. 11
264
Roelof H. Haveman, op.cit, hlm. 48.
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Ketentuan pidana harus ditafsirkan secara ketat sehingga tidak menimbulkan perbuatan pidana baru12. Rumusan dari Pasal 1 ayat (2) KUHP membuat pengecualian atas ketentuan tidak berlaku surut untuk kepentingan terdakwa, artinya bilamana terjadi perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Dalam asas legalitas tampak jaminan dasar kepastian hukum, merupakan tumpuan dari hukum pidana dan hukum acara pidana. Asas legalitas mempunyai 2 fungsi, yaitu fungsi instrumental: tidak ada perbuatan pidana yang tidak dituntut; dan fungsi melindungi: tidak ada pemidanaan kecuali atas dasar undang-undang. Atas dasar ke dua fungsi asas legalitas tersebut, seorang ahli hukum pidana Jerman Anzelm von Feuerbach (1775-1833) merumuskan asas legalitas secara mantap dalam bahasa Latin: 1. nulla poena sine lege: tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undangundang; 2. nulla poena sine crimine: tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana; 3. nullum crimen sine poena legali: tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang. Rumusan tersebut juga dirangkum dalam satu kalimat: nullum crimen, nulla poena sine praevia lege poenali: tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana, tanpa ketentuan undang-undang lebih dahulu. Jadi, asas legalitas sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut dapat dikatakan sebagai “asas legalitas dalam arti formil” artinya hanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh undangundang saja yang dapat dituntut dan dijatuhi pidana (hukuman). Secara yuridis formal, tindak pidana adat baru mempunyai dasar hukum berlaku dengan dikeluarkan serta diundangkannya Undangundang No.1/Drt/tahun 1951 tentang “Tindakan 12 Eddy O.S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga Jakarta, 2009, hlm. 29.
Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilanpengadilan Sipil”, sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (3b) yang menentukan sebagai berikut: “Hukum Materil sipil dan untuk sementara waktupun hukum pidana sipil yang sampai kini berlaku untuk kaula-kaula daerah swapraja dan orang-orang yang dahulu diadili oleh Pengadilan Adat, ada tetap berlaku untuk kaulakaula dan orang-orang itu, dengan pengertian: a. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, akan tetapi tiada bandingnya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil, maka dianggap diancam dengan hukuman yang tidak lebih dari tiga bulan penjara dan atau denda lima ratus rupiah, yaitu sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman adat yang dijatuhkan tidak diikuti oleh pihak yang terhukum dan penggantian yang dimaksud dianggap sepadan oleh Hakim dengan besar kesalahan yang terhukum; b. bahwa bilamana hukuman adat yang dijatuhkan itu menurut pikiran Hakim melampaui padanya dengan hukuman kurungan atau denda yang dimaksud di atas, maka atas kesalahan terdakwa dapat dikenakan hukuman pengganti setinggi 10 tahun penjara, dengan pengertian bahwa hukuman adat yang menurut paham hakim tidak selaras lagi dengan jaman senantiasa mesti diganti seperti tersebut di atas, dan c. bahwa suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil maka dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip kepada perbuatan pidana itu”13. Dari ketentuan pasal 5 ayat (3b) Undang– Undang Darurat No. 1 tahun 1951 tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa mengenai hukum adat pidana berlakunya hanya untuk sementara waktu saja untuk kaula-kaula dan orang-orang yang dahulu diadili oleh pengadilan adat. Di dalam penjelasannya pembuat Undang-Undang menerangkan, bahwa masih 13 R. Tresna, Komentar HIR, Penerbit Tresco, Jakarta, 1976, hlm. 35. R.O. Siahaan, Hukum Acara Pidana, Penerbit RAO Press, Cibubur, 2009, hlm. 31-32.
dipertahankannya hukum adat pidana itu ialah oleh karena dalam tempo yang pendek Kitab Hukum Pidana Sipil akan diulang pengundangannya setelah Kitab ini disesuaikan dengan keadaan Pemerintahan yang baru ini, dan kini belum tentu apakah perbuatanperbuatan Pidana Adat dan hukuman-hukuman adat harus diakui terus; maka untuk sementara waktu perbuatan-perbuatan pidana adat itu dan hukuman-hukuman adat itu tidak dihapus. Sebagai tindakan peralihan, maka di dalam pasal 5 ayat (3b) tersebut di atas selanjutnya diadakan peraturan untuk menjabarkan hukuman-hukuman adat itu, di dalam hal mana diadakan perbedaan di antara perbuatanperbuatan pidana Sipil, dan perbuatanperbuatan pidana adat yang ada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil. Ketentuan pasal 5 ayat (3b) Undangundang Darurat Nomor 1 tahun 1951 bila dihubungkan dengan ketentuan pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditemukan adanya pergeseran prinsip yang dianut selama ini oleh Hukum Pidana kita. Pengertian materiil, artinya perbuatanperbuatan itu tidak saja dilarang oleh Undangundang (hukum yang tertulis) tapi juga oleh aturan-aturan hukum yang tidak tertulis. Untuk dapat dipidana suatu perbuatan seseorang tidaklah harus perbuatan itu diancam pidana dulu oleh Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau perundang-undangan lainnya, tapi walaupun Undang-undang belum/ tidak mengancam pidana perbuatan itu, apabila ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis menganggap perbuatan itu sebagai perbuatan yang tercela, maka tidak ada alasan bagi Hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atas dilakukannya perbuatan tadi. Perluasan makna asas legalitas tersebut di atas sudah diadopsi ke dalam Pasal 2 RUU KUHP 2009/2010. Pasal 2 RUU KUHP menentukan sebagai berikut: Ayat (1)
(2009/2010),
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
265
walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Penjelasan: Hukum yang hidup maksudnya hukum yang hidup dalam kehidupan masyarakat hukum Indonesia. Bentuk hukum yang hidup dalam masyarakat hukum Indonesia antara lain dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu. Ayat (2)
Berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia dan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui leh masyarakat bangsa-bangsa.
Penjelasan: Ayat ini mengandung pedoman atau kriteria atau rambu-rambu dalam menetapkan sumber hukum materiil (hukum yang hidup dalam masyarakat) yang dapat dijadikan sebagai sumber hukum (sumber legalitas materiil). Pedoman pada ayat ini berorientasi pada nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila 266
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
sebagai sumber hukum nasional, hak asasi manusia, prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa14. Sesuai dengan bunyi pasal 23 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditentukan bahwa : “Segala putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. Ini berarti, bahwa hukum yang tidak tertulis (hukum adat) haruslah dijadikan dasar oleh Hakim di dalam mengadili dan memutus perkara pidana adat. Ketentuan tersebut mengandung makna pula bahwa Hakim di dalam menangani perkara pidana adat diharapkan untuk lebih memahami lagi hukum yang tidak tertulis yang akan diambil sebagai dasar putusannya. Harapan ini kemudian dipertegas lagi oleh ketentuan pasal 27 ayat (1) Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tersebut di atas yang menyatakan: “Hakim sebagai penegak Hukum dan Keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat” Di dalam sistem Hukum Adat, Hakim berwenang bahkan wajib apabila terhadap suatu persoalan belum diatur dalam peraturan perundangan (hukum positif), memberi keputusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat yang tumbuh pada saat itu Hakim wajib mewujudkan secara konkrit melalui putusannya itu, apa yang menurut anggapannya sesuai dengan perasaan hukum masyarakat. Atas dasar inilah, apabila Hakim memeriksa perkara pidana adat perlu memanggil pemukapemuka adat setempat selaku saksi ahli untuk diminta keterangannya (pendapatnya) atas perkara yang sedang diperiksa. Keterangan dari para pemuka adat ini sangat berguna bagi Hakim di dalam membuat pertimbangan dari putusannya. 14 Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I., RUU KUHP, 2009/2010, hlm. 2 dan penjelasan hlm. 10-11
Apa yang diputuskan oleh Hakim melalui putusannya itu haruslah sejalan dengan apa yang hidup dalam masyarakat, sehingga untuk pentaatannya tidak didasarkan kepada sesuatu yang dipaksakan, tetapi yang didasarkan kepada sesuatu yang memang sewajarnya harus diterima dan diikuti.
masyarakat, karena dianggap mengganggu keseimbangan kosmis masyarakat. Oleh sebab itu, bagi si pelanggar diberikan reaksi adat, koreksi adat atau sanksi/kewajiban adat oleh masyarakat melalui Pengurus adatnya. Pengertian Hukum Pidana Adat seperti tersebut di atas mengandung empat hal pokok yaitu:
Untuk memberikan dasar hukum yang kuat dalam memidana pelaku tindak pidana adat, Tim Penyusun RUU KUHP, kini telah memasukkan dua ayat ke dalam pasal 2 RUU KUHP yaitu ayat (1) dan ayat (2) yang mengakui eksistensi dari tindak pidana adat. Dari ketentuan ini tampak jelas bahwa yang dianut adalah ajaran sifat melawan hukum yang materiil yaitu sesuatu perbuatan melawan hukum tidak saja ditentukan oleh undangundang (asas legalitas formal) yang menjadi landasan utama, melainkan juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis dan hidup dalam masyarakat (asas legalits material).
1. Hukum Indonesia asli yang merupakan rangkaian peraturan-peraturan tata tertib yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang di sana-sini mengandung unsur-unsur agama. 2. Peraturan tersebut dibuat, diikuti dan ditaati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 3. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut dipandang sebagai perbuatan yang menimbulkan kegoncangan dan mengganggu keseimbangan kosmis. Perbuatan melanggar peraturan ini dapat disebut sebagai Tindak Pidana Adat.
Dengan demikian, sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak pidana tidak hanya didasarkan pada asas legalitas formal (berdasarkan undang-undang), tetapi juga didasarkan pada asas legalitas materiel, yaitu dengan memberi tempat kepada ”hukum yang hidup/hukum tidak tertulis.”
4. Pelaku yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dikenai sanksi/ kewajiban adat oleh masyarakat yang bersangkutan. Hukum Pidana Adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan masyarakat. Jadi berbeda dari hukum pidana barat yang menekankan peristiwa apa yang dapat diancam dengan hukuman serta macam apa hukumannya, dikarenakan peristiwa itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan16 Hukum Pidana Adat adalah hukum yang hidup (living law) dan akan terus hidup selama ada manusia budaya, ia tidak akan dapat dihapus dengan perundang-undangan. Andai kata diadakan juga undang-undang yang menghapuskannya, akan percuma juga, malahan hukum pidana perundangundangan akan kehilangan sumber kekayaannya, oleh karena hukum pidana
II. PEMBAHASAN 1.
EKSISTENSI HUKUM PIDANA ADAT a. Pengertian Hukum adat adalah Hukum Indonesia Asli, yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang disana-sini mengandung unsur agama15 Dari kesimpulan tersebut dapat pula dikatakan bahwa Hukum Pidana Adat adalah Hukum Indonesia Asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan yang disana-sini mengandung unsur agama, diikuti dan ditaati oleh masyarakat secara terus menerus, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pelanggaran terhadap aturan tata tertib tersebut dipandang dapat menimbulkan kegoncangan dalam
15 Kesimpulan Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional tanggal 17 Januari 1975.
16
Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung, 1984,
hlm. 18
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
267
adat itu lebih dekat hubungannya dengan antropologi dan sosiologi dari pada hukum perundang-undangan17 Adat Criminal Law is an uncodified body of rules of behaviour, enforces by sanctions, varying from time to time and from place to place. During the first part of the 20th century many of these ‘rules’ were ‘discovered”, and described by scholars such as Van Vollenhoven and Ter Haar. These descriptions however are nothing more than the descriptions of the law in that period in certain places. Since then the description of adat law has been neglected. In combination with the ever changing nature which adat (law) implies, nowadays, at the start of the 21st century, it is very difficult to know the adat law in a certain place, at least for an outsider, which means anyone who is not living in the community in which the adat is alive.18 2. Sumber Hukum Pidana Adat Sebagaimana halnya bidang hukum yang lain, Hukum Pidana Adat juga mempunyai sumber hukumnya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum yang tidak tertulis adalah kebiasaankebiasaan yang timbul, diikuti dan ditaati secara terus menerus dan turun temurun oleh masyarakat adat yang bersangkutan. Sedang sumber tertulis dari Hukum Pidana Adat adalah semua peraturan-peraturan yang dituliskan baik di atas daun lontar, kulit atau bahan lainnya. Di daerah Bali, sumber tertulis dari hukum pidana adat dapat diketemukan pada beberapa sumber, seperti: a. Manawa Dharma Sastra (Manu Dharmacastra) atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu). b. Buku hukum (Wetboek) Catur Agama yaitu Buku hukum Agama, Buku hukum Adi Agama, Buku hukum Purwa Agama dan Buku hukum Kutara Agama. c. Awig-awig (Desa Adat/Desa Pakraman atau Banjar) adalah aturan-aturan dan keinginan-keinginan masyarakat 17 18
268
Ibid, hlm. 20 Roelof H. Haveman, op.cit; hlm. 31-32
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
hukum adat setempat yang dibuat dan disahkan melalui suatu musyawarah dan dituliskan di atas daun lontar atau kertas. Di dalam awig-awig ini dimuat dan diatur larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh warga masyarakat adat yang bersangkutan atau kewajiban-kewajiban yang harus diikuti oleh masyarakat tersebut, yang apabila dilanggar mengakibatkan dikenakannya sanksi oleh masyarakat melalui pimpinan adatnya19. Di daerah lain, juga terdapat sumber hukum (pidana) adat tertulis, seperti Hukum Majapahit, Hukum Wajo (Sulawesi Selatan), beberapa daerah di Papua misalnya hukum adat Biak. 3. Adressat (Sasaran) dari Hukum Pidana Adat. Yang menjadi adressat dari norma hukum adalah warga masyarakat dan alatalat perlengkapan negara, misalnya Hakim, Jaksa, Polisi, Jurusita dan sebagainya. Kepada mereka inilah norma-norma itu tertuju. Dari mereka diharapkan untuk bertindak laku seperti apa yang dipandang patut oleh norma itu atau sebaliknya. Demikian pula alat alat perlengkapan negara harus menaati norma hukum20 Hukum Pidana Adat hanya berlaku terhadap warga mayarakat adat dan Prajuru (Pengurus) masyarakat adat yang bersangkutan, sesuai dengan lingkaran berlakunya hukum adat yang ada. Hukum Pidana Adat Bali misalnya hanya berlaku pada orang Bali (yang beragama Hindu), tidak berlaku bagi masyarakat Indonesia lainnya. Berlakunya Hukum Pidana Adat itu tidak hanya bagi yang tinggal di daerah berlakunya hukum adat tersebut, tetapi juga berlaku bagi warga masyarakat adat tersebut yang tinggal di luar daerah masyarakat hukum adat itu. Hukum Pidana Adat tersebut akan tetap berlaku, selama masyarakat hukum adat itu masih ada dan tetap mempertahankannya. 19 I Made Widnyana, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Alumni Bandung, 1992, hlm. 4 20 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977, hlm 29-30.
Semuanya itu sangat bergantung pada “desa”(tempat), “kala” (waktu) dan “patra” (keadaan), artinya apabila pada suatu waktu dan dalam keadaan tertentu oleh masyarakat adat setempat, suatu perbuatan yang semula tidak dilarang dapat merupakan delik, meskipun tadinya tidak ada peraturan yang melarangnya, bilamana pada saat itu ditetapkan oleh petugas hukum, bahwa perbuatan itu memperkosa perimbangan hukum, memperkosa keselamatan masyarakat dan dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat (kriminalisasi). Demikian pula sebaliknya apabila tidak ada anggapan masyarakat sesuai perasaan keadilannya bahwa perbuatan itu menentang hukum, menimbulkan kegoncangan dan ketidak seimbangan kosmis, maka perbuatan tersebut pada tempat, waktu dan keadaan tertentu itu tidak boleh dikenai sanksi lagi (dekriminalisasi).
Soepomo, mengemukakan bahwa di dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiarikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum jika hukum itu diperkosa. Selanjutnya dikatakan, apabila terjadi suatu pelanggaran hukum, maka petugas hukum (kepala adat dan sebagainya) mengambil tindakan konkrit (adat reactie) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu.22 Sementara itu, Hilman Hadikusuma mengatakan, yang dimaksud delik adat adalah peristiwa atau perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali. Peristiwa atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang ghaib, yang telah menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan hukuman denda atau dengan upacara adat.23
Hukum Pidana Adat berlaku terhadap anggota-anggota (warga) masyarakat adat dan orang-orang di luarnya yang terkait akibat hukumnya. Hukum Pidana Adat berlaku di lapangan hidup kemasyarakatan yang bertautan dengan keseimbangan duniawi dan rohani.
Menurut hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal ikhtiar-ikhtiar untuk memperbaiki hukum (Rechsherstel) jika hukum itu dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini, sering disebut dengan “delik adat”. Terkait dengan masalah ini Ter Haar menulis bahwa yang dianggap suatu pelanggaran (delik) adalah setiap gangguan segi satu (eenzijdig) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada barangbarang kehidupan material dan immaterial orang seorang, atau dari pada orang-orang banyak yang merupakan satu kesatuan (segerombolan), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah reaksi adat (adat reaksi) karena reaksi mana kesetimpangan dapat dan harus dipulihkan kembali (kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang). 24
2. TINDAK PIDANA (DELIK) ADAT a. Pengertian Dalam masyarakat adat, tidak jarang terjadi ketegangan-ketegangan sosial, karena terjadi pelanggaran adat oleh seorang atau sekelompok warga masyarakat yang bersangkutan. Ketegangan-ketegangan itu akan pulih kembali bilamana reaksi masyarakat yang berupa pemberian sanksi adat telah dilakukan atau dipenuhi, oleh si pelanggar adat. Delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mangancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material atau immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat.21 21
Bushar Muhammad, op.cit., hlm. 67.
22
Soepomo, op.cit., hlm. 110. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1992, hlm. 231. 24 Ter Haar, B. Bzn., op.cit., hal. 128. 23
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
269
Berdasarkan uraian Ter Haar di atas, terganggunya keseimbangan masyarakat dapat terjadi bukan saja terhadap suatu yang berwujud nyata, akan tetapi juga terhadap suatu yang tidak berwujud. Hal ini disebabkan masyarakat hukum adat memiliki alam pikiran yang komunalisme dan religius magis yang kuat. Alam pikiran masyarakat hukum yang demikian itu memandang kehidupan ini sebagai sesuatu yang homogen dalam hal mana kedudukan manusia adalah sentral. Manusia merupakan bagian dari alam semesta (makro kosmos), tidak terpisah dari pencipta-Nya yaitu Tuhan Yang Mahaesa, dan bersatu dengan lingkungan alam serta lingkungan sesamanya (di Bali dikenal dengan istilah “Tri Hita Karana” atau Tiga Penyebab Kebahagiaan). Semua itu saling berhubungan dan saling mempengaruhi dan berada dalam satu keseimbangan yang senantiasa harus dijaga. Jika suatu ketika keseimbangan dirasakan terganggu haruslah segera dipulihkan. Masyarakat Afrika juga mengenal model adanya tiga hubungan, seperti halnya Tri Hita Karana yang dikenal dan dilaksanakan di Bali. Rouland menjelaskan, di dalam kehidupan manusia terdapat tiga jenis hubungan yang fundamental antara manusia, benda, dan Tuhan (The three fundamental relationships: humanity, things, God). The first relationship is person to person. This will be determined by the place people occupy in society and the level at which their activities take place. Relationships may be group-to-group, group-to-individuals, or indiviadual-togroup. The person-to-person relationship is crucial in the prevention and settling of dispute. The second relationship is person-to-God, which attempts to control time, and through time, humankind. It concerns the domain of kinship, in which communities are articulated around the cult of ancestors and their tombs; it may also involve the political domain where power frequently contains a sacred dimension; it may even extend to the
270
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
domain of property, where certain rights may be legitimated or protected. The third relationship is person-to-things. This involves control over space and also control over time. It operates in the domain of property, where it is used to define control over space and land-use, but it is also as a part to play in other areas; kinship ties (involving recidence), marriage (dowries and compensetion), politics (the confiscation of goods, which is both an affirmation of power and a means through which power is exercised). These three relationships combine with the triple control over time, people and space previously referred to25. Dari beberapa pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa tindak pidana adat adalah semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan kerukunan, ketertiban, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, sekelompok orang maupun perbuatan yang dilakukan oleh pengurus adat itu sendiri. Perbuatan yang demikian itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan kosmos serta menimbulkan reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat. Apabila diamati beberapa definisi tentang tindak pidana adat itu, pada pokoknya terdapat empat unsur penting yaitu: a. Ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan, kelompok atau pengurus adat sendiri. b. Perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma hukum adat. c. Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat, dan d. Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi/ kewajiban adat. Di dalam menentukan tindak pidana adat tidak dikenal adanya asas legalitas 25 Norbert Rouland, Legal Anthropology, Stanford University Press Stanford, California, 1994, hlm. 161-162.
sebagaimana diatur oleh sistem KUHP kita yaitu yang mengharuskan adanya suatu undang-undang terlebih dahulu yang mengatur perbuatan tersebut, sebagai perbuatan yang dilarang atau tidak boleh dilakukan. Tindak pidana adat itu terjadi apabila perbuatan tersebut dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut, dipandang akan dapat mengganggu keseimbangan kosmis dan menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat.
Artinya, susila itu adalah yang paling utama pada titisan sebagai manusia sehingga jika ada perilaku (tindakan) titisan sebagai manusia itu tidak susila, apakah maksud orang itu dengan hidupnya, dengan kekuasaan, dengan kebijaksanaan, sebab sia-sia itu semuanya (hidup, kekuasaan dan kebijaksanaan) jika tidak ada penterapan kesusilaan pada perbuatan.27 Walaupun demikian, kenyataannya dalam praktek (das sein) tidaklah selalu sesuai dengan apa yang diharapkan (das sollen), sehingga terjadilah pelanggaran terhadap kesusilaan itu sendiri dengan beraneka ragam bentuknya sehingga dalam pertumbuhannya jenis tindak pidana adat ini masih banyak terjadi dan diatur dalam peraturan (awig-awig) Desa Adat di Bali seperti: a. lokika sanggraha.. b. drati krama. c. gamia gemana. d. memitra ngalang. e. salah krama. f. kumpul kebo. g. Berzina..28
b. Jenis-jenis Tindak Pidana (Delik) Adat Lublink-Weddik, sebagaimana dikutip oleh Soepomo, memberitakan di dalam buku disertasinya: “Adat Delicttenrecht in de Rapat Marga Rechtspraak van Palembang” (1939), bahwa rapat-rapat marga di Palembang sering mangadili perkara tentang: a. bujang gadis bergubalan lantas bunting b. janda bergubalan lantas bunting c. laki-laki berzinah pada gadis atau janda tidak bunting a. bunting gelap.26 Di Bali masih dikenal empat jenis Tindak Pidana Adat, yaitu: Tindak Pidana Adat yang menyangkut kesusilaan; tindak pidana adat yang menyangkut harta benda; tindak pidana adat yang melanggar kepentingan pribadi; dan pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban. 1) Tindak Pidana Adat menyangkut kesusilaan
Lokika Sanggraha sebagaimana dirumuskan di dalam Kitab Adi Agama pasal 359 serta perkembangan pandangan masyarakat dan praktek peradilan di daerah Bali adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena adanya janji dari si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawininya dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah29 .
yang
Berbicara tentang kesusilaan tidaklah dapat dipisahkan dari kelahiran manusia itu sendiri karena tujuan dari kesusilaan itu adalah untuk menciptakan keseimbangan atau keharmonisan hubungan antara makro kosmos (bhuana agung) dengan mikro kosmos (bhuana alit). Berkaitan dengan ini cloka 160 Sarasamuccaya menyatakan bahwa: Cilam pradhanam puruse tadyasyeha pranacyati, na tasya jivitenartho duhcilam kinprayojanam 26
Soepomo, 1982, op.cit., hlm. 126.
Tindak Pidana Adat ini, hingga kini masih sering terjadi dan diajukan ke Pengadilan, dibandingkan dengan jenis tindak pidana adat lainnya. Oleh Pengadilan Negeri di Bali terhadap 27
I Nyoman Kajeng, dkk, op.cit., hal 114. I Made Widnyana, 1992, 0p.cit.,, hlm. 7-8. 29 Ibid 28
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
271
pelaku tindak pidana adat ini dijatuhi pidana penjara antara 1 – 9 bulan, dan pidana percobaan antara 5 bulan – 2 tahun (antara lain Putusan Pengadilan Negeri Denpasar, Nomor: 79/TOL/ PID/1983/PN.DPS dan Putusan Pengadilan Tinggi Denpasar No. 22/ PID/S/1988/PT.DPS, yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Klungkung tanggal 27 Januari 1988 No. 1/Pid/ S/1988/PN.KLK). Raad Kerta memutus pelaku Lokika Sanggraha dengan pidana denda (Putusan Raad Kerta Kloengkoeng tanggal 17 November 1928, Zaak No. 61 Register). Oleh masyarakat di beberapa desa diadakan upacara pemrayascita (bersih desa).
2. Mengadakan upacara pembersihan dengan biayanya sendiri. 3. Si pelaku diceraikan. Memitra ngalang ialah seorang lakilaki yang sudah beristri mempunyai hubungan dengan wanita lain yang diberinya nafkah lahir batin seperti layaknya suami istri, tetapi wanita ini belum dikawini secara sah. Hubungan mereka bersifat terus menerus (berkelanjutan) dan biasanya si wanita ditempatkan dalam rumah tersendiri32. Tindak Pidana Adat ini sangat mirip dengan Drati Krama, tetapi titik berat pelakunya adalah laki-laki yang sudah beristri, sedang pihak wanitanya tidak terikat perkawinan. Jadi, mungkin masih gadis atau sudah janda. Si wanita tidak (belum) dikawini secara sah. Unsur yang khusus di sini dan membedakannya dengan Drati Krama, adalah sifat hubungannya yang terus menerus dan biasanya si wanita ditempatkan dalam satu rumah serta diberi nafkah lahir batin. Dapat dikatakan bahwa si wanita merupakan wanita simpanan dari si laki-laki tersebut.
Drati krama yaitu delik adat yang merupakan hubungan seksual antara seorang wanita dengan seorang lakilaki sedangkan mereka masih dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, dengan singkat dikatakan drati krama ialah “berzina” dengan istri / suami orang lain30 Gamia gemana ialah hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun ke samping31.
Salah krama ialah melakukan hubungan kelamin dengan mahluk yang tidak sejenis. Tegasnya hubungan kelamin tersebut terjadi antara manusia dengan hewan seperti seorang laki-laki melakukan hubungan kelamin dengan seekor sapi betina.
Terhadap kasus ini, Pengadilan Negeri pernah memutuskan dan si pelaku masing-masing di hukum 6 bulan penjara. Di samping itu oleh masyarakat diberikan sanksi adat yang berbeda-beda antara daerah satu dengan yang lain:
Terhadap kasus Salah Krama ini, Pengadilan Negeri tidak pernah memberikan putusan, karena kasus ini tidak pernah diajukan ke Pengadilan. Tetapi Raad Kerta pernah memutus kasus ini dengan mengenakan pidana penjara kepada si pelaku.
a. Ada yang sanksi adatnya berupa: 1. tidak boleh masuk anggota Banjar. 2. Dikenakan denda. 3. Di selong (dibuang ke luar wilayah Desa).
Sedang oleh masyarakat diberikan sanksi berupa:
b. Ada yang diberikan sanksi berupa: 1. Pelaku dimandikan ke laut (secara simbolik seperti ditenggelamkan ke laut).
adat
a. Si pelaku secara simbolik ditenggelamkan ke laut. b. Diadakan upacara pembersihan.
30
Ibid 31 Ibid
272
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
32
Ibid
Kumpul kebo ialah seorang lakilaki dengan seorang perempuan hidup bersama dalam satu rumah dan mengadakan hubungan seksual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan33. Istilah kumpul kebo ini, tidak hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, karena istilah tersebut sudah dikenal di seluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan di atas. Bedanya, adalah kalau di Bali perbuatan ini di samping merupakan perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis, sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagai perbuatan yang patut dilarang dan pelakunya dapat dikenai sanksi/kewajiban adat. 2) Tindak Pidana Adat menyangkut harta benda
yang
Tindak Pidana Adat tentang harta benda yang diatur dalam Awig-Awig Desa Adat, yang secara garis besarnya dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu : 1. Pencurian.. 2. Tindak pidana adat pencurian benda suci keagamaan. 3. Tindak pidana adat merusak benda suci keagamaan Mengenai pencurian dan atau merusak benda suci keagamaan terlebih dahulu harus dibatasi apa yang dimaksud dengan benda suci kegamaan itu. Yang dimaksud dengan benda-benda suci keagamaan ialah “benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana (pralingga) Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan” Jadi, secara singkat dapat dikatakan bahwa benda-benda suci adalah benda yang bersih menurut pengertian keagamaan. Artinya, setelah benda itu diupacarai barulah 33
Ibid
benda itu dapat dikatakan sebagai benda suci yang dipakai sebagai alat yang menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Sebelum adanya upacara terhadap benda tersebut maka benda itu tak akan mempunyai nilai kesucian, sebab upacara itu mempunyai fungsi yang sangat penting di dalam proses penyucian benda tersebut. 3) Tindak Pidana Adat yang melanggar kepentingan pribadi Jenis pelanggaran ini antara lain meliputi: mengucapkan kata-kata kotor atau mencaci seseorang (mamisuh); memfitnah (mapisuna) orang lain ; menuduh orang lain tanpa bukti yang jelas bisa sesuatu atau melakukan sesuatu yang tidak baik (menuduh bisa “ngeleak”/menyakiti orang lain), dan sebagainya. Perbuatan ini disebut “wakparusya”. yang diatur dalam Buku “Kutara Agama” pasal 83 dan Buku “Agama” pasal 230-235. Pada umumnya wakparusya itu terbatas pada pemakaian kata yang kurang wajar terhadap seseorang, ringkasnya berupa hinaan atau caci maki.34 4) Pelanggaran adat karena kelalaian atau tidak menjalankan kewajiban Pelanggaran adat ini misalnya: lalai atau tidak melakukan kewajiban sebagai warga (“krama”) desa adat, seperti tidak melaksanakan kewajiban (“ayahan”) desa, tidak hadir dalam rapat (“paruman”) desa, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran (“pepeson”) untuk kepentingan upacara atau pembangunan, dan lainlain. Delik adat ini sifatnya ringan, oleh karena itu biasanya dikenakan sanksi denda yang besarnya sesuai dengan awig-awig yang berlaku di desa adat bersangkutan dan tidak melalui proses peradilan.35 34 Slamet Muljana, Perundang-undangan Majapahit, Bhratara Jakarta, 1967, hlm. 57. 35 I Made Widnyana, “Eksistensi Tindak Pidana Adat dan Sanksi Adat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Baru)”, dalam I Made Widnyana, dkk; Editor, Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia,
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
273
3.
SANKSI/KEWAJIBAN ADAT
diturunkan sebenarnya akan terpulang kembali kepada kebijakan yang diambil para pembentuk atau pembuat hukum. Apabila suatu perbuatan tertentu dipandang sebagai perbuatan jahat yang mengancam kelestarian hidup sesama warga sehingga dilarang agar sekali-kali tidak dikerjakan “maka setiap perbuatan yang nekad mengerjakannya akan dikualifikasi sebagai pelanggaran jahat sehingga harus dibalas dengan suatu nestapa yang retributif sifatnya. Sementara itu, apabila suatu perbuatan tertentu dipandang sebagai perbuatan yang dengan itikad baik wajib dikerjakan”, maka setiap penolakan untuk mengerjakannya akan dikualifikasi sebagai pengingkaran sehingga harus direspons dengan suatu sarana paksa untuk mengupayakan pemulihan38.
a. Pengertian Sanksi adalah padanan dari istilah asing yaitu sanctie (Belanda), atau sanction (Inggris). Istilah sanksi dalam hukum adat sering digunakan istilah “reaksi” atau “kewajiban” yang dikenakan pada seseorang yang telah melakukan pelanggaran atas ketentuan hukum adat (delik adat). Soetandyo Wignjosoebroto, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sanksi adalah seluruh akibat hukum yang harus ditanggung oleh subyek yang didakwa melakukan suatu perbuatan hukum atau menyebabkan terjadinya peristiwa hukum. Dalam hal ini ada dua macam sanksi yang dikenal dalam kajian-kajian sosiologi hukum. Pertama, sanksi restitutif yakni sanksi untuk mengupayakan pemulihan. Kedua, sanksi retributif yakni sanksi untuk melakukan pembalasan36.
Emile Durkheim, mengatakan bahwa reaksi sosial yang berupa penghukuman atau sanksi itu sangat perlu dilakukan, sebab mempunyai maksud untuk mengadakan perawatan agar tradisi-tradisi kepercayaan adat menjadi tidak goyah sehingga kestabilan masyarakat dapat terwujud.39
Sanksi restitutif umumnya dijatuhkan kepada para pengingkar kewajiban untuk melakukan suatu prestasi atau alpa dalam hal menghormati hak orang lain, sedangkan sanksi retributif umumnya dijatuhkan kepadsa para pelanggar larangan yang karena perbuatannya itu secara potensial atau aktual mengancam kelestarian hidup sesama manusia. Kewajiban membayar hutang, kewajiban menyerahkan kembali barang titipan, kewajiban mengerjakan tugas untuk orang yang telah mengupahnya adalah contoh-contoh pengingkaran kewajiban yang akan berakibatkan sanksi restitutif. Sementara itu, larangan mencuri, berzina, menipu, atau menghina adalah contoh-contoh pelanggaran larangan yang berdampak serius pada kelestarian hidup sesama sehingga akan direaksi dengan sanksi-sanksi yang lebih bersifat retributif37.
Lesquillier, di dalam disertasinya “Het Adat Delictenrecht in the Magische Wereldbeschouwing” sebagaimana dikutip oleh Soerojo Wignjodipoero, mengemukakan bahwa reaksi adat ini merupakan tindakan-tindakan yang bermaksud mengembalikan ketenteraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisir suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat.40. Dalam alam pikiran tradisional Indonesia yang bersifat kosmis, yang penting ialah adanya pengutamaan terhadap terciptanya suatu keseimbangan (evenwicht, harmonie) antara dunia lahir dan dunia gaib, antara golongan manusia seluruhnya dan orang seorang, antara persekutuan dan teman masyarakatnya. Segala perbuatan yang mengganggu perimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum dan petugas hukum wajib mengambil tindakantindakan yang perlu guna memulihkan
Oleh karena sanksi pada hakikatnya adalah “reaksi hukum atas perbuatan warga masyarakat yang tidak seharusnya” maka pilihan akan jenis sanksi yang akan Eresco Bandung, 1995, hlm. 261-266. 36 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Sosiologi Hukum, Penerbit Bayumedia Publishing, Malang, 2008, hlm. 138. 37 Ibid.
274
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
38
Ibid., hlm. 139. Emile Durkheim, op.cit., hal. 502. 40 Soerojo Wignjodipoero, op.cit.,, hlm. 229. 39
kembali perimbangan hukum. 41
selalu menjurus ke kebermaknaan yang restitutif44.
Otje Salman Soemadiningrat mengatakan setiap pelanggaran adat akan mengakibatkan ketakseimbangan pada masyarakat. Oleh karena itu, setiap pelanggaran harus diberi sanksi adat yang berfungsi sebagai sarana untuk mengembalikan rusaknya keseimbangan (obat adat)42.
Dicatat dari berbagai penelitian antropologis dalam kasus pembunuhan sekalipun, dalam suasana hukum lokal itu kematian seseorang warga masyarakat seringkali dapat dimaknai sebagai suatu pelanggaran yang menyebabkan hilangnya keseimbangan dan keselarasan dalam kehidupan yang menyebabkan kehidupan itu terguncang dan terganggu. Keguncangan seperti itu hanya dapat dipulihkan dengan cara memberikan kompensasi materiil ataupun imateriil kepada keluarga yang mengalami kematian anggota. Atau kalau tidak demikian, keselarasan dapat pula dipulihkan dengan cara “utang nyawa dibayar nyawa”. Di kalangan suku-suku Eskimo, pada waktu yang lalu, terbunuhnya seseorang laki-laki yang mengguncang keselarasan kehidupan keluarga si mati harus dikompensasi dengan cara mewajibkan sang pembunuh terkena hukuman mengawini si janda. Di kalangan suku-suku Papua, terbunuhnya seorang anggota suku karena ulah anggota suku lain akan mengobarkan perkelahian massal antar suku yang hanya akan berhenti apabila jumlah kematian di kedua belah pihak sudah berimbang (dalam jumlah sama banyaknya)45.
Salah satu contoh sanksi adat yang diberikan oleh hakim terlihat dalam putusan MA No. 772,K/Pdt/1992, tertanggal 17 Juni 1993 tentang perbuatan melawan hukum adat kefamenanu, Kupang yang menyatakan bahwa jika terbukti seorang laki-laki menghamili perempuan atas dasar suka sama suka, si laki-laki tersebut harus mengawini perempuan tersebut. Sedangkan jika si laki-laki yang bersangkutan tidak bertanggung jawab atas perbuatannya, hakim dapat mengenakan sanksi adat berupa: 1. Naek nafani nesu, matan koten (tutup pintu muka belakang) berupa seekor sapi yang berumur satu adik; dan/atau 2. Toeb tais hae manak (tutup malu, pemulihan nama baik perempuan) berupa tiga ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau 3. Fani keut hau besi lol uki (jaminan terhadap perempuan dan bayi yang dikandungnya sementara diperapian) berupa dua ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau 4. Mae ma putu (tutup malu terhadap orang tua perempuan) berupa tiga ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau 5. Oe maputu ai malalan (pembayaran air susu ibu si perempuan) berupa delapan ekor sapi masing-masing berumur satu adik; dan/atau43
Sanksi adat mempunyai fungsi dan berperan sebagai stabilisator untuk mengembalikan keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib. Apabila terjadi pelanggaran, maka si pelanggar diharuskan untuk melakukan suatu upayaupaya tertentu seperti upacara bersih desa (Pura/Tempat Suci), yang bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan dan kekuatan magis yang dirasakan terganggu. Sanksi adat mempunyai peranan penting di dalam kehidupan masyarakat di Bali. Tidak hanya pelanggaran adat saja yang oleh masyarakatnya dikenakan sanksi adat, bahkan terhadap delik biasapun seringkali oleh masyarakatnya dibebani sanksi adat meskipun si pelaku sudah di pidana oleh Peradilan Umum.
Dalam tata hukum tradisional, masyarakat lokal baik di Indonesia (yang lebih dikenal sebagai tata hukum adat) maupun ditempat-tampat lain di luar Indonesia, kecondongan sanksi hampir 41
Soepomo, op.cit, hlm. 112. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Alumni Bandung, 2011, hlm. 16. 43 Ibid., hlm. 17. 42
44 45
Soetandyo Wignjosoebroto, op.cit., hlm. 140 Ibid., hlm. 140-141.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
275
Di dalam hukum pidana adat meskipun tidak ditetapkan secara tegas, juga dikenal asas yang di dalam hukum pidana dinamakan “geen straf zonder schuld” atau tidak dipidana bila tidak ada kesalahan, karena hukum pidana adat selalu memandang pada patut tidaknya seseorang diberi sanksi. Bilamana seseorang tidak melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, tentu tidak pantas untuk dikenakan sanksi, sebab dia tidak melakukan kesalahan apa-apa. Hukum Pidana Adat memandang hanya orang yang melakukan kesalahan saja yang pantas diberikan sanksi sesuai berat ringan kesalahan yang diperbuatnya. b. Tujuan Tujuan sanksi (pidana) menurut konsepsi adat adalah untuk mengembalikan keseimbangan kosmis, keseimbangan antara dunia lahir dengan dunia gaib, untuk mendatangkan rasa damai antara sesama warga masyarakat atau antara anggota masyarakat atau antara anggota masyarakat dengan masyarakatnya. Di samping itu pemidanaan haruslah bersifat adil, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil baik oleh terhukum maupun oleh korban dan oleh masyarakat sehingga dengan demikian maka gangguan, ketidak seimbangan atau konflik tersebut akan menjadi sirna. Tujuan pemidanaan menurut RUU KUHP, diatur dalam Pasal 54 ayat (1) yang menentukan: Pemidanaan bertujuan untuk: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; b. Memasyarakatkan terpidana dengan mangadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan e. Memaafkan terpidana. 276
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Kemudian di dalam ayat (2) nya ditentukan: pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa tujuan dari pemidanaan, yaitu sebagai sarana perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan hidup adat, serta aspek psikologis untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang bersangkutan. Di samping itu, meskipun pidana pada dasarnya merupakan suatu nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak merendahkan martabat manusia. Di samping itu, yang sangat menarik dari rumusan tujuan pemidanaan tersebut di atas adalah usaha memfungsionalisasikan nilai-nilai Hukum Pidana Adat di dalam tujuan dijatuhkannya sanksi (kewajiban) adat kepada pelaku, yaitu menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (tujuan pemidanaan ke-3) dan memaafkan (tujuan pemidanan ke-5). Tujuan pemidanaan tersebut sesuai dengan jiwa dan filosofi dari dijatuhkannya sanksi/ kewajiban adat, yaitu untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat, menghilangkan distorsi, konflik dan ketegangan sehingga tercipta suasana yang damai dan harmonis dalam kehidupan masyarakat serta untuk menghilangkan noda setelah timbul goncangan karena perbuatan pidana. Meminta maaf (di Bali disebut mengaksama) adalah suatu bentuk kewajiban adat yang dapat dibebankan pada seseorang yang melakukan kesalahan tertentu dengan tujuan agar terjadi perdamaian antara pelaku dan korban untuk dapat meredam/menghindari permusuhan yang berkepanjangan, sehingga menjamin kehidupan yang tenang dan harmonis dalam masyarakat. c. Jenis-jenis Sanksi Adat Soepomo, yang mengutip dari “Pandecten van het Adatrecht” bagian X yang mengumpulkan bahan-bahan mengenai hukum adat delik (adat strafrecht)
yang diterbitkan tahun 1936, memuat daftar nama-nama delik adat dan menyebut berjenis-jenis reaksi adat terhadap delik adat itu diberbagai-bagai lingkaran hukum adat di Indonesia. Tindakan-tindakan sebagai reaksi atau koreksi terhadap pelanggaran hukum adat berbagai lingkaran hukum tersebut, adalah misalnya: 1. Pengganti kerugian-kerugian immateriil dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan. 2. Bayaran uang adat kepada yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani. 3. Selamatan (korban), untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib. 4. Penutup malu, permintaan maaf. 5. Berbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati. 6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum.46
menggembalakn itik di sawah itu. Apabila ternyata ada itik berkeliaran disawah dan merusak tanaman padi, maka itik tersebut ditahan (kataban). Atau sudah ada ketentuan di banjar bahwa tidak boleh ada babi berkeliaran di jalan, maka kalau ternyata ada babi berkeliaran, maka babi tersebut ditahan (kataban). Maprayascitta ialah suatu upacara adat untuk membersihkan adat/ tempat tertentu apabila terjadi suatu peristiwa/perbuatan tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat (dianggap mengotori desa). Matirtha gamana ialah hukuman bagi seoarang pendeta yang melakukan kesalahan yang disebut atataji yaitu meracun orang, merusak kehormatan orang, dan lain-lain. Selong ialah sejenis hukuman dimana seseorang dibuang ketempat lain untuk beberapa lama karena melanggar suatu ketentuan adat/agama47.
Di Bali pernah dikenal jenis-jenis sanksi adat sebagai berikut:
Di samping jenis-jenis sanksi adat tersebut, masih ada lagi jenis sanksi adat yang lain yaitu: - mangaksama atau ngalaku pelih ( = minta maaf), - mararung atau mapulang kepasih ( = ditenggelamkan ke laut), - Mablagbag ( = diikat), - Katundung ( = diusir)48.
Danda ialah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu ketentuan (awigawig) di banjar/desa; Dosa ialah sejumlah uang tertentu yang dikenakan kepada anggota (krama) desa/banjar apabila tidak melaksanakan kewajiban sebagai mana mestinya. Karampag ialah bila seseorang anggota (krama) desa/banjar yang mempunyai hutang kepada banjar/desa sampai berlipat ganda tidak dapat membayar, maka segala harta miliknya diambil/ dijual oleh banjar/desa untuk membayar hutang itu.
Di daerah Bali sanksi adat/kewajiban adat disebut “pamidanda” atau “danda”. Dari bermacam-macam sanksi adat yang pernah dikenal di daerah Bali seperti diuraikan di atas, maka dapat digolongkan ke dalam tiga jenis “pamidanda” (sanksi adat/kewajiban adat), yaitu:
Kesepekang ialah tidak diajak bicara oleh krama (warga) banjar/desa karena terlalu sering melakukan perbuatanperbuatan yang tidak baik/melanggar peraturan-peraturan di banjar/desa. Kataban misalnya adanya ketentuan kalau sawah sudah ditanami padi, dilarang 46
Soepomo, op.cit., hlm. 114-115.
1. Sangaskara Danda, yaitu sanksi adat/ kewajiban adat yang dilaksanakan atau diterapkan dengan melakukan suatu upacara keagamaan. Ada 2 bentuk Sangaskara Danda, 47
TIP Astiti, Inventarisasi Istilah-istilah Adat/Agma dan Hukum Adat di Bali, Laporan Penelitian, Denpasar, 1982, hlm. 28-31. 48 Tjok. Raka Dherana dan I Made Widnyana, op.cit., hlm. 29.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
277
yaitu:
berupa benda.
a. Maprayascita adalah suatu upacara untuk membersihkan wilayah atau tempat tertentu apabila telah terjadi suatu peristiwa/perbuatan tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat (dianggap telah mengotori Desa).
Pengenaan Artha Danda dapat berupa:
b. Matirtha Gamana adalah kewajiban/sanksi adat bagi seorang pendeta yang telah melakukan kesalahan yang disebut atataji, yaitu seperti meracun orang, merusak kehormatan orang dan lain-lain. 2. Atma (Jiwa) Danda, yaitu sanksi adat/ kewajiban adat yang dibebankan pada badan/pisik dan/atau psikis. Bentuk-bentuk Atma (Jiwa) Danda, antara lain: a. Mablagbag (diikat dengan tali, biasanya dilakukan terhadap orang yang terganggu ingatannya agar tidak mengganggu warga). b. Katundung (diusir) c. Selong adalah kewajiban/sanksi adat yang dikenakan terhadap seseorang dengan membuangnya ke luar wilayah desa untuk beberapa waktu lamanya, karena telah melanggar ketentuan (awigawig) Banjar/Desa. d. Malarung/Mapulang ke Pasih (ditenggelamkan ke laut) e. Kanorayang (dipecat/diberhentikan sebagai anggota Banjar atau Desa). f. Kasepekang ialah tidak diajak berbicara atau diisolir dalam kehidupan bermasyarakat, karena sudah terlalu sering melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak baik dan melanggar ketentuan (awig-awig) Banjar/Desa g. Mangaksama atau ngalaku pelih (meminta maaf). 3. Artha Danda, yaitu sanksi adat/ kewajiban adat yang dibebankan dalam bentuk pembayaran sejumlah uang atau 278
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
a. Dedosan (denda), adalah pembayaran sejumlah uang yang dikenakan pada seseorang yang melanggar suatu ketentuan (awigawig) Banjar/Desa. b. Karampag (dirampas). Sebagai contoh, apabila seorang warga (krama) Banjar/Desa yang mempunyai hutang kepada Banjar/ Desa sampai berlipat ganda tidak bisa membayar, maka segala harta miliknya diambil dan dijual oleh Banjar/Desa untuk melunasi hutangnya itu. c. Kataban (ditahan), misalnya ada ketentuan dalam awig-awig Banjar/Desa bahwa kalau sawah sudah ditanami padi, dilarang menggembalakan itik di sawah itu. Apabila ternyata ada itik yang berkeliaran di sawah itu dan merusak tanaman padi, maka itik tersebut dapat kataban. Atau apabila sudah ada larangan dalam awig-awig Banjar/Desa bahwa tidak boleh ada babi berkeliaran di jalan, maka apabila ditemukan ada babi yang berkeliaran (tidak dikandangkan), maka babi tersebut dapat kataban. d. Nyanguin Banjar (memberi makan anggota Banjar). Hukum Adat adalah hukum yang dinamis, selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat. Demikian pula halnya dengan sanksi adat/kewajiban adat yang timbul, berkembang dan lenyap sesuai dengan perubahan masyarakat. Berdasarkan atas kenyataan ini, maka jenis-jenis sanksi adat tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu : a. Sanksi adat yang sama sekali telah ditinggalkan oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena pertama, dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan masyarakat dan perkembangan jaman; kedua karena dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan
peraturan perundangan. Contoh: sanksi adat diselong, mablagbag, mapulang kepasih, dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman; sanksi adat yang biasa dikenakan pada seorang ibu yang melahirkan bayi kembar lakilaki dan perempuan (“manak salah”), dengan mengasingkannya keujung desanya selama 42 hari, penerapannya dilarang berdasarkan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali tanggal 12 Juli 1951. b. Sanksi adat yang berlaku sepenuhnya, walaupun terhadap pelaku pelanggaran telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan berdasarkan undang-undang yang berlaku. Sanksi adat dimaksud adalah sanksi adat untuk mengadakan upacara keagamaan berupa pembersihan (pamarisuddhan/ maprayascitta; matirta gamana). Di samping itu masih dikenal sanksi adat yang hanya dikenakan pada seseorang yang melakukan pelanggaran, misalnya sanksi adat kanorayang (dipecat), kasepekang (tidak diajak berbicara/ diisolir), mangaksama (meminta maaf), dedosan (denda), karampag (dirampas), kataban 4.
BEBERAPA TINDAK PIDANA ADAT (BALI) YANG DIADOPSI KE DALAM RUU KUHP. Dalam RUU KUHP ada beberapa tindak pidana (delik) adat Bali yang dirumuskan di dalam pasal-pasalnya, baik yang menyangkut delik susila (lokika sanggraha, kumpul kebo dan gamia gamana) maupun delik yang berhubungan dengan harta benda (perusakan tempat ibadah, pencurian benda-benda suci keagaan
tan neherrang demen ipoen, dening djrih patjang kasisipang, awanan ipoen ngererehang daje, saoebajan iloeh kasanggoepin, wastoe raoeh ring pepadoean tungkas paksane, sane loeh ngakoe kesenggama, sane moeani ngelisang mepaksang oetjapang dewek ipoen keparikosa antoek iloeh, jan asapoenika patoet tetes terangang pisan, jan djakti imoewani menemenin wenang ipoen kasisipang dande oetama sehasa 24.000, poenika mawasta Lokika Sanggraha, oetjapang sastra. Ketentuan Kitab Adi Agama tersebut di atas bila diterjemahkan akan didapat arti sebagai berikut : “Lagi Lokika Sanggraha misalnya orang bersenggama, si laki-laki tidak setia akan cintanya, karena takut akan dipersalahkan maka mencari daya upaya, syarat-syarat si wanita disanggupi, kemudian si wanita menyatakan dirinya dipaksa disetubuhi dan si laki-laki dengan cepat mengaku diperkosa oleh si wanita, kalau demikian halnya sepatutnyalah diusut kejelasannya, dan kalau benar si laki-laki yang berbuat patutlah dihukum denda sebesar 24.000 uang kepeng” Di samping pengertian tersebut, di dalam Kitab Adi Agama lebih lanjut mengenai Lokika Sanggraha juga dirumuskan sebagai berikut : -
1. Tindak pidana (delik) yang menyangkut kesusilaan. a. Lokika Sanggraha. Pengertian yuridis dari Lokika Sanggraha dapat ditemui pada Kitab Adi Agama yang di dalam pasal 359 dikatakan : “ Malih Lokika Sanggraha, loeir ipoen djanma mededemenan, sane moewani
-
Malih “Lokika Sanggraha” djanma soewe madedemenan, tan wenten anak lian saoeninge,ring tingkahe madedeman, katakenan pada tan ngangken, djantos anak oeneng kakalih, tatiga, patpat, pamupoet madewagama, dening sakeng djerihnja raris pada ngangken ipoen madedemenan. Malih “Lokika Sanggraha” djanma madedemenan masanggama toer soewe tan wenten saoeninga, wastoesane moewani manoetoerang anak olih demen, sarawoehe ring papadoewan sane loeh noengkas angas tan ngakoe, poepoeting baos
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
279
-
wenang madewa-gama. wastoe iloeh ngakoe kademenin. Malih “Lokika Sanggraha” djanma kadalih madedemenan, tan j’wakti kadi pandalihe, kemaon mamanah ngarjanang iwang anak, sakandan sang mandalih sami kaatoer ring papadoean mapadoe tiga loeh moewani, djati ipoen pada tan wenten, wenang sang kadalih katjoran, jan pada poeroen, danda sang mandalih, kawalik sadia antoek djaman kakalih 20.000, andalame oetjaping sastra.
Terjemahan bebasnya adalah: -
-
-
Lagi Lokika Sanggraha, orang yang lama bersenggama tak seorangpun yang tahu, akhirnya ada orang lain yang mengetahui perbuatannya itu, tetapi kalau ditanya tidak mengakui, kemudian lalu diketahui 2, 3, 4 orang, akhirnya harus madewa-saksi (disumpah), namun karena takutnya lalu mengakui perbuatannya. Lagi Lokika Sanggraha, orang bersenggama, dan lama tiada yang mengetahui, sampai si laki menceritakan perbuatannya, lalu sampai ke pengadilan tetapi si wanita, menolak dan tidak mengakui, akhirnya harus madewa saksi (disumpah), dalam pada itu si wanita mengaku dirinya disenggama. Lagi Lokika Sanggraha, orang yang dituduh bersenggama, namun sesungguhnya tidak benar seperti yang dituduhkan itu, hanya bermaksud menjelek-jelekan nama orang.
Semua yang menuduh sampai ke pengadilan berperkara segitiga laki perempuan. tertuduh tetap tidak mengakui sampai yang bersangkutan harus kenai “cor” (sumpah pemutus), si tertuduhpun berani. yang menuduh dikenai denda, “di balik untung” oleh orang yang tertuduh. Pengertian Lokika Sanggraha ini 280
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
dapatlah dipertegas lagi yaitu suatu delik adat yang berupa seorang lakilaki bersenggama dengan seorang perempuan di luar perkawinan dengan janji akan mengawini, tetapi ternyata tidak dikawini. Dari pengertian yang ada memberikan kesan satu dengan lainnya saling melengkapi dan bahkan menegaskan arti dari salah satu aspek Lokika Sanggraha tersebut. Syarat adanya kehamilan yang dikemukakan di atas adalah didasarkan atas praktek peradilan dewasa ini di dalam memeriksa kasus-kasus Lokika Sanggraha, syarat kehamilan ini dipakai salah satu unsur adanya Lokika Sanggraha. Hal ini tidak terlepas dari kasus itu sendiri dimana si wanita baru mengadukan pacarnya kepada yang berwajib apabila ia telah hamil. Dengan demikian telah terjadi perkembangan arti Lokika Sanggraha, yang mana ketentuan aslinya (Kitab Adi Agama) hanya menyebutkan adanya hubungan cinta (hubungan seksual), sedang dalam praktek peradilan mensyaratkan adanya hubungan cinta (seksual) ditambah dengan akibatnya yaitu adanya kehamilan. Penambahan syarat (unsur) kehamilan dalam praktek peradilan dapat dimengerti berdasarkan pertimbangan: 1. Kalau kita hanya mendasarkan atas adanya hubungan persetubuhan saja seperti yang diatur dalam pasal 359 Kitab Adi Agama maka akan mengalami kesulitan di dalam pembuktiannya. 2. Seorang perempuan baru akan mengadukan permasalahannya pada umumnya setelah adanya akibat yaitu kehamilan dan/atau bahkan setelah lahirnya anak. Hal ini perlu mendapat ketegasan dengan mengingat pertanggung jawaban pidana yang berkaitan erat dengan status dari delik adat Lokika Sanggraha, yaitu apakah merupakan
delik formil yang tidak merumuskan akibat dari perbuatan tersebut ataukah merupakan delik materiil yang mensyaratkan adanya akibat dari perbuatan itu. Atau dengan kata lain dapat dikatakan perlu adanya ketegasan apakah unsur kehamilan ini merupakan salah satu unsur dari delik adat Lokika Sanggraha atau tidak, sehingga akan didapat kesatuan pandang dari para penegak hukum di dalam menangani kasus-kasus Lokika Sanggraha. Hingga kini di dalam praktek peradilan di daerah Bali, Lokika Sanggraha dipandang sebagai delik materiil, yaitu delik yang baru dianggap “voltooid” (sepenuhnya terlaksana) dengan timbulnya akibat yang dilarang dalam hal ini adanya kehamilan. Di samping sebagai delik materiil, Lokika Sanggraha juga merupakan delik aduan (klacht delict) yaitu delik yang baru ada sejak adanya pengaduan baik dari korban dan/atau dari pihak keluarga korban. Lebih tegasnya adanya delik aduan yang relatif sebab pengaduan hanya dilakukan oleh orang tertentu yaitu orang yang mendapatkan kehamilan. Oleh karena itu para pembuat undang undang perlu memikirkan hal ini, apabila hendak mengangkat delik adat Lokika Sanggraha ke dalam kitab undang undang hukum pidana nasional yang akan datang. Adanya perhatian terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat, berarti hukum Adat tetap memiliki pengaruh penting di dalam rangka pembentukan hukum nasional yang akan datang. Berdasarkan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan “Lokika Sanggraha” sebagaimana dirumuskan di dalam Kitab Adi Agama serta perkembangan pandangan masyarakat dan praktek peradilan di Daerah Bali adalah hubungan cinta antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama sama belum terikat perkawinan, dilanjutkan dengan hubungan seksual atas dasar suka sama suka karena
adanya janji si pria untuk mengawini si wanita, namun setelah si wanita hamil si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita dan memutuskan hubungan cintanya tanpa alasan yang sah. Dengan demikian, unsur-unsur dari Lokika Sanggraha adalah: 1. Adanya hubungan cinta (pacaran) antara seorang pria dengan seorang wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan. 2. Antara pria dan wwanita yang sedang bercinta tersebut telah terjadi hubungan seksual yang didasarkan atas suka sama suka. 3. Si pria telah berjanji akan mengawini si aniti. 4. Hubungan seksual yang telah dilakukan menyebabkan si wanita menjadi hamil. 5. Si pria memungkiri janji untuk mengawini si wanita tanpa alasan. Kualifikasi delik adat lokika sanggraha, tidak kita jumpai dalam rumusan pasal RUU KUHP. Namun demikian, sebagian dari unsut-unsur delik adat lokika sanggraha yaitu hubungan seksual antara pria dan wanita yang sama-sama belum terikat perkawinan atas dasar suka sama suka, tetap dikualifikasi sebagai delik ‘’perzinahan antara pria dan wanita yang tidak terikat perkawinn’’, yang dirumuskan dalam Pasal 483 huruf e. Ancaman pidananya adalah paling lama 5 (lima) tahun penjara. Di dalam penjelasan pasal 483 dikatakan bahwa ketentuan ini mengatur mengenai tindak pidana permukahan, dengan tidak membedakan antara meraka yang telah kawin dan ang belum kawin. Begitu pula tidak dibedakan antara lakilaki dan perempuan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Penulis sendiri lebih cenderung apabila delik adat lokika sanggraha dengan segala unsur-unsurnya tersebut dirumuskan sebagai tindak pidana tersendiri sebagai delik materiil, tidak
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
281
sebagai tindak pidana zina (delik formil), dengan alasan, antara lain: b. Kumpul kebo. Kumpul Kebo ialah seorang laki-laki dengan seorang perempuan hidup bersama dalam satu rumah dan mengadakan hubungna seksual, seperti layaknya suami istri, tetapi mereka belum dalam ikatan perkawinan. Sebenarnya istilah populer yang disebut kumpul kebo ini, tidak hanya menjadi monopoli masyarakat Bali, tetapi sudah merupakan istilah yang sudah dikenal di seluruh tanah air, yang merupakan perbuatan seperti diuraikan di atas. Bedanya, mungkin kalau di daerah Bali perbuatan ini di samping merupakan perbuatan yang asusila, juga dipandang dapat mengganggu keseimbangan kosmis, sehingga dipandang oleh masyarakat adat sebagai perbuatan yang patut dilarang dan pelakunya dapat dikenai sanksi adat. Istilah kumpul kebo ini dapat dipadankan dengan istilah asing, seperti: ”samen leven”; ”living in nonmatrimonial union”; ”conjugal union”; atau ”cohabitation”. Walaupun kumpul kebo dipandang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai perbuatan tercela, namun dalam KUHP yang berlaku saat ini, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) zaman Hindia Belanda, kumpul kebo tidak dinyatakan sebagai perbuatan yang dapat dipidana49. Dalam perkembangan penyusunan Konsep KUHP Nasional, perbuatan kumpul kebo ini kemudian dijadikan tindak pidana, yaitu sejak Konsep Tahun 1977 yang disusun oleh Tim Basaruddin (dikenal dengan Konsep BAS) sampai konsep terakhir (2000). Dalam Konsep 2000 edisi 2002, tindak pidana kumpul kebo ini dirumuskan dalam Pasal 422 dan dalam Konsep 2004 dirumuskan dalam Pasal 48650. 49 Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Penerbit PT. Citra Adtya Bakti, 2005, hlm. 93. 50 Ibid.
282
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Selanjutnya dalam Konsep RUU KUHP Tahun 2009/2010, tindak pidana kumpul kebo ini dirumuskan dalam Pasal 485 yang menentukan ”Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II”. Penjelasan Pasal 485 mengatakan bahwa: ketentuan ini dalam masyarakat dikenal dengan istilah ”kumpul kebo”. c. Gamia Gemana. Gamia gemana ialah delik adat yang berupa larangan hubungan seksual antara orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat baik menurut garis lurus maupun ke samping. Jadi, pengertian Gamia Gemana sama dengan incest. UndangUndang no. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, juga mengatur larangan perkawinan antara orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dekat, seperti ditentukan dalam Pasal 8, yaitu perkawinan dilarang antara dua orang: a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan yang menyamping yaitu antara saudara, antara seo rang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saaudara neneknya; d. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibi/ bapak tiri; e. berhubungan susuan, yaitu orang susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; f. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang. g. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Kini, tindak pidana adat Gamia
Gemana tersebut sudah diatur dalam Pasal 487 RUU KUHP (2009/2010) yang menentukan sebagai berikut:
Benda-benda suci itu menurut besar kecil nilai kesuciannya dapat dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu:
(1) Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan seseorang yang diketahuinya bahwa orang tersebut anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.
a. pralingga-pralingga yang dibuat khusus untuk melambangkan Sang Hyang Widhi yang wujudnya seperti pawayangan yang disesuaikan dengan manifestasinya;
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin, maka pembuat tindak pidana dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun Dalam penjelasannya dikatakan bahwa tindak pidana yang diatur dalam ketentuan ini dikenal dengan ”perbuatan sumbang (incest)” 2. Tindak Pidana Adat mengenai benda suci keagamaan Sebagaimana telah diuraikan, tindak pidana adat mengenai benda suci keagamaan dapat berupa merusak dan pencurian benda suci keagamaan. Yang dimaksud dengan bendabenda suci ialah ”benda-benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana (pralingga) Sang Hyang Widhi Waca atau dipergunakan sebagai alat-alat di dalam upacara keagamaan” Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa bendabenda suci adalah benda yang bersih menurut pengerian keagamaan. Artinya, setalah benda itu diupacarai barulah benda itu dapat dikatakan sebagai benda suci yang dipakai sebagai alat untuk menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi. Sebelum ada upacara terhadap benda tersebut maka benda itu tak akan mempunyai nilai kesucian, sebab ucapara itu mempunyai fungsi yang sangat penting didalam proses penyucian benda tersebut.
b. tapakan-tapakan seperti misalnya barong, rangda dan lain sebagainya yang dibuat dengan tujuan supaya dijiwai oleh istadewata yang mempunyai kekuatan ghaib supaya jangan mengganggu di alam semesta; c. alat-alat upacara yaitu semua alat-alat yang khusus di pakai dalam upacara keagamaan saja, misalnya kain kelancingan, umbul-umbul dan lainlain. Terhadap benda-benda suci seperti yang tersebut dalam butir a. dan b. terdapat larangan-larangan yang harus ditaati dan bila dilanggar maka kesuciannya akan hilang dan untuk memulihkannya harus diadakan upacara kembali yang disebut dengan upacara panyapuhang. Putusan Pengadilan terhadap kedua jenis tindak pidana adat ini, hingga kini oleh masyarakat kurang dirasakan memberikan keadilan dan perlindungan, karena berdasarkan perundang-undangan pidana kita dewasa ini, terhadap perbuatanperbuatan pidana tersebut oleh Pengadilan hanya bisa dikualifisir sebagai delik biasa. Seperti halnya pencurian terhadap benda-benda suci keagamaan, Pengadilan hanya mempertimbangkan unsur-unsur pencuriannya saja dan nilai-nilai meteriil dari barang yang dicuri. Kalau ditinjau dari nilai yang bersifat materiil saja kadangkadang benda-benda keagamaan tersebut tidak seberapa besar harganya, tetapi apabila kita tinjau dari sifat magis religiusnya atau nilai immateriilnya, maka benda-benda suci keagamaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi bahkan mungkin tidak ternilai harganya. Di samping itu, apa yang telah menjadi harapan dari masyarakat agar kejahatan yang berhubungan dengan agama dan
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
283
kehidupan beragama kini telah menjadi kenyataan, karena telah dirumuskan dalam RUU KUHP (2009/2010), yaitu dalam Bab VII (Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama), Bagian Kedua (Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama dan Sarana Ibadah), Paragraf 2 (Perusakan Tempat Ibadah), pasal 348 RUU KUHP yang menentukan bahwa: “Setiap orang yang menodai atau secara melawan hukum merusak atau membakar bangunan tempat beribadah atau benda yang dipakai untuk beribadah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Di dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa merusak, membakar atau menodai (mengotori) bangunan atau benda ibadah merupakan perbuatan yang tercela, karena sangat menyakiti hati umat yang bersangkutan, oleh karena itu patut dipidana. Untuk dapat dipidana berdasarkan ketentuan dalam pasal ini, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan melawan hukum. Perusakan dan pembakaran harus dilakukan dengan melawan hukum. Sedangkan ketentuan mengenai “pencurian benda-benda suci keagamaan” diatur dalam Bab XXV (Tindak Pidana Pencurian), pasal 603 RUU KUHP (2009/2010) yang menentukan “Setiap orang yang mencuri benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk kepentingan keagamaan atau benda purbakala, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melalui Tim Penyusun RUU KUHP, benar-banar telah memperhatikan aspirasi masyarakat, memperhatikan hukum tidak tertulis yang masih hidup (the living law) dan diikuti oleh masyarakat yang merupakan pencerminan dari nilai-nilai kebudayaan bangsa Indonesia, sebagaimana pula ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP, yaitu sesuai dengan nilai-nilai
284
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Pancasila dan/atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakatbangsabangsa. Dengan demikian jelaslah bahwa delik-delik adat Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo dan Gamia Gamana, demikian pula pencurian benda-benda suci keagamaan, perusakan tempat-tempat ibadah, tetap diakui eksistensinya baik oleh masyarakat maupun oleh pengadilan. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh hukum pidana adat dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia. Tindak pidana adat baik yang menyangkut kesusilaan (Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo, Gamia Gemana) dan tindak pidana adat yang berhubungan dengan agama dan kehidupan beragama (pencurian benda-benda suci keagamaan, pencurian dan/atau perusakan tempat-tempat suci keagamaan) telah mendapat tanggapan dan perhatian yang positip dari pemerintah (c.q. Pembentuk U.U.). Selanjutnya diharapkan dalam pembahasan lebih lanjut oleh wakilwakil rakyat di DPR akan mempunyai pandangan yang sama, dengan alasanalasan sebagai berikut: 1. Tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsur-unsurnya juga dikenal di daerah lain. 2. Untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif kaerna hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi. 3. Mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai sudut pandang yang sama, bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum. 4. Untuk adanya kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, sebagaimana diamanatkan oleh GBHN, dengan
memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/berkembang dalam masyarakat. 5. Melindungi derajat kaum wanita agar tidak dihina dan dipermainkan oleh kaum pria. 6. Menghindari lahirnya anak dengan status anak bebinjat (anak haram). Dengan demikian jelaslah bahwa tindak pidana adat Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo dan Gamia Gemana, serta tindak pidana adat yang berhubungan dengan agama dan kehidupan beragama tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia khususnya dalam pembentukan KUHP Nasional. Hal ini dapat diketahui dari telah dimasukkannya unsur-unsur dari delik adat tersebut dalam rumusan delik dalam RUU KUHP tahun 2009/2010 yang kini dalam proses pembahasan di DPR RI sebagaimana dirumuskan dalam pasalpasal tersebut di atas.
III. PENUTUP Sebagai penutup dari uraian tulisan ini, disampaikan kesimpulan dan saran-saran, sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Hukum Pidana Adat termasuk di dalamnya Tindak Pidana Adat dan Sanksi Adat hingga saat ini tetap eksis dalam kehidupan masyarakat adat di daerah Bali, karena tetap hidup, ditaati, dipertahankan dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Hal ini dapat diketahui dari: a. Sebelum Indonesia dijajah oleh Belanda, van Vollenhoven dalam penelitian pustakanya pernah menyatakan bahwa masyarakat-masyarakat asli yang hidup di Indonesia, sejak ratusan tahun sebelum kedatangan bangsa Belanda, telah memiliki dan hidup dalam tata hukumnya sendiri. Tata hukum masyarakat asli tersebut dikenal dengan sebutan hukum adat. Selain itu, menurut Snouck Hurgronje, hukum adat pun dijalankan sebagaimana adanya (taken for granted) tanpa mengenal bentuk-bentuk pemisahan,
seperti dikenal dalam wacana hukum barat bahwa individu merupakan entitas yang terpisah dari masyarakat. Dengan kata lain, hukum adat diliputi dengan semangat kekeluargaan, individu tunduk dan mengabdi pada dominasi aturan masyarakat secara keseluruhan. Corak demikian mengindikasikan bahwa kepentingan masyarakat lebih utama daripada kepentingan individu b. Semasa penjajahan Belanda, Hukum Pidana Adat tetap dipertahankan oleh masyarakat di daerah Bali. Hal ini dapat diketahui dari keberadaan empat buku hukum (Catur Agama), yaitu Wetboek Agama, Wetboek Adi Agama, Wetboek Purwa Agama dan Wetboek Kutara Agama yang dijadikan landasan hukum oleh lembaga peradilan pada saat itu dalam mengadili delik adat. Contoh: Kepoetoesan”Raad Kerta” Kloengkoeng pada hari Rabo tertanggal 17 October 1928 No. 61: Seorang laki-laki I Moerti tertoedoeh berboeat kesalahan bergendakan, jang perempoean Ni Koepelik jang digendaki itoe jadi boenting dan boenting tiada soeka diakoei oleh I Moerti. Terdakwa I Moerti oleh Raad Kerta Kloengkoeng telah dijatoehi hoekoeman denda. c. Setelah Indonesia merdeka, hukum pidana adat tetap eksis di daerah Bali, selain berlandaskan empat buku hukum tersebut, juga didasarkan pada Awigawig Desa Adat di Bali yang dapat dikatakan sebagai pelaksanaan dari empat buku hukum tersebut. Hal ini dapat diketahui, sebelum keluarnya Undang Undang Nomor 1/Drt/1951, tindak pidana adat dan sanksi adat berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat sendiri melalui kelembagaan adatnya. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 1/Drt/1951, eksistensi hukum pidana adat dilaksanakan baik oleh masyarakat adat itu sendiri, maupun melalui pengadilan. Contoh putusan pengadilan, antara lain: Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 43/PTS.Pid/B/1985/ P.N.Gir, tertanggal 20 Januari 1986;
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
285
Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 6 Agustus 1992 Nomor: 24/ Pid/S/PN.KLK; Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 6 Agustus 1992 Nomor: 24/Pid/S/PN.KLK; yang dalam putusannya menjatuhkan pidana kurunangan antara 1-3 bulan. 2. a. Hukum Pidana Adat mempunyai pengaruh yang signifikan dalam rangka pembaharuan hukum pidana, karena keberadaan hukum pidana adat mempengaruhi pembentukan hukum pidana nasional khususnya dalam rangka pembentukan KUHP. Hal ini dapat diketahui dari: -- dimasukkannya beberapa jenis tindak pidana adat yang berlaku di daerah Bali, seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha, Kumpul Kebo dan Gamia Gamana (incest) ke dalam konsep KUHP;. -- dirumuskannya tindak pidana (delik) pencurian dan perusakan atas benda-benda suci keagamaan dan tempat beribadah; -- ditetapkannya sanksi/kewajiban adat sebagai pidana tambahan. b. Tujuan sanksi/kewajiban adat dan ditetapkannya sanksi adat/kewajiban adat dalam rumusan Pasal-pasal RUU KUHP mempunyai pengaruh yang penting dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. B . Saran-Saran: 1. Untuk tetap menjamin langgengnya eksisttensi Hukum Pidana Adat, hendaknya ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 2 RUU KUHP tetap dipertahankan. 2. a. Beberapa tindak pidana adat yang dikenal di daerah Bali yang sudah dirumuskan dalam RUU KUHP seperti tindak pidana adat Lokika Sanggraha (Pasal 483 sub e), Kumpul Kebo (Pasal 485) dan Gamia Gemana/Incest (Pasal 487), serta tindak pidana pencurian benda-benda suci keagamaan atau benda yang dipakai untuk beribadah (Pasal 603) dan perusakan tempat ibadah atau benda yang dipakai untuk 286
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
beribadah (Pasal 348), hendaknya tetap dipertahankan dengan alasan-alasan sebagai berikut: 1) Tindak pidana atau perbuatan pidana ini tidak hanya dikenal di daerah Bali, tetapi pengertian dan unsur-unsurnya juga dikenal di daerah lain. 2) Untuk adanya keadilan dan kepastian hukum, sebab hingga saat ini masih banyak pelaku perbuatan pidana tersebut di daerah lain, tidak terjangkau oleh hukum pidana positif karena hukum adat daerah tersebut tidak mengenalnya lagi. 3) Mengingat masyarakat bangsa Indonesia merupakan masyarakat yang mengenal adat istiadat serta pandangan keagamaan yang kuat, tentu akan mempunyai sudut pandang yang sama, bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum dan tercela yang patut diberi sanksi demi adanya keadilan dan kepastian hukum. 4) Untuk adanya kodifikasi dan unifikasi hukum pidana, sebagaimana diamanatkan oleh GBHN, dengan memperhatikan hukum dan kesadaran hukum yang hidup/berkembang dalam masyarakat. b. Tujuan sanksi/kewajiban adat yang sudah dimasukkan ke dalam Pasal 54 ayat (4) RUU KUHP hendaknya tetap dipertahankan karena sesuai dengan aspirasi sosiologis dan dipandang mempunyai pengaruh yang penting dalam rangka untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh perbuatan pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku. Barda Nawawi Arief, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti Bandung, 2005. Bushar Muhammad, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita Jakarta, 1983. Djojodigoeno, Azas-azas Hukum Adat, 1958 Durkheim, Emile, Causal and Functional Analysis. (Sociological Theory), Mac Milan Press, New York, 1976.. G. Pudja, Sarasamuccaya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Departemen Agama R.I., Cetakan III, Jakarta, 1981. Goesti Poetoe Djelantik, en Ida Bagoes Oka, Wetboek “Adi Agama” Oud Balisch Wetboek Op Last Van Den Resident Van Bali En Lombok In Het Hoog-Balisch Vertald, Batavia Landsdrukkerij, 1900. Goesti Poetoe Djelantik, Wetboek “Agama” In Het Hoog-Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H. J. E. F. Schwartz, Batavia Landsdrukkerij, 1918. , Wetboek “Poerwa – Agama” In Het Hoog – Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H. J. E. F. Schwartz, Batavia Landsdrukkerij, 1918. , Wetboek “Koetara Agama” In Het Hoog – Balisch En Maleisch Vertaald, Herzien en Verbeterd door H. J. E. F. Schwartz, Batavia Landsdrukkerij, 1918. Haveman, Roelof H., The Legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Pt. Tatanusa, Jakarta, 2002. Hermien Hadiati Koeswadji,, Beberapa Permasalahan, Hukum dan Pembangunan Hukum, dan Pendidikan dan Hukum dan Bantuan Hukum, Penerbit PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1980. Hiariej, Edsy O.S., Pengantar Hukum Pidana Internasional, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2009. Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Alumni, Bandung, 1984.. , Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Penerbit
Mandar Maju Bandung, 1992. H.R. Otje Salman Soemadiningrat, Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer: Telaah Kritis terhadap Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Penerbit PT. Alumni Bandung, 2011. Hoebel, E.A., Anthropology the Study of Man, Mc. Grow Hill Book Company, New York, 1966. I Gusti Ketut Kaler, Butir-butir Tercecer Tentang Adat Bali, Penerbit Bali Agung Denpasar, 1983. I Made Widnyana, Lokika Sanggraha Dalam Pembentukan KUHP Nasional, diterbitkan oleh Jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, 1989. , Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Eresco Bandung, 1993. , (Ed.), Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, Eresco Bandung, 1995.. , Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Edisi Revisi Cetakan ke-2, Penerbit Fikahati Aneska Jakarta, 2009. , Asas-Asas Hukum Pidana, Buku Panduan Mahasiswa, Penerbit Fikahati Aneska Jakarta, 2010. , The Living Law as Found In Bali, Penerbit Ubhara Jaya Jakarta, 2011. , Kapita Selekta Hukum Pidana, Penerbit Ubhara Jaya Jakarta, 2011 I Nyoman Kajeng, dkk, Sarasmuccaya, (terjemahan dalam bahasa Indonesia), Jakarta, 1977. Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, PT. Gramedia, Jakarta, 1974. K. Wancik Saleh, Seminar Hukum Nasional 19631979, Ghalia Indonesia Jakarta, 1980. Moh. Koesnoe, Hukum Adat (Dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Persoalannya Menghadapi Era Globalisasi), Ubhara Press Surabaya, 1996. R. Tresna, Komentar H.I.R., Penerbit Tresco Jakarta, 1976. Rouland, Norbert, Legal Anthropology, Stanford University Press, Standford, California, 1994. Slamet Muljana, Perundang-undangan Majapahit, Bhatara Jakarta, 1967.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
287
Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, 1982.
Kepoetoesan”Raad Kerta” Kloengkoeng pada hari Rabo tertanggal 17 October 1928 No. 61
, Suatu Dilema Dalam Pembaruan Sistem Pidana Indonesia, Fakultas Hukum UNDIP Semarang, 1979.
Putusan Pengadilan Negeri Gianyar Nomor: 43/ PTS.Pid/B/1985/P.N.Gir, tertanggal 20 Januari 1986.
Soepomo, 1982, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Paramita Jakarta, 1982.
Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 153/ Pid/S/1997/PN.DPS Tertanggal 14 September 1987
Soerjono Soekanto, Kebudayaan dan Hukum, FH. Universitas Padjadjaran Bandung, 1974. Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Sebuah Pengantar ke Arah Kajian Sosiologi Hukum, Penerbit Bayumedia Publishing, Surabaya, 2008. Ter Haar, B. Bzn., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan Kng. Soebekti Poesponoto, Pradnya Paramita, Jakarta, 1960. B. Peraturan Perundang-undangan. Rancangan Undang-undang Republik Indonesia tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Jakarta, 2009/2010 Undang-Undang No. 1/Drt/1951, tentang Tindakan Sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilanpengadilan Sipil. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokokpokok Kekuasaan Kehakiman jo. UndangUndang No. 35 Tahun 1999 sebagaimana telah diganti dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004. Surat Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Bali tanggal 12 Juli 1951. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor: 06 Tahun 1986 tentang Kedudukan, Fungsi dan Peranan Desa Adat Sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Daerah Provinsi Tingkat I Bali. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 03 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. C. Yurisprudensi/Putusan Pengadilan/ Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung R.I. Nomor: 1644 K/ Pid/1988 tertanggal 15 Mei 1991. 288
Jurnal Bina Adhyaksa Vol. 5 No. 3 - 31 Juli 2015
Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 23 September 1986 Nomor : 18/Pid/S/1986/ PN-KLK Putusan Pengadilan Negeri Klungkung Tertanggal 6 Agustus 1992 Nomor: 24/Pid/S/PN.KLK. D. Makalah, Disertasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Jurnal, Majalah Hukum, Bahan Kuliah, Hasil Penelitian. Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman RI, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana, Penerbit Binacipta, Jakarta, 1986. , Hasil Seminar Hukum Nasional VI, 25-29 Juli 1994 di Jakarta, 1994 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Jurusan Hukum Pidana, Laporan Penelitian Inventarisasi beberapa putusan Pengadilan Negeri Denpasar dan Pengadilan Negeri Gianyar tahun 1985, dan Pengadilan Negeri Amlapura, Klungkung, Bangli, Tabanan, Negara dan Singaraja tahun 1987. Fakultas Hukum UNUD bekerjasama dengan ASPEHUPIKI Pusat, Laporan Seminar Nasional Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional., Denpasar, 1994. Hermien Hadiati Koeswadji, Aspek Budaya Dalam pemidanaan Delik Adat, Kertas Kerja dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agma terhadap Hukum Pidana, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional bekerjasama dengan Sub-Konsorsium Ilmu Hukum, Denpasar, Bali 1975. I Made Widnyana, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Pengukuhan disampaikan dihadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Udayana saat peresmian penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pidana
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana di Denpasar, Selasa 21 Juli 1992. -
.
Introduction To Customary Criminal Law, Summer Law Program, University of San Francisco-Udayana University, Lecture, Denpasar Bali, 1995.
Comparative Criminal Justice, the Indonesian Perspective, Summer Law Program, University of San Francisco-Udayana University, Lecture, Denpasar, Bali, 1997. Institut Hindu Dharma, Pandangan Agama Hindu terhadap Delik Adat Lokika Sanggraha, Makalah diajukan dalam rangka Bulan Ilmiah Menyambut Dies Natalis Universitas Udayana Ke XXIII di Denpasar, 19 Oktober 1985 RUU KUHP Dalam Konteks Demokrasi dan HAM, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “RUU KUHP Dalam Konteks Demokrasi dan HAM” di Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, 18 Maret 2006. Pusat Studi Kriminologi FH UII, Yogyakarta, Laporan Penelitian Hubungan Seksual Pra Nikah, Yogyakarta, 1984. Tjok. Raka Dherana dan I Made Widnyana, Agama Hindu dan Hukum Pidana Nasional, Prasaran dalam Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Diselenggarakan dalam rangka Kerjasama BPHN dengan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, pada tanggal 17-19 Maret 1975 E. Kamus Hukum. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, West Publishing Co., St Paul Minn, 1990.
.
Hukum Pidana Adat Dalam Sistem Hukum Indonesia - I Made Widnyana
289