HUKUM & MASYARAKAT Sebuah Pengantar
Dengan sadar atau tidak, manusia dipengaruhi oleh peraturanperaturan hidup bersama yang mengekang kehendak dan mengatur perhubungan antar manusia. Peraturan-peraturan hidup bersama itu memberi ancer-ancer perbuatan mana yang boleh dijalankan dan perbuatan mana yang harus dihindari. Peraturan hidup itu memberi petunjuk kepada manusia begaimana ia harus bertingkah laku dan bertindak di dalam masyarakat, bersifat mengatur dan memaksa untuk menjamin tata tertib dalam masyarakat itu disebut peraturan hukum.
Latar belakang Hukum telah melahirkan ekspektasi yang besar dalam kehidupan masyarakat. Hukum diharapkan dapat memecahkan setiap masalah yang ada dalam masyarakat, tidak memihak, obyektif, dan adil. Harapan masyarakat tersebut tidaklah berlebihan, karena masyarakatlah yang sehari-hari berhubungan langsung dengan hukum, bahkan dapat dikatakan, sejak dilahirkan sampai dengan meninggal, masyarakat mau tidak mau harus berhubungan dengan hukum. Sedemikian besar peran hukum dalam kehidupan, maka tidaklah berlebihan pula, apabila dalam praktiknya, hukum terkesan tidak bisa memenuhi harapan-harapan, kemudian masyarakat melakukan tindakan-tindakan yang bertolak belakang dengan tujuan hukum, sebagai ungkapan kekecewaan, ketidakpercayaan, atau bahkan tidak mau mengakui keberadaan hukum itu sendiri, dengan menyelesaikan masalah atau konflik di antara mereka melalui cara-cara yang dianggap sesuai dengan harapannya, dan hukum terasa tidak akrab lagi dengan masyarakat. Dengan berpijak pada latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, muncul berbagai pertanyaan, di antaranya: 1) apakah hukum itu ? 2) apakah fungsi dan tujuan hukum ? 3) mengapa orang harus taat hukum ? 1. Pengertian Hukum Pengertian hukum tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Marcus Tullius Cicero ( 106-43 SM ), ahli hukum bangsa Romawi, pernah mengatakan bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum ( ubi societas ibi ius ).1
1
Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1995, hal.208 http://www.pudjoutomo.wordpress.com
Pada hakikatnya, hukum tidak lain adalah perlindungan kepentingan manusia, yang berbentuk kaidah atau norma. Individu dan masyarakat dalam skala besar memiliki kepentingan-kepentingan, yang tidak mustahil menimbulkan pergeseran atau pertentangan antara satu dengan yang lainnya, yang cenderung menyebabkan kerugian. Perlindungan terhadap kepentingan itu tercapai apabila terbentuk suatu peraturan hidup atau kaidah disertai disertai sanksi yang bersifat mengikat dan memaksa. Jelaslah bahwa hukum hanya terdapat di dalam masyarakat, dan sekurang-kurangnya ada dua orang yang berhubungan satu sama lain, saling membutuhkan, atau jika ada kontak antara dua orang manusia maka timbullah hukum. Dengan perkataan lain apabila dua orang manusia saling berhubungan karena mereka saling membutuhkan satu sama lain, atau hubungan atau kontak disebabkan karena kepentingannya saling bertentangan, maka timbullah hukum.2 Dapat dikatakan bahwa, selama tidak ada bentrok atau pertentangan kepentingan antar manusia, selama tidak ada conflict of human interest, selama kepentingan manusia tidak dilanggar, maka tidak ada yang mempersoalkan siapa yang salah dan siapa yang benar atau mempersoalkan apakah hukumnya. Dalam rangka melindungi kepentingan-kepentingan dan menjalani pergaulan hidup, masyarakat secara sadar dan atas kehendak sendiri, membentuk aturan-aturan yang di dalamnya terdiri dari pelbagai macam kaidah atau norma. Huijbers menyatakan bahwa hukum muncul dalam pengalaman tiap-tiap orang. Menurut pengalaman itu hukum pertama-tama muncul sebagai kaidah-kaidah yang mengatur hidup bersama. Kaidah-kaidah itu ada yang berbentuk perintah dan larangan, yakni kaidah-kaidah imperatif, ada yang berbentuk disposisi (membuka peluang, mengizinkan, menjanji) yaitu kaidah-kaidah yang fakultatif.3 Satjipto Rahardjo mengistilahkan kaidah atau norma sebagai tatanan.4 Tatanan ini bertujuan agar tercipta hubungan-hubungan yang tetap dan teratur antara anggota masyarakat, sehingga kehidupan bersama menjadi tertib. Selanjutnya, menurut Satjipto, bahwa suatu tatanan dalam masyarakat sesungguhnya tidak merupakan suatu konsep yang tunggal. Pada hakikatnya di dalamnya terdiri dari suatu kompleks tatanan, atau bisa disebut sebagai sub-sub tatanan, yaitu kebiasaan, hukum dan kesusilaan. Dengan demikian, ketertiban yang terdapat dalam masyarakat didukung oleh tiga tatanan tersebut.5 Purbacaraka dan Soekanto, menyebutkan ada empat norma, yaitu: (1) kepercayaan; (2) kesusilaan; (3) sopan santun; (4) hukum. Tiga norma yang disebut di muka dalam kenyataannya belum dapat memberikan perlindungan yang memuaskan, sehingga diperlukan norma keempat, yaitu norma hukum.6 Mengapa maasih dibutuhkan norma hukum ? Menurut Sudikno Mertokusumo, penyebabnya adalah: (1) masih banyak kepentingan-kepentingan lain manusia yang memerlukan perlindungan, tetapi belum mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial tersebut; (2) kepentingan-kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari ketiga norma sosial ter-sebut belum cukup terlindungi, karena dalam hal terjadi pelanggaran, reaksi atau sanksinya dirasakan belum cukup memuaskan. Sebagai contoh norma kepercayaan tidak memberikan sanksi yang dapat dirasakan secara langsung di dunia ini.
2
Van Kan, dalam Sudikno Mertokusumo, Bunga Rampai Ilmu Hukum, cetakan pertama: Yogyakarta,Liberty,1984, hal.2 Huijbers, Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1995, hal.15 4 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996, hal.14. 5 Loc.Cit. 6 Darji, Op.Cit. hal.13 3
http://www.pudjoutomo.wordpress.com
Demikian pula kalau norma kesusilaan dilanggar, hanya akan menimbulkan rasa malu atau penyesalan bagi pelakunya, tetapi tidak ditangkap dan diadilinya pelaku tersebut, masyarakat mungkin akan merasa tidak aman.7 Dalam hal ini, perlindungan yang diberikan norma hukum dikatakan lebih memuaskan dibanding dengan norma yang lain, karena pelaksanaannya dapat dipaksakan. Apabila tidak dilaksanakan, pada prinsipnya akan dikenakan sanksi oleh penguasa. 8 Apabila kita berhadapan dengan bentuk-bentuk hukum yang aktual pada zaman modern ini, kita sampai pada keyakinan bahwa hukum yang mempunyai arti yuridis yang sungguh-sungguh adalah hukum yang ditentukan oleh pemerintah suatu negara, yakni undang-undang.9 Hukum semacam ini disebut hukum positif. Asal mula hukum ini ialah penetapan oleh institusi yang sah dalam negara, yang berisi himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan), mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu. Hukum positif ini, diyakini menjamin sedikitnya memenuhi keinginan masyarakat terhadap satu hal, yaitu kepastian hidup. Adanya berbagai jenis hukum diterangkan oleh tokoh positivisme, John Austin ( 1790-1859). Menurut Austin terdapat macam-macam hukum yakni: 10 1) Hukum Allah, hukum ini merupakan suatu moral hidup daripada hukum dalam arti sesungguhnya; 2) Hukum manusia, yakni segala peraturan yang dibuat oleh manusia sendiri. Bagi Austin, hukum yang pertama-tama adalah tata hukum negara. Ia bertolak dari kenyataan bahwa terdapat suatu kekuasaan yang memberikan perintah-perintah dan bahwa ada orang yang mentaati perintah-perintah tersebut. Tidak penting mengapa orang mentaati perintah-perintah pemerintah. Ada yang mentaati sebab merasa berkewajiban memperhatikan kepentingan umum, ada yang mentaati sebab takut akan kekacauan, ada yang mentaati sebab merasa terpaksa. Hal-hal tersebut tidak menjadi masalah, asal mentaati. Apabila tidak, maka akan dijatuhi sanksi. Menurut Austin, untuk disebut hukum diperlukan adanya unsur-unsur: penguasa ( souvereighnity ), suatu perintah ( command ); kewajiban untuk mentaati (duty); sanksi bagi mereka yang tidak taat ( sanction). Lebih lanjut, Austin memberikan definisi tentang hukum yaitu hukum adalah tiap-tiap undang-undang positif yang ditentukan secara lengsung atau tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi seorang anggota atau anggota-anggota suatu masyarakat politik yang berdaulat, di mana yang membentuk hukum adalah yang tertinggi. Kelemahan utama teori Austin terletak dalam hal bahwa negara dan hukum dipandang sebagai kenyataan belaka. Hukum dianggapnya tidak lain dari perintah-perintah yang dikeluarkan oleh yang berkuasa dan yang biasanya ditaati. 11 Dengan demikian apabila orang yang menjadi sasaran perintah mengikuti perintah tersebut, maka kita akan mengatakan bahwa orang tersebut dipaksa untuk melakukan perbuatan itu.12
7
Loc.Cit. Loc.Cit. 9 Huijbers, Op.Cit. hal.41 10 Loc.Cit. 11 John Austin, dalam Sutiksno, Filsafat Hukum, Jakarta:1986, hal.55. 12 Identifikasi hukum sebagai perintah ini, oleh Austin dikembangkan sebagai suatu ajaran, dikenal dengan Doktrin Austin, sebagai berikut: “ Yang sesungguhnya disebut hukum adalah suatu perintah. Tetapi, karena ia disebut perintah, maka setiap hukum yang sesungguhnya mengalir dari satu sumber yang pasti..... apabila suatu perintah dinyatakan atau diumumkan, satu pihak menyatakan suatu kehendak agar pihak lain menjalankannya atau membiarkan itu dijalankan....”. 8
http://www.pudjoutomo.wordpress.com
Mengenai definisi lainnya dari hukum, terdapat beberapa pendapat dari pakar hukum, antara lain: 1. Victor Hugo, menyatakan bahwa hukum adalah kebenaran dan keadilan. 2. Mr.E.K.Meyers dalam buku De algemene begrippen van het burgerlijk recht , menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan norma-norma dan penilaian-penilaian tentang harga susila yang mempunyai hubungan dengan perbuatan-perbuatan manusia sebagai anggota masyarakat. 3. Padmo Wahyono, menyatakan bahwa hukum adalah alat atau sarana untuk menyelenggarakan kehidupan negara atau ketertiban dan sekaligus merupakan sarana untuk menyelenggarakan kesejahteraan sosial. 4. Van Kan, dalam bukunya Inleiding tot de Rechtwetenschap, menyatakan bahwa hukum adalah keseluruhan peraturan hidup yang bersifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalm masyarakat. 5. E.Utrecht, manyatakan bahwa pedoman tentang hukum itu adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup tata tertib suatu masyarakat dan seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan. 2. Fungsi dan Tujuan Hukum Apabila dilihat dari proses terbentuknya sebuah hukum, dapatlah dikatakan bahwa hukum dan masyarakat bagaikan dua sisi satu mata uang, ubi societas ibi ius - di mana ada masyarakat yang saling berhubungan untuk terjalinnya suatu tujuan, maka di situdiperlukan hukum yang mengatur agar kepentingan mereka tidak saling berbenturan satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, maka keberadaan hukum itu sendiri seharusnya secara otomatis diketahui dan dikenal serta dibutuhkan masyarakat. Hukum yang tidak dikenal dan tidak sesuai dengan kebutuhan atau dengan kata lain tidak berkesesuaian dengan konteks sosialnya, secara otomatis pula tidak akan terjalin komunikasi yang baik dan efektif antara yang mengatur dangan yang diatur. Dari sinilah awal mula terjadinya ketidak harmonisan hubungan antara hukum dan masyarakat. Hukum negara yang dibentuk relatif sempurna dalam lingkungan pembuatnya dan diproyeksi menjadi penuntun perilaku yang bersifat harus bagi semua. Majemuknya masyarakat, yang sebagian mempunyai norma atau kaidah yang secara turun temurun telah dilaksanakan ( tatanan adat - tradisi, yang kemudian dikenal sebagai hukum adat), menyebabkan hukum negara tidak selalu diterima oleh komunitas lokal, yang disebabkan hukum negara acapkali membawa serta perangkat dan tujuan yang berbeda bahkan tidak dapat dipakai oleh masyarakat yang diaturnya. Di satu sisi, hukum dengan sistem aturan dan lembaga yang bersifat umum, berisi tata norma ideal tentang apa yang seharusnya, sementara pada sisi lain, hukum, adalah sesuatu yang konkret, ia menghadapi orang-orang yang konkret, dengan latar belakang yang berbeda. Hal ini jugalah yang menjadi salah satu latar belakang konflik, dan tidak diterimanya hukum negara dalam suatu komunitas atau masyarakat tertentu. Posisi hukum menjadi semakin penting untuk dibicarakan kontekstualitasnya, terutama sebagai instrumen pengatur masyarakat. Di satu sisi, hukum harus memenuhi kebutuhan masyarakat akan adanya kepastian hukum, di sisi lain hukum juga tidak boleh menjadi instrumen sosial yang kaku. Hal ini dijelaskan oleh Satjipto, bahwa beberapa kelemahan terkandung dalam perundang-undangan adalah sehubungan dengan kehendak perundang-undangan untuk menampilkan kepastian, yang berisi rumusan-rumusan yang jelas, terperinci dan tegar dengan risiko menjadi norma-norma yang kaku.
http://www.pudjoutomo.wordpress.com
Di samping itu, keinginan perundang-undangan untuk membuat rumusan-rumusan yang bersifat umum mengandung risiko, bahwa ia mengabaikan dan dengan demikian memperkosa perbedaanperbedaan atau ciri-ciri khusus yang tidak dapat disamaratakan begitu saja. Terutama sekali dalam suasana kehidupan modern yang cukup kompleks dan spesialistis ini, tidak mudah untuk membuat perampatan-perampatan ( generalizations ).13 Menurut Soejono Dirdjo Sisworo, fungsi hukum bagi kehidupan masyarakat adalah:14 § sebagai alat ketertiban dan keteraturan masyarakat, hal ini dimungkinkan karena sifat dan watak hukum yang memberi pedoman dan petunjuk tentang bagaimana berperilaku di dalam masyarakat sehingga masing-masing anggota masyarakat telah jelas apa yang harus dan apa yang dilarang diperbuat, § sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin: hal ini dimungkinkan karena sifat hukum yang mengikat baik fisik maupun pskologis; § sebagai sarana pengerak pembangunan: hukum merupakan alat bagi otoritas untuk membawa masyarakat ke arah yang lebih maju; § fungsi kritis dari hukum, bahwa hukum memiliki fungsi kritis, yaitu daya kerja hukum tidak sematamata melakukan pengawasan pada aparatur negara. Dalam kaitannya dengan pembangunan, Seminar Hukum Nasional IV15 merumuskan enam fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan, yaitu: § sebagai pengatur, penertib dan pengawas kehidupan masyarakat, § sebagai penegak keadilan dan pengayom warga masyarakat terutama yang memiliki kedudukan sosial ekonomi lemah; § penggerak dan pendorong pembangunan dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan; § mempengaruhi masyarakat pada nilai-nilai yang mendukung usaha pembangunan; § faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat; § faktor integrasi antara berbagai sub sistem budaya bangsa. Para ahli hukum dalam merumuskan tujuan dari hukum mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Menurut teori etis (etische theorie), hukum hanya semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang filsuf Yunani, Aristoteles dalam karyanya Ethica Nicomache dan Rheotorika, yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas suci yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya.16 Sedangkan Van Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot studie van het Nederlands Recht, menyatakan bahwa: “Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingankepentingan manusia tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa harta benda, dan lain sebagainya terhadap yang merugikannya.....Dan hukum mempertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.”17 13
Satjipto Rahardjo, Op.Cit., hal.85 Soejono Dirdjo Sisworo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rajawali, 1999 hal.9 15 Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1980, hal.61 16 Utrech, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Jakarta: Ikhtiar, 1957, hal.20 17 Van Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht, terj.oleh M.Oetarid Sadino, Jakarta:NoordhoffKolff,NV.,1958,cet.IV, hal.20. 14
http://www.pudjoutomo.wordpress.com
Wirjono Prodjodikoro, berpendapat bahwa tujuan hukum adalah mengadakan keselamatan, bahagia dan tertib dalam masyarakat.18 Utrecht mengatakan bahwa hukum bertugas untuk menjamin adanya kepastian hukum ( rechtszekerheid ) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersimpul dua tugas lain, yaitu harus menjamin keadilan serta hukum tetap berguna. Dalam kedua tugas tersebut tersimpul pula tugas ketiga yaitu hukum bertugas polisionil ( politionele taak van het recht ). Hukum menjaga agar dalam masyarakat tidak terjadi main hakim sendiri ( eigenrichting ).19 3. Mengapa harus taat hukum ? Dari beberapa pendapat pakar mengenai tujuan hukum yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah: mengatur masyarakat agar bertindak tertib dalam pergaulan hidup secara damai, menjaga agar masyarakat tidak bertindak anarki dengan main hakim sendiri dan menjamin keadilan bagi setiap orang akan hak-hak dan kewajibannya sehingga tercipta masyarakat yang teratur, bahagia dan damai. Dalam beberapa kasus, bahwa ada kecenderungan masyarakat ( sengaja ) tidak taat kepada hukum, perlu kiranya ditelaah ke belakang terutama pada proses pembentukan hukum, dan bagaimana hukum tersebut dijalankan. Bisa jadi, bahwa tujuan yang ingin dicapai oleh hukum, dilaksanakan oleh para pelaksananya dengan tidak sebagaimana mestinya, sehingga masyarakat yang menitipkan harapanharapannya kepada hukum, menjadi kecewa. Atau bisa jadi, bahwa hukum telah dijalankan sesuai dengan semestinya, tetapi masyarakat tidak bisa serta merta melepaskan kebiasaan-kebiasaan (praktik) yang sudah ada sejak lama dan menjadi warisan turun-temurun, dan menjadi keyakinan. Ilustrasi kasus: memukul anggota keluarga ( istri,anak ) dengan tujuan untuk memperbaiki perilaku buruk, masih dianggap menjadi hak orang tua ( kepala keluarga – suami ), dalam rangka mencapai tujuan yaitu agar anggota keluarga yang bersangkutan menjadi jera dan tidak mengulangi perbuatan buruknya. Persoalannya adalah, batas-batas dalam hal memukul menjadi bias, apakah sebatas purapura memukul, sampai memar, ataukah boleh sampai mendekati suatu penyiksaan, yang bisa dijerat dengan pasal Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pada sisi ini, masyarakat mempunyai keyakinan, bahwa mereka mempunyai hak penuh untuk mengurus keluarga ( menurut kebiasaan yang telah dijalankan: dengan cara memukul ). Pada sisi lain, tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup secara damai, hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa harta benda, dan lain sebagainya terhadap yang merugikannya.....Dan hukum mempertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, di mana setiap orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.20 Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, apakah hukum ( aturan ), bisa serta merta mengarahkan masyarakat untuk merubah perilakunya ( pola-perilaku nyata masyarakat) ? Akhirnya, bahwa hukum bukanlah sekedar apa yang harus ditaati. Ia juga adalah bagaimana mentaatinya. Bahwa hukum berisi pesan yang benar, baik, di samping bertujuan menjamin kepastian, ketertiban, atau pun keadilan. Semoga bermanfaat. 18
Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum, Bandung: Sumur, 1967, hal.9. Utrecht, Loc.Cit., hal.21. 20 Van Apeldoorn, ibid. 19
http://www.pudjoutomo.wordpress.com